16
BAB II Tinjauan Pustaka A. Kerangka Teori 1) PERJANJIAN a. Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan (Sudikno Mertokusumo, 1985: 97). Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan persetujuan merupakan terjemahan
dari
toestemming
yang
ditafsirkan
sebagai
wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, "perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum" (Sudikno Mertokusumo, 1985: 97-98). Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling
17
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (Subekti, 2001: 36). Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih (Setiawan, 1987: 49). Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih (Sri Sofwan Masjchoen, 1987: 1). Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak. Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH Perdata, ternyata mendapat kritik dari para sarjana hukum karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur : 1) Perbuatan Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat para pihak yang memperjanjikan;
hukum
bagi
18
2) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. 3) Mengikatkan dirinya, 4) Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat (Salim H. S., 2007: 124). Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati (Salim H. S., 2007: 120). b. Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu: 1) Adanya kata sepakat; 2) Kecakapan untuk membuat perjanjian; 3) Adanya suatu hal tertentu; 4) Adanya causa yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek
19
perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut: 1) Kata sepakat Kata
sepakat
berarti
persesuaian
kehendak,
maksudnya
memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Subekti, 1992: 4). J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain (J. Satrio, 1993: 129). Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau
20
diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masingmasing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti, (Subekti, 1996: 23-24) yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keteranganketerangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak. 2) Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak) Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian: a) Orang yang belum dewasa b) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan c) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undangundang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
21
Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa (Mario Darus Badrulzaman, 2001: 78). Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata. Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan Pasal 345, bunyinya sebagai berikut: Pasal 433: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Pasal 345: Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum
22
dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya. 3) Adanya suatu hal tertentu Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2). 4) Adanya suatu sebab/kausa yang halal Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,
(Sri
Soedewi
Masjchon,
1980: 319) sedangkan
sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak
23
yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum. c. Akibat Hukum Suatu Perjanjian Atas adanya suatu perjanjian dapat dikatakan perjanjian sah dan perjanjian tidak sah. Dari adanya perjanjian yang sah dan perjanjian yang tidak sah tersebut kemudian menimbulkan akibat hukum. Akibat hokum darisuatu perjanjian tersebut dapat diuraikan dengan sebagai berikut: 1) Akibat hukum suatu Perjanjian sah Menurut ketentuan pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUH Perdata
berlaku
sebagai
undang-undang
bagi
mereka
yang
membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang cukup menurut undangundang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. a) Berlakunya sebagai Undang-undang Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
24
membuatnya. Pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. b) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak Karena perjanjian itu adalah persetujuan kedua belah pihak, maka jika akan ditarik kembali atau dibatalkan adalah wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak pula. Tetapi apabila ada alasan yang cukup menurut undang-undang perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. Alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang itu adalah sebagai berikut : (1) Perjanjian yang bersifat terus-menerus, berlakunya dapat dihentikan secara sepihak. Misalnya Pasal 1571 KUH Perdata tentang sewa-menyewa yang dibuat secara tidak tertulis dapat dihentikan dengan pemberitahuan kepada penyewa. (2) Perjanjian sewa rumah Pasal 1587 KUH Perdata setelah berakhir waktu sewa seperti ditentukan dalam perjanjian tertulis, penyewa tetap menguasai rumah tersebut. Tanpa ada tegoran dari pemilik yang menyewakan, maka penyewa dianggap tetap meneruskan penguasaan rumah itu atas dasar sewa menyewa dengan syarat-syarat yang sama untuk waktu yang ditentukan menurut kebiasaan setempat. Jika pemilik ingin
menghentikan
sewa-menyewa
tersebut
ia
harus
memberitahukan kepada penyewa menurut kebiasaan setempat. (3) Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving), Pasal 1814 KUH Perdata. Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya apabila ia menghendakinya. (4) Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) Pasal 1817 KUH Perdata, penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasa
25
yang diterimanya dengan memberitahukan kepada pemberi kuasa. c) Pelaksanaan dengan itikad baik Yang dimaksud dengan itikad baik (te goeder trouw, in good faith) dalam pasal 1338 KUH Perdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. 2) Akibat hukum suatu perjanjian tidak sah Di dalam melakukan suatu perjanjian, bila ada pihak yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian maka ada konsekuensi hukum yang berlaku. Berikut penjelasannya. a) Batal demi hukum Yaitu tidak terpenuhinya syarat objektif
(Pasal 1320 KUH
Perdata). (1) Perihal tertentu Suatu perjanjian harus mempunyai obyek tertentu, atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan (Pasal 1332 s/d 1335 KUH Perdata: “Benda-benda itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada di kemudian hari”). (2) Kausa yang halal Yang dimaksud dengan kausa bukan hubungan sebab akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian (Pasal 1335 s/d 1337 KUH Perdata: “Untuk sahnya suatu perjanjian, UndangUndang mensyaratkan adanya kausa”). b) Dapat dibatalkan Yaitu tidak terpenuhinya syarat subjektif (Pasal 1320 KUH Perdata) (1) Asas Konsensualisme Ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.
26
‘Sepakat kedua belah pihak’ merupakan asas yang esensial dari Hukum Perjanjian. (2) Cakap Melakukan Perbuatan Hukum Pasal 1329 s/d 1331 KUH Perdata: “Setiap orang adalah cakap untuk melakukan perbuatan perikatan, kecuali jika Undang-Undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada di bawah “pengampuan”. c) Kontrak tidak dapat dilaksanakan Kontrak yang tidak begitu saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum tertentu. Contohnya, yang seharusnya dibuat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan, kemudian kontrak tersebut ditulis oleh para pihak. d) Sanksi administratif Bila persyaratan tidak dipenuhi, maka hanya mengakibatkan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua pihak dalam kontak tersebut. Misalnya, suatu kontrak memerlukan izin atau pelaporan terhadap instansi tertentu, seperti izin atau pelaporan kepada Bank Indonesia untuk suatu kontrak off shore loan. d. Asas-Asas Perjanjian Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.
27
Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung tiga macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas Rebus Sic Stantibus, asas itikad baik dan asas kepribadian. 1) Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya (Ahmadi Miru, 2007: 4): a) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; d) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan e) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga
28
dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur
sehingga
para
pihak
dapat
menyimpanginya
(mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa (Ahmadi Miru, 2007: 4). 2) Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian (Mariam Darus Badrulzaman, 2007: 113). Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil. Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya
yaitu
undang-undang
menetapkan
formalitas-
formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syaratsyarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil.
29
3) Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal: a) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang; b) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. 4) Asas Rebus Sic Stantibus Secara etimologi, Rebus adalah kausa atau sebab, dan Stantibus adalah akibat yang dihasilkan dari sebab. Di dalam ilmu sosial, produk hukum dilahirkan karena ada penyebab-penyebab tertentu. Produk hukum
yang dilahirkan itu disebut stantibus, dan alasan produk
hukum itu dilahirkan karena adanya rebus (penyebab-penyebab yang mendorong,
yang menjadi motivator berlakunya produk hukum
tersebut) (Muchsan, 2014). Menurut Muchsan, Rebus Sic Stantibus adalah di mana suatu produk hukum dengan sendirinya tidak lagi berlaku apabila keadaan sosial yang tercantum dalam produk hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan kondisi sebenarnya (Muchsan, 1982: 49). Apabila motivasimotivasi yang mendorong lahirnya produk hukum tersebut sudah hilang, secara otomatis produk hukum yang lahir itu sudah tidak memiliki daya berlaku lagi.
30
Asas Rebus Sic Stantibus seringkali muncul di dalam perjanjian internasional. Perjanjian internasional berakhir berlakunya karena hukum terjadi antara lain karena hapusnya unsur perjanjian, salah satunya
karena
timbulnya ajaran Rebus Sic Stantibus. Rebus sic
stantibus menyatakan bahwa kewajiban yang ditetapkan dalam suatu perjanjian internasional tetap berlaku selama keadaan esensial pada saat dibuatnya perjanjian itu dalam keadaan yang tetap, sama, dan tidak berubah (F. Sugeng Istanto, 1994: 75). 5) Asas Itikad Baik Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif) (Subekti, 2001 :42). Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.
31
6) Asas Kepribadian Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian. e. Prestasi Pasal 1234 KUH Perdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUH Perdata menyebutkan: “Dalam tiaptiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan. Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian “memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya. Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUH Perdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu: 1) Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian; 2) Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.
32
Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa
menimbulkan
persoalan.
Namun
kadangkala
ditemui
bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian. Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam: 1) Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang; 2) Berbuat
sesuatu,
misalnya
memperbaiki
barang
yang
rusak,
membangun rumah, melukis suatu lukisan untuk pemesan; 3) Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan, perjanjian tidal alan menggunakan merk dagang tertentu. Prestasi dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat: 1) Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah memenuhi prestasi atau belum; 2) Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan; 3) Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum; 4) Prestasi harus mungkin dilaksanakan. f. Wanprestasi Seorang debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka telah melakukan wanprestasi. Seseorang alpa, lalai atau ingkar janji, melanggar
33
perjanjian, bila seseorang melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, juga berarti prestasi buruk. Terhadap kelalaian atau kealpaan debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu, diancam beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak lahir bagi debitur yang lalai ada empat yaitu: 1) Membayar kerugian yang di derita oleh kreditur atau dengan ganti rugi 2) Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian 3) Peralihan Resiko 4) Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting maka harus ditetapkan terlebih dahulu apakah debitur melakukan wanprestasi atau lalai dan hal itu disangkal olehnya harus dibuktikan di muka hakim. Kadang juga tidak mudah mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa karena sering kali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Hal ini yang paling mudah untuk menetapkan seseorang melakukan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Bagaimana cara mengingatkan debitur, agar jika seseorang tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh Pasal 1238 KUH Perdata yang berbunyi sebgai berikut: “Si berpiutang adalah lalai, bila dalam surat perintah atau sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri menetapkan bahwa si berutang akan terus ianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Maksud dari surat perintah dalam Pasal 1238 KUH Perdata tersebut adalah peringatan resmi oleh juru sita pengadilan,sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa, surat maupun telegram,yang tujuannya sama yakni untuk memberikan peringatan kepada
34
debitur agar memenuhi prestasi dengan seketika atau pada waktu tertentu.(Subekti, 1996:49) Seorang kreditur dalam keadaaan wanprestasi, maka debitur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan sebagai disebut Pasal 1267 KUH Perdata, yaitu: 1) Pemenuhi perjanjian 2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi 3) Pembatalan perjanjian 4) Pembatalan disertai ganti rugi Bilamana kreditur hanya menuntut ganti kerugian, maka seseorang telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian, sedangkan kalau kreditur hanya menunutut pemenuhan perikatan maka tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atau kelalaian, sebab pemenuhan perikatan memang sudah dari semula menjadi kesanggupan debitur untuk melakukannya. Kemudian yang sering dipersoalkan disini, adalah seandainya debitur memang ada telah menerima teguran agar melepaskan perikatan, namun setelah waktu yang pantas diberikan kepadanya untuk memenuhi perikatan tersebut telah lewat tetapi prestasi belum juga dipenuhi. Para ahli hukum berpendapat bahwa apabila kreditur masih menyatakan bersedia menerima pelaksanaan perikatan itu, maka debitur masih dapat melaksanakan perikatan tersebut, tetapi jika pernyataan kesediaan menerima pelaksanaan perikatan itu tidak ada, maka para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda apakah debitur dapat melaksanakan perikatan itu dan dengan membayar ganti kerugian, sebelum ada tuntutan kreditur dimuka pengadilan untuk membatalkan perjanjian dengan kerugian. Diephuis, Opzoormer, Asser-Losecat-veermer- Van Brekel dan Syuling serta Hoge Raad di negeri Belanda, menyatakan bahwa debitur
35
tidak lagi melaksanakan perikatan itu, dan kreditur tidak dapat dipaksa untuk menerima pelaksanaan perikatan itu, sedangkan Asser Goudoever dan Hofmann berpendapat sebaliknya, yaitu dengan mendasar pada kepatutan, bahwa debitur masih dapat melaksanakan perikatan tersebut dan kreditur sepatutnya menerima pula pelaksanaan perikatan itu. Pendapat terakhir inilah yang diikuti oleh para ahli hukum Indonesia, seperti Wijorno Prodjodikoro dan Subekti yang sama-sama pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung RI dan dikenal sebagai ahli hukum perdata di Indonesia. Pendapat inilah yang sesuai dengan kepatutan dan rasa keadilan yang dikehendaki Pasal 1338 (3) KUH Perdata sebagai pedoman pelaksanaan perjanjian. g. Ganti Kerugian Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian ganti rugi perdata lebihmenitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenubinya suatu perikatan, yakni kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditur akibat kelalaian pihak debitur melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi: 1) Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan; 2) Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milikkreditur akibat kelalaian debitur; 3) Bunga atau keuntungan yang diharapkan. Menurut ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan apakah debitur
setelah
dinyatakan
lalai
memenuhi
perikatannya,
tetap
melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Yang dimaksud kerugian dalam Pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan
36
lalai. Menurut M. Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi efektif menjadi kemestian debitur, setelah debidur dinyatakan lalai dalam bahasa Belanda disebut dengan “in gebrekke stelling” atau “in morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana termaktub dalam 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu: 1) Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya, materai, biaya iklan. 2) Kerugian karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buah karena keterlambatan penyerahan, ambruknya rumah karena kesalahan kontruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga. 3) Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena keterlambatan penyerahan bendanya. Menurut Abdul Kadir Muhammad, dalam ganti kerugian itu tidak selalu ketiga unsur tersebut harus ada, yang ada mungkin kerugian yang sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya. Dengan demikian untuk menghindari tututan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang harus dipenuhi oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi yang meliputi : 1) Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (Pasal 1247 KUH Perdata) 2) Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam Pasal 1248 KUH Perdata. Untuk menentukan syarat “akibat langsung” dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman mansia normal dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur.
37
3) Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (Pasal 1250 ayat (1) KUH Perdata). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, Pasal 1250 KUH Perdata tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum. h. Perbuatan Melawan Hukum Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undangundang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undangundang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau halhal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan yaitu : “bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan, baik pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian”(M.A. Moegni Djojodirjo, 1982:25-26) Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Gugatan perbuatan melawan hukum didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: “setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
38
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1365 tersebut biasanya dikaitkan dengan Pasal 1371 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “penyebab luka atau cacatnya sesuatu badan atau anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada si korban untuk, selain penggantian biaya pemulihan, menuntut ganti kerugian yang disebabkan oleh luka cacat tersebut”. Menurut Munir Faudy, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat (Munir Faudi, 2002: 3). Menurut R. Wirjono Projodikoro, perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangna dari masyarakat (Wirjono Projodikoro,1994:13). Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa istilah “onrechtmatige daad” dirafsirkan secara luas, sehingga meliputi juga suatu hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakatm (Wirjono Projodikoro,1994:13). Menurut salah satu ahli hukum terkemuka asal Belanda, perbuatan melawan
hukum
yaitu
“delict”
adalah
“elke
eenzijdige
evenwichtsverstoring, elke eenzijdige inbreak op de materiele en immateriele levensgoerden van een persoon of een, een eenheid vormende, veelheid van persoon/een groop” (Ter Haar:216) ( tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang kelahiran dan kerohanian dari milik hidup seseorang atau gerombolan orang-orang). i. Keadaan Memaksa (Overmacht) Overmacht artinya keadaan memaksa. Dalam suatu perikatan jika Debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat
39
memenuhi prestasinya, Debitur tidak dapat dipersalahkan / di luaer kesalahan Debitur. Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena keadaan memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya. Dengan demikian Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang dimiliki oleh Kreditur dalam wanprestasi. Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan: “Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduka, pun tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, karenanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Pasal 1245 KUH Perdata: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadianntak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Berdasarkan pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan memaksa adalah keadaan dimana Debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan bunga. Unsur-unsur overmacht meliputi: 1) Ada halangan bagi Debitur untuk memenuhi kewajiban; 2) Halangan itu bukan karena kesalahan Debitur;
40
3) Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari Debitur. Dengan adanya overmacht, mengakibatkan berlakunya perikatan menjadi terhenti. Ini berearti bahwa: 1) Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi; 2) Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai; 3) Resiko tidak beralih kepada Debitur. Jadi, dengan adanya overmacht tidak melenyapkan adanya perikatan, hanya menghentikan berlakunya perikatan. Hal ini penting bagi adanya overmacht yang bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian timbal balik, apabila salah satu dari pihak karena overmacht terhalang untuk berprestasi maka lawan juga harus dibebaskan untuk berprestasi. Teori/ajaran overmacht meliputi : 1) Ajaran overmacht objektif atau ajaran ketidakmungkinan yang mutlak. Ajaran ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan overmacht apabila pemenuhan prestasi itu ‘tidak mungkin bagi siapapun bagi setiap orang” Contoh : A harus menyerahkan sapi kepada B, sapi itu ternyata di tengah jalan disambar petir, sehingga prestasi tidak mungkin dilaksankan bagi A dan bagi siapapun. Dalam hal demikian menurut ajaran overmacht objektif ada overmacht. 2) Ajaran overmacht subjektif atau ajaran ketidakmungkinan relatif. Ajaran ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan overmacht, apapbila pemenuhan prestasi itu “bagi Debitur itu sendiri memang tidak dapat dilakukan, tetapi orang lain mungkin masih bisa melakukan”. Contoh : Seorang pedagang tertentu harus menyerahkan barangbarang tertentu pada pedagang lain, kemudian ternyata harga barang itu sangat meningkat, sehingga pedagang tersebut tidak mungkin
41
untuk membeli barang yang harganya tinggi tersebut akibatnya ia tidak bisa memenuhi barang-barang tersebut pada pedagang yang lain itu. Ketidakmungkinan debitur untuk memenuhi prestasi menurut ajaran overmacht objektif disebut impossibilitas, sedangkan ketidakmungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi hanya bagi Debitur tertentu menurut ajaran
overmacht
Subjektif
terdebbut
difficultas
(menimbulkan
kaberatan). Pada tahun 1904 ajaran overmacht subjektif mulai menghadapi serangan dari F.J.Houwing dengan teorinya “Inspanning Leer Theory” yang kemudian memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap teori dan praktik. Menurut ajaran Inspanning Leer dari F.J.Houwing menyatakan bahwa Debitur dinyatakan bahwa tidak dapat melakukan prestasinya karena overmacht yang subjektif, dengan satu ketentuan yaitu debitur harus berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi prestasi tersebut. Kedua ajaran Overmacht objektif dan subjektif mengalami perlunakan atau pergeseran, sehingga karenanya antara keduanya tersebut lalu terdapat perbedaan yang mencolok, masing-masing tidak bersifat mutlak lagi. Perlunakan ajaran overmacht objektif sebagaimana tertera dalam pasal 1444 KUH Perdata, dimana dalam pasl itu terdapat ketentuan bahwa jika barang-barang itu terjadi di luara perdagangan atau hilang, maka keadaan tersebut itu pun termasuk overmacht juga, menurut ajaran overmacht objektif. Ketika prestasinya bertentangan dengan moral atau bertentangan dengan peraturan umum, keadaan ini juga disebut overmacht. Demikian juga jika Debitur dengan pemenuhan prestasi itu kepentingan Debitur
42
sendiri menjadi sangat dirugikan termasuk juga overmacht. Ajaran objektif tentang overmacht bukan lagi merupakan ketidakmungkinan bagi tiap orang untuk melakukan prestasi, tidak lagi berpangkal pada impossibilitas, tetapi merupakan kesangatsukaran (Difficultas) bagi tiaptiap orang untuk melakukan prestasi. Perlunakan ajaran overmacht subjektif ini berpendapat bahwa overmacht terjadi bila bagi Debitur itu sendiri tidak mungkin atau tidak bisa memenui prestainya. Hal ini mengalami perlunakan-perlunakan karena ternyata dalam lalu lintas masyarakat orang harus berani menanggung resiko. Kewajiban menanggung resiko yang demikian bisa terjadi karena sudah diperjanjikan secara tegas sesuai dengan sifat perjanjian tadi, maupun belum diperjanjikan secara tegas dalam perjanjian. Contoh : Perusahaan pengangkutan yang pekerjaan sehari-hari mengangkut barang-barang sesuai dengan sifat perusahaan tersebut, maka perusahaan tersebut harus menanggung resiko bila kemudian terjadi kerusakan-kerusakan mengenai barang-barang yang diangkutnya, sekalipun mengenai kerusakan-kerusakan itu di luar kesalahannya. Kewajiban
atas
pengangkutan
menanggung
disebut
atas
ajaran
resiko
dalam
perjanjian
menimbulkan
bahaya
(Gevaarzettingstheorie). Dengan demikian ajaran overmacht subjektif juga mengalami pergeseran atau perlunakan yaitu denngan adanya perjanjian yang membuat tidak berlakunya overmacht dengan ajaran yang menimbulkan bahaya. Overmacht dapat terjadi dengan adanya tiga kemungkinan : 1) Karena kehilangan; 2) Karena pencurian; 3) Karena iklim.
43
Tetapi di samping salah satu dari ketiga hal tersebut Debitur harus memenuhi persyaratan bahwa : 1) Dia tidak bersalah; 2) Debitur tidak menanggung resiko, baik karena undang-undang atau karena perjanjian; 3) Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan cara lain; Jadi di sini jelas bahwa yang membuktikan adanya overmacht adalah debitur dan kreditur tidak perlu membuktikan bahwa tidak ada overmacht. Bentuk khusus overmacht ini, kadang-kadang menimbulkan adanya overmacht tetapi kadang-kadang tidak dilihat dari kasusnya : 1) Undang-Undang dan tindakan Pemerintah Hal ini dikaitkan dengan larangan terhadap pengangkutan barang masuk ke Indonesia atau dari Indonesia. Hal ini dapat menghalangi pemenuhan prestasi dan akan menimbulkan overmacht. Bukannya prestasi itu tidak dapat dilakukan tetapi tidak boleh dilakukan karena adanya larangan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. 2) Sumpah Sumpah yang dilakukan dengan terpaksa dapat menimbulkan overmacht, sedangkan sumpah yang dilakukan dengan sukarela tidak akan menimbulkan overmacht. 3) Perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga Orangtua bertanggung gugat atas apa yang diperbuat anaknya yang melawan hukum, juga majikan terhadap perbuatan melawan hukum dari bawahannya, dan lain-lain.
44
4) Sakit Kadang-kadang sakit dapat dijadikan sebagai alasan untuk overmacht apabila prestasi yang dilakukan itu melekat pada pribadi orang-orang itu. 5) Pemogokan buruh Pemogokan buruh dapat menimbulkan overmacht apabila pemogokan buruh itu disebabkan oleh rasa solidaritas terhadap buruh-buruuh yang lain sehingga perusahaan tidak dapat memenuhi pesanan dari para pemesannya. Lain halnya apabila pemogokan itu disebabkan karena tuntutan dari para buruh yang layak ditolak oleh majikannya itu sendiri, maka pemogokan
itu
tidak
dapat
dijadikan
sebagai
alasan
overmacht. 6) Tidak memiliki uang Tidak memiliki uang pada umumnya tidak dapat menimbulkan overmacht, meskipun buikan kesalahan dari debitur dan tidak dapat diduga lebih dulu. j. Risiko Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. Barang yang diperjual belikan musnah diperjalanan karena ada suatu kecelakaan misalnya perahu yang mengangkut barang itu karam. Barang yang dipersewakan habis terbakar selama waktu dipersewakannya. Hal-hal inilah yang disebut risiko. Dari apa yang sudah diuraikan tentang pengertian risiko di atas, kita lihat peristiwa risiko berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalm hukum perjanjian dinamakan :
45
keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagai mana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi. Dalam buku ke III KUH Perdata, sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu pasal, yaitu pasal 1237. Pasal ini berbunyi sebagai berikut : “ Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si berpiutang”. Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Dengan begitu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum diserahkan, musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”, yaitu pihak yang menerima barang itu. Suatu perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, adalah suatu perikatan yang timbul karena perjanjian sepihak. Dengan kata lain, pembuat undang-undang tidak memikirkan perjanjian timbal-balik, dimana pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontraprestasi. Dia hanya memikirkan pada suatu perikatan secara abstrak, dimana ada satu pihak yang wajib melakukan suatu prestasi dan suatu pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut. Pasal 1237 hanya dapat dipakai pada perjanjian sepihak saja. k. Berakhirnya Suatu Perjanjian Berakhirnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu perikatan dapat hapus dengan pembayaran,tetapi perjanjian yang merupakan sumbernya mungkin belum hapus. Bila x dan y mengadakan jual beli perikatan dapat hapus dengan dibayarnya harga oleh y selaku pembeli. Tetapi mungkin perjanjiannya yaitu memiliki barang harus tercapai dulu. Jadi jika perikatan-perikatan yang terdapat. Bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir. Ada beberapa
cara
berakhirnya
perjanjian
yaitu
46
(http://rahmadhendra.staff.unri.ac.id/files/2013/04/BerakhirnyaPerjanjian.pdf diakses pada tanggal 18 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB): 1) Ditentukan dalam perjanjian oleh para belah pihak. Suatu perjanjian berakhir pada saat yang telah ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian Misalnya: penyewa dan yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir setelah 3 tahun. 2) Ditentukan oleh Undang-Undang Misalnya: perjanjian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan ditentukan paling lama 5 tahun. 3) Ditentukan oleh para pihak atau Undang-undang. Para pihak atau Undang-Undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian menjadi hapus. Misalnya : a) Pasal 1603 KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh. b) Pasal 1646 KUH Perdata suatu persekutuan adalah: (1) Dengan musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan. (2) Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan, atau dinyatakan pailit. 4) Pernyataan menghentikan perjanjian. Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belah pihak. Misalnya : baik penyewa maupun yang menyewakan dalam sewa menyewa orang menyatakan untuk mengakhiri perjanjian sewanya karena tidak memenuhi apa yang disepakati. 5) Ditentukan oleh Putusan Hakim. Dalam hal ini hakimlah yang menentukan barakhirnya perjanjian antara para pihak.
47
Misalnya: dalam suatu perjanjian sewa-menyewa rumah tidak ditentukan kapan berakhirnya, maka untuk mengakhiri perjanjian ini dapat dilakukan dengan putusan Pengadilan Negeri. 6) Tujuan Perjanjian telah tercapai. Dengan dicaainya tujuan perjanjian, maka perjanjian itu akan berakhir. Misalnya : dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapat barang maka perjanjian akan berakhir. 7) Dengan Persetujuan Para Pihak. Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling menhentikan perjanjiannya. Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata memberi kemungkinan berakhirnya suatu perjanjian dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak. Misalnya : perjanjian pinjaman pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan barangnya. 2) WARALABA a. Pengertian Waralaba Franchise berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha. Sedangkan pengertian franchise berasal dari bahasa Perancis abad pertengahan
diambil
dari
kata
“fran”
(bebas)
atau
“francher”
(membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa. Sebagai dampak era globalisasi yang melanda di berbagai bidang, terutama dalam bidang perdagangan dan jasa, franchise masuk ke dalam tatanan hukum masyarakat Indonesia, istilah franchise selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk mendalaminya. Kemudian istilah franchise diistilahkan sebagai waralaba yang diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM). Waralaba berasal
48
dari kata "wara" (lebih atau istimewa) dan "laba" (untung) sehingga waralaba berarti usaha yang memberikan laba lebih atau istimewa. Pengertian waralaba (franchise) menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan bahwa : Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Henry Campbell Black, dalam Black's Law Dictionary sebagaimana yang dikutip oleh Juajir Sumardi, memberikan beberapa pengertian mengenai franchise, sebagai berikut : 1) Franchise is a special privilege to do certain things conferred by government on individual v corporation, and which does not belong citizens generally of common right; e.g, right granted to offer cable television service. Dalam terjemahan bebasnya dapat diartikan sebagai : Waralaba adalah hak khusus yang istimewa untuk melakukan sesuatu yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan, yang bukan merupakan hak warga negara pada umumnya; misalnya hak untuk menawarkan layanan televisi kabel. 2) Franchise is a privilige or sold, such as to use a name or to sell product or service. The right given by a manufacturer or supplier to a retailer to use his products and name on terms and conditions mutually agreed upon. Dalam terjemahan bebasnya dapat diartikan sebagai : Waralaba
adalah
hak
istimewa
atau
menjual,
seperti
untuk
menggunakan nama atau menjual barang atau jasa. Hak tersebut diberikan oleh pabrikan atau pemasok barang kepada pengecer untuk
49
menggunakan barang dan nama berdasarkan ketentuan yang telah disepakati bersama. 3) Franchise is a lincense from owner of a trade mark or trade name permitting another to sell a product or service under that name or mark. Dalam terjemahan bebasnya dapat diartikan sebagai : Waralaba adalah pemberian lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang mengizinkan pihak lain untuk menjual barang atau jasa dibawah nama dan merek tersebut. Dari beberapa pengertian di atas, Black melihat waralaba sebagai : Suatu preferen atau suatu keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan untuk melakukan sesuatu yang belum merupakan hak dari setiap warga negara. Di samping itu, waralaba juga merupakan keistimewaan dengan pemberian hak untuk menjual barang atau jasa dengan menggunakan nama pabrikan atau supplier kepada pengecer untuk menggunakan namanya sesuai lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang diperbolehkan kepada pihak lain untuk menjual suatu produk atau pelayanaan berdasarkan merek atau nama dagang tersebut. Suharnoko mengemukakan bahwa waralaba pada dasarnya adalah “sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen”. Pemberi waralaba dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada Penerima Waralaba untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan identitas Pemberi Waralaba dalam wilayah tertentu (Suharnoko, 2004: 83). Salim HS memberikan definisi waralaba yaitu: Suatu kontrak yang dibuat antara franchisor dan franchisee, dengan ketentuan pihak franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk menggunakan merek barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu dan pembayaran sejumlah royalti tertentu kepada franchisor (Salim HS, 2008: 163). Menurut Gunawan Widjaja,Waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada
50
umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara. prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif (Gunawan Widjaja, 2003: 12). Jadi, dalam hal ini Penerima Waralaba tidak dapat menggabungkan usaha miliknya dengan usaha milik Pemberi Waralaba. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Perjanjian lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagaian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Lisensi tidak hanya menyangkut mengenai Merek tetapi juga mencakup hak-hak intelektual lainnya seperti paten, hak cipta, desain industri dan sebagainya. Menurut Adrian Sutendi, Perjanjian lisensi biasa tidak sama dengan perjanjian waralaba. Pada perjanjian lisensi biasa hanya meliputi satu bidang kegiatan saja, misalnya pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek tertentu ataupun lisensi pembuatan satu/beberapa jenis barang tertentu sedangkan pada perjanjian waralaba, pemberian lisensi melibatkan berbagai macam hak milik intelektual, seperti nama perniagaan, merek, model, desain (Adrian Sutendi, 2003: 93). Waralaba dapat berkembang dengan pesat karena metode pemasaran dan juga merupakan sarana pengembangan usaha ini, digunakan oleh berbagai jenis bidang usaha, mulai restoran, bisnis retail, salon, hotel, dealer mobil, dan sebagainya. Waralaba juga mulai berkembang di berbagai negara termasuk di Indonesia, baik waralaba asing yang dijalankan oleh pengusaha Indonesia sebagai Penerima Waralaba, maupun waralaba yang dikembangkan oleh pengusaha Indonesia, yang sering
51
disebut sebagai waralaba lokal, di antaranya Es Teller 77, Salon Rudy Hadisuwarno ,”SOTO SEGEER MBOK GIYEM” Boyolali. b. Bentuk-bentuk Waralaba Menurut Juajir Sumardi, bentuk-bentuk waralaba terbagi dua, yaitu : 1. Franchise sebagai Format Bisnis Waralaba sebagai format bisnis maksudnya adalah seorang Penerima Waralaba memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar operasional dan pemasaran yang dari Pemberi Waralaba. Martin Marldelsohn memberi pengertian mengenai franchise format bisnis yaitu : Pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang franhisor, dan untuk menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankanya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam bentuk ini terdapat tiga jenis format bisnis franchise, yaitu : a) Franchise pekerjaan Dalam bentuk ini Penerima Waralaba yang menjalankan usaha waralaba pekerjaan sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri. Misalnya, bisnis penjualan jasa penyetelan mobil dengan merek waralaba tertentu. Bentuk waralaba ini cenderung paling murah, umumnya membutuhkan modal yang kecil karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang berlebihan.
52
b) Franchise Usaha Waralaba usaha merupakan bidang waralaba yang berkembang pesat, bentuknya berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa. Biaya yang dibutuhkan lebih besar dari waralaba pekerjaan karena dibutuhkan tempat usaha dan peralatan khusus. c) Franchise Investasi Ciri utama yang membedakan jenis waralaba ini dari waralaba pekerjaan dan waralaba usaha adalah besarnya usaha, khususnya besarnya investasi yang dibutuhkan. Waralaba investasi adalah perusahaan yang sudah mapan, dan investasi awal yang dibutuhkan cukup besar. Misalnya, usaha hotel, maka dipilih cara kegiatan waralaba yang memungkinkan mereka memperoleh bimbingan dan dukungan. 2. Franchise Distibusi Produk Dalam bentuk ini seorang Penerima Waralaba memperoleh lisensi ekslusif untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Dalam bentuk ini, Pemberi Waralaba dapat juga memberikan waralaba wilayah, dimana Penerima Waralaba wilayah
atau
sub-pemilik
waralaba
membeli
hak
untuk
mengoperasikan atau menjual waralaba di wilayah geografis tertentu. Sub-pemilik waralaba itu bertanggungjawab atas beberapa atau seluruh pemasaran waralaba, melatih dan membantu Pemberi Waralaba baru, dan melakukan pengendalian mutu, dukungan operasi, serta program penagihan royalti. Franchise wilayah memberi kesempatan kepada pemegang franchise induk untuk mengembangkan rantai lebih cepat daripada biasa. Keahlian manajemen dan risiko finansialnya dibagi bersama oleh pemegang franchise induk dan sub-pemegangnya. Pemegang indukpun menarik manfaat dari penambahan dalam royalti dan penjualan produk.
53
Hampir setiap pengaturan sub-franchise adalah untuk dalam komitmen yang dibuat oleh setiap pihak. Namun, ciri bersama dari persetujuan yang dibuat adalah petnbagian bersama dari penghasilan franchise. Biaya franchise, royalti, sumbangan pengiklanan, dan biaya transfer franchise dibayar oleli pemegang franchise (franchisee) tunggal kepada sub- pemegang franchise, dan sebagian dari itu dibayarkan kepada pemegang franchise induk (franchisee induk) (Douglas J. Queen, 1991: 7). c. Subyek dan Obyek Perjanjian Waralaba Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban, atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, menurut Achmad Ichsan(Achmad Ichsan, 1996: 68). Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca indera dan mempunyai budaya. Sedangkan “orang” adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau person. Hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini, manusia di anggap atau diakui sebagai manusia pribadi, artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (recht persoon lijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Pada dasarnya seseorang dinyatakan sebagai subyek hukum ketika dilahirkan, dan berakhir ketika meninggal dunia. Namun hal ini tidak mutlak, sebab ada perkecualian seperti yang diatur dan ditetapkan dalam pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu, “Anak-anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.” Sebagai
pendukung
hak
dan
kewajiban,
seseorang
memiliki
kewenangan untuk bertindak, dan tentu kewenangan bertindak tersebut harus menurut hukum, dengan kata lain manusia mempunyai kewenangan
54
untuk melakukan tindakan hukum. Namun demikian kewenangan itu dibatasi oleh beberapa faktor dan keadaan tertentu, sehingga seseorang dapat dinyatakan wenang untuk melakukan tindakan hukum apabila dia itu dewasa dan sehat jiwanya serta tidak berada dalam pengampuan. Sedangkan pengertian dari obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh para subyek hukum. Dalam bahasa hukum, obyek hukum dapat juga di sebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan/ atau dimiliki subyek hukum. Misalnya, A meminjamkan buku kepada B. di sini yang menjadi obyek hukum dalam hubungan hukum antara A dan B adalah buku. Buku menjadi obyek hukum dari hak yang dimiliki A (Dudu Duswara Machmudin, 2001: 33). Dalam hal perjanjian waralaba, maka subyek hukumnya adalah pemberi waralaba dan penerima waralaba. Pengertian dari Pemberi waralaba dan penerima waralaba diatur dalam Pasal Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Pasal 3 dan Pasal 4, yang berbunyi : Pasal 3 : “Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.” Pasal 4 : Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba. Sedangkan
penerima
waralaba
menurut
Peraruran
Menteri
perdagangan Republik Indonesia No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 4 dan 5 dibagi menjadi dua yakni : Pasal 4 : ”Penerima Waralaba Utama (Master Franchisee) adalah Penerima Waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan yang diperoleh dari Pemberi Waralaba dan berbentuk Perusahaan Nasional.” Pasal 5 : ”Penerima Waralaba Lanjutan adalah badan usaha atau perorangan
yang
menerima
hak
untuk
memanfaatkan
dan/atau
55
menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba melalui Penerima Waralaba Utama. Obyek perjanjian waralaba atau klausula-klausula perjanjian waralaba sendiri menurut Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 Pasal 5 yakni : Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit : 1) nama dan alamat para pihak; 2) jenis Hak Kekayaan Intelektual; 3) kegiatan usaha; 4) hak dan kewajiban para pihak; 5) bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba; 6) wilayah usaha; 7) jangka waktu perjanjian; 8) tata cara pembayaran imbalan; 9) kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; 10) penyelesaian sengketa; dan 11) tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian. d. Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tidak mengatur lebih detail mengenai bagaimana proses pendaftaran waralaba, sehingga dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 memberikan penjelasan bahwa ”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Waralaba diatur dengan Peraturan Menteri.” Sampai saat ini peraturan menteri terbaru sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 belum dibuat sehingga merujuk pada Ketentuan Penutup dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, maka saat ini peraturan pelaksanan yang berlaku dari Peraturan Pemerintah ini adalah Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006. Adapun Pasal 21
56
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 sebagai dasar hukum pemberlakuan
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
12/M-
DAG/Per/3/2006 tersebut berbunyi : Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Proses selanjutnya dalam pendaftaran waralaba lebih lanjut mengenai pendaftaran waralaba berdasarkan Peraturan Menteri perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 adalah paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba ke instansi yang berwenang dengan lampiran yang sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/Per/3/2006 yakni : 1) Daftar Isian Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup,
diserahkan
kepada
pejabat
penerbit
STPUW
dengan
dilampirkan: a) Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/pengurus perusahaan; b) Copy Izin Usaha Departemen/Instansi teknis; c) Copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP); d) Copy Perjanjian Waralaba; e) Copy Keterangan tertulis (Prospektus usaha) Pemberi Waralaba; f) Copy Surat Keterangan Legalitas Usaha Pemberi Waralaba.
57
2) Copy dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilampirkan dokumen asli dan akan dikembalikan kepada pemohon STPUW setelah selesai pemeriksaan mengenai keabsahannya. Adapun
instansi
yang
berwenang
dalam
proses
pengurusan
permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPUW) berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 10 yakni : a) Menteri memiliki kewenangan pengaturan kegiatan usaha Waralaba. b) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri. c) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Gubernur DKI/Bupati/Walikota bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri. d) Bupati/Walikota melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri. e) Khusus Propinsi DKI Jakarta, Gubernur melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab dibidang perdagangan
bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal
dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri. Lebih
jelasnya
mengenai
Kewenangan
Penerbitan
STPUW
berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 10 diatas, akan digambarkan sebagai berikut :
58
a) Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri : Menteri Perdagangan -> Dirjen Perdagangan Dalam Negeri b) Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan permohonan di DKI Jakarta: Menteri Perdagangan -> Gubernur DKI -> Kadin Perdagangan c) Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan di luar DKI Jakarta : Menteri Perdagangan -> Bupati / Walikota -> Kadin Perdagangan Setelah Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup, diserahkan kepada pejabat penerbit STPUW maka paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat Penerbit STPUW menerbitkan STPUW dengan menggunakan formulir STPUW Model B (lihat di lampiran). Apabila Daftar Isian Permintaan STPUW dinilai belum lengkap dan benar, paling lambat 5 (lima) hari kerja, pejabat penerbit STPUW membuat surat penolakan disertai alasan-alasan. Bagi pemohon yang ditolak dapat mengajukan permohonan STPUW kembali. Jangka waktu Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba berlaku sampai jangka waktu lima tahun, seperti diatur dalam Pasal 12 ayat (5), (6), dan (7) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 yakni : (5) Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
59
(6) Dalam hal perjanjian Waralaba belum berakhir, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. (7) Proses permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba tidak dikenakan biaya. Jadi
berdasarkan
keseluruhan
penjelasan
diatas,
maka
dapat
disimpulkan bahwa setiap perorangan maupun badan usaha bisa mewaralabakan bisnisnya asalkan bisnis tersebut mempunyai ciri khas usaha,
terbukti
sudah
memberikan
keuntungan,
dan
sebagainya
berdasarkan pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007. Untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) seorang penerima waralaba harus melalui prosedur yakni : penyajian prosopektus penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada instansi terkait, pembuatan perjanjian waralaba dan paling lambat lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba. Jika tidak ada ada kendala berarti maka dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat Penerbit STPUW menerbitkan STPUW. 3. HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan untuk melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal, metaforik,
60
intuitif, imajinatif, dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik dan mampu memproses informasi secara simultan. Hak atas kekayaan intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan kedalam berbagai kategori salah satu diantara kategori itu, adalah pengelompokkan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak terwujud. Untuk hal ini dapatlah dilihat batasan benda yang dikemukan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik (Soebekti dan Tjitrosudibio, 1986: 155). Untuk pasal ini, kemudian Mahadi menawarkan, seandainya dikendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat sebagai berikut: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak. Selanjutnya
sebagaimana diterangkan oleh
Mahadi
barang
yang
dimaksudkan oleh Pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda menurut Pasal 503 KUH Perdata, yaitu penggolongan benda ke dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud (tidak bertubuh). Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapat diberikan contoh seperti hak tagih, hak atas bunga, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan,
Hak Atas
Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo, sebagaimana dikutif oleh Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak immateri itu tidak mempunyai benda (berwujud) sebagai objeknya. Hak milik immateril termasuk ke dalam hak-hak yang disebut Pasal 499 KUH Perdata. Oleh karena itu hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang objeknya bukan benda berwujud. Itulah
61
yang disebut dengan nama Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Pengelompokkan Hak Atas Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut dapat dikategori dalam kelompok sebagai berikut: a. Hak Cipta (Copy Rights) b. Hak Milik ( baca: hak kekayaan) Perindustrian (Industrial Property Rights) (Redaksi Kompas, 1986: 1) Hak cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu: a. Hak Cipta dan b. Hak yang berkaitan (bersempadan) dengan hak cipta (neighbouring rights) Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi:
(Convention
Establishing
The
World
Intellectual
Property
Organization) a. Patent (Paten) b. Utility models (mode dan rancang bangun) atau dalam hukum indonesia dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent) c. Industrial design (desain industrian) d. Trade merek (merek dagang) e. Trade names (nama niaga atau nama dagangan) f. Indication of source or appelation of origin (sumber tanda atau sebutan asal) Berdasarkan kerangka WTO/TRIPs ada dua bidang lagi yang perlu ditambahkan yakni: a. Perlindungan Varietas Baru Tanaman dan b. Integrated Circuit (rangkaian elektronik terpadu) Saat ini pengaturan tentang masing-masing bidang HAKI itu kita temukan dalam undang-undang Indonesia, yaitu tentang Hak Cipta diatur UndangUndang Nomor 19 tahun 2002, tentang Merek di atur dalam Undang-Undang
62
Nomor 15 tahun 2001, dan tentang Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001. Pada tahun 2001 bersamaan dengan lahirnya Udang-Undang Paten dan Merek yang baru, Indonesia telah menerbitkan beberapa peraturan baru yang tercakup dalam bidang perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual disamping paten dan merek yang sudah lebih dulu disahkan yaitu UndangUndang Nomor 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang UndangUndang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dengan demikian saat ini terdapat perangkat Undang-Undang HAKI Indonesia yakni: a. Hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 b. Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 c. Merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 d. Perlindungan Varietas Baru Tanaman diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 e. Rahasia Dagang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 f. Desain Industri diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 g. Desain tata letak sirkuit diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Selain hak-hak yang disebut di atas , ada bentuk figur hukum yang patut juga untuk dimasukkan ke dalam bagian Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah tentang perlindungan terhadap pembiakan hewan yang di dalamnya termasuk jenis hewan ternak, ikan, udang dan lain-lain yang memiliki implikasi komersial. Disamping itu dalam kaitannya dengan penerapan Undang-Undang Rahasia Dagang perlu pula diterbitkan Undang-Undang tentang waralaba. Pada saat ini pengaturan Undang-Undang mengenai waralaba memang belum ada namun waralaba telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2007 tentang waralaba dan mengenai
63
penyelenggaraan waralaba diatur alam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 53/ M-DAG/PER/2012. Dalam perjanjian waralaba, bukan wujud bendanya yang dilindungi seperti Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Mc. Donald, Coca-Cola, Wendy’s atau merek yang melekat pada produk tersebut, tetapi adalah hak untuk boleh melaksanakan resep komposisi makanan yang dilindungi sebagai rahasia dagang dalam produk makanan dan minuman tersebut beserta seluruh atribut yang harus dipenuhi dalam pemasarannya. Ada benda immateril yang menjadi objek perjanjian dalam perikatan waralaba tersebut. Oleh karena itu, seyogianya figur hukum ini haruslah ditempatkan dalam kerangka hukum benda atau hukum perikatan, tepatnya dalam sistematika benda tidak berwujud bersama-sama dengan hak atas kekayaan perindustrian lainnya,. Perikatan waralaba
sendiri dapat ditempatkan dalam subsistem hukum perikatan
sebagai bagian dari sistem hukum perdata. Kemudian lebih lanjut akan dibahas lebih mendalam mengenai tinjauan merek dan rahasia dagang. a. MEREK 1) Hak Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual Hak merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek bagian menimbang butir a, yang berbunyi: Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi internasional yang telag diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi ia bukan produk itu sendiri. Seringkali setelah barang dibeli, mereknya tak dapat dinikmati oleh si pembeli. Merek mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja bagi pembeli. Benda materilnyalah yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya benda
64
immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik. Inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril. Pada merek ada unsur ciptaan, misalnya desain logo atau desain huruf. Ada hak cipta dalam bidang seni. Oleh karena itu, dalam hak merek bukan hak cipta dalam bidang seni itu yang dilindungi tetapi mereknya itu sendiri sebagai tanda pembeda. 2) Sejarah Pengaturan Merek Di Indonesia Dalam sejarah perundangan-udnagan merek di Indonesia dapat dicatat bahwa pada masa kolonial Belanda berlaku Reglement Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 Jo. Stb. 1913 No. 214. Setelah Indonesia merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan itu masih terus berlaku, hingga akhirnya sampai pada akhir tahun 1961 ketentuan tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang merek perusahaan dan merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI. No. 2341 yang mulai berlaku pada bulan November 1961. Kedua undang-undang ini (RIE 1912 dan Undang-Undang Merek 1961) mempunyai banyak kesamaan. Perbedaannya hanya terletak pada antara lain masa berlakunya merek; yaitu sepuluh tahun menurut Undang-Undang Merek 1961 dan jauh lebih pendek dari RIE 1912; yaitu 20 tahun. Perbedaan lain, yaitu Undang-Undang Merek Tahun 1961 mengenal penggolongan barang-barang dalam 35 kelas, penggolongan
yang
semacam
itu
sejalan
dengan
klasifikasi
internasional berdasarkan persetujuan internasional tentang klasifikasi barang-barang untuk keperluan pendaftaran Merek di Nice (Perancis) pada tahun 1957 yang diubah di Stockholm pada tahun 1967 dengan penambahan satu kelas untuk penyesuaian dengan keadaan di
65
Indonesia, pengklasifikasian yang demikian ini tidak dikenal dalam RIE 1912. Undang-Undang Merek tahun 1961 ini ternyata mampu bertahan selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian undang-undang ini dengan berbagai pertimbangan harus dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek yang diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia. Tahun 1992 Nomor 81 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 3490, pada tanggal 28 Agustus 1992. Undang-Undang yang disebut terakhir ini berlaku sejak 1 April 1993. Adapun alasan dicabutnya Undang-Undang Merek Tahun 1961 itu adalah karena Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Memang jika dilihat Undang-Undang Merek Tahun 1992 ini ternyata memang banyak mengalami perubahanperubahan yang sangat berarti jika dibanding dengan Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961. Antara lain adalah mengenai sistem pendaftaran, lisensi, merek kolektif, dan sebagainya. Dalam konsiderans Undang-Undang Merek 1992 itu dapat dilihat lagi berbagai alasan tentang pencabutan Undang-Undang Merek Tahun 1961, yaitu: a) Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa. b) Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan. Alasan lain dapat juga kita lihat dalam penjelasan Undang-Undang Merek Tahun 1992 yang antara lain mengatakan: a) materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 bertolak dari konsepsi merek yang tumbuh pada masa sekitar Perang Dunia II.
66
Sebagai akibat perkembangan keadaan dan kebutuhan serta semakin majunya norma dan tatanan niaga, menjadikan konsepsi merek yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tertinggal jauh. Hal ini semakin terasa pada saat komunikasi semakin maju dan pola perdangangan antarbangsa sudah tidak lagi terikat pada batas-batas negara. Keadaan ini menimbulkan saling ketergantungan antara bangsa baik dalam kebutuhan, kemampuan maupun kemajuan teknologi dan lain-lainnya yang mendorong pertumbuhan dunia sebagai pasar bagi produk-produk mereka. b) perkembangan norma dan tatanan niaga itu sendiri telah menimbulkan persoalan baru yang memerlukan antisipasi yang harus di atur dalam undang-undang ini. Apabila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, Undang-Undang ini menunjukkan perbedaan-perbedaan antara lain: a) Lingkup pengaturan dibuat seluas mungkin. Untuk itu, judul dipilih yang sederhana tapi luwes. Berbeda dari undang-undang yang lama, yang membatasi pada merek perusahaan dan merek perniagaan yang dari segi objek hanya mengacu pada hal yang sama yaitu merek dagang. Sedangkan merek jasa sama sekali tidak dijangkau. Dengan pemakaian judul merek dalam undang-undang ini, maka lingkup mereka mencakup baik untuk merek dagang maupun jasa. Demikian pula aspek nama dagang yang pada dasarnya juga terwujud sebagai merek, telah pula tertampung didalamnya. Lebih dari itu dapat pula ditampung pengertian merek lainnya seperti merek kolektif. Bahkan dalam perkembangan yang akan datang penggunaan istilah merek akan dapat pula menampung pengertian lain seperti certification marks, assosiate marks dan lain-lainnya. b) Perubahan dari sistem deklaratif ke sistem konstitutif, karena sistem konstitutif lebih menjamin kepastian hukum dari pada
67
sistem deklaratif. Sistem deklaratif yang mendasarkan pada perlindungan hukum bagi mereka yang menggunakan merek terlebih dahulu, selain kurang menjamin kepastian hukum juga menimbulkan persoalan dan hambatan dalam dunia usaha. Dalam undang-undang ini, penggunaan sistem konstitutif yang bertujuan menjamin kepastian hukum disertai pula dengan ketentuanketentuan yang menjamin segi-segi keadilan. Jaminan terhadap aspek keadilan nampak antara lain, pembentukan cabang-cabang kantor merek di daerah, pembentukan komisi banding merek, dan memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan yang tidak terbatas melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi juga melalui Pengadilan Negeri lainnya akan ditetapkan secara bertahap, serta tetap dimungkinkannya gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Bahkan dalam masa pengumuman permintaan pendataran merek dimungkinkan pemilik merek tidak terdaftar yang telah menggunakan sebagai pemakai pertama untuk mengajukan keberatan. c) Agar permintaan pendaftaran merek dapat berlangsung tertib, pemeriksaannya
tidak
semata-mata
dilakukan
berdasarkan
kelengakapan persyaratan formal saja, tetapi juga dilakukan pemeriksaan substantif. Selain itu dalam sistem yang baru di introduksi adanya pengumuman permintaan pendaftaran suatu merek. Pengumuman tersebut bertujuan memberi kesempatan kepada masyarakat yang berkepentingan dengan permintaan pendaftaran merek mengajukan keberatan. Dengan mekanisme semacam ini bukan saja problema yang timbul dri sistem deklaratif dapat teratasi, tetapi juga menumbuhkan keikutsertaan masyarakat. Selanjutnya undang-undang ini mempertegas pula kemungkinan penghapusan
dan pembatalan merek
berdasarkan alasan dan tata cara tertentu.
yang telah terdaftar
68
d) Sebagai negara yang ikut serta dalam Paris Contention for the Protection of Industrial Property Tahun 1883, maka undangundang ini mengatur pula pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas yang diatur dalam konvensi tersebut. e) Undang-undang ini mengatur juga pengalihan hak atas merek berdasarkan lisensi yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. f) Undang-undang ini mengatur juga tentang sanksi pidana baik untuk tindak pidana yang diklasifikasi sebagai kejahatan maupun sebagai pelanggaran. Secara lebih rinci hal-hal yang baru dalam Undang-Undang Merek 1992 dapat dilihat sebagai berikut. a) Tentang pengertian merek yang sudah disebut secara tegas adalah berbeda dengan pengertian merek menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 yang dirancang tegas batasannya dirumuskan secara tegas. b) Disamping itu dalam Undang-Undang Merek Tahun 1992 diintrodusir tentang sistem pendaftaran berdasarkan hak prioritas. Sistem ini sama sekali tidak dikenal dalam Undang-Undang Merek 1961. Hak prioritas ini diperlukan karena tentunya bagi pemilik merek sulit apabila diwajibkan secara simultan mendaftarkan mereknya di seluruh dunia (pasal 12 dan 13 Undang-Undang Merek Tahun 1992). c) Perbedaan lain adalah dalam Undang-Undang Merek Tahun 1992 adanya sistem oposisi (opposition proceeding), sedangkan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 hanya dikenal prosedur pembatalan merek (conselatin proceeding) d) Dalam Undang-Undang Merek Tahun 1992 diintrodusir tentang lisensi
69
e) Dalam Rancangan Undang-Undang Merek Tahun 1992 kita jumpai pula tentang merek yang dikenal (know), tidak dikenal (unknown), dan sangat dikenal (well-known), f) Dalam Undang-Undang Merek dikenal merek jasa, merek dagang, dan merek kolektif. g) Dan lain-lain. Disamping itu ada lain-lain perubahan yang menarik misalnya cara pemeriksaan dari permohonan pendaftaran merek yang dilakukan secara intensif substantif, cara melakukan pengumuman terlebih dahulu sebelum diterima suatu pendaftaran dengan maksud agar supaya khlayak ramai (masyarakat umum) dapat mengajukan keberatan terhadapa si pemohon pendaftaran bersangkutan itu (Pasal 14, Undang-Undang Merek 1992). Penegasan hak-hak perdata pemilik yang terdaftar dan ketentuan bahwa tidak ada hak atas merek selain daripada yang terdaftar (Pasal 3 Undang-Undang Merek). Adanya sanksi pidana yang berat disamping kemungkinan-kemungkinan menuntut ganti kerugian secara perdata (Pasal 81 Undang-Undang Merek 1992 dan seterusnya). Juga soal sistem lisensi yang diakui secara tegas dan diatur pula pendaftarannya oleh kantor merek (Pasal 14 Undang-Undang Merek 1992) dan seterusnya. Kemudian juga permintaan pendaftaran merek dengan hak prioritas berdasarkan konvensi internasional (Pasal 12 Undang-Undang Merek 1992). Perubahan-perubahan yang demikian, sudah barang tentu akan membawa perubahan yang sangat besar dalam tatanan hukum hak atas kekayaan perindustrian, khususnya hukum merek yang selama bertahun-tahun menguasai pangsa hukum merek di Indonesia. Dengan adanya perubahan ini, diharapkan dapat lebih merangsang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, karena Indonesia telah memiliki kepastian hukum dalam pendaftaran mereknya, disamping adanya ancaman pidana yang berat dan terbukanya peluang untuk tuntutan ganti rugi secara perdata.
70
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka diakhirilah era berlakunya Undang-Undang Merek Tahun 1961 untuk kemudian memasuki era Undang-Undang Merek Tahun 1992. Selanjutnya Tahun 1997 Undang-Undang Merek Tahun 1992 tersebut juga diperbaharui lagi dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Dan pada saat ini tahun 2001 Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tersebut dinyatakan tidak berlaku. Dan sebagai gantinya kini adalah Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001. Adapun alasannya diterbitkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat diuraikan sebagai berikut: Salah satu perkembangan yang kuat dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun ini dan kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik bidang sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadi kegiatan di sektor perdangangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Disini merek memegang peranan yang penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional
yang telah diratifikasi Indonesia
serta pengalaman melaksanakan administrasi merek, diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Merek yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 81) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 31) selanjutnya disebut Undang-Undang Merek lama, dengan satu Undang-Undang tentang merek yang baru.
71
Beberapa perbedaan yang menonjol dalam undang-undang ini dibandingkan dengan undang-undang merek lama antara lain menyangkut proses penyelesaian permohonan. Dalam undang-undang ini pemeriksaan substantif dilakukan setelah permohonan dinyatakan memenuhi syarat secara administratif. Semula pemeriksaan substantif dilakukan setelah selesainya masa pengumuman tentang adanya permohonan, dengan perubahan ini dimaksudkan agar dapat lebih cepat diketahui apakah permohonan tersebut disetujui atau ditolak, dan memberi kesempatan pada pihak lain untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan yang telah disetujui untuk didaftar. Sekarang jangka waktu pengumuman dilaksanakan selama 3 bulan, lebih singkat dari jangka waktu pengumuman berdasarkan Undang-Undang Merek lama. Dengan dipersingkatnya jangka waktu pengumuman, secara keseluruhan akan dipersingkat pula jangka waktu penyelesaian permohonan
dalam
rangka
meningkatkan
pelayanan
kepada
masyarakat. Berkenaan dengan hak prioritas, dalam undang-undang ini diatur bahwa apabila pemohon tidak melengkapi bukti penerimaan permohonan yang pertama kali menimbulkan hak prioritas dalam jangka waktu tiga bulan setelah berakhirnya hak prioritas. Permohonan tersebut diproses seperti permohonan biasa tanpa menggunakan hak prioritas. Hal lain adalah berkenaan dengan ditolaknya permohonan yang merupakan kerugian bagi pemohon. Untuk itu, perlu pengaturan yang dapat membantu pemohon untuk mengetahui lebih lanjut alasan penolakan permohonannya dengan terlebih dahulu memberitahukan kepadanya bahwa permohonan akan ditolak. Selain perlindungan terhadap merek dagang dan merek jasa, dalam undang-undang ini diatur juga perlindungan terhadap indikasigeografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam atau faktor
72
manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang di-hasilkan. Selain itu juga diatur mengenai indikasi asal. Selanjutnya, mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan pereko-nomian/dunia usaha, penyelesaian sengketa merek memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga sehingga diharapkan sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Sejalan dengan itu, hams pula diatur hukum acara khusus untuk menyelesaikan masalah sengketa merek seperti juga bidang hak kekayaan intelektual lainnya. Adanya peradilan khusus untuk masalah merek dan bidang-bidang hak kekayaan intelektual lain, juga dikenal di beberapa negara lain, seperti Thailand. Dalam undang-undang inipun pemilik merek diberi upaya perlindungan hukum lain, yaitu dalam wujud penetapan sementara pengadilan untuk melindungi mereknya guna mencegah kerugian yang lebih besar. Di samping itu, untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa, dalam undang-undang ini dimuat ketentuan tentang arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Dengan undang-undang ini terciptalah pengaturan merek dalam satu naskah (single text) sehingga lebih memudahkan masyarakat menggunakannya. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan dalam undangundang merek lama, yang substantifnya tidak diubah, dituangkan kembali dalam undang-undang ini. 3)
Perjanjian Lisensi Yang dimaksud dengan lisensi adalah izin yang diberikan oleh
pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam waktu dan syarat tertentu.
73
Meskipun batasan tentang pengertian lisensi itu sudah ditetapkan secara tegas, namun ternyata pembuat Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001, masih rancu dalam memasangkan istilah lisensi itu dalam pasal-pasalnya. Lihatlah bunyi ketentuan Pasal 43 ayat (1) yang mengatakan bahwa: Pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak
lain
dengan
perjanjian
bahwa
penerima
lisensi
akan
menggunakan merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. Kutipan Pasal 43
ayat (1) mengatakan bahwa pemilik merek
terdaftar berhak memberi lisensi kepada pihak lain dan seterusnya, sedangkan kutipan Pasal 1 butir 13, mengatakan lisensi adalah izin yang diberikan pemilik merek terdaftar kepada pihak lain dan seterusnya. Jadi batasan lisensi itu menjadi tumpang tindih. Melihat dari rumusan pasal 43 ayat (I), lisensi itu berarti izin, hanya itu saja. Jika kata "lisensi" dalam pasal 43 ayat (I) itu diganti dengan rumusan lisensi menurut pasal 1 butir 13, maka akan terlihat kalimat-kalimat yang tumpang tindih. Pemberian lisensi kepada pihak lain, harus dituangkan dalam bentuk perjanjian lisensi, dan setiap pelepasan hak dengan perjanjian (termasuk perjanjian lisensi) harus dituangkan dalam bentuk akta perjanjian. Jadi tidak boleh dilakukan secara lisan. Akta yang dimaksudkan di sini, menimbulkan pertanyaan juga apakah boleh dalam bentuk akta di bawah tangan atau harus dengan akta autentik. Meskipun tidak ada jawaban untuk pilihan pertanyaan di atas, tetapi
yang
pasti
perjanjian
lisensi
itu
wajib
dimohonkan
pencatatannya pada Direktorat Jenderal HAKI dan dicatat dalam Daftar Umum Merek serta diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Melihat dari runtutan proses pencatatannya, seyogyanya akta yang dimaksudkan adalah akta autentik, bukan akta di bawah tangan. Alasannya adalah karena pencatatannya dalam Daftar Umum Merek
74
serta diumumkan dalam Berita Resmi Merek dimaksudkan untuk memberikan status kepastian hukum yang kuat, untuk itu haruslah didasarkan kepada alas hak (recbts titet) yang kuat pula. Segera setelah lisensi itu diberikan kepada orang lain, maka pemilik hak merek tetap dapat menggunakan sendiri atau memberi lisensi berikutnya kepada pihak ketiga lainnya, kecuali bila diperjanjikan lain. Artinya jika telah diperjanjikan bahwa pemilik hak merek setelah pemberian lisensi itu tidak menggunakan sendiri dan tidak akan memberikan lisensi berikutnya kepada orang lain, maka ia harus mematuhinya. Dalarn perjanjian lisensipun dapat pula diperjanjikan bahwa penerima lisensi boleh memberikan lisensi kepada orang lain. Namun demikian satu hal yang dilarang dalam pemberian lisensi adalah memuat ketentuan dalam perjanjiannya yang langsung maupun tidak
langsung
perekonomian
dapat Indonesia
menimbulkan atau
akibat
Pembatasan
yang yang
merugikan menghambat
kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya. (Pasal 47 ayat (1)). Untuk itu Direktorat Jenderal HAKI diberi kewenangan untuk menolak permintaan pencatatan perjanjian pemberian lisensi yang semacam itu. Pemberitahuan penolakan itu disampaikan secara tertulis kepada pemilik merek dan penerima lisensi atau kuasanya oleh pihak kantor merek dengan menyebutkan alasannya. Selanjutnya dalam pemberian lisensi ini juga, undang-undang memberikan perlidungan hukum kepada mereka yang beriktikad baik. Ini merupakan penerapan asas perlindungan hukum bagi yang beriktikad baik. Perlindungan hukum tersebut tersurat dalam Pasal 48 Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001, yaitu: (1)
Penerima
lisensi yang beriktikad baik, tetapi kemudian merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian lisensi
75
tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi. Penerima lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti kepada pemberi lisensi yang dibatalkan, melainkan wajib melaksanakan pembayaran royalti kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan. Dalam hal pemberi lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalti Secara sekaligus dari penerima lisensi, pemberi lisensi tersebut wajib menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka perjanjian Jisensi. Meskipun untuk keadaan ini masih dapat dilakukan "penyelundupan" hukum oleh mereka yang beriktikad tidak baik. Misalnya merek yang ditiru itu ia lisensikan kepada anak perusahaannya (dalam satu Holding Company) dengan royaiti yang rendah (murah). Tentulah penerima lisensi tersebut diuntungkan, yang sesungguhnya keuntungan perusahaan yang beriktikad tidak baik tersebut. b. Rahasia Dagang 1) Pengertian Rahasia Dagang Rahasia Dagang (Trade Secret) memegang peranan penting dalam ranah
Hak
Kekayaan
pentingnya seperti
Hak
Intelektual. Cipta
Rahasia
(Copyright),
Dagang Merek
sama (Trade
Mark)maupun Desain Industri (Industrial Design). Persaingan usaha global menyebabkan perlu diberikannya perlindungan terhadap Rahasia Dagang agar tercipta dunia usaha yang sehat dan dinamis. Pengaturan Rahasia Dagang di Indonesia tertuang dalam UndangUndang Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Pengertian Rahasia Dagang yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 yaitu : Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum dibidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.(Rachmadi Usman,2003:395)
76
Lingkup perlindungan Rahasia Dagang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang Pasal 2 meliputi: a) Metode produksi, b) Metode pengolahan, c) Metode penjualan, d) Atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum 2) Perlindungan Rahasia Dagang Perlindungan
rahasia
dagang tidak
perlu
melalui
proses
pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang mendapat perlindungan apabila: a) Bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat. b) Memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi. c) Dijaga
kerahasiaannya
apabila
pemilik
atau
para
pihak
yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut. 3) Tanggung Jawab Kerahasiaannya Suatu tanggung jawab atas kerahasiaan tidak dipikul oleh semua pekerja di perusahaan itu, yang bertanggung jawab hanya orang tertentu yang mengetahui dan memegang informasi tersebut. Orang lain di luar itu tidak dengan bebas menggunakannya. Secara nyata tanggung tanganinya
jawab kerahasiaan suatu
timbul
serentak
saat
ditanda
perjanjian. Seorang buruh atau pekerja setelah
bekerja pasti banyak pengalaman yang dapat ditimba, dari tempat bekerjanya dan mungkin bisa saja menyangkut hal-hal yang
77
dikelompokkan sebagai bagaian dari “trade secret”. Informasi demikian bisa saja oleh si pekerja digunakan jika ia kemudian pindah tempat
kerjanya,
misalnya
pada
perusahaan pesaing
majikan
lamanya atau juga untuk membuka usaha sendiri yang sejenis. Jika demikian dari pihak pekerja (bekas pekerja) diperbolehkan secara bebas tidak terkendali mungkin akan dapat merugikan pihak bekas majikan itu, untuk itu hukum mengaturnya. Keadaan seperti ini menimbulkan konflik, yaitu disatu sisi para pemilik informasi secara pribadi berdasarkan hak privacynya dapat merahasiakannya,
di
sisi
lain
kita
juga
bebas
untuk
mendapatkan informasi dan berbicara sebagai suatu hak asasi manusia (Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, 1997:230). 4) Pelanggaran Rahasia Dagang Pelanggaran rahasia dagang ada dua macam yaitu dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang menyatakan : Pasal 13 : Pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau
tidak
tertulis
untuk
menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan. Pasal 14 : Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5) Lisensi Rahasia Dagang Pemegang hak rahasia dagang berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan hukum seperti:
78
(1) Menggunakan sendiri rahasia dagang yang dimilikinya (2) Memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan rahasia dagang atau mengungkapkan rahasia dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial Pemegang rahasia dagang berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, kecuali jika diperjanjikan lain. Dengan tidak mengurangi ketentuan bahwa pemegang hak rahasia dagang tetap dapat melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud diatas. Perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktoran Jenderal dengan dikenai biaya. Perjanjian lisensi rahasia dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Perjanjian lisensi juga diumumkan dalam berita rahasia dagang. Perjanjian lisensi memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan
yang mengakibatkan persaingan
usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal demikian Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi. 4. Perlindungan Hukum Menurut Sudikno dalam fungsinya sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang
tertib,
menciptakan
ketertiban
dan
keseimbangan.
Dengan
tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi (Sudikno Mertokusumo, 1985: 58). Adapun fungsi primer dari hukum mencakup tiga pokok, dan salah satunya adalah
79
fungsi perlindungan. Hukum mempunyai fungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan-tindakan yang merugikan baik yang datang dari sesamanya dan kelompok masyarakat, termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan negara) ataupun yang berasal dari luar yang ditujukan terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai dan hak asasinya (Sudijomo Sastroatmodjo, 2005: 11). Fungsi primer dari hukum yang salah satunya adalah fungsi perlindungan dapat terealisasi jika elemen dari sitem hukum dapat berfungsi secara optimal. Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science Prespective Tahun 1975 menyebutkan bahwa hukum terdiri atas 3 elemen, yaitu perangkat struktur hukum yang berupa lembaga hukum, substansi hukum berupa peraturan perundan-undangan dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen atau elemen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara. Terdapat beberapa teori perlindungan hukum yang diutarakan oleh para ahli, seperti Setiono yang menyatakan bahwa perlindungan hukum merupakan tindakan untuk melindungi masyarakat dari kesewenangwenangan penguasa yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mewujudkan ketentraman dan ketertiban umum (Setiono, 2004: 3). Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun (Satjipto Rahardjo, 2000: 25). Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau
80
kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia (Muchsin, 2006: 14). Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (Muchsin, 2006: 20): 1) Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban. 2) Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Menurut CST. Kansil, yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum (CST. Kansil. 1989: 21). Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan, penulis menitikberatkan dan memilih konsep teori perlindungan hukum yang dipaparkan oleh Philipus M. Hadjon yang dijadikan sebagai “pisau analisis” dalam penulisan hukum karena konsep perlindungan hukum
81
menurut Philipus M. Hadjon dinilai paling relevan untuk diterapkan di negara Indonesia dan memiliki keterkaitan yang erat dengan penulisan hukum ini. Philipus M. Hadjon memberikan pengertian perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya (Philipus M. Hadjon, 1987: 18). Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan hukum ada dua macam, yaitu (Philipus M. Hadjon, 1987: 30): 1) Sarana Perlindungan Hukum Preventif Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif. 2) Sarana Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
82
manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadap hak asasi manusia di bidang hukum. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia bersumber pada Pancasila dan konsep Negara Hukum, kedua sumber tersebut mengutamakan pengakuan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan represif.
83
B. Kerangka Pemikiran
Waralaba
Hak Kekayaan Intelektual
Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang Merek
Perlindungan Hukum Pemberi Waralaba
Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
Kitab UndangUndang Hukum Perdata
Perjanjian Waralaba Soto SEGEER Mbok Giyem Boyolali
Undang-Undang no 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
Perlindungan Hukum Penerima Waralaba
Peraturan Menteri Perdagangan No 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba
Sesuai dengan PerUndangUndangan
Tidak Sesuai dengan PerUndangUndangan
84
Keterangan : Waralaba dalam masa sekarang ini berkembang sangat pesat. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba yang memberikan perlindungan hukum pada pemberi waralaba dan penerima waralaba. Waralaba wajib tunduk secara umum pada ketentuan KUH Perdata khususnya Pasal 1320 KUH Perdata dan 1338 KUH Perdata. Sedangkan secara khusus perjanjian waralaba di atur dalam Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan No 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Khusus untuk waralaba bidang kuliner juga harus memperhatikan UndangUndang Hukum Merek Nomor 15 Tahun 2001 dan Undang-Undang Rahasia Dagang Nomor 30 Tahun 2000. Apabila ketentuan-ketentuan tersebut tidak diperhatikan, perlindungan hukum bagi penerima waralaba dan pemberi waralaba tidak akan tercapai. Maka dari itu penulis di dalam penelitian ini berusaha memaparkan bagaimana isi perjanjian waralaba Soto SEGEER Mbok Giyem Boyolali apakah telah sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku baik dengan KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001tentag merek, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang rahasia dagang, Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan No 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Selain penulis melakukan pengkajian mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima waralaba dalam perjanjian waralaba Soto SEGEER Mbok Giyem Boyolali.