BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lumut Kerak 2.1.1. Klasifikasi Lumut Kerak Lumut kerak adalah suatu kombinasi dari alga atau cyanobacterium dan suatu jamur dimana kedua komponen bersatu atau bergabung membentuk apa yang terlihat sebagai suatu individu (Nurhayati, 2010). Jamur seperti Ascomycotina, Basidiomycotina, dan Deuteromycotina bersimbiosis dengan ganggang hijau dalam hal jamur memperoleh hasil fotosintesis dari ganggang dan ganggang memperoleh nutrisi untuk fotosintesis dari jamur. Adapun menurut Ahmadijan (1967, dalam Pratiwi 2006) lumut kerak adalah hasil simbiosis antara fungi dan alga. Simbiosis tersebut menghasilkan keadaan fisiologi dan morfologi yang berbeda dengan keadaan semula sesuai dengan keadaan masing-masing komponen pembentuknya. Lumut kerak memiliki klasifikasi yang bervariasi dan dasar klasifikasinya secara umum adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan Komponen Cendawan yang Menyusunnya Menurut Misra dan Agrawal (1978, dalam Pratiwi, 2006), menyatakan bahwa klasifikasi lumut kerak berdasarkan komponen fungi terbagi menjadi : A. Ascolichen Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak berasal dari kelas Ascomycetes. Tipe ini terbagi dalam dua bagian yaitu Gymnocarpae yang memiliki tubuh buah berupa apotesium dengan struktur terbuka, contohnya 6
Parmelia. Sedangkan pada bagian Pyrenocarpae, memiliki tubuh buah berupa peritesium dengan struktur tertutup, contohnya Dermatocarpon. Dalam Klas Ascolichen ini dibangun juga oleh komponen alga dari family Mycophyceae dan Chlorophyceae yang bentuknya berupa gelatin. Genus dari Mycophyceae adalah: Scytonema, Nostoc, Rivularia, Gleocapsa dan lain-lain. Dari Cholophyceae adalah: Protococcus, Trentopohlia, Cladophora dll (Indah, 2009). B. Basidiolichen Basidiolichen berasal dari jamur Basidiomycetes dan alga Mycophyceae. Basidiomycetes yaitu dari famili: Thelephoraceae, dengan tiga genus Cora, Corella dan Dyctionema. Mycophyceae berupa filamen yaitu : Scytonema dan tidak berbentuk filamen yaitu Chrococcus. C. Lichen Imperfecti Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak adalah dari kelas Deuteromycetous dengan contoh antara lain Cystocoleus, Lepraria, Leprocanlon, Normandia. Golongan ini tidak dapat membentuk spora fungi dan talus tersusun dari hifa atau massa padat yang seringkali terlihat menyerupai serbuk atau bubuk pada substrat yang ditumbuhinya.
2. Berdasarkan Alga yang Menyusun Talus A. Homoimerus Pada lumut kerak homoimerus, sel alga dan hifa jamur tersebar merata pada talus. Komponen alga mendominasi dengan bentuk seperti gelatin, termasuk dalam Mycophyceae.
7
B. Heteromerous Sel alga terbentuk terbatas pada bagian atas talus dan komponen jamur menyebabkan terbentuknya talus, alga tidak berupa gelatin Chlorophyceae. Contohnya Parmelia.
2.1.2. Morfologi Lumut Kerak Menurut Fink (1961, dalam Pratiwi, 2006), bagian utama lumut kerak adalah talus yang merupakan jaringan vegetatif. Keberadaan talus dapat terangkat atau tegak lurus dari substratnya, terjumbai, tergantung atau talus juga dapat terlihat tubuh secara rapat atau jarang pada substrat. Menurut Indah (2009), secara garis besar susunan anatomi lumut kerak dibedakan menjadi tiga lapisan, antara lain : 1. Lapisan Luar (korteks) yaitu lapisan yang tersusun atas sel-sel jamur yang rapat dan kuat, menjaga agar lumut kerak tetap tumbuh. 2. Lapisan Gonidium, merupakan lapisan yang mengandung ganggang dan menghasilkan makanan dengan berfotosintesis. 3. Lapisan Empulur yaitu lapisan yang tersusun atas sel-sel jamur yang tidak rapat berfungsi untuk menyimpan cadangan air dan tempat terjadinya perkembangbiakan.
Gambar 2.1. Anatomi Lumut Kerak (Indah, 2009)
8
Lumut kerak dapat di kelompokkan dalam empat tipe berdasarkan morfologi
talusnya
yaitu
crustose,
foliose,
squamulose
dan
fruticose.
Pengelompokan itu berdasarkan pada organisasi jaringan tubuh dan perlekatan talus pada substratnya, yaitu: 1. Talus Crustose Ukuran talus crustose bermacam-macam dengan bentuk talus rata, tipis, dan pada umumnya memiliki bentuk tubuh buah yang hampir sama. Talus berupa lembaran tipis atau seperti kerak yang permukaan bawahnya melekat pada substrat. Permukaan talus biasanya terbagi menjadi areal-areal yang agak heksagonal yang disebut areole. Contohnya : Physcia, Graphis scipta, Haematomma puniceum, Acarospora atau Pleopsidium.
A B Gambar 2.2 Contoh Talus Crustose (A) Haematomma puniceum, (B) Acarospora (Sumber : Indah, 2009) 2. Talus Foliose Talus foliose bertingkat, lebar, besar, kasar dan menyerupai daun yang mengkerut dan melipat. Permukaan talus foliose bagian bawah dan atas berbeda, pada permukaan bawah berwarna lebih terang atau gelap dan pada bagian tepi 9
talus biasanya menggulung ke atas. Contoh Xantoria elegans, Physcia aipolia, Peltigera malacea, Parmelia sulcata.
Xantoria elegans
Physcia aipolia
Peltigera malacea
Parmelia sulcata
Gambar 2.3. Contoh Talus Foliose (Sumber : Indah, 2009) 3. Talus Fruticose Talus fruticose merupakan tipe talus kompleks dengan cabang-cabang yang tidak teratur. Talus ini memiliki bentuk cabang silinder atau pita. Talusnya menempati bagian dasar dengan cakram bertingkat. Lumut kerak fruticose ini memperluas dan menunjukan perkembangannya hanya pada batu-batuan, daun, dan cabang pohon. Contoh Usnea longissima, Usnea berbata, Cladonia rengiferina.
Gambar 2.4. Contoh Talus Fruticose Usnea berbata dan Cladonia rengiferina (Sumber : Indah, 2009) 10
4. Talus Squamulose Talus ini memiliki bentuk seperti talus crustose dengan pinggiran yang terangkat ke atas di atas tempat hidupnya. Talus ini memiliki bentuk seperti sisik yang tersusun oleh banyak cuping (lobes) yang kecil tetapi tidak memiliki rizin. Contoh : Psora pseudorusselli, dan Cladonia carneola.
Gambar 2.5 Contoh Talus Squamulose Psora pseudorusselli dan Cladonia carneola. (Sumber : Indah, 2009) 2.1.3. Perkembangbiakan Lumut Kerak Menurut Pratiwi (2006) perkembangbiakan lumut kerak melalui tiga cara, yaitu : 1. Fragmentasi Fragmentasi adalah perkembangbiakan dengan memisahkan bagian tubuh yang telah tua dari induknya dan kemudian berkembang menjadi individu baru. Bagian-bagian tubuh yang dipisahkan tersebut dinamakan fragmen. Pada beberapa fruticose, bagian tubuh yang lepas tadi, dibawa oleh angin ke batang kayu dan berkembang tumbuhan lumut kerak yang baru. Reproduksi vegetatif dengan cara ini merupakan cara yang paling produktif untuk peningkatan jumlah individu.
11
2. Isidia Isidia merupakan struktur yang memiliki bentuk seperti karang yang terdapat pada permukaan atau pinggiran talus. Isidia lepas dari talus induknya yang masing-masing mempunyai simbion. Isidium akan tumbuh menjadi individu baru jika kondisinya sesuai. 3. Soredia Soredia adalah kelompok kecil sel-sel ganggang yang sedang membelah dan diselubungi benang-benang miselium menjadi suatu badan yang dapat terlepas dari induknya. Dengan robeknya dinding talus, soredium tersebar seperti abu yang tertiup angin dan akan tumbuh lumut kerak baru. Lumut kerak yang baru memiliki karakteristik yang sama dengan induknya. Selain perkembangbiakan di atas, lumut kerak juga dapat berkembangbiak dengan seksual tetapi
hanya
terbatas pada pembiakan jamurnya saja. Jadi yang mengalami perkembangan secara seksual adalah kelompok jamur yang membangun tubuh lumut kerak (Indah, 2009).
2.1.4. Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak Pada umumnya lumut kerak hidup menempel di pohon-pohon atau bebatuan, akan tetapi sering ditemukan hidup di atas tanah. Lumut kerak dapat kita temukan di daerah pantai, batang pohon di pinggiran jalan dan di hutan, sampai di pegunungan yang tinggi. Beberapa jenis dapat masuk pada bagian pinggir batu-batu, yang biasa disebut sebagai bersifat endolitik (Tjitrosoepomo, 1981).
12
Habitat lumut kerak dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : 1) Saxicolous adalah jenis lumut kerak yang hidup di batu. Menempel pada substrat yang padat dan di daerah dingin. 2) Corticolous adalah jenis lumut kerak yang hidup pada kulit pohon. Jenis ini sangat terbatas pada daerah tropis dan subtropis, yang sebagian besar kondisi lingkungannya lembab. 3) Terricolous adalah jenis lumut kerak terestrial, yang hidup pada permukaan tanah.
2.1.5. Peranan Lumut Kerak Adapun peranan lumut kerak bagi kehidupan manusia diantaranya: 1. Lumut Kerak sebagai Bahan Makanan Lumut kerak memiliki asam fumarprotocetraric yang rasanya pahit dan dapat menimbulkan gatal-gatal sehingga belum digunakan sebagai sumber makanan secara luas. Asam ini harus
dibuang
terlebih dahulu dengan
merebusnya dalam soda. Tanaman ini mempunyai nilai, walaupun tidak sama dengan makanan dari biji-bijian. Pada saat makanan sulit didapat, orang-orang menggunakan lumut kerak sebagai sumber karbohidrat dengan mencampurnya dengan tepung. Lumut kerak dimakan oleh hewan rendah maupun tingkat tinggi seperti siput, serangga, rusa dan lain-lain. Pada musim dingin, rusa karibu menjadikan sejumlah jenis lumut kerak sebagai sumber makanan, yang paling banyak dimakan adalah Cladina stellaris. Kambing gunung di Tenggara Alaska juga memakan lumut kerak dari jenis Lobaria linita.
13
Gambar 2.6. Lobaria linita, Lumut Kerak sebagai Bahan Makanan Kambing Gunung (Sumber : Indah, 2009) 2. Lumut Kerak sebagai Bahan Obat-obatan dan Antibiotik Salah satu jenis lumut kerak yang digunakan sebagai bahan obat-obatan adalah
Lobaria pulmonaria yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit
paru-paru karena dapat membentuk lapisan tipis pada paru-paru. Selain itu lumut kerak juga digunakan sebagai ekspektoran dan obat liver. Hingga sekarang penggunaan lumut kerak sebagai obat-obatan masih ada. Selain sebagai bahan obat-obatan, lumut kerak juga digunakan sebagai antibiotik. Substrat dari lumut kerak yaitu pigmen kuning asam usnat digunakan sebagai antibiotik yang mampu menghalangi pertumbuhan mycobacterium. Salah satu sumber dari asam usnat ini adalah Cladonia dan antibiotik ini terbukti ampuh dari penisilin. Selain manfaat lumut kerak di atas, lumut kerak juga memiliki manfaat lain. Ekstrak lumut kerak dapat dibuat sebagai bahan pewarna untuk mencelup bahan tekstil. Bahan pewarna di ekstrak dengan cara merebus lumut kerak dalam air, dan sebagian jenis lain di ekstrak dengan cara fermentasi lumut kerak dalam amonia. Contohnya Parmelia sulcata digunakan untuk pewarna wol di Amerika
14
Utara. Selain itu, Rocella tinctoria merupakan indikator asam basa sehingga dapat digunakan bahan baku kertas lakmus. 3. Lumut Kerak Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Banyak jenis tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran udara salah satunya adalah lumut kerak. Hal ini disebabkan tidak adanya kutikula pada lumut kerak sehingga menyerap semua bahan pencemar di udara. Penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator dinilai lebih efisien dibandingkan menggunakan alat atau mesin indikator ambien yang dalam pengoperasiannya memerlukan biaya yang besar dan penanganan khusus (Loopi et.al, 2002 dalam Panjaitan, 2010). Keunikan
struktur
morfologi
dan
fisiologi
talus
lumut
kerak
memungkinkan untuk digunakan sebagai indikator biologis. Lumut kerak mempunyai akumulasi khlorofil yang rendah, tidak mempunyai kutikula, mengabsorbsi air dan nutrien secara langsung dari udara dan dapat mengakumulasi berbagai material tanpa seleksi serta bahan yang terakumulasi tidak akan terekskresikan lagi (Kovacs, 1992 dalam Nursal dkk, 2005). 2.2. Pencemaran Udara 2.2.1. Pengertian dan Penyebab Pencemaran Udara Menurut Pohan (2002, dalam Wijaya, 2010) pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Udara yang belum tercemar selain mengandung uap air, gas-gas innert juga mengandung aerosol yaitu campuran partikel-partikel padat dan cair yang sangat halus. Akan tetapi, udara yang telah tercemar memiliki banyak komponen seperti nitrogenoksida 15
(NO), sulfuroksida (SO), , karbonmonoksida (CO), hidrokarbon, dan lain sebagainya (Pratiwi, 2006). Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun, dll (Anonim, 2001). Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Menurut Wijaya (2010) secara umum penyebab pencemaran udara ada dua macam, yakni : a) Karena Faktor Internal (secara alamiah),contoh: 1. Debu yang berterbangan akibat tiupan angin. 2. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik. 3. Proses pembusukan sampah organik. b) Karena Faktor Eksternal (karena ulah manusia), contoh : 1. Hasil pembakaran bahan bakar fosil. 2. Debu / serbuk dari kegiatan industri. 3. Pembakaran zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara.
2.2.2.Parameter Pencemaran Udara Menurut Siregar (2005) ada beberapa polutan yang dapat menyebabkan pencemaran udara, antara lain :
16
1. Karbonmonoksida (CO) Gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan bersifat racun. Dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil, misalnya gas buangan kendaraan bermotor. 2. Nitrogendioksida (NO2) Nitrogendioksida (NO2) yaitu senyawa yang terdapat di udara bebas, sebagian besar berupa gas nitrit oksida (NO) dan nitrogen oksida (NO2). Gas ini merupakan gas paling beracun yang dihasilkan dari pembakaran batu bara di pabrik, pembangkit energi listrik dan knalpot kendaraan bermotor. 3. Sulfurdioksida (SO2) Sulfurdioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) adalah senyawa berbau tak sedap, yang banyak dijumpai di kawasan industri yang menggunakan batubara atau dari hasil kegiatan vulkanik, dan erupsi gunung berapi. Sulfurdioksida juga dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur terutama batubara. Keberadaan SO2 dapat merusak klorofil tumbuhan maupun lichen yang berada di dekat sumber pencemar (Kozlowski, 1991 dalam Hadiyati, 2013). Batubara ini biasanya digunakan sebagai bahan bakar pabrik dan pembangkit tenaga listrik (Anonim, 2001). 4. Timbal (Pb) Logam berat yang digunakan manusia untuk meningkatkan pembakaran pada kendaraan bermotor. Hasil pembakaran tersebut menghasilkan timbal oksida yang berbentuk debu atau partikulat yang dapat terhirup oleh manusia. Jumlah Pb di udara dipengaruhi oleh lalu lintas, jarak dari jalan raya, dan daerah industri.
17
5. Karbondioksida (CO2) Karbondioksida merupakan gas yang dihasilkan dari pembakaran sempurna bahan bakar kendaraan bermotor dan pabrik serta gas hasil kebakaran hutan.
3.3. Pengertian Bioindikator Bioindikator adalah organisme atau respons biologis yang menunjukan masuknya zat tertentu dalam lingkungan (Wijaya, 2010). Salah satu cara pemantauan pencemaran udara adalah dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator. Udara yang normal merupakan campuran gas-gas meliputi 78 % N2; 20 % O2; 0,93 % Ar ; 0,03 % CO2 dan sisanya terdiri dari neon (Ne), helium (He), metan (CH4) dan hydrogen (H2). Sebaliknya, apabila terjadi penambahan gas-gas lain yang menimbulkan gangguan serta perubahan komposisi tersebut, maka dikatakan udara sudah tercemar/terpolusi. Giddings (1973, dalam Kastiyowati 2010) mengemukakan bahwa atmosfir pada keadaan bersih dan kering akan didominasi oleh empat gas penyusun atmosfir, yaitu 78,09% N 2 ; 20,95% O2 ; 0,93% Ar; dan 0,032% CO2; sedangkan gas-gas lainnya sangat kecil konsentrasinya. Bioindikator
yang sering digunakan untuk menentukan kondisi
lingkungan atau udara adalah tumbuhan. Menurut
Karlianyah (1997, dalam
Wijaya 2010) tumbuhan adalah bioindikator yang baik dan daun adalah bagian tumbuhan yang paling peka pencemar. Kemampuan tumbuhan sebagai bioindikator adalah karena kemampuannya untuk dapat menyerap sejumlah zat 18
tertentu yang ada di lingkungan atau udara, dan menimbunnya dalam jangka waktu yang lama.
3.4. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Lumut kerak dapat digunakan sebagai petunjuk didalam program mengukur kualitas lingkungan, dimana bahwa tidak ada organisme lain yang lebih peka terhadap sulfur dioksida (SO2) dari pada lumut kerak. Adanya pencemaran udara pada suatu daerah dapat dilihat dari respon pertumbuhan yang ditunjukkan oleh lumut kerak, dimana pada daerah yang telah tercemar ditandai dengan pertumbuhan lumut kerak yang tidak baik dibandingkan di daerah yang tidak tercemar. Selain itu, persentasi penutupan lumut kerak dan kadar klorofil dapat menentukan adanya pencemaran udara. Menurut
Garty (2000, dalam Pratiwi, 2006), berdasarkan daya
sensitivitasnya terhadap pencemar udara maka lumut kerak dikelompokkan menjadi tiga yaitu: sensitif, merupakan jenis yang sangat peka terhadap pencemaran udara, pada daerah yang telah tercemar jenis ini tidak akan dijumpai; toleran merupakan jenis yang tahan (resisten) terhadap pencemaran udara dan tetap mampu hidup pada daerah yang tercemar; pengganti merupakan jenis yang muncul setelah sebagian besar komunitas lumut kerak yang asli rusak karena pencemaran udara. Menurut Noer (2004, dalam Pratiwi 2006), terdapat beberapa parameter yang dapat dipergunakan dalam penelitian lumut kerak untuk mengukur adanya pencemaran udara yaitu :
19
a. Keanekaan ; jumlah jenis yang terdapat di setiap substrat yang diamati. Pada daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang. b. Pertumbuhan ; diamati dengan melihat keadaan morfologi dan warna talusnya. Lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya kurang baik, warnanya pucat atau berubah. c. Kesuburan ; dilihat ada tidaknya alat berkembangbiak yaitu soredia, isidia, lobules, chypellae dan chepaloidia. Pada daerah tercemar, lumut kerak yang ada kurang subur dan alat berkembang biak tidak ada. Lumut kerak dapat dijadikan sebagai bioindikator karena kepekaannya terhadap emisi pencemar yang terdapat pada suatu tempat. Hal ini dikarenakan perbedaan fisiologi dan morfologi jika dibandingkan dengan tumbuhan tinggi. Lumut kerak memiliki kandungan klorofil yang sangat kurang, sehingga mengakibatkan laju fotosintesis dan metabolisme yang rendah serta kemampuan regenerasi yang terbatas (Kovacz, 1992 dalam Pratiwi, 2006). Tidak adanya kutikula pada lumut kerak pun menjadikan zat pencemar dapat dengan mudah masuk
kedalam
talus. Sekali bahan pencemar diserap, maka akan
diakumulasikan dan tidak dieksresikan. Penimbunan bahan pencemar dalam waktu lama akan menurunkan proses fotosintesis pada lumut kerak yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian dari lumut kerak tersebut. Menurut Clark et al. (1999, dalam Wijaya (2010), ada beberapa sifat lumut kerak yang ideal sebagai bioindikator antara lain : a. Secara geografis penyebarannya luas b. Morfologinya tetap meskipun terjadi perubahan musim c. Tidak memiliki kutikula, sehingga mempermudah air, larutan dan logam serta mineral diserap oleh lumut kerak d. Nutrisinya tergantung dari bahan-bahan yang diendapkan dari udara e. Mampu menimbun pencemar selama bertahun-tahun
20