BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Komunikasi sebagai Realitas Tanda dan Makna Kata komunikasi atau Communication dalam bahasa Inggris berasal dari
kata Latin Communis yang berarti “sama”, Communico, Communication, atau Communicare yang berarti “membuat sama” (to make common).1 Dengan kata lain, berarti mengacu pada sesuatu yang dianut bersamaan. Dalam beberapa definisi yang semakin sempit, komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik.2 Ini berarti komunikasi tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi juga bisa dilakukan melalui media, seperti halnya yang dilakukan oleh para praktisi iklan melalui media massa. Definisi Pace dan Fules yang dikutip dari Deddy Mulyana, terdapat dua bentuk tindakan yang dilakukan orang yang terlibat dalam komunikasi, yaitu penciptaan pesan dan penafsiran pesan.3 Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti yang dikatakan Susanne K. Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Manusia memang satu-satunya makhluk yang menggunakan lambang dan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.4 Dalam lambang sendiri, pada dasarnya tidak mempunyai makna, tetapi kitalah yang memberi makna pada lambang. Jadi sebenarnya makna yang ada Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar), Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013, Hal.46 2 Ibid., Hal 47 3 Ibid., Hal 65 4 Deddy Mulyana, op.cit., hal.92 1
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
terbentuk secara alamiah dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang ataupun komunikasi itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna terhadap kata-kata itu. Persoalan akan timbul jika para peserta komunikasi tidak memberi makna yang sama pada suatu kata dalam proses komunikasinya. Lain halnya dengan bahasa (simbol) yang bersifat kongkrit, ”makna” justru bersifat abstrak. Karena itu ”makna” nyaris tak terdefinisikan. Sebab, manafsirkan ”makna” pada dasarnya hanyalah berdasarkan bahasa yang bersifat kongkrit itu. Dalam proses komunikasi, bahasa dan makna merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya senantiasa ada. Persoalannya yang selalu muncul adalah, tidak jarang dalam komunikasi kita hanya mampu memahami bahasa (simbol) nya saja, sementara makna justru tak didapatkan. Atau, kalaupun didapatkan, itu adalah makna yang baru, bahkan berbeda antarpartisipan komunikasi. Disinilah komunikasi yang dibangun tidak jarang mengalami masalah, kebuntuan dan kesalah-pengertian (miscommunication) Sebagai contoh, yang memiliki ejaan komunikasi yang sama dalam kaidahnya, tetapi pelaksaannya tidak terealisasi secara benar karena karena perbedaannya makna yang tercipta dalam kepala masing-masing individu. Seorang anak kecil yang telah lama tinggal di Sumatra Utara, meminta Pamannya yang berkunjung dari Jakarta untuk segera mengeluarkan “kereta”, karena pemaknaan dalam pikiran anak kecil tersebut adalah “kereta” yang berarti kendaraan roda empat alias mobil. Tetapi yang terjadi adalah Pamannya hanya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
memandang dan sambil menyarankan untuk menaiki motor saja. Padahal realitanya kendaraan beroda empat yaitu mobil bukan kereta sungguhan. Dari contoh tersebut juga menambah kesimpulan peneliti bahwa jika sebuah makna yang sama apabila proses pengiriman pesan dari komunikator ke komunikan bisa berjalan baik, artinya terjadi proses penafsiran makna yang sama antara dibenak komunikan dalam menanggapi pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam dunia periklanan, adapun tujuan komunikasi mengacu pada apa yang ingin dicapai perusahaan atau organisasi dengan program promosi yang dilakukan.5 Selain tujuannya beriklan, terdapat unsur-unsur tanda dan makna yang berupa objek, konteks dalam lingkungan, orang atau makhluk hidup serta teks yang memperkuat makna dalam berkomunikasi menggunakan iklan. Hal ini juga terjadi dalam produksi budaya televisi yang juga merupakan simbol fungsional dari perkembangan kebudayaan. Dalam masyarakat, realitas televisi sebagaimana mereka memiliki realitas fisik/empiris, dan menyamakan tingkat validitas televisi identik dengan realitas empiris. Realitas adalah sebuah kata berasal dari kata Latin res yang berarti benda, yang kemudian menjadi kata realis
berarti
‘sesuatu
yang
membenda,
aktual
dan/atau
mempunyai
wujud’(Wignjosoebroto, 2001:16) 6 Dengan demikian dalam proses komunikasi sebagai realitas tanda dan makna, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya komunikasi yang berlangsung antar manusia, organisasi ataupun makhluk hidup lainnya, tak lepas dari setiap Morissan, Periklanan : Komunikasi Pemasaran Terpadu, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Hal.43 6 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013, Hal.186 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
pesan-pesan yang dapat berbentuk, keseharian yang hidup dan berkembang dimasyarakat seperti konsep dapat dikonstruksikan melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalitas. Termasuk dalam bentuk tanda untuk menciptakan realitas makna sesuai dengan tujuan dan motif seseorang penyampaian pesan tersebut.
2.2
Periklanan Istilah advertising (periklanan) muncul pada 1655 dan 1660, berasal dari
kata latin abad pertengahan advertere, “mengarahkan perhatian kepada”. Istilah ini menggambarkan tipe atau bentuk pengumuman public apapun yang dimaksudkan untuk mempromosikan penjualan komoditas atau jasa atau untuk menyebarkan sebuah pesan sosial atau politik. Periklanan harus dibedakan dari materi dan aktivitas lainnya yang ditujukan untuk mengubah dan mempengaruhi opini, sikap dan perilaku.7 Memahami antara materi dan aktivitasnya, “iklan” dan “periklanan” merupakan definisi hal yang mendasar secara terminologi. Dimana Iklan adalah pesan yang kebanyakan dikirim melalui media. Dan Periklnan merupakan soal penciptaan pesan dan mengirimkannya kepada orang dengan harapan orang itu akan bereaksi dengan cara tertentu.8 Jika dilihat perbedaan nya secara terminologi dapat disimpulkan bahwa, iklan merupakan pesan atau isi yang menjadi tujuan suatu organisasi melakukan komunikasi lewat promosi dimedia massa. Dan periklanan lebih kepada proses Danesi Marcel, Pesan, Tanda dan Makna, Yogyakarta, Jalasutra, 2012, Hal.293 Sandra M, Nancy M, dan William Wells, ADVERTISING, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, Hal.6 7 8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
yang dilakukan dalam menciptakan sebuah iklan, dengan tujuan pesan tersampaikan dan konsumen bereaksi sebagaimana dikehendaki pengiklan. Untuk menambah pemahaman mengenai periklanan, peneliti mencari rujukan lain. Menurut Rhenald Kasali dalam buku Periklanan dan Konsep Aplikasinya di Indonesia mengemukakan secara sederhana “iklan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan oleh suatu masyarakat lewat suatu media. Namun demikian, untuk membedakannya dengan pengumuman biasa, iklan lebih diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli.”9 Sedangkan Morissan mendefiniskan iklan dalam buku Periklanan Komunikasi Pemasaran Terpadu sebagai ”Salah satu bentuk promosi yang paling dikenal dan paling banyak dibahas orang karena daya jangkaunya luas. Iklan juga menjadi instrumen promosi yang sangat penting, khususnya bagi perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang ditujukan kepada masyarakat luas”.10 Dari semua definisi yang ada, peneliti menyimpulkan bahwa iklan merupakan bagian yang sangat penting dalam komunikasi pemasaran, karena mengacu pada sebuah pesan yang dikonstruksikan lewat promosi dan penyampaiannya menggunakan media massa.
Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan dan Konsep Aplikasinya di Indonesia, Jakarta 2007, hal 9 10 Morissan, Periklanan : Komunikasi Pemasaran Terpadu, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Hal.18 9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
2.3
Iklan Televisi (TVC) Iklan pada media massa memang lebih memiliki keunggulan dibanding
dari lini media massa lainnya. Terlebih, media televisi memang sangat sering dijadikkan list utama bagi pengiklan dalam menentukkan media buyying. Karena pada media televisi, iklan yang ditampilkan lebih efektif dalam penyampaian pesannya. Bahkan kebanyakan orang beranggapan, televisi adalah kebutuhan pokok bagi orang meluangkan waktunya sehingga iklan yang ditayangkan akan lebih menyita perhatian konsumen. Di Indonesia, kemunculan media televisi mulai dipikirkan setelah indonesia terpilih menjadi tuan rumah penyelenggara Asian Games IV yang dibuka pada tahun 24 Agustus 1969. Agar kehadiran media televisi dipesta olahraga itu dapat dipergunakan sebagai langkah awal dari pembangunan media televisi nasional.11 Televisi yang menyediakan iklan dalam jangka waktu yang lama tidak melulu menjadi pusat perhatian, sekarang ini, jika program yang sedang ditonton diselingi dengan iklan, mereka akan segera merubah channel televisi mereka untuk menghindari iklan dan kembali setelah program kesayangannya mulai. “Kekisruhan” iklan adalah problem yang harus dihadapi pengiklan dan audiensi. Kecuali iklan ini sangat intrusif atau memikat perhatian calon konsumennya.12 Dalam televisi, simbol adalah utama. Realitasnya, semua yang telah dikonsepkan sebagai sesuatu yang mempunyai wujud merupakan reproduksi dan
Pustaka LP3ES Indonesia, Jurnalisme Liputan 6: Antara Peristiwa dan Ruang Publik, LP3ES, Jakarta, Hal.27 12 Sandra M, Nancy M, dan William Wells, ADVERTISING, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, Hal. 327 11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
rekonstruksi dari realitas empiris kebudayaan lewat televisi oleh pengiklan. Demikian tetap saja, televisi merupakan salah satu media periklanan yang ideal, dengan kemampuannya untuk menggabungkan gambar-gambar visual, suara, gerakan dan warna memberikan kesempatan pengiklan membangun daya cipta (kreatif) yang paling hebat dan daya tarik imajinasi aktif dibandingkan media lainnya.
2.4
Daya Tarik Rasional dalam Iklan Daya tarik iklan mengacu pada pendekatan yang digunakan untuk menarik
perhatian konsumen atau mempengaruhi perasaan mereka terhadap suatu produk. Suatu daya tarik iklan dapat pula dipahami sebagai sesuatu yang menggerakkan orang, berbicara mengenai keinginan atau kebutuhan mereka dan membangkitkan ketertarikan mereka.13 Daya tarik yang dapat digunakan dalam suatu pesan iklan, diantaranya adalah daya tarik informatif atau daya tarik rasional. Daya tarik rasional menekankan pada pemenuhan kebutuhan konsumen terhadap aspek praktis, fungsional dan kegunaan suatu produk dan juga menekankan pada atribut yang dimiliki suatu produk dan alasan memiliki atau menggunakan merek produk tertentu. Menurut Sutisna dalam bukunya Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran, terdapat beberapa jenis tipe penampilan iklan untuk menimbulkan daya tarik rasional, yaitu :14 13
Morisson, Periklanan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Jakarta, Kencana, 2007, hal.265
Sutisna, Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
•
Faktual. Daya tarik tipe ini umumnya berhubungan dengan pengambilan keputusan high involvement, yaitu penerima pesan dimotivasi untuk dapat memproses informasi. Iklan yang menampilkan sisi manfaat produk dan keunggulan produk sekaligus menampilkan argumentasi yang masukakal,.
•
Potongan Kehidupan (slice of life). Pesan iklan yang menampilkan potongan kehidupan sangat banyak ditampilkan di televisi. Penonton disuguhkan pesan iklan dalam bentuk kegiatan sehari-hari yang sering dialami oleh banyak orang.
•
Demonstrasi. Teknik yang sama yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sering dihadapi konsumen yaitu demonstrasi. Pesan iklan yang
ditampilkan
menggambarkan
kemampuan
produk
secara
instrumental mampu menyelesaikan masalah. •
Iklan perbandingan (Comparative advertising). Iklan perbandingan adalah iklan yang berusaha membandingkan keunggulan produk yang ditawarkan dengan produk lain yang sejenis.
Adanya daya tarik rasional yang menggunakan diet karbohidrat sebagai konsep dari kecantikan fisik yang merupakan komodifikasi dari salah satu dari gaya hidup sehat diusung dalam iklan SOYJOY yang peneliti kaji kali ini.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
2.5
Ekonomi Politik Sistem ekonomi telah terkontaminasi oleh berbagai faktor non-ekonomi,
khususnya media massa, dan kemudian terperangkap didalam dinamika dan gejolaknya. Seolah-olah naik turunnya nilai kurs mata uang seirama dengan naik turunnya ekstasi media.15 Seperti yang sudah dikemukakan oleh Yasraf Amir Piliang, ekonomi yang sudah terkontaminasi dengan media massa lebih mengerucut pada dunia periklanan yaitu kebebasan dan pembebasan dalam konsep diberbagai diskursus seperti budaya, media, seks, dan libido untuk merangsang perputaraan modal. Hal ini yang menyebabkan pengiklan yang semakin menghalalkan segala kekreatifannya untuk membangun sebuah kepercayaan pada produk yang di promosi dan virtualisme ekonomi melampaui batas kemungkinan. Pada titik ini, analisis ekonomi politik tidak lagi menemukan landasan diskursusnya pada prinsip-prinsip ekonomi atau politik sebagaimana yang dibayangkan Marx tatkala ia menganalisis ekonomi politik kapitalisme. Sebab, ekonomi global kini berjalan berdasarkan logikanya sendiri, logika pasar, logika libido, dan logika simulasi. Didalam sirkulasi global, ekonomi telah berubah bentuk menjadi ekonomi virtual yang menemukan landasan wacananya pada spekulasi, manipulasi, permainan, dan simulasi.16 Isitilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling
Yasraf A. Piliang, Dunia yang Dilipat (Tamasya Melampaui Batas-batas kebudayaan), Jalansutra, Bandung, 2004, Hal.125 16 Ibid,. Hal.129 15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi.17 Pendapat dari Mosco diatas dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan kekuasaan (politik) dengan kehidupan ekonomi dalam masyarakat. Dengan semua pendapat yang sudah penulis kemukakan, dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia periklanan merupakan sebagian besar dari praktek berlandaskan ekonomi politik. Karena pada dasarnya kegiatan promosi, dan isi pesan yang ditampilkan oleh iklan adalah permainan dan manipulasi dengan mengangkat konsep gaya hidup dan dikhususkan oleh komoditas yaitu gaya hidup sehat. 2.5.1
Komodifikasi Dilayar kotak ajaib, spot iklan yang semula dimaksudkan hanya sekedar
untuk menginformasikan produk terbaru dari sebuah lembaga/perusahaan, ternyata dalam prosesnya telah berubah menjadi wahan pencitraan, pengemasan, perekayasaan, atau katakanlah disitu sedang berlangsung proses “estetisasi produk barang atau “estetika komoditas” via media. Realitas benda atau produk yang dimediakan menjadi realitas simbolik dan citra tentang komoditas. Bahkan realitas komoditas itu dikonstruksi sedemikian rupa seolah-olah “lebih real dari yang real” atau bahkan menjadi “realitas baru” diluar benda atau produk yang direpresentasikan.18 Komodifikasi sendiri merupakan kata kunci yang dikemukakan Karl Marx sebagai “ideologi” yang bersemayam dibalik media. Menurutnya, kata itu Vincent Mosco, The political Economy of Communication, Sage Publication, London, 1996, Hal.186 18 Idi Subandy Ibrahim, Krtik Budaya Komunikasi (Budaya, media dan Gaya hidup dalam proses demokatisasi diIndonesia, Jalasutra, Yogyakarta, 2011, Hal.238 17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain.19 Keberadaan komodifikasi sebagai kegiatan produksi dan distribusi komoditas yang lebih menimbang daya tarik, agar bisa dipuja oleh orang sebanyak-banyaknya dengan menekankan adanya perubahan nilai guna menjadi nilai tukar. Bahkan praktik itu tidak membutuhkan lagi pertimbangan koteks sosial, selain aktualisasi tanpa henti diareal pasar bebas. Dalam bahasa lain, muara komodifikasi adalah manfaat bisnis semata. Menurut Adam Smith yang merupakan Tokoh Penggagas Ekonomi Klasik berpendapat bahwa, nilai guna dan nilai tukar merupakan dua nilai yang dapat membedakan atau kebutuhan suatu produk. Nilai guna berasal dari kepuasan manusia atas keinginan atau kebutuhan tertentu, sedangkan nilai tukar didasarkan pada apa yang dihasilkan produk dalam pertukaran. Sedangkan komoditas adalah bentuk saat produksinya diatur melalui proses pertukaran.20 Adam juga membedakan antara produk yang nilainya berasal dari kepuasaan, keinginan dan kebutuhan spesifikasi dari manusia yang disebut nilai pakai dan nilai produk yang nilainya berasal dari kemampuan produk tersebut untuk ditingkatkan sebagai nilai tukar. Berikut dua dimensi signifikan dalam hubungan antara komodifikasi dan komunikasi : 1. Proses dan teknologi komunikasi yang memberi kontribusi kepada proses komodifikasi secara umum sebagai satu kesatuan. Graeme Burton, Pengantar untuk memahami dan budaya Populer. Jalansutra. Yogyakarta. 2008, Hal.198 20 Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, Sage Publication, London, 1996, Hal.140 19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
2. Proses komodifikasi yang bekerja dalam masyarakat termasuk dalam proses sosial komodifikasi sebagai suatu praktek sosial.21 Lebih spesifik kepada penggunaan gaya hidup oleh komoditas, Mike fatherstone, seorang kritikus sosial melukiskan kekuatan media (dibaca: TV) dengan kemampuan “konvertibilitas” antara gaya dan komoditas. Dalam hal ini, komodifikasi produk-produk yang dikemas melalui iklan telah mengubah “gayagaya” menjadi komoditas dan komoditas menjadi “gaya-gaya”.22 Mungkin tak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa masyarakat kini banyak yang berkiblat dari ikon yang ditampilkan sebagai figur simbolik dalam iklan yang umumnya berporos pada gaya atau pola hidup seperti layaknya figur tersebut. Keberadaan komodifikasi sebagai kegiatan produksi dan distribusi komoditas yang lebih menimbang daya tarik, agar bisa dipuja oleh orang sebanyak-banyaknya dengan menekankan adanya perubahan nilai guna menjadi nilai tukar. Bahkan praktik itu tidak membutuhkan lagi pertimbangan koteks sosial, selain aktualisasi tanpa henti diareal pasar bebas. Dalam bahasa lain, muara komodifikasi adalah manfaat bisnis semata. Iklan SOYJOY merupakan komoditas yang mengkomodifikasikan isi pesannya, dimana isi pesan dan gambar pada setiap scenenya menampilkan makanan yang mengandung karbohidrat tinggi dijadikan sebagai daya tarik bersifat rasional agar mereka meraup keuntungan yang besar. Sebagai salah satu contohnya, mereka mempromosikan salah satu nilai guna yang sebenarnya
Vincent Mosco., Op.cit., Hal.142 Idi Subandy Ibrahim, Krtik Budaya Komunikasi (Budaya, media dan Gaya hidup dalam Proses Demokatisasi di Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta, 2011, Hal.240 21 22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
kebutuhan semu pada produk yaitu sebagai bagian dari kesehatan demi terwujudnya kecantikan fisik.
2.6
Iklan sebagai Alat Ideologis “Para pengiklan”, demikian ungkap Trevor Pateman dalam How is
Undestanding an Advertisement Possible? (1983) “membujuk konsumen untuk bermain dengan karya ideologis kotor mereka dan mereka cuci tangan” pernyataan terus terang Pateman bahwa iklan adalah karya ideologis yang kotor (dirty ideological work) mungkin saja dipandang berlebih-lebihan oleh komunitas atau insan periklanan. Barangkali yang dimaksudkan Pateman bahwa dibalik iklan sebenarnya rengan beroperasi semacam ideologi (sudah jelas ideologi pemasang iklan), sehingga iklan tidak lebih dari sebagai karya artistik yang tidak mungkin steril dari rembesan ideologi pasar kapitalis dalam arti yang halus sekalipun. Dalam proses itu, konsumen diiming-imingi dengan janji-janji, bujuk rayu, agar mempercayai iklan, karya ideologis yang, kata Pateman, kotor itu, sementara pengiklan sendiri cuci tangan terhadap karyanya.23 Oleh karena itu ideologi tidak hanya tentang politik, tetapi memiliki konotasi yang lebih fundamental. Ideologi pada level sosial bisa diartikan sebagai idealisasi dan juga sistem-sistem yang kesemua hal itu diatur secara kultural. Sedangkan pada level individu, ideologi bisa diartikan sebagai peta kognitif dan afektif di satu sisi dan cara-cara identifikasi diri di sisi lain.
Idi Subandy Ibrahim, Krtik Budaya Komunikasi (Budaya, media dan Gaya hidup dalam proses demokatisasi di Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta, 2011, Hal.287 23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
Ideologi yang dibawa oleh media massa, termasuk iklan, menyiratkan penopengan, penyimpangan dan penyembunyian realitas tertentu karena media massa hanya merepresentasikan sebagian ideology yang mempunyai daya tarik dan nilai jual yang tinggi, tidak utuh dan memperkuat atau melebih-lebihkan ideologi yang dibawa dengan mengarahkan khalayak untuk menginterpretasikan sesuai keinginan media massa. Hal ini berarti bahwa media tidak netral dan cenderung memihak penguasa. Media massa menggunakan ideologi untuk menunjukkan bagaimana teks-teks dan praktik budaya tertentu menghasilkan realitas yang telah didistorsi dan diselewengkan, teks-teks inilah yang akhimya membentuk kesadaran palsu.24 Perbincangan mengenai media dan tatanan komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada dibalik media tersebut, khususnya kepentingan terhadap informasi yang disampaikannya. Di dalam perkembangan media mutakhir, setidak-tidaknya ada dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest), yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Di antara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan lebih dasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang publik (public sphere), disebabkan oleh kepentingan-kepentingan di atas, justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri.25
Matzuki Umar, Sa'abah, Seks Kita, Gema Insani Press, Jakarta, 1998, Hal. 8 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang dilipat, Penerbit Mizan, Bandung, 1998, Hal.133134. 24 25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
Lebih jauh lagi saat Jhally menunjukkan bagaimana citraan (imagery) periklanan komersial telah menyebar ke wilayah-wilayah budaya populer yang lain dan dia juga menunjukkan dampak budaya citra periklanan bagi pembentukan identitas individual dan sosial. Bagi akademisi dan kritikus periklanan, sudah jamak dipahami bahwa para pengiklan akan senantiasa memanfaatkan kekuatan pencitraan terhadap suatu produk atau gaya yang dipasarkan secara berulangulang dengan perantaraan media (massa). Sehingga iklan menjadi “realitas baru” dari produk komoditas yang dimediakan. Unsur repetisi dan manipulasi visual sudah jelas memegang peran penting dalam strategi komunikasi periklanan. Selain itu, unsur bahasa (language) dan Tanda (sign) merupakan instrumen yang penting dalam periklanan massa. Dari sinilah nantinya budaya citra dibangun dan disebarkan.26 Periklanan tentu saja merupakan domain simbolik yang dapat dengan baik digunakan bagi analisis ideologi. Iklan bukan hanya sekedar alat promosi produk, baik barang maupun jasa, tetapi juga telah menjual sistem pembentukan ide atau bahkan telah menjadi ideology yang memiliki nilai-nilainya sendiri secara otonom. Dan menawarkan sebuah kebudayaan, sebuah kebutuhan palsu yang harus melekatkan konsep gaya hidup sehat dalam kesatuan iklan nya. Hal ini merupakan efek negatif media massa, termasuk iklan yang bagaimanapun juga iklan adalah mesin ideologi kapitalisme yang orientasi terbesarnya adalah untuk meraup keuntungan. Definisi ideology lainnya adalah yang disosialisasikan oleh Roland Barthes yang menyatakan bahwa ideologi
26
Idi Subandy Ibrahim, Op.cit., Hal.288
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna yang seringkali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks dan praktik, atau yang bias ditampilkan oleh apa pun. Dengan pandangan seperti ini, wacana yang ada dalam media lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap wacana terkandung ideologi untuk mendominasi dan memperebutkan pengaruh. Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks.27
2.7
Iklan sebagai Budaya Massa Budaya massa merupakan budaya massif yang dibuat demi kepentingan
pasar. Munculnya budaya massa ini diperuntukkan agar perindustrialisasi dan konsumerisme yang berorientasi keuntungan secara besar-besaran. Dalam pembentukan budaya massa, komunikasi massa memiliki peranan yang penting dan efektif untuk mempengaruhi perilaku dan homogenitas budaya didalam masyarakat. Komunikasi massa tersebut dijadikan sebagai wadah untuk pemasaran dan sasaran iklan. Selain itu, produk budaya semakin dikembangkan dan direkontruksi sesuai dengan selera dan citra rasa agar memunculkan minat masyarakat terhadapnya. Menurut Burhan Bungin, ada beberapa ciri dari kebudayaan massa, sebagai berikut : 1. Non-tradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya populer. Acara-acara infotainment atau hiburan.
27
Alex Sobur, Analisis Teks Media, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002, Hal.68.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
2. Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak merucut di tingkat elite, namun apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini maka itu bagian dari basis massa itu sendiri. 3. Budaya
massa
juga
memproduksi
seperti
infotainment
yang
merupakan produk pemberitaan yang diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan umum. 4. Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Budaya tradisional dapat menjadi budaya popular apabila menjadi budaya massa. 5. Budaya massa yang diproduksi oleh media massa membutuhkan biaya cukup besar karena dana yang besar harus menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri. Oleh karena itu, budaya massa diproduksi
secara
komersial
agar
tidak
saja
menjadi
jaminan
keberlangsungan sebuah kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi modal yang diinvestasikan pada kegiatan tersebut. 6. Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbolsimbol kelas sehingga terkesan diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas, dan tertutup. Syarat utama dari eksklusifitas budaya massa ini adalah keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya secara massal.28
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana Prenada Media, 2009, Hal.77-78 28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
Hasil budaya massa dibuat secara massif ini demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, dan heterogen. Budaya massa ini sebagai akibat dari kritik atas budaya tradisional, dimana budaya tradisional ini muncul dan berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak terikat atau tergantung pada media massa. Budaya tradisional itu sendiri terbangun dari proses adaptasi dari interaksi kelas elit masyarakat dalam hal estetika yang sangat mengagungkan kesusatraan dan tradisi keilmuan. Dalam pembentukan budaya massa, iklan memiliki peranan yang penting dan efektif untuk mempengaruhi perilaku dan homogenitas budaya di dalam masyarakat. Budaya massa terbentuk dari apa yang sering dihasilkan oleh iklan. Iklan menawarkan banyak hal pada masyarakat dan tujuanya hanya satu yaitu supaya masyarakat tergerak untuk mengkonsumsi. Tidak hanya itu, produk budaya semakin dipoles dan direkonstruksi sesuai dengan selera dan citra rasa agar memunculkan minat masyarakat terhadapnya. Sebuah budaya massa yang banyak diadopsi saat ini dikemas oleh kreator-kreator advertising dan ditampilkan dalam iklan, disampaikan melalui media televisi, media cetak dan media- media lainnya dan hal itu tidak lepas dari kepentingaan keuntungan/kapitalisme yang menghipnotis khalayak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
2.8
Semiotika sebagai Ilmu Semiotika adalah ilmu yang menkaji tanda dalam kehidupan manusia.
Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.29 Sedangkan
dalam
bukunya,
Yasraf
A.
Piliang,
Semiotika
dan
Hipersemiotika (Kode, Gaya & Matinya Makna) mengemukakan tentang Semiotika sebagai Teori Dusta : “Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya didalam masyarakat. Oleh sebab itu, semiotika dalam memperlajari relasi diantara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya.30 Dalam sebuah definisi semiotika yang dikemukakan oleh Umberto Eco, beliau mengatakan bahwa, Semiotika”.... pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang memperlajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. 31 Namun secara implisit dalam definisinya, dia juga mengatakan bahwa bila semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah teori kebenaran.32 Dalam terminologi semiotika, terdapat jurang yang dalam antara sebuah tanda (sign) dan referensinya pada realitas (referent). Konsep (concept), Isi (content), atau makna (meaning) dari apa yang dibicarakan atau ditulis tidak sesuai dengan realitas yang dituliskan.
Benny H. Hoed, Semiotika & Dinamika Sosial Budaya, Komunitas Bambu, Depok, 2011, Hal.3 30 Yasraf A. Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika (Kode, Gaya & Matinya Makna), Matahari, Bandung, 2010, Hal.46 31 Yasraf A. Piliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2010, Hal.44 32 Ibid,. Hal.46 29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama: 1. “Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya manusia sendirilah yang mampu memahaminya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Dalam hal ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengesploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri”.33 Penafsiran atas tanda yang diterima oleh seseorang sangat berpengaruh kuat terhadap pemikiran, emosi, pengetahuan, serta latar belakang tempat kebudayaan si penafsir tanda itu hidup. Makna yang tercipta dari penafsiran atas tanda itu sangat bersifat subjektif dan interpretatif. “Iklan (advertisement) sebagai sebuah objek semiotika, iklan memiliki fungsi komunikasi langsung (direct communication function) yang mana fungsi ini umumnya dimiliki pula oleh media komunikasi massa. Oleh karena itu aspekaspek didalam iklan, komunikasi seperti pesan (message) merupakan unsur yang utama”.34 Terdapat
dimensi-dimensi
khusus
pada
sebuah
iklan
yang
membedakannya secara semiotis dari objek-objek desain lainnya, yakni bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsur tanda berupa objek yang diiklankan, konteks John Fiske, Cultural and Communication Studies, Jalastura, Yogyakarta, 1990, Hal.65 Amir Piliang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jogjakarta, Jalasutra, 2003, hal 263. 33
34Yasraf
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada objek, serta teks yang memperkuat makna. Di dalam bidang semiotika, dikenal dua orang bapak Semiotika modern, yakni Charles Sanders Pierce dan Ferdinand de Saussure.Keduanya memiliki sudut pandang mengenai semiotika yang berbeda, terutama dalam penerapan konsep-konsep. Ini disebabkan latar belakang yang mendasar, Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah cikal bakal linguistik umum.35 Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah di warnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). 2.8.1
Semiotika Ferdinand de Saussure Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern
dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure (1857-1913). Saussure memang terkenal karena teorinya tentang tanda.36 Saussure dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857, dan dia hidup sezaman dengan Sigmund Freud dan Emile Dur kheim. Selain sebagai serang ahli linguistik, dia juga seorang spesialis bahasa Indo Eropa dan Sansekerta yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu sosial dan kemanusiaan.
35 36
A Teew, Khasanah Sastra Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1984, Hal.1 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung, PT.Remaja Rosdakarya, 2009, Hal.43
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
Saussure sebetulnya tidak pernah mencetak pemikirannya menjadi buku. Catatan-catatannya dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi sebuah outline dan diterbitkan menjadi buku dengan judul “Course in General Linguistics”. Karya ini kemudian hari menjadi sumber teori yang paling berpengaruh. Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang terkenal yaitu soal (1) signifier (penanda) dan signified (petanda);(2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) danparole (tuturan/ujaran); (4) synchronic (singkronik) dan diachronic, serta; (5) syntagmatic dan associative atau paradigmatik.37 2.8.2
Semiotika Roland Barthes Roland Barthes (1915-1980) selain dikenal sebagai tokoh terkemuka dari
strukturalisme, Ia juga salah satu pengembang dari konsep semiotik Saussure. Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Universitas Sorbonne adalah tempat ia belajar studi bahasa latin, sastra prancis dan klasik (Yunani dan Romawi). Barthes banyak menulis tentang sastra. Dari tahun 1960, ia menjadi asisten dan kemudian menjadi Directeur d’Etudes (direktur studi) dari seksi keenam Ecole pratique des Hautes Etudes, sambil mengajar tentang sosiologi tanda, symbol, dan representasi kolektif serta kritik semiotika. Pada tahun 1976, Barthes diangkat sebagai professor umtuk semiologi literer di College de France. Di tahun 1980 ia meninggal pada usia 64 tahun akibat kecelakaan mobil di jalanan Paris.
37
Ibid., Hal.44
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
Bathes telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Barthes berpendapat, bahwa semua yang ada dalam gejala budaya, merupakan suatu bahasa yang memiliki sistem baik relasi maupun oposisi. Sumbangan
ilmu
Barthes kepada dunia intelektual adalah konsep konotasi, yang merupakan kunci utama dalam mengkaji gejala budaya dan konsep mitos yang mana hasil penerapan konsep konotasi dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari. Selain metode denotatif, konotatif dan mitos yang selama ini melekat dengan Barthes, ia juga berpendapat bahwa Sarrasine terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dalam retorika tentang tanda mode. Terdapat lima kode yang ditinjau oleh Barthes yaitu; kode hermeneutika, kode semik, kode simbolik, kode proaretik dan kode gnomik atau kode kultural. Dalam “Mythology of the Month” Barthes membahas tentang denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah “mitos-mitos” (myths) yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat (Cobley & Jansz, 1999:43)38 Tanda adalah peran pembaca (the reader), dan Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley & Jansz, 1999) :
38
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, op.cit., Hal.68
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier (penanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif) 4.
CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)
5.
CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz, Introducing Semiotics, NY:Totem Books, 1999, Hal.51
Dari peta diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Namun, saat yang besamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dan hal tersebut merupakan unsur material.39 Pada linguistik, dasar yang membedakan adalah tingkat ekpresi (E) dan tingkat isi (C) dan jika dihungkan keduanya menjadi relasi (R). Pada akhirnya menjadi tingkat kesatuan membentuk sistem (ERC). Mengacu pada Hjelmslev, Barthes sependapat bahwa bahasa dapat dipilih menjadi dua sudut artikulasi. Berikut peta linguistik (Barthes, 1993, dalam Kurniawan, 2001:67)40
Gambar 2.3 Dua Sudut Artikulasi Barthes Sumber : Barthes 1983 dalam Sobur, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2009, hal 70.
Pada artikulasi pertama (sebelah kri), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Disini sistem 1 berkorespondensi 39 40
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, op.cit., Hal.69 Ibid., Hal.70
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
dengan tingkat denotasi dan sistem 2 dengan tingkat konotasi. Pada artikulasi kedia (sebelah kanan, sistem primer (ERC) mengkonstruksi tingkat
isi
untuksistem kedua: ER(ERC). Disini sistem 1 berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa (metalanguage). (Kurniawan dalam Sobur, 2009; 70) 41 Dalam kerangkanya, Barthes mengidentikkan ideologi dengan konotasi dan ia menyebutnya sebagai mitos. Fungsi yang dominan untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos juga suatu sistem yang sudah ada sebelumnya atau sama dengan tataran ke-dua, dalam mitos juga terdapat sebuah petanda yang memiliki beberapa penanda. Jika mitos mantap, maka ia akan menjadi ideologi, dan begitu sebaliknya. Mengapa? Karena ideologi pada umumnya, baik dimasyarakat maupun dalam periklanan ia digunakan sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup didalam dunia imajinasi dam ideal. Padahal secara realitasnya tidak demikian. Karena hal lain yang terdapat dalam mitos inilah, banyaknya masyarakat yang tidak ingin melanggar apa yang telah diadaptasinya, dengan mitos juga bisa berubah sesuatu yang sangat dipercayai hingga sakral dalam kehidupan. Padahal nyatanya belum ada bukti kongkrit berupa penelitian secara empiris.
41
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, op.cit., hal 70.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
2.9
Representasi Menurut
Stuart
Hall
dalam
bukunya
Representation:
Cultural
Representation and Signifying Practices, “Representation connects meaning and language to culture. . . . Representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between members of culture.”42 Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi makna. Sistem representasi ini terdiri dari dua komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini saling berelasi. Konsep dari sesuatu hal yang kita miliki dalam pikiran individu, membuat individu mengetahui makna dari hal tersebut. Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh sederhana, dalam mengenal konsep ‘cantik’ dan mengetahui maknanya. Orang lain tidak akan dapat mengkomunikasikan makna dari ‘cantik’ (misalnya, sosok perempuan yang memiliki kulit putih, rambut panjang, dan tubuh ideal) jika orang itu tidak dapat mengungkapkannya dalam bahasa yang dapat dimengerti orang lain. Jadi, sesungguhnya yang terpenting dalam sistem representasi ini pun adalah bahwa kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah kelompok tertentu yang memiliki suatu latar belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang (hampir) sama.
Stuart Hall, “The Work of Representation,”Representation: Cultural Representation and Signifying Practices, Ed. Stuart Hall, London, Sage Publication, 2003, Hal.17 42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
Menurut Stuart Hall, Member of the same culture must share concepts, images, and ideas which enable them to think and feel about the world in roughly similar ways. They must share, broadly speaking, the same ‘cultural codes’. In this sense, thinking and feeling are themselves ‘system of representations’.43 Berpikir dan merasa menurut Hall juga merupakan sistem representasi. Sebagai sistem representasi berarti berpikir dan merasa juga berfungsi untuk memaknai sesuatu. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan latar belakang pemahaman yang sama terhadap konsep, gambar, dan ide (cultural codes). Berusaha mencari rujukan lain, dalam buku Studying Culture: A Practical Introduction,44 terdapat tiga definisi dari kata ‘to represent’, yakni: 1. to stand in for. Hal ini dapat dicontohkan dalam kasus bendera suatu negara, yang jika dikibarkan dalam suatu event olahraga, maka bendera tersebut menandakan keberadaan negara yang bersangkutan dalam event tersebut. 2. to speak or act on behalf of. Contoh kasusnya adalah Paus menjadi orang yang berbicara dan bertindak atas nama umat Katolik. 3. to re-present. Dalam arti ini, misalnya tulisan sejarah atau biografi yang dapat menghadirkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu. Dalam prakteknya, ketiga makna dari representasi ini dapat saling tumpang tindih.
Ibid., Hal.17 Judy Giles dan Tim Middleton, Studying Culture: A Practical Introduction, Oxford, Blackwell Publishers, 1999, Hal.56-57 43 44
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
Dengan mendapat pemahaman lebih lanjut mengenai apa makna dari representasi dan bagaimana caranya beroperasi dalam masyarakat, teori Hall dalam hal ini sangat membantu. Pemaknaan terhadap sesuatu dapat sangat berbeda dalam budaya atau kelompok masyarakat yang berlainan karena pada masing-masing budaya atau kelompok masyarakat tersebut ada cara-cara tersendiri dalam memaknai sesuatu. Kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang pemahaman yang tidak sama terhadap kode-kode tertentu tidak akan dapat memahami makna yang diproduksi oleh kelompok masyarakat lain. Makna tidak lain adalah suatu konstruksi. Manusia mengkonstruksi makna dengan sangat tegas sehingga suatu makna terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi melalui sistem representasi dan difiksasi melalui kode. Kode inilah yang membuat masyarakat yang berada dalam suatu kelompok budaya tertentu mengalami pergeseran dan penggunaan produk yang telah melewati proses konveksi secara sosial. Teori representasi ini memakai pendekatan reflektif, yang berargumen bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan pengalamanpengalaman didalam masyarakat secara nyata. Menurut Stuart Hall dalam artikelnya, “things don’t mean: we construct meaning, using representational systems-concepts and signs.”45 Oleh karena itu, konsep (dalam pikiran) dan tanda (bahasa) menjadi bagian penting yang digunakan dalam proses konstruksi atau produksi makna.
45
Stuart Hall, Ibid., Hal.25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
2.10
Konsep Gaya Hidup (Gaya Hidup Sehat) Istilah gaya hidup telah dimaknai sebagai konsep yang kompleks. Sebagai
satu bentuk pembedaan sosial, gaya hidup dimaknai dengan cara berbeda-beda, sehingga tak heran kalau gaya hidup menjadi “sumber penafsiran” yang terbuka (chaney, 1996). Sementara chaney menjelaskan gaya hidup sebagai gaya, tata cara atau cara menggunakan barang, tempat dan waktu, khas kelompok masyarakat tertentu, yang sangat bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan, meski bukan merupakan totalitas pengalaman sosial.46 Dari situ kita melihat bahwa gaya hidup bersifat kolektif dan tidak tunggal. Gaya hidup adalah hasil kreasi dan adopsi artifisial.47 Karena itu, gaya hidup merupakan masalah pilihan. Gaya hidup adalah suatu seni yang dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup sangat erat kaitannya dengan perkembangan zaman dan teknologi. Semakin bertambahnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, maka semakin berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam arti lain, gaya hidup dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi setiap orang. Para partisipan dalam gerakan gaya hidup ini terkadang juga berpartisipasi dalam kelompok kepentingan dan politik protes, sehingga menjadi bagian penting dari kekuatan penekanan. Mereka menciptakan dan menawarkan pola-pola konsumsi akternatif bagi konstruksi identitas. Ini mengingatkan kita bahwa politik
Idi Subandy Ibrahim, Krtik Budaya Komunikasi (Budaya, Media dan Gaya hidup dalam proses demokatisasi di Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta, 2011, Hal 306 47 Ibid., Hal 307 46
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
gaya hidup dan politik identitas personal merupakan komponen penting dari gerakan (Giddens, 1991).48 Saat ini, gaya hidup yang diciptakan oleh kelompok kepentingan dengan menciptakan ilusi tidak lagi mendapatkan kritik, karena didalam pasar bebas, energi kemajuan tersebut lebih banyak digunakan untuk menciptakan kebutuhan semu bagi konsumer, semata agar ekonomi (kapitalisme) dapat terus berputar, yang pada gilirannya hanya menghasilkan kesejahteraan semu. Sementara gaya hidup dibidang kesehatan juga ditandai dengan pelbagai diet dan pengobatan alternatif yang mengklaim diilhami oleh alam dan lingkungan. Dibanding era sebelumnya, kini gaya hidup bukan lagi monopoli suatu kelas, tetapi sudah lintas kelas. Mana yang kelas atas/menengah/bawah tak jarang sudah bercampur baur dan terkadang dipakai berganti-ganti. Gaya hidup yang ditawarkan lewat iklan dan ritual konsumsi, misalnya, menjadi lebih beraneka ragam dan cenderung mengambang bebas, sehingga tidak lagi menjadi ekslusif kelas tertentu dalam masyarakat. Ia menjadi citra netral yang mudah ditiru, dijiplak, dipakai sesuka hati oleh setiap orang. Persoalannya, tergantung pada individu, mau memilih yang mana, ‘hidup untuk bergaya’ atau ‘gaya untuk hidup’.49 Dalam “kesehatan” gaya hidup seseorang dapat diubah dengan cara memberdayakan individu agar merubah gaya hidupnya, tetapi merubahnya bukan pada si individu saja, tetapi juga merubah lingkungan sosial dan kondisi kehidupan yang mempengaruhi pola perilakunya. Fenomena gaya hidup 48 49
Idi Subandy., Op.Cit., Hal.314 Idi Subandy., Op.cit., Hal.317
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
khususnya gaya hidup sehat yang diciptakan merupakan peran aktif media televisi, karena menampilkan halusinasi image yang tampak seperti nyata. Pada hakikatnya, dalam media televisi antara realitas dan rekayasa bercampur aduk didalamnya. Gaya hidup yang serba modern saat ini banyak sekali yang tidak sesuai dengan pola hidup sehat sehingga manusia modern sekarang ini lebih memilih berbagai cara untuk terlihat ideal seperti halnya menjalani diet, obesitas yang timbul akibat gaya hidup yang kurang sehat rentan terhadap berbagai macam penyakit, seperti jantung, kanker, dan diabetes. Kelebihan berat badan sangat erat kaitannya dengan perkembangan diabetes, tetapi tidak semua orang yang menyandang diabetes memiliki berat badan berlebih. Ada cara mudah yaitu diet, diet yang biasa dilakukan khususnya kaum wanita dalam pengaturan pola makan, baik itu ukuran, porsi serta kandungan gizinya. Beragamnya istilah diet yang muncul dengan berbagai macam cara dan kandungan makanan yang khususnya dimakan. Seperti halnya yang peneliti kaji, yaitu fenomena diet rendah karbohidrat yang saat ini ramai dijalani para wanita khususnya dalam kelebihan berat badan sehingga mendapat kecantikan fisik sampai pencegahan diabetes. 2.10.1 Diet Karbohidrat sebagai Konsep Kecantikan Diet rendah karbohidrat belakangan banyak menjadi perbincangan karena dipercaya dapat menjaga bahkan menurunkan berat badan. Diet ini berfokus pada pengurangan karbohidrat dalam pola makan seseorang. Sementara diet rendah karbohidrat ini diisukan dapat membantu menurunkan berat badan, namun hal itu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
dapat menghilangkan nutrisi yang dibutuhkan tubuh jika dilakukan secara berlebihan. Karbohidrat adalah pati, gula dan serat yang ditemukan paling banyak di serealia, biji-bijian, kacang-kacangan, buah dan sayuran, serta produk dari susu. Karbohidrat masuk dalam golongan makronutrients, yang berarti salah satu dari tiga jenis zat gizi utama - selain protein dan lemak - tubuh memperoleh energi, atau kalori. Sementara diet lainnya dapat memantau kalori atau gram dari lemak, diet rendah karbohidrat melacak karbohidrat bersih yang ditemukan dalam makanan. Sebagai informasi, tujuan pembatasan karbohidrat adalah untuk membakar cadangan lemak tubuh. Dr Jennifer Fitzgibbon, ahli diet onkologi terdaftar di Stony Brook Hospital Cancer Center di New York. Mengatakan "Istilah 'diet rendah karbohidrat' pada dasarnya diterapkan untuk diet yang membatasi karbohidrat kurang dari 20 persen dari total asupan kalori, tetapi juga dapat merujuk ke diet yang hanya membatasi atau memantang karbohidrat kurang dari proporsi yang direkomendasikan (umumnya kurang dari 45 persen total energi yang berasal dari karbohidrat),"50 Diet karbohidrat juga tujuan agar mendapatkan kepuasaan bentuk tubuh yang ideal. Ini juga merupakan konsep kecantikan yang susah menjadi ideologi dalam kaum perempuan, dimana mereka mengasumsikan bahwa kecantikan lahiriah seperti halnya tubuh merupakan kecantikan pelengkap yang diikuti
SOYJOY Indonesia, Benarkan diet rendah karbo efektif, diakses pada tanggal 10 Maret 2017 pukul 00:44 WIB, http://www.soyjoy.co.id/soylution/healthy-living/796/benarkah-dietrendah-karbohidrat-efektif-mengontrol-berat-badan, Editor by Admin. Posted tanggal 09 Januari 2017 ©copyright 2007 50
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
dengan kecantikan batiniah. Konsep kecantikan yang selama ini diasumsikan dalam kaum perempuan adalah berdasarkan konsep kecantikan “Rupasampat Wahyabyantara” yang merupakan perpaduan antara dua unsur, yakni kecantikan lahiriah dan kecantikan batiniah.51 Dimana kecantikan lahiriah adalah kecantikan wajah dan tubuh. Sedangkan kecantikan batiniah adalah keluhuran budi yang memancar keluar dari dalam tubuh.52 Namun, perempuan lebih sering dilihat kecantikan lahiriahnya dibandingkan batiniah. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa perempuan memilih berdiet dengan menggunakan segala macam cara yang salah satunya mengkonsumsi SOYJOY, karena figure yang digunakan dalam sebuah iklan dengan tubuh ideal yang membuatnya menjadi sangat cantik walaupun figure tersebut mengkonsumsi makanan dengan kandungan karbohidrat yang banyak. Dalam hal ini, ada banyak cara untuk menerapkan pola hidup sehat selain menggunaan makanan ringan yang disinyalir dapat membantu proses diet, yang mengisukan karbohidrat adalah salah satunya. Agar terhindar dari praktik politik ekonomi, berikut beberapa cara umum yang bisa diterapkan dalam pengurangan kabohidrat agar terhindar dari obesitas dan mencegah timbulnya diabetes:53 •
Kendalikan Sejak Dini
Kadar gula darah yang sehat dapat dilakukan dengan cara mengatur pola makan yang seimbang, melakukan aktivitas fisik yang cukup, serta mengkonsumsi obat penurun gula darah saat anda membutuhkan nya. Martha Tilaar, Kecantikan Perempuan Timur, Indonesia Tera, Magelang, 1999, Hal.58 Ibid., 53 Kiat-kiat mengontrol Gula Darah, http://www.webkesehatan.com/mengontrol-guladarah/diakses pada tanggal 20 Desember 2016 pukul 10:11 51 52
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
•
Makanlah Secara Teratur
Mengabaikan waktu sarapan pagi dapat menyebabkan kelaparan dan pada akhirnya makan secara berlebihan untuk “balas dendam”. Hal ini dapat menyebabkan kenaikan berat badan dan gula darah. •
Atur Waktu Tidur
Terlalu sedikit tidur dapat menggangu hormon dan menyebabkan peningkatan nafsu makan yang meningkatnya kadar gula darah dan obesitas. •
Berolahraga dengan Teratur
Olahraga dapat membantu insulin dalam transportasi gula dalam darah ke jaringan. Hal ini dapat menurunkan kadar gula bebas dalam darah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/