perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori
Berkaitan dengan kajian teori, peneliti menggunakan pendekatan struktural fungsional. Pendekatan tersebut berpandangan, bahwa masyarakat terpadu atas dasar kata sepakat terhadap nilai dasar kemasyarakatan yang menjadi panutannya. Nilai dasar yang dimaksud adalah kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan setiap masyarakatnya. Berbagai perbedaan dan kepentingan yang muncul dalam masyarakat tersebut merupakan perwujudan dalam menerangkan hubungan antara konsep struktural dan fungsional. Menurut Talcott Parson yang dikutip George Ritzer (2012: 407-408), teori struktural fungsional adalah suatu teori yang mengkaji tentang sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian
yang
saling
berkaitan
dan
menyatu
dalam
keseimbangan. Artinya, pendekatan yang berusaha memandang masyarakat sebagai bagian yang dapat menghasilkan keharmonisan di dalam masyarakat. Untuk menghasilkan keharmonisan, diperlukan kesadaran dalam masyarakat untuk saling menjaga keadaan sosial dalam kehidupannya. Berdasarkan pandangan tersebut, peneliti beranggapan bahwa pendekatan struktural fungsional dapat digunakan dalam penelitian in i. Hal tersebut sesuai dengan kajian penelitian ini, yaitu menilai kemampuan mahasiswa sejarah dalam berinteraksi dalam kelas. Kemampuan interaksi yang ditimbulkan di dalam kelas tersebut dapat memicu tingkat kreatififitas mahasiswa. Selain kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
interaksi yang dinilai, kemampuan penyesuaian diri dalam kelas juga menjadi perhatian peneliti. Maksudnya, adalah keragaman karakter dan budaya setiap mahasiswa yang dibawa ke dalam kelas memberikan pengaruh terhadap suasana pembelajaran. Oleh karena itu, keragaman karakter dan budaya pada setiap mahasiswa dapat disimbolkan sebagai unsur struktural, sedangkan kemampuan interaksi d isimbolkan sebagai unsur fungsional. Pendapat tersebut sesuai dengan pandangan Talcott Parson yang dikutip Peter Beilharz, yang menerangkan kedudukan struktural fungsional melalui konsep teori-teori masyarakat yang sudah dialih bahasa dalam bahasa indonesia, yakni: Pola-pola nilai dalam sistem kultural mengendalikan norma-norma sosial, yang lantas mengendalikan motif-motif dalam sistem personalia, yang mengendalikan sistem baru, yakni relasi antara organisme-organisme yang berperilaku (yang akhirnya menjadi sistem) dengan lingkungan fisiknya (Peter Beilharz, 2005: 297).
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dijabarkan bahwa teori struktural fungsional berguna untuk menganalisa perilaku-perilaku masyarakat yang muncul dalam kehidupan sosial. Setiap perilaku masyarakat membawa pengaruh terhadap keadaan masyarakat lainnya, sehingga cenderung menciptakan sebuah tingkah laku baru. Hal inilah, yang menjadi landasan peneliti dalam menggunakan teori struktural fungsional pada proses pembelajaran, bahwa segala tindakan yang terjadi di dalam kelas akan membawa perubahan sosial dalam diri mahasiswanya. Selain teori struktural fungsional, peneliti juga mengkaitkan dengan teori lainnya yang digunakan untuk memperkuat landasan penelitian. Beberapa teori lainnya dijelaskan pada sub bab berikutnya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Pengertian Multikultural (ragam budaya). Multikultural (ragam budaya) di sini, digambarkan sebagai kebudayaan yang secara hakiki mengandung pengakuan tentang martabat manusia dalam komunitas kebudayaannya. Pengakuan keberagaman adalah merasa dihargainya untuk hidup bersama dengan kalangan masyarakat yang berbeda. Sedangkan budaya, menurut Agnes Heller yang dikutip Peter Beilharz (2005:227), adalah penggambaran diri seseorang berdasarkan pengalaman hidup yang diterapkan dalam masyarakat. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diartikan bahwa pengakuan keragaman budaya berkaitan dengan budaya dan tingkah laku seseorang. Pengakuan keberagaman budaya tersebut menunjukkan kemajemukan budaya yang lambat laun mengacu pada sikap khas terhadap kemajemukan budaya tersebut (Raymond Williams dalam Andre Ata Ujan, 2009: 13-14). Keragaman budaya tersebut dapat meliputi pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lainya. Pemahaman tersebut juga diungkapkan oleh Tilaar (2007: 49), yang menyebutkan bahwa keragaman budaya merupakan suatu upaya untuk menggali potensi budaya sebagai modal yang dapat membawa komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan resiko. Namun pemahaman menggali potensi budaya ini bukan merupakan cara pandang yang mengartikan tentang kebenaran-kebenaran budaya lokal. Pemahaman tersebut harus dapat membantu pihak-pihak yang berbeda untuk dapat membangun sikap saling menghormati satu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan lainnya, sehingga dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut selalu tetap menciptakan perdamaian dan kerukunan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. Perbedaan-perbedaan yang ditonjolkan dalam keragaman budaya berasal dari pandangan hidup suatu masyarakat tertentu. Berbagai pandangan hidup tersebut dibentuk melalui pengalaman berdasarkan kebenaran yang ingin dimiliki oleh semua orang dan layak dihormati. Kebenaran setiap manusia ini bertujuan untuk memperjuangkan nilai-nilai keragaman budaya, seperti: nilai-nilai semangat kebangsaan (nasionalisme). Nilai-nilai tersebut, perlu dimunculkan pada pemahaman keragaman budaya. Diharapkan dengan kemunculannya, dapat menyatukan seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang kebudayaan dan berbagai perbedaannya (Tilaar, 2007: 28). Berbagai pemahaman yang ditonjolkan dalam keragaman budaya ini, antara lain keragaman, toleransi, tanggung jawab, dan keadilan. Hal tersebut diharapkan tumbuh pada peserta didik sehingga memunculkan rasa persatuan dan kesatuan. Kemunculan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar sosial dalam menumbuhkan rasa kebersamaan dalam diri peserta didik. Kenyataannya, untuk dapat menciptakan dasar sosial yang kuat sangat susah. Hal ini dikarenakan beberapa hal yang sulit diterapkan dalam kehidupan sosial, karena setiap manusia pasti mempunyai keinginan dan tujuan yang berbeda-beda, itu biasanya bersifat perorangan. Keadaan masyarakat yang majemuk tersebut, merupakan ciri utama masyarakat Indonesia. Namun dalam keadaan modern sekarang masih ada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembedaan-pembedaan golongan masyarakat baik secara sosial dan ekonomi walaupun pembedaan tersebut tidak secara jelas terlihat. Hal tersebut menandakan masih adanya segelintir orang yang belum memahami arti sebuah perbedaan di dalam masyarakat. Sesuai pandangan Dardiri Hasyim, yang menjelaskan, bahwa: Realitas tersebut menandakan sebuah masyarakat yang majemuk secara horizontal ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial yang berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, ras, atau asal usul keturunan atau perilaku. Secara vertikal juga ditandai dengan adanya perbedaan faktor penghasilan atau ekonomi (Dardiri Hasyim, 2008: 28).
Pandangan tersebut, menjadi dasar dalam mengkaji keragaman budaya yang ada di masyarakat banyuwangi. Untuk memahami keberagaman budaya masyarakat Banyuwangi, tentu tidak terlepas dari keberagaman etnis yang ada di wilayah ini. Keberagaman etnis tersebut memberikan dampak pada tumbuh dan berkembangnya kebudayaan. Kebudayaan tersebut selain berfungsi untuk memperkaya khazanah kearifan lokal, juga sebagai modal sosial dalam membangun keharmonisan etnis masyarakat Banyuwangi. Masyarakat yang ada di wilayah banyuwangi terdiri dari berbagai etnis, namun yang paling menonjol tergabung dalam tiga kelompok besar, yakni etnis jawa, Madura, dan Using. Persebaran ketiga etnis di wilayah Banyuwangi hampir merata, namun seiring banyaknya pendatang, persebaran etnis Using mulai terbatas. Persebaran etnis Using hanya terjadi di beberapa daerah pedalaman, antara lain rogojampi, srono, pesanggaran, tegal dlimo, songgon, dan banyuwangi kota. Walaupun masyarakat etnis Using merasa terpinggirkan dengan etnis lainnya, tidak mempengaruhi corak keh idupan masyarakat Banyuwangi secara umum yang masih kental dengan budaya Using.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Salah satu corak budaya Using pada masyarakat Banyuwangi adalah mempunyai prinsip hormat yang bersifat kesetaraan. Maksud kesetaraan ini, yaitu kebiasaan yang menjadi budaya di tengah masyarakat Banyuwangi dalam menghargai orang lain itu sama. Sehingga dalam penggunaan bahasa sehari-hari tidak mengenal istilah bahasa kromo inggil dan ngoko, walaupun berbicara dengan orang yang lebih tua. Kebiasan sederhana itu, bagi masyarakat Banyuwangi merupakan hal lumrah, namun sangat berbeda jika dipandang dari masyarakat pendatang yang ada di banyuwangi. Anggapan yang berbeda tersebut, menjadi peluang untuk melemahkan
keharmonisan
masyarakat
banyuwangi
yang
berlandaskan
keragaman budaya. Kecenderungannya adalah mudah memunculkan konflik sosial di dalam masyarakat. Kecenderungan memunculkan konflik sosial di Banyuwangi sangat mudah. Hal tersebut sesuai dengan corak masyarakat banyuwangi yang memandang kesetaraan hidup. Dengan kesetaraan hidup tersebut, menghilangkan rasa hormat kepada golongan tua. Pandangan tersebut akan mengarahkan kepada budaya masyarakat modern yang bersifat kapitalism, yang berpendapat bahwa status sosial yang menentukan. Fakta sosial tersebut, juga didukung oleh pendapat Kusnadi, pengamat masyarakat Using, Pesisir, dan Madura, yang menerangkan bahwa: Dengan semakin kompleksnya kepentingan masyarakat, Negara, dan korporasi serta dinamisnya perkembangan masyarakat, masalah-masalah sosial yang baru bisa muncul setiap saat dan sulit diprediksi sebelumnya, sehingga dapat terjadi konflik-konflik terbuka yang dapat mengarah pada disintegrasi sosial (Jurnal Seni dan Budaya Banyuwangi, 2009: 49-50).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan paparan tersebut, mengindikasikan pentingnya pemahaman tentang keragaman budaya pada masyarakat Banyuwangi. Pemahaman tentang keragaman budaya itu, oleh peneliti berusaha diterapkan pada proses pembelajaran. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran tentang fungsi keragaman budaya dapat membentuk setiap peserta didik bersikap saling menghormati.
2. Pengertian Semangat Kebangsaan (nasionalisme). Kajian
teori
selanjutnya
adalah
pemaparan
semangat
kebangsaan
(nasionalisme). Pada penelitian ini, semangat kebangsaan dihubungkan dengan tindakan menanamkan kesadaran mahasiswa sejarah dalam berperilaku. Tindakan tersebut sesuai dengan pandangan Amin Abdullah yang dikutip Ainun Yakin (2005: xviii), bahwa penanaman kesadaran dalam masyarakat Indonesia akan sebuah keragaman (plurality), kemanusiaan (humanity), kesatuan (unity), dan kesamarataan (equality) sangat penting dilakukan. Hal tersebut sebagai landasan untuk dapat menjadi solusi dalam mengembangkan atau memupuk konsep semangat kebangsaan (nasionalisme) dalam individu. Berdasarkan pandangan tersebut, peneliti sangat menekankan pembinaan dan penanaman keberagaman pada peserta didik sebagai penjiwaan semangat kebangsaan (nasionalisme). Hal tersebut, sesuai dengan pandangan Soediman Kartohadiprodjo yang berbicara pentingnya penguatan jiwa bangsa Indonesia, yakni: Seperti bagaimana pentingnja bagi seseorang itu sendiri maupun bagi pergaulan hidup dimana ia hidup untuk mengetahui bagaimana spirit dari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seseorang itu, demikian pula adalah sangat penting bagi suatu bangsa untuk hidup atas suatu spirit/ djiwa/ semangat jang tertentu. Hal ini baik bagi bangsa itu sendiri, karena lalu mendjadi terang baginja ke-arah mana ia harus memperkembangkannja… (Soediman Kartohadiprodjo, 1970: 49). Pandangan tersebut, dapat diartikan sebagai kedudukan sebuah jiwa kebangsaan yang harus dimiliki oleh setiap Negara. Bahwa dengan jiwa kebangsaan yang dimiliki suatu bangsa dapat menjadi pedoman setiap warga negaranya dalam menentukan harapan yang ingin dicapai oleh negaranya. Lebih lanjut terhadap maksud penjelasan diatas adalah pemahaman semangat kebangsaan (nasionalisme) sangat perlu ditanamkan dalam setiap masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali pada pendidikan, menurut peneliti berpadangan, bahwa dunia pendidikan mempunyai peran vital dalam membentuk generasi muda bangsa Indonesia yang berjiwa semangat kebangsaan. Pandangan peneliti tersebut, diperkuat dengan pendapat Mukhlis Paeni dalam Azzam Manan (2011: 82-83), yang berpandangan saat ini, di masa modern dunia pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan generasi muda yang mempunyai semangat kebangsaan (nasionalisme). Berdasarkan penjelasan tersebut, semangat kebangsaan (nasionalisme) diartikan sebagai bagian budaya yang mencakup perasaan, komitmen, dan kesetiaan pada bangsa dan negara, serta rasa memiliki bangsa dan negara itu. Semangat kebangsaan (nasionalisme) berakar dari timbulnya kesadaran kolektif tentang ikatan tradisi untuk selalu menjaga identitas bangsa dari pengaruh budaya luar. Oleh karena itu, pemahaman dasar seperti itulah merupakan modal utama untuk memahami konsep keberagaman budaya dalam dunia pendidikan, sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pondasi menciptakan peserta didik yang paham terhadap jati diri bangsanya. Untuk itu, unsur semangat kebangsaan (nasionalisme) sangat perlu diterapkan dalam setiap proses pembelajaran. 3. Pengertian Konstruktivisme. Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah staf pengajar tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada mahasiswa, tetapi mahasiswalah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Kontrukstivisme juga sebagai pembelajaran yang bersifat generative, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pangalaman nyata. Kontrukstivisme sebenarnya bukan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman. Oleh karena itu, Slavin (2009: 10) menyatakan bahwa dalam proses belajar dan pembelajaran siswa harus terlihat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas. Guru dapat memfasilitasi dengan menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan perubahan secara konseptual.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Beberapa pandangan tokoh-tokoh besar konstruktivisme antara lain konsep Jean Piaget dan Vygotsky tentang belajar yang merupakan dasar bagi pendekatan kontruktivisme dalam belajar. 1. Konsep Belajar Kontrukstivisme Jean Piaget Menurut Piaget (dalam Dale H. Schunk, 2012: 107-108), manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yang masingmasing mempunyai makna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Oleh karena itu, pada saat manusia belajar, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi. Proses organisasi adalah kegiatan ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Melalu i proses organisasi inilah manusia dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatnya dengan menyesuaikan
informasi
dimilikinya,
sehingga
tersebut dengan struktur pengetahuan manusia
dapat
mengasimilasikan
yang dan
mengakomodasikan informasi atau pengetahuan tersebut. Proses adaptasi adalah kegiatan yang berisi dua kegiatan. a. Menggabungkan atau mengintegrasikan pengetahuan yang diterima oleh manusia atau disebut dengan asimilasi. b. Mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam proses adaptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar (Suyono, 2004: 109) yaitu skemata, asimilasi, akomodasi dan keseimbangan. a. Skemata
yaitu
manusia
berusaha
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya. b. Asimilasi yaitu penyerapan informasi atau pengalaman baru dalam pikirannya dan memadukan stimulus dengan perilaku yang sudah ada dalam diri. c. Akomodasi yaitu menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. d. Keseimbangan yaitu keserasian antara asimilasi dan akomodasi dalam diri seseorang agar terjadi efisiensi interaksi dalam lingkungannya. Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperolah secara
pasif
oleh
seseorang,
melainkan
melalui
tindakan.
Bahkan
perkembangan kognitif anak tergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi
dan
berinteraksi
dengan
lingkungannya.
Sedangkan
perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses kesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Berkaitan dengan penelitian ini, Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tob in, 1992). Teori
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang mahasiswa sejarah sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwaperistiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang selukbeluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Perlu disadari bahwa mahasiswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mahasiswa sejarah perlu menyusun dan membangun pengetahuan
melalui
berbagai
pengalaman.
Hal
terpenting
dalam
pembelajaran adalah mahasiswa sejarah perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan. Ditekankan juga dalam penelitian ini, pandangan konstruktivisme memberikan
penekanan
bahwa
belajar
merupakan
suatu
proses
mengkonstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental mahasiswa sejarah secara aktif. Belajar juga merupakan suatu proses mengasimilasi dan menghubungkan
bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman
tentang objek tertentu menjadi lebih kokoh. Berdasarkan pemikiran-pemikiran inilah, yang menyebabkan di dalam proses pembelajaran, mahasiswa sejarah harus
terus didorong untuk memiliki semangat dan motivasi yang tinggi
untuk mengembangkan penalaran terhadap apa yang mereka pelajari, dengan cara mencari makna, membandingkan sesuatu yang harus dipelajari dengan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jadi, belajar dalam hal ini lebih menitikberatkan pada pengembangan pemikiran yang memungkinkan mahasiswa sejarah mampu memberdayakan fungsi-fungsi fisik dan psikologis dirinya secara menyeluruh. Itulah sebabnya konstrutivisme menjadi landasan peneliti dalam mengembangkan model pembelajaran sejarah berbasis multikultural.
4. Pembelajaran Multikultural (ragam budaya). Menurut Kochhar (2008: 475), pembelajaran sejarah merupakan mata pelajaran yang dianggap penting untuk melahirkan sebuah sikap intelektual dan integritas bangsa. Pembelajaran sejarah dapat memberikan sebuah inspirasi bagi peserta didiknya bahwa proses sosial merupakan komunikasi yang terjadi di masyarakat yang memerlukan sebuah pemahaman dan daya pikir kuat dalam menganalisis segala interaksi masyarakat agar terhindar dari kesalahpahaman. Kochhar lebih lanjut menjabarkan, bahwa sasaran utama pembelajaran sejarah dalam dunia pendidikan adalah mengajarkan peserta didik dalam memperkokoh rasa semangat kebangsaan (nasionalisme) dan mencintai negaranya (Kochhar, 2008: 475). Pendidikan sejarah menjadi jalan terbaik untuk menanamkan semangat kebangsaan (nasionalisme) dalam diri peserta didiknya. Selain hal tersebut, pendidikan sejarah juga mempunyai peranan penting dalam membina identitas nasional yang merupakan salah satu modal utama untuk membangun bangsa pada masa kini maupun masa yang akan datang. Pandangan tersebut diperkuat oleh Poerbakawatja yang dikutip I Gde Widja, bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, jasmaniah maupun rohaniah serta mampu memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatannya (I Gde Widja, 1989: 100). Berdasarkan pandangan diatas, dijelaskan bahwa kedudukan pembelajaran sejarah adalah pewarisan nilai-nilai luhur dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang berupa semangat kebangsaan dan berkepribadian nasional. Berdasarkan penjelasan tersebut, menekankan bahwa pembelajaran sejarah juga perlu mengajarkan keragaman budaya pada setiap proses pembelajarannya. Hal tersebut digambarkan Hilda Hernandez yang dikutip Choirul Mahfud (2009: 196), bahwa inti dari pendidikan yang bercorak keragaman budaya adalah bagian dari perspektif yang mengakui kenyataan politik, sosial dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang saling berhubungan dan beragam secara budaya. Pengertian tersebut juga dimaksudkan sebagai renungan terhadap pentingnya kedudukan budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status sosial, dan ekonomi dalam setiap proses pembelajaran. Lebih lanjut diterangkan menurut Gorski, dalam pendidikan berbasis multikultural ini terjadi sebuah perubahan yaitu perubahan diri peserta didik, perubahan proses belajar mengajar, dan perubahan masyarakat (Choirul Mahfud, 2009: 196). Artinya, dengan adanya berbagai interaksi dalam pembelajaran tersebut dapat menciptakan sebuah dimanika pembelajaran yang penuh dengan warna dari setiap peserta didik yang beraneka ragam latar belakang.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan penjelasan dan pemaparan di atas, menunjukkan fungsi pembelajaran sejarah dalam pendidikan sangat berguna dalam membentuk peserta didik berkarakter dan mempunyai wawasan kebangsaan yang kuat. Hal tersebut dibuktikan pada tujuan pembelajaran sejarah yang ingin menularkan nilai-nilai luhur yang sudah tertanam dalam generasi terdahulunya kepada generasi muda saat ini.
5. Pengertian Model Pembelajaran. Secara keseluruhan proses pendidikan di kelas, pembelajaran merupakan kegiatan yang paling utama. Hal ini berarti keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Pemahaman seorang dosen terhadap pengertian pembelajaran akan sangat mempengaruhi cara dosen itu mengajar. Menurut Dewi Salma Prawiradilaga (2007: 33), model rancangan pembelajaran secara umum dapat diartikan sebagai tampilan grafis, suatu kerangka konseptual yang melukiskan aturan yang sistematis dalam mengorganisasikan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Dengan demikian, aktivitas belajar mengajar benar-benar merupakan kegiatan yang tertata secara sistematis dan terlaksana sesuai dengan yang telah direncanakan. Selanjutnya, menurut Wina Sanjaya (2008: 77-78), model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi atau prosedur tertentu. Beberapa ciri tersebut antara lain (1) rasional teoritik yang logis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disusun oleh para pengembangnya, (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana mahasiswa belajar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil, dan (4) lingkungan belajar yang dapat diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat dicapai. Jadi,
berdasarkan
uraian
diatas,
bahwa
model
pembelajaran
menggambarkan keseluruhan urutan alur langkah yang pada umumnya diikuti oleh serangkaian kegiatan pembelajaran. Bentuk pembelajaran menunjukkan dengan jelas kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan oleh dosen atau mahasiswa, urutan kegiatan-kegiatan tersebut dan tugas-tugas khusus apa yang perlu dilakukan oleh mahasiswa.seluruh kegiatan tersebut harus dapat diterapkan pada saat pelaksanaan pembelajaran sejarah yang menggunakan model pengembangan dari peneliti.
a. Fungsi Model Pembelajaran. Model pembelajaran dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting, apakah yang dibicarakan adalah tentang mengajar di kelas, atau di luar kelas untuk mengawasi peserta didik. Menurut Joyce dan Weil yang dikutip Rusman (2010: 132-133), suatu model pengajaran yang merupakan gambaran dari lingkungan pembelajaran yang juga meliputi perilaku sebagai dosen saat model tersebut diterapkan. Pada hakekatnya, suasana pembelajaran tersebut dapat membantu peserta didik untuk memperoleh informasi, ide, keterampilan,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nilai, cara berpikir, sarana untuk mengekpresikan dirinya, ataupun bagaimana cara belajar yang baik. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, hasil akhir yang berupa nilai prestasi menjadi tujuan utama pembelajaran dibandingkan manfaat yang diterima oleh setiap peserta didik saat proses belajar mengajar. Hal tersebut, sesuai dengan pandangan Joyce dan Weil, yaitu pentingnya manfaat sebuah proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan belajar peserta didiknya di masa yang akan datang (Rusman, 2010: 133). Oleh karena itu, proses belajar mengajar tidak hanya memiliki makna untuk menggambarkan kekinian saja, akan tetapi juga bermakna yang berorientasi ke depan. Berdasarkan uraian di atas, bahwa proses belajar mengajar harus dapat memberikan manfaat kepada setiap peserta did ik terutama kemampuan berpikir kritis. Hal tersebut, jika d ikaitkan dengan penelitian ini adalah manfaat dari penggunaan model pembelajaran ini harus dapat meningkatkan daya pikir kritis mahasiswa sejarah dalam menghadapi permasalahan yang ada. Untuk dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa sejarah tersebut, dimungkinkan ikut campur dosen dalam membimbing mahasiswa sejarah untuk meningkatkan kemampuannya.
b. Pengembangan Model Pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran kooperatif ini bertujuan membantu peserta didik untuk menumbuhkan kerja sama, berpikir kritis, dan kemampuan membantu teman sekelompok dalam memahami materi dan permasalahan yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan oleh peneliti dalam pembelajaran terutama
pembelajaran
sejarah.
karena
model
pembelajaran
yang
dikembangkan oleh peneliti menitikberatkan pada peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Pengembangan model pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini berlandaskan teori konstruktivisme. Secara teori, penggunaan teori belajar konstruktivisme sama dengan model pembelajaran kooperatif. Jadi, menurut peneliti kedua teori tersebut dapat dipadukan dan mendukung konsep model pembelajaran yang dikembangkan. Menurut peneliti, model pembelajaran yang dikembangkan dapat mendorong mahasiswa sejarah berinteraksi aktif dan positif dalam kelompoknya. Hal tersebut, dapat membuka ruang pertukaran ide atau gagasan untuk membentuk atau memperkaya wawasan baru yang dimiliki mahasiswa. Sesuai gagasan tersebut, Pengembangan model dalam penelitian ini berbentuk debat interaktif. debat interaktif itu sendiri terdiri dari dua kata, yaitu debat dan interaktif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 242), arti kata debat adalah pembahasan atau pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling member alasan untuk mempertahankan pendapat masingmasing. Pemahaman tentang debat juga diartikan sebagai proses komunikasi lisan berupa pertukaran pendapat yang dilakukan lebih dari dua orang yang mempunyai pandangan berbeda terhadap permasalahan yang disengketakan. Sedangkan, interaktif itu sendiri adalah sikap kegiatan mahasiswa selama proses pembelajaran sejarah di kelas.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam pelaksanaannya, setiap satu kali perkuliahan dibagi dalam dua kelompok kecil yang selanjutnya diberi tugas dengan topik tertentu untuk dikembangkan. kedua kelompok diberi kebebasan untuk memberikan kritik terhadap tugas kelompok lain. Sehingga nantinya dalam pelaksanaan debat sebagai proses pembelajaran sejarah ada dua unsur kelompok yang sebenarnya mempresentasikan. Hasil kerja kedua kelompok tersebut akan menjadi bahan dalam berdiskusi. Dalam proses debat nantinya kedua kelompok yang terbagi dalam kelompok pro dan kontra saling menanggapi sehingga diharapkan dalam proses interaktif tersebut kedua kelompok dapat saling memberikan pandangannya dalam mempertahankan hasil materi kelompoknya. Selain itu diharapkan mahasiswa lainnya yang posisinya sebagai peserta pembelajaran dapat terpancing untuk dapat memberikan pendapatnya dalam proses debat interaktif tersebut. Diharapkan dengan adanya kegiatan mahasiswa tersebut dapat membuat mahasiswa sejarah berpikiran kritis dan menanngapi sebuah pandangan dari mahasiswa lainnya. Dengan demikian, pembelajaran sejarah mampu mengoptimalkan dan membangkitkan keunggulan mahasiswa. Dengan semakin tumbuhnya kegiatan serta daya cipta (kreatifitas) mahasiswa menjamin terjadinya dinamika di dalam
proses
pembelajaran.
Dalam
teori
konstruktivisme
ini
lebih
mengutamakan pada pembelajaran mahasiswa yang dihadapkan masalahmasalah kompleks untuk dicari solusinya, selanjutnya menemukan bagianbagian yang lebih sederhana atau keterampilan yang diharapkan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam model pembelajaran ini, dosen lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ke arah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan mahasiswa sendiri. Dosen tidak hanya memberikan pengetahuan pada mahasiswa, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Mahasiswa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam menerapkan ide-ide mereka, ini merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.
6. Pembelajaran Kooperatif. Menurut Robert E. Slavin (2009: 4-5), bahwa model pembelajaran yang bersifat kooperatif ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Keistimewaan model pembelajaran tersebut, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama. Untuk dapat memunculkan pola interaksi antar mahasiswa, diperlukan sebuah rancangan tugas yang dibuat oleh dosen yaitu tugas kelompok, sehingga tercipta suatu kegiatan peserta didik berupa kerjasama antar anggota kelompok. Dalam konsep yang luas, pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) merupakan bentuk pembelajaran yang menciptakan sebuah interaksi yang lebih luas, yaitu interaksi dan komunikasi yang dilakukan antara dosen dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, dan peserta didik dengan dosen (multi way traffic comunication). Dalam sistem belajar yang kooperatif, mahasiswa belajar bekerja sama dengan anggota lainnya. Dalam model ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mahasiswa memiliki dua tanggung jawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar. Mahasiswa belajar bersama dalam sebuah kelompok kecil dan mereka dapat melakukannya seorang diri. Pembelajaran koperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur dasar pembelajaran koperatif yang membedakan dengan pembelajaran kelompok yang dilakukan asal–asalan. Cooperatif Learning adalah teknik pengelompokkan yang didalamnya mahasiswa bekerja terarah pada tujuan belajar bersama. Menurut Johnson, belajar koperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan anggota lainnya dalam kelompok tersebut. Strategi
pembelajaran
koperatif
merupakan
serangkaian
kegiatan
pembelajaran yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam kelompok, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Terdapat empat hal penting dalam strategi pembelajaran kooperatif, yakni: (1) adanya peserta didik dalam kelompok, (2) adanya aturan main dalam kelompok, (3) adanya upaya belajar dalam kelompok, (4) adanya kompetensi yang harus dicapai o leh kelompok. Model pembelajaran koperatif merupakan model pembelajaran yang banyak digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan para ahli pendidikan. Hal in i dikarenakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Slavin, dinyatakan bahwa: (1) penggunaan pembelajaran koperatif dapat meningkatkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
prestasi belajar mahasiswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain, (2) pembelajaran koperatif dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan menggabungkan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan
alasan tersebut, strategi pembelajaran
koperatif
diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Ada komponen pembelajaran koperatif, yakni: (1) Cooperative test atau tugas kerja sama dan (2) Cooperative incentive structure atau pola intensif kerja sama. Tugas kerja sama berkenaan dengan suatu hal yang menyebabkan anggota kelompok kerja sama dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan. Sedangkan struktur intensif kerja sama merupakan sesuatu hal yang membangkitkan semangat mahasiswa untuk melakukan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan kelompok tersebut. Menurut Wina Sanjaya (2008: 36-37), pembelajaran koperatif akan efektif digunakan apabila: (1) dosen menekankan pentingnya usaha bersama disamping usaha secara individual, (2) dosen menghendaki pemerataan perolehan hasil dalam belajar, (3) dosen ingin menanamkan tutor sebaya atau belajar melalui teman sendiri, (4) dosen menghendaki adanya pemerataan partisipasi aktif mahasiswa, dan (5) dosen menghendaki kemampuan mahasiswa dalam memecahkan berbagai permasalahan. Keberhasilan pembelajaran koperatif d itentukan secara kelompok, oleh karenanya prinsip kebersamaan atau kerja sama perlu ditekankan dalam pembelajaran koperatif. Tanpa kerja sama yang baik, pembelajaran koperatif
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak akan mencapai hasil yang optimal. Hal ini dipraktikan melalui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran secara berkelompok. Dengan demikian, mahasiswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi serta berkomunikasi
dengan
anggota
lain
dalam
rangka
mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan Menurut
Robert E. Slavin
(2010:
201),
pembelajaran koperatif
menggalakkan mahasiswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Ini membolehkan pertukaran ide dan pemeriksaan ide sendiri dalam suasana yang tidak terancam, sesuai dengan falsafah konstruktivisme. Dengan demikian, pembelajaran hendaknya mampu mengondisikan, dan memberikan dorongan
untuk
dapat
mengoptimalkan
dan
membangkitkan
potensi
mahasiswa, menumbuhkan aktivitas serta daya cipta (kreativitas), sehingga akan menjamin terjadinya dinamika di dalam proses pembelajaran. Dalam teori konstruktivisme ini lebih mengutamakan pada pembelajaran mahasiswa yang dihadapkan masalah-masalah kompleks untuk dicari solusinya, selanjutnya menemukan bagian-bagian yang lebih sederhana atau keterampilan yang diharapkan. Dalam model pembelajaran kooperatif ini, Dosen lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ke arah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan mahasiswa sendiri. Dosen tidak hanya memberikan pengetahuan pada mahasiswa, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Mahasiswa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam menerapkan ide-ide mereka, ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.
7. Konsep Dasar Pengembangan Pembelajaran Kooperatif. Konsep dasar dari perngembangan Pembelajaran koperatif (Cooperatif learning) adalah pola interaksi. Bentuk pembelajaran yang menciptakan sebuah interaksi yang lebih luas, yaitu interaksi dan komunikasi yang dilakukan antara dosen dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, dan peserta didik dengan dosen (multi way traffic comunication). Dalam sistem belajar yang kooperatif, mahasiswa belajar bekerja sama dengan anggota lainnya dan model ini mahasiswa memiliki dua tanggung jawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar. Mahasiswa belajar bersama dalam sebuah kelompok kecil dan mereka dapat melakukannya seorang diri. Pembelajaran koperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakan dengan pembelajaran kelompok yang dilakukan asal–asalan. Cooperatif Learning adalah teknik pengelompokkan yang didalamnya mahasiswa bekerja terarah pada tujuan belajar bersama. Menurut Johnson yang dikutip Robert E. Slavin (2010: 204), bahwa belajar koperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan anggota lainnya dalam kelompok tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
Strategi
digilib.uns.ac.id
pembelajaran
koperatif
merupakan
serangkaian
kegiatan
pembelajaran yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam kelompok, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Terdapat empat hal penting dalam strategi pembelajaran kooperatif, yakni: (1) adanya peserta didik dalam kelompok, (2) adanya aturan main dalam kelompok, (3) adanya upaya belajar dalam kelompok, (4) adanya kompetensi yang harus dicapai o leh kelompok. Model pembelajaran koperatif merupakan model pembelajaran yang banyak digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh para ahli pendidikan. Hal in i berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan Robert E. Slavin dalam Wina Sanjaya (2008: 205-206), dinyatakan bahwa: (1) penggunaan pembelajaran koperatif dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain, (2) pembelajaran koperatif dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan menggabungkan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan alasan tersebut, strategi pembelajaran koperatif diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Menurut Wina Sanjaya (2008: 206), pembelajaran koperatif akan efektif digunakan apabila: (1) dosen menekankan pentingnya usaha bersama disamping usaha secara individual, (2) dosen menghendaki pemerataan perolehan hasil dalam belajar, (3) dosen ingin menanamkan tutor sebaya atau belajar melalui teman sendiri, (4) dosen menhendaki adanya pemerataan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
partisipasi aktif mahasiswa, (5) dosen menghendaki kemampuan mahasiswa dalam memecahkan berbagai permasalahan. Pengembangan pembelajaran koperatif dalam penelitian ini berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan pada proses kerja sama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan materi pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerja sama untuk penguasaan materi tersebut. Adanya kerja sama inilah yang menjadi ciri khas dari cooperative learning. Karakteristik atau ciri–ciri pembelajaran koperatif dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pembelajaran secara tim Pembelajaran koperatif adalah pembelajaran dilakukan secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap mahasiswa belajar. Setiap anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pemebelajaran. 2.
Kemauan untuk bekerja sama Keberhasilan pembelajaran koperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok, oleh karenanya prinsip kebersamaan atau kerja sama perlu ditekankan dalam pembelajaran kooperatif. Tanpa kerja sama yang baik, pembelajaran kooperatif tidak akan mencapai hasil yang optimal.
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Keterampilan bekerja sama Kemampuan bekerja sama itu dipraktikan melalui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran secara berkelompok. Dengan demikian, mahasiswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
B. Kerangka Berpikir. Dalam kajian kerangka berpikir ini, peneliti menjelaskan setiap bagian variabel yang akan diteliti. Setiap variabel yang akan digunakan penelitian ini mempunyai pengaruh terhadap variabel yang lain sehingga perlu dijelaskan kerangka berpikir setiap variabel tersebut. Multikultural merupakan kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai kenyataan fundamentalis dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul jika seseirang membuka diri untuk menjalani keh idupan bersama dengan melihat realitas multikultural sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Persoalan muncul ketika sering terjadi pertikaian yang timbul karena sebuah dinamika perubahan dalam masyarakat akibat dari perkembangan pola pikir masyarakat sehingga nilai multikultural lambat laun terpinggirkan. karena itu, multikultural perlu mendapatkan bagian penting dalam penanaman konsep di dalam masyarakat dan jalan keluarnya adalah pendidikan dengan konsep pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural ini merumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman budaya yang berusaha mengembangkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesadaran atas beraneka ragamnya budaya yang ada di sekitar mereka sehingga akan memunculkan sikap toleransi dan bersaudara dengan masyarakat lain. Dengan demikian kebanggaan masyarakat terhadap bangsanya juga akan terus tumbuh sehingga jiwa tanah air dan semangat kebangsaan (nasionalisme) juga ikut meningkat. Berdasarkan penekanan di atas, maka akan timbul beberapa pertanyaan yang terjadi dalam praktek dosen pada pembelajaran sejarah yaitu: pertama, bagaimanakah pemahaman dosen terhadap metode pembelajaran sejarah berbasis multikultural; kedua, bagaimanakah pemahaman mahasiswa terhadap nilai-nilai semangat kebangsaan (nasionalisme); ketiga, bagaimanakah dosen menerapkan nilai-nilai semangat kebangsaan (nasionalisme) dalam pembelajaran sejarah berbasis multikultural.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KBM
PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS MULTIKULTURAL
PERENCANAAN
PELAKSANAAN PBM
EVALUASI
Feed back line
KEMAMPUAN: Kebersamaan Toleransi Bekerja sama Menerima Perbedaan Pendapat 5. Memaknai Keberadaan SARA 6. Memaknai Pentingnya Keberadaan NKRI 1. 2. 3. 4.
Feed back line
PERANGKAT PEMBELAJARAN
Meliputi : 1. RPP. 2. Silabus. 3. Biodata mahasiswa 4. Media pembelajaran
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
1. Pendahuluan 2. Inti : Eksplorasi Elaborai Konfirmasi 3. Penutup
1. Pre test 2. Tes/ non test 3. Post test
KOMPETENSI
Nasionalisme
HASIL
Tabel 1. Model Hipotetik
EVALUASI