BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Keliat (1994) menyebutkan bahwa harga diri merupakan penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Frekuensi pencapaian tujuan akan menentukan harga diri seseorang menjadi rendah atau tinggi. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga dirinya menjadi tinggi dan jika individu sering gagal maka cenderung harga dirinya rendah. Harga diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan dari orang lain dan hal ini berhubungan dengan hubungan interpersonal yang buruk dengan orang lain dan hal ini paling menonjol terjadi pada klien skizofrenia dan depresi (Stuart dan Sundeen, 1995). Seorang lansia dengan harga diri rendah merasa dirinya tidak punya kemampuan, tidak nyaman dan tidak berharga. Semua ini dimanifestasikan dalam bentuk antara lain, kehilangan berat badan, kehilangan nafsu makan, konstipasi atau diare, gangguan tidur, tubuh tidak terawat, menarik diri dari aktivitasnya, sulit memulai aktivitas baru, penurunan libido, sedih dan cemas, perasaan terisolasi, lebih suka sebagai pendengar daripada berpartisipasi aktif, sensitif terhadap kritikan orang lain, mengeluh nyeri dan pusing, merasa tidak dapat melakukan hal-hal yang berarti, merasa selalu salah dan gagal (Stuart dan Sundeen, 1995).
12
13
Santrock (1998) menjelaskan harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Dalam harga diri tercakup evaluasi, penghargaan diri dan menghasilkan penilaian tinggi atau rendah terhadap dirinya sendiri. Penilaian tinggi terhadap diri sendiri adalah penilaian terhadap kondisi diri, menghargai kelebihan dan potensi diri serta menerima kekurangan yang ada. Sedangkan yang dimaksud dengan penilaian rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak suka atau tidak puas dengan kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dengan melihatnya sebagai sesuatu yang selalu kurang. Coopersmith (dalam Burn, 1998) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama sikap menerima, menolak dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan. Penilaian terhadap diri sendiri yang berasal dari interaksi individu dengan orangorang yang berada di sekitarnya serta dari penghargaan, penerimaan dan perlakuan orang lain yang diterima individu. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa harga diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif yang dipengaruhi oleh hasil interaksinya dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya serta dari sikap, penerimaan, penghargaan dan perlakuan orang lain terhadap dirinya.
14
2. Aspek-aspek Harga Diri Adapun aspek-aspek yang berhubungan dengan self-esteem atau biasa disebut dengan harga diri menurut Brown (dalam Santrock, 2003) terdapat 3 aspek, yakni : 1. Global self-esteem merupakan variabel keseluruhan dalam diri individu secara keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi. 2. Self-evaluation merupakan cara seseorang dalam mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat pada diri mereka. Misalnya, ada seseorang yang kurang yakin dengan kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa ia memiliki self-esteem yang rendah dalam bidang akademis. Sedangkan seseorang yang berpikir bahwa dia terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka bisa dikatakan ia memiliki self-esteem sosial yang tinggi. 3. Emotion adalah keadaan emosi sesaat terutama sesuatu yang muncul sebagai konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan self-esteem yang tinggi karena mendapat promosi jabatan, atau seseorang memiliki self-esteem yang rendah setelah perceraian. Sedangkan menurut Maslow (dalam Schultz, 1991) ada dua aspek utama yang mempengaruhi harga diri individu, yaitu : 1.
Penghargaan dari diri sendiri Penghargaan dari diri sendiri adalah berupa keyakinan bahwa individu merasa aman
dengan
keadaan
dirinya,
merasa
berharga
dan
adekuat.
Ketidakmampuan merasakan diri berharga membuat individu merasa rendah
15
diri, kecil hati, tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan, perasan berharga terhadap diri dapat ditumbuhkan melalui pengetahuan yang baik tentang diri serta
mampu
menilai
secara
obyektif
kelebihan-kelebihan
maupun
kelemahan-kelemahan yang dimiliki. Jadi, individu dapat menghargai dirinya bila individu mengetahui siapa dirinya. 2.
Penghargaan dari orang lain Keberartian ini dikaitkan dengan penerimaan, perhatian dan afeksi yang ditunjukkan oleh lingkungan. Bila lingkungan memandang individu memiliki arti, nilai serta dapat menerima individu apa adanya, maka hal itu memungkinkan individu untuk dapat menerima dirinya sendiri yang pada akhirnya mendorong individu memiliki harga diri tinggi atai positif. Sebaliknya, jika lingkungan menolak dan memandang individu tidak berarti maka individu akan mengembangkan penolakan dan mengisolasi diri. Sulit untuk mengetahui orang lain sebenarnya menghargai atau tidak. Oleh karena itu, individu perlu merasa yakin bahwa orang lain menghargai dirinya baik melalui reputasi, status sosial, popularitas, prestasi atau keberhasilan lainnya dalam lingkungan masyarakat, kerja, maupun sekolah. Dari penjelasan di atas mengenai aspek-aspek harga diri, dapat
disimpulkan bahwa aspek utama dari harga diri mencakup penghargaan dari diri sendiri dan penghargaan dari orang lain.
16
3. Karakteristik Harga Diri Menurut Stuart dan Sundeen (1995) karakteristik harga diri rendah dan tinggi adalah sebagai berikut : a.
Harga diri rendah Mengkritik diri sendiri dan atau orang lain, penurunan produktivitas,
destruktif yang diarahkan pada orang lain, gangguan dalam berhubungan, rasa diri penting yang berlebihan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan personal, destruktif kepada diri sendiri, pengurungan diri, menarik diri secara sosial, menarik diri dari realitas, khawatir. b.
Harga diri tinggi Rendah hati, optimis, memberikan anjuran, memikirkan masa depan,
membangun kualitas pribadi, mendahulukan kepentingan orang banyak, tidak mengumpat,
bertanggung
jawab,
cepat
minta
maaf
walaupun
benar,
menyegerakan pekerjaan. Coopersmith (dalam Burn, 1998), mengemukakan bahwa harga diri dibedakan menjadi tiga jenis jika dilihat dari karkteristik individu, antara lain : a.
Individu dengan harga diri tinggi (high self-esteem) 1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik 2) Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial 3) Dapat menerima kritik dengan baik 4) Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri
17
5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya sendiri 6) Memiliki keyakinan diri, tidak berdasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi 7) Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadiannya 8) Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang. b.
Individu dengan harga diri sedang (medium self-esteem) Karakteristik individu dengan harga diri yang sedang hampir sama dengan
karakteristik individiu yang memiliki harga diri tinggi, terutama dalam kualitas, perilaku dan sikap. Penyataan diri mereka memang positif. Namun, cenderung kurang moderat atau kurang menghindari sikap atau tindakan yang ekstrem. c.
Individu dengan harga diri yang rendah (low self-esteem) 1) Memiliki perasaan inferior 2) Takut gagal dalam membina hubungan sosial 3) Telihat sebagai orang yang putus asa dan depresi 4) Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan 5) Kurang dapat mengekspresikan diri 6) Sangat tergantung pada lingkungan 7) Tidak konsisten 8) Secara pasif mengikuti lingkungan 9) Menggunakan banyak taktik mempertahankan diri (defense mechanism)
18
10) Mudah mengakui kesalahan Sedangkan menurut H. J Eysenck (2001) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki harga diri tinggi cenderung percaya diri, percaya pada kemampuan diri sendiri, merasa berguna, merasa berharga dan percaya kalau mereka disukai orang lain, sedangkan mereka yang mempunyai pendapat yang rendah tentang dirinya cenderung merasa rendah diri, merasa gagal dan tidak menarik. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik seseorang yang mempunyai harga diri tinggi meliputi percaya diri, merasa berharga, aktif dan mampu mengekspresikan diri dengan baik, dapat menerima kritik dengan baik, tidak terpengaruh pada penilaian orang lain, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, percaya pada kemampuan diri, merasa berguna, merasa diri mampu, disukai orang lain, bertindak mandiri, menerima sesuatu dengan tanggung jawab, menyukai tantangan baru dengan penuh antusias. Karakteristik seseorang dengan harga diri sedang hampir sama dengan karakteristik harga diri tinggi terutama dalam kualitas, perilaku dan sikap. Sedangkan karakteristik seseorang dengan harga diri rendah meliputi sikap inferior, canggung, lemah, rendah diri dalam bergaul, pasif, menghindari situasi yang menimbulkan kecemasan, merasa tidak mampu dan tidak berharga, merasa gagal, merasa tidak menarik, mudah frustasi, kurang dapat mengekspresikan diri, menggunakan banyak taktik pertahanan diri dan mudah dipengaruhi orang lain. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Monks (2004) menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang. Keempat faktor tersebut yaitu :
19
a. Lingkungan Keluarga Lingkungan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis didapat pada anak yang memiliki harga diri yang tinggi. b. Lingkungan Sosial Lingkungan sosial tempat individu mempengaruhi bagi pembentukan harga diri. Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga sebagai individu dengan lingkungannya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan dan dijauhi teman sebaya pengalaman,
akan menurunkan harga diri. Sebaliknya
keberhasilan,
persahabatan
dan
kemahsyuran
akan
meningkatkan harga diri. c. Faktor Psikologis Penerimaan diri akan mengarahkan individu mampu menentukan arah dirinya pada saat mulai memasuki hidup bermasyarakat sebagai anggota masyarakat yang sudah dewasa d. Jenis Kelamin Perbedaan jenis kelamin mengakibatkan terjadinya perbedann dalam pola pikir, cara berpikir dan bertindak antara laki-laki dan perempuan. Menurut Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri, yaitu : 1.
Jenis Kelamin Wanita selalu merasa harga dirinya lebih rendah daripada pria seperti
perasaan kurang mampu, kurang kepercayaan diri atau merasa harus dilindungi.
20
2.
Inteligensi Inteligensi sebagai gambaran lengkap kapasitas fungsional individu sangat
erat berkaitan dengan prestsi karena pengukuran inteligensi selalu berdasarkan kemampuan akademis. Individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada individu dengan harga diri yang rendah. Selanjutnya, dikatakan individu dengan harga diri yang tinggi memiliki skor inteligensi yang lebih baik dan selalu berusaha keras. 3.
Kondisi Fisik Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) menemukan adanya
hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik. 4.
Ideal Diri Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1994), ideal diri merupakan
persepsi individu tentang bagaimana seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan/nilai personal tertentu. Cita-cita yang terlalu tinggi dan tidak realistis, yang pada kenyataanya tidak dapat dicapai membuat individu menghukum diri sendiri dan akhirnya kehilangan kepercayaan dirinya. 5.
Identitas Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1994), identitas diri merupakan
perilaku individu tentang dirinya sebagai suatu kesatuan yang utuh. Hal ini mencakup konsistensi individu sepanjang waktu dan dalam berbagai keadaan serta menyirat perbedaan/keunikan dibandingkan orang lain.
21
6.
Peran Mencakup serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial
berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial (Stuart dan Sundeen dalam Keliat, 1994). Keberartian peran individu dapat mempengaruhi harga diri seseorang. 7.
Lingkungan Keluarga Peran keluarga sangat menentukan bagi perkembangan harga diri anak.
Dalam keluarga, seorang anak untuk pertama kalinya mengenal orangtua yang mendidik dan membesarkannya serta sebagai dasar untuk bersosialisasi dalam lingkungan yang lebih besar. Keluarga harus menemukan suatu kondisi dasar untuk mencapai perkembangan harga diri anak. Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) berpendapat bahwa perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan mendidik yang demokratis akan membuat anak mendapat harga diri yang tinggi. 8.
Lingkungan Sosial Menurut Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) ada beberapa
ubahan dalam harga diri yang dapat diijelaskan melalui konsep kesuksesan, nilai, aspirasi dan mekanisme pertahanan diri. Kesuksesan tersebut dapat timbul melalui pengalaman dalam lingkungan, kesuksesan dalam bidang tertentu, kompetisi dan nilai-nilai kebaikan 9.
Kondisi Kesehatan (Sakit) Menurut Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) gangguan kondisi
kesehatan pada individu dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri.
22
B. Dukungan Sosial
1. Pengertian Dukungan Sosial Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran manusia lain untuk berinteraksi. Kehadiran orang lain dalam kehidupan pribadi seseorang begitu diperlukan. Hal ini terjadi karena seseorang tidak mungkin memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologisnya sendirian. Individu membutuhkan dukungan sosial baik yang berasal dari keluarga maupun teman. Orford (1992) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan. Dukungan sosial ini lebih mengarah pada variabel tingkat individual, merupakan sesuatu yang dimiliki tiap orang dan dapat diukur dengan pernyataan tertentu. Tingkat dukungan sosial ini tergantung pada kebiasaan seseorang atau kemampuan sosial seseorang. Konstruk ini dapat diukur dengan mengetahui aspek dukungan sosial yang diterima dari orang lain, sehingga akhirnya muncul beberapa asumsi. Asumsi pertama menyatakan bahwa dukungan sosial mengukur aspek eksternal dari komunitas seseorang. Asumsi kedua menganggap dukungan sosial sebagai karakteristik dari jaringan komunitas dan tidak bersifat individual. Sementara dukungan sosial didefinisikan oleh Gottlieb (dalam Kuntjoro, 2002) sebagai informasi verbal atau nonverbal, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku
23
penerimanya. Dalam hal ini, orang yang merasa memperoleh dukungan sosial secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan dukungan sosial sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga tersebut. Taylor, Peplau dan Sears (1997) juga menambahkan dukungan sosial sebagai informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai dan merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan saling dibutuhkan yang didapat dari orangtua, suami atau orang yang dicintai, anak keluarga, teman hubungan sosial dan komunitas. Sarafino (1998) menyebutkan bahwa dukungan atau bantuan yang dibutuhkan oleh lanjut usia bisa didapatkan dari berbagai sumber seperti keluarga, teman dekat, dokter atau profesional dan organisasi kemasyarakatan. Dukungan sosial didefinisikan sebagai keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup bagi individu yang bersangkutan. Cobb (dalam Sarafino, 1998) mengemukakan bahwa dukungan sosial mengacu pada persepsi akan kenyamanan, kepedulian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang didapat individu dari orang lain atau kelompok, baik yang berupa bantuan materi maupun non materi yang dapat menimbulkan perasaan nyaman secara fisik dan psikologis bagi individu yang bersangkutan.
24
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah suatu dorongan atau bantuan nyata seperti kenyamanan, perhatian, penghargaan serta hal-hal yang dapat memberikan keuntungan dari orang-orang di sekitar individu baik itu berasal dari pasangan, teman dekat, tetangga, saudara, anak, keluarga dan masyarakat sekitar kepada individu yang sedang mengalami kesulitan, agar individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai. 2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Menurut Sarafino (1994) aspek-aspek dukungan sosial meliputi : a.
Dukungan Emosional Dukungan emosional meliputi ekspresi empati, kepedulian, dan perhatian
pada individu, memberikan individu perasaan nyaman, tentram, dimiliki dan merasa dicintai. Selain itu dukungan ini melibatkan perhatian, rasa percaya dan empati sehingga individu merasa berharga. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap penuh stres. b.
Dukungan Penghargaan Dukungan penghargaan terlihat dari ekspresi seseorang ketika memberikan
penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap ide atau perasaan individu dan perbandingan positif antara individu yang satu dengan yang lain. c.
Dukungan Instrumental Dukungan instrumental merupakan pemberian sesuatu berupa bantuan secara
(tangible aid ) atau dukungan alat (instrumental aid). Dukungan ini meliputi banyak aktivitas seperti menyediakan bantuan dalam pekerjaan rumah tangga,
25
menjaga anak-anak, meminjamkan atau mendermakan uang, menyampaikan pesan,
menyediakan
transportasi,
membantu
menyelesaikan
tugas-tugas,
menyediakan benda-benda seperti perabot, alat-alat kerja dan buku-buku. Dukungan ini sangat diperlukan dalam menghadapi keadaan yang dianggap penuh stres. d.
Dukungan Informasional Dukungan informasional diberikan dengan cara menyediakan informasi,
memberian nasihat, petunjuk, saran secara langsung atau umpan balik tentang kondisi individu dan hal-hal yang harus ia kerjakan. Dukungan ini dapat membantu individu mengenali masalah yang sebenarnya. e.
Dukungan Jaringan Sosial Dukungan jaringan sosial mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok,
saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial. Neergard (dalam Rahardjo dkk., 2008) membagi dukungan sosial sebagai berikut : a.
Emotional Support Dukungan ini berkaitan dengan pengalaman hidup. Tipe dukungan emosional
dapat membantu seseorang merasa diterima, perilaku yang mencerminkan penghargaan, afeksi, kepercayaan dan perhatian termasuk dalam dukungan emosional. b.
Companionship Support Dukungan ini berfungsi untuk mengalihkan perhatian seseorang dari masalah
yang sedang dihadapi atau untuk membangkitkan suasana hati yang positif.
26
Aktivitas seperti berkumpul dan mengobrol diwaktu senggang serta rekreasi termasuk dalam kategori ini. Sumber dukungan tipe ini biasanya berasal dari teman dekat dan tetangga. c.
Tangible (or material) Support Dukungan ini meliputi bantuan keuangan, barang dan semua kebutuhan
konkret yang diperlukan. d.
Informational Support Bantuan berupa penyediaan informasi atau pengetahuan yang dapat
membantu seseorang untuk meningkatkan efisiensi dalam menyelesaikan suatu masalah. Hal ini dapat menambah kepercayaan diri seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi tantangan. Perilaku yang dapat ditampilkan berupa memberi saran, balikan dan pengarahan. Berdasarkan aspek-aspek dukungan sosial yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan dalam pengukuran dukungan sosial adalah bentuk dukungan sosial menurut Sarafino (1994). Aspek dukungan sosial tersebut mencakup semua aspek dukungan sosial dari tokoh-tokoh yang lain, yaitu: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif dan dukungan jaringan sosial. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial Sarafino (1994) menguraikan beberapa faktor yang mempengaruhi perolehan dukungan sosial dari orang lain, yaitu : 1.
Penerimaan Dukungan (Recipients)
27
Seseorang tidak akan memperoleh dukungan bila mereka tidak ramah, tidak mau menolong orang lain dan tidak membiarkan orang lain mengetahui bahwa mereka membutuhkan pertolongan. Ada yang kurang asertif untuk meminta bantuan atau mereka berpikir bahwa mereka seharusnya tidak tergantung dan membebani orang lain, merasa tidak enak mempercayakan sesuatu pada orang lain atau tidak tahu seseorang yang dapat diminta bantuannya. 2.
Penyedia Dukungan Individu tidak akan memperoleh dukungan jika penyedia tidak memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan oleh individu, penyedia dukungan sedang dalam keadaan stres dan sedang membutuhkan bantuan atau mungkin juga mereka tidak cukup sensitif dengan kebutuhan orang lain.
3.
Komposisi dan Struktur Jaringan Sosial (Hubungan individu dengan keluarga dan masyarakat) Hubungan ini bervariasi dalam hal ukuran, yaitu jumlah orang yang bisa dihubungi; frekuensi hubungan, yaitu seberapa sering individu bertemu dengan orang tersebut; komposisi, yaitu melihat orang tersebut adalah keluarga, teman rekan kerja atau yang lainnya; dan keintiman, yaitu kedekatan
hubungan
individu
dan
adanya
keinginan
untuk
saling
mempercayai. Sedangkan faktor yang mempengaruhi dukungan sosial menurut Cohen dan Syme (dalam Setiadi, 2008) : a.
Pemberian dukungan.
28
Pemberi dukungan adalah orang-orang yang memiliki arti penting dalam pencapaian hidup sehari-hari. b.
Jenis Dukungan Jenis dukungan yang akan diterima memiliki arti bila dukungan itu
bermanfaat dan seusai dengan situasi yang ada c.
Penerimaan Dukungan Penerima dukungan seperti kepribadian, kebiasaan dan peran sosial yang
akan menentukan keefektifan dukungan d.
Permasalahan yang Dihadapi Dukungan sosial yang tepat dipengaruhi oleh kesesuaian antara jenis
dukungan yang diberikan dan masalah yang ada e.
Waktu Pemberian Dukungan Dukungan sosial akan optimal di satu situasi tetapi akan tidak optimal dalam
situasi lain. C. Regulasi Emosi 1. Pengertian Regulasi Emosi Regulasi emosi adalah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi, fisiologis, kognisi yang berhubungan dengan emosi dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (Shaffer, 2005). Sementara itu Gross (2007) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan,
29
memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif. Sedangkan menurut Thompson (dalam Snyder dan Lopez, 2003) regulasi emosi dapat diartikan sebagai seluruh proses ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi untuk mencapai tujuan tertentu. Proses intrinsik adalah cara seseorang mengelola emosi yang muncul dari dalam dirinya sedangkan proses ekstrinsik adalah cara seseorang dalam mempengaruhi emosi yang datang dari luar. Hay & Diehl (2011) menyebutkan bahwa peningkatan regulasi emosi berkaitan dengan usia. Orang dewasa cenderung dapat bergerak dengan cepat dari kondisi emosi negatif tinggi menuju kondisi emosi negatif yang lebih rendah. Urry & Gross (2010) menambahkan bahwa peningkatan regulasi emosi pada orang dewasa nantinya akan secara konsisten dengan meningkatnya emosi positif dan menurunnya emosi negatif. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Cartensen & Charles (1998) yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan dewasa awal, orang dewasa yang lebih lanjut akan memiliki kontrol emosi yang lebih baik, stabilitas suasana hati dan adanya kemampuan untuk mengendalikan ekspresi internal dari emosi yang dimiliki. Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan
30
kontrol atas emosi yang dirasakan. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali pikiran, tingkah laku, respon fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan (Sukholdolsky, Goulb & Cromwell dalam Gratz dan Roemer, 2004). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir seseorang dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada suara) serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan. 2. Aspek-aspek Regulasi Emosi Menurut Gross (2007) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu : a.
Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk
dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan. b.
Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk
tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
31
c.
Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk
dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara) sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat. d.
Acceptence of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu
untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut. Thompson (1994) memandang regulasi emosi dalam suatu dinammika yang nantinya dapat terbagi menjadi beberapa aspek mulai dari permulaan adanya kesadaran tentang emosi hingga usaha untuk mengubah emosi. Aspek regulalsi emosi menurut Thompson (1994) tersebut yaitu : a.
Emotion Monitoring Emotion monitoring adalah kemampuan individu untuk menyadari dan
memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam diri, seperti perasaan, pikiran, dan latar belakang dari tindakan. Aspek ini merupakan dasar dari seluruh aspek regulasi emosi yang lain. Hal ini dapat dimaknai bahwa adanya kesadaran diri akan membantu tercapainya aspek-aspek yang lain. Dengan emotion monitoring maka akan membantu individu untuk mampu menamakan setiap emosi yang muncul. b.
Emotion Evaluating Emotion evaluating yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan
menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami khususnya emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam dan benci akan membuat individu tidak
32
terbawa dan terpengaruh secara mendalam. Hal ini mengakibatkan individu tidak mampu lagi berpikir rasional. Sebagai contoh ketika individu mengalami perasaan kecewa dan benci, kemudian perasaan tersebut apa adanya, tidak berusaha menolak dan berusaha menyeimbangkan emosi tersebut. c.
Emotion Modification Emotion modification yaitu kemampuan individu untuk mengubah emosi
sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam keadaan putus asa, cemas dan marah. Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang membebani, mampu terus berjuang ketika menghadapi hambatan dan tidak mudah putus asa serta kehilangan harapan. Sementara itu Gratz dan Roemer (2004) juga mengungkapkan beberapa aspek dalam regulasi emosi. Berbeda dengan Thompson (1994) yang memandang regulasi emosi dari dinamika proses, Gratz dan Roemer (2004) lebih memandang regulasi emosi dari detail kemampuan individu dalam mengatur emosi. Aspekaspek yang dikemukakan oleh Gratz dan Roemer (2004) terbagi menjadi enam aspek, yaitu : a.
Awareness of emotion Awareness of emotion merupakan kemampuan individu untuk menyadari
adanya emosi yang hadir pada diri individu. Individu dalam kemampuan ini mampu memberikan perhatian pada emosi yang dirasakan dan mengakui emosi yang sedang dirasakan. b.
Emotional clarity
33
Emotional clarity merupakan kemampuan individu untuk mengetahui secara jelas tentang emosi yang dialami. Individu mampu memahami dengan pasti perasaannya dan tidak mengalami kebingungan dalam memahami emosi yang sedang dialami. c.
Acceptance of emotional response Acceptance of emotional response merupakan kemampuan individu untuk
menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut. d.
Control emotional responses Control emotional responses merupakan kemampuan untuk mengontrol
perilaku impulsif dan berperilaku sesuai dengan tujuan yang diinginkan bila individu mengalami emosi negatif. Kemampuan tersebut untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara) sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat. e.
Engaging in goal directed behavior Engaging in goal directed behavior merupakan kemampuan individu untuk
tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakan sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik f.
Strategies to emotion regulation Strategies of emotion regulation merupakan keyakinan individu untuk dapat
mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara
34
yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan. Dari uraian di atas, peneliti menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Thompson (1994) yang meliputi :emotion monitoring, emotion evaluating, emotion modification. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi menurut beberapa ahli antara lain : a.
Hubungan antara Orangtua dan Anak Hubungan
antara
orangtua
dan
anak
sangat
penting
pada
masa
perkembangannya. Anak menginginkan pengertian yang bersifat simpatis, telinga yang peka dan orangtua yang dapat merasakan anak-anaknya memiliki sesuatu untuk dibicarakan (Rice, 1999). Menurut Rice, affect yang berhubungan dengan emosi atau perasaan yang ada di antara anggota keluarga bisa bersifat positif ataupun negatif. Affect yang positif antara anggota keluarga menunjuk pada hubungan yang digolongkan pada emosi seperti kehangatan, kasih sayang, cinta dan sensitivitas (Felcon dan Zielinski dalam Rice, 1999). Dalam hal ini anggota menunjukkan bahwa masing-masing dari mereka mau mendengarkan perasaan dan mengerti kebutuhan satu sama lain. Sedangkan affect yang negatif digolongkan pada emosi yang dingin, penolakan dan permusuhan. Sikap yang terjadi antara anggota keluarga adalah mereka saling tidak menyukai bahkan tidak mencintai (Rice, 1999).
35
b.
Usia dan Jenis Kelamin Bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan adanya peningkatan
kemampuan regulasi emosi. Semakin tinggi usia seseorang semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia seseorang menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol (Maider dalam Coon, 2005). c.
Religiusitas Setiap agama mengajarkan seseorang untuk dapat mengontrol emosinya.
Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005). d.
Kepribadian Orang yang memiliki kepribadian neuroticism dengan ciri-ciri sensitif,
moody, suka gelisah, sering merasa cemas, panik, harga diri rendah, kurang dapat mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan coping yang efektif terhadap stres akan menunjukkan tingkat regulasi emosi yang rendah (Cohen dan Armeli dalam Coon, 2005) e.
Pola Asuh Beberapa cara yang dilakukan orangtua dalam mengasuh anak dapat
membentuk kemampuan anak untuk meregulasi emosinya. Parke (dalam Mayer& Salovey, 1997) mengemukakan beberapa cara orangtua mensosialisasikan emosi kepada anaknya diantaranya melalui pendekatan tidak langsung dalam interaksi keluarga (antara anak dengan orangtua), teknik teaching dan coaching dan mencocokkan kesempatan dalam lingkungan.
36
f.
Budaya Norma atau belief yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat
mempengaruhi cara individu menerima, menilai suatu pengalaman emosi dan menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal regulasi emosi yang dianggap sesuai atau culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang dapat merespon dalam interaksi dengan orang lain dan dalam cara ia meregulasi emosi (Gross, 1999). g.
Tujuan Dilakukannya Regulasi Emosi Merupakan apa yang diyakini individu dapat mempengaruhi pengalaman,
ekspresi emosi dan respon fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami (Gross, 1999). h.
Frekuensi Individu Melakukan Regulasi Emosi (Strategies) Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan
berbagai cara yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan (Gross, 1999). i.
Kemampuan Individu dalam Melakukan Regulasi Emosi (Capabilities) Trait kepribadian yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang individu
dapat lakukan dalam meregulasi emosinya (Gross, 1999).
D. LANJUT USIA 1. Pengertian Lansia Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
37
kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alami yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologi maupun psikologi. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, contohnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan melambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008). Lanjut usia dibedakan menjadi tiga jenis yaitu usia kronologis yang dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan berdasarkan pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian terhadap setiap situasi yang dihadapinya (Noorkasiani, 2009). Menurut pasal 1 ayat (2) (3) (4), UU No. 13 Tahun 1998 tetang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Menurut Santrock (2002) ada dua pandangan tentang definisi orang lanjut usia, yaitu menurut pandangan orang barat dan orang Indonesia. Pandangan orang barat yang tergolong orang lanjut usia adalah orang yang sudah berumur 65 tahun ke atas dimana usia ini akan membedakan seseorang masih dewasa atau sudah lanjut. Sedangkan pandangan orang Indonesia, lansia adalah orang yang berumur lebih dari 60 tahun. Lebih dari 60 tahun karena pada umumnya di Indonesia dipakai sebagai usia maksimal kerja dan mulai tampaknya ciri-ciri ketuaan. Disebutkan pula bahwa masa dewasa akhir atau lanjut usia adalah periode perkembangan yang bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian.
38
Masa ini adalah masa penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peranperan sosial. Berdasarkan penjelasan-penjelasa dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa individu yang dikategorikan sebagai lansia adalah individu yang telah mencapai 60 tahun ke atas. Selain itu, lansia juga diklasifikasikan menjadi lima kategori menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (dalam Maryam dkk, 2003), yaitu : a. Pralansia, yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun b. Lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih c. Lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan. d. Lansia potensial, lansia yang mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. 2. Ciri-ciri Lansia Sama seperti periode sebelumnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan sampai sejauh tertentu apakah ia pria atau wanita lanjut usia akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 2000). Menurut Hurlock (2002) terdapat beberapa ciri orang lanjut usia, yaitu :
39
a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran Kemunduran yang dialami individu lanjut usia berupa kemunduran fisik. Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan psikologis. Penyebab kemunduran fisik ini merupakan suatu kemunduran pada sel-sel tubuh, bukan karena penyakit khusus tapi karena proses menua. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi. b. Perbedaan individual pada efek menua Individu menjadi tua secara berbeda karena mereka mempunyai sifat bawaan yang berbeda, sosial ekonomi dan latar pendidikan yang berbeda dan pola hidup yang juga berbeda. Perbedaan terlihat diantara individu-individu yang mempunyai jenis kelamin yang sama, semakin nyata bila pria dibandingkan dengan wanita karena menua terjadi dengan laju yang berbeda pada masingmasing jenis kelamin. Bila perbedaan-perbedaan tersebut bertambah sesuai dengan uisa, perbedan-perbedaan tersebut akan membuat individu bereaksi secara berbeda terhadap situasi yang sama. c. Usia dini dinilai dengan karakteristik yang berbeda Arti usia tua itu sendiri kabur dan tidak dapat dibatasi pada anak muda, maka individu cenderung menilai tua itu dalam hal penampilan dan ekgiatan fisik. Bagi usia tua, anak-anak adalah lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa dan harus dirawat. Sedangkan orang dewasa adalah sudah besar dan
40
dapat merawata diri sendiri. Orangtua mempunyai rambut putih dan tidak lama lagi berhenti dari pekerjaan sehari-hari. Banyak individu berusia lanjt melakukan segala apa yang dapat disembunyikan atau disamarkan yang menyangkut tanda-tanda penuaan fisik dengan memakai pakaian yang biasa dipakai orang muda dan berpura-pura mempunyai tenaga muda. Inilah cara lansia untuk menutupi diri dan membuat ilusi bahwa lansia belum berusia lanjut. d. Berbagai stereotipe orang lanjut usia Banyak stereotipe dan kepercayaan tradisional tentang kemampuan fisik dan mental. Stereotipe dan kepercayaan tradisional ini timbul dari berbagai sumber. Ada yang melukiskan bahwa usia lanjut sebagai usia yang tidak menyenangkan, diberi tanda sebagai orang tidak menyenangkan. Pendapat klise yang telah dikenal masyarakat tentang usia lanjut adalah pria dan wanita yang keadaan fisik dan mentalnya loyo, usang, sering pikun, jalan membungkuk dan sulit hidup bersama dengan siapa pun, karena hari-harinya yang penuh manfaat sudah lewat sehingga perlu dijauhkan dari orang-orang yang lebih muda. e. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas Terdapat fakta bahwa jumlah orang usia lanjut dewasa ini bertambah banyak tetapi status mereka dalam kelompok minoritas, yaitu suatu status yang dalam beberapa hal mengecualikan lansia untuk tidak berinteraksi dengan kelompok lainnya, dan memberi sedikit kekuasaan atau bahkan tidak memperoleh kekuasaan apapun. Status kelompok minoritas ini terutama terjadi sebagai
41
akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap individu usia lanjut yang diperkuat oleh pendapat klise yang tidak menyenangkan tentang mereka. Seperti anggapan klise bahwa lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain. f. Menua membutuhkan perubahan peran Sama seperti individu berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan baru demikian juga bagi yang berusia lanjut. Pengaruh kebudayaan dewasa ini dimana efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai mengakibatkan orang berusia lanjut sering dianggap tidak ada gunanya lagi. Lansia sulit bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang tertentu, dan sikap sosial terhadap lansia tidak menyenangkan. Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasat tekanan dari lingkungan. g. Penyesuaian yang buruk pada lansia Sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi lansia nampak dalam cara orang memperlakukan
lansia,
maka
tidak
heran
kalau
banyak
lansia
mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan. Hal ini cenderung untuk semakin jahat ketimbang mereka yang dalam menyesuaikan diri pada masa lalunya mudah dan menyenangkan. h. Keinginan menjadi muda kembali sangat kuat pada lanjut usia
42
Status kelompok minoritas yang dikenakan pada individu berusia lanjut secara alami telah membangkitkan keinginan untuk tetap muda selama mungkin dan ingin dipermuda apabila tanda-tanda menua tampak. 3. Perkembangan Masa Lansia Menurut Hutapea (2005) individu memasuki masa lanjut usia mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut : a. Perubahan Fisik perubahan fisik yang terjadi sewaktu memasuki usia tua antara lain : 1) Perubahan pada sistem kekebalan atau immunologi, dimana tubuh menjadi rentan terhadap penyakit dan alergi. 2) Konsumsi energik turun secara nyata diikuti edngan menurunnya jumlah energi yang dikeluarkan tubuh 3) Air dalam tubuh turun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel mati yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif 4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan mencerna makanan serta penyerapannya menjadi lamban dan kurang efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi (susah ke belakang) 5) Perubahan pada sistem metaboli, yang menyebabkan gangguan metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun karena timbulnya lemak. 6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun jauh dekat, kepekaan bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang, pendengaran
43
berkurang, reaksi menjadi lambat, fungsi mental menurun dan ingatan visual berkurang. 7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas
paru-paru
yang
mempersulit
pernafasan
sehingga
dapat
mengakibatkan munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat. 8) Kehilangan elastisitas dan fleksibelitas persendian, tulang mulai keropos. b. Perubahan Psikososial Perubahan psikososial menyebabkan rasa tidak aman, takut, merasa penyakit selalu mengancam, sering bingung, panik dan depresif. Hal itu disebabkan antara lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi. Ketergantungan sosial finansial pada waktu pensiun membawa serta kehilangan rasa bangga, hubungan sosial dan kewibawaan. Rasa kesepian bisa muncul karena semua anak telah meninggalkan rumah dan makin sedikitnya teman akrab yang sebaya. Kecemasan dan mudah marah merupakan gejala yang umum dapat menyebabkan keluhan susah tidur atau tidur tidak tenang. c. Perubahan Emosi dan Kepribadian setiap ada kesempatan, lansia selalu mengadakan introspeksi diri. Terjadi proses pematangan dan bahkan tidak jarang terjadi pemeranan gender yang terbalik. Para wanita lansia bisa menjadi lebih tegar dibandingkan lansia pria, apalagi dalam memperjuangkan hak mereka. Sebaliknya, pada saat lansia pria yang tidak sega-segan memerankan peran yang sering distereotipekan sebagai
44
pekerjaan wanita seperti mengasuh cucu, menyiapkan sarapan, membersihkan ruamh dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Persepsi tentang kondisi kesehatan berpengaruh pada kehidupan psikososial, dalam hal memilih bidang kegiatan yang sesuai dan cara menghadapi persoalan hidup. Menurut Mubin dan Cahyadi (2006), fase lanjut usia ditandai dengan perubahan-perubahan sebagai berikut : a. Perubahan yang bersifat fisik 1) Kekuatan fisik dan motorik yang sangat kurang, terkadang ada sebagian fungsi organ tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi 2) Kesehatan sangat menurun sehingga sering sakit-sakitan b. Perubahan yang bersifat psikis 1) Muncul rasa kesepian yang mungkin disebabkan karena anak-anak yang beranjak dewasa dan berkeluarga sehingga tidak tinggal serumah lagi. Lansia biasanya suka memelihara cucu-cucu untuk mengatasi rasa kesepian tersebut. 2) Berkurangnya kontak sosial dan tugas-tugas sosial akibat kondisi fisik yang menurun 3) Lekas merasa jenuh dan kadang-kadang menjadi cerewet 4) Mengalami penurunan dalam hal ingatan, penglihatan atau pendengaran dan kadang-kadang menjadi pikun 5) suka bercerita atau bernostalgia tentang kehebatannya dimasa lampau 6) Kehidupan keagamaan sangat baik, terutama dalam hal beribadah dan beramal, karena dari segi usia rata-rata lansia sudah mendekati kematian yang pasti datang menjemputnya.
45
4. Tugas Perkembangan Lansia Sebagaimana individu yang memiliki tugas perkembangan yang berbedabeda pada setiap tahapan perkembangannya, lanjut usia memiliki tugas yang berbeda dengan tahapan perkembangan sebelumnya. Potter & Perry (2009) manyebutkan bahwa tugas perkembangan pada lansia antara lain beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penuruanan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, serta menemukan cara mempertahankan kualitas hidup. Menurut Erickson, menguraikan tugas perkembangan di lanjut usia adalah tercapainya integritas seseorang, yang bermakna bahwa individu tersebut berhasil memenuhi komitmen dalam hubungannya sendiri dengan orang lain (Prawitasari, 1994). Erickson juga menambahkan bahwa kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan orang-orang di sekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi bercocok tanam dan lain-lain (dalam Maryam dkk, 2003). Adapun tugas perkembangan lansia menurut Erickson (dalam Maryam dkk, 2003) adalah sebagai berikut :
46
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun b. Mempersiapkan diri untuk pensiun c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya d. Mempersiapkan kehidupan baru e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial atau masyarakat secara santai f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan. Sedangkan menurut Hurlock (2004) tugas perkembangan usia lanjut adalah menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan (income) keluarga, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup, membentuk hubungan dengan orang-orang seusia, membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan dan menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.
E. Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Regulasi Emosi pada Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta 1. Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial pada Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta Usia lanjut pasti dialami oleh setiap manusia sebagai bagian dari proses biologis. Proses penuaan yang diikuti dengan menurunnya kemampuan fisik dan pikiran adalah gambaran umum yang terjadi pada setiap lansia. Banyak dari lansia yang mulai kehilangan berat badan, kehilangan nafsu makan, konstipasi maupun diare, gangguan tidur, tubuh tidak terawat, menarik diri
47
dari aktivitasnya, sulit memulai aktivitas baru, penurunan libido, sedih dan cemas, perasaan terisolasi, lebih suka sebagai pendengar daripada berpartisipasi aktif, sensitif terhadap kritikan orang lain, mengeluh nyeri dan pusing, merasa tidak dapat melakukan hal-hal yang berarti, merasa selalu salah dan gagal. Stuart dan Sundeen (1995) menyebutkan hal-hal di atas merupakan manifestasi dari seorang lansia dengan harga diri rendah. Lansia dengan harga diri rendah akan merasa dirinya tidak punya kemampuan, tidak nyaman, merasa tidak berharga,merasa segala yang dilakukannya sia-sia, mudah cemas, marah dan mudah kecewa.Hal ini dapat berdampak buruk terutama bagi kesehatan mental lansia terutama lansia yang bekerja. Lansia yang bekerja membutuhkan harga diri tinggi, harga diri tinggi membuat lansia memiliki kemampuan untuk lebih produktif dalam bekerja. Lansia juga membutuhkan dukungan sosial yang tinggi dari lingkungan tempat lansia berada agar dapat mengelola permasalahannya dengan baik serta membangun rasa percaya diri yang baik untuk tetap memiliki harga diri yang tinggi. Berpikiran positif dapat membawa dampak positif pula pada pekerjaan lansia. Thoits (dalam Emmons dan Colby, 1995) menyatakan bahwa dukungan sosial secara umum mengacu pada bantuan yang diberikan pada seseorang oleh orang-orang yang berarti baginya seperti keluarga dan teman-teman. Dukungan sosial itu sendiri menurut Sarafino (1990) merupakan bentuk keberadaan dari orang-orang yang memperhatikan, menghargai dan mencintai. Dukungan sosial merupakan hal yang penting dalam cara individu
48
mengatasi masalah yang dihadapi. Dukungan sosial dapat diperoleh dari pasangan hidup, orangtua, saudara, tetangga, atasan, bawahan atau pun teman sejawat. Dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orangorang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi. Seperti halnya yang dikatakan oleh Cobb (dalam Kuntjoro, 2002) bahwa dukungan sosial sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan, menolong orang dengan sikap menerima kondisinya. Weiss (dalam Khera, 2002) mengatakan bahwa fungsi dari dukungan sosial juga sangat berpengaruh untuk meningkatkan harga diri individu. Dukungan sosial yang diterima oleh lansia yang bekerja sama dapat berupa beberapa bentuk dukungan antara lain: dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dukungan informasi dan dukungan jaringan sosial. Dengan adanya dukungan yang didapatkan oleh individu, maka individu akan dapat meningkatkan rasa percaya dirinya dan memotivasi diri menjadi lebih baik. Individu yang memiliki dukungan sosial tinggi cenderung lebih menghayati pengalaman hidupnya yang positif, memiliki rasa percaya diri tinggi dan lebih memandang kehidupannya secara optimis. Lansia bekerja yang lebih optimis memandang hidup dapat meningkatkan produktivitas kerjanya.
49
2. Harga Diri Ditinjau dari Regulasi Emosi Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta Kemajuan
dalam
bidang
pendidikan
dan
teknologi
yang
pesat
memudahkan masyarakat memperoleh wawasan yang semakin luas. Wawasan yang semakin luas ini membuat masyarakat terutama wanita dapat menunjukkan kemampuannya. Wanita yang identik dengan pekerjaan rumah tangga, mengasuh dan membesarkan anak sementara suami bekerja. Kini, tidak hanya suami yang bekerja dalam keluarga tetapi wanita pun banyak yang bekerja. Jumlah wanita bekerja di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Wanita lanjut usia seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern pun terbiasa untuk tetap bekerja. Wanita lanjut usia yang bekerja di Indonesia sering kali harus menghadapi mitos-mitos yang salah dari masyarakat mengenai lanjut usia. Mitos-mitos yang salah tersebut contohnya lanjut usia dianggap berbeda dengan orang lain, sukar memahami informasi baru, tidak produktif, dan menjadi beban masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi harga diri yang dimiliki oleh lansia. Mereka yang dulunya dapat aktif beraktivitas, produktif dan mandiri dikarenakan keterbatasan fisik dan mitos-mitos tersebut menjadikan lansia merasa tidak berharga. Harga diri adalah evaluasi terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif (Dariyo dan Ling, 2002). Harga diri ini berpengaruh terhadap kualitas dan kebahagiaan hidup lansia. Lansia yang memiliki harga diri tinggi akan merasa tenang, mantap, optimis dan lebih mampu mengendalikan situasi
50
dirinya (Dariuszky, 2004). Sebaliknya harga diri yang rendah akan membawa lansia pada perilaku kurang baik bagi lansia. Lansia dengan harga diri rendah biasanya bersikap bergantung, kurang percaya diri dan pesimistis (Widodo, 2004). Hal ini dapat menyebabkan lansia dengan harga diri rendah menjadi kurang produktif dalam bekerja. Wanita lansia yang bekerja membutuhkan regulasi emosi agar lansia merasa lebih berharga sehingga mampu menghadapi kemunduran fisik sekalipun tetap bekerja sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Regulasi emosi menurut Denham (dalam Coon, 2005) adalah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan. Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan (Reivich dan Shatte, 2002) lansia bekerja yang memiliki meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih dan marah sehingga mempercepat pemecahan suatu masalah. Regulasi emosi juga dapat membuat individu berpikir jernih, bersikap lebih tenang serta bijaksana dalam bertindak. 3. Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Regulasi Emosi Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta Jumlah wanita bekerja di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun sesusai data Badan Pusat Statistik.Wanita lanjut usia seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern pun terbiasa untuk bekerja karena tidak ingin membebani anak-anaknya yang telah berumah tangga
51
berdasarkan wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 17 Mei 2014 kepada Mbah No, salah seorang lansia yang tetap bekerja pada usia senjanya. Lanjut usia tetap bekerja meskipun mengalami proses penuaan. Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Darmojo, 2000). Kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Dalam tubuh lansia timbul kondisi penurunan jumlah sel-sel otak disertai penurunan fungsi indera pendengaran, penglihatan, pembauan yang sering menimbulkan keterasingan bagi lansia saat proses menua mulai berlangsung. Kemunduran fisik dapat memicu timbulnya stres pada lanjut usia. Mereka yang dulunya dapat beraktifitas secara aktif mulai merasakan keterbatasan disebabkan adanya kemunduran fisik tersebut. Lansia dengan harga diri rendah akan merasa dirinya semakin tidak punya kemampuan, tidak nyaman, merasa tidak berharga, merasa segala yang dilakukannya sia-sia, mudah cemas, marah dan mudah kecewa. Hal ini dapat berdampak buruk terutama bagi yang bekerja. Lansia yang bekerja membutuhkan harga diri tinggi, harga diri tinggi membuat lansia memiliki kemampuan untuk lebih produktif dalam bekerja. Lansia juga membutuhkan dukungan sosial yang tinggi dari lingkungan tempat lansia berada agar dapat
52
mengelola permasalahannya dengan baik serta membangun rasa percaya diri yang baik untuk tetap memiliki harga diri yang tinggi. Lansia yang di masa lalu mampu secara aktif menjalankan aktivitasnya, produktif dan mandiri bisa menjadi merasa tidak berharga juga dikarenakan adanya mitos-mitos negatif yang berkembang di kalangan lanjut usia. Kuntjoro (2002) menyatakan bahwa dalam masyarakat Indonesia sering dijumpai pengertian dan mitos yang salah mengenai lanjut usia, sehingga banyak merugikan lanjut usia. Contohnya lanjut usia dianggap berbeda dengan orang lain, sukar memahami informasi baru, tidak produktif dan menjadi beban masyarakat, lemah, jompo, sakit-sakitan, pikun, dan lain-lain. Pandangan ini juga dapat menurunkan harga diri yang dimiliki lansia. Faktor psikologis dalam hal ini regulasi emosi memegang peranan penting dalam pembentukan harga diri lansia untuk mengahadapi tekanan mitos ini. Regulasi emosi ialah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan (Denham dalam Coon, 2005). Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan (Reivich dan Shatte, 2002) lansia bekerja yang memiliki meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih dan marah sehingga mempercepat pemecahan suatu masalah. Regulasi emosi juga dapat membuat individu berpikir jernih, bersikap lebih tenang serta bijaksana dalam bertindak.
53
F. Kerangka Pikir Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial dan regulasi emosi dengan harga diri pada wanita lansia yang bekerja.
Dukungan Sosial Harga Diri Regulasi Emosi
Bagan 1. Kerangka Pikir
G. Hipotesis a. Mengetahui adanya hubungan harga diri ditinjau dari dukungan sosial wanita lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. b. Mengetahui adanya hubungan harga diri ditinjau dari regulasi emosi wanita lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. c. Mengetahui adanya hubungan harga diri ditinjau dari dukungan sosial dan regulasi emosi wanita lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta.