BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau yang disingkat dengan UMKM merupakan sektor riil yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam aktivitas bisnis sehari-hari.UMKM merupakan salah satu ujung tombak yang penting bagi Indonesia untuk dapat menguasai pasar bebas di tahun mendatang. UMKM juga telah menyelamatkan kondisi perekonomian Indonesia karena mampu menyerap banyak tenaga kerja yang saat itu pengangguran atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selain itu, UMKM mampu bertahan di tengah guncangan krisis moneter yang melambungkan harga barang- barang kebutuhan rumah tangga pada masa itu. UMKM jelas memegang peranan vital dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Setiap negara memiliki definisi dan konsep UMKM yang berbeda-beda tetapi secara umum sebuah usaha mikro mengerjakan lima (5) atau kurang pekerja tetap sedangkan usaha kecil menengah bisa berkisar antara kurang dari 100 pekerja, misalnya di Indonesia. Selain menggunakan klasifikasi jumlah pekerja, banyak negara yang juga menggunakan nilai aset tetap (tidak termasuk gedung dan tanah) dan omset dalam mendefisinikan UMKM (Tambunan, 2009). Di Indonesia sendiri, definisi dan karakteristik UMKM diatur dalam berbagai perspektif yaitu: 1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang menyebutkan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
a. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorang dan/atau badan usaha perorangan dengan aset s/d Rp 50 Juta dan Omset maksimum 300 juta per tahun. b. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar dengan aset > 50 Juta-500 Juta dan omset Rp 300 juta-Rp 2,5 Milyar per tahun. c. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan aset > Rp 500 Juta-Rp 10 Milyar dan omset > Rp 2,5 Milyar-Rp 50 Milyar per tahun. 2. Menurut Badan Pusat Statistik, kriteria usaha adalah: a. Usaha Mikro, memiliki 1-4 orang tenaga kerja b. Usaha Kecil, memiliki 5-19 orang tenaga kerja c. Usaha Menengah, memiliki 20-99 orang tenaga kerja d. Usaha Besar, memiliki di atas 99 orang tenaga kerja 3. Menurut Bank Indonesia, Usaha Kecil dan Menengah adalah perusahaan industri dengan karakteristik sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Memiliki modal kurang dari Rp. 20 juta b. Untuk satu putaran dari usahanya hanya membutuhkan dana Rp. 5 juta. c. Suatu perusahaan atau perseorangan yang mempunyai total asset maksimal Rp. 600 juta tidak termasuk rumah dan tanah yang ditempati. d. Omset tahunan lebih besar dari Rp. 1 milyar. 4. Menurut Departemen Perindustrian dan Perdagangan, UMKM adalah kelompok industri kecil modern, industri tradisional, dan industri kerajinan yang mempunyai investasi modal untuk mesin-mesin dan peralatan sebesar Rp. 70 juta ke bawah dan usahanya dimiliki oleh warga Negara Indonesia. 2.1.1 Faktor yang Menghambat Perkembangan UMKM Pengembangan UMKM di Indonesia belum terjadi secara maksimal karena berbagai kendala. Ada dua faktor yang menghambat perkembangan UMKM yaitu faktor internal dan eksternal. A. Faktor Internal Faktor internal yang menghambat perkembangan UMKM meliputi: 1.
Kurangnya Permodalan Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan pada modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh, karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi.
Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya di Indonesia sudah terdapat beberapa lembaga keuangan, baik perbankan maupun non bank, yang dapat diandalkan untuk membantu menyelesaikan permasalahan ini. Untuk skala mikro, dikenal Lembaga Keuangan Mikro & Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang merupakan representasi dari lembaga keuangan perbankan pada skala mikro. Untuk lembaga keuangan non perbankan, terdapat lembaga Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Sedangkan di tingkat Nasional, ada PT. Permodalan Nasional Madan (Persero) yang melakukan pembinaan terhadap lembaga keuangan mikro, baik yang berbentuk perbankan atau non bank.Selain itu juga terdapat Perum Pegadaian dengan menawarkan jasa bantuan keuangan bagi pengusaha skala mikro kecil menengah melalui proses yang relatif sederhana dan cepat. Namun tentu saja kemampuan finansial lembaga-lembaga tersebut tidak sesuai dengan jumlah pengusaha skala kecil menengah (Wahyuni dkk, 2005). Dalam kaitannya dengan permohonan kredit, untuk usaha dengan skala kecil dan mikro, lembaga keuangan perbankan jelas tidak akan menerima karena mereka mereka belum memiliki izin usaha dan perbankan pastinya juga akan melihat kelayakan jenis usaha yang akan diberikan kredit. 2.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang Terbatas Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan
Universitas Sumatera Utara
usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya. 3.
Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, oleh karena produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik. Aspek lain yang membuat jaringan usaha dan akses pasar menjadi terbatas sekali, yaitu UMKM dihadapkan pada persoalan cost of production yang tinggi. Tingginya cost of production ini juga turut dipengaruhi oleh mahalnya bahan baku, tingginya cost of transportation, banyaknya
pungutan
liar
yang
mengatasnamakan
Organisasi
Kemasyarakatan Pemuda (OKP) serta retribusi lain yang irrasional dan tumpang tindih. Tingginya cost ini membuat produk UMKM kalah bersaing dengan produk-produk impor yang beredar bebas di pasar. Barang-barang yang sebagian dipasok secara illegal ini tampil dengan model dan desain yang lebih bagus, harga lebih murah dan mutu juga cukup baik. Maka, semakin terpuruklah produk UMKM Sumatera Utara karena daya saing yang tak seimbang (Wahyuni dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara
B. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan UMKM meliputi: 1.
Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif Iklim usaha yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin, dan menghasilkan keuntungan jangka panjang yang tinggi (Tambunan, 2006). Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuh kembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dengan pengusaha-pengusaha besar. Selain itu juga diperlukan perlindungan hukum dan jaminan keamanan bagi pelaku UMKM untuk melakukan kegiatan usahanya. Persoalan premanisme, biasanya kelompok preman ini mendatangi pelaku usaha dengan meminta uang keamanan sehingga para pelaku UMKM pun memasukkan biaya ini ke dalam cost produksinya dan akan menyebabkan harga barang juga meningkat. Jika hal ini terjadi di semua pelaku usaha maka akan terjadi biaya tinggi dan inflasi ekonomi di tingkat nasional. Kasus-kasus
sweeping
dan
premanisme
menggambarkan
kondusifitas berusaha belum didukung adanya jaminan keamanan untuk keberlanjutan berusaha. Sekali lagi, pemerintah melalui aparat kepolisian diminta dengan sangat bisa memberikan jaminan keamanan yang bisa
Universitas Sumatera Utara
menciptakan iklim usaha yang sehat dengan tanpa gangguan dan tekanan dari berbagai pihak. 2.
Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan.
3.
Implikasi Otonomi Daerah Ketentuan tentang pengurusan perizinan usaha industri dan perdagangan telah diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 408/MPP/Kep/10/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Daftar Usaha Perdagangan (TDUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang berlaku selama perusahaan yang bersangkutan menjalankan kegiatan usaha perdagangannya. Selain itu, ada juga Keputusan
Menteri
Perindag
No.
225/MPP/Kep/7/1997
tentang
Pelimpahan Wewenang dan Pemberian Izin di Bidang Industri dan Perdagangan sesuai dengan Surat Edaran Sekjen No. 771/SJ/SJ/9/1997 ditetapkan bahwa setiap perusahaan yang mengurus SIUP baik kecil, menengah dan besar berkewajiban membayar biaya administrasi dan uang jaminan adalah 0 rupiah (nihil). Artinya, perizinan tidak dikenakan biaya (Wahyuni dkk, 2005). Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan
Universitas Sumatera Utara
mengalami implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Disamping itu semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut. Pemko Medan melalui Perda No. 10 Tahun 2002 mengeluarkan aturan
tentang
Retribusi
Izin
Usaha
Industri,
Perdagangan,
Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar Perusahaan. Perda ini menetapkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam mengurus perizinan. Para pelaku usaha sebenarnya tidak keberatan dalam mengurus masalah perizinan tetapi masalah yang timbul adalah melalui besarnya dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan izin tersebut. Selain itu juga, waktu yang diperlukan dalam membuat perizinan sangatlah lama. Padahal, untuk mendapatkan akses permodalan ke Lembaga Keuangan, UMKM harus mempunyai legalitas dalam hal izin usaha itu (Wahyuni dkk, 2005). 4.
Implikasi Perdagangan Bebas Tahun 2015, akan mulai diberlakukan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Dengan adanya AFTA, maka Indonesia seharusnya sudah mempersiapkan
langkah terencana untuk menghadapi hal tersebut.
Meski demikian, AFTA sewarjanya dinilai bukan sebagai suatu ancaman yang
menakutkan
bagi
ekonomi
Indonesia.
AFTA
merupakan
momentum yang bisa menjadi titik balik bagi Indonesia untuk bisa
Universitas Sumatera Utara
unggul di kawasan ASEAN. Dengan AFTA dan pembentukan masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, maka Indonesia dapat mengambil peluang tersebut melalui pendayagunaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Ada 4 hal yang akan dilakukan pada AFTA yaitu bebas aliran jasa, bebas investasi, bebas aliran modal, dan bebas aliran tenaga kerja terampil. Keempat hal ini, mengakibatkan terjadinya serbuan besar- besaran barang bahkan jasa asing yang masuk ke pasar Indonesia, demikian pula sebaliknya. Barang- barang dari produsen Indonesia bisa bebas masuk ke negara- negara ASEAN lainnya. Disinilah kesempatan bagi produk- produk UMKM lokal Indonesia untuk bisa bersaing di pasar global. Dalam hal ini, mau tidak mau Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000) dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak adil oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu maka diharapkan UKM perlu mempersiapkan agar mampu bersaing baik secara keunggulan
komparatif
maupun
keunggulan
kompetitif
yang
berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
5.
Terbatasnya Akses Pasar Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional. Dalam memanfaatkan pasar global, UMKM kita bisa belajar ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Ketiga negara tersebut memiliki UMKM yang kontribusinya tinggi terhadap ekspor. Akses pemasaran yang tidak tertembus UMKM ini juga sangat dipengaruhi lemahnya penguasaan Teknologi Informasi (TI) oleh pelaku UMKM (Wahyuni dkk, 2005).
2.1.2 Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah melalui Kebijakan Pemerintah Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan
dan
daya
saing Usaha
Mikro,
Kecil, dan
Menengah.
Pemberdayaan UMKM diselenggarakan sebagai kesatuan dan pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Pengembangan UKM diIndonesia selama ini dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian Negera KUKM). Selain Kementrian Negara KUKM, instansi yang lain seperti Depperindag, Depkeu, dan BI juga melaksanakan fungsi pengembangan UKM sesuai dengan wewenang masing-masing. Di mana Depperindag melaksanakan
Universitas Sumatera Utara
fungsi pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan menyusun Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah. Demikian juga Departemen Keuangan melalui SK Menteri Keuangan (Menkeu) No. 316/KMK.016/1994 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1-5% Iaba perusahaan bagi Pembinaan Usaha Kecil Dan Koperasi (PUKK). Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan dahulu mengeluarkan peraturan mengenai kredit bank untuk UKM. Prinsip Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20 tahun 2008) adalah: a.
penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;
b.
perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
c.
pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
d.
peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
e.
penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu. Sesuai dengan UU No.20 tahun 2008, pemberdayaan UMKM bertujuan:
a.
mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
b.
menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
Universitas Sumatera Utara
c.
meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Bidang Pemberdayaan
Koperasi Dan UKM Tahun 2014, perkembangan UMKM ditunjukkan oleh peningkatan jumlah UMKM sebesar 2,4 persen sehingga mencapai 56,5 juta unit usaha pada tahun 2012 dan jumlah tenaga kerja UMKM juga meningkat sebesar 5,8 persen menjadi sekitar 107,7 juta orang. Peningkatan jumlah unit usaha dan tenaga kerja terbesar tercatat pada kelompok usaha menengah, yaitu masing-masing 10,7 persen dan 14,7 persen. Sementara itu, pertumbuhan unit usaha dan tenaga kerja usaha kecil juga terus meningkat. Pengembangan kinerja usaha mikro masih membutuhkan kerja keras, hal ini penting karena pertumbuhan unit usaha dan tenaga kerja yang rendah. Padahal usaha mikro masih dominan yaitu 98,8 persen unit usaha dengan menampung 92,8 persen tenaga kerja. Sehingga berdasarkan perkembangan UMKM yang semakin pesat maka Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Bidang Pemberdayaan Koperasi Dan UKM diarahkan kepada kebijakan berikut: 1. Penguatan badan hukum dan pengawasan koperasi. 2. Peningkatan kapasitas usaha bagi koperasi di sektor-sektor produktif. 3. Penguatan akses keuangan bagi UMKM dan penguatan KSP/KJKS. 4. Peningkatan akses dan jaringan/kemitraan usaha dan pemasaran bagi UMKM. 5. Peningkatan jangkauan diklat UMKM.
Universitas Sumatera Utara
6. Pengembangan Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) UMKM di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Menurut Suarja (2007) dalam Sudrajat mengungkapkan pemberdayaan Koperasi dan UMKM dilakukan melalui: a. Revitalisasi peran koperasi dan perkuatan posisi UMKM dalam sistem perekonomian nasional. b. Revitalisasi
koperasi
dan
perkuatan
UMKM
dilakukan
dengan
memperbaiki akses UMKM terhadap permodalan, teknologi, informasi dan pasar serta memperbaiki iklim usaha. c. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan. d. Mengembangkan potensi sumberdaya lokal. 2.2 Sektor Industri Rumah Tangga Berbicara tentang UMKM, tentunya tidak terlepas dari sektor industri rumah tangga. Industri rumah tangga pada umumnya golongan industri tradisional dengan beberapa ciri khas utamanya, yakni a.l.: (1) sebagian besar dari pekerja adalah anggota keluarga (istri dan anak) dari pengusaha atau pemilik usaha (family workers) yang tidak dibayar; (2) proses produksi dilakukan secara manual dan kegiatannya sehari-hari berlangsung di dalam rumah; (3) kegiatan produksi sangat musiman mengikuti kegiatan produksi di sektor pertanian yang pada umumnya sifatnya juga musiman; dan (4) jenis produk yang dihasilkan pada umumnya dari kategori barang-barang konsumsi sederhana seperti alat-alat dapur dari kayu dan bambu, pakaian jadi dan alas kaki (Thoha, 1998). 2.2.1
Kendala Perkembangan Industri Rumah Tangga
Universitas Sumatera Utara
Industri Skala Kecil (ISK) dan Industri Skala Menengah (ISM) di negaranegara maju memang sangat berbeda dengan industri kecil dan industri skala menengah di Indonesia, yang sebagian besar terutama industri rumah tangga masih sangat terbatas akan SDM dan penguasaan teknologi, juga sebagian besar pekerja dan pengusahanya hanya berpendidikan sekolah dasar saja. Mereka menggunakan teknologi tradisional yang kebanyakan direkayasa sendiri. Akses informasi mengenai pasar juga sangat minim. Sangat sedikit industri skala kecil terutama industri rumah tangga yang menggunakan sistem komputer lengkap dengan internet. Padahal semua faktor-faktor ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas produk, efisiensi dalam proses produksi, dan fleksibilitas. Sebagian besar industri skala kecil di Indonesia sangat dominan di sektor manufaktur. Sebagian besar jumlah tenaga kerja di kelompok industri tersebut terdapat di industri rumah tangga. Selain itu juga, sebagian besar industri rumah tangga berada di daerah pedesaan yang kebanyakan dari mereka menjadikan ISK sebagai mata pencaharian sampingan selain bertani. Menurut Anderson (1982), salah satu faktor utama penyebab berkurangnya peranan industri skala kecil, terutama dari kategori industri rumah tangga, di negara-negara industri maju dengan tingkat pendapatan yang tinggi adalah akibat pergeseran fungsi konsumsi masyarakat. Dengan perkataan lain, dalam kondisi seperti ini industri skala kecil harus merubah spesialisasinya dari jenis-jenis barang yang nilai elastisitas pendapatan dari permintaannya rendah (inferior goods) ke jenis-jenis produk dengan nilai elastisitas pendapatan dari permintaan yang tinggi (ferior goods). Faktor-faktor lain yang menurut Anderson (1982) juga mengakibatkan jumlah industri skala kecil terutama industri rumah tanggasemakin
Universitas Sumatera Utara
kecil di negara-negara yang tingkat pendapatannya sudah tinggi, adalah termasuk semakin mahalnya harga bahan-bahan baku utama akibat praktek monopsoni dan oligopsoni di pasar input oleh sekelompok industri skala besar. Pengaruh faktorfaktor tersebut akan lebih nyata pada tingkat industrialisasi yang lebih tinggi, karena resources yang ada semakin terbatas, sementara jumlah pelaku ekonomi semakin banyak dan kebutuhan konsumsi dan industri semakin besar (Tambunan, 1999). Di dalam suatu perekonomian, selain pertumbuhan unit usaha dan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri skala kecil, pentingnya industri skala kecil juga diukur dengan pertumbuhan nilai output dan nilai tambah, serta peningkatan produktivitas. Industri rumah tangga memberikan kontribusi output dan nilai tambah yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan industri kecil pada pembentukan output dan nilai tambah dari industri skala kecil di sektor industri manufaktur. Produktivitas tenaga kerja sangat erat kaitannya dengan jumlah dan jenis mesin (termasuk di dalamnya jenis teknologi) yang digunakan di dalam proses produksi,dan keterampilan tenaga kerja. Produktivitas dari suatu (atau berbagai) faktor produksi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas dari suatu kegiatan produksi dalam
menggunakan
faktor
produksi
tersebut.
Berarti
semakin
tinggi
produktivitas dari faktor produksi yang digunakan di dalam suatu kegiatan produksi, semakin efisien dan efektif pelaksanaan proses produksi tersebut. Tingkat produktivitas tenaga kerja bisa berbeda antara unit usaha walaupun di dalam suatu kegiatan produksi (sub-sektor) yang sama. Lebih rendahnya tingkat
Universitas Sumatera Utara
produktivitas tenaga kerja di industri rumah tangga dibandingkan di industri kecil disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: 1. Keterbatasan akan dana, berarti keterbatasan akan barang modal seperti mesin dan teknologi modern; 2.
Tingkat pendidikan tenaga kerja yang rendah; dan
3. Organisasi, pola manajemen dan metode produksi yang pada umumnya masih sangat tradisional Dalam hal teknologi, bentuk-bentuk permasalahannya yang dihadapi pengusaha-pengusaha industri kecil dan industri rumah tangga bervariasi, yang pada umumnya erat kaitannya dengan masalah-masalah SDM dan dana. Ada dalam bentuk peralatan-peralatan produksi yang digunakan masih tradisional, tidak mampu melakukan penelitian dan pengembangan, keterampilan pekerja dalam menggunakan teknologi yang ada terbatas, informasi tentang teknologi terbatas; dan ada dalam bentuk dukungan instansi teknis dan perguruan tinggi dalam pengembangan teknologi terbatas tidak ada. Suatu kombinasi antara lemahnya penguasaan teknologi, rendahnya kualitas SDM (pekerja dan manager), terbatasnya informasi khususnya mengenai perubahan pasar, teknologi, dan peraturan-peraturan pemerintah maupun mengenai perdagangan global, dan terbatasnya modal membuat pengusahapengusaha kecil sulit untuk mempertahankan, apalagi meningkatkan kualitas dan jumlah produknya. Selanjutnya, ini berarti sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasarnya di pasar ekspor maupun domestik. Juga, dengan dana serta akses ke informasi mengenai perubahan teknologi dan pasar yang terbatas dan kualitas SDM yang rendah, pengusaha-
Universitas Sumatera Utara
pengusaha kecil tidak dapat melakukan inovasi terhadap produk dan proses produksinya, dan berarti tidak mampu mempertahankan atau meningkatkan daya saing global produk-produk mereka. 2.3 Kebijakan Skim Kredit Sejak Pelita III hingga saat ini telah banyak program-program pengembangan dan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah untuk mendukung industri skala kecil di tanah air. Diantaranya yang penting adalah pengembangan sentra-sentra di beberapa provinsi, program kemitraan dengan sistem Bapak Angkat, yang disertai dengan pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia dan teknologi, dan subkontrakting serta berbagai macam skema kredit (Tambunan, 1999). Di Indonesia, pemberian kredit murah kepada pengusaha kecil jugamerupakan kebijakan pengembangan usaha kecil (UK) dari pemerintah yang paling populer. Sejak awal tahun 1970-an hingga awal tahun 1998 telah sekian banyak skema kredit yang khusus didesain untuk usaha kecil, diantaranya yang sangat populer hingga akhir tahun 1980an adalah Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), yang disubsidi oleh pemerintah. Kemudian, dua credit schemes ini diganti dengan Kredit Usaha Kecil (KUK) yang merupakan kredit tidak bersubsidi. Dalam KUK, bank-bank nasional diminta untuk mengalokasikan 20 persen dari jumlah kredit yang mereka keluarkan untuk usaha kecil. Hingga Desember 1991, partisipasi dalam KUK masih sangat rendah, hanya sekitar 1 persen (Sandee dkk, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Sebelumnya, KIK dan KMKP boleh dikatakan cukup berhasil dalam bentuk efeknya terhadap peningkatan kesempatan kerja, investasi dan nilai tambah usaha kecil. Hanya saja, kedua skema kredit tersebut akhirnya menjadi high cost credit schemes, dengan tingkat pengembalian yang rendah. Fasilitas kredit lainnya untuk usaha kecil adalah Kredit Umum Pedesaan (KUPEDES), yang berupa kredit komersil/tidak disubsidi, dan ditujukan pada kegiatankegiatan ekonomi yang skalanya lebih kecil daripada KUK. Walaupun, tingkat suku bunganya lebih tinggi daripada suku bunga untuk pinjaman KIK/KMKP, KUPEDES ternyata lebih berhasil daripada KIK/KMKP karena sistem pemberian insentif dan sangsi terhadap pelaksana program kredit tersebut di bank-bank terkait lebih baik. Hingga awal tahun 1999, terdaftar ada 17 skema kredit berbunga rendah yang dicanangkan pemerintah, 16 diantaranya untuk usaha kecil dan menengah (UKM) (Tambunan, 1999). Saat ini, berbagai skim kredit/pembiayaan dikeluarkan pemerintah untuk mengembangkan sektor-sektor usaha ke arah yang lebih baik sehingga mampu bersaing pada era pasar bebas ASEAN 2015 nanti. Skim kredit yang khusus untuk UMKM adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kredit Usaha Rakyat adalah kredit/pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi yang tidak sedang menerima kredit/pembiayaan dari perbankan dan/atau yang tidak sedang menerima
kredit
program
dari
pemerintah,
pada
saat
permohonan
kredit/pembiayaan diajukan, yang dibuktikan dengan hasil Sistem Informasi Debitur dikecualikan untuk jenis Kredit Kepemilikan Rumah(KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), Kartu Kredit dan Kredit Konsumtif lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Kredit Usaha Rakyat (KUR) hanya diperuntukkan bagi usaha-usaha yang produktif dengan sumber dana 100% yang berasal dari bank pelaksana. Bankbank pelaksana diantaranya yaitu BRI, Bank Mandiri, BNI, BTN, Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri,13 BPD (Bank DKI, Bank Nagari, Bank Jabar Banten, Bank Jateng, BPD DIY, Bank Jatim, Bank NTB, Bank Kalbar, BPD Kalsel, Bank Kalteng, Bank Sulut, Bank Maluku dan Bank Papua). 2.3.1 Model Pelayanan Kredit bagi UMKM Menurut Dierdja (2008), di Indonesia saat ini berkembang empat (4) model pelayanan kredit bagi UMKM, atau umum dikenal dengan sebutan keuangan mikro. Empat model tersebut yaitu: 1. Pelayanan keuangan yang bertumpu pada mobilisasi dan penggalian sumber dana dari tabungan anggota kelompok atau koperasi sebagai pijakan untuk mengembangkan jasa pelayanan keuangan mikro. 2. Keuangan mikro tumbuh berdasarkan keyakinan bahwa tujuan masyarakat bergabung dengan suatu kelompok dimotivasi untuk memperoleh kredit. 3. Perbankan yang secara khusus didesain untuk menjalankan pelayanan keuangan mikro, seperti BRI dan LKM lainnya, serta bank-bank umum yang mengembangkan unit-unit layanan keuangan mikro. 4. Pelayanan keuangan yang memadukan pendekatan perbankan dan kelompok swadaya masyarakat. Lembaga keuangan mikro merupakan elemen yang penting dan efektif bagi pengurangan kemiskinan. Akses yang telah diperbaiki dan provisi tabungan, kredit, dan fasilitas asuransi yang efisien dapat membantu masyarakat miskin dalam memperlancar konsumsi, mengatur risiko lebih baik,
Universitas Sumatera Utara
membangun asetnya secara gradual dan membangun perusahaan dengan skala ekonomis sehingga dapat meningkatkan kapasitas mereka dalam meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki kualitas hidup. Tanpa akses ke lembaga keuangan mikro, kebanyakan masyarakat miskin bergantung pada sumber keuangan
informal
atau
bahkan
biaya
sendiri,
sehingga
membatasi
kemampuannya untuk berperan aktif dan memperoleh manfaat dari lembaga keuangan mikro. Lembaga keuangan mikro dapat menyediakan cara yang efektif
untuk
membantu
dan
memperdayakan
wanita
miskin,
yang
mengakibatkan proporsi masyarakat miskin menjadi signifikan. Lembaga keuangan mikro dapat berkontribusi terhadap perkembangan semua sistem keuangan melalui intergrasi pasar keuangan. 2.4 Penelitian Sebelumnya Silalahi dan Ramdhansyah (2013) melakukan penelitian tentang Pengembangan Model Pendanaan UMKM berdasarkan Persepsi UMKM. Hasil dari penelitian ini menunjukkan UMKM menghadapi banyak masalah dalam hal pendanaan bisnis mereka, terutama dari sektor perbankan. Peran Bank sebagai sumber pendanaan masih relatif kecil. Sehingga sumber pembiayaan yang digunakan untuk meningkatkan modal mereka didominasi oleh sektor keuangan non formal. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Syarif dan Budhiningsih (2009). Mereka melakukan penelitian tentang Kajian Kontribusi Kredit Bantuan Perkuatan dan Mendukung Permodalan UMKM. Berdasarkan hasil penelitian ini, masalah yang dihadapi oleh UMKM adalah masalah permodalan. Program kredit yang diberikan oleh Pemerintah tidak terealisasi dengan baik. Untuk itu, mereka menyarankan perlu dilakukan
Universitas Sumatera Utara
perubahan orientasi kredit program yang semula untuk kepentingan pembangunan
sektoral
diarahkan
kepada
pemberdayaan
UMKM,
pengembangan kelembagaan dan kelompok. Jurnal penelitian yang ditulis oleh Mohd Anwar (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Impact of Credit Disbursement on Performance of MSMEs in India: An Empirical Analysis”. Penelitian ini bertujuan Untuk menguji pengaruh penyaluran kredit terhadap kinerja Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), ekspor dan output telah seharusnya sebagai indikator terbaik dari kinerja UMKM dalam penelitian ini. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa penyaluran kredit dan output dari UMKM memiliki efek positif yang signifikan terhadap ekspor UMKM sedangkan, pekerja memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap ekspor di semua negara. Abhijeet Biswas (2014) dalam penelitiannya yang berjudul“Role of Financing Policies and Financial Institutions for Micro, Small and Medium Entrepreneurs”. Penelitian ini mengungkapkan bahwa ada prospek yang luas bagi negara-negara berkembang untuk memanfaatkan peluang dengan mengembangkan sektor UMKM yang bekerjasama dengan pemerintah sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian. 2.5
Kerangka Konseptual Saat ini, permasalahan terbesar yang dihadapi UMKM adalah dana yang
terbatas. Skim-skim pembiayaan pun menjadi sia-sia karena manajemen yang kurang baik. Aspek permodalan merupakan kunci sukses dalam pembiayaan UMKM. Tidak hanya permodalan, UMKM juga harus memiliki manajemen yang baik sehingga mampu bersaing di era perdagangan bebas nanti. Dari
Universitas Sumatera Utara
mulai UMKM terkecil yaitu sektor industri rumah tangga harus mendapat perhatian sebab pengembangan sektor UMKM ini sangat memberikan kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional pada umumnya dan kesejahteraan masyarakat pada khususnya. Konsep pemikiran yang dijadikan dasar dalam penelitian ini dijelaskan pada gambar berikut:
Sektor Industri Rumah Tangga
Aspek Manajerial
Pola Pembiayaan
Modal
Pola Pemasaran
Asset Omset Laba
Pengembangan Usaha
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Universitas Sumatera Utara