perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kebijakan Publik Definisi sederhana kebijakan publik menurut Nugroho (2012: 122) disebutkan bahwa kebijakan publik terbentuk dari dua kata: kebijakan dan publik. Kebijakan (policy)
adalah an authoritative decission. Decision
made by the one who hold the authority, formal or informal. Publik adalah sekelompok orang yang terikat dengan suatu isu tertentu. Public policy is any of state or government (as the holder of the authority) decision to manage public life (as the sphere) in order to reach the mission of the nation (remember, nation is consist of two institutions: state and society). Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk mengatasi masalah atau persoalan. Anderson dalam Winarno (2012 : 21- 23) menyebutkan, kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Menurut Anderson, konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yakni pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
dilakukan
oleh
pejabat-pejabat
pemerintah
dan
bukan
merupakan
keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya suatu keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur kebutuhan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan publik dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara positif kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu
mengenai suatu persoalan yang memerlukan
keterlibatan pemerintah. Senada dengan Thomas Dye dalam Subarsono (2012 : 2) kebijakan publik adalah apapun pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan. (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah di samping yang dilakukan oleh pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
Berdasarkan beberapa definisi diatas, kebijakan publik merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan untuk menyelesaikan permasalalahan publik. Kebijakan publik bukanlah tindakan yang mudah, karena menyangkut masalah dan kepentingan beberapa aktor yang terlibat dalam serangkaian tindakan, mulai dari perumusan masalah sampai dengan evaluasi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kebijakan publik dapat berupa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah maupun yang dipilih untuk tidak dilakukan. 2.2
Proses Kebijakan Publik Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn sebagaimana Winarno (2012: 35-37) adalah sebagai berikut : a. Tahap penyusunan agenda Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kabijakan. Pada tahap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasanalasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama. b. Tahap formulasi kebijakan Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masingmasing actor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik. c. Tahap adopsi kebijakan Sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan. d. Tahap implementasi kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain munkin akan ditentang oleh para pelaksana. e. Tahap evaluasi kebijakan Kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum. James Anderson (1987) dalam (Subarsono, 2012: 12) menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut: (1) Formulasi masalah (Problem formulation): Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah? (2) Formulasi kebijakan (Formulation) : bagaiman mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah terrsebut?Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan? (3) Penentuan Kebijakan (Adoption): bagaiman alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
akan melaksanakan kebijakan? Bagaiman proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan? (4) Implementasi (Implementation): siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan?Apa yang mereka kerjakan Apa dampak dari yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan? (5) Evaluasi (Evaluation): bagaiman tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan akan diukur? siapa yang mengevaluasi kebijakan?Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan?
2.3
Proses Formulasi Kebijakan Sebagai Awal Proses Kebijakan Publik Para ahli administrasi negara telah meletakkan fungsi perumusan kebijaksannaan negara (public policy formulation) sebagai bagian yang sama penting dengan fungsi pelaksanaan kebijaksanaan negara (public policy implementation). Nicholas Henry telah menyatakan bahwa “For the letter part of the twentieth century, the public bureaucracy has been the locus of public policy formulation and the major determinant of where this country is going” (Pada bagian penting di abad ke 20 ini, birokrasi pemerintah telah menjadi ajang perumusan kebijaksanaan negara dan penentu utama kemana negeri ini akan menuju (Islamy, 1994: 1). Proses formulasi kebijakan (policy formulation) atau sering disebut dengan proses perumusan kebijakan merupakan salah satu bagian dan proses awal dari proses kebijakan publik. Kraft & Furlong (dalam Hamdi: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
2014, 87) menyatakan pengertian formulasi kebijakan sebagai desain dan penyusunan rancangan tujuan kebijakan serta strategi untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa paling tidak terdapat dua aktivitas utama dalam formulasi kebijakan publik,yakni: pertama, perancangan tujuan kebijakan. Aktivitas tersebut tentu saja sangat berkaitan dengan rumusan masalah kebijakan, namun perancangan tujuan kebijakan akan dapat berbeda dari rumusan masalah kebijakan, sejalan dengan dinamika yang berlangsung di dalam dan diluar komunitas kebijakan, yang umumnya terdiri atas pejabat-pejabat pemerintah, kelompok kepentingan, akademisi, profesional, badan-badan penelitian, dan kelompok pemikir. Kedua, formulasi kebijakan juga menyangkut strategi pencapaian tujuan. Dengan aktivitas tersebut, termuat penegasan bahwa dalam setiap alternatif kebijakan, sejak awal perlu dirumuskan langkah-langkah yang semestinya dilakukan apabila alternatif tersebut dipilih menjadi kebijakan. Menurut Anderson (dalam Winarno, 2012: 96) formulasi kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus. Perumusan alternatif kebijakan pada dasarnya adalah hasil dari kegiatan peramalan (forecasting) mengenai kondisi yang perlu, atau dapat diwujudkan berkaitan dengan pemecahan masalah kebijakan (Hamdi: 2014, 88). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
Mempelajari formulasi kebijakan berarti mempelajari bagaimana masalah-masalah publik menarik perhatian masuk pada agenda pemerintah, siapa saja aktor yang terlibat, bagaimana masalah tersebut dirumuskan, kemudian sikap dan tindakan-tindakan apa yang perlu dilakukan. Menurut Winarno ( 2012 : 122-124) suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Dalam bentuknya yang positif keputusan kebijakan bisa berupa penetapan undang-undang atau dikeluarkan perintah-perintah eksekutif. Tahap keputusan kebijakan bukan merupakan pemilihan dari berbagai alternatif
kebijakan, melainkan
tindakan tentang apa yang boleh dipilih, yang menurut para pendukung tindakan tersebut dapat disetujui. Pada saat proses kebijakan bergerak ke arah proses pembuatan keputusan, maka beberapa usul akan diterima sedangkan usul-usul yang lain akan ditolak, dan usul-usul yang lain lagi akan dipersempit. Dalam hal ini, Abidin (2012: 111) mengemukakan bahwa proses perumusan kebijakan bersifat kompromistik, yakni rumusan jalan tengah melalui proses “tolak-tarik (take and give)”. Dalam keadaan ini, nilai-nilai yang dipertahankan seringkali hanya yang prinsip-prinsip saja. Nilai-nilai substansi yang lain seringkali terpaksa dikorbankan demi memperoleh persetujuan atau dukungan. Dalam hal ini, optimalisasi pencapaian tujuan tidak mungkin dapat diwujudkan. Kekuatan kebijakan disini terletak pada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
dukungan pihak-pihak yang terkait, bukan pada mutu substansi kebijakan, keaadaan seperti ini seringkali terdapat dalam sistem pemerintahan koalisi.
2.4
Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan Publik Menurut Widodo, (2007: 44), pada tahap policy formulation, paling tidak terdapat empat macam kegiatan atau tahap yang harus dilalui yaitu: problem identification, agenda setting, policy problem formulation, dan policy design. Formulasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses yang terdiri dari empat tahap menurut Winarno (2012: 123-125) , meliputi: 1. Perumusan masalah ( Defining Problem) Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh
kebijakan dalam
menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada ketepatan masalah-maslah publik tersebut dirumuskan (Winarno, 2012: 123). Jones dalam (Islamy: 1994,79) mengemukakan definisi masalah sama dengan Smith yaitu kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus diatasi/dipecahkan. Sehubungan dengan hal tersebut Islamy ( 1994: 81) commit to user menyebutkan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
perumusan kebijakan adalah mengidentifikasi masalah. Kesalahan dalam mengidentifikasi
masalah
akan
berakibat
salahnya
perumusan
masalahnya dan ini akan berakibat panjang pada fase-fase berikutnya. 2. Agenda Kebijakan Tidak semua masalah publik akan masuk kedalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut saing berkompetisi antara satu dengan yang lain (Winarno: 2012, 124). Menurut Islami ( 1994: 83) juga menyebutkan bahwa dari sekian banyak problem-problem, hanya sedikit sekaliyang memperoleh perhatian yang seksama dari pembuat kebijakan negara. 3. Pemilihan Alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah. Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut kedalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. 4. Tahap penetapan kebijakan Setelah salah satu dari sekian altenatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan tersebut. Penetapan
kebijakan
dapat
berbentuk
commit to user
berupa
undang-undang,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
yurisprudensi, keputusan presiden, keputusan-keputusan menteri dan sebagainya. Tahapan-tahapan di atas secara teknis dan spesifik menurut Nugroho (2012:551) mengemukakan model proses ideal perumusan kebijakan yang diambil dari Pedoman Umum Kebijakan Publik yang dikembangkan untuk Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Tahun 2006 yang secara umum dapat digambarkan secara sederhana dalam urutan proses sebagai berikut : 1. Munculnya isu kebijakan. Isu kebijakan dapat berupa masalah dan atau kebutuhan masyarakat dan atau negara, yang bersifat mendasar, mempunyai lingkup cakupan yang besar, dan memerlukan pengaturan pemerintah. 2. Setelah pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan. Tim kemudian secara paralel merumuskan naskah akademik dan atau langsung merumuskan draf nol kebijakan. 3. Setelah terbentuk, rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik, dalam jenjang sebagai berikut : a. Forum publik yang pertama, yaitu para pakar kebijakan dan pakar yang berkenaaan dengan masalah terkait. b. Forum publik kedua, yaitu dengan instansi pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
c. Forum publik yang ketiga dengan para pihak yang terkait atau yang
terkena
impact
langsung
kebijakan,
disebut
juga
benificiaries. d. Forum publik yang keempat adalah dengan seluruh pihak terkait secara
luas,
menghadirkan
tokoh
masyarakat,
termasuk
didalamnnya lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi isu terkait. Hasil diskusi publik ini kemudian dijadikan materi penyusunan pasalpasal kebijakan yang akan dikerjakan oleh tim perumus. Draf ini disebut Draf 1. 4. Draf 1 didiskusikan dan diverifikasi dalam focused group discussion yang melibatkan dinas/instansi terkait, pakar kebijakan, dan pakar dari permasalahan yang akan diatur. 5. Tim perumus merumuskan Draf 2, yang merupakan Draf Final dari kebijakan. 6. Draf final kemudian disahkan oleh pejabat berwenang, atau, untuk kebijakan undang-undang, dibawa ke proses legislasi yang secara perundang – undangan telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
Apabila dikembangkan menjadi kebijakan yang dibuat bersama legislatif, prosesnya dapat disimak pada bagan berikut: Bagan 2.1 Proses Kebijakan
(Sumber: Nugroho, 2012 : 593)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Dalam praktik, Nugroho (2012: 596) juga mengungkapkan berikut proses yang biasanya berjalan dalam perumusan kebijakan: Bagan 2.2 Pilihan Kebijakan: Ditolak atau Diterima
(Sumber: Nugroho, 2012 : 596)
Bagan diatas menunjukkan bahwa dalam proses perumusan kebijakan, pada tahapan komunikasi antar stakeholder dalam tahap pembahasan, proses pembuatan suatu kebijakan tidak selalu diterima, tetapi juga bisa ditolak. Pada tahap komunikasi antar stakeholder merupakan proses politik, karena terjadi kompromi, negosiasi, bergaining dan sebagainya untuk menanggapi usulan-usulan kebijakan yang akan dijadikan sebagai alternatif kebijakan.commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
Perlu diingat bahwa, kebijakan publik dipandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik terhadap tuntutan –tuntutan yang timbul dari lingkungan atau keadaan yang berada diluar batas-batas sistem politik. Pada saat proses kebijakan bergerak kearah proses pembuatan keputusan, maka beberapa usul akan diterima sedangkan usul-usul yang lain akan ditolak, dan usul-usul yang lain mungkin akan dipersempit. Pada tahap ini perbedaan pendapat akan dipersempit dan tawar menawar akan terjadi hingga akhirnya dalam beberapa hal, keputusan kebijakan hanya akan merupakan formalitas (Winarno, 2012 : 123). Pada tahap yang mengalami penolakan tersebut menunjukkan bahwa proses formulasi kebijakan bukanlah suatu proses yang linear dan simpel. Menurut Merille Grindle dan John Thomas (1991) dalam (Nugroho: 530534) menyepakati bahwa pada dasarnya proses kebijakan tidak sepenuhnya linear melainkan bergerak seperti diagaram pohon keputusan. Sebagai sebuah
proses,
kebijakan
publik
mempunyai
proses
“saling
mengembangkan” dalam bentuk kontribusi “Value” antar subsistem, keberhasilan
pada
masing-masing
tahap
akan
mengontribusikan
keberhasilan pada tahap selanjutnya. Demikian pula kegagalan pada masing-masing tahap akan mengontribusikan kegagalan pada tahap selanjutnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
2.5
Analisis Proses Formulasi Kebijakan Publik Definisi analisis kebijakan publik dikutip dalam Widodo (2008: 19) yang menyebutkan definisi analisis kebijakan menurut Wildasky yang mengemukakan bahwa “ policy analysis is an activity creating problems that can be solved”, Dunn mendefinisikan analisis kebijakan sebagai “The Process of producing knowledge of and in policy process”, sedangkan Leslie A. Pal (1987) menegaskan bahwa “ policy analysis will be defined as the disciplined application of intelect to public problem”. Berdasarkan
beberapa
pengertian
diatas
Widodo
(2008:20)
menyimpulkan bahwa ciri analisis kebijakan meliputi: pertama, analisis sebagai aktivitas kognitif, yakni aktivitas yang berkaitan dengan learning and thinking. Artinya aktivitas tersebut hanya sebagi salah satu aspek dari proses kebijakan, artinya masalah kebijakan didefinisikan, dipecahkan dan ditinjau kembali. Proses tersebut melibatkan berbagai pihak, baik pihak yang setuju maupun tidak. Kedua. Analisis kebijakan merupakan aktivitas kolektif. Ketiga, analisis kebijakan sebagai disiplin intelektual terapan, berarti masalah kebijakan yang harus dikaji melalui aktivitas dari sejumlah analisis. Keempat, analisis kebijakan berkaitan dengan masalah-masalah publik. Menurut Dunn (2004) analisis kebijakan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengomunikasikan pengetahuan tentang proses kebijakan publik. Analisis kebijakan adalah
disiplin ilmu sosial terapan yang yang menggunakan
berbagai metode pengkajian multipel dalam konteks argumentasi dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
debat
politik
untuk
menciptakan,
secara
kritis
menilai,
dan
mengomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Menurut (Nugroho, 2012: 306), analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin ilmu dengan tujuan memberikan informasi yang bersifat: deskriptif, evaluatif dan atau preskriptif. Analisis kebijakan menjawab tiga macam pertanyaan, yaitu: (1) Nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk menilai apakah suatu masalah sudah teratasi? (2) Fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai. (3) Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Melakukan analisis seringkali disejajarkan dengan melakukan evaluasi karena kedua-duanya sama-sama menilai kebijakan. Dalam konteks menganalisis formulasi kebijakan, merupakan
tahapan awal evaluasi
kebijakan, yakni evaluasi formulasi kebijakan. Hanya saja ditekankan dalam (Nugroho, 2012: 736)
bahwa sesungguhnya
pemahaman evaluasi
mencakup seluruh kebijakan, bukan sebagian. Evaluasi kebijakan publik mempunyai empat lingkup makna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, evaluasi kinerja kebijakan, evaluasi lingkungan kebijakan. Khusus bagian teknik evaluasi formulasi kebijakan publik dapat mengacu model formulasi kebijakan publik yang digunakan. Tahap formulasi kebijakan (policy formulation) merupakan tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahapan berikutnya pada tahapan proses kebijakan publik. Manakala proses formulasi tidak dilakukan secara tepat dan komprehensif, hasil kebijakan yang diformulasikan tidak akan bisa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
mencapai tataran optimal, artinya bisa jadi tidak bisa diimplementasikan karena yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan sulit dicapai sehingga masalah publik yang mengemuka di masyarakat juga tidak bisa dipecahkan(Widodo, 2008: 44). Ada berbagai macam pendapat dalam mengemukakan tahapantahapan dalam formulasi kebijakan publik, antara lain: 1.
Widodo(2008:44) mengemukakan tahapan formulasi kebijakan terdiri dari: identifikasi dan pemahaman masalah (problem identification), Penyusunan Agenda (agenda seting), formulasi masalah kebijakan publik (Policy problem formulation), dan desain kebijakan(policy design).
2. Winarno (2012: 122-125) mengemukakan tahapan formulasi kebijakan terdiri dari: perumusan masalah (defining the problem), Agenda
Kebijakan,
pemilihan
alternatif
kebijakan
untuk
memecahkan masalah, tahap penetapan kebijakan 3. Nugroho (2012: 589) mengemukakan tahapan formulasi kebijakan terdiri dari: isu kebijakan, penyiapan, pra kebijakan, proses publik, rumusan kebijakan, penetapan kebijakan Pada dasarnya tahapan formulasi menurut Winarno dan Widodo sama hanya menggunakan istilah yang berbeda namun secara substansi sama, sedangkan Nugroho lebih menekan pada penjelasan tahapan secara rinci dan taktis. Analis yang yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan commit to user pada tahap-tahap proses formulasi kebijakan publik menurut Winarno
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
(2012) yang dirasa peneliti sesuai dengan kasus Raperda Miras ini, karena proses pembuatan Perda tentang miras di Kota Surakarta tidak melalui semua tahap-tahap yang teknis dan rinci seperti halnya tahapan formulasi Nugroho. 2.6
Aktor-Aktor Dalam Perumusan Kebijakan Publik Charles Lindblom dalam Winarno ( 2012: 930), secara spesific menyebutkan bahwa untuk memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau pemeran serta dalam pembentukan kebijakan tersebut, baik aktor-aktor yang resmi maupun aktoraktor yang tidak resmi. Siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifatnya, bagian atau peran apa yang mereka lakukan(Partisipants), wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi. Pembahasan mengenai siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat misalnya dalam tulisan James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), maupun James P. Lester dan Joseph Stewart, Jr (2000) dalam Winarno (2012 : 126). Aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pembuatan kebijakan dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta (aktor) resmi dan tidak resmi. Pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Disamping pemeran serta yang resmi, kita juga sering menemukan commitMereka to user biasanya berpartisipasi di dalam para pemeran serta tidak resmi.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
proses perumusan kebijakan. Kelompok-kelompok ini disebut tidak resmi karena meskipun mereka terlibat aktif didalam perumusan kebijakan, akan tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk membuat keputusan yang mengikat. Pemeran serta tidak resmi ini, meliputi; kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan warganegara individu. Pemeran serta tidak resmi ini juga dapat disebut pelaku informal. Peran komunikasi politik pelaku informal ini sangat penting dalam menentukan kebijakan lokal. Di negara Jerman, hasil penelitian Andrea Walter dalam Jurnal German Policy Studies ( 2013) Vol. 9, No. 1, yang berjudul “Does informality matter in German Local Policy Making?”, menyebutkan bahwa “In conclusion, yes – informality matters in processes of policy making! The empirical analysis in the field of local environmental politics of a selected major city in Germany (city of Münster) has shown that informality is an important process characteristic. The main argument, supported by this analysis, is that informal political communication is important in processes of policy making. It provides a complementary role to any formal communication. There is empirical evidence that informal political communication serves mainly as a proscenium in formal processes of policy making at the local level”. ( Kesimpulannya, iya pelaku informal penting dalam proses pembuatan kebijakan!. Analisis empiris di bidang politik lingkungan lokal kota besar terpilih di Jerman (Kota Munster) telah menunjukkan bahwa informalitas yang merupakan karakteristik proses yang penting. Argumen utama yang mendukung analisis ini adalah, bahwa komunikasi politik informal yang penting dalam proses pembuatan kebijakan memberikan peran pelengkap untuk setiap komunikasi resmi. Ada bukti empiris bahwa komunikasi politik informal yang berfungsi terutama sebagai proscenium/penggerak dalam proses formal pembuatan kebijakan di tingkat lokal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
2.7
Definisi Minuman Beralkohol Minuman beralkohol yang dikenal dengan istilah MIRAS (Minuman
Keras) adalah minuman yang mengandung etanol. Nama kimia alkohol yang terdapat dalam minuman beralkohol adalah etil alkohol atau etanol. Minuman beralkohol juga mengandung senyawa lain, seperti asam organik. Asam organik yang terdapat dalam minuman beralkohol adalah asam asetat, asam valerat, asam propionat. Selain asam organik juga terdapat fenol, aldehid, asam keto. Untuk menghasilkan citarasa serta aroma yang sedap seringkali ditambahkan flavour serta pipermint (Darby, 1979). Minuman keras bila dikonsumsi secara berlebihan dan terus menerus akan dapat merugikan dan membahayakan kesehatan baik jasmani maupun rohani serta perilaku dan cara berfikir atau kejiwaan seseorang. (Dharma Bhakti, 1999:22) Adapun akibat yang dapat disebabkan oleh minuman beralkohol adalah (Dadang Hawari, 2004:40) : a) Perubahan prilaku misalnya perkelahian dan tindak kekerasan lainnya, ketidak mampuan menilai realitas, gangguan dalam fungsi social dan pekerjaan b) Gejala fisiologik: Bicara cadel, Gangguan koordinasi, Cara jalan yang tidak mantap, Mata jereng (nistakmus) Muka merah c) Gejala pisikologik: Perubahan alam perasaan, Mudah marah dan tersinggung,
banyak
bicara
(melantur),
perhatian/konsentrasi. commit to user
hendaya
atau
gangguan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
Minuman beralkohol memang bukanlah akibat langsung dari timbulnya suatu kejahatan akan tetapi dapat menjadi penyebab seseorang melakukan tindak pidana, karena dalam minuman keras tersebut terkandung alkohol yang dapat menyebabkan keracunan dan kebiusan dari otak, yaitu menyebabkan ketidak seimbangan mental dengan di sertai gangguan badaniah dengan ciri-cirinya antara lain merasa dirinya hebat, gembira kehilangan rem-rem moril, kurang kritik terhadap diri sendiri, memandang sepele terhadap bahaya, dan konsentrasi yang berkurang. (Adami Chozowi, 2005:66) Minuman beralkohol dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri (impor). Biasanya yang tergolong minuman beralkohol dari dalam negeri berupa minuman keras tradisional, seperti ciu, tuak, arak dan sebagainya. Sedangkan minuman keras impor, seperti: Bir mengandung 3 5%, anggur 10 - 14%, sherry, port mustakel berkadar alkhol 20%, sedangkan wisky, gin, rum, vodka, dan brendy berkadar alkohol 40 - 45%. dan sebagainya. Penyalahgunaan alkohol telah menjadi masalah pada hampir setiap Negara di seluruh dunia. Tingkat konsumsi alkohol di setiap Negara berbeda-beda tergantung pada kondisi sosio kultural, pola religius, kekuatan ekonomi, serta bentuk kebijakan dan regulasi alkohol di tiap negara (Sisworo, 2008). Pada saat ini terdapat kecenderungan penurunan angka pecandu alkohol di negara-negara maju namun angka pecandu alkohol ini justru
meningkat
pada
negara-negara commit to user
berkembang.
World
Health
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Organization (WHO) memperkirakan saat ini jumlah pecandu alkohol diseluruh dunia mencapai 64 juta orang, dengan angka ketergantungan yang beragam disetiap negara. 2.8
Rancangan Peraturan Daerah Kota Surakarta Tentang Minuman Beralkohol Rancangan Peraturan Daerah Kota Surakarta tentang minuman beralkohol telah diajukan oleh pemerintah kota Surakarta pada tahun 2010 kepada pihak legislatif. Draft yang diajukan tersebut bernama “Rancangan Peraturan Daerah Kota Surakarta Tentang Tentang Pelarangan, Pengawasan dan Pengendalian, Peredaran dan Penjualan Minuman Keras/Beralkohol”. Adapun pokok-pokok yang diatur dalam rancangan peraturan daerah terdiri atas 16 (enam belas) bab dan 51 (lima puluh satu) pasal yang mengatur: Ketentuan Umum, Asas dan Tujuan, Klasifikasi, Jenis dan Standart mutu, Peredaran, Penjualan dan Label Minuman Beralkohol, Perizinan, Tempat Penyimpanan minuman beralkohol, larangan, Pengawasan dan pelaporan, Penertiban, Peran Serta Masyarakat, Retribusi, sanksi Administrasi, Ketentuan Pidana, Ketentuan Penyidikan, Ketentuan peralihan daan Ketentuan Penutup (untuk lebih lanjut draft terlampir). Raperda Minuman Beralkohol Pemerintah Kota Surakarta
tersebut diajukan atas inisiatif
karena Pemerintah Kota Surakarta yang
menginginkan adanya pengaturan peredaran minuman beralkohol di Kota Surakarta agar tidak dijual bebas di sembarang tempat mengingat potensi Kota Surakarta. Atas dasar itulah dasar hukum tentang pengawasan dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
pengendalian
yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan
diperlukan. Setelah melalui proses pembahasan di DPRD Kota Surakarta Raperda tersebut diubah dan berbunyi “Rancangan Peraturan Daerah Kota Surakarta Tentang Minuman Beralkohol”. Pada Proses Penetapannya, Raperda tersebut ditetapkan disetujui semua fraksi DPRD untuk tidak menjadi perda yang diputuskan dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penolakan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Minuman Beralkohol. 2.9
Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
NO
SUMBER PENELITIAN
TUJUAN
HASIL
1.
Fikri, Ali. 2005.Proses Pembentukan Peraturan Daerah Dan Fungsi Kekuatan DPRD Kabupaten Indramayu Dalam Pembahasan pelarangan Minuman Beralkohol (Studi Tentang Raperda Pelarangan Minuman Alkohol di Kabupaten Indramayu).Semara ng: Tesis Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Mengetahui bagaimana proses pembentukan peraturan daerah pelarangan minuman beralkohol, fungsi kekuatan politik DPRD dalam pengambilan keputusan terhadap Raperda Pelarangan minuman Beralkohol dan bagaimana kebijakan daerah dalam penanggulangan peredaran minuman yang mengandung alcohol
Ada tiga variabel yang digunakan dalam penelitian kuantitatif ini yaitu persepsi anggota DPRD terhadap otoritas politiknya(V1), persepsi anggota DPRD tehadap pembentukan perda(V2), dan aplikasi otoritas politik DPRD dalam Pembentukan Peraturan Daerah pelarangan Minuman Beralkohol(V3). Berdasarkan analisa dan temuan disimpulkan bahwa proses pembentukan peraturan daerah tentang pelarangan minuman yang mengandung alcohol belum berjalan sesuai dengan ketentuan, kekuatan politik DPRD kabupaten Indramayu dalam pembentukan perda telah berperan cukup baik dan telah melaksanakan fungsinya dengan klasifikasi 4 orang (4,45%) Sangat Baik, 7 orang (15,55%) klasifikasi baik, 19 orang (42,22 %0 klasifikasi cukup baik dan 15 orang (33,33%)kurang baik. Kebijakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
2.
3.
Pauzia Rizki. 2007. 1. Mengetahui bentuk Partisipasi Politik partisipasi politik Tokoh Agama tokoh agama dalam Dalam proses proses pengambilan Pengambilan kebijakan publik Kebijakan Publik pemerintah Kota pemerintah kota Tangerang Tangerang (Studi 2. Faktor-faktor apa Kasus Perda no 7 saja yang dan 8 Tahun 2005). mendorong aktivitas Jakarta: Skripsi partisipasi politik jurusan pemikiran tokoh agama dalam Politik Islam, UIN proses pengambilan Syarif Hidayatullah kebijakan 3. Tingkat partisipasi politik yang dilakukan oleh tokoh agama dalam proses pengambilan kebijakan publik pemerintah kota Tangerang Amiruddin, Suwaib. 2012. Bagimana kebijakan Kebijakan pemerintah daerah Pemerintah Daerah dan hambatan yang Dalam Menertibkan dihadapi petugas Peredaran dalam menertibkan Minuman Keras Di peredaran minuman Kota Cilegon keras. Provinsi Banten. Banten: Jurnal Hukum Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012 Fisip Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
commit to user
daerah dalam penanggulangan Peredaran minuman yang mengandung alcohol yang dirumuskan dalam peraturan daerah belum bisa diklasifikasikan sebagai Peraturan Daerah yang baik. 1. Bentuk partisipasi politik tokoh agama dalam proses pembuatan perda No 7 tentang pelarangan minuman keras dan 8 tahun 2005 tantang pelarangan prostitusu antara lain: hearing/ diskusi politik, mensosialisasikan perda, ikut serta dalam pemusnahan minuman keras, lobbiying, kontak langsung dengan pemerintah. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik tokoh agama dalam proses pembuatan perda no 7 fan 8 tahun 2005 antara lain: faktor pendidikan, status sosial, dan kedekatan dengan pemerintah. 3. Tingkat partisipasi tokoh politik agama Budha, hindu, konghucu, katolik dan protestan termasuk rendah
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemerintah kota Cilegon memiliki komitmen dalam memberantas peredaran minuman keras dengan menerbitkan Peraturan Daerah No 5 Tahun 2001 Tentang Pelanggaran Kesusilaan, Minuman Keras, Perjudian, Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainnya. Peraturan itu merupakan acuan dalam menertibkan dan mengendalikan produsen maupun konsumen minuman keras. Hambatan yang dihadapi dalam menertibkan peredaran minuman keras terkendala di pembiayaan dan ketersediaan sumber daya manusia terutama aparat penertiban. Selain itu masih terindikasi adanya keterlibatan aparat penegak penertiban dalam praktek menerima uang dari produsen maupun konsumen.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
4.
S. Maldun, Rakhmat, H. Akib, S. Tahmir. (2014). “The analysis of public policy formulation at legislatif board of South Sulawesi province”. International Journal of Academic Research
The study aims at analyzing and explaining the actor role in the policy formulation as the third Stakeholder’s participation in the regional development of South Sulawesi province. (Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan peran aktor dalam perumusan kebijakan dalam pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
commit to user
The research result was focused on the actor role in the evaluation of formulation Policy program of the third Stakeholder’s participation in the regional development. It shows that the actor’s ideas contain of philosophical meaning so, it recommended that the regional regulation draft about participation of the third Stakeholder in South Sulawesi can be accepted by the forum. Even though, the discussion of regional regulation drafts about participation of the third Stakeholder in South Sulawesi province lack of socialization to the society. But economical aspect of South Sulawesi society perspective took apart in the South Sulawesi development. Hasil penelitian difokuskan pada peran aktor (DPRD/Dewan legislatif) dalam evaluasi formulasi Kebijakan yang telah dibuat dalam rangka pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Informan dalam penelitian ini adalah (a) the ViceChairman of the legislature; (b) Chairman of the legislation; (c) Chairman of the special committee of regulation draft; (d) Chairman of the faction (e) Members of the Provincial Legislature; (f) Third party., Ketua Bagian Legislasi, Ketua bagian Penelitian ini menunjukkan bahwa ide-ide aktor mengandung makna filosofis. Draft Peraturan Daerah tentang partisipasi stakeholder di Sulawesi Selatan dapat diterima oleh forum. Meskipun, pembahasan draft Peraturan Daerah tentang partisipasi stakeholder di Provinsi Sulawesi Selatan kurang disosialisasikan kepada masyarakat. Tapi aspek ekonomi perspektif masyarakat Sulawesi Selatan selalu lebih tinggi dari pendapatan nasional dan terpisah dalam Pembangunan Sulawesi Selatan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
5.
Mulyantoro, Hendrik. 2014. Analisis Formulasi Kebijakan Atas Larangan Usaha Penggilingan Padi Keliling Di Kabupaten Karanganyar. Surakarta: Skripsi Ilmu Administrasi UNS
Menjelaskan proses formulasi kebijakan larangan usaha penggilingan padi keliling di kabupaten karanganyar
Proses perumusan kebijakan atas larangan usaha penggilingan padi keliling di Kabupaten Karanganyar telah melalui tahap-tahap yang sesuai dengan proses formulasi kebijakan,yakni dikaji melalui tahap perumusan masalah, tahap agenda kebijakan, tahap alternatif masalah dan tahap pengesahan.
Penelitian ini berbeda dengan kelima penelitian yang disebutkan diatas, penelitian S. Maldun, Rakhmat, H. Akib, S. Tahmir (2014) dalam Intenational Journal Science lebih menekankan pada indikator yang digunakan aktor untuk mengevaluasi rancangan program regulasi pembangunan daerah di Sulawesi Selatan. Penelitian Fikri Ali (2005), lebih menekankan pada proses pembentukan Peraturan daerah dan kekuatan politik DPRD, namun penelitian tersebut menggunakan metode penelitian kuantitatif, sehingga proses pembentukan peraturan daerah tentang minuman beralkohol dilihat dari hasil kuantitatif yang diperoleh dari variabel persepsi masing-masing DPRD. Penelitian Pauzia Rizki (2007) mengemukakan Partisipasi Politik Tokoh Agama Dalam proses Pengambilan Kebijakan Publik pemerintah kota Tangerang (Studi Kasus Perda no 7 dan 8 Tahun 2005). Penelitian Amiruddin, Suwaib (2012) lebih menekankan pada evaluasi proses bagaimana Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Menertibkan Peredaran Minuman Keras Di Kota Cilegon Provinsi Banten serta kendala yang dihadapi. Penelitian Hendrik Mulyantoro (2014) berdasarkan permasalahan implementasi Peraturan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Daerah Kabupaten Karanganyar
Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Penggilingan Padi yang tidak sesuai, maka penelitian tersebut mencoba melihat formulasi perda
tersebut apakah sesuai dengan prosedur atau
tidak, mengapa implementasinya tidak sesuai dengan proses formulasi. Penelitian ini berbeda dengan kelima penelitian diatas, karena penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perumusan suatu kebijakan yang yang ditetapkan untuk ditolak dalam kasus Rancangan Peraturan Daerah Kota Surakarta Tentang Minuman Beralkohol.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
2.10 Kerangka Berpikir Berdasarkan latar belakang dan pembahasan sebelumnya, kerangka berpikir dalam penelitian ini yaitu, dimulai dari permasalahan minuman keras dan potensi peredaran minuman keras di Surakarta. Permasalahan tersebut ditanggapi pemerintah Kota Surakarta dengan membuat draft Raperda Tentang Minuman Beralkohol. Kemudian draft tersebut diajukan kepada legislatif. Di dalam proses formulasi raperda tersebut terdapat aktoraktor yang menolak pengesahan raperda tersebut, sehingga pada proses penetapan terjadi keputusan penolakan. Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Permasalahan Minuman Beralkohol
1. 2. 3. 4.
(Proses Formulasi Kebijakan Publik): Perumusan masalah Agenda kebijakan Pemilihan alternatif Penetapan kebijakan
- Aktor yang menolak - Alasan yang mendasari penolakan
SK Penetapan DPRD Kota Surakarta No 5 Tahun 2014 Tentang Penolakan Rancangan Peraturan Daerah Kota Surakarta Tentang Minuman Beralkohol
commit to user