BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian
2.1.1
Teori Keagenan (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan teori keagenan adalah sebagai
berikut: “A contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent”. Pernyataan tersebut menjelaskan tentang sebuah kontrak antara satu orang atau lebih, dimana principal yang disebut pemilik menyewa orang lain atau agent untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Agent dalam perusahan adalah manajer yang bekerja kepada principal atau pemilik perusahaan dalam pengelolaan kekayaan pemilik perusahaan melalui kegiatan usaha. Wewenang yang diberikan pemilik kepada manajer menjadikan manajer memiliki seluruh informasi tentang pengelolaan perusahaan dari hulu ke hilir. Oleh karena itu, manajer berkewajiban untuk mengungkapkan seluruh informasi kepada pemilik mengenai pengelolaan kekayaan miliknya melalui laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi para pemilik karena sebagai pihak yang tidak memiliki kontribusi langsung terhadap perusahaan, mereka memiliki tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi. Akan tetapi informasi
yang disampaikan oleh manajer terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya karena individu-individu dalam perusahaan dengan pemilik adalah individu yang berbeda, maka kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda pula. Karena pemilik dan manajemen memiliki kepentingan yang berbeda maka timbulah perbedaan kepentingan yang menyebabkan kondisi dimana informasi yang didapat pemilik tidak simetris atau terjadinya ketidakseimbangan informasi (asymmetry information). Asimetri informasi merupakan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh informasi yang tidak lengkap, yaitu ketika tidak semua keadaan diketahui oleh kedua belah pihak dan sebagai akibatnya konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh pihak-pihak tersebut. Suatu contoh khas yang menyangkut informasi yang tidak lengkap dalam teori keagenan terjadi bila pemilik tidak dapat mengamati semua kegiatan manajer. Kegiatan manajer ini mungkin berbeda dengan yang disukai pemilik, entah karena manajer mempunyai perangkat preferensi yang berbeda atau karena manajer sengaja mencoba untuk melalaikan tugas atau menipu pemilik (Hendriksen dan Van Breda, 2005:222). Adanya asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan manajer memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui pemilik. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara pemilik dan manajer mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada pemilik, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Hal ini memacu manajer untuk memikirkan
bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan manajemen tersebut adalah yang disebut sebagai manajemen laba (Widyaningdyah, 2001). Munculnya masalah agensi yang disebabkan konflik kepentingan dan asimetri informasi tersebut dapat membuat perusahaan menanggung biaya keagenan (agency cost). Teori agensi menyatakan bahwa konfik kepentingan dan asimetri informasi yang muncul dapat dikurangi dengan mekanisme pengawasan yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan berbagai pihak di perusahaan. Mekanisme pengawasan yang dimaksud dalam teori agensi dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme corporate governance (Putra, 2012). Mekanisme
corporate
governance
yang
baik
diharapkan
dapat
memberikan keyakinan kepada para pemilik bahwa manajemen telah mengelola kekayaan pemilik dengan maksimal sehingga konflik kepentingan dan biaya keagenan dapat diminimalisir. Keyakinan yang diberikan manajemen kepada pemilik
tercermin
dari
kinerja
manajemen
melalui
kemampuannya
mengoptimalkan keuntungan bagi pemilik. 2.1.2
Corporate Governance dan Good Corporate Governance
2.1.2.1 Pengertian Corporate Governance dan Good Corporate Governance Definisi corporate governance menurut Shleifer dan Vishny (1997) adalah: “Corporate governance deals with the ways in which suppliers of finance to corporation assure themselves of getting a return on their investment”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa corporate governance merupakan suatu mekanisme yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa supplier keuangan atau pemilik modal perusahaan memperoleh pengembalian atau return dari dana yang telah diinvestasikan di perusahaan yang juga dikelola oleh manajemen. Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP117/M-MBU/2002, corporate governance adalah: “Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder yang lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”. Forum for Corporate Governance Indonesia (2003), mendefinisikan corporate governance sebagai berikut: "Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan”. Sedangkan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) di dalam Gugus Kerja Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (2004) mendefinisikan good corporate governance adalah sebagai berikut: “Good corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku”. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa corporate governance merupakan konsep, proses, seperangkat peraturan atau sistem yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak
kreditur serta stakeholders lainnya dalam mengatur dan mengendalikan perusahaan. Sedangkan, good corporate governance merupakan praktik terbaik yang biasa dilakukan oleh suatu perusahaan yang berhasil yang mengacu pada bauran antara alat, mekanisme dan struktur yang menyediakan kontrol yang dapat meningkatkan keberhasilan usaha dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham serta stakeholders lainnya. Corporate
governance
singkatnya
merupakan
mekanisme
dalam
mengelola perusahaan sedangkan terwujudnya pengelolaan perusahaan yang baik disebut good corporate governance. Konsep ini mendorong manajemen melakukan pengelolaan perusahaan dengan transparan yang akan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi pemegang saham, kreditor dan stakeholders lainnya. 2.1.2.2 Asas Corporate Governance Dalam
melaksanakan
mekanisme
corporate
governance,
setiap
perusahaan harus memastikan bahwa asas corporate governance diterapkan pada setiap aspek kegiatan usaha dan di semua jajaran atau struktur organisasi perusahaan. Asas-asas good corporate governance meliputi kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Dalam pelaksanaannya, menurut Forum for Corporate Governance Indonesia (2003), asas corporate governance terbagi menjadi sebagai berikut: 1. Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. Pedoman pokok pelaksanaan dalam transparansi, yaitu: a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya; b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota direksi dan anggota dewan komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya,
sistem
manajemen
risiko,
sistem
pengawasan
dan
pengendalian internal, sistem dan corporate governance serta tingkat kepatuhannya dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan; c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan dan hak-hak pribadi;
d.
Kebijakan perusahaan
harus tertulis
dan
secara
proporsional
dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan. 2. Akuntabilitas (Accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan
prasyarat
yang
diperlukan
untuk
mencapai
kinerja
yang
berkesinambungan. Pedoman pokok pelaksanaan dalam akuntabilitas, yaitu: a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values) dan strategi perusahaan; b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab dan perannya dalam pelaksanaan; c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan; d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system);
e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati. 3. Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang. Pedoman pokok pelaksanaan dalam responsibilitas, yaitu: a. Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws); b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. 4. Independensi (Independency) Untuk melancarkan pelaksanaan asas corporate governance, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pokok pelaksanaan dalam asas independensi, yaitu: a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari
segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif; b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundangundangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain. 5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perusahaan
harus
senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Pedoman pokok pelaksanaan di dalam kewajaran, yaitu: a. Perusahaan
harus
memberikan
kesempatan
kepada
pemangku
kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masingmasing; b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan; c. Perusahaan
harus memberikan kesempatan yang sama dalam
penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
2.1.2.3 Mekanisme Corporate Governance
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas membagi organ perseroan menjadi 3 bagian, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), direksi dan komisaris. Organ perusahaan tersebut memiliki peran penting dalam pelaksanaan perusahaan secara efektif. Organ perusahaan harus menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas dasar prinsip bahwa masingmasing organ mempunyai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Menurut Organization Economic Corporation and Development (OECD) (2004), ada enam komponen utama dari mekanisme corporate governance agar konsep corporate governance dapat berjalan dengan baik yaitu: 1. Dasar keyakinan untuk menerapkan konsep corporate governance yang efektif (penjelasan mengenai transparansi dalam laporan keuangan seperti tanggung jawab perusahaan, fungsi pengawasan oleh pihak manajemen perusahaan); 2. Hak dari para pemegang saham (shareholders) dimana perusahaan harus melindungi kepentingan dari para pemegang saham; 3. Perlakuan yang sesuai terhadap para pemilik mayoritas dan minoritas seperti hak untuk meminta informasi penting berkaitan dengan perusahaan; 4. Peran dari para pemilik dalam mekanisme corporate governance seperti hak untuk meminta informasi penting berkaitan dengan perusahaan;
5. Transparansi dan pengungkapan yang memadai dalam laporan keuangan dan 6. Tanggung jawab dari para direktur (board of directors). Menurut Surya dan Yustiavandana (2008:132), untuk mendorong implementasi prinsip-prinsip corporate governance, muncul suatu ide tentang “organ tambahan” dalam struktur perseroan. Organ-organ tambahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerapan mekanisme corporate governance di dalam perusahaan-perusahaan di Indonesia dan meningkatkan perlindungan bagi para kreditor. Organ-organ tambahan tersebut diantaranya adalah: a. Komisaris Independen; b. Direktur Independen; c. Komite Audit; d. Sekretaris Perusahaan. 2.1.3
Dewan Komisaris
2.1.3.1 Pengertian Dewan Komisaris Komite Nasional Kebijakan Governance (KKNG) (2006), mendefinisikan dewan komisaris sebagai berikut: “Dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan good corporate governance. Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Kedudukan masing-masing anggota dewan komisaris termasuk komisaris utama adalah setara”. Dapat disimpulkan bahwa dewan komisaris merupakan dewan pengawas yang memiliki tugas dalam mengawasi kinerja dewan direksi dalam mengelola
perusahaan yang dikelola oleh direksi atau manajer. Keberadaan dewan komisaris sebagai organ penting dalam terwujudnya tata kelola perusahaan yang baik merupakan perlindungan yang efektif bagi para pemegang saham atau investor maupun kreditor yang menginvestasikan atau menanamkan kekayaannya pada perusahaan. 2.1.3.2 Komposisi, Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris Komposisi, pengangkatan dan pemberhentian anggota dewan komisaris menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) adalah sebagai berikut: a. Jumlah
anggota
dewan
komisaris
harus
disesuaikan
dengan
kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan keputusan; b. Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi yang dikenal sebagai komisaris independen dan komisaris yang terafiliasi. Yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri. Mantan anggota direksi dan dewan komisaris yang terafiliasi serta karyawan perusahaan, untuk jangka waktu tertentu termasuk dalam kategori terafiliasi; c. Jumlah komisaris independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Salah satu dari komisaris independen harus mempunyai latar belakang pendidikan akuntansi atau keuangan; d. Anggota dewan komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) melalui proses yang transparan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, badan usaha milik negara dan atau daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan. Proses penilaian calon anggota dewan komisaris dilakukan sebelum dilaksanakan RUPS melalui komite nominasi dan remunerasi. Pemilihan komisaris independen harus memperhatikan pendapat pemegang saham minoritas yang dapat disalurkan melalui komite nominasi dan remunerasi; e. Pemberhentian anggota dewan komisaris dilakukan oleh RUPS berdasarkan alasan yang wajar dan setelah kepada anggota dewan komisaris diberi kesempatan untuk membela diri. 2.1.3.3 Kemampuan dan Integritas Anggota Dewan Komisaris Kemampuan dan integritas yang harus dimiliki anggota dewan komisaris adalah sebagai berikut: a. Anggota dewan komisaris harus memenuhi syarat kemampuan dan integritas sehingga pelaksanaan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat untuk kepentingan perusahaan dapat dilaksanakan dengan baik;
b. Anggota dewan komisaris dilarang memanfaatkan perusahaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok usahanya dan atau pihak lain; c. Anggota dewan komisaris harus memahami dan mematuhi anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugasnya; d. Anggota dewan komisaris harus memahami dan melaksanakan pedoman good corporate governance. 2.1.3.4 Fungsi Pengawasan Sebagai organ perusahaan yang bertugas dalam melakukan pengawasan pengelolaan perusahaan yang dilakukan oleh direksi, dewan komisaris memiliki fungsi pengawasan yakni sebagai berikut: a. Dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional/manajerial. Dalam hal dewan komisaris mengambil keputusan mengenai hal-hal yang ditetapkan dalam anggaran dasar atau peraturan perundang-undangan, pengambilan keputusan tersebut dilakukan dalam fungsinya sebagai pengawas, sehingga keputusan kegiatan
operasional
tetap
menjadi
tanggung
jawab
direksi.
Kewenangan yang ada pada dewan komisaris tetap dilakukan dalam fungsinya sebagai pengawas dan penasihat; b. Dalam hal diperlukan untuk kepentingan perusahaan, dewan komisaris dapat mengenakan sanksi kepada anggota direksi dalam bentuk pemberhentian
sementara,
dengan
ketentuan
ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan RUPS;
harus
segera
c. Dalam hal terjadi kekosongan dalam direksi atau dalam keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar, untuk sementara dewan komisaris dapat melaksanakan fungsi direksi; d. Dalam rangka melaksanakan fungsinya, anggota dewan komisaris baik secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri berhak mempunyai akses dan memperoleh informasi tentang perusahaan secara tepat waktu dan lengkap. Dewan komisaris harus memiliki tata tertib dan pedoman kerja (charter) sehingga pelaksanaan tugasnya dapat terarah dan efektif serta dapat digunakan sebagai salah satu alat penilaian kinerja mereka; e. Dewan komisaris dalam fungsinya sebagai pengawas, menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengawasan atas pengelolaan perusahaan oleh direksi, dalam rangka memperoleh pembebasan dan pelunasan tanggung jawab dari RUPS; f. Dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris dapat membentuk komite. Usulan dari komite disampaikan kepada dewan komisaris untuk memperoleh keputusan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian
lingkungan, sekurang-kurangnya harus membentuk komite audit, sedangkan komite lain dibentuk sesuai dengan kebutuhan. 2.1.3.5 Komite Penunjang Dewan Komisaris Dalam pelaksanaan wewenang dan tanggungjawab dewan komisaris, komite penunjang yang dapat membantu kinerja dewan komisaris, antara lain: a. Komite Audit 1. Komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa: (i) laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, (ii) struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, (iii) pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan (iv) tindaklanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen; 2. Komite audit memproses calon auditor eksternal termasuk imbalan jasanya untuk disampaikan kepada dewan komisaris; 3. Jumlah
anggota
komite
audit
harus
disesuaikan
dengan
kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, komite audit diketuai oleh komisaris
independen dan anggotanya dapat terdiri dari komisaris dan atau pelaku profesi dari luar perusahaan. Salah seorang anggota memiliki latar belakang pendidikan dan kemampuan akuntasi dan atau keuangan. b. Komite Nominasi dan Remunerasi 1. Komite nominasi dan remunerasi bertugas membantu dewan komisaris dalam menetapkan kriteria pemilihan calon anggota dewan komisaris dan direksi serta sistem remunerasinya; 2. Komite nominasi dan remunerasi bertugas membantu dewan komisaris mempersiapkan calon anggota dewan komisaris dan direksi dan mengusulkan besaran remunerasinya. Dewan komisaris dapat mengajukan calon tersebut dan remunerasinya untuk memperoleh keputusan RUPS dengan cara sesuai ketentuan anggaran dasar; 3. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan
oleh
masyarakat
luas,
serta
perusahaan
yang
mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, komite nominasi dan remunerasi diketuai oleh komisaris independen dan anggotanya dapat terdiri dari komisaris dan atau pelaku profesi dari luar perusahaan;
4. Keberadaan komite nominasi dan remunerasi serta tata kerjanya dilaporkan dalam RUPS. c. Komite Kebijakan Risiko 1. Komite kebijakan risiko bertugas membantu dewan komisaris dalam mengkaji sistem manajemen risiko yang disusun oleh direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh perusahaan; 2. Anggota komite kebijakan risiko terdiri dari anggota dewan komisaris, namun bilamana perlu dapat juga menunjuk pelaku profesi dari luar perusahaan. d. Komite Kebijakan Corporate Governance 1. Komite kebijakan corporate governance bertugas membantu dewan komisaris dalam mengkaji kebijakan corporate governance secara menyeluruh yang disusun oleh direksi serta menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang bertalian dengan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility); 2. Anggota komite kebijakan corporate governance terdiri dari anggota dewan komisaris, namun bilamana perlu dapat juga menunjuk pelaku profesi dari luar perusahaan; 3. Bila dipandang perlu, komite kebijakan corporate governance dapat digabung dengan komite nominasi dan remunerasi, karena komite nominasi dan remunerasi merupakan komite yang erat kaitannya dengan pelaksanaan corporate governance.
2.1.3.6 Pertanggungjawaban Dewan Komisaris Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dewan komisaris mempunyai tanggung jawab, yaitu: a. Dewan komisaris dalam fungsinya sebagai pengawas, menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengawasan atas pengelolaan perusahaan oleh direksi. Laporan pengawasan dewan komisaris merupakan bagian dari laporan tahunan yang disampaikan kepada RUPS untuk memperoleh persetujuan; b. Dengan diberikannya persetujuan atas laporan tahunan dan pengesahan atas laporan keuangan, berarti RUPS telah memberikan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab kepada masing-masing anggota dewan komisaris sejauh hal-hal tersebut tercermin dari laporan tahunan, dengan tidak mengurangi tanggung jawab masing-masing anggota dewan komisaris dalam hal terjadi tindak pidana atau kesalahan dan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga yang tidak dapat dipenuhi dengan aset perusahaan; c. Pertanggungjawaban dewan komisaris kepada RUPS merupakan perwujudan akuntabilitas pengawasan atas pengelolaan perusahaan dalam rangka pelaksanaan asas good corporate governance. 2.1.4
Komisaris Independen
2.1.4.1 Pengertian Komisaris Independen Menurut Forum for Corporate Governance Indonesia (2003), komisaris independen adalah:
“Anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen”. Surya
dan
Yustiavandana,
(2008:135)
mendefinisikan
komisaris
independen sebagai berikut: “Komisaris independen adalah komisaris yang bukan merupakan anggota manajemen, pemegang saham mayoritas, pejabat atau dengan cara lain berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari suatu perusahaan yang mengawasi pengelola perusahan”. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa komisaris independen adalah komisaris yang tidak terkait dengan segala fungsi dalam perusahaan dengan kata lain tidak memiliki hubungan dengan perusahaan. Komisaris independen bukan menunjukan bahwa komisaris lainnya tidak independen. Istilah komisaris independen menunjukan keberadaan mereka sebagai wakil dari pemegang saham minoritas. 2.1.4.2 Tanggung Jawab Komisaris Independen Menurut Surya dan Yustiavandana (2008:138), komisaris independen bersama dewan komisaris memiliki tugas-tugas utama meliputi: a. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian resiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan
sasaran
kerja,
mengawasi
pelaksanaan
dan
kinerja
perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. Tugas ini terkait dengan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbang kepentingan manajemen (accountability);
b. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan (transparency) dan adil (fairness); c. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan. Tugas ini untuk memberikan perlindungan hak-hak para pemegang saham (fairness); d. Memonitor pelaksanaan governance dan mengadakan perubahan di mana perlu.
Komisaris
independen
harus
melaksanakan
transparansi
(transparency) dan pertanggungjawaban (responsibility) atas hal ini; e. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan. Proses keterbukaan (transparency) ini untuk menjamin tersedianya informasi yang tepat waktu dan jelas. 2.1.4.3 Kriteria Komisaris Independen Kriteria dewan komisaris independen (Forum for Corporate Governance Indonesia, 2003) adalah sebagai berikut: a. Komisaris independen bukan merupakan anggota manajemen; b. Komisaris independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau seorang pejabat dari atau dengan cara lain yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari perusahaan;
c. Komisaris independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan atau perusahaan lainnya dalam satu kelompok usaha dan tidak pula dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati posisi seperti itu; d. Komisaris independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut; e. Komisaris independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan yang signifikan dan berpengaruh dari perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok, atau dengan cara lain berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut; f. Komisaris independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok selain sebagai komisaris perusahaan tersebut; g. Komisaris independen harus bebas dari kepentingan dan urusan bisnis apapun atau hubungan lainnya yang dapat, atau secara wajar dapat dianggap sebagai campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai seorang komisaris untuk bertindak demi kepentingan yang menguntungkan perusahaan. Kriteria komisaris independen menurut Keputusan Direksi Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 Jakarta tanggal 19 Juli 2004, yaitu: a. Jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris;
b. Komisaris independen tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik; c. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan emiten atau pemegang saham mayoritas atau pemegang saham utama dari perusahaan tercatat yang bersangkutan; d. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan direktur dan/atau komisaris lainnya dari perusahaan tercatat yang bersangkutan; e. Komisaris
independen
tidak
memiliki
kedudukan
rangkap
pada
perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat atau bersangkutan atau hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha perusahaan tercatat; f. Komisaris independen harus berasal dari luar emiten atau perusahaan publik; g. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; h. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan pemegang saham pengendali dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dengan demikian, terlihat bahwa pada dasarnya komisaris independen memiliki peranan yang sama dengan komisaris yaitu menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan, serta terlaksananya akuntabilitas. Intinya, komisaris independen
merupakan suatu mekanisme independen (netral) mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manajemen. 2.1.5
Komite Audit
2.1.5.1 Pengertian Komite Audit Menurut Arens, Elder, dan Beasley, (2008:86) mendefinisikan komite audit sebagai berikut: “An audit committee is a selected number of members of company’s Board of Directors whose responsibilities include helping auditors remain independent of management. Most audit committees are made up of three to five or sometimes as many as seven directors who are not a part of company management”. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa sebuah komite audit adalah sekelompok atau beberapa orang yang terdiri dari anggota dewan komisaris yang memiliki tanggung jawab dalam membantu auditor dalam mempertahankan independensinya dari manajemen. Komite audit biasanya terdiri dari tiga sampai lima orang yang independen atau yang tidak ada kaitannya dengan perusahaan. Komite audit merupakan penanggungjawab fungsi audit internal perusahaan yang harus menyampaikan laporan secara berkala kepada pimpinan dan dewan pengawas mengenai perbandingan rencana dan realisasi yang mencakup sasaran, wewenang tanggung jawab dan kinerja fungsi audit internal (Konsorsium Organisasi Profesi Audit Internal, 2004:117). Sesuai dengan Kep.29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian
perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Dapat disimpulkan bahwa komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk mengoptimalkan kinerja dewan komisaris dalam mengawasi kinerja dewan direksi berkaitan dengan pengelolaan perusahaan. Komite audit juga bertanggungjawab dalam melindungi independensi auditor internal dan auditor eksternal perusahaan dari manajemen. 2.1.5.2 Tanggung Jawab Komite Audit Dalam Kep-29/PM/2004 yang merupakan peraturan yang mewajibkan perusahaan membentuk komite audit, tanggung jawab komite audit antara lain: a. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi dan informasi keuangan lainnya; b. Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan; c. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal; d. Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi; e. Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada dewan komisaris atas pengaduan yang berkaitan dengan emiten;
f. Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan rahasia perusahaan. Selain itu, menurut Forum for Corporate Governance Indonesia (2003), umumnya komite audit mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang, yaitu; 1. Laporan Keuangan (Financial Reporting) Tanggung jawab komite audit di bidang laporan keuangan adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hal-hal sebagai berikut: a) Kondisi keuangan; b) Hasil Usahanya; c) Rencana dan komitmen jangka panjang. 2. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) Tanggungjawab komite audit dalam bidang corporate governance adalah untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undangundang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan pengawasannya secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan. Ruang lingkup pelaksanaan dalam bidang ini adalah: a) Menilai kebijakan perusahaan yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan, etika, benturan kepentingan dan penyelidikan terhadap perbuatan yang merugikan perusahaan dan kecurangan; b) Memonitor proses pengadilan yang sedang terjadi ataupun yang ditunda serta yang menyangkut masalah corporate governance dalam
hal mana perusahaan menjadi salah satu pihak yang terkait di dalamnya; c) Memeriksa kasus-kasus penting yang berhubungan dengan benturan kepentingan, perbuatan yang merugikan perusahaan, dan kecurangan; d) Keharusan auditor internal untuk melaporkan hasil pemeriksaan corporate governance dan temuan-temuan penting lainnya. 3. Pengawasan Perusahaan (Corporate Control) Tanggung jawab komite audit untuk pengawasan perusahaan termasuk di dalamnya pemahaman tentang masalah serta hal-hal yang berpotensi mengandung risiko dan sistem pengendalian intern serta memonitor proses pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal. Ruang lingkup audit internal harus meliputi pemeriksaan dan penilaian tentang kecukupan dan efektifitas sistem pengendalian intern. Disamping itu, definisi baru tentang audit internal memperkuat tanggung jawab komite audit dalam hal corporate control karena dalam definisi tersebut dinyatakan bahwa audit internal merupakan kegiatan yang mandiri dalam memberikan kepastian (assurance) serta konsultasi untuk memberikan nilai tambah untuk memperbaiki kegiatan organisasi dalam mencapai tujuannya melalui suatu pendekatan secara sistematik dan disiplin dalam menilai dan memperbaiki efektifitas manajemen risiko, pengawasan dan proses governance. 2.1.5.3 Struktur Komite Audit Komite audit harus terdiri dari individu-individu yang mandiri dan tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan, dan
yang memiliki pengalaman untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Salah satu dari beberapa alasan utama kemandirian ini adalah untuk memelihara integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh komite audit, karena individu yang mandiri cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam menangani suatu permasalahan. Jumlah anggota komite audit disesuaikan besar kecilnya dengan organisasi dan tanggung jawab. Namun biasanya tiga sampai lima anggota merupakan jumlah yang cukup ideal. Komite audit biasanya perlu untuk mengadakan rapat tiga sampai empat kali setahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya yang menyangkut soal sistem pelaporan keuangan. Selain itu, Kepmen BUMN No. Kep-103/2002 menegaskan bahwa komite audit: 1. Mandiri dalam pelaksanaan tugas dan pelaporan. Komite audit melaksakan prinsip akuntabilitas (accountability) terkait dengan tugasnya; 2. Bertanggung jawab langsung kepada komisaris/dewan pengawas. Hal ini terkait dengan prinsip pertanggungjawaban (responsibility). 2.1.5.4 Keanggotaan Lebih lanjut, kriteria dan catatan lainnya tentang komite audit adalah: a. Paling sedikit satu anggota komite audit harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keuangan dan akuntansi;
b. Ketua komite audit harus hadir pada RUPS untuk menjawab pertanyaan para pemegang saham; c. Komite audit harus mengundang eksekutif yang menurut mereka tepat (terutama pejabat di bidang keuangan) untuk hadir pada rapat-rapat komite, akan tetapi apabila dipandang perlu dapat mengadakan rapat tanpa kehadiran seorangpun eksekutif perusahaan. Di luar itu direktur keuangan dan kepala satuan kerja audit intern dan seorang wakil dari auditor eksternal harus hadir sebagai peserta pada rapat-rapat komite audit; d. Sekretaris perusahaan harus bertindak sebagai sekretaris komite audit; e. Wewenang komite audit meliputi: 1. Menyelidiki semua aktivitas dalam batas ruang lingkup tugasnya; 2. Mencari informasi yang relevan dari setiap karyawan; 3. Mengusahakan saran hukum dan saran profesional lainnya yang independen apabila dipandang perlu; 4. Mengundang kehadiran pihak luar dengan pengalaman yang sesuai, apabila dianggap perlu. 2.1.6
Manajemen Laba
2.1.6.1 Pengertian Manajemen Laba Definisi manajemen laba menurut Scott (2006:344) adalah sebagai berikut: “Earnings management is the choice by a manager of accounting policies so as to achieve some specific objective”.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan melalui pilihan kebijakan akuntansi. Dimana tindakan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Dari pengertian Scott diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan tindakan yang dilakukan oleh manajer dalam memilih kebijakan akuntansi dari standar akuntansi yang ada guna memaksimumkan kepentingan manajer atau nilai pasar perusahaan. Manajer yang melakukan aktivitas manajemen laba akan memilih kebijakan-kebijakan yang menguntungkan baginya. Dengan begitu, manajer melaporkan laba yang seolah tampak baik pada laporan keuangan perusahaan tetapi jauh dari prinsip transparansi dalam mekanisme corporate governance karena manajer tidak memberikan informasi mengenai keadaan perusahaan yang sebenarnya kepada publik. Pada akhirnya, laporan keuangan yang disajikan itupun menjadi dasar penilaian kinerja manajer yang juga memberikan dampak baik sesuai dengan kepentingannya. Pemahaman manajer dalam memaksimumkan kepentingannya dapat dicontohkan seperti, sebuah penghargaan antara lain insentif, bonus, kenaikan gaji hingga promosi jabatan. 2.1.6.2 Pola Manajemen Laba Scott (2006:345) mengidentifikasikan adanya empat pola yang dilakukan manajemen untuk melakukan pengelolaan atas laba sebagai berikut: a. Taking a bath. This can take place during periods of reorganization. If a firm must report a loss, management may feel it might as well report a large one;
b. Income minimization. Politically visible firm during periods of high profitability. Example, expensive of advertising and R&D expenditures; c. Income maximization. Managers may engage in a pattern of maximization of reported net income for bonus purposes, providing this does not put them above the cap. Firms that are close to debt covenant violations may also maximize income; d. Income smoothing. From a contracting perpective, managers prefer to avoid risk. Consequently, managers may smooth reported earnings over time so as to receive relatively constant compensation. Efficient compensation contracting may exploit this effect, and condone some income smoothing as a low cost way to attain the manager's reservation utility. Pola manajemen laba yang disebutkan Scott (2006) diatas menjelaskan bahwa: a. Pola taking a bath ini terjadi pada saat reorganisasi. Ketika perusahaan melaporkan adanya kerugian, maka manajemen melakukan kebijakan untuk melaporkan kerugian dengan jumlah yang besar sekaligus; b. Kebijakan income minimization ini dilakukan ketika perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi. Contohnya adalah dengan membebankan beban iklan dan beban penelitian dan pengembangan lebih besar; c. Manajer mungkin melakukan pola income maximization ini untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar.
Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang; d. Pola income smooting atau perataan laba dari perspektif kontrak, manajer
lebih memilih menghindari risiko. Akibatnya, manajer dapat meratakan laba yang dilaporkan dari waktu ke waktu sehingga menerima kompensasi yang relatif tetap. Kontrak kompensasi yang efisien dapat mengeksploitasi
efek ini dan memperbolehkan beberapa perataan laba sebagai cara mengurangi biaya untuk mencapai keinginan utilitas manajer. 2.1.6.3 Motivasi Manajemen Laba Scott (2006:346-355) juga mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu: a. Bonus Purposes Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistic untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini. b. The Debt Covenant Hypotesis Manajemen akan berusaha untuk meningkatkan laba agar tidak melangar perjanjian kredit yang telah dilakukan serta demi menjaga nama baik dan reputasi mereka. c. Political Motivations Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang
dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. d. Taxation Motivations Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan. e. Pergantian CEO CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. f. Initital Public Offering (IPO) Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan. 2.2
Kerangka Pemikiran
2.2.1
Dewan Komisaris dan Manajemen Laba Dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan
kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan secara umum. Hal ini penting mengingat adanya kepentingan dari manajemen untuk melakukan manajemen laba yang berdampak pada berkurangnya kepercayaan investor. Untuk mengatasinya dewan komisaris diperbolehkan untuk memiliki akses pada
informasi perusahaan dengan mendirikan komite dibawahnya untuk dapat membantu dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya. Dewan komisaris tidak memiliki otoritas dalam perusahaan, maka dewan direksi bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi terkait dengan perusahaan kepada dewan komisaris (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006). Dewan komisaris secara luas dipercaya memainkan peranan penting dalam corporate governance, khususnya dalam memonitor manajemen tingkat atas (Gunarsih
dan
kebijaksanaan
Hartadi, direksi
2002).
dalam
Dewan
menjalankan
komisaris
bertugas
perusahaan
dan
mengawasi memberikan
nasehatnya. Komisaris bersifat independen, mereka tidak terlibat dalam pengelolaan perusahaan dan diharapkan mampu melaksanakan tugasnya secara objektif, semata-mata untuk kepentingan perusahaan, terlepas dari pengaruh berbagai pihak yang memiliki kepentingan yang dapat berbenturan dengan kepentingan pihak lainnya. Dalam kaitannya dengan manajemen laba, dewan komisaris sebagai organ perusahaan khususnya komposisi dewan komisaris independen dapat menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba. Melalui peranan dewan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan oleh pihak manajemen, komposisi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas yang menyajikan informasi perusahaan yang utuh secara keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa komposisi dewan komisaris yang terdiri dari anggota yang
berasal dari luar perusahaan atau independen mempunyai kecenderungan mempengaruhi manajemen laba. Penelitian Gideon (2005) menguji mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba pada emiten sektor manufaktur BEI pada tahun 19962002. Gideon menguji dewan komisaris terhadap manajemen laba dan hasilnya menunjukan bahwa dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba yang artinya semakin besar proporsi dewan komisaris yang ditambah dari dewan komisaris yang berasal dari luar (independen) tidak mampu meminimalisir aktivitas manajemen laba. Gideon menambahkan penempatan atau penambahan anggota dewan komisaris independen dimungkinkan hanya sekedar memenuhi ketentuan formal, sementara pemegang saham mayoritas (pengendali/founders) masih memegang peranan penting sehingga kinerja dewan tidak meningkat bahkan turun. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007) menguji hubungan antara mekanisme corporate governance, manajemen laba terhadap kinerja keuangan di seluruh perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2002-2004. Mekanisme corporate governance yang diuji adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen dan ukuran dewan komisaris. Hasil penelitiannya mengenai proporsi dewan komisaris independen dan ukuran dewan komisaris terhadap manajemen laba menunjukan bahwa keduanya tidak memiliki pengaruh terhadap manajemen laba atau dewan komisaris independen maupun ukuran dewan
komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas manajemen laba di perusahaan. Hasil penelitian Gideon dan Ujiyantho dan Pramuka tidak konsisten dengan penelitian Andayani (2010) yang menguji tentang karakteristik dewan komisaris independen terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 1999-2007. Berdasarkan hasil pengujian hipotesisnya diperoleh bukti bahwa proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hal ini berarti bahwa semakin besar proporsi dewan komisaris
independen,
semakin
kecil
manajemen
laba.
Kondisi
ini
mengindikasikan bahwa perusahaan yang memiliki komisaris independen lebih banyak jumlahnya akan memiliki tingkat pengawasan yang semakin bagus sehingga akan dapat meminimalisir kemungkinan manajer melakukan manajemen laba. 2.2.2
Komite Audit dan Manajemen Laba Dalam kaitannya dengan manajemen laba, komite audit menjalankan
tugasnya dan bertanggung jawab langsung kepada dewan komisaris. Tanggung jawab
yang
dimiliki
oleh
komite
audit
diharapkan
dapat
membantu
memaksimalkan kinerja dewan komisaris dalam mengawasi pengelolaan perusahaan yang selaras dengan mekanisme corporate governance. Ketika perusahaan telah menunjukan kinerja yang baik melalui pelaporan keuangannya kepada pemegang saham, hal tersebut menunjukan perusahaan telah menyajikan laporan sesuai dengan asas-asas corporate governance yakni menyajikan laporan keuangan yang sesuai dengan keadaan perusahaan yang sebenarnya.
Antonia (2008) menguji komite audit yang bersifat independen terhadap manajemen laba pada perusahaan yang listing di BEI di sektor manufaktur tahun 2004-2006. Penelitiannya menunjukkan bahwa proporsi komite audit independen berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Dari hasil ini diketahui bahwa keberadaan anggota komite audit independen mampu mengoptimalkan fungsi pengawasan yang menjadi tanggung jawab penuh dari dewan komisaris dalam pelaksanaan tugasnya mengawasi kinerja dewan direksi yang dapat membantu meminimalisir aktivitas manajemen laba. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Pamudji dan Triharti (2010) yang menguji tentang independensi dan efektifitas komite audit terhadap manajemen laba pada seluruh perusahaan manufaktur di BEI tahun 2005-2007 sebagai populasi. Penelitiannya menunjukan bahwa komite audit tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini menunjukan bahwa komite audit yang telah dibentuk oleh perusahaan tidak menjalankan fungsi dan peranannya secara efektif sehingga komite audit tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba. Restuningdiah (2011) dalam penelitiannya mengenai komite audit terhadap manajemen laba dengan populasi perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2008-2009 konsisten dengan penelitian Pamudji dan Trihatati (2010) bahwa hasil penelitiannya menunjukan bahwa efektifitas komite audit yang diukur berdasarkan banyaknya jumlah pertemuan yang dilakukan setahun tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini memiliki makna bahwa seringnya komite audit mengadakan pertemuan tidak berdampak pada manajemen laba.
Perusahaan yang komite auditnya sering mengadakan rapat maupun yang tidak sering mengadakan rapat sama-sama memiliki kemungkinan untuk melaukan atau tidak melakukan praktik manajemen laba. 2.3
Hipotesis Penelitian Perusahaan yang memiliki komposisi dewan komisaris yang tinggi dan
secara efektif melaksanakan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya diharapkan akan menambah nilai perusahaan karena dengan keberadaanya diharapkan pula pengawasannya secara umum terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh manajemen atau dewan direksi terlebih dalam pencegahan praktek manajemen laba dalam pelaporan keuangannya. Berdasarkan analisis di atas peneliti menduga bahwa dengan adanya komisaris yang independen, sebuah perusahaan cenderung ada dalam tingkat rendah untuk melakukan praktik manajemen laba. Dalam tujuannya melaporkan informasi laba untuk pihak eksternal, komite audit secara lebih khusus dapat mengontrol lebih baik segala kegiatan manajemen dalam hal laporan keuangan perusahaan karena dewan komisaris biasanya tidak memiliki akses terhadap pengelolaan manajemen perusahaan dan hanya terbatas pada kegiatan mengawasi dan menasehati manajemen jika diperlukannya masukan untuk manajemen melakukan pengambilan keputusan. Maka dewan komisaris menjadikan pekerjaannya lebih efektif dengan mendelegasikan wewenang dan tanggungjawabnya kepada komite audit. Sehingga, informasi atas laporan keuangan jauh lebih baik dapat dikontrol oleh komite audit yang selanjutnya mengomunikasikannya kepada dewan komisaris. Peneliti menduga
bahwa keberadaan komite audit yang memegang kendali lebih banyak dapat meminimalkan praktik manajemen laba. Berdasarkan teori di atas, penulis dapat mengajukan hipotesis untuk setiap variabel adalah sebagai berikut: H1: Komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap aktivitas manajemen laba. H2:Keberadaan komite audit berpengaruh terhadap aktivitas manajemen laba. Kerangka pemikiran yang telah diuraikan oleh penulis di atas dapat dilihat pada gambar berikut: Komisaris Independen
H1 H2
Komite Audit
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Manajemen Laba