BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Pada dasarnya komunikasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan mempunyai efek. Komunikasi adalah penggunaan tanda-tanda yang berarti untuk membina hubungan social 1.Komunikasi merupakan sesuatu yang amat sangat penting bagi manusia untuk tetap bisa bertahan hidup, karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, dalam perkembangannya ilmu komunikasi mengalami pertumbuhan yang cepat dimulai ketika manusia berhasil menciptakan tanda dan simbol lalu bahasa kemudian di dukung lagi dengan perkembangan ilmu teknologi yang semakin cepat sehingga dikenal istilah global village, yang membuat dunia ini terasa sangat kecil dikarenakan tidak ada hambatan lagi dalam berkomunikasi apalagi ketika sudah memasuki era konvergensi media yang membuat komunikasi terasa lebih dipermudah lagi. Ketika kita melakukan proses komunikasi seperti berbicara kepada teman, menonton Tv, menjelajah internet, dan aktifitas komunikasi lainnya kita akan mendapakkan informasi, seperti yang dikatakan Joseph Straubhaar dan Robert La Rose : Communication is simply the exchange of meaning. That definition covers a lot of ground. It obviously includes talking to your friends, reading newspaper, watching television, and surfing the internet. Less obvious examples of communication might include the graphic design on a T-shirt, a fit of laughter, or the wink of an eye. And, the meaning exchanges does not have to be profound: a sonnet by Shakespeare and a verse scratched on a bathroom wall both qualify as communication. In the 1
Olli, Hellena(2009),Opini Publik, Jakarta, Indeks.(hlm 50)
terms of SCMR model, the exchange is between the source of the massage and the receiver. 2 Jadi bisa kita simpulkan bahwa komunikasi itu memiliki makna yang sangat luas, mencangkup dari bentuk komunikasi verbal( yang mengunakan kata-kata) dan juga komunikasi non-verbal (seperti raut wajah,dan ekspresi muka tanpa katakata). 2.2
Komunikasi Massa Komunikasi massa merupakan penyampaian pesan oleh komunikator
kepada komunikan dalam jumlah besar melalui media massa. Editorial dalam hal ini merupakan sesuatu yang akan disampaikan secara massa, yang jadi permasalahannya dalam hal ini adalah editorial yang padamulanya hanya berupa tulisan dan hanya di baca apabila kita membeli suatu surat kabar atau majalah kini editorial tersebut ditayangkan dalam format program acara televisi yang dapat disaksikan oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Komunikasi massa memiliki kekuatan yang sangat besar dalam pengaruhnya terhadap pembentukan opini publik. Dalam bukunya yang berjudul media now Joseph Straubhaar dan Robert La Rose mengatakan bahwa : Mass communication is a major focus of this book (media now) but is only one of the possible modes of communication, another hallmark of the classical spproach is to classify communication acordingto the number of people communicating and to examine processes that are unique to each mode. The basic include intrapersonal, interpersonal, small group, and large group as well as mass communication. 3 Bentuk komunikasi dari suatu bentuk komunikasi yang paling dasar yaitu komunikasi intrapersonal hingga komunikasi massa meiliki keunikan masing2
Straubhaar .Joseph and Robert LaRose.Media Now(understanding media, culture and technology)5th edition.Thomson Wadsworth, 2006 hal 18-19 3 Straubhaar .Joseph and Robert LaRose. op.cit.,19
masing, komunikasi massa berbentuk satiu arah (one-way communication) dan memiliki dampak yang sangat besar. Istilah komunikasi massa dikenal memiliki berbagai macam efek Menurut Steven A. Chafee, komunikasi masa memiliki efek-efek berikut terhadap individu: 1. Efek ekonomis: menyediakan pekerjaan, menggerakkan ekonomi (contoh: dengan adanya industri media massa membuka lowongan pekerjaan) 2. Efek sosial: menunjukkan status (contoh: seseorang kadang-kadang dinilai dari media massa yang ia baca, seperti surat kabar pos kota memiliki pembaca berbeda dibandingkan dengan pembaca surat kabar Kompas. 3. Efek penjadwalan kegiatan 4. Efek penyaluran/ penghilang perasaan 5. Efek perasaan terhadap jenis media 2.2.1 Kekuatan Media Massa Komunikasi massa merupakan proses organisasi media menciptakandan menyebarkan pesan-pesan pada masyarakat luas dan dalam proses penyampaian proses tersebut terus dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi poleh audiens. Media massa memiliki kekuatan yang sangat besar dalam menyebarluaskan suatu pesan hal tersebut di dasari oleh sifat media massa itu tersendiri yang bersifat massive atau besar. Representasi ruang public yang paling jelas sebagai wahana bagi diskusi public adalah media massa, sebagai contoh kita bisa melihat hal tersebut dalam program acara Editorial Media Indonesia yang selalu menyajikan diskusi-diskusi intersaktif dengan pemirsanya. Oleh karena itu media massa, tidak
hanya terbatas sebagai saran untuk meraup keuntungan ekonomis, melainkan dalam fungsi editorialnya, ia menjadi medium bagi ruang publik 4 . Seperti yang di ungkapkan oleh Dennis McQuail bahwa berbagai metafora telah diciptakan untuk mengartikan aspek-aspek media. Sebagai contoh Dennis McQuail mengacu pada delapan metafora: media merupakan jendela(windows) yang
memungkinkan
kita
untuk
melihat
lingkungan
kita
lebih
jauh,
penafsir(interpreters) yang membantu kita memahami pengalaman, landasan (platforms)atau pembawa yang menyampaikan informasi, komunikasi interaktif (interactive communication) yang meliputi opini audiens, penanda (signposts) yang member kita instruksi dan petunjuk, penyaring (filters) yang membagi pengalaman dan focus pada orang lain, cermin (mirrors) yang merefleksikan diri kita, dan penghalang (barriers) yang menutupi kebenaran. 5 Dalam beberapa metafora yang telah kita dipaparkan diatas kita bisa memahami bahwa terdapat berbagai macam metafora mengenai aspek-aspek media. Selain membuat konsep dan isi media, para peneliti media megenali dua sisi komunikasi massa .satu sisi dilihat dari sudut pandang: dari media ke masyarakat yang lebih besar dan institusinya. Para ahli teori dalam hubungan media masyarakat tertarik pada berbagai cara media ditanamkan dalam masyarakat serta pengaruh mutual antara susunan masyarakat yang lebih besar dan media .ini merupakan sisi makro dari teori komunikasi masa. Sisi yang kedua melihat pada manusia sebagai kelompok maupun individu yang menggunakan
4
Tanti, Dewi Sad dan Heri Budianto,2010, Diskursus Kepemimpinan Indonesia Massa Depan Dalam Rubik Tokoh Muda Inspiratif Harian Umum Kompas, Jurnal Penelitian Ilmiah Universitas Mercu Buana vol 3. 5 McQuail, Dennisop.cit.,52-53
media.Sisi ini mengambarkan hubungan antara media dan audiens. Para ahli teori tertarik pada hubungan media audiens berfokus pada pengaruh kelompok dan individu serta hasil-hasil dari transaksi media. Pandangan ini merupakan sisi mikro dari teori komunikasi massa. 6 Didalam program Editorial Media Indonesia terlihat bahwa ada sisi makro yang ditanamkan media terhadap audiens yaitu dengan memilih dan seleksi isu yang disampaikan oleh program tersebut sedangkan pada sisi mikro dapat diketahui bahwa ada beberapa audiens yang menyaksikan program tersebut guna memperoleh informasi. 2.3 Media dan Konstruksi Realitas Konstruktivisme sebagai suatu pandangan yang lain terhadap dunia, seperti yang diungkapkan oleh Thomas Khun bahwa semesta secara epostimologi merupakan hasil konstruksi sosial. 7 Pengetahuan/pandangan manusia dibentuk oleh kemampuan tubuh inderawi dan intelektual, asumsi-asumsi kebudayaan dan bahasa tanpa kita sadari.Bahasa dan ilmu pengetahuan bukanlah cerminan semesta,
melainkan
bahasa
membentuk
semesta,
bahwa
setiap
bahasa
mengkonstruksi aspek-aspek tertentu dari semesta dengan caranya sendiri.Peter Dahlgren mengatakan realitas sosial setidaknya sebagian, adalah produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa. 8 Peter L. Berger dan Thomas Luckman memperkenalkan konsep konstruksionisme melalui tesisnya tentang konstruksi atas realitas.Teori 6
Littlejohn, Stephen W dan Karen A Foss.Teori Komunikasi (Theories of Human Communication),Salemba Humanika.2009 hal 407 7 Lihat D. Gahral Adian, Menyoal Objektifitas Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Traju, 2002). 8 Eriyanto,Op. Cit., dalam pengantar Deddy Mulyana, M.A., hal. 10
konstruksi sosial Peter L. Berger menyatakan bahwa, realitas kehidupan seharihari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana
ia
mempengaruhinya
melalui
proses
internalisasi
(yang
mencerminkan realitas subjektif). Masyarakat merupakan produk manusia dan manusia merupakan produk masyarakat. Baik manusia dan masyarakat saling berdialektika diantara keduanya. Masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk. 9 Menurut Berger dan Luckman konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya. Dalam hal ini pemahaman “realitas” dan “pengetahuan” dipisahkan.Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan.Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. 10 Dalam kenyataanya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif. 9
Ibid. hal. 13 Margaret M. Polomo,Sosiologi Kontemporer (Jakarta: CV Rajawali), hal. 301
10
Dalam pemahaman konstruksi Berger, dalam memahami realitas/peristiwa terjadi dalam tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagi moment yaitu, pertama, tahap eksternalisasi yaitu usaha pencurahan diri manusia ke dalam dunia baik mental maupun fisik. Kedua, objektifasi yaitu hasil dari eksternalisasi yang berupa kenyataan objektif fisik ataupun mental. Ketiga, internalisasi, sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Ketiga proses tersebut saling berdialektika secara terus menerus pada diri individu dalam rangka pemahan tentang realitas. 11 2.3.1 Framing , Realitas Sebagai Hasil Konstruksi Ide prihal framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson pada 1995. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep serupa juga diberikan oleh Goffman yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviors) yang membimbing individu dalam membaca realitas. 12Berkaitan dengan studi ilmu komunikasi khususnya di bidang media, terdapat demikian banyak definisi tentang framing yang dikemukakan oleh beberapa ahli. W.A. Gamson termasuk ahli yang cukup intens dalam mendiskusikan framing, bersama dengan A. Modigliani memberikan definisi tentang framing, yakni merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek dari suatu wacana. Mereka mengandaikan wacana media 11
Eriyanto, Op. Cit., hal. 14 Goffman , Erving, Frame Analysis: Analysis Framing Essay on The Organization Of Experience, New York : Harper And Row.1975 12
terdiri atas sejumlah package interpreatif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana.Package merupakan gugusan organisasi ide-ide yang member petunjuk tentang isu yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan dengan suatu wacana. 13 Sedangkan Robert M. Entman mendefinisikan framing merupakan seleksi atas berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa tersebut lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi, dalam hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi dalam suatu masalah , interpretasi sebab kaibat, evaluasi moral dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah tersebut digambarkan. Dari pengertian ini, framing pada dasarnya merupakan pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tetentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. 14 Framing salah satu cara untuk mengetahui sekaligus membuktikan bahwa realitas sesungguhnya merupakan hasil konstruksi (baik konstruksi individu, masyarakat dan media). Dalam pemahaman beberapa ahli, 15 framing adalah cara untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksikan oleh media. Secara praktis framing dapat dipahami sebagai cara bagaimana peristiwa atau realitas disajikan oleh media. Cara penyajian tersebut secara umum memiliki dua dimensi dalam framing. Pertama, seleksi isu.Dalam menyajikan sebuah peristiwa wartawan atau awak media telah melakukan pemilihan terhadap fakta di lapangan, hal ini 13
Gamson W.A, And A. Modligliani , “The Changing Culture Of Affirmativeaction” dalam R.G. Brungatt & M.M Braungart, (Eds), Research In Political Sociology, Greenwitch: JAI Press.1987 14 Robert M. Entman dalam Dennis McQuail 2002 15 Eriyanto, Ibid.,hal. 67-68. Beberapa ahli tersebut seperti, Robert N. Entman, William A. Gamson, Todd Gitlin, David E. Snow and Robert Benford, Amy Binder, dan Zhondang Pan and Gerald M. Kosicki. Meskipun dari definisi yang diberikan oleh para ahli tersebut memiliki perbedaan dalam penekanan dan pengertian, namun memiliki titik singgung utama dari definisi framing tersebut.
diasumsikan bahwa pekerja media tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, penekanan isu. Hal ini dapat teramati bagaimana pekerja media menuliskan fakta, proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih disajikan kepada khalayak. Seperti diungkapkan oleh Frank D. Durham, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Dengan framing realitas yang begitu rumit dan kompleks disederhanakan oleh media sehingga mudah dipahami, diingat dan realitas tersebut lebih bermakna dan dimengerti. 16Goerge Junus Aditjondro juga pernah memperkenalkan konsep framing, dengan menyatakan bahwa framing merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidaklah diingkari secara total, namun dibelokan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang memiliki konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya 17. Dalam hal program Editorial Media Indonesia ilustrasi gambar dan grafik memberikan makna-makna tertentu terhadap suatu isu, proses nada suara narasi juga memberikan makna tertentu. Pada intinya framing merupakan penempatan berbagai informasi dalam konteks yang khas sehingga elemen isu tertentu memiliki alokasi yang lebih besar dalam kognisi individu dibandingkan dengan elemen isu lain. Asumsi yang digunakan adalah elemen isu yang ditonjolkan tentu mempunyai peluang yang lebih besar untuk dipertimbangkan oleh masing-masing individu (individual judgement) 18. Ada dua dimensi besar dalam framing , yakni seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas atau isu tersebut. Penonjolan 16
Eriyanto, Op. Cit., hal. 67 Aditjondro dalam Agus Sudibyo 2001 18 Glitin dalam agus sudibyo,2001 17
merupakan proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti sehingga mudah diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi cara khalayak dalam mempengaruhi realitas. Dalam prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, serta menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, misalnya dengan penempatan yang menyolok, pengulangan, pemakaian grafis, untuk mendukung atau memperkuat pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristwa yang digambarkan, asosiasi terhadap simbol budaya,
generalisasi, dan
simplifikasi. Semua aspek tersebut digunakan untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak 19, begitu juga dengan editorial, bagaimana suatu berita dan isu-isu yang ada diperkuat melalui narasi dan gambar yang disajikan kepada khalayak. 2.4 Editorial Sebelum mendefinisikan editorial kita harus bisa memahami bahwa sesungguhnya seorang editor atau penulis editorial bukan bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan utntuk sebuah surat kabar, majalah, atau studio radio kadang mereka juga meraskan bahwa mereka sebagai seorang petugas informasi, penulis editorial mungkin akan diberi instruksi-instruksi sebelum mereka menulis, kadang-kadang para pemimpin redaksi akan meminta para penulis editorial menyerahkan karya mereka untuk diperiksa guna dicarikan kejelasan mengenai 19
Entman dalam . M.Antonius Birowo, M.A. Metode Penelitian Komunikasi. Gitanyali.Yogyakarta. 2004. Hal 183
hal yang mereka tulis, dengan begitu kita bisa menyimpulkan bahwa editorial adalah pikiran sebuah institusi yang diuji didepan sidang pendapat umum; editorial juga adalah penyajian fakta dan opini yang menfsirkan berita-berita penting dan mempengaruhi pendapat umum. 20 Editorial itu merupakan kata pengantar dari redaksi. Yang menulis tidak harus seorang editor, meskipun namanya "editorial". Meski bisa disebut sebagai pengantar, editorial memang memiliki karakter yang unik sehingga, sebagai pengantar, posisinya tidak selalu berada di halaman utama. Sebab editorial bukan daftar isi yang menceritakan secara gamblang sajian edisi yang diantarkannya. Pandangan editorial sebagai salah satu tulisan yang mengekspresikan opini tercermin dalam pendapat Meyer Sebranek dan Dave Kemper. Opini tersebut menjadi suatu reaksi terhadap berita-berita terkini, kejadian, atau isu-isu yang merisaukan.
Beberapa
Jenis Editorial Editorial
yang menjelaskan atau
menginterpretasikan sesuatu: a) Editorial yang mengkritik b) Editorial yang persuasif. c) Editorial yang memuji. Namun dalam bukunya, Assegaff menyatakan ada beberapa jenis dan sifat tajuk rencana (editorial) yaitu : a) Tajuk rencana yang bersifat memberikan informasi semata, tajuk semacam ini agak jarang dijumpai. Kalaupun ada, pada umumnya karena penulis
20
Rivers, Wiliam L, Bryce Mclntyre, Alison Work.Editorial, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, Hal 8
tajuk rencana masih belum mengetahui kebijakan apa yag diambil oleh surat kabarnya b) Tajuk rencana yang bersifat menjelaskan, jenis tajuk ini hampir serupa dengan interpetasi yang memberikan penjelasan kepada suatu peristiwa atau berita. c) Tajuk recana yang bersifat menjuruskan timbulnya aksi, tajuk semacam ini adalah tajuk rencana yang mendorong timbulnya aksi dalam masyarakat. Si penulis tajuk recana ingin menjuruskan timbulnya tindakan secara cepat, tetapi pembaca surat kabar sekarang sudah terbiasa dengan keadaan , kurang lagi terdorong untuk mengambil aksi. d) Tajuk rencanayang bersifat jihad, tajuk semacam ini umumnya datang berturut-turut, dan dengan sikap yang jelas terhadap suatu masalah. Tujuannya sangat jelas yaitu untuk mengadakan perubahan.Contohnya tajuk-tajuk yang terus-menerus tentang anti judi dan kemudian menghapuskan judi. e) Tajuk rencana yang bersifat membujuk. Jenis tajuk rencana yang bersifat membujuk ditujukan secara halus kapeda masyarakat pembaca untuk mengambil tindakan atau membentuk pendapat umum. f) Tajuk rencana yang bersifat memuji. Jika ada tajuk rencana yang mendorong aksi maka sudah wajar juga jika ada tajuk yang ditujukan untuk memeuji atau memberikan pujian atas suatu prestasi yang terjadi pada masyarakat.
g) Tajuk rencana yang bersifat menghibur.tajuk rencana jenis ini sering terdapat dalam suatu surat kabaryang isinya semata-mata hiburan sering dikaitkan dengan human interst story. Misalnya tajuk duka karena meninggalnya gajah tertua di kebun binatang Ragunan, Jakarta. 21 2.4.1 Hal-Hal yang Dimiliki Oleh Editorial Sebenarnya, hal-hal apa saja yang ada pada sebuah editorial? Samakah karakternya seperti jenis tulisan lainnya? setidaknya ada tujuh hal yang seharusnya terdapat dalam sebuah editorial. a) Pengantar, isi tulisan, dan simpulan seperti tulisan-tulisan lainnya. b) Penjelasan yang objektif mengenai isu-isu tertentu, terutama yang kompleks. c) Disampaikan dalam sudut pandang berita yang akurat. d) Opini dari sudut pandang berlawanan yang secara langsung menyanggah isu yang dialamatkan penulis. e) Opini penulis disampaikan secara profesional. Editorial yang baik mengangkat isu/berita, bukan personalitas dan tidak menyebutkan nama panggilan/julukan atau taktik persuasi yang licik lainnya. f) Solusi alternatif kepada masalah atau isu yang sedang diangkat. Siapa saja bisa mengeluhkan suatu masalah, tapi editorial yang baik harus mengambil pendekatan yang proaktif untuk menjadikan suasana lebih baik
dengan
menggunakan
kritik
yang
membangun,
sekaligus
memberikan solusi. 21
Assegaff dalam AS Haris Sumadiria . Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (Panduan Praktis Penulis & Jurnalis Profesional).Simbiosa Rekatama Media, Bandung .2007 Hal -84
g) Simpulan yang padat dan ringkas, yang merangkum opini penulis. 2.4.2
Prinsip-prinsip Editorial
a) Editorial adalah sikap sebuah lembaga (penerbit) bukan sikap pribadi, pahami secara benar karakter, visi dan misi media yang bersangkutan. b) Editorial harus mencerminkan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat dan menonjolkannya, hindari pemaparan bersifat menggurui, soktahu, dan menganggap pembaca tidak memahami isu yang bergulir. c) Topik, arah, dan permasalahan yang akan diangkat harus dirembukkan dengan tim redaktur. d) Jangan menjadikan editorial hanya sekadar penghias atau pelengkap halaman; sajikan pendapat/pemaparan tentang berita yang sedang hangat. e) Gunakan pemakaian kalimat yang ringkas, padat, jelas, lugas, dan langsung ke pokok persoalan; jangan bertele-tele dan berputar-putar. f) Pada hakikatnya, editorial itu merupakan sebuah analisa singkat, diperlukan penggarapan yang serius berupa argumentasi yang solid dan valid dengan memperkaya melalui refrensi yang ada melalui kepustakaan yang lengkap dan representatif. g) Halaman yang tersedia sangat terbatas, oleh karena itu hindari penulisan latar belakang permasalahan secara berlebihan. h) Ukur dan kenalilah kemampuan serta keahlian Anda mengenai suatu bidang tertentu (menguasai permasalahan secara pasti). i) Pemaparan editorial harus berpijak pada kebenaran.
Editorial memang bukan kolom yang paling dicari. Meski demikian, posisi editorial tetaplah penting. Bukan semata-mata untuk memenuh- menuhi isi sebuah publikasi. Bukan pula karena publikasi lain (surat kabar, majalah, atau tabloid) menyajikannya. Tetapi sebuah editorial menghadirkan aspek edukatif (sekaligus sedikit provokatif dalam arti positif) kepada pembacanya. Tajuk rencana atau editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat.Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap resmi media yang bersangkutan. Tajuk rencana mempunyai sifat: a) Krusial dan ditulis secara berkala, tergantung dari jenis terbitan medianya bisa harian (daily), atau mingguan (weekly), atau dua mingguan (biweekly) dan bulanan (monthly). b) Isinya menyikapi situasi yang berkembang di masyarakat luas baik itu aspek sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, pemerintahan, atau olah raga bahkan entertainment, tergantung jenis liputan medianya. c) Memiliki karakter atau konsistensi yang teratur, kepada para pembacanya terkait sikap dari media massa yang menulis tajuk rencana. d) Terkait erat dengan media policy atau kebijakan media yang bersangkutan. Karena setiap media mempunyai perbedaan iklim tumbuh dan berkembang dalam kepentingan yang beragam, yang menaungi media tersebut. Karena merupakan suara lembaga, maka tajuk rencana tidak ditulis dengan mencantumkan nama penulisnya, seperti halnya menulis berita atau features.
Idealnya tajuk rencana adalah pekerjaan, dan hasil dari pemikiran kolektif dari segenap awak media. Jadi proses sebelum penulisan tajuk rencana, terlebih dahulu diadakan rapat redaksi yang dihadiri oleh pemimpin redaksi, redaktur pelaksana serta segenap jajaran redaktur yang berkompeten, untuk menentukan sikap bersama terhadap suatu permasalahan krusial yang sedang berkembang di masyarakat atau dalam kebijakan pemerintahan. Maka setelah tercapai pokok- pokok pikiran, dituangkanlah dalam sikap yang kemudian dirangkum oleh awak redaksi yang telah ditunjuk dalam rapat.Dalam Koran harian bisanya tajuk rencana ditulis secara bergantian, namun semangat isinya tetap mecerminkan suara bersama setiap jajaran redakturnya. Dalam proses ini reporter amat jarang dilibatkan, karena dinilai dari segi pengalaman serta tanggung jawabnya yang terbatas. Karakter dan kepribadian pers terdapat sekaligus tercermin dalam tajuk rencana.Tajuk rencana juga mencerminkan dari golongan pers mana media tersebut berasal. Tajuk rencana pers papan atas (middle-high media) atau pers yang berkualitas misalnya memiliki ciri di antaranya : a) Hati-hati b) Normatif c) Cenderung konservatif d) Sedapat mungkin menghindari pendekatan kritis yang tajam e) Pertimbangan aspek politis lebih besar dari aspek sosiologis Namun tajuk rencana dari golongan pers papan tengah ke bawah (middle-low media) berlaku sebaliknya. Ciri tajuk rencana pers papan tengah adalah :
a) Lebih berani b) Atraktif c) Progresif d) Tidak canggung untuk memilih pendekatan kritis yang bersifat tajam dan “tembak langsung” e) Lebih memilih pendekatan sosiologis daripada pendekatan politis Perbedaan yang cukup tajam ini karena perusahaan pers papan atas biasanya memiliki kepentingan yang jauh lebih kompleks daripada pers papan tengah ke bawah. Kepentingan yang sifatnya jauh lebih kompleks itulah yang mendorong pers papan atas untuk lebih akomodatif dan konservatif, baik itu dalam kebijakan pemberitaan, serta pernyataan pendapat dan sikap resmi dalam tajuk rencana yang dibuatnya. Itulah konsekuensi logis pers modern sebagai industri padat modal sekaligus padat karya. Kecenderungan perbedaan yang dimiliki oleh pers baik papan atas maupun papan bawah ini juga berlaku universal hampir di semua negara, yang memiliki latar belakang ideologi serta kepentingan yang berbedabeda. Namun pada akhirnya juga tidak menutup kemungkinan pada pers papan atas untuk lebih berani menyuarakan pemikirannya atau opini terhadap suatu isu yang terjadi seperti contohnya Media Indonesia yang sering mengkritik kinerja pemerintahan dan isu-isu korupsi hal tersebut juga dikerenakan adanya intrikintrik politik sehingga dapat disimpulkan juga selain memiliki fungsi untuk menjelaskan berita, menjelaskan latar belakang terjadinya suatu peristiwa, meramalkan masa depan, dan menyampaikan pertimbangan moral, Editorial atau tajuk rencana membawakan pendapat surat kabar dan dukungan modal atau
organisasi yang ada di belakang surat kabar itu. Penulis tajuk rencana, yang umumnya pemimpin redaksi atau redaktur senior, haruslah orang terpercaya, dan mengetahui kebijakan pemberitaan serta kebijakan surat kabar tempat dia bekerja. 22 Media Indonesia bukanlah suatu media kecil, media indonesia hampir merangkul seluruh media baik cetak hingga elektronik, tentunya akan banyak sekali pertimbangan yang menjadi landasan dalam suatu penerbitan editorial atau tajuk rencana yang hampir disampaikan melalui media-media tersebut apalagi ketika penyusunan editorial tersebut juga terlibat dalam unsur-unsur politik. 2.5 Korupsi Korupsi dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir bersamaan dengan umur manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, disanalah awal mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam oleh segelintir kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai. Berbagai taktik dan strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam dan politik inilah awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal kebutuhan untuk bertahan hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya semakin terbatas. Sejak saat itu moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang mengarah pada keadilan berubah menjadi kehidupan saling menguasai dan mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat menemukan banyak catatan yang terkait dengan kondisi tersebut. Di India korupsi sudah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun yang lalu, hal ini terbukti dengan adanya tulisan seorang perdana menteri Chandragupta 22
Sumadiria, Dr AS Haris M.Si. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (Panduan Praktis Penulis & Jurnalis Profesional).Simbiosa Rekatama Media, Bandung .2007 Hal -83
tentang 40 cara untuk mencuri kekayaan negara. 23 Kerajaan China, pada ribuan tahun yang lalu telah menerapkan kebijakan yang disebut Yang-lien yaitu hadiah untuk pejabat negara yang bersih, sebagai insentif untuk menekan korupsi. Tujuh abad silam, Dante menyebutkan bahwa para koruptor akan tinggal di kerak neraka dan Shakespeare mengangkat tema-tema korupsi dalam berbagai karyanya. 24 Pada abad ke-14 Abdul Rahman berpendapat bahwa akar korupsi adalah keinginan hidup bermewah-mewah dikalangan elit pemegang kekuasaan, sehingga mereka menghalalkan berbagai cara untuk membiayai gaya hidup mereka. 25 Plato dalam bukunya The Laws menyatakan bahwa : “The servants of the nations are to render their services without any taking of presents…..To form your judgment and then abide by it is no easy task, and “tis a man”s surest course to give loyal obedience to the law which commands, “Do no service for a present”. 26
Di Indonesia, korupsi mulai terjadi sejak jaman kerajaan. Bahkan VOC bangkrut pada awal abad 20 akibat korupsi yang merajalela di tubuhnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, banyak petinggi Belanda yang kembali ke tanah airnya, posisi kosong mereka kemudian diisi oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia Belanda (ambtenaar) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan korup. Kultur korupsi tersebut berlanjut hingga masa pemerintah Orde Lama. Di awal pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi. Terlepas dari upaya tersebut, Presiden Soeharto tumbang 23
Robert Klitgaard, “Controlling Corruption”, University of California Press, 1988, halaman 75 World Bank, “Anti-Corruption in Transition 2 – Corruption in Enterprise-Sate Interactions in Europe and Central Asia 1999 – 2002”, halaman 24 25 Ibid, halaman 75 26 Jeremy Pope et al, “The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, The Economic Development Institute, World Bank, 1997 24
karena isu korupsi. Perjalanan panjang korupsi telah membuat berbagai kalangan pesimis akan prospek pemberantasan korupsi, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia. Dalam dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting. Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dilakukan mulai dari tingkat nasional, regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi mendorong pertumbuhan ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral semata, tetapi sebagai permasalahan multidimensional (politik, ekonomi, social dan budaya). Perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap korupsi, yang diikuti dengan menjamurnya kerjasama antar bangsa dalam isu ini menyemai optimisme bahwa perang melawan korupsi adalah perang yang bisa kita menangkan. Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Karakteristik korupsi yang unik, multi dimensi, dan sangat merusak (destruktif) telah menimbulkan pendapat dan penafsiran yang berbedabeda, baik di kalangan praktisi hukum maupun teoritisi hukum, tentang batasan korupsi.Salah satu pengertian korupsi yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya dikemukakan oleh Gunnar Myrdal. Gunnar Myrdal sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adji, memberikan pengertian korupsi dalam arti yang luas, dengan menyatakan: The term ‘corruption’ will be used-in its sense, toinclude not only all forms of ‘improper of selfish exercise of power andinfluence attached to a public office or to the special position one occupies in public life’ but also the activity of the briber 27 27
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), hal. 240.
Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. 28Definisi ini merupakan konsensus yang banyak diacu para pakar di bidang anti-korupsi. Walau demikian, definisi ini
belum sempurna meski cukup membantu dalam membatasi
pembicaraan tentang korupsi. Beberapa kelemahan definisi tersebut di antaranya bias yang cenderung memojokkan sektor publik, serta definisi yang tidak mencakup tindakan korupsi oleh privat walaupun sama-sama merugikan publik. Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu: (1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai akibat kebijakan publik tersebut, dan (3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila satu dari ketiga parameter ini tidak terpenuhi, maka tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi. 29Secara umum, tindakan ilegal seperti penggelapan pajak dan penyelundupan selama tidak melibatkan pejabat publik tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi, padahal secara tidak langsung tindakan ini merugikan publik karena mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Dalam studi Lambsdorff 28
Lindbeck, Assar, “Swedish Economic Policy”, 1975, London Mac Millan Press. dalam Svenson Jakob, “Eight Question about Corruption”, Journal of Economic Perspecvtive, 19:3, 2005, halaman 19 – 42. 29 Michael Nacth, “Internal Change and Regime Stability” dalam “Controling Corruption”, Robert Klitgaard, University of California Press, 1988, halaman 45
disebutkan bahwa besarnya proporsi budget pemerintah terhadap GDP suatu negara berkorelasi positif terhadap tingkat korupsi, 30 barangkali definisi korupsi yang bias pada sektor publik merupakan salah satu jawabannya. Definisi tersebut juga menyamaratakan korupsi di negara yang menganut sistem kerajaan dan demokrasi. Dalam negara kerajaan, raja mempunyai wewenang untuk mengatur distribusi kekayaan negara bagi rakyat, karena pada prinsipnya tidak ada pemisahan antara kekayaan negara dan kekayaan pribadi raja. Sebagai contoh, seorang raja bisa saja menggunakan uang kerajaan untuk urusan pribadi dan ini tidak diangap sebagai tindakan korupsi. Tindakan yang sama akan menjadi kasus korupsi besar apabila terjadi di negara demokrasi. Pertanyaannya, apabila sebuah negara demokrasi dengan tingkat korupsi tinggi mentransform diri menjadi negara kerajaan, apakah berbagai kasus korupsi akan terselesaikan atau dianggap selesai? Menggunakan definisi korupsi yang ada dan alat ukur yang kita miliki saat ini, bisa jadi jawaban dari pertanyaan tersebut adalah ya. Transparansi Internasional mempunyai definisi yang lebih fleksibel tentang korupsi, yaitu “penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain, untuk kepentingan pribadi”. Di sisi lain, Indonesia juga telah mengambil langkah maju dalam mendefiniskan tindak korupsi, dimana jenis tindakan yang termasuk dalam kategori korupsi diperluas, bahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan daftar-daftar
30
.
Johann G. Lambdorff, “Corruption in Empirical Research – A Review”, TI working Paper, 1999
perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi, baik melibatkan maupun tidak melibatkan pejabat publik. Korupsi tidak hanya dianggap sebagai penghambat kegiatan ekonomi tetapi juga akan merusak bangunan moral kemasyarakatan, demokrasi dan tatanan kenegaraan. Berkembangnya korupsi selain disebabkan faktor internal juga faktor eksternal berupa perilaku suap-menyuap yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan multinasional terhadap pejabat lokal.Adapun fokus perhatian korupsi dan upaya-upaya penyelidikan di Indonesia masih terkonsentrasi pada perilaku birokrat yang akhirnya menciptakan bias-bias penanganan korupsi. . Adapun pemberantasan korupsi memberikan dampak yang baik, harus diasumsikan bahwa pemberantasannya memiliki dampak pencegahan, bukan sekadar berapa biaya yang dikorup dan beberapa biaya untuk mengembalikan dana negara tersebut. Penanganan korupsi yang serius dengan berbagai perangkat hukumnya yang tegas, dapat mencegah orang untuk melakukan korupsi. Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.Korupsi terjadi
disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat. 2.5.1 Pergeseran Pandangan Korupsi Pandangan tentang korupsi mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Debat tentang apakah korupsi mampu meningkatkan efisiensi ekonomi cukup mendominasi diskursus tentang korupsi pada periode 1970-an dan awal 1980-an. Salah satu prinsip yang dianut oleh sebagian kalangan saat itu adalah “grease –the –wheel”. Korupsi dipandang oleh para “corruption apologist” sebagai minyak pelumas sistem ekonomi yang tidak berjalan secara efisien akibat tidak berfungsinya birokrasi dikombinasikan dengan peraturan pemerintah yang
tumpang tindih. 31 Dalam kondisi ini, suap dipandang sebagai insentif bagi pegawai publik untuk melayani klien dengan sebaik-baiknya. Ari Perdana, pada bagian lain dari buku ini mengulas bahwa korupsi baru bermanfaat ketika birokrasi benar-benar tidak berfungsi sehingga perlu pelumas. Hal ini bukanlah kondisi ideal bagi mesin ekonomi untuk bekerja, tetapi merupakan second best saja. Dalam kata lain, kondisi ini lebih baik daripada mesin ekonomi tidak berjalan sama sekali. Grease perlu diberikan supaya “roda” (mesin ekonomi) yang macet karena “karatan” bisa berputar. Idealnya, kita menjaga agar “roda” tersebut tidak “karatan”, sehingga tanpa minyak pun bisa berputar tanpa hambatan. Dalam dua puluh tahun terakhir, cara pandang dunia terhadap masalah korupsi mengalami perubahan drastis. Korupsi dipandang sebagai masalah, dan penanganan korupsi mulai menjadi perhatian dunia. Berbagai faktor yang mendorong perubahan paradigma tersebut adalah, Pertama, berakhirnya perang dingin. Pada masa perang dingin, bantuan luar negeri lebih bersifat ideologis daripada ekonomis dan ditujukan untuk mengikat negara berkembang supaya tidak beralih kepada blok lawan. Dalam kata lain, donor asing cenderung tidak menempatkan kualitas program, alokasi dana dan tata kelola yang baik pada saat implementasi sebagai faktor pertimbangan utama diberikannya dana, sehingga kebocoran merupakan efek yang tidak bisa dihindari. Keruntuhan Uni Soviet yang mengakhiri perang dingin merubah praktek tersebut. Donor asing lebih pragmatis dan menuntut agar dana 31
Daniel Kaufmann, “Corruption: The Fact”, Foreign Policy Magazine, sumer 1997. Emanuel Anuoro dan Habtu Braha, dalam papernya berjudul “Corruption and Economic Growth – The African Experience” menyebutkan bahwa Leff (1964), Hutington (1968), Summers (1977) dan Acemoglu serta Verdier (1998) merupakan beberapa pakar yang medukung pandangan bahwa korupsi meningkatkan efisiensi ekonomi.
dipergunakan secara efisien dan akuntable. Isu pemberantasan korupsi mulai mengemuka di kalangan donor asing. Kedua, kejatuhan presiden Filipina, Ferdinand Marcos 32, oleh people power pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya, 1986. Dunia tidak pernah menduga bahwa kejatuhan Marcos akan terjadi demikian cepat. Korupsi yang sangat kronis membuat rakyat Filipina mulai gerah hingga mendorong munculnya berbagai protes. Awalnya protes kecil, tetapi menjadi masal berkat peran gerejagereja sebagai simpul mobilisasi masa (saat itu SMS, e-mail dan Facebook belum ada). Ketika kardinal Sin merestui demo tersebut, protes menjadi semakin masif dan berskala nasional. Pemberitaan oleh berbagai media, seperti BBC dan CNN, membuat dunia turut memberikan tekanan kepada Marcos untuk mundur. Kejadian ini merupakan momentum penting bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia karena dianggap sebagai gerakan murni yang berasal dari, dilakukan oleh dan untuk rakyat, dalam banyak kasus rakyat sering dijadikan sebagai “kendaraan” aktor politik tertentu. Kejadian ini juga mengirimkan pesan yang kuat bagi para penguasa korup di seluruh dunia tentang resiko atas tindakan mereka.Secara tidak langsung, peristiwa tersebut juga menginspirasi masyrakat dunia agar lebih berani bertindak. Kejadian di Filipina, secara tidak disadari, diikuti oleh upaya pemberantasan korupsi di berbagai belahan dunia, termasuk
32
Ferdinand Marcos merupakan presiden ke 2 Filipina, yang memimpin dari 1965 hingga 1986. Media “The Guardian” (http://www.guardian.co.uk/world/2004/mar/26/indonesia.philippines) menyebutkan total uang negara yang ia korupsi mencapai USD 10 miliar. People power menjatuhkannya dari kursi presiden, digantikan oleh Cory Aquino, istri dari lawan politiknya Benigno Aquino yang terbunuh awal 1980-an.
Spanyol, Itali, Perancis, Jepang, Meksiko dan beberapa negara Amerika Latin lainnya. Ketiga, kegagalan konsep pembangunan di banyak negara berkembang, terutama di Afrika. Terlepas dari konsep pembangunan yang disusun secara komprehensif dengan nilai program miliaran dollar, hasil pembangunan ternyata jauh dari harapan. Bahkan, indikator makro ekonomi, dan kualitas hidup penduduk Afrika justru semakin terpuruk dari waktu ke waktu. 33 Paul Collier dalam “The Bottom One Billion” menyebutkan bahwa 80 persen dari satu miliar penduduk termiskin dunia berada di 50 failing states yang kebanyakan berada di Afrika. Masih menurut Collier, kemiskinan tersebut disebabkan oleh empat jebakan yang bersifat fundamental, yaitu: (1) konflik horizontal, (2) land-lock countries (Negara yang tidak memiliki laut, sehingga segala kegiatan ekonomi tergantung kepada negara tetangga. Ketika negara tetangga bermasalah, umumnya land-lock countries turut merasakan dampak secara signifikan) dengan tetangga yang kurang kondusif – negara-negara korup dan penuh konflik, (3) kekayaan alam berlimpah – yang dikelola secara korup dan tidak untuk kepentingan rakyat, dan (4) pemerintahan yang tidak menerapkan good governance. Korupsi sangat erat terkait dengan dua faktor penyebab kemiskinan yang disebutkan terakhir, dan kesimpulan ini sejalan dengan berbagai riset yang menyatakan bahwa korupsi menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan sosial. 33
Menurut UNDP, 25 negara dengan Human Development Index terendah di dunia berada di
Afrika. Pada tahun 1981, sekitar 50 persen rakyat Sub-Sahara Afrika hidup dibawah garis kemiskinan absolut (USD 1 per-hari), tahun 2008, proporsi tersebut berubah menjadi sekitar 80 persen (UN menaikkan batas kemiskinan absolut menjadi USD 1.25 per-hari)
Keempat, munculnya berbagai NGO anti-korupsi di dunia, terutama pada periode 1990-an. Institusi seperti, Transparency International dan lain-lain mengeluarkan berbagai peringkat dan skor persepsi korupsi serta integrity index di berbagai negara di seluruh dunia. Hal ini memungkinkan kita untuk membandingkan secara apple to apple tingkat korupsi di berbagai negara. Terlepas dari berbagai kelemahan sistem pengukuran yang ada, ranking dan skor yang dipublikasikan telah berhasil menggugah berbagai negara untuk meningkatkan upaya pencegahan dan perang melawan korupsi. Mereka ingin “naik kasta” menjadi negara bersih. Hal ini ditujukan untuk menarik investor asing dan untuk menaikkan gengsi pemerintah. Mengingat mayoritas ranking dan skor tersebut merupakan index persepsi, beberapa negara lebih fokus pada kegiatan pembangunan citra dari pada pemberantasan korupsi yang sesungguhnya karena dinilai lebih efektif dalam memperbaiki skor mereka. Kelima, runtuhnya ekonomi negara-negara Asia pada ekonomi krisis 1997. Para corruption apologist sering menggunakan solidnya kinerja ekonomi “Macan Asia” (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura), Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina – negara dengan tingkat korupsi yang tinggi tetapi mempunyai kinerja ekonomi yang menakjubkan – sebagai justifikasi pandangan mereka. Krisis ekonomi tahun 1997 telah meruntuhkan perekonomian negaranegara tersebut, korupsi yang akut makin memperparah keadaan serta mempersulit proses kebangkitan mereka. Hal ini memutar balikkan pandangan paracorruption apologist. Korupsi bukanlah pelumas bagi mesin ekonomi, tetapi sebaliknya merupakan pasir (sand in the economic engine) yang menghambat mesin ekonomi
bekerja dengan baik, akibat inefisiensi serta kesalahan alokasi sumberdaya yang ditimbulkannya. Kalaupun tumbuh, pertumbuhan tersebut tidaklah berkelanjutan. Saat ini, hampir seluruh kalangan bersepakat tentang apa itu korupsi dan dampak korupsi bagi perekonomian negara. Diskursus tentang korupsi lebih banyak diorientasikan untuk membahas cara-cara penanggulangan korupsi serta upaya mempererat kerjasama internasional karena dalam era modern ini, korupsi sering merupakan aktivitas lintas negara dan benua. 2.5.2
Tipologi Korupsi Arvind Jain dalam paper berjudul “Corruption: a Review” secara menarik
menggambarkan area dimana korupsi sering terjadi di negara demokrasi. Pemetaan interaksi antar aktor politik dan ekonomi membantu memberikan gambaran tentang potensi korupsi. 34Untuk menggambarkan kondisi di Indonesia, pandangan tersebut penulis sesuaikan menjadi diagram sebagai berikut:
34
Arvin K Jain, “Corruption: A Review, Journal of Economic Survey”, Vol 15, No 1, Concordia University, hal-52
•
Interaksi 1 Interaksi 1 melibatkan rakyat dan pemimpin negara yang dipilih melalui
proses demokrasi. Dalam interaksi tersebut, terutama di negara demokrasi yang belum mengalami konsolidasi, peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk
politik
uang
untuk
memenangkan
pemilu
sangat
mungkin
terjadi.Umumnya, pemimpin terpilih mempunyai diskresi yang luas dalam menentukan kebijakan pemerintah. Diskresi ini membuka kesempatan bagi para pemimpin untuk mengambil kebijakan yang tidak menomorsatukan kepentingan rakyat, dari mana kekuasaan mereka sesungguhnya berasal. Dalam banyak kasus, para elite politik mengeluarkan kebijakan, termasuk kebijakan ekonomi, yang menguntungkan kelompok tertentu.Dalam kebijakan alokasi anggaran misalnya, elit politik bisa saja mengarahkan penggunaan anggaran pemerintah untuk sektor yang sebenarnya kurang bermanfaat bagi rakyat, tetapi dapat membesarkan bisnis para “investor politik” mereka. Privatisasi adalah contoh klasik dalam kasus ini, dimana kebijakan publik diarahkan untuk mentransfer kepemilikan asset berharga milik publik kepada privat. Walaupun privatisasi berpotensi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang relatif bersih dan kompetitif, tetapi proses privatisasi itu sendiri sangat rawan korupsi. •
Interaksi 2 Interaksi 2 terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) Interaksi antara para birokrat
dengan pemimpin pilihan rakyat, (2) Interaksi antara birokrat dengan anggota
legislatif dan (3) Interaksi antara birokrat dengan rakyat. Interaksi ini membuka peluang terjadinya bureaucratic corruption atau korupsi birokrat. Dalam berbagai kasus, birokrat atau pejabat publik yang dipilih oleh para pimpinan negara sering diposisikan sebagai kepanjangan tangan mereka untuk “memeras” kekayaan negara melalui berbagai institusi pemerintahan maupun perusahaan milik negara (BUMN). Birokrat terpilih diharuskan menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif. Dalam kondisi ini, sangat mungkin korupsi terjadi secara berulang. Interaksi antara pejabat publik dengan anggota legislatif juga membuka peluang terjadinya korupsi. Di Indonesia, seleksi pejabat tingkat tertentu (misalnya Gubernur BI, Direksi BUMN, Ketua MA, Ketua KPK, Ketua BPK dan lain-lain) harus melalui proses fit and proper test di legislatif. Proses ini memunculkan peluang “jual beli” jabatan yang melibatkan kandidat pejabat publik dan anggota legislatif. Setelah terpilih, legislatif berhak untuk mengadakan dengar pendapat dengan para birokrat terpilih, interaksi ini juga membuka peluang terjadinya korupsi. Pada dataran yang lain, interaksi antara pejabat publik dengan rakyat merupakan pintu terjadinya korupsi kecil, pejabat publik korup dari berbagai level mengutip uang dari rakyat. Proses ini sangat mungkin terjadi, mengingat kantor pelayanan publik (Kantor pelayanan KTP, IMB, SIM, ijin usaha, dll) umumnya memonopoli pelayanan publik, padahal monopoli merupakan pintu utama terjadinya korupsi. Dalam banyak kasus, korupsi kecil terjadi secara integratif,
melibatkan karyawan level bawah hingga level atas. Karyawan level bawah diharuskan menyetorkan pendapatannya kepada atasan, sebaliknya atasan memberikan perlindungan kepada bawahan. •
Interaksi 3 Interaksi 3 melibatkan pemimpin terpilih dan anggota legislatif.Berbagai
kebijakan publik memerlukan persetujuan dari legislatif, interaksi ini membuka peluang terjadinya korupsi legislatif (legislative corruption) baik berupa suap kepada atau pemerasan oleh anggota legislatif. Korupsi legislatif relatif mudah terjadi pada negara dengan sistem demokrasi yang belum terkonsolidasi, dimana pembiayaan kampanye politik belum diatur dan diawasi dengan baik. Sistem voting tertutup di lembaga legislatif, seperti yang terjadi di Indonesia, turut memperparah kondisi karena konstituen tidak bisa mengawasi apakah para wakil yang mereka pilih benar-benar mewakili kepentingan mereka. Hal ini merupakan awal munculnya problem akuntabilitas yang akut. Faktor lain yang berkontribusi terhadap fenomena korupsi legislatif adalah tidak adanya kelompok oposisi yang kuat. Kelompok kepentingan tertentu (interest group) mempunyai peluang besar untuk dapat memuluskan ide mereka melalui lobi dengan biaya yang jauh lebih rendah, karena mereka cukup menyogok satu kelompok saja. Di lain pihak, ketiadaan oposisi yang kuat juga menurunkan resiko atas tindakan korupsi para anggota legislatif dan kelompok kepentingan tertentu, akibat tidak adanya pihak oposisi yang berpotensi membongkar penyimpangan yang terjadi. •
Interaksi 4
Interaksi 4 melibatkan rakyat dan anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum. Demokrasi prosedural relatif lebih mudah diwujudkan, tetapi mewujudkan demokrasi substansial bukanlah perkara mudah. Sebagai contoh, India telah memiliki demokrasi tanpa henti sejak tahun 1950 (tiga tahun setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1947), tetapi hingga saat ini demokrasi masih belum merealisasikan janjinya yaitu kemakmuran yang adil bagi seluruh rakyat. Salah satu prakondisi bagi terwujudnya demokrasi substantif adalah pengaturan politik uang dan pendanaan kampanye yang baik. Di negara yang menganggap politik uang merupakan fenomena biasa, seringkali politisi menyuap rakyat agar mereka terpilih dalam pemilu, sehingga keterpilihan mereka tidak ditentukan oleh kinerja tetapi oleh kemampuan finansial mereka.Tentu saja dari para “investor politik”, dari mana uang tersebut bersumber, mengharapkan “pengembalian investasi” berupa kebijakan yang menguntungkan mereka. 2.5.3 Grand Corruption dan Petty Corruption Terdapat ratusan, bahkan ribuan jenis tindakan yang bisa kita kategorikan sebagai korupsi.Tindakan-tindakan tersebut dapat kita kelompokan dalam dua kategori besar yaitu grand corruption atau korupsi besar dan petty corruption atau korupsi kecil. Tidak ada landasan teori yang pasti sebagai dasar penggolongan tersebut, tetapi prinsip yang dapat dijadikan acuan adalah besaran dana, modus operandi serta level pejabat publik yang terlibat di dalamnya. a.
Grand Corruption
Grand corruption atau korupsi besar adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi disebut juga corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan, karena para pelaku umumnya sudah berkecukupan secara materiil. Korupsi besar menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maupun non-finansial. Modus operandi yang umum terjadi adalah kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan para pengambil kebijakan publik. Melalui pengaruh yang dimiliki, kelompok kepentingan tertentu mempengaruhi pengambil kebijakan guna mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan publik, fenomena ini sering disebut dengan state capture atau elit capture. State caputer dapat terjadi dalam berbagai bentuk, World Bank – dalam bukunya Anti-Corruption in Transition 2, menjabarkan beberapa bentuk state capture yaitu: (1) suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi perundangan, (2) suap kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik, (3) suap kepada lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait dengan kasuskasus besar, (4) suap kepada pejabat bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan moneter, dan (5) sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik. Kerugian terbesar bagi negara dan rakyat tidak saja diakibatkan oleh besarnya nilai uang yang hilang, tetapi juga bergesernya orientasi kebijakan publik dari untuk kepentingan rakyat menjadi untuk kepentingan segelintir individu.
Dalam jangka menengah dan panjang, grand corruption akan melahirkan problem struktural yang sulit untuk ditata ulang, seperti struktur ekonomi yang tidak efisien serta struktur politik yang koruptif. State capture akan menjadikan demokrasi sebagai quasai sistem kerajaan, dimana tidak ada pembedaan yang jelas antara kekayaan/kepentingan para elit politik dan kekayaan/kepentingan negara.Ketika ini terjadi, sangat kecil peluang bagi suatu bangsa untuk meluruskannya.Sebagai contoh, Indonesia memerlukan krisis ekonomi dan guncangan sosial politik yang dahsyat pada tahun 1998, untuk bisa menggeser struktur ekonomi dan politik ke arah yang benar. Contoh klasik korupsi besar adalah privatisasi asset negara secara tidak transparan dan fair, pemberian konsesi eksploitasi tambang dan kekayaan alam lainnya kepada kelompok tertentu, proses tender proyek skala besar yang tidak transparan, keringanan pajak dan biaya masuk untuk sector dan kelompok tertentu, dan bailout secara pilih kasih kepada perusahaan tertentu agar lolos dari jebakan krisis ekonomi. b. Petty corruption Petty corruption atau korupsi kecil, sering disebut survival corruption atau corruption by need, adalah korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah guna mendukung kebutuhan hidup sehari-hari, akibat pendapatan yang tidak memadai. 35 Korupsi kecil merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara yang gagal menyusun dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat.Tentunya, kita sepakat bahwa korupsi dengan alasan 35
Edith Hamilton and Hutington Cairns “The Laws”, dalam “Controling Corruption”, Robert Klitgaard, University of California Press, 1988, halaman 7
apapun merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan, tetapi penulis memandang kesalahan mendasar penyebab maraknya korupsi kecil di dalam birokrasi adalah belum dilaksanakannya reformasi birokrasi yang mampu menerapkan merit system yang menyejahterakan para pegawai pemerintah. Pemberantasan
korupsi
kecil
sama
strategisnya
dengan
pemberantasan grand corruption mengingat: pertama, kendati nilai kerugian perkejadian relatif kecil, tetapi dikarenakan jumlah kejadian yang masif, total kerugian yang diderita oleh negara dan masyarakat akibat korupsi ini sangat besar. Kedua, korupsi kecil menyangkut sisi kehidupan sehari-hari masyarakat. Apabila tidak segera ditanggulangi, masyarakat akan menganggap korupsi sebagai bagian dari keseharian mereka yang akan menciptakan masyarakat yang permisif dan toleran terhadap korupsi. Apabila ini terjadi, upaya untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi akan semakin sulit dilaksanakan. Ketiga, korupsi kecil menyamai korupsi besar. Pejabat tingkat bawah, yang terlibat korupsi kecil, dengan berjalannya waktu akan menjadi pejabat tinggi dengan diskresi kekuasan yang besar. Ada kecenderungan seseorang untuk mengulangi kejahatan
yang pernah
dilakukannya sepanjang ada
kesempatan, sehingga meningkatkan potensi terjadinya korupsi besar. Salah satu pertanyaan pertanyaan penting di sini adalah apakah benar menaikan gaji pegawai bisa menekan tingkat korupsi dan apakah gaji pegawai negeri saat ini terlalu rendah. Dalam penelitian Treisman dan Evans ditunjukkan bahwa tidak ada indikasi kuat bahwa gaji yang lebih tinggi akan menurunkan
tingkat korupsi. 36Beberapa survei termasuk yang dilakukan oleh Sakernas membuktikan bahwa sebenarnya pegawai negeri menerima pendapatan relatif lebih tinggi dari pegawai swasta, apabila memasukan komponen tunjangan di luar gaji pokok. Dalam kata lain, gaji pegawai negeri per-unit kontribusi yang mereka lakukan sebenarnya sudah relatif kompetitif. Pada abad ke-18, Swedia, salah satu negara dengan tingkat korupsi paling rendah di dunia saat ini, merupakan negara yang paling korup di Eropa, upaya menaikan gaji pegawai pemerintah dikombinasikan dengan deregulasi di sektor kepegawaian telah melahirkan pegawai-pegawai pemerintah yang jujur dan kompeten. 37 Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa bahwa kenaikan gaji saja tidaklah cukup, upaya menekan korupsi kecil hendaknya dilakukan melalui reformasi birokrasi yang menyeluruh. 2.5.4
Model Analisa Korupsi Semenjak korupsi bergeser dari isu pinggiran menjadi isu sentral dalam
banyak diskurus, berbagai konsep pemodelan korupsi bermunculan. Pemodelan yang tepat akan membantu kita, tidak hanya dalam memahami proses terjadinya korupsi, juga membantu dalam upaya menekan tingkat korupsi. Secara prinsip menekan tingkat korupsi dapat dilakukan dengan menurunkan (menaikkan) faktor-faktor yang mendorong (menghambat) terjadinya korupsi. Model merupakan simplifikasi dari fenomena yang sesungguhnya. Kasus korupsi riil pastilah jauh lebih kompleks, sehingga diperlukan proses adaptasi sebelum model diterapkan dalam dunia nyata. Hal lain, model bersifat unik 36
http://www.merriam-webster.com/thesaurus/corruption, diakses pada tanggal 15 Juli 2009 The Role of a National Integrity System in Fighting Corruption, Peter Langseth et al, The Economic Development Institute of The World Bank, 1997 37
sehingga belum tentu model yang tepat untuk suatu kasus korupsi dapat diimplementasikan dalam kasus yang sama dilingkungan yang berbeda. a) Willingness and opportunity (keinginan dan kesempatan) Korupsi hanya akan terjadi jika dua hal terjadi secara bersamaan, yaitu adanya keinginan untuk korup (willingness to corrupt) faktor yang sifatnya internal tetapi bisa dipengaruhi oleh hal-hal eksternal dan kesempatan untuk korupsi (opportunity to corrupt) faktor yang sifatnya eksternal. Manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin. Ekonom menyebut fenomena ini sebagai utility maximization, dalam banyak kasus prinsip ini sulit dibedakan
dengan
fenomena
selfish
atau
mengutamakan
diri-
sendiri. Selfish merupakan awal munculnya sifat greed atau serakah, akar dari mentalitas korup. Dalam kata lain, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada benih atau kecenderungan untuk melakukan tindakan korup. Keinginan untuk korup merupakan refleksi dari kualitas moral masingmasing individu.Manusia bukanlah malaikat yang mempunyai moralitas tinggi yang stabil.Manusia jujur pun bisa saja berbuat tidak jujur karena keterpaksaan. Dari sisi reliabilitas, upaya pemberantasan korupsi yang menitikberatkan pada pembangunan moral saja tidaklah reliable. Selain berfluktuasi, kualitas moral seseorang dapat berubah secara drastis seiring dengan berjalannya waktu. Banyak koruptor yang ketika masih muda atau pada periode awal kepemimpinannya adalah individu yang mempunyai integritas
tinggi, banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat secara demokratis karena mengangkat isu pemberantasan korupsi, tetapi jatuh akibat kasus korupsi. Opportunity merupakan faktor kedua yang memungkinkan korupsi terjadi. Upaya menekan kesempatan terjadinya korupsi bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem, misalnya dengan menerapkan sistem yang lebih akuntable. Proses tender terbuka terkait dengan pemesanan barang atau penentuan kontraktor merupakan contoh klasik upaya tersebut. Contoh lain adalah menerapkan sistem pemungutan suara terbuka di legislatif sehingga konstituen dapat melakukan pengawasan terhadap para wakilnya dengan lebih baik. Walaupun sistem memegang peran penting terutama karena sifatnya yang lebih reliable, akan tetapi tanpa dukungan individu yang bermoral tentunya hal ini akan sia-sia. Sebagus apapun sistem yang dibangun, pihak-pihak yang bermoral korup selalu saja dapat berkolusi untuk mengakali sistem yang sudah dibangun. The man behind the gun memegang peran kunci. Di tangan polisi pistol bisa menekan tingkat kejahatan, tetapi di tangan penjahat pistol akan menimbulkan petaka. b) Model CDMA/V Model untuk menganalisa korupsi yang dianggap paling klasik dan populer adalah model CDMA, yang sering dibahas oleh para pakar anti-korupsi, salah satunya Robert E. Klitgard.Menurut model ini, korupsi (C) merupakan fenomena yang dipengaruhi oleh tingkat diskresi (D), monopoli (M) dan akuntabilitas (A). Karena korupsi mempunyai makna yang beragam di berbagai kebudayaan, faktor etika memegang peranan penting.Berbagai riset terkait dengan Corruption
Perception Index (CPI) menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya menjelaskan 75 persen dari variasi yang ada dalam CPI tersebut. 38 Corruption = f {(Discretionary + Monopoly – Accountability)/Values} 39 •
Discretionary (diskresi)
Discretionary (diskresi) merupakan keluasan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mengambil keputusan. Semakin tinggi posisi seorang pemimpin semakin tinggi pula diskresi yang dimilikinya, dalam pengertian semakin banyak keputusan yang harus dia ambil yang didasarkan pada kreativitas, justifikasi, dan pemahaman si pimpinan; semakin besar diskresi semakin tinggi potensi terjadinya korupsi. Kepemimpinan otoriter merupakan contoh kasus diskresi mutlak, di mana semua perundangan dan birokrasi tunduk kepada keinginan pemimpin, akibatnya korupsi merupakan fenomena yang hampir pasti kita temui. Hal ini diakibatkan oleh kaburnya batas antara kepentingan individu pemimpin dan kepentingan negara, yang pada gilirannya akan mengaburkan batas antara kekayaan individu pemimpin dengan kekayaan negara. Upaya mengurangi dikresi dapat dilaksanakan dengan mengeluarkan job description yang jelas kepada pejabat publik atau staf lainnya, diikuti dengan proses approval yang sitematis sebelum keputusan diambil serta diakhiri dengan proses monitoring dan evaluasi. • 38
Monopoly (monopoli)
Standholz W. and R. Tageepera, “Corruption, Culture and Communism”, International Review of Sociology – Vol. 15, No. 1, March 2005, hal 109 – 131 39 Gabor Peteri, “Finding the Money”, Open Society Institute, TIRI, Center for Policy Studies (Central Europe University, Hungary), 2008, halaman 9
Monopoli atas produk atau jasa akan meningkatkan posisi tawar pemegang monopoli di hadapan para klien atau konsumen. Dalam bidang ekonomi, pemegang monopoli (produsen) dapat memanfaatkan posisi tawar tersebut untuk memaksimalkan keuntungan, misalnya dengan menaikkan harga guna jual produk. Dalam pasar yang monopolistis konsumen tidak mempunyai pilihan lain, sehingga kenaikan harga tersebut tidak terlalu berkorelasi dengan volume penjualan barang dan jasa. Menggunakan logika berpikir yang sama, dalam pelayanan publik seperti pengurusan KTP, SIM, IMB, dan ijin usaha, di mana institusi pemerintah memegang monopoli, pegawai pemerintah dapat dengan mudah menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki. Penyalahgunaan yang mereka lakukan dapat berupa mengurangi jumlah, mengurangi kualitas atau bahkan tidak memberikan layanan sama sekali. Singkatnya, pelayanan hanya akan diberikan bagi mereka yang memberikan uang pelicin, atau kualitas dan kecepatan layanan dipengaruhi oleh nilai suap yang diterima; hal ini merupakan tindakan korup. Salah satu upaya untuk menekan korupsi adalah dengan mentransformasi monopoli menjadi kompetisi. Dalam kasus kantor pelayanan publik misalnya, solusi yang mungkin adalah dengan menyediakan beberapa kantor pelayanan publik, sehingga publik mempunyai pilihan. Pada gilirannya, hal ini akan menurunkan posisi tawar pegawai pemerintah dimata publik yang akan menurunkan tingkat korupsi. •
Accountability (akuntabilitas)
Makna akuntabilitas umumnya terkait dengan pemberian hadiah. Boven memaknai akuntabilitas sebagai kewajiban untuk menjelaskan dan menjustifikasi suatu perbuatan atau keputusan yang diakibatkan oleh diskresi yang dimiliki oleh seorang individu. 40Akuntabilitas adalah fungsi diskresi, artinya birokrat harus diberikan diskresi terlebih dahulu baru kemudian dituntut untuk akuntabel terhadap bagaimana mereka menggunakan diskresi yang dimilikinya. 41 Masih menurut Boven, pejabat harus akuntabel dihadapan publik. Untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut, paling tidak tiga hal berikut terkait dengan interaksi antara pejabat dengan publik harus terpenuhi: Pertama, pejabat berkewajiban untuk melaporkan berbagai aktivitasnya kepada publik; kedua, publik (melalui perwakilannya) mempunyai hak untuk menanyakan lebih lanjut apabila terdapat data atau informasi yang belum cukup; ketiga, publik – melalui wakilnya, mempunyai kekuasaan untuk menilai laporan tersebut, meliputi menerima atau menolak laporan, mengkritisi kebijakan, dan secara terbuka mengkritisi pejabat bersangkutan. Variabel yang mempengaruhi sukses tidaknya penerapan akuntabilitas di antaranya: (1) Transparansi, yaitu keterbukaan bagi publik untuk menyelidiki, mengkritisi dan menganalisis kebijakan publik; (2) akses, yaitu adanya akses bagi publik terhadap informasi yang relevan, kapanpun, di manapun oleh siapapun dengan biaya yang sangat rendah; (3)responsiveness, yaitu kecepatan dalam 40
Mark Boven, “Analysing and Assessing Public Integrity: A Conceptual Framework”, European Government Paper. Dapat diakses di www.connex-network.org/eurogic//pdf/egp-connex-c-0601.pdf. , dalam “Finding the Money” oleh Gabor Peteri, TIRI, CEU, Open Society Institute, 2008 41 Serdar Yilmaz dan Yakup Beris, “Good Governance and the Emergence of a New Accountability Agenda”, dalam “Finding the Money”, Edited by Gabor Peteri, Open Society Institute, TIRI, Center for Policy Studies (Central Europe University, Hungary), 2008, halaman 31
melakukan follow up atas kritik, masukan dan pendapat dari publik; (4) kontrol, yaitu berfungsinya kontrol yang ada dalam masyarakat – media, NGO, dll – terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip akuntabilitas oleh pejabat publik; (5) tanggungjawab, yaitu tanggungjawab pegawai dan pejabat publik untuk bekerja secara professional sesuai dengan standar dan kode etik yang berlaku. 42Secara sederhana, formula untuk membangun akuntabilitas adalah:Akuntabilitas = f{transparansi, akses informasi, responsiveness, kontrol, tanggungjawab} •
Values (nilai-nilai)
Values atau nilai-nilai masyarakat, seperti materialism dan familism, mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menyusun prioritas hidupnya, temasuk dalam memandang korupsi. Di Sisilia, Italia Selatan, masyarakat memandang loyalitas terhadap keluarga sebagai sesuatu yang sangat penting. Pandangan ini menyebabkan masyarakat Sisilia akrab dengan favoritism, yaitu mementingkan kelompok tertentu terutama keluarga, yang ini merupakan akar munculnya korupsi. 43Selanjutnya, Lipset dan Lenz menambahkan bahwa dalam masyarakat yang terlalu mengagungkan kesuksesan materi, tetapi tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh anggota masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi, cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi. 44 Selain itu, nilai-nilai masyarakat yang mendorong self expression cenderung mendorong terciptanya integritas di kalangan para birokrat, dalam kaitan dengan korupsi, integritas pemerintah merupakan faktor kunci dalam 42
Diadopsi dan disesuaikan dari Serdar Yilmaz dan Yakup Beris, “Good Governance and the Emergence of a New Accountability Agenda, , 2008, dalam “Finding the Money” oleh Gabor Peteri, TIRI, CEU, Open Society Institute, 2008 43 Banfield, E. “The Moral Basis of a Backward Society”, Free Press, 1958, Chicago Illinois 44 Lipset S. M. dan Lenz G.S., “Corruption, Culture and Markets”, George Mason Universoty, 1999
menekan tingkat korupsi. Standholz dan Tageepera melakukan survei terhadap tingkat korupsi di negara-negara komunis dan non-komunis, dan menyimpulkan bahwa komunisme mengakibatkan rendahnya self expression di kalangan masyarakat, sehingga tingkat korupsi cenderung tinggi. 45 Pendapat-pendapat tersebut menunjukan bahwa nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat memegang peran penting terhadap bagaimana masyarakat memandang korupsi, serta bagaimana mereka memprioritaskan sukses secara materi dengan keterlibatan dalam upaya memberantas korupsi. Hal ini merupakan justifikasi untuk memasukkan faktor nilai-nilai dalam formula CDMA/V. c) Cost and Benefit Analysis (analisa biaya dan manfaat) Manusia adalah makluk rasional yang selalu mengambil tindakan berdasarkan insentif yang diterimanya. Korupsi merupakan keputusan rasional dan kalkulatif para pelaku. Koruptor memutuskan untuk melakukan korupsi jika insentif untuk korup lebih besar daripada insentif untuk jujur, atau dalam kata lain biaya yang ditanggung atas perbuatan korup lebih rendah dari pada manfaat yang diperoleh atas korupsi yang dilakukan. Sebaliknya, apabila biaya lebih besar daripada manfaat yang diperoleh, koruptor tidak akan melakukan tindakan korupsi.Singkatnya:
Korupsi dilakukan jika net
benefit
of
corruption >
0;
korupsi tidak dilakukan jikanet benefit of corruption < 0; Net benefit of
45
Standholz W. and R. Tageepera, “Corruption, Culture and Communism”, International Review of Sociology – Vol. 15, No. 1, March 2005, halaman 109 – 131
corruption (nilai manfaat bersih korupsi) yang merupakan selisih antara manfaat dan biaya korupsi dapat diukur dengan rumus pendekatan sebagai berikut: 46 Net benefit of corruption = f {Manfaat financial, manfaat non financial, hukuman, biaya sosial, kehilangan pekerjaan, kehilangan karir, perasaan tidak tenang atau dosa, penurunan semangat kerja} Matrik 1: Manfaat dan Biaya Korupsi (perspektif Koruptor) Biaya Korupsi
Manfaat Korupsi
•
Hukuman penjara kalau tertangkap
•
Malu
kalau
tertangkap
(biaya
•
Perasaan
tidak
tenang
dan
Posisi sosial yang tinggi karena dianggap berhasil secara materi
bersalah/dosa
•
Perasaan solider dengan teman
Kehilangan pekerjaan, pendapatan
•
Membalas hutang budi kepada
& karir apabila tertangkap •
Pujian &ucapan terima kasih dari klien
•
sosial) •
•
Mematahkan bekerjakeras
semangat dan
klien untuk
berkompetisi
secara sehat •
Manfaat
finasial
berupa
pendapatan tambahan dari korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi akan efektif apabila berbagai mekanisme anti korupsi mampu menekan manfaat korupsi dan pada saat yang bersamaan meningkatkan biaya bagi pelaku.
46
Diadopsi dari Arvin K Jain, “Corruption: A Review”, Journal of Economic Survey, Vol 15, No 1,
Halaman 81, Concordia University.
Meningkatkan biaya korupsi bagi pelaku bisa dilakukan dengan menaikan gaji pegawai, memperberat hukuman bagi para koruptor, baik itu hukuman pidana maupun sangsi lain berupa kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan berkarir dan kehilangan pendapatan. Mempermalukan para koruptor di depan publik merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh koruptor. Permasalahan muncul manakala korupsi sudah begitu merajalela sehingga publik menganggap korupsi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam kata lain biaya sosial akibat aktivitas korupsi menjadi rendah yang pada gilirannya akan mempersulit upaya pemberantasan korupsi. Tanpa upaya pemberantasan yang sistematis korupsi akan benar-benar menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, yang terjadi kemudian adalah jebakan korupsi (corruption trap) di mana tindakan korup akan menciptakan korupsi yang lain yang akhirnya menurunkan biaya sosial akan men-discourage praktek yang jujur. 47 Upaya untuk menurunkan manfaat korupsi, misalnya untuk kasus pelayanan publik, bisa dilakukan dengan menurunkan biaya administrasi dan meningkatkan kecepatan pelayanan publik. Peningkatan kualitas dan efisiensi ini akan menurunkan nilai tawar para pejabat korup sehingga menurunkan biaya korupsi. Bahkan, ketika proses pelayanan sudah sangat efisien dan nyaman, insentif untuk terlibat dalam aktifitas korup baik dari sisi pejabat publik maupun masyarakat akan menurun tajam.
47
Rose Ackerman, “Corruption and Government”, Cambridge University Press, 1999, halaman 3
Upaya untuk menaikkan biaya dan menurunkan manfaat korupsi bagi koruptor tersebut tidak akan optimal apabila probabilitas terungkapnya kasus korupsi sangat rendah. Rendahnya probabilitas penangkapan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu: (1) tidak efektifnya mekanisme pengungkapan korupsi, dan (2) rendahnya kapasitas mekanisme penangkapan korupsi. Walaupun mekanisme pengungkapan kasus korupsi telah efektif, tetapi jika tidak ditunjang oleh kapasitas yang besar maka jumlah korupsi baru akan lebih banyak daripada jumlah kasus yang terungkap, sehingga probabilitias pengungkapan kasus korupsi tetap saja rendah. Fenomena KPK dan Tipikor di Indonesia bisa menjelaskan kondisi tersebut di atas.Terlepas dari kemampuan kedua institusi tersebut dalam mengungkap berbagai kasus korupsi, keterbatasan kapasitas membuat begitu banyak kasus korupsi tidak tertangani dengan baik. d) Supply and Demand It takes two to tango adalah ekspresi yang sering diungkapkan untuk menggambarkan bahwa banyak aktifitas hanya bisa dilakukan apabila terdapat dua pihak, sama halnya kalau kita ingin menari tango. Seluruh aktifitas ekonomi juga tidak terlepas dari prinsip tersebut. Aktifitas ekonomi hanya akan berjalan apabila ada supply atau produksi barang dan jasa, dan ada demand yaitu kebutuhan dari para konsumen. Fenomena korupsi juga dapat dianalisa menggunakan prinsip tersebut. Korupsi identik dengan jasa yang diperjualbelikan antara pembeli dan penjual, hanya saja, korupsi merupakan produk yang merugikan siapapun yang tidak
terlibat dalam transaksi; dalam kata lain, korupsi dibangun di atas negative externalities, yaitu kerugian yang harus ditanggung oleh orang lain. Dalam
kasus
korupsi
birokrasi
misalnya,
birokrat
berperan
sebagai supplier (produsen) jasa korupsi, sedangkan klien baik itu individu maupun perusahaan swasta, berperan sebagaibuyer (konsumen). 48Dalam suatu lingkungan tertentu, jumlah supply dan demand korupsi akan berada dititik equilibrium, yang menentukan volume dan harga korupsi yang diperdagangkan. Strategi pemberantasan korupsi yang efektif melibatkan upaya dari sisi supply dan demand, yaitu upaya untuk menekan demand dan supply korupsi. Supply dan Demand Korupsi
Diagram 2 menjelaskan upaya penurunan supply dan demand korupsi dimana akan terlihat penurunan volume korupsi. Pada kondisi awal, sebelum upaya pemberantasan korupsi dilaksanakan, supply korupsi berada sepanjang
48
Beberapa pengamat menyebut pegawai pemerintah sebagai konsumen sedangkan klien (perusahaan &individu) sebagai produsen.Penulis menggunakan sudut pandang berbeda dimana pegawai pemerintah sebagai supplier dan klien (perusahaan & individu) sebagai konsumen; logika yang dipakai, supplier adalah pihak yang meproduksi barang atau jasa dan menerima pembayaran dalam transaksi yang dilaksanakan.
garis s1, sedangkan demand korupsi berada pada sepanjang garis d1.Kedua garis bertemu di e1, meninggalkan korupsi pada sebanyak q1 dengan harga korupsi sebanyak p1, dengan kerugian langsung sebesar area 0-p1-e1-q1. Ketika upaya penurunan supply korupsi dilaksanakan, tanpa upaya penurunan demand,
garis s1 bergeser
ke s2,
garis
d1
tetap,
sehingga
menggeser equilibrium (titik keseimbangan) menuju e2* dengan harga korupsi mengalami kenaikan menjadi p2* dan jumlah korupsi menjadi q2. Jumlah korupsi turun tetapi harga korupsi mengalami kenaikan (birokrat menaikkan biaya korupsi akibat risiko korupsi makin tinggi), sehingga kerugian langsung sebesar area 0p2*-e2*-q2. Sedangkan ketika upaya penurunan demand korupsi dilaksanakan, tanpa upaya penurunan supply, garis d1 bergeser ke d2, garis s1 tetap, sehingga menggeser equilibrium menuju e2 dengan harga korupsi mengalami penurunan (pengusaha makin takut/enggan menyuap, sehingga demand korupsi turun, birokrat menurunkan harga korupsi untuk menarik perhatian supaya pengusaha tetap terlibat dalam korupsi, dan mereka tidak kehilangan pendapatan tambahan) menjadi p2 dan jumlah korupsi menjadi q2. Kerugian langsung sebesar area 0-p2e2-q2. Penurunan supply dan demand
korupsi
secara
sendiri-sendiri
akan
menurunkan jumlah kerugian langsung akibat korupsi, tetapi tidak menghasilkan penurunan yang siknifikan, hal ini terlihat dari luasan 0-p2*-e2*-q2 dan luasan 0p2-e2-q2 yang tidak jauh lebih kecil daripada luasan 0-p1-e1-q1.
Upaya yang mengkombinasikan penurunan supply dan demand secara simultan akan mampu menurunkan jumlah korupsi secara siknifikan. garis d1 bergeser
ke d2, garis s1bergeser
menuju e3 dengan
harga
ke s2, sehingga
korupsi
menjadi
p3.
menggeser dan
equilibrium
jumlah
korupsi
menjadi q3. Kerugian langsung akibat korupsi mencapai 0-p3-e3-q3.Sangat siknifikan dibawah kondisi semula yang digambarkan dengan luasan 0-p1-e1-q1. Penjelasan dalam box di atas menyimpulkan bahwa penurunan jumlah korupsi hanya akan signifikan jika dilakukan secara bersama-sama dari sisi supply maupun demand. Beberapa
strategi
untuk
mengurangi supply korupsi
di
antaranya:
menerapkan merit system pada birokrasi; meningkatkan gaji para birokrat; memperketat peraturan dan mengawasi implementasinya; menerapkan kode etik; membuka pusat aduan bagi publik dengan menjaga kerahasiaan pelapor (semacam whistleblower
rule);
membentuk ombudsman;
menerapkan citizen
report card; rotasi atau mutasi karyawan secara periodik untuk mencegah terciptanya korupsi sistemik; serta memperberat hukuman bagi birokrat korup. Sedangkan strategi untuk mengurangi demand korupsi dapat dilakukan dengan cara: menyederhanakan berbagai peraturan terkait dengan pelayanan publik; memberikan penjelasan tentang prosedur pelayanan publik kepada masyarakat; membuka beberapa kantor untuk jenis pelayanan yang sama (mendorong kompetisi); mengurangi interaksi face to face antara publik dan pegawai pemerintah, misalnya melalui pengembangan sistem online di website pemerintah; memperberat hukuman bagi penyuap yang tertangkap; dan
mengurangi pembayaran menggunakan kas, diupayakan sebisa mungkin pembayaran melalui transfer, cek atau credit card sehingga alur dana dapat dilacak. e. Principal Agent Problem Principal-agent problem sering disebut sebagai agency dilemma. Principal didefinisikan sebagai pihak yang merupakan pemilik dari suatu institusi (beneficiary holder), sebutlah perusahaan atau institusi pemerintah, sedangkan agent adalah staf yang di tunjuk untuk mengelola dan menjalankan aktifitas. Problem muncul ketika ada perbedaan kepentingan antara principal dan agen, dimana principal bertujuan untuk mengembangkan bisnis atau melaksanakan kegiatan secara efisien, sedangkan agent bertujuan untuk meningkatkan standar hidup dirinya dan keluarganya. Dalam banyak kasus, tidak semua informasi yang dimiliki oleh agen juga dimiliki oleh principal (inilah yang disebut dengan assimetric information) sehingga sangat memungkinkan bagi agent untuk memanipulasi informasi untuk kepentingan dirinya. Principal bisa mengurangi asymmetric information dengan menempatkan pengawas, tetapi tentunya strategi ini mempunyai banyak keterbatasan, diantaranya adalah biaya yang mahal. Selain itu, berapa jenis tugas tidak memungkinkan
dilaksanakannya
pengawasan,
terutama
tugas-tugas
yang
melibatkan street level bureaucrat, atau birokrat yang beroperasi di masyarakat 49;
49
Konsep Street Level Bureacurat dipopulerkan salah satunya oleh Michael Lipsky. Salah satu bukunya “Street-level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services”, New York: Russell Sage Foundation 1980, banyak mengulas permasalahan ini.
misalnya polisi, agen rahasia, inteligent, pengawas pantai, polisi pengawas hutan dan lain-lain. . 2.5.5 White-collar crime dan Top Hat Crime Vijay K. Shunglu berpendapat sebagian besar praktik korupsi adalah kasus “white-collar corruption” 50 Hal ini dikarenakan “white-collar worker” memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan korupsi dibandingkan dengan “bluecollar worker” 51 Sutherland
menyatakan
bahwa
“a
white
collar
crime
was
a
crimecommitted by a person of respectability and high social status in the course ofhis occupation.” 52 Menurut IS Susanto, “white-collar crime” dapat dikelompokkan ke dalam: 1. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kalangan profesi dalam melakukan pekerjaannya. 2. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya 3. kejahatan korporasi 53 Berbeda dengan IS Susanto yang mengelompokkan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah ke dalam kelompok kejahatan yang disebut sebagai “white-collar crime”, Spinellis justru mengelompokkan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah ke dalam kelompok “top hat crimes”. “Top hatcrimes” adalah kejahatan yang dilakukan oleh “politicians”, yaitu orang-orang yang : a. take part in politics, dan 50
Vijay K. Shunglu, “India’s Anticorruption Strategy,” in Regional Strategies and International Instrument to Fight Corruption, page 17. 51 Loc.cit. 52 http://www.WhiteCollarCrimeFYI.com. 53 Susanto, Kriminologi, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1995), hal. 83.
b. hold public offices. 54 Spinellis mengatakan bahwa kejahatan korupsi yang mereka lakukan berupa, “…offences against the public property or the public revenue, such asembezzlement of public property, use of public means for personal or ingeneral for private purposes, to which the profit of a political party should beincluded.” 55 2.5.6 Faktor-faktor penyebab Korupsi Sebelum berbicara mengenai penanggulangan korupsi, faktor-faktor penyebab korupsi perlu diketahui masyarakat untuk lebih mengefektifkan upaya penanggulangan korupsi.Hal tersebut sebagaimana dikemukakan Bonger, seperti dikutip oleh Andi Hamzah, bahwa untuk memberantas kejahatan harus dicari sebabnya dan menghapuskannya. 56Teori kriminologi yang berkaitan dengan sebab-sebab tindak pidana korupsi perlu dipaparkan sebelum pembicaraan terfokus pada faktor-faktor penyebab korupsi yang dikemukakan oleh para ahli.Salah satu teorikriminologi tersebut adalah differential association theory. Sutherland, sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, menjelaskan proses terjadinya perilaku kejahatan dengan mengajukan sembilan proposisi sebagai berikut: a) Tingkah laku kriminal dipelajari. b) Tingkah kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi
54
Dionysios Spinellis, “Crime of Politicians in Office (or “Top Hat Crimes”),” General Report for the Round Table Discussion at the XV International Congress of Penal Law (Tuesday September 6, 1994), hal. 17. 55 Ibid., hal. 20. 56 Andi Hamzah, Korupsi Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal 15
c) Bagian penting dari mempelejari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim. d) Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar. e) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan: menyukai atau tidak menyukai. f) Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan: lebih suka melanggar daripada menaatinya. g) Asosiasi diferensial ini bervariasi bergantung pada frekuensi, durasi,prioritas, dan intensitasnya. h) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan antikriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar. i)
Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhankebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi karena tingkah laku nonkriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama. 57 Setelah dijabarkan teori kriminologi mengenai sebab-sebab kejahatan
tersebut di atas maka sajian berikutnya akan lebih terperinci membicarakan tentang berbagai faktor penyebab korupsi yang dikemukakan oleh para ahli. Syed
57
Romli Atmasasmita, Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT Refika Aditama, 1992), hal. 24-25.
Hussein Alatas, sebagaimana dikutip Evi Hartanti, menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah: a) Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi. b) Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika. c) Kolonialisme, di mana suatu pemerintah asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. d) Kurangnya pendidikan. e) Kemiskinan. f) Tiadanya tindak hukuman yang keras. g) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi.Struktur pemerintahan. h) Perubahan radikal, di mana tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional. Keadaan masyarakat di mana korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan masyarakat keseluruhan. 58 Dari penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab korupsi tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa masalah korupsi merupakan masalah yang multidimensi tidak dapat ditanggulangi dengan hanya mengandalkan kemampuan hukum pidana. Selain penjelasan mengenai hal-hal koupsi juga terdapat data mengenai peringkat korupsi Indonesia, Berikut ini adalah daftar 16 Negara
58
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 19.
Terkorup di Asia Pasifik oleh Political & Economic Risk Consultancy (PERC) 2010: 1. Indonesia (terkorup) 2. Kamboja (korup) 3. Vietnam (korup) 4. Filipina (korup) 5. Thailand 6. India 7. China 8. Taiwan 9. Korea 10. Macau 11. Malaysia 12. Jepang 13. Amerika Serikat (bersih) 14. Hong Kong (bersih) 15. Australia (bersih) 16. Singapura (terbersih) Catatan * : Negara Asia-Pasifik yang disurvei adalah negara yang memiliki kemajuan ekonomi cukup pesat di kawasannya dalam beberapa tahun terakhir. 59 Matrik 2.Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK/CPI) Indonesia 20012009 60 Tahun Survei
Nilai IPK Indonesia
Sumber TI
2001
1.9
CPI 2001
2002
1.9
CPI 2002
2003
1.9
CPI 2003
59 60
www.perc.com www.detik.com
2004
2.0
CPI 2004
2005
2.2
CPI 2005
2006
2.4
CPI 2006
2007
2.3
CPI 2007
2008
2.6
CPI 2008
2009
2.8
CPI 2009