10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sepsis
2.1.1
Definisi Berdasarkan konsensus American College of Chest Physician dan
Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM Consensus Conference) tahun 1992, sepsis didefinisikan sebagai respon inflamasi sistemik karena infeksi (Bone et al, 1992; Bone, 1991) Sepsis merupakan puncak dari interaksi yang kompleks antara mikroorganisme penyebab infeksi, imun tubuh, inflamasi, dan respon koagulasi. Sepsis pada luka didefinisikan sebagai suatu kondisi dengan dijumpainya 10 bakteri atau lebih per-gram jaringan. Bakteri tersebut menginvasi ke jaringan
sekitar secara progresif yang
kemudian
berkembang menjadi reaksi sistemik (Hotchkiss and Karl, 2003). Baik respon imun maupun karakteristik infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan tingkat morbiditas pada sepsis. Sepsis dengan kegagalan fungsi organ primer terjadi ketika respon tubuh terhadap infeksi tidak cukup kuat. Permasalahan sepsis yang paling besar terletak pada karakteristik dari mikroorganisme, seperti beratnya infeksi yang diakibatkannya serta adanya super antigen maupun agen toksik lainnya yang resisten terhadap antibodi maupun fagositosis (Russell, 2006). Infeksi sendiri adalah fenomena mikrobial yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap adanya mikroorganisme atau invasi ke dalam 10 Universitas Sumatera Utara
11
jaringan yang dalam keadaan normal steril terhadap mikroorganisme tersebut (Bone et al, 1992). Apabila keadaan di atas tanpa disertai adanya infeksi maka disebut sindrom respons inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome / SIRS). Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan gangguan fungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi sedangkan renjatan atau syok septik adalah sepsis yang disertai dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau terdapat penurunan tekanan darah lebih dari 40 mmHg tekanan basal tanpa disertai penyebab lain) walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat (Bone et al, 1992; Bone, 1991). Untuk mencegah timbulnya kerancuan, disepakati standarisasi terminologi. Pada bulan Agustus 1992, telah dicapai konsensus yang dihasilkan American College of Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine/SCCM beberapa pengertian tersebut di bawah ini: 1.
Infeksi, respon inflamasi akibat adanya miroorganisme yang secara normal pada jaringan tersebut seharusnya steril.
2.
Bakteremia, adanya bakteri hidup dalam darah.
3.
Sindroma
reaksi
inflamasi
sistemik
(Systemic
Inflammatory
Response Syndrome / SIRS), merupakan reaksi inflamasi massif sebagai akibat dilepasnya berbagai mediator secara sistemik yang dapat berkembang menjadi disfungsi organ atau Multiple Organ Dysfunction (MOD) dengan tanda klinis : a.
Temperatur >38,3 C atau <35,6 C,
b.
Denyut jantung >90 kali/menit,
Universitas Sumatera Utara
12
c.
Frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 torr (<4,3 kPa),
d.
Hitung leukosit >12.000 sel/mm3 atau <4000 sel/mm3 atau ditemukan > 1 % sel-sel imatur.
4.
Sepsis, SIRS yang disebabkan oleh infeksi.
5.
Sepsis berat (Severe Sepsis), sepsis disertai disfungsi organ, yaitu kelainan hipotensi (tekanan sistolik <90mmHg atau terjadi penurunan >40 mmHg dari keadaan sebelumnya tanpa disertai penyebab dari penurunan tekanan darah yang lain). Hipoperfusi atau kelainan perfusi
ini
meliputi timbulnya
asidosis
laktat, oligouria atau
perubahan akut status mental.
Gambar 2.1. Diagram Venn Sepsis (Bone et al, 1992; Matsuda and Hattori, 2006)
Universitas Sumatera Utara
13
6.
Syok septik, sepsis dengan hipotensi walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat tetapi masih didapatkan gangguan perfusi jaringan.
7.
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) ialah disfungsi dari satu
organ
atau
lebih,
memerlukan
intervensi
untuk
mempertahankan homeostasis. (Bone et al, 1992; Vincent et al, 2009)
2.1.2
Epidemiologi Sepsis dalam 20 tahun terakhir ini meningkat di Amerika Serikat
(AS), diperkirakan jumlah kasus sepsis 400.000 – 500.000 setiap tahunnya. Data dari AS menunjukkan, pada tahun 1979 tercatat 164.000 kasus sepsis (82,7/ 100.000 populasi), sedangkan pada tahun 2000 tercatat 660.000 kasus (240,4/ 100.000 populasi) sehingga terjadi peningkatan insiden pertahun sekitar 8,7%. Sepsis merupakan penyebab kematian terbanyak di 33 ruang rawat intensif di seluruh dunia dengan angka mortalitas 20% untuk sepsis, 40% untuk sepsis berat dan > 60% renjatan sepsis (Martin et al, 2003) Data pertama mengenai sepsis, di Amerika yang berupa data data perbandingan insidens dan angka kematian sepsis terhadap penyakit penyakit lain menunjukkan bahwa insidens sepsis berat (Severe Sepsis) di Amerika menduduki urutan pertama dengan jumlah 300/100.000 kasus pertahunnya mengalahkan insiden gagal jantung kongesti (urutan kedua) yaitu 200/100.000 kasus pertahun. Dengan angka kematian yang sama dengan kematian karena serangan jantung akut (MCI) yaitu sekitar
Universitas Sumatera Utara
14
220.000 kematian tiap tahun (National Center for Health Statistics, 2001; American Cancer Society, 2001; American Heart Association, 2000 dan Angus et al, 2001) Sebuah laporan dari jurnal yang di publikasi di Lancet dengan judul “Critical care and the global burden of critical illness in adults” menunjukkan
bahwa
di
negara
negara
maju
lain
diperkirakan
pertambahan kasus kasus sepsis mendekati 2.8 juta kasus pertahunnya dengan angka kematian sekitar 40% (Adhikari et al, 2010) Di negara negara sedang berkembang, angka angka ini ternyata lebih tinggi lagi, baik itu angka insiden maupun angka kematian. Laporan dalam sebuah studi yang di publikasi di jurnal PLoS Med 5(175) berjudul “strategies to reduce mortality from bacterial sepsis in adults in developing countries”, dinyatakan bahwa sembilan puluh persen angka kematian dunia karena sepsis berat yang disebabkan oleh pneumonia, meningitis dan infeksi lain terjadi di negara negara yang belum berkembang (Cheng et al, 2008) Sepsis yang terjadi paska operasi (post operative sepsis), saat ini juga
sedang
mendapat
perhatian
khusus.
Insidensnya
semakin
meningkat, akibat para ahli bedah semakin berani melakukan intervensi pada pasien pasien usia tua atau terhadap pasien pasien dengan komorbid resiko tinggi, atau melakukan operasi operasi
ekstensif yang
dahulu tidak bisa dilakukan namun karena kemajuan dalam teknik bedah saat ini bisa dilakukan sehingga pasien pasien ini menjadi rentan untuk terjadinya sepsis.
Universitas Sumatera Utara
15
Penelitian tentang kejadian sepsis post operatif di Amerika Serikat yang di publikasi di majalah Ann Surg tentang tren insidens dan angka kematian sepsis post operatif baik pada operasi elektif maupun yang nonelektif selama tahun 1990-2006, ditemukan bahwa insidens sepsis post operasi bedah elektif sebesar 1,09% (0,67% pada 1990 menjadi 1,74% di thn 2006). Diantara ini ditemukan insidens sepsis berat post operatif sebesar 0,52% (0,22% di 1990 dan 1,12% di 2006). Meski ditemukan peningkatan angka insidens sepsis post operatif, namun angka kematian sepsis post operatif justru menurun bermakna yaitu dari 37,9% menjadi 29,8%. Hal ini dikarenakan mulai dikenalnya definisi dan kriteria sepsis sejak tahun 1991, dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya panduan sepsis “ Surviving Sepsis Campaign ” thn 2004 (Vogel et al, 2010).
2.1.3
Etiologi Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif, gram positif,
virus dan jamur (Bone et al, 1992). Penyebab tersering sepsis adalah kuman gram negatif (hampir 60-70 %) walaupun terdapat peningkatan dari bakteri gram positif dan jamur (Bone, 1994). Bakteri gram negatif mempunyai lapisan LPS atau endotoksin pada dinding luar bakteri (Lynn, 1998). Lapisan LPS tersebut terdiri dari 3 struktur, yaitu : 1.
Polisakarida yang terdiri dari rantai O
2.
Lapisan tengah yang terdiri dari lapisan luar dan dalam
3.
Lapisan lipid A
Universitas Sumatera Utara
16
Gambar 2.2. Mikroorganisme penyebab sepsis di Amerika Serikat tahun 1979 hingga 2000 (Martin et al, 2003)
Lapisan lipid A merupakan lapisan terpenting yang berperan dalam toksisitas endotoksin. Pada bakteri gram negatif mempunyai kemiripan pada struktur lapisan tengah dan lipid A tetapi berbeda pada rantai spesifik O. Sepsis dapat juga disebabkan oleh eksotoksin atau lapisan peptidoglikan dari bakteri gram positif (Bone, 1994). Timbulnya syok septik dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) sangat penting pada bakteremia gram negatif. Syok terjadi pada 20% - 35% penderita bakteremia gram negatif (John and Dorinski, 1993).
Universitas Sumatera Utara
17
Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah LPS. LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dan LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Sthaphylococci, pneumococci, streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20% 40 % dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus (dengue dan herpes) atau protozoa (falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang (Guntur, 2007). Pada sepsis sel-sel imun yang paling terlihat mengalami disregulasi apoptosis
adalah limfosit, hilangnya limfosit ini akan
menurunkan survival sepsis (Chung and Hinds, 2006; Hotchkiss and Karl, 2003). Angka kematian penderita sepsis dengan endotoksemia (41,17%) lebih tinggi dibandingkan tanpa endotoksemia (12,5%). Walaupun secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna. Jenis kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif (55,26%) diikuti gram positif (39,47%) dan jamur atau sel ragi (5,26%) (Martin et al , 2003). Saat ini dikembangkan suatu sistem pendekatan sepsis yang disebut pendekatan PIRO (PIRO approach), yang dijabarkan menjadi faktor predisposisi (Predisposition), infeksi yang terjadi (Infection), respon yang timbul (Response) dan disfungsi organ yang terjadi (Organ dysfunction) seperti pada gambar 2.3 dan tabel 2.1 berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 2.3 Pendekatan PIRO pada sepsis (Rello et al, 2009; Guntur, 2007)
Tabel 2.1 Pendekatan PIRO pada sepsis yang dilakukan sekarang dan perspektif masa depan (Rello et al, 2009; Guntur, 2007)
Universitas Sumatera Utara
19
2.1.4
Patogenesis Patogenesis sepsis masih belum jelas benar, kaskade inflamasi
umumnya sangat dipengaruhi oleh sitokin atau mediator inflamasi. Mediator ini bertanggung jawab terhadap kerusakan endotel kapiler. Diyakini ada mekanisme yang akan menghambat kerja dari mediator tersebut sehingga terjadi keseimbangan antara sel proinflamasi dan anti inflamasi. Bila reaksi tubuh tersebut berlebihan maka keseimbangan tadi akan terganggu dan tubuh tidak dapat mengatasi hal tersebut. (Bone et al, 1997)
Gambar 2.4. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis (Bone et al, 1997)
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin. Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi dalam serum darah membentuk
Universitas Sumatera Utara
20
LPSab. Dengan perantara reseptor Clonal Differentiation (CD)-14, LPSab yang berada didalam darah akan bereaksi dengan makrofag dan kemudian ditampilkan sebagai Antigen Presenting Cell (APC). Ikatan LBP (Lipopolysaccharide Binding Protein) kompleks menuju CD-14 reseptor di permukaan seluler dan berinteraksi degan toll-like receptor (TLR)-4 untuk menginduksi NF-κB sebagai sinyal dan trankripsi sitokin pro-inflamasi, kemokin, adhesion dan faktor koagulasi.
Gambar 2.5 Patogenesis Sepsis dan Syok Sepsis (Chamberlain, 2004)
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis, limfosit akan mengeluarkan substansi dari T-helper (Th)-1 dan Th-2. Th-1 berfungsi sebagai imunomodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage-Colony Stimulating Factor), sedangkan Th-2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β, juga mempunyai efek pada sel endotel untuk terjadinya adhesi dengan neutrofil. Akibatnya akan terjadi gangguan
Universitas Sumatera Utara
21
vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel (Kristine et al, 2007)
2.1.5
Patofisiologi sepsis Patofisiologi sepsis sangat kompleks karena melibatkan interaksi
antara proses infeksi kuman patogen, inflamasi dan jalur koagulasi (Kristine et al, 2007) yang dikarakteristikkan sebagai ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-1β, IL-6 dan interferon (IFN), dengan sitokin anti inflamasi seperti interleukin-1 reseptor antagonist (IL-1ra), IL-4 dan IL-10 (Elena et al, 2006). Overproduksi sitokin inflamasi sebagai hasil dari aktivasi Nuclear Factor kappa Beta (NF-кB) akan menyebabkan aktivasi respon sistem berupa SIRS terutama pada paruparu, hati, ginjal usus dan organ lainnya (Arul et al, 2001) yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, fungsi jantung dan menginduksi perubahan metabolik sehingga terjadi apoptosis maupun nekrosis jaringan, gagal organ multipel, syok sepsis serta kematian (Arul et al, 2001; Elena et al, 2006) Proses patologik utama pada sepsis adalah apoptosis dari sel-sel efektor imunologi, termasuk limfosit dan sel dendrit serta apoptosis saluran pencernaan (Chang et al, 2007). Sepsis dan SIRS berhubungan dengan perusakan dan disfungsi mukosa saluran pencernaan. Disfungsi saluran pencernaan adalah suatu masalah umum yang sering terjadi akibat sepsis, yang akan mengakibatkan hilangnya pertahanan mukosa, peningkatan permeabilitas mukosa dan translokasi produk-produk bakteri
Universitas Sumatera Utara
22
kedalam sirkulasi darah, yang kemudian lebih lanjut akan meningkatkan respon inflamasi pada organ-organ yang lebih jauh, sehingga akan terjadi MODS serta kematian. Salah satu mekanisme yang mendukung perusakan mukosa saluran cerna yang diinduksi oleh endotoksin adalah apoptosis yang meningkat. Peningkatan apoptosis saluran cerna yang sering terjadi pada sepsis dan kematian sel mukosa yang berlebihan akan mendukung adanya atrofi, perusakan dan gangguan fungsi pertahanan mukosa saluran pencernaan (Alscher et al, 2001) Saat ini berkembang pula istilah yang mengacu pada pemahaman mengenai hipotesis dari patogenesis terjadinya sepsis. Pada SIRS diduga respons sel proinflamasi sangat berperan, sedangkan bila respons sel proinflamasi tidak berjalan atau sel anti inflamasi lebih berperan. sehingga menimbulkan imunosupresi disebut sindrom respons anti inflamasi terkompensasi (Compensatory Anti Inflammatory Response Syndrome / CARS) (Bone et al, 1997) Akibat yang ditimbulkan juga dipengaruhi dari sel proinflamasi atau anti inflamasi yang berperan lebih dominan. Pada CARS, HLA-DR pada monosit < 30% dan berkurangnya kemampuan monosit untuk memproduksi sitokin inflamasi seperti TNF-α atau IL-6 (Bone et al, 1997; Bone, 1996). Pada suatu keadaan tertentu terdapat keseimbangan antara sel proinflamasi dan sel anti inflamasi (Mixed Antagonist Response Syndrome / MARS) sehingga terjadi homeostasis (Bone et al, 1997)
Universitas Sumatera Utara
23
Initial Insult (bacterial, viral, traumatic, thermal )
Local Proinflammatory response
Local antiinflammatory response
Systemic Spillover of anti-inflammatory mediators
Systemic Spillover of Pro-inflammatory mediators
Systemic Reaction : SIRS (Pro-inflammatory) CARS (Anti inflammatory) MARS (mixed)
C
H
A
O
S
Cardiovascular Compromise (Shock) SIRS Predominates
Homeostasis
Apoptosis
Organ Dysfunction
CARS and SIRS Balanced
Cell Death with minimal inflammation
SIRS Predominates
Supression of The immune System CARS Predominates
Gambar 2.6. Konsep Baru Akibat Sepsis, SIRS, CARS, MARS (Bone and Newton, 1996; Bone et al, 1997)
2.1.6
Biomolekuler sepsis dan peran NF-kB Sebagian besar penyakit pada manusia dapat dianggap berasal
dari aktivasi dan ekspresi gen yang produknya terlibat dalam inisiasi dan progresi patogenesis. Secara umum, gen ini berada dalam kondisi diam atau aktivitas mininal terkait pengaruhnya dalam proses biologis dan fisiologis. Pada kondisi tertentu, gen tersebut secara mendadak akan menyala melalui tombol pregenetik sehingga terjadi over ekspresi. Sebagian dari tombol genetik tersebut dikendalikan oleh NF-B sebagai faktor transkripsi esensial untuk mengendalikan ekspresi gen dari sitokin,
Universitas Sumatera Utara
24
kemokin, growth factor dan molekul adhesi seluler serta berbagai protein fase akut (Chen et al, 2009) NF-B adalah faktor transkripsi pleotropik yang terlibat dalam regulasi berbagai gen yang berimplikasi dalam proses inflamasi dan respon imun. NF-B pertama kali diidentifikasi pada sebagai faktor nuklear sel B dan diberikan nama berdasarkan atas kemampuan untuk berikatan dengan enhancer (intron) gen imunoglobulin rantai k-light. Selanjutnya, NF-B diidentifikasi pada berbagai tipe sel dan akan diaktifkan oleh berbagai induksi, meliputi iradiasi ultraviolet, sitokin, inhalasi partikel toksik di lingkungan kerja, serta produk bakteri atau virus (Chen et al, 2009; Gupta et al, 2002). NF-B akan bekerja sebagai faktor transkripsi yang berperan penting pada pertumbuhan sel, respon imun inate dan adaptif, survival seluler, inflamasi, dan apoptosis melalui induksi gen (Tian and Braiser, 2003) Jalur klasik NF-B diinduksi oleh berbagai mediator imun adaptif dan inate, antara lain sitokin proinlamasi (TNF-, IL-1b), Toll-like receptors (TLRs) dan ligasi antigen pada reseptor (TCR, BCR). Semua sinyal penginduksi NF-B tersebut melalui reseptor yang berbeda dan berbagai protein adaptor akan mengaktivasi komplek IB kinase (IKK). IKK merupakan protein kinase kompleks dengan berat molekul 700-900 yang aktivasinya
melibatkan
protein
modulator
esensial
NF-B
yakni
NEMO/IKK (subunit regulatori esensial) dan IKK, IKK kinase (subunit katalitik).
Setelah
teraktivasi
oleh
fosforilasi,
komplek
IKK
akan
memfosforilasi IB (pada Ser32 dan Ser36) atau IKK (pada Ser19 dan
Universitas Sumatera Utara
25
Ser23), yang selanjutnya akan mengalami ubikuinasi dan degradasi melalui jalur proteosom 26S. Akibatnya, NF-B bentuk bebas akan ditranslokasi menuju nukleus dan mengaktifkan transkripsi gen target, antara lain gen untuk sitokin, kemokin, molekul adhesi, dan inhibitor apoptosis (Langen et al, 2001; Gupta et al, 2002). Jalur alternatif NF-B adalah jalur novel yang tidak bergantung kepada NEMO. Jalur ini penting untuk perkembangan organ limfoid sekunder, homeostasis, dan imunitas adaptif. Jalur ini diinduksi oleh B-cell activating factor (BAFF), lymphotoxin b (LTb), CD40 ligand, human T cell leukemia virus (HTLV), dan Epstein-Barr virus (EBV). Induksi tersebut akan meningkatkan NF-B inducing kinase (NIK) dan prosesnya bergantung kepada IKKa berupa perubahan p100 menjadi p52 yang terikat DNA dalam hubungannya dengan pendampingnya misalnya, RelB (Langen et al, 2001) Mammalia mempunyai lima faktor transkripsi NF-B yang membentuk homodimer atau heterodimer dengan anggota NF-B yang lain, yakni NF-B1 (p50 dan prekursornya p105), NF-B2 (p52 dan prekursornya p100),
p65/RelA, c-Rel dan RelB (Glorie et al, 2006).
Protein NFB akan diekspresikan secara konstitutif pada semua sel dengan perkecualian RelB yang ekspresinya terbatas pada jaringan limfoid (Liu and Malik, 2006). Lima faktor transkripsi ini dibagi menjadi dua kelompok
fungsional
yang
berbeda
dan
bebas
mengalami
heterodimerisasi. Kelompok pertama terdiri atas anggota translasi sebagai protein matur yang ikatannya dengan DNA tidak kuat akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
26
mengandung domain aktivasi transkripsi terminal-COOH yang poten (RelA dan c-Rel). Kelompok kedua merupakan anggota yang dikode oleh protein prekursor besar dengan proses proteolitik akan dipecah menjadi subunit lebih kecil (50 kDa), mempunyai kemampuan ikatan DNA yang kuat serta potensi transkripsi yang lemah (p105/NF-B1 dan p100/NF-B2). Komposisi
subunit
komplek
dari
NF-B
mempengaruhi
lokalisasi
subseluler, potensi transaktivasi, dan model regulasi (Tian and Braiser, 2003). Protein NF-B dikarakterisasi oleh keberadaan highly conserved 300-amino acid Rel homology domain (RHD) sehingga strukturnya mirip dengan dua imunoglobulin. Keberadaan RHD menentukan kemampuan dimerisasi, ikatan dengan DNA, dan hubungan dengan protein inhibitori IB. Perbedaan struktural antara RelB dan RelA (atau C-Rel) adalah adanya domain aktivasi NH2 terminal pada RelB. NF-B1 (p50) dan NFB2 (p52) disintesis dalam bentuk prekursornya sebagai p105 dan p100, yang mengandung ulangan ankyrin pada terminal COOH sebagai karakterisktik struktural dari protein IB. p105 dan p100 berperan sebagai prekursor p50 dan p100 sehingga mirip dengan protein regulator. Proteolisis pada pada terminal COOH dari protein p105 dan p100 akan membentuk protein p50 atau p52. Degradasi proteolitik p105 dan p100 ini dipercepat oleh inflamasi, sebagai salah satu mekanisme induksi aktivasi NF-B (Liu and Malik, 2006; Chen et al, 2001)
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.7. Jalur NF-kB (Moynagh, 2005)
Terdapat induksi diferensial dari kompleks NF-B selama waktu aktivasi NF-B. NF-B mengandung subunit transaktivator, yakni Rel A (p65) dan c-rel, serta subunit pengikatan DNA, yakni NF-B1 (p50) dan NF-B2 (p52) yang membentuk berbagai hetero dan homodimer. Pada sel yang tidak terstimulasi, subunit NF-B berhubungan dengan protein inhibitori yakni IB sehingga terjadi inaktivasi ikatan kepada DNA melalui pencegahan translokasi NF-B menuju nukleus. Apabila teraktivasi, maka NF-B terikat kepada elemen dari regio promoter gen proinflamasi dan
Universitas Sumatera Utara
28
bertindak sebagai regulator dominan dari transkripsi gen tersebut untuk menginduksi inflamasi (Tham et al, 2002) Proses perkembangan penyakit yang berkaitan erat dengan terjadinya inflamasi tubuh, sangat tergantung dari interaksi antara virus atau bakteri dan sel yang terdapat pada sistem imun. Interaksi ini diperantarai oleh sitokin dan kemokin yang diproduksi oleh sel asal atau juga sel pendatang yang terdapat pada daerah peradangan. Sel yang menghasilkan sitokin adalah makrofag /monosit, sel dendritik, limfosit, neutropil sel endotelial dan fibroblast. Sitokin adalah suatu sentral patogenesa yang akan meningkat jumlahnya bila terdapat suatu penyakit. Sitokin adalah protein larut dan merupakan mediator yang dihasilkan oleh sel dalam suatu reaksi radang atau imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antar sel untuk mengatur respon setempat dan kadang-kadang juga secara sistemik. Sitokin mempengaruhi peradangan dan imunitas melalui pengaturan pertumbuhan, mobilitas dan diferensiasi lekosit dan sel sel lainnya (Cohen, 2002 ; Blackwell and Christman, 2006)
2.1.6.1 Penanda inflamasi Pada sepsis, sitokin tidak berdiri sendiri sebagai penanda mediator inflamasi masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat pro-inflamasi maupun anti-inflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF-α, IL-1, dan IFN-γ yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin anti
Universitas Sumatera Utara
29
inflamasi adalah IL-1ra, IL-4, dan IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus (Cohen, 2002; Blackwell and Christman, 2006; Moreira et al, 2007). Interleukin adalah kelompok sitokin (protein yang disekresikan) yang pertama kali terlihat untuk diekspresikan oleh sel darah putih (leukosit). Terminologi Interleukin berasal dari (antar-) “sebagai sarana komunikasi”, dan (-leukin) “berasal dari fakta bahwa kebanyakan dari interleukin adalah protein yang diproduksi oleh leukosit dan bertindak atas leukosit”. Interleukin diproduksi oleh berbagai sel tubuh. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh sebagian besar tergantung pada interleukin, dan walaupun jarang,
kekurangan dari sejumlah interleukin telah diketahui
dapat menyebabkan penyakit autoimun atau defisiensi imun. Mayoritas interleukin disintesis oleh helper CD-4 + T lymphocytes, serta melalui monosit,
makrofag,
dan
sel
endotel.
Interleukin
mendorong
pengembangan dan diferensiasi sel T, B, dan sel-sel hematopoietik (Cohen, 2002 ; Blackwell and Christman, 2006)
2.1.6.1.1 Interleukin (IL) - 6 Interleukin (IL)- 6; Interferon beta (IFNB)- 2; B cell differentiation factor, B cell stimulatory factor (BSF)-2; Hepatocyte stimulatory factor, (HSF);
Hybridoma
growth
factor
(HGF)
adalah
sitokin yang
disekresi dari jaringan tubuh ke dalam plasma darah, terutama pada fase infeksi akut atau kronis, dan menginduksi respon peradangan transkriptis melalui IL-6ra, menginduksi maturasi sel B. IL-6 ini ditemukan meningkat
Universitas Sumatera Utara
30
pada keadaan sepsis. Hal ini belum begitu dapat dijelaskan. Namun diduga IL-6 keluar bersamaan dengan hadirnya TNF-α dan IL-1. IL-6 cukup bisa untuk menunjukkan tingkat keparahan sepsis dibanding sitokin-sitokin lainnya. Hal ini menandakan bahwa apabila IL-6 sudah meningkat maka ia akan mengaktifkan kaskade sitokin lainnya yang menyebabkan gejala semakin parah (Cohen, 2002; Blackwell and Christman, 2006) IL-6 diproduksi oleh berbagai sel yang terdiri dari glikoprotein 21 kDa dan mempunyai efek yang berbeda termasuk aktifasi dari fase akut protein dan aktifasi sel T dan sel B limfosit. Peran dari IL-6 dalam patogenesis sepsis sampai saat ini masih belum jelas. Sebuah uji coba yang dilakukan dalam sebuah penelitian yaitu dilakukan injeksi IL-6 kedalam seekor mencit tidak menunjukkan terjadinya sepsis (Cohen, 2002; Blackwell and Christman, 2006)
2.1.6.1.2 Tumor necrosis factor (TNF) - α TNF pada awalnya ditemukan pada
tumor
tertentu yang
mengalami perdarahan yang ternyata disebabkan adanya nekrosis jaringan. TNF terutama dihasilkan oleh sel makrofag dan sel-sel jenis lain dengan berbagai aktifitas biologik pada sel-sel sasaran yang termasuk sistem imun maupun bukan. Sejumlah sel baru dapat menghasilkan TNF setelah mendapatkan rangsangan yang cocok misalnya dari limfosit dan sel NK (Subowo, 2009). TNF merupakan mediator utama pada respon inflamasi akut terhadap infeksi bakteri gram negatif dan
mikroba lainnya
dan
Universitas Sumatera Utara
31
bertanggung jawab atas terjadinya beberapa komplikasi sistemik pada infeksi berat. Stimulus terkuat terhadap produksi TNF oleh makrofag adalah berikatannya TLR dengan LPS dan produk mikroba lainnya. Produksi IFN-γ oleh limfosit T dan sel NK akan meningkatkan produksi produksi TNF oleh makrofag yang distimulasi oleh LPS. Fungsi fisiologis utama dari TNF adalah menstimulasi rekruitmen netrofil dan monosit ke lokasi infeksi dan mengaktifkan sel-sel ini untuk menghilangkan mikroba (Abbas et al, 2012) TNF memiliki jejaring pengawasan induksi dan efek. Misalnya IL-1 menginduksi produksi TNF dan sebaliknya TNF menginduksi produksi IL-1 oleh sel makrofag, produksi IFN-β1 dan IFN-β2 oleh fibroblast dan produksi GM-CSF oleh beberapa jenis sel. TNF-α dihasilkan oleh sel limfosit Th-1, sebagian oleh limfosit Th-2 dan sel T sitotoksik (Subowo, 2009) Gen untuk TNF terdapat pada lengan pendek kromosom 6 yang diduga dekat atau di dalam kompleks MHC. Molekul TNF manusia memiliki homologi sebesar 80% dengan TNF mencit atau kelinci dan 28% dengan limfotoksin. Limfotoksin yang mempunyai mekanisme kerja dan reseptor yang sama dengan TNF disebut sebagai TNF-β (Subowo, 2009) Terdapat 2 jenis reseptor TNF yaitu reseptor TNF tipe I (TNF-RI, 55 kD) dan tipe II (TNF-RII, 75kD) (Abbas et al, 2012) TNF memiliki beberapa efek dengan manifestasi sebagai berikut : 1. Efek sitotoksik.
Universitas Sumatera Utara
32
Efek ini terlihat pada beberapa jenis jaringan tumor yang mengalami
kemunduran
dan
nekrosis
yang
disertai
perdarahan.
Mekanisme kematian sel tumor in vivo oleh TNF belum jelas, tetapi yang jelas kematian sel tumor membutuhkan reseptor untuk TNF. Kematian sel tumor akan dipercepat jika terdapat hambatan sintesis protein dalam sel tumor. Mekanisme kematian sel tumor ini secara in vivo bukan pengaruh langsung TNF melainkan secara tidak langsung. Kemungkinan kematian sel tumor karena terjadinya nekrosis jaringan tumor akibat gangguan vaskularisasi untuk jaringan tumor. Terdapat bukti bahwa sel makrofag teraktifkan dapat membunuh sel-sel tumor, sedang TNF merupakan produksi sel-sel makrofag. 2. Efek radang Pada percobaan dapat ditunjukkan bahwa TNF yang diperoleh dalam bentuk murni secara biokimia bertanggung jawab kepada aktifitas cahectin yang umumnya bekerja pada penderita yang yang mengalami infeksi parasit. Mekanisme pada beberapa kejadian radang setempat diramalkan berdasarkan pengamatan pada percobaan in vitro. Misalnya sel netrofil yang beraksi dengan TNF meningkat pengikatannya pada sel endotel, letupan respiratori dan degranulasinya. Pola kerusakan jaringan radang
mirip dengan kerusakan oleh IL-1, sehingga TNF dianggapa
penting dalam proses penyembuhan luka. 3. Efek hematopoetik Efek TNF terhadap aktifitas hematopoetik terlihat dalam bentuk hambatan pembentukan koloni biakan granulosit-monosit, eritroid dan
Universitas Sumatera Utara
33
koloni sel multi potensial pada jaringan sumsum tulang manusia. Tetapi sebaliknya pada mencit, TNF meningkatkan sel-sel progenitor dalam jaringan sumsum tulang pada percobaan in vitro. 4. Efek imunologik Walaupun TNF dalam beberapa aktifitas biologik mirip IL-1, namun ada beberapa perbedaan dalam mekanisme pengaturan imun. Secara umum nampak perbedaan bahwa TNF tidak banyak terlibat dalam pengaturan imun. TNF mempunyai aktifitas perangsangan yang multiple terhadapa limfosit T teraktifasi, misalnya respon proliferatif limfosit T terhadap antigen. Peningkatan reseptor untuk IL-2 dan induksi produksi IFN-γ. Demikian juga imunitas spesifik terhadap tumor ditingkatkan oleh TNF. TNF dapat meningkatkan ekspresi antigen MHC kelas I pada fibroblast dan sel endotel. Efek perlindungan non-spesifik terhadap pathogen telah dilaporkan pula untuk TNF. Misalnya aktifitas antivirus dan beberapa parasite (Subowo, 2009). Bila stimulus cukup kuat, TNF akan diproduksi dalam jumlah besar sehingga memasuki aliran darah dan bekerja di tempat yang jauh sebagai hormon endokrin. Salah satu aktifitas sistemik utama dari TNF adalah menginduksi hipotalamus dan menyebabkan terjadinya demam sehingga disebut sebagai pirogen endogen untuk membedakannya dari LPS yang berfungsi sebagai pirogen eksogen yang bersal dari mikroba. Terjadinya demam sebagai respon terhadap TNF (dan IL-1) dimediasi oleh meningkatnya sintesa prostaglandin oleh sel-sel hipotalamus (proses ini distimulasi oleh sitokin). Inhibitor sintesa prostaglandin (misalnya aspirin)
Universitas Sumatera Utara
34
dapat menghambat terjadinya demam dengan jalan menghamabat aktifitas TNF dan IL-1 ini (Abbas et al, 2012). Sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Xing, dkk, yang melakukan injeksi endotoksin ke hewan percobaan menunjukkan peningkatan level yang sama dari interleukin-6 , TNF-α dan interleukin-1. Sebagai tambahan, TNF-α dan IL-1ra meningkatkan produksi dari interleukin- 6 dalam percobaan yang sama (Blackwell and Christman, 2006 ; Moreira et al, 2007) Berbagai cara yang dilakukan untuk mengurangi tingkat mortalitas dari sepsis dengan modulasi antagonis IL-6 tidak selalu menunjukkan hasil yang menguntungkan. Percobaan pada seekor mencit yang memasukkan monoklonal anti IL-6 tidak mempengaruhi konsentrasi di tingkat plasma dari TNFα, konsentrasi IL-8, ataupun neutrofil degranulasi dan juga menunjukkan perbaikan kaskade koagulasi akibat endotoksin (Cohen, 2002) Penelitian yang dilakukan Hack dkk, menunjukkan level IL-6 yang lebih tinggi terutama pasien dengan syok sepsis sekaligus menunjukkan angka mortalitas. Penelitian ini juga menunjukkan dalam sebuah pengukuran serial dari TNF-α dan IL-6 pada 40 pasien sepsis, terjadi gangguan hipoperfusi
dan hipoksia
yang parah
dan selanjutnya
meningkatkan angka mortalitas. Sampai saat ini, keberadaan IL-6 menjadi penanda yang penting dari kaskade sitokin dan prediksi kerusakan yang multi organ (Blackwell and Christman, 2006)
Universitas Sumatera Utara
35
Identifikasi counter-inflammatory cytokine seperti IL-10 menjadi hal yang sama pentingnya dengan pro-inflammatory
cytokines. IL-10
merupakan produk utama dari Th-2 limfosit yang menginhibisi produksi sitokin melalui aktifasi makrofag. Pada percobaan in vitro, IL-10 dapat menginhibisi produksi dari TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-8 (Cohen 2002 ; Blackwell and Christman, 2006) Penelitian yang dilakukan Gerard dkk, dimana injeksi IL-10 ke dalam seekor mencit menunjukkan penurunan mortalitas dari endotoxin. Pengobatan dengan pemberian antibodi IL-10 menunjukkan penurunan yang signifikan dari TNF-α. Keberadaan IL-10 menjadi parameter yang penting bahwa terjadi suatu keadaan sepsis dimana kadar puncaknya dicapai setelah sitokin pro-inflamasi terlebih dahulu meninggi di level plasma (Blackwell and Christman, 2006; Moreira et al, 2007)
2.1.6.2 Penanda metabolik dan survival sepsis Sel, selain berkomunikasi ke dalam sel (intrasel), juga memerlukan komunikasi dengan sel lain (intersel), baik yang dekat maupun yang jauh jaraknya, untuk menjaga keseimbangan, pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme. Komunikasi intrasel maupun intersel dilaksanakan melalui
suatu
jejaring
(network)
komunikasi,
dengan
tujuan
mengkoordinasi dan regulasi pertumbuhan, diferensiasi, metabolisme sel dan bahkan ketahanan hidup sel. Dari kanal atau jalur komunikasi dalam sel, segala upaya dilakukan ilmuwan untuk memahami bagaimana sel sasaran bisa menerima informasi yang dihasilkan oleh sel pemberi informasi (signaling cell). Tujuannya agar ilmuwan mengetahui dan, kalau
Universitas Sumatera Utara
36
bisa, merekayasa apa yang dilakukan oleh sel. Awalnya, mengetahui bagaimana suatu sel dengan aktif memantau kondisi lingkungan di luar sel, kemudian memutuskan proses pertumbuhan, perkembangan dan diferensiasi pada sel tersebut (Abbas, 2012)
Gambar 2.8. Teori Mekanisme Disfungsi dan Pemulihan Organ (Gellerich et al, 2002)
Universitas Sumatera Utara
37
Pada kasus-kasus penyakit kritis kronis yang mengalami proses inflamasi yang lama akan terjadi fase dimana efek neuroendokrin yang terjadi akan menyebabkan mitokondria sel yang berfungsi sebagai sumber energi metabolisme akan mengalami penurunan aktivitas (shutdown phase) hingga terjadi disfungsi sel, yang dampaknya akan mengakibatkan gangguan metabolisme organ-organ vital (metabolic shutdown). Pada fase ini terjadi proses gangguan/disfungsi fisiologis dan biokimiawi organ-organ vital yang bila berlanjut akan mengakibatkan terjadinya gangguan organ multipel (MOF) dan sebaliknya bila fase tersebut berhasil dilewati akan terjadi proses biogenesis yang mengembalikan fungsi mitokondria menjadi normal kembali (mitochondrial recovery) seperti pada gambar 2.8 (Gellerich et al, 2002) Seiring dengan perkembangan riset dan teknologi yang semakin maju, ditingkat seluler ataupun molekuler saat ini dikenal berbagai jalur sinyal sel (cell signaling pathway) yang mampu menjelaskan tentang mekanisme respons selular pada faktor pertumbuhan dan metabolisme sel yang terjadi baik dalam kondisi normal ataupun patologis. Salah satu jalur
(pathway)
metabolisme sel
yang berperan penting dalam pertumbuhan
dan
dikenal dengan jalur sinyal mammalian target of
Rapamycin (mTOR) signaling pathway (Gambar 2.9). Dari gambar tersebut diketahui bahwa faktor pertumbuhan (growth factors), hormon dan sitokin dapat mempengaruhi jalur sinyal mTOR. Dengan kata lain pemberian preparat atau substrat growth factors, hormon atau sitokin
Universitas Sumatera Utara
38
akan berpengaruh terhadap ekspresi mTOR yang dapat digunakan sebagai penanda metabolik dan survival sel.
Gambar 2.9. Jalur Sinyal mTOR (Cell Signaling Tech, 2010. www.cellsignal.com)
Universitas Sumatera Utara
39
Bila pemberian preparat hormon ditransformasikan dalam jalur sinyal mTOR (gambar 2.9) dapat dihasilkan gambaran skematis sebagai berikut:
RESEPTOR HORMON INSULIN (+)
RESEPTOR GROWTH HORMONE
RESEPTOR HORMON ANDROGEN NUKLEAR
(+) (+)
IGF 1 (+) IRS 1
(+)
(+) PI3K (+)
(-)
Akt (+)
SEL
mTOR (+) p70S6K (+) Metabolisme
NUKLEUS Protein
Karbohidrat
Lemak
SURVIVAL Keterangan : (+) Aktivasi ; (-) Inhibisi
Gambar 2.10. Skema jalur metabolik dan survival sel normal
Universitas Sumatera Utara
40
Dalam kondisi penyakit kritis dan kronis (contoh : sepsis), jalur sinyal diatas akan mengalami perubahan baik aktivasi maupun inhibisi.
SEPSIS RESEPTOR HORMON INSULIN
RESEPTOR GROWTH HORMONE
(-)
(-)
RESEPTOR HORMON ANDROGEN NUKLEAR
(-)
IGF 1 ↓ (+) (-) IRS 1 ↓
(-)
PI3K ↓
(-)
(-) (+)
Akt ↓ (-)
SEL
mTOR↓ (-) p70S6K ↓ (-) Metabolisme ↓
NUKLEUS Protein↓
Lemak↓
Karbohidrat↓
SURVIVAL ↓ Keterangan : (+) Aktivasi ; (-) Inhibisi
Gambar 2.11. Skema jalur metabolik dan survival sel pada kondisi sepsis
Universitas Sumatera Utara
41
2.1.6.2.1 Mammalian target of rapamycin (mTOR) mTOR, yang juga disebut sebagai FKBP12-rapamycin-associated protein (FRAP), adalah suatu enzim serine/threonine kinase dengan berat molekul 280 kDa. (Wullschleger et al, 2006; Abraham and Gibbons, 2007; Guertin and Sabatini, 2007), aktivitas mTOR kinase dapat dicetuskan oleh berbagai stimulus baik ekstra maupun intraseluler seperti faktor-faktor tropik, mitogen, hormon, asam amino dan stress seluler (Hay and Sonenberg, 2004; Reiling and Sabatini, 2006). Sebagai respon terhadap stimulus, mTOR memodulasi sejumlah proses seluler penting, misalnya translasi protein dan autophagi, dengan cara memfosforilasi molekulmolekul dibawah (downstream) lintasannya (Fang et al, 2001). mTOR adalah suatu molekul katalitik nuklear yang terdiri dari dua kompleks sub unit : mTORC1 dan mTORC2 (Wullschleger et al, 2006). mTORC1 terdiri dari mTOR, Raptor, mLST8 dan PRAS40 (suatu mTOR inhibitor). Kompleks ini menggambarkan gambaran klasik mTOR sebagai sensor energi nutrien dan prasyarat untuk sintesa protein (Hay and Sonenberg, 2004; Kim et al, 2002). Penurunan tingkat nutrisi, faktor pertumbuhan dan stress seluler akan menghambat aktifitas mTORC1 (Fang et al, 2001; Kim et al, 2002) dan p70 S6 Kinase1 (S6K1). Aktivasi mTORC1 menunjukkan signal inhibisi umpan balik negatif
terhadap P13K (Takano et al, 2001).
mTORC2 terdiri dari mTOR, Rictor, MLST8 dan mSIN1 (Frias et al, 2006; Sarbassov et al, 2004). Berbeda dengan mTORC1, aktivasi mTORC2 dapat menginduksi fosforilasi Akt pada Serine 473 dan mengakibatkan signal umpan balik positif pada kaskade signaling PI3K (Sarbassov et al,
Universitas Sumatera Utara
42
2005). Meskipun mTORC2 diidentifikasi suatu kompleks yang sensitif
terhadap
rapamycin
(rapamycin-insensitive),
efek
tidak inhibisi
rapamycin terhadap mTOR bebas tampak ditemukan pada beberapa jalur sel yang ada (Frias et al, 2006; Sarbassov et al, 2004).
2.1.6.2.2 p70S6K Protein ribosom S6 kinase (p70 S6K) 70 kDa ialah sebuah kinase serine/ threonine. Dalam kelompok S6K terdapat dua buah yang sangat homolog yaitu S6K1 dan S6K2. Kedua S6K tersebut termasuk ke dalam kelompok AGC dari kinase serine\/ threonine dan keduanya dapat diaktivasi sebagai respon terhadap berbagai stimulus, seperti growth factor, insulin dan sitokin. Dalam hal ini S6K memfosforilasi substratnya termasuk protein ribosom S6, elF4B, dan SKAR. Diketahui bahwa aktivitas S6K dapat dikendalikan oleh mammalian target of rapamycin (mTOR) (Brown et al, 1995). Lalu kemudian fosforilasi langsung dari S6K1 oleh mTOR telah dikonfirmasi (Burnett et al, 1998; Isotani et al, 1999). Maka aktifitas S6K sensitif terhadap rapamycin (Price et al, 1992). Namun, sensitivitas S6K terhadap rapamycin kadang berubah-ubah. S6K menjadi tidak sensitif terhadap rapamycin ketika situs T412 terfosforilasi (Weng et al, 1998). Hingga belakangan ini raptor telah terbukti sebagai penyebab fosforilasi T412 (Nojima et al, 2003). Selain itu S6K−/− hewan menunjukkan masa hidup lebih pendek dan ukuran lebih kecil daripada yang terdapat pada hewan liar. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa fenomena ini akibat dominasi dari kontrol S6K pada pertumbuhan sel daripada proliferasi (Montagne et al, 1999). Saat ini, S6K juga dikaitkan
Universitas Sumatera Utara
43
dengan berbagai penyakit serius. Contohnya, S6K1 menunjukkan ekspresi berlebihan pada pasien kanker payudara (Barlund et al, 2000). Dengan pemahaman tentang pentingnya S6K pada penyakit manusia, permintaan untuk inhibitor spesifik-S6K meningkat pesat. Untungnya, inhibitor baru khusus untuk S6K1, yaitu PF-4.708.671 pada saat yang sama telah dikembangkan untuk memfasilitasi studi tentang fungsi dari S6K1, dan S6K2 (Pearce et al, 2010).
2.1.6.2.3 Prealbumin Menentukan kadar prealbumin (transthyretin), suatu protein hepatik, merupakan metode yang sensitif dan cost-effective untuk menilai derajat keparahan suatu penyakit akibat malnutrisi pada pasien sakit kritis atau penyakit kronis. Kadar prealbumin telah terbukti berkorelasi dengan kondisi akhir yang terlihat pada pasien dan merupakan prediktor yang akurat bagi kesembuhan pasien. Pada pasien risiko tinggi, kadar prealbumin yang diperiksa dua kali seminggu selama perawatan di rumah sakit dapat memberikan informasi bagi dokter yang merawat mengenai perburukan status
gizi, perbaikan hasil akhir pada pasien, dan
mempersingkat masa rawatan di rumah sakit. Jika dibiarkan tanpa terdiagnosis, malnutrisi kalori-protein dapat mengakibatkan meningkatnya resiko kesakitan dan kematian (Beck, 2002) Sejak dulu albumin telah digunakan sebagai penanda (marker) favorit untuk menilai kadar protein, namun pada penelitian terkini albumin dinilai terlalu lambat memberikan respon pada penderita dengan terapi nutrisi karena waktu paruh (half-life)-nya hingga 21 hari. Prealbumin
Universitas Sumatera Utara
44
mempunyai half life hanya 2 hari, oleh karena itu memberikan respon yang cepat pada kondisi penurunan nutrisi yang disebabkan tidak adekuatnya masukan dan nutrisi pasien. Diketahui juga prealbumin mempunyai kadar triptofan yang tinggi, yang memegang peran kunci dalam sintesis protein, salah satu komponen asam amino essensial dan non essensial dari suatu protein tubuh (Leonard, 2001)
Tabel 2.2. Karakteristik protein plasma yang digunakan sebagai penanda nutrisi
Prealbumin telah dipakai untuk menilai feabilitas, sensitifitas, dan spesifisitas konsentrasi marker serum protein pasien malnutrisi pada penelitian dengan melihat efek perubahan dari pemberian nutrisi dengan membandingkan semua metode SGA, PINI, serum PAB dan RBP dengan metoda DNA. Maka didapatkan hasil. dengan metode DNA 41% pasien diklasifikasikan sebagai malnutrisi ringan (mild malnutrition) dan 19% diklasifikasikan Pemeriksaan
sebagai serum
PAB
malnutrisi
berat
(severe
dengan
standar
metode
malnutrition). DNA
sendiri
Universitas Sumatera Utara
45
memperlihatkan (concordance index 76.8%), sensitifitas / spesifisitas yang tinggi (83,1% / 76,7%) dibandingkan dengan SGA dan PINI (Gianluigi, 2006) Pada pasien dengan penyakit kritis kadar prealbumin yang sangat rendah adalah khas dan berhubungan terbalik dengan nilai CRP (Clark, 1996). Oleh karena itu respon peningkatan prealbumin pada pemberian nutrisi sangat masuk akal bila diinterpretasikan sebagai tanda peningkatan status metabolik atau status nutrisi. Pada beberapa penelitian perubahan konsentrasi prealbumin berhubungan dengan balans Nitrogen
(Casati,
1998). Suatu observasi ketat telah dilakukan pada pasien yang dirawat di ICU yang mendapat masukan nutrisi secara adekuat memperlihatkan peningkatan konsentrasi prealbumin 40 mg/l selama satu minggu. Pada kontrol group yang menerima masukan secara tidak adekuat tetap memperlihatkan peningkatan tetapi sangat kecil 20 mg/l, konsentrasi CRP tampak menurun banyak (Bauer, 2000). Pada
penelitian di satu ICU
adanya kehilangan total protein tubuh memerlukan observasi yang lama untuk meningkatkan konsentrasi prealbumin dan menurunkan kadar CRP (Clark, 1996). Walaupun demikian kemungkinan pasien dengan defisit 200-400 Kkal perhari tetap dapat meningkatkan kadar protein viseral yang berhubungan dengan penurunan keadaan SIRS, masukan nutrisi yang kurang dari yang dibutuhkan tidak dapat membantu proses anabolik protein otot. Ini merupakan kunci dari tujuan pemberian bantuan nutrisi secara adekuat (Raguso, 2003)
Universitas Sumatera Utara
46
2.1.7
Diagnosis Sepsis Berdasarkan kriteria Bone (1992), menurut gejala dan tanda
klinisnya, pasien sepsis ditandai dengan manifestasi dua atau lebih keadaan sebagai berikut : 1.
Suhu lebih >38oC atau <36oC
2.
Frekuensi denyut jantung >90 x/menit
3.
Frekuensi pernapasan >20 x/menit atau PaCO2<32mmHg
4.
Hitung lekosit >12.000/mm3, <4.000/mm3 atau ditemukan >10% sel darah putih muda (batang),
disertai terbukti adanya infeksi seperti pneumonia, infeksi abdomen, infeksi saluran kencing atau infeksi pada jaringan kulit dan subkutis. Paru adalah organ yang paling sering ditemukan mengalami infeksi, diikuti oleh abdomen dan saluran kemih, tetapi pada 20-30% penderita lokasi pasti terjadinya infeksi tidak dapat ditentukan. Pada sepsis, pemeriksaan mikrobiologi tidak selalu menunjukkan adanya kuman positif. Kultur darah positif hanya terdapat pada kurang lebih 30% (Wheeler and Bernard, 1999). Jika selain tanda2 diatas terpenuhi, ditemukan juga adanya gangguan fungsi salah satu organ misalnya ditemukan gangguan fungsi ginjal yang akut, atau ditemukan gangguan fungsi paru dengan gejala sesak nafas sampai memerlukan terapi oksigen, atau ditemukan adanya gangguan sistim pembekuan darah akut seperti perdarahan spontan biasanya dari saluran cerna atau kulit, maka stadium ini disebut sepsis berat (Severe Sepsis). Sepsis berat akan berkembang lagi menjadi syok
Universitas Sumatera Utara
47
sepsis (Septic Shock), yaitu kriteria sepsis berat tadi disertai dengan hipotensi yaitu tekanan sistolik < 90 mmHg meski telah di berikan resusitasi cairan, dan atau di temukan kadar laktat darah > 4 mmol/L. (Bone, 1992).
Gambar 2.12. Derajat Sepsis (Bone, 1992)
Perjalanan stadium sepsis menjadi sepsis berat dan terakhir syok sepsis ini bersifat progresif dari ringan sampai berat dan fatal. Namun demikian kecepatan dan beratnya kondisi sangat tergantung juga dari faktor usia dan adanya penyakit kronik sebelumnya atau faktor intervensi seperti prosedur tindakan atau operasi. Sama halnya dengan serangan jantung atau stroke akut, kecepatan dan keadekuatan terapi awal sejak penyakit ini mulai berkembang sangat mempengaruhi hasil akhir.
Universitas Sumatera Utara
48
Penderita yang termasuk rentan terhadap sepsis seperti : usia lanjut, malnutrisi, imunodefisiensi, kanker, penyakit kronik, trauma, luka bakar, diabetes melitus, prosedur invasif, pemakaian imunosupresi dan transplantasi (Bone et al, 1992)
2.1.8
Penatalaksanaan Tujuan utama adalah menghilangkan sumber infeksi, memperbaiki
dan mengembalikan perfusi jaringan, memperbaiki dan mempertahankan fungsi ventrikel dan upaya suportif lain. Penanganan renjatan septik terdiri atas langkah-langkah :
2.1.8.1 Resusitasi cairan Resusitasi cairan merupakan lini pertama dari penatalaksanaan sepsis. Resusitasi cairan ini dapat menggunakan cairan kristaloid atau koloid (Kreimmer and Peter, 1998). Sampai saat ini belum didapatkan bukti bahwa salah satu jenis cairan tersebut lebih baik dibandingkan yang lain. Kristaloid membutuhkan jumlah cairan yang lebih baik dibandingkan yang lain. Kristaloid membutuhkan jumlah cairan yang lebih banyak (dua sampai
tiga
kali)
dibandingkan
koloid
dalam
memberikan
efek
hemodinamik dan dapat menyebabkan edema perifer (Kvetan et al, 1998).
2.1.8.2 Oksigenisasi dan bantuan ventilasi Oksigen harus diberikan pada penderita sepsis terutama syok septik. Bila syok septik menetap selama 24-48 jam perlu dipertimbangkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik (Astiz and Rackow, 1998;
Universitas Sumatera Utara
49
Kvetan et al, 1998). Pada sindrom gagal napas (ARDS = Acute/Adult Respiratory Distress Syndrome) sebagai komplikasi dari sepsis diberikan bantuan ventilasi dengan PEEP (Positive End Expiratory Pressure) untuk mencegah kolaps alveoli (Wheeler and Bernard, 1999).
2.1.8.3 Antibiotika Semua sumber infeksi harus dihilangkan. Pemilihan antibiotika tidak perlu menunggu hasil biakan kuman dan pada awalnya diberikan antibiotika spektrum luas. Pemilihan antibiotika ditentukan oleh lokasi dan hasil yang terbaik secara empirik dari dugaan kuman penyebab (bestguess). Bila sumber infeksi tidak jelas, semua dugaan bakteri yang dapat menimbulkan sepsis harus dilenyapkan: bakteri Gram negatif, Gram positif, anaerob dan pada hal tertentu dipikirkan pula jamur sistemik. Panduan pemilihan antibiotika pada sepsis : 1. Pengobatan awal aminoglikosid ditambah salah satu sefalosporin generasi ke-3 (seftriakson, sefotaksim, sefoperazon atau seftazidim), tikarsilin-asamklavulanat, imipenem-cilastatin 2. Bila dicurigai MRSA (Methicillin Resistance Staphylococcus Aureus): ditambah vankomisin, rifampisin 3. Infeksi intraabdominal ditambah metronidazol atau klindamisin untuk kuman anaerob 4. Infeksi saluran kemih 5. Neutropenia : monoterapi dengan seftazidim, imipenem/meropenem
Universitas Sumatera Utara
50
2.1.8.4 Vasoaktif dan inotropik Vasoaktif dan inotropik diberikan pada syok septik setelah resusitasi cairan adekuat. Noradrenalin (norepinefrin) dan dopamin dapat diberikan dan perlu dipertimbangkan ditambah dengan dobutamin. Pada penderita dengan takiaritmia noradrenalin lebih baik dibandingkan dengan dopamin, selain itu dapat diberikan fenilefrin. Pemakaian dopamin dosis rendah tidak didapatkan bukti kuat akan memperbaiki fungsi ginjal. Adrenalin walaupun dapat meningkatkan tekanan darah tidak dianjurkan karena akan menyebabkan gangguan pada perfusi splanknik dan metabolisme jaringan termasuk meningkatkan produksi asam laktat.
2.1.8.5 Nutrisi Dukungan nutrisi diperlukan pada penderita sepsis karena mempunyai kebutuhan kalori dan protein yang tinggi. Saat ini masih terjadi perdebatan mengenai kapan dimulai nutrisi enteral, komposisi dan jumlah yang diberikan. Nutrisi enteral dapat ditunda untuk beberapa saat sampai keadaan stabil (misal : 1-2 hari), keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain dapat dipertahankan buffer pH lambung dan mukosa usus, menghindari translokasi bakteri dari usus ke sirkulasi dan menghindari pemakaian kateter nutrisi parenteral yang akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi baru (Wheeler and Bernard, 1999).
2.1.8.6 Bantuan suportif lain Transfusi darah harus dipertimbangkan pada Hb < 8,0 g/ dl dan diusahakan dipertahankan antara 8,0-10,0 g/dl. Belum didapatkan bukti
Universitas Sumatera Utara
51
bahwa Hb > 10 g/dl akan memperbaiki konsumsi oksigen pada penderita dengan renjatan septik. Perlu diperhatikan bahwa resusitasi cairan akan menyebabkan hemodilusi, pemberian transfusi sel darah merah akan meningkatkan viskositas darah yang akan mengganggu mikrosirkulasi aliran darah pada penderita sepsis dan risiko karena transfusi seperti reaksi transfusi dan infeksi (Kvetan et al, 1998) Koreksi gangguan asam basa dan regulasi gula darah perlu dipertimbangkan terutama bila terdapat gangguan asam basa yang berat dan hiperglikemia atau hipoglikemia (Kvetan et al, 1998). Pemberian profilaksis terhadap stress ulcer dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton diindikasikan pada penderita dengan risiko tinggi, seperti yang sedang menggunakan ventilator dan tidak dapat diberikan nutrisi secara enteral (Wheeler and Bernard, 1999). Heparin biasa dan heparin dosis rendah dapat diberikan bila tidak terdapat kontraindikasi untuk pencegahan terjadinya trombosis vena dalam (Wheeler and Bernard, 1999). . 2.2
Somatotropin dan Testosteron
2.2.1
Somatotropin Somatotropin atau Growth Hormone (GH) diproduksi oleh sel
somatotroph di kelenjar hipofise anterior secara pulsatil. Sekresi GH dikontrol oleh dua hormon, yaitu Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) yang merangsang sekresi, dan somatostatin atau Somatotropin Release Inhibiting Factor (SRIF) yang menghambat sekresi. Kebanyakan sekresi GH terjadi pada malam hari ketika pelepasan somatostatin
Universitas Sumatera Utara
52
berkurang. Ada juga GHRH yang lain yaitu ghrelin, yang dilepaskan dari lambung dan bekerja langsung pada sel somatotroph sehingga sekresi GH meningkat (Pangkahila, 2007).
2.2.1.1 Sintesis, struktur kimia dan karakteristik umum Kelenjar hipofise anterior secara embriologis berasal dari kantong ektoderm stomodeum, yang dikenal sebagai kantong Rathke (Sadler, 2004). Somatotroph adalah sel terbanyak jumlahnya pada hipofise dan terkonsentrasi pada bagian sayap lateralnya (Berne, 2000).
Gambar 2.13. Struktur Kimia HGH (Goldman, 2007)
GH juga dikenal sebagai Human Growth Hormone (HGH), Somatotropic Hormone (STH) dan Somatotropin. Disimpan dalam jumlah besar di kelenjar hipofise manusia dan hipofise normal berisi 3-5 mg GH. Sekresi GH sekitar 500-875 μg perhari (Wilson, 2003).
Universitas Sumatera Utara
53
Pelepasan pulsatil terjadi 4-8 kali pada saat setelah makan atau gerak badan dan selama tidur gelombang lambat, sedangkan waktu paruh hormon di plasma adalah 20-30 menit (Wilson, 2003).
2.2.1.2 Regulasi sekresi GH Regulasi sekresi GH/HGH yang dihasilkan oleh kelenjar hipofise anterior secara pulsatil diyakini berbeda antara anak-anak dan dewasa. Keyakinan ini telah dibuktikan jauh dari kebenaran, karena setelah masa remaja sekresi berlanjut pada nilai sama besar dengan masa kanak-kanak (Ganong, 2005)
Gambar 2.14. Regulasi sekresi HGH (Ganong, 2005; Besser & Thorner, 2007)
Sekresi GH dalam 24 jam yang tertinggi terjadi pada masa pubertas, dan menurun dengan bertambahnya usia (Pangkahila, 2007). Nilai sekresi GH dapat meningkat dalam menit berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
54
keadaan nutrisi individu atau stres selama kelaparan, hipoglikemia, latihan fisik, kegembiraan atau trauma (Ganong, 2005). Banyak faktor yang mempengaruhi sekresi GH. Sekresi terbesar sekitar 70%-nya terjadi pada episode pertama pada gelombang tidur slowwave. Penurunan gelombang tidur slow-wave dari dewasa muda ke setengah
baya
adalah
parallel
dengan
penurunan
sekresi
GH,
menunjukkan bahwa perubahan axis GH dapat mencerminkan adanya penurunan kualitas tidur (Van Cauter et al,1998). Jet lag secara transien dapat juga meningkatkan sekresi GH , sehingga sekresi GH dalam 24 jam secara transien ikut meningkat. Olah raga dan stress fisik, termasuk trauma dengan syok hipovolemik dan sepsis, meningkatkan level GH (Vigas et al, 1997).
Gambar 2.15. Efek puasa pada sekresi GH pada subyek pria sehat (Hartman et al,1992)
Universitas Sumatera Utara
55
Obesitas menurunkan level basal dan sekresi GH, kondisi hipoglikemi yang disebabkan oleh insulin juga dapat menstimulasi GH, dan hiperglikemi menghambat sekresi GH. Namun, hiperglikemi kronik tidak berkaitan dengan level GH yang rendah, sebaliknya pada kenyataannya,
diabetes
yang
tidak
terkontrol
berkaitan
dengan
peningkatan level basal GH dan level sekresi GH yang terinduksi oleh olah raga. Makanan tinggi protein dan asam amino intravena (termasuk arginine dan leucine) menstimulasi sekresi GH (Cassanueva and Dieguez, 1999). Leptin mempunyai peranan yang penting dalam mengatur massa lemak tubuh, makanan yang dikonsumsi, dan penggunaan energi serta dapat beraksi sebagai sinyal metabolik yang meregulasi sekresi GH (Carro et al, 1997). Leptin dan Neuropeptida-Y menginduksi pelepasan GH. Pada dewasa yang defisiensi GH, konsentrasi leptinnya lebih tinggi dari yang diperkirakan bila diukur dari masa lemak tubuh (Al-Shoumer et al, 1997). Neuropeptida, neurotransmiter dan opiat berpengaruh pada hipotalamus dan memodulasi pelepasan GHRH dan SRIF. Efek yang terintegrasi dari neurogenik kompleks ini mempengaruhi pola sekresi dari GH. Apomorfin, reseptor dopa agonis, menstimulasi sekresi GH, seperti pada terapi levodopa. Norepinefrin, klonidin, arginin, olah raga, L-dopa, hormone
antidiuretik,
endorphin,
enkefalin,
galanin,
neurotensin,
polipeptida intestinal vasoaktif, motilin, kolesistokinin dan glukagon
Universitas Sumatera Utara
56
mempunyai efek yang positif terhadap sekresi GH (Kronenberg et al, 2007). Isolasi ghrelin mempunyai efek kontrol terhadap regulasi sekresi GH. Ghrelin adalah sebuah asam amino peptida yang mengikat reseptor secretagogue GH untuk menginduksi GHRH hipotalamus dan GH hipofise (Kojima dkk, 1999). Ghrellin disintesa di jaringan perifer, khususnya pada sel neuroendokrin mukosa lambung, sama seperti secara sentral dari hipotalamus (Kronenberg et al, 2007). Sel somatotroph mengekspresikan reseptor spesifik untuk GHRH, sekretagog GH, dan reseptor SRIF subtipe 2 dan 5, yang memediasi sekresi GH (Shimon et al, 1997). SRIF dan GHRH hipotalamik disekresikan
pada
gelombang
independen
dan
bersama-sama
berinteraksi dengan penambahan sekretagog GH untuk menghasilkan pulsasi pelepasan GH. GHRH secara selektif menginduksi transkripsi gen GH dan pelepasan hormon dan tidak menginduksi hormon hipofise anterior atau usus yang lain (Barinaga et al, 1993). SRIF mensupresi GH basal dan pulsasi GH yang distimulasi oleh GHRH, namun tidak mempengaruhi biosintesis GH. Pemberian GHRH pada dewasa normal menunjukkan peningkatan kadar GH serum yang cepat, dengan nilai yang lebih tinggi lebih banyak terjadi pada wanita. Meskipun GHRH yang matur terdiri dari 44 asam amino, aktifitas pelepasan GH terjadi pada proteolitik bentuk pendek 1-37 dan 1-40 dan N-terminus. GHRH disebut juga mempunyai aktifitas mitotik (Kronenberg et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara
57
Pemberian glukokortikoid secara akut akan menstimulasi sekresi GH, dan terapi pemberian steroid jangka panjang akan menghambat GH. Pada kasus hipertiroid, didapatkan kadar GH yang rendah namun dapat menjadi normal kembali saat berada pada kondisi eutiroid, menunjukkan bahwa hormon tiroid menekan sekresi GH (Kronenberg et al, 2007). Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa keseimbangan faktorfaktor yang menstimulasi dan menginhibisi inilah yang akan menentukan pelepasan GH. Faktor yang menstimulasi sekresi GH adalah : 1. Hormon peptida Growth
hormone
releasing
hormone
(GHRH
disebut
juga
somatocrinin) melalui ikatan dengan growth hormone releasing hormone receptor (GHRHR) (Lin and Wajnrach, 2002). Ghrelin melalui ikatan dengan growth hormone secretagogue receptors (GHSR)(Wren et al, 2000) 2. Hormon sex (Meinhardt and Ito, 2006). Meningkatkan sekresi androgen selama masa puber (pada laki-laki di testis dan pada perempuan di korteks adrenal) Estrogen 3. Clonidine dan L-DOPA melalui stimulasi pelepasan GHRH (Low, 1991). 4. Hipoglikemia, arginin (Alba et al, 1998) dan propanolol dengan menghambat pelepasan somatostatin (Low, 1991). 5. Tidur yang dalam (Van Cauter et al, 2004). 6. Puasa (Norrelund, 2005) 7. Olah raga anaerob (Kanaley et al, 1997).
Universitas Sumatera Utara
58
Gambar 2.16. GH axis (Kronenberg et al, 2007)
Inhibitor sekresi GH antara lain adalah : 1.
Somatostatin dari nukleus periventrikular (Guillemin and Gerich, 1976)
2.
Konsentrasi GH dan IGF-1 yang ada di sirkulasi (feedback negatif pada hipofise dan hipotalamus) (Powers, 2005)
3.
Hiperglikemi (Low, 1991)
Universitas Sumatera Utara
59
4.
Glukokortikoid (Allen, 1996)
5.
Dihidrotestosteron
Selain itu untuk mengendalikan secara endogen dan merangsang proses stimulinya, beberapa bahan dari luar tubuh (xenobiotics seperti obatobatan dan endocrine disruptors) juga diketahui mempengaruhi sekresi dan fungsi GH (Scarth, 2006). HGH disintesis dan disekresi dari hipofise anterior secara pulsatil sepanjang hari, interval sekresi terjadi setiap 3-5 jam (Powers, 2005). Konsentrasi GH dalam plasma yang tertinggi berkisar antara 5 – 45 ng/mL. Kadar tertinggi ini terjadi pada saat sekitar 1 jam di awal tidur (Takahashi dkk, 1968). Di samping itu terdapat variasi pada hari yang berbeda maupun pada individu yang berbeda pula. Hampir 50% sekresi HGH terjadi pada tahap 3 dan 4 REM tidur (Mehta et al, 2002). Di antara kadar tertinggi , kadar GH basal adalah rendah, biasanya kurang dari 5 ng/mL untuk sepanjang siang dan malam hari (Takahashi et al, 1968). Analisa lain menunjukkan profil pulsatil GH di kebanyakan kondisi adalah kurang dari 1 ng/mL pada kondisi basal sedangkan kadar tertingginya adalah sekitar 10-20 ng/mL (Nindl et al, 2001; Juul et al, 1995). Faktor-faktor lain yang diketahui juga berpengaruh terhadap sekresi HGH, antara lain adalah umur, jenis kelamin, pola makan, olah raga, stress dan hormon lainnya (Powers, 2005). Dewasa muda mensekresikan HGH sekitar 700μg/hari, sedangkan dewasa sehat mensekresikan sekitar 400 μg/hari (Gardner et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara
60
2.2.1.3 Fungsi Growth Hormone (GH) GH berbeda dengan hormon-hormon lainnya, tidak berfungsi pada organ sasaran tertentu melainkan berpengaruh terhadap seluruh atau hampir seluruh jaringan tubuh (Guyton, 1994). Efek GH pada jaringan tubuh dapat dijelaskan sebagai bahan anabolik (pembentukan). Seperti hormon protein yang lain, GH bekerja melalui interaksinya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel. GH yang juga disebut sebagai hormon somatotropik (SH) atau somatotropin, merupakan molekul protein kecil yang terdiri atas 191 asam amino yang dihubungkan dengan ratai tunggal dan mempunyai berat molekul 22.005. Hormon ini menyebabkan pertumbuhan seluruh jaringan tubuh yang memang mampu untuk bertumbuh. Hormon ini menambah ukuran sel dan meningkatkan proses mitosis yang diikuti dengan bertambahnya jumlah sel (Ganong, 2005). Dalam menjalankan fungsinya untuk menambah tinggi tubuh pada anak-anak dan dewasa, GH mempunyai banyak efek lain pada tubuh yakni : 1. Meningkatkan retensi kalsium, dan memperkuat serta meningkatkan mineralisasi tulang. 2. Meningkatkan massa otot melalui sarkomer hiperplasia. 3. Memacu lipolisis. 4. Meningkatkan sintesa protein. 5. Merangsang pertumbuhan organ internal kecuali otak. 6. Berperan dalam homeostasis energi.
Universitas Sumatera Utara
61
7. Mengurangi uptake glukosa di hepar. 8. Meningkatkan glukoneogenesis di hepar (King, 2006). 9. Ikut berperan dalam memelihara dan mempertahankan fungsi pankreas 10. Menstimulasi sistem pertahanan tubuh. Selain bekerja untuk pertumbuhan, GH juga mempunyai fungsi metabolik. GH memperoleh sinyal intraselular melalui reseptor perifer dan menginisiasi kaskade fosforilasi yang mengikutsertakan alur JAK/STAT (Carter et al, 1996). Hal-hal yang melibatkan GH sebagai fungsi metabolik : 1. Peningkatan kecepatan sintesis protein di seluruh sel tubuh. 2. Peningkatan pengangkutan asam lemak dari jaringan lemak dan meningkatkan penggunaan asam lemak untuk energi. 3. Menurunkan kecepatan pemakaian glukosa di seluruh tubuh. Jadi efek GH adalah meningkatkan protein tubuh, mengunakan lemak dari tempat penyimpanannya, dan menghemat karbohidrat. Mungkin naiknya kecepatan pertumbuhan itu terutama disebabkan oleh naiknya kecepatan sintesis protein (Guyton, 1994). Di dalam hati terdapat banyak sekali reseptor GH, dan beberapa jaringan perifer juga mempunyai jumlah reseptor yang cukup banyak, termasuk jaringan otot dan lemak (Brown et al, 2005).
2.2.1.4 Peran GH dalam meningkatkan penyimpanan protein. Walaupun penyebab utama kenaikan penyimpanan protein yang disebabkan hormon pertumbuhan tidak diketahui, namun ada serangkaian efek yang berbeda telah diketahui, yang semuanya dapat menjadi
Universitas Sumatera Utara
62
penyebab naiknya jumlah protein. Selain berbagai faktor di atas, dengan bertambahnya usia, amplitudo GH pulse berkurang, baik pada pria maupun wanita. Pada pria usia lanjut, sekresi GH berkurang 50% setiap 7 tahun setelah usia 18 – 25 tahun. Somatopause adalah istilah yang digunakan untuk penurunan kadar GH yang terus terjadi berkaitan dengan usia (Pangkahila, 2007)
2.2.1.5 Kekurangan GH Kekurangan GH pada dewasa dapat dikenali sebagai suatu sindroma yang cukup jelas (Salomon, et al., 1989). Defisiensi GH yang paling sering terjadi adalah defisiensi yang disebabkan oleh adanya gangguan pada hipofise, dan kekurangan GH ini akan menyebabkan perubahan
yang
negatif
pada
komposisi
tubuh,
faktor
resiko
kardiovaskuler, dan kualitas hidup (De Boer et al, 1995; Molitch et al, 2006). Harapan hidup akan berkurang pada pasien penderita gangguan hipofise dengan defisiensi GH yang mengakibatkan adanya gangguan kardiovaskuler dan aliran pembuluh darah otak , khususnya pada pasien wanita (Bulow et al, 2000).
2.2.1.6 Kelebihan GH Kelebihan GH dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan penebalan pada rahang, jari-jari tangan dan ibu jari kaki. Kondisi ini akan mengarah
pada
akromegali.
Gejala
lain
yang
menyertai
adalah
berkeringat, tekanan pada syaraf (contoh : carpal tunnel syndrome),
Universitas Sumatera Utara
63
kelemahan otot, kelebihan sex hormone binding globulin (SHBG), resistensi insulin atau diabetes tipe 2 meskipun jarang terjadi, dan penurunan fungsi seksual (Liu, 2006).
Gambar 2.17. GH-IGFBP-IGF axis dalam fungsi pertumbuhan (Kronenberg et al, 2007)
2.2.1.7 Efek samping dan kontraindikasi GH Ada teori yang menyatakan bahwa terapi GH dapat meningkatkan resiko terjadinya diabetes, khususnya pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi dan diberikan terapi dosis tinggi. Jika diberikan pada olahragawan usia muda (25 tahun atau kurang) dapat menyebabkan gejala yang cukup berat. Sebuah survei pada dewasa yang telah diterapi
Universitas Sumatera Utara
64
dengan GH cadaver (tidak lagi digunakan sejak tahun 1985) pada masa kanak-kanaknya menunjukkan peningkatan insiden kanker kolon dan prostat, namun kaitan langsung dengan GH masih belum diterbitkan. Pemberian extra GH secara regular dapat menunjukkan beberapa gejala efek samping yang negatif seperti pembengkakan sendi, nyeri sendi, carpal tunnel syndrome, dan peningkatan resiko terjadinya diabetes (Liu, 2006). Kontraindikasi mutlak adalah apabila dijumpai adanya suatu keganasan. Berbagai gejala yang muncul sebagai akibat terapi GH pada umumnya bersifat reversible, dengan menghentikan pemakaian atau dengan mengurangi dosis pemberiannya (Ahmad et al, 2001).
2.2.2
Testosteron Testosteron (17β-hydroxyandrost-4-en-3-one, MW 288) adalah
hormon androgen utama yang disintesis dalam testis, ovarium, dan korteks adrenal. Hormon ini berperan penting dalam perkembangan lakilaki normal dan dalam pemeliharaan karakteristik pria, termasuk kekuatan dan massa otot, massa tulang, libido dan spermatogenesis. Pada wanita, testosteron diperkirakan untuk mempengaruhi perkembangan pubertas, fungsi seksual, kepadatan tulang, massa otot, eritropoiesis, energi, fungsi kognitif, dan suasana hati. Biosintesis testosteron terjadi di dalam sel Leydig pada testis diatur oleh suatu rantai sinyal yang kompleks dimulai di otak. Rantai ini disebut sebagai sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad (HPG).
Hipotalamus
mengeluarkan
gonadotropin-releasinghormone
(GnRH) ke kelenjar hipofisis, yang memicu sekresi leutenizing hormone
Universitas Sumatera Utara
65
(LH)dari kelenjar hipofisis. Leutenizing hormone merangsang sel Leydig dari testis untuk memproduksi testosteron (Dandona et al, 2009). Laki-laki dewasa muda mengalami periode diurnal sekresi testosteron, tinggi pada jam 08.00 dan sekitar jam 20.00. Kadar semakin meningkat setelah berolahraga. Pada wanita, kadar testosteron berkisar antara 5 -10 % dari kadar testosteron pria (Ganong, 2005). Prekursor langsung bagi hormon steroid adalah kolesterol, proses pembentukan testosteron diawali dengan pengangkutan kolesterol ke membran interna mitokondria oleh protein Steroidogenic acute regulatory (StAR). Kolesterol kemudian mengalami proses oleh kerja enzim pemutus rantai samping
P450scc
lalu
terjadi
konversi
kolesterol
menjadi
pregnenolon. Pregnenolon akan dikonversi menjadi 17-OH pregnenolon dan progesteron. Lalu akan terbentuklah dehidroepianrosteron dari 17-OH pregnenolon dan androstenedion dari progesteron melalui 17-OH progesteron yang selanjutnya kedua prekursor androgen ini akan dikonversi menjadi androgen (Murray et al, 2003). Fungsi testosteron adalah virilisasi genitalia eksternal, sehingga individu 46,XX yang terpapar testosteron berlebihan akan mengalami virilisasi yang tingkatnya berbeda-beda untuk tiap individu (Stikkelbroeck, 2003; Sircili et al, 2006). Pada laki-laki, lebih dari 95% dari testosteron yang beredar disekresikan oleh testis, dengan tingkat produksi 6-7 mg per hari. Hampir setiap hari, pada laki-laki muda yang sehat pada tingkat maksimum 25 nmol/L (720 ng/dL) yang terjadi di pagi hari (sekitar pukul 08.00) dan
Universitas Sumatera Utara
66
tingkat minimum 15 nmol/ L (430 ng/dL) terjadi pada malam hari (sekitar pukul 22.00). Dalam jaringan perifer (termasuk kulit dan jaringan adiposa), beredar testosteron enzimatis berubah dari 5
-reduktase dan aromatase
menjadi metabolit aktif, dehydrotestosterone (DHT) dan estradiol (E2). Pada
pria
normal,
menghasilkan
ratio
plasma
masing-masing
DHT/testosteron dan E2/testosteron adalah 1:10 dan 1:200. Pada wanita, hanya sejumlah kecil testosteron disintesis di ovarium dan adrenal. Pada wanita sehat premenopause memproduksi sekitar 300 mg testosteron per hari, sekitar 5% dari produksi harian pada pria. (Leichtnam et al, 2006). Testosteron dalam darah dapat dibedakan atas tiga bentuk: bentuk bebas (free), bentuk terikat dengan albumin, dan bentuk terikat dengan globulin (SHBG). Yang berperan aktif dalam metabolisme adalah bentuk bebas (1-2%), sedangkan bentuk terikat dengan albumin (25–60%) berpotensi menjadi aktif karena lebih mudah menjadi bentuk bebas, bila dibandingkan dengan bentuk terikat dengan globulin (35–75%) (Leichtnam et al, 2006). Dalam keadaan normal, seorang pria mempunyai testosteron bebas 1-2%, testosteron terikat dengan globulin (Sex-Hore-Binding Globulin/SHBG) dengan afinitas tinggi sekitar 30%, dan sisanya terikat dengan afinitas rendah dengan albumin. Hanya testosteron bebas yang dapat
masuk
ke
jaringan
tubuh
dan
mengerahkan
dampaknya.
Testosteron yang terikat dengan albumin bisa menjadi bebas dalam pembuluh darah kecil, dan memberikan suatu efek biologis. Namun, testosteron yang tetap terikat pada SHBG tidak dapat mengerahkan efeknya (Gurbuz et al, 2008 ; Basaria et al, 2010)
Universitas Sumatera Utara
67
Makhside (2005) menyampaikan bahwa
rendahnya tingkat
testosteron dan SHBG secara signifikan berkorelasi dengan Mets dan komponen yang terkait (termasuk ukuran BMI, lingkar pinggang, dan rasio pinggang-tinggi). Secara khusus, Laaksonen et al, (2003) menunjukkan bahwa pria dengan Mets (kriteria WHO) 19% testosteron total lebih rendah, 11% dihitung testosteron bebas lebih rendah, dan 18% SHBG lebih rendah dari kontrol. Para penulis menunjukkan bahwa testosteron total, testosterone bioavailable, dan SHBG yang berbanding terbalik dengan beberapa faktor risiko Mets. Hal ini menunjukkan bahwa testosteron total, testosterone bioavailable, dan SHBG yang berkorelasi positif dengan sensitivitas insulin yang lebih tinggi. Demikian pula, Robeva et al, (2006) menemukan testosteron total menjadi berkorelasi negatif dengan tingkat insulin, resistensi insulin, dan BMI pada pasien laki-laki dengan Mets.
2.3
Efek Neuroendokrin pada Sepsis Pada kondisi penyakit kritis (contoh : sepsis) baik pada fase akut
maupun kronik akan terjadi perubahan neuroendokrin pada tubuh, dimana dari tabel 2.3 berikut terlihat bahwa secara umum kadar neuroendokrin (hormon tubuh) pada fase akut tampak meningkat kemudian turun kembali pada fase lanjut/kronik, tetapi pada hormon testosteron dan hormon pertumbuhan (GH/IGF-1) tampak berbeda dimana kedua hormon tersebut kadarnya akan mengalami penurunan pada fase akut dan semakin menurun pada fase kronik.
Universitas Sumatera Utara
68
Level Hormon
Fase Akut
Fase Kronis
ACTH
↑
↓
CRF
↑
↓
Cortisol
↑
Variasi
FT3
↓
↓
FT4
↑
↓
Pulsatil TSH
↑
↔ atau↓
Testosteron
↓
↓↓
Pulsatil LH
↑
↓
Pulsatil GH
↑
↓
GHBP
↓
↑
IGF-1
↓
↓↓
Pulsatil Prolactin
↑
↓
ACTH (adrenocorticotrophic hormone); CRF (corticotropin releasing factor); FT3 (free triiodothyronine); FT4 (free thyroxine); GH (growth hormone); GHBP (GHbinding protein); IGF-1 (insulin growth factor-1); LH (luteinizing hormone); TSH (thyroid stimulating hormone)
Tabel 2.2. Perubahan kadar endokrin pada fase akut dan kronik penyakit kritis (Ball and Baudouin, 2010)
Kondisi diatas mendasari teori pemikiran untuk memberikan preparat
hormon
dari
luar
(eksogen)
untuk
memperbaiki
kadar
neuroendokrin yang defisit tersebut dan diharapkan supplementasi tersebut secara otomatis akan memperbaiki dan mengembalikan fungsi fungsi tubuh yang terpengaruh akibat penyakit penyakit kritis dan kronis (misal : sepsis) menjadi normal atau membaik kembali.
Universitas Sumatera Utara
69
Beberapa preparat hormon telah banyak dilakukan uji coba klinis pada penderita sepsis dalam upaya menurunkan mortalitas penderitanya (Griffiths, Hinds and Little, 1999) Salah satu upaya yang banyak diteliti adalah penggunaan preparat hormon Somatotropin (Growth Hormone / GH) baik pemberian tunggal ataupun kombinasi dengan preparat hormon lainnya (Berghe, 2003, Vanhorebeek and Berghe 2004, 2006). Secara fisiologis menurut mekanisme kerjanya GH akan menstimulasi pembentukan Faktor Pertumbuhan Mirip Insulin (Insulin-Like Growth Factor-1 / IGF-1). Penelitian Batteskard et al, (1998); Berghe et al, (1999) and Hatton et al, (2006), menyimpulkan bahwa pemberian preparat hormon GH dan IGF-1 pada sepsis bermanfaat untuk mengatasi proses katabolisme protein yang terjadi. Perubahan hormonal pada pasien kritis bisa berupa : adrenal insufisensi absolut atau relatif,
hiperglikemia akibat insulin resistens,
“Euthyroid Sick Syndrome”, serta keadaan katabolik. Peningkatan hormon pertumbuhan (GH) menurunkan kadar sitokin proinflamasi, sebaliknya sitokin proinflamasi IL-6 menghambat aktivitas hormon pertumbuhan dalam peningkatan pembentukan gen ekspresi pembentukan protein (Ahmed et al, 2007) Penelitian oleh Yeh et al, (2002) pada pasien-pasien Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dirawat lama di ICU dan diberikan preparat hormon testosteron menunjukkan hasil yang baik dalam hal penyembuhan dan penambahan berat badan.
Universitas Sumatera Utara
70
Pengaruh hormon testosteron terhadap respon imun dapat ditunjukan pada penelitian Van Eijk et al, (2007) yang menginjeksikan suatu dosis rendah lipopolisakarida (LPS) pada kelompok laki laki maupun perempuan. Hasil pada kelompok perempuan menunjukkan respon proinflammasi yang meningkat ditandai dengan tingginya level TNF-α dan interferon, serta meningkatnya ikatan LPS dengan protein yang dikaitkan dengan rendahnya kadar testosteron. Pemberian hormon testosteron akan meningkatkan kerja anabolik. Pemanfaatan efek anabolik preparat hormon testosteron
juga banyak diupayakan untuk mengantisipasi proses
katabolisme yang terjadi pada penderita sepsis ataupun syok sepsis (Berghe et al, 1999).
Universitas Sumatera Utara
71
2.4
Kerangka Teori Penelitian
Testosteron
Somatotropin
Sepsis Model (LPS)
Reseptor Growth Hormone
Reseptor Androgen Nuklear
(+) TLR4-CD14 (+)
(+) PI3K ↑↑ (+)
NFkB
AKT ↑↑ (-)
S
(+)
E
(+)
mTOR ↑↑
L
(-) TNF-α , IL-6 (Sitokin Pro-inflamasi)
(-)
(+) p70S6K↑↑
(+)
(+) Metabolisme ↑↑
Sepsis
(-)
MODS
Protein ↑↑
Karbohidrat ↑↑
Lemak ↑↑
(-)
Death
SURVIVAL ↑↑
Gambar 2.18. Kerangka Teori Penelitian
Universitas Sumatera Utara
72
2.5
Kerangka Konsep Penelitian
Sepsis Model (LPS)
Testosteron
Somatotropin
(+) (+)
(+) PI3K ↑↑ (+)
NFkB
AKT ↑↑ (-)
(+)
(+)
S
mTOR ↑↑ (-)
E (+)
TNF-α , IL-6
L
(Sitokin Pro-inflamasi)
(-) (+) Sepsis
(-)
MODS
p70S6K↑↑ (+) Metabolisme ↑↑ (+) Prealbumin ↑↑
(-)
Death
SURVIVAL ↑↑
Gambar 2.19. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
73
2.6
Hipotesis 1. Pemberian somatotropin dan atau testosteron dapat menekan jalur inflamasi yang ditandai dengan penurunan kadar penanda proinflamasi IL-6 dan TNF-α pada tikus model sepsis. 2. Pemberian
somatotropin
dan
atau
testosteron
dapat
mengaktifkan jalur metabolik yang ditandai dengan peningkatan level ekspresi mTOR, p70S6K dan
kadar prealbumin pada
tikus model sepsis. 3. Pemberian
somatotropin
dan
atau
testosteron
dapat
mempengaruhi tren survival tikus model sepsis.
Universitas Sumatera Utara