BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi habitat dan daerah tumbuh, sistematika tumbuhan, sinonim, nama daerah, morfologi tumbuhan, kandungan senyawa kimia, serta penggunaan tumbuhan. 2.1.1 Daerah tumbuh Bawang sabrang termasuk tumbuhan yang berasal dari Amerika tropis, di Jawa dipelihara sebagai tanaman hias dan di beberapa tempat tumbuh liar antara 600 hingga 1500 Meter di atas permukaan laut, kadang-kadang didapati dalam jumlah besar di pinggir-pinggir jalan yang berumput dan di dalam kebun-kebun teh, kina dan karet (Ogata, 1995). 2.1.2. Sistematika tumbuhan Sistematika dari tumbuhan bawang sabrang menurut LIPI (2013) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Liliales
Famili
: Iridaceae
Genus
: Eleutherine
Species
: Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Sinonim Nama lain Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb. adalah Eleutherine americana (Aubl) Merr. (LIPI, 2013). 2.1.4 Nama daerah Nama Indonesia Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb adalah bawang kapal (Sumatera); nama daerah Jawa adalah babawangan beureum, bawang sabrang, bawang siyem, brambang sabrang, luluwan sapi, teki sabrang (Ditjen POM, 1989; Ogata, 1995). 2.1.5 Morfologi tumbuhan Merupakan tumbuhan terna, tinggi tanaman mencapai 25-50 cm. Bunganya putih terbuka jam 5 sore dan tertutup pada jam 7 petang, umbi lapisnya berwarna merah (Wardani, 2009; Ogata, 1995). Daun tunggal, letak daun berhadapan, warna daun hijau muda, bentuk daun sangat panjang dan meruncing, tepi daun halus tanpa gerigi, pangkal daun berbentuk runcing dan ujung daun meruncing, permukaan daun atas dan bawah halus dan tulang daun sejajar. Batangnya tumbuh tegak atau merunduk. Umbinya panjang bulat telur, warna merah, tidak berbau sama sekali. Daunnya ada dua macam yaitu yang berbentuk pita dengan ujungnya yang runcing, sedangkan daun-daun lainnya berbentuk menyerupai batang, berwarna hijau, beriga, lebarnya beberapa jari. Bunga warnanya putih, terdapat pada ketiak-ketiak daun atas, dalam rumpun bunga yang terdiri dari 4 sampai 10 bunga (Wardani, 2009). Gambar umbi lapis bawang sabrang dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Bawang sabrang (Galingging, 2009) 2.1.6 Kandungan kimia Kandungan kimia umbi lapis bawang sabrang adalah alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid, glikosida, tanin, fenolik, antrakuinon (Galingging, 2009; Banjarnahor 2010; Singarimbun, 2011). Golongan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak etanol umbi lapis bawang sabrang adalah alkaloid, flavonoid,
glikosida,
saponin,
antrakuinon
glikosida,
tanin
dan
triterpenoid/steroid. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada fraksi n-heksana adalah triterpen dan steroid. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada fraksi etilasetat adalah senyawa fenol, tanin dan flavonoid (Banjarnahon, 2010; Mierza, 2011; Subramaniam, et al., 2012). 2.1.7 Penggunaan tumbuhan Umbi tanaman dapat mengatasi sembelit, disuria, radang usus, disentri dan luka, daunnya digunakan untuk demam, nifas dan antiemetik (Wardani, 2009; Ogata, 1995; Heyne, 1987). Selain itu umbi dapat digunakan sebagai diuretik, purgatif, mengurangi rasa nyeri (Ditjen POM, 1989); kanker, kista, prostat, diabetes, asam urat, hipertensi, gangguan pencernaan, kolesterol, gondok, bronkhitis, stamina menurun, gangguan seksual, sakit pinggang, pegal-pegal,
Universitas Sumatera Utara
peluruh seni, pencahar, peluruh muntah, obat luka, disentri dan proktitis (radang porus usus). Air rebusan umbi dapat digunakan sebagai obat penyakit kuning, disentri dan radang usus (Wardani, 2009; Heyne, 1987). Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap umbi lapis bawang sabrang diantaranya sebagai antimelanogenesis 50 µg/ml dan antijamur (Arung, 2009; Alves, et al., 2003), antibiofilm (Limsuwan, et al., 2008), pengujian ekstrak etanol, fraksi dan isolat murni terhadap bakteri Staphylococcus yang diisolasi dari makanan (Ifesan, et al., 2009), antioksidan (Alia, 2011; Sofwan, 2011), antibakteri (Mierza, 2011; Sirirak dan Voravuthikunchai, 2011; Subramaniam, et al., 2012), antikanker kolon (Li, et al., 2008; Yusni, 2008) dan anti kanker serviks uteri Hela (Budityastomo, 2010).
2.2 Ekstraksi Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut yang sesuai (Ditjen POM, 1986) atau merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Agoes, 2007). Struktur kimia zat aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawasenyawa tersebut terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya zat aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat (Ditjen POM, 1986).
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak
faktor, yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak mempengaruhi zat berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan. Untuk proses penyarian Farmakope
Universitas Sumatera Utara
Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada skala perbandingan, panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Untuk meningkatkan penyarian biasanya digunakan campuran antara etanol dan air (Ditjen POM, 1986). 2.2.1 Metode ekstraksi Ada beberapa metode ekstraksi (Ditjen POM, 1986) yaitu: a. Cara dingin i. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, sehingga larutan yang pekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi secara berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat lunak seperti daun dan bunga tetapi banyak juga yang menggunakan metode ini untuk menyari simplisia yang keras seperti akar dan korteks karena cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh. Pada penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk menghomogenkan konsentrasi larutan di luar serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap
Universitas Sumatera Utara
terjaga adanya derajat perbedaan kosentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Maserasi dapat dilakukan dengan cara menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979): Sebanyak 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan kedalam sebuah bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas dan dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari. Dienaptuangkan dan disaring. ii. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dari sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh adanya kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan gaya kapiler yang cenderung untuk menahan. Untuk menentukan akhir perkolasi, dilakukan pemeriksaan zat aktif secara kulalitatif pada perkolat terakhir. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak.
Universitas Sumatera Utara
b. Cara panas i. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar. ii. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu umumnya pada temperatur 40 - 50ºC. iii. Infundasi Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 90ºC selama waktu tertentu 15 - 20 menit). Dekok adalah infus pada waktu yang lebih ≥lama (
30 menit) dan
temperatur 90ºC. iv. Sokletasi Sokletasi adalah penyarian simplisia dengan menggunakan alat sokletasi, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung, pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur.
2.3 Kanker Menurut Franks dan Teich (1998), sel kanker itu timbul dari sel normal tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi menjadi ganas, karena adanya mutasi spontan atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus terjadinya kanker). Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau suppressor gen (anti onkogen). Paparan karsinogen antara lain berbagai jenis virus, bahan kimia, radiasi dan ultraviolet. Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki sifat biologis yang sama yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA. Kesamaan sifat ini menimbulkan dugaan bahwa DNA sel merupakan sasaran utama semua bahan karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan perubahan DNA sel (Kresno, 2003). Apabila perbaikan DNA karena adanya perubahan DNA tersebut gagal, maka terjadi mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang mengendalikan pertumbuhan, serta penonaktifan gen supresor kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan timbulnya neoplasma ganas atau lebih dikenal dengan kanker (Kumar, et al., 2003). Adapun ciri-ciri sel kanker secara khusus yang membedakan dengan sel normal (Kumar, et al., 2005), antara lain sebagai berikut: a. sel kanker mampu mencukupi kebutuhan sinyal pertumbuhannya sendiri b. sel kanker tidak sensitif terhadap sinyal antiproliferatif c. sel kanker mampu menghindar dari mekanisme apoptosis
Universitas Sumatera Utara
d. kemampuan angiogenesis yang dimiliki oleh sel kanker e. sel kanker mampu menginvasi jaringan di sekitarnya dan membentuk anak sebar (metastasis) f. sel kanker memiliki potensi yang tak terbatas untuk mengadakan replikasi. 2.3.1 Siklus sel Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap 2 (G2), dan M (Mitosis) (Rang, et al., 2003). Lamanya siklus tersebut berbedabeda pada berbagai macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar 20 - 24 jam. Fase G1 membutuhkan waktu 8 - 10 jam, fase S 6 - 8 jam, fase G2 5 jam dan fase M 1 jam (Freshney, 2000). Masuk dan berkembangnya sel melalui siklus sel dikendalikan melalui perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut siklin. Pada tahapan tertentu siklus sel, kadar berbagai siklin meningkat setelah didegradasi dengan cepat saat sel bergerak melalui siklus tersebut. Siklin menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan (sehingga akan mengaktivasi) protein yang disintesis secara konstitutif yang disebut kinase bergantung siklin (cyclin-dependent kinase). Aktivasi CDK memerlukan ekspresi siklin. Kombinasi yang berbeda dari siklin dan CDK berkaitan dengan setiap transisi penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini menggunakan efeknya dengan memfosforilasi sekelompok substrat protein tertentu (Kumar, et al., 2005). a. Fase G1 Pada fase G1 terutama disintesis asam ribonukleat, sel akan tumbuh, struktur sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi (Mutschler, 1999). Selama fase ini nukleus membesar dan volume sitoplasma meningkat dengan cepat sehingga
Universitas Sumatera Utara
disebut fase sintesis, protein yang dapat memacu pembelahan sel, tubulin dan protein yang akan membentuk spindel (Suryo, 2007). b. Fase S Pada fase-S ini dibentuk untai DNA baru melalui proses replikasi. Replikasi DNA terjadi dengan bantuan enzim DNA-polimerase. Dengan dibentuknya DNA baru maka rantai tunggal DNA menjadi rantai ganda (Sukardja, 2000). Pada fase S dengan pembentukan asam deoksiribonukleat baru, jumlah kromosom akan berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan dipersiapkan (Mutschler, 1999). Suryo (2007), menyebutkan bahwa pada akhir fase ini terbentuk 2 kromatid. c. Fase G2 Pada fase ini dibentuk RNA, protein, enzim, dan sebagainya untuk persiapan fase berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase ini disebut juga fase pramitosis dengan ciri sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis DNA dan protein (Nafrialdi dan Gans, 1995). Selain itu, pada fase G2 kromosom sudah ada dalam bentuk kromatida (Mutschler, 1999). Apabila terjadi kerusakan DNA dan DNA tidak bereplikasi dengan sempurna, maka proliferasi sel manuju fase M diblok dan dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini dilakukan oleh protein kinase yang memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25 sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini menyebabkan fase M diblok karena tidak terbentuknya cdk1/siklin B sebagai regulator menuju fase M. Penghentian pada fase G2 dilakukan untuk perbaikan DNA, tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan maka terjadi apoptosis (Freshney, 2000).
Universitas Sumatera Utara
d. Fase M Pada fase ini sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba dan terjadi pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan, 1995). Pembelahan menjadi dua sel ini terdiri dari empat tahap, yaitu profase, metaphase, anaphase, dan telofase. Pada awal fase mitosis ditandai dengan terbentuknya benang spindel dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom (Pusztai, et al., 1996). Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator positif dan negatif. Kelompok siklin khususnya siklin D, E, A dan B merupakan protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. siklin bersama dengan kelompok cyclin dependent kinase (CDK), khususnya CDK 4, 6 dan 2, bertindak sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia ekspresi kinase (CDK4, CDK2 dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan ekspresi siklin (D, E, A dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus sel (G1-S-G2-M) (Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif siklus sel, yakni CDK inhibitor (meliputi p21, p27, p57) dan keluarga INK4 (meliputi p16, p18, p19). Selain itu, tumor suppressor protein yaitu p53 dan pRb juga bertindak sebagai protein regulator negatif (Foster, et al., 2001). Checkpoint pada fase G1 akan dapat dilalui jika (1) ukuran sel memadai; (2) ketersediaan nutrien mencukupi; dan (3) adanya faktor pertumbuhan (sinyal dari sel yang lain). Checkpoint pada fase G2 dapat dilewati jika ukuran sel memadai dan replikasi kromosom terselesaikan dengan sempurna, sedangkan checkpoint pada metaphase (M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel pada gelendong (spindle) mitotik (Ruddon, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus sel ke fase mitosis, sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang spindle tidak terbentuk atau jika kromosom tidak dalam posisi yang benar dan tidak menempel dengan sempurna pada spindle. Checkpoint tersebut bekerja dengan memonitor apakah kinetokor dan mikrotubul terhubung secara benar. Jika tidak, kohesi kromatid akan tetap berlangsung dan mikrotubul gagal untuk memendek sehingga kromatid tidak bergerak menjauh ke kutub yang berlawanan (Ruddon, 2007). Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik. Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker. Oleh karena itu, proses regulasi siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007). 2.3.2 Apoptosis dan nekrosis Kematian sel merupakan kehilangan irreversibel dari suatu membran plasma. Secara historis, ada tiga jenis kematian sel pada sel mamalia dengan kriteria morfologi, Type I, dikenal sebagai apoptosis. Apoptosis adalah perubahan karakteristik dalam morfologi, termasuk kondensasi kromatin (pyknosis) dan fragmentasi (karyorrhexis), perubahan minor dalam organel sitoplasma dan penyusutan sel secara keseluruhan. Pecahnya membran plasma dan pembentukan badan-badan apoptosis yang mengandung inti sel atau sitoplasma. Semua perubahan ini terjadi sebelum membran plasma lisis (Golstein, 2006). Tipe II ditandai dengan akumulasi besar dua membran vakuola dalam sitoplasma. Kematian sel tipe III dikenal sebagai nekrosis, sering didefinisikan
Universitas Sumatera Utara
secara negatif seperti kematian yang tidak memiliki ciri-ciri proses tipe I dan tipe II. Nekrosis didasarkan pada kriteria morfologi kehancuran membran plasma secara awal dan dilatasi organel sitoplasma, khususnya mitokondria (Golstein, 2006). a. Apoptosis Apoptosis adalah program kematian sel sebagai respon fisiologis sel untuk mengeliminasi sel-sel yang tidak dibutuhkan tubuh. Apoptosis berperan secara esensial dalam embryogenesis dengan mengeliminasi sel-sel yang jumlahnya berlebihan. Apoptosis juga berperan dalam memantau perubahan pada sel-sel kanker. Apoptosis menjadi garis pertahanan pertama untuk melawan mutasi dengan membersihkan sel-sel DNA abnormal yang dapat menjadi ganas. Dengan demikian apoptosis merupakan bagian dari sistem imun dan juga untuk mengontrol populasi sel normal dalam tubuh (Rang, et al., 2003) Proses apoptosis diawali dengan terkondensasinya kromatin di dalam nucleus menjadi suatu massa yang padat dan DNA terfragmentasi kemudian sitoplasmanya menyusut. Selanjutnya terjadi pelekukan pada membran sel. Organel sel dan DNA yang telah terfragmentasi menyebar menuju ke lekukanlekukan membrane sel membentuk badan apoptosis yang akan difagosit oleh makrofag (Doyle dan Griffiths, 2000; King, 2000). Proses apoptosis dikendalikan oleh berbagai tingkat sinyal sel, yang dapat berasal dari pencetus ekstrinsik maupun intrinsik. Yang termasuk pada sinyal ekstrinsik antara lain hormon, faktor pertumbuhan, dan sitokin. Semua sinyal tersebut harus dapat menembus membran plasma ataupun transduksi untuk dapat menimbulkan respon (Lumongga, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Sinyal intrinsik apoptosis merupakan suatu respon yang diinisiasi oleh sel sebagai respon terhadap stress dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel. Pengikatan reseptor nuclear oleh glukokortikoid, panas, radiasi, kekurangan nutrisi, infeksi virus dan hipoksia merupakan kedaan yang dapat menimbulkan pelepasan sinyal apoptosis intrinsik melalui kerusakan sel (Lumongga, 2008). Sebelum terjadi proses kematian sel melalui enzim, sinyal apoptosis harus dihubungkan dengan jalur kematian sel melalui regulasi protein. Pada regulasi ini terdapat dua metode yang telah dikenali untuk mekanisme apoptosis, yaitu: melalui mitokondria dan penghantaran sinyal secara langsung melalui adapter protein (Lumongga, 2008). Jalur ekstrinsik terjadi oleh pengikatan reseptor kematian pada permukaan sel pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan bagian dari reseptor tumor nekrosis faktor yang terdiri dari cytoplasmic domain, berfungsi untuk mengirim sinyal apoptotis. Reseptor kematian yang diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1 yang dihubungkan dengan protein Fas (CD95). Pada saat Fas berikatan dengan ligandnya, membrane menuju ligand (FasL). Tiga atau lebih molekul Fas bergabung dan cytoplasmic death domain membentuk binding site untuk adapter protein FADD (Fas-associated death domain). FADD ini melekat pada reseptor kematian dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif dari caspase 8. Molekul procaspase ini kemudian dibawa ke atas dan kemudian pecah menjadi caspase 8 aktif. Enzim ini kemudian mencetuskan cascade aktifasi caspase dan kemudian mengaktifkan procaspase lainnya dan mengaktifkan enzim untuk mediator pada fase eksekusi. Jalur ini dapat dihambat oleh protein FLIP, tidak menyebabkan pecahnya enzim procaspase 8 dan tidak menjadi aktif (Lumongga, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Jalur intrinsik terjadi oleh karena adanya permeabilitas mitokondria dan pelepasan molekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma, tanpa memerlukan reseptor kematian. Faktor pertumbuhan dan sinyal lainnya dapat merangsang pembentukan protein antiapoptosis Bcl2, yang berfungsi sebagai regulasi apoptosis. Protein apoptosis yang utama adalah: Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada keadaan normal terdapat pada membran mitokondria dan sitoplasma. Pada saat sel mengalami stress, Bcl-2 dan Bcl-x menghilang dari membran mitokondria dan digantikan oleh protein pro-apoptosi seperti Bak, Bax. Bim. Sewaktu kadar Bcl-2, Bcl-x menurun, permeabilitas membran mitokondria meningkat, beberapa protein dapat mengaktifkan cascade caspase. Salah satu protein tersebut adalah cytochrom-c yang diperlukan untuk proses respirasi pada mitokondria. Di dalam sitosol, cytochrom c berikatan dengan protein Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan mengaktifasi caspase-9. Protein mitokondria lainnya, seperti Apoptosis Including Factor (AIF) memasuki sitoplasma dengan berbagai inhibitor apoptosis yang pada keadaan normal untuk menghambat aktivasi caspase (Lumongga, 2008). b. Nekrosis Nekrosis didefinisikan sebagai kematian sel yang tidak memiliki ciri-ciri seperti apoptosis dan autophagy. Nekrosis sering dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat negatif, namun nekrosis dapat mencakup tanda-tanda proses yang terkontrol seperti disfungsi mitokondria, peningkatkan generasi spesies oksigen reaktif, pengurangan ATP, proteolisis oleh calpains dan cathepsins dan kerusakan membran plasma awal. Selain itu, penghambatan spesifik protein yang terlibat dalam mengatur apoptosis atau autophagy dapat mengubah jenis kematian sel menjadi nekrosis (Golstein, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Kanker payudara Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epitelial payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar, sehingga kanker payudara tergolong pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh wanita, di samping kanker serviks. Penyebab kanker payudara sangat beragam, antara lain (Torosian, 2002): a. kerusakan pada DNA yang menyebabkan mutasi genetik. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh radiasi yang berlebihan b. kegagalan pertahanan imun dalam pencegahan proses malignan pada fase awal c. faktor pertumbuhan yang abnormal d. malfungsi DNA repairs seperti: BRCA1, BRCA2 dan p53. Kanker payudara terjadi ketika sel-sel pada payudara tumbuh tidak terkendali dan dapat menginvasi jaringan tubuh yang lain baik yang dekat dengan organ tersebut maupun bermetastasis ke jaringan tubuh yang letaknya berjauhan yang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Semua tipe jaringan pada payudara dapat berkembang menjadi kanker, namun pada umumnya kanker muncul baik dari saluran (ducts) maupun kelenjar (glands). Perkembangannya memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai tumor tersebut cukup besar untuk dirasakan pada payudara. Deteksi dapat dilakukan dengan mammograms yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor sejak dini (Dolinsky dan Kayser, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Payudara normal
Kanker payudara
Gambar 2.2 Kanker Payudara (Dolinsky dan Kayser, 2013). Faktor risiko kanker payudara dapat dibedakan menjadi faktor yang dapat diubah (reversible) dan yang tidak dapat diubah (irreversible). Faktor-faktor yang tidak dapat diubah termasuk jenis kelamin, bertambahnya umur, ada tidaknya riwayat keluarga menderita kanker, pernah tidaknya menderita kanker payudara, pernah-tidaknya mendapat terapi radiasi pada bagian dada, suku bangsa Kaukasian, orang yang mengalami menstruasi pertama pada usia sangat muda (sebelum 12 tahun), yang mengalami menopause terlambat (setelah 50 tahun), yang tidak pernah melahirkan atau melahirkan di usia lebih dari 30 tahun dan yang mengalami mutasi genetik. Dari berbagai macam faktor tersebut, 3% - 10% penyebab kanker payudara diduga berkaitan dengan perubahan baik gen BRCA1 maupun gen BRCA2 (Dolinsky dan Kayser, 2013). Beberapa faktor yang menaikkan risiko menderita kanker payudara yang dapat diubah, yakni mendapatkan terapi pengganti hormon (penggunaan estrogen dan progesteron dalam jangka waktu lama untuk mengatasi gejala menopause), menggunakan pil antikontrasepsi (pil KB), tidak menyusui, mengonsumsi minuman beralkohol 2 - 5 gelas per hari, menjadi gemuk terutama setelah menopause dan tidak berolahraga (Dolinsky dan Kayser, 2013). Perlu diingat bahwa faktor-faktor risiko tersebut hanyalah berdasarkan pada kemungkinan.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang tetap dapat terkena kanker payudara walaupun ia tidak mempunyai satu pun faktor risiko tersebut. Menghindari faktor risiko tersebut dan deteksi awal adalah cara terbaik untuk mengurangi kematian berkaitan dengan kanker ini. Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs, 2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalan metastasis, juga berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development). Proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi berlebih beberapa protein, misalnya Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles, 2001). Aktivasi reseptor estrogen melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan memacu transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan dalam siklus sel seperti siklin D1, CDK4 (cyclindependent kinase 4), siklin E dan CDK2. 2.3.4 Sel T47D Sel T47D (Human ductal breast epithelial tumor cell line) adalah sel yang mengekspresikan tumor yang telah termutasi pada protein p53. Sel ini dapat kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan esterogen pada jangka waktu lama selama percobaan in vitro. Sel ini berasal dari ductal carcinoma dan mengeksprasikan caspase 3 (Mooney, et al., 2002). Oleh karena itu sel ini digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan tumor payudara p53 mutan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Doksorubisin efek sampingnya dan resitensinya Doksorubisin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara luas untuk mengobati kanker payudara (Thurston dan Iliskovic, 1998). Senyawa ini menunjukkan kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960-an (Singal, et al., 1998; Rock, et al., 2003). Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II membentuk kompleks pemotong DNA (Rock, et al., 2003). Aplikasi doksorubisin yang telah digunakan secara klinis untuk berbagai jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi, et al., 2004). Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual, imunosupresi dan aritmia yang sifatnya revesibel serta dapat dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung (Tyagi, et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang
Universitas Sumatera Utara
memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak (Wattanapitayakul, et al., 2005). 2.3.6 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT Uji sitotoksisitas dilakukan secara in vitro, yaitu untuk menentukan potensi sitotoksik suatu senyawa seperti obat antikanker. Toksisitas merupakan kejadian kompleks secara in vivo yang menimbulkan kerusakan sel akibat penggunaan obat antikanker yang bersifat sitotoksik. Respon sel terhadap agenagen sitotoksik dipengaruhi oleh kerapatan sel (Kupcsik dan Stoddart, 2011). Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik dan Stoddart, 2011). Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup (Kupcsik dan Stoddart, 2011). Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanool atau 10% SDS dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif
Universitas Sumatera Utara
melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
2.3.7 Indeks selektivitas (IS) Untuk memperoleh nilai Indeks selektivitas digunakan sel yang berasal dari ginjal monyet hijau afrika (Vero) menggunakan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT). Indeks selektivitas (IS) diperoleh dari rasio IC50 sel Vero sel dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai IS lebih tinggi dari 3 menunjukkan bahwa obat atau ekstrak memiliki selektivitas (keamanan) yang tinggi (Prayong, 2008). 2.3.8 Indeks kombinasi (IK) Terapi pengobatan kanker pada umumnya menggunakan terapi kombinasi (ko-kemoterapi) dengan agen-agen yang memiliki efek sinergis terhadap sel kanker, bersifat spesifik dan memiliki efek toksik seminimal mungkin. Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan agen kemoterapi (Sharma, et al., 2004; Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat. Isobologram dan indeks kombinasi (IK) merupakan metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 (Zhao, et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif (IC50) dari masing-masing obat ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif. Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif, atau antagonis diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah (secara berurutan) di bawah, pada, atau di atas garis aditif (Zhao, et al., 2004). Selain dengan isobologram, interaksi antara dua obat dapat dianalisis dengan indeks kombinasi (IK). Analisis IK menghasilkan suatu nilai parameter kuantitatif yang menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut. I= (D)1/(Dx)1 + (D)2/(Dx)2 I adalah IK. Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa tunggal yang dibutuhkan untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC50 terhadap pertumbuhan sel kanker payudara. (D)1 dan (D)2 adalah besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk memberikan efek yang sama. Nilai IK kurang, sama, atau lebih dari 1 mengindikasikan efek (secara berurutan) sinergis, aditif, atau antagonis (Zhao, et al., 2004; Reynold dan Maurer, 2005).
Universitas Sumatera Utara