BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Fistula Arteriovenous dan Fistula Radiocephalica Arteriovenous fistula adalah hubungan langsung antara arteri dengan vena melalui suatu fistula yang dibuat dengan penyambungan arteri dan vena, dimana efek dari pembuatan fistula akan tejadi peningkatan aliran darah arteri secara dramatis ke vena oleh karena menurunnya tahanan pada vena (Gordon, 2010). Sedangkan fistula radiocephalica adalah suatu hubungan antara arteri dan vena dengan cara melakukan penyambungan arteri radialis dengan vena cephalica sehingga terjadi fistula sebagai akses dialisis (Yuwono, 2010). Menurut Panduan Dialysis Outcomes Quality Initiative (DOQI) menyatakan bahwa arteriovenous fistula berikutnya disingkat AVF merupakan akses vaskular pada pasien yang memerlukan hemodialisis jangka panjang. Prevalensi AVF di Amerika Serikat cenderung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah pasien yang dilakukan hemodialisis. Akses vaskular berupa AVF baru dapat dilakukan kanulasi apabila telah mengalami maturasi, yaitu bila pembuluh darah vena telah mengalami arterialisasi berupa pelebaran lumen dan penebalan dinding vena (Yuwono, 2010).
Menurut National Kidney Foundation / Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (NKF/KDOQI) tahun 2006, AVF dikatakan maturasi apabila aliran darah arteri mencapai 600 ml/menit, dengan diameter vena 6 mm serta kedalaman vena dari permukaan kulit kurang dari 6 mm.
8
9
Sejarah dari pembuatan AVF tidak lepas dari sejarah dari dialisis itu sendiri. Haas G memperkenalkan hemodialisis ada tahun 1924, dimana jarum glass digunakan untuk mendapatkan darah dari arteri radialis dan dialihkan ke vena cubiti. Aubaniac pada tahun 1952 memperkenalkan penusukan pada vena subclavia sebagai akses dialisis. Awal tahun 1960 dengan menggunakan pengalaman dari Alwall, tiga peneliti yaitu Quinton, Dillard dan Scribner mengembangkan teknik arteriovenous teflon shunt. Prosedur ini melibatkan dua kanula berbahan teflon yang berdinding tipis dimana ujungnya di masukkan ke arteri radialis sedangkan ujung lainnya ditempatkan di vena cephalica. Ujung terminal luar di hubungkan dengan pipa melengkung dari bahan teflon, lalu pipa teflon ini digantikan oleh pipa lentur berbahan silikon. Setelah terjadinya peningkatan dari perkembangan akses vaskular permanen ini, keberlanjutan dari prosedur hemodialisis menjadi sangat baik. Beberapa tahun kemudian banyak variasi dari AVF digunakan, dengan tetap menggunakan akses vaskular sementara sebagai pertimbangan bila terjadi komplikasi. Seperti yang dikembangkan oleh Shaldon pada tahun 1961 yang melakukan hemodialisis dengan memasukkan kateter ke arteri dan vena femoralis menggunakan teknik Seldinger. Semenjak itu berbagai tempat pembuluh darah digunakan termasuk subclavia dan jugular (Pantelias dan Grapsa, 2011). Brescia, Cimino, Appel dan Hurwich mempublikasikan laporan mereka tentang pembuatan AVF pada tahun 1966. Appel mengerjakan teknik penyambungan side to side yaitu penyambungan antara sisi arteri radialis dengan sisi vena antebrachial. Satu tahun setelahnya, pada tahun 1967 Sperling M dkk
10
melaporkan kesuksesan teknik yang dibuatnya yaitu teknik penyambungan end to end. Beberapa tahun kemudian, teknik ini mendapat respon yang cukup baik dan diterima secara luas namun prosedur ini mendapat tantangan sebagai pilihan utama seiring dengan peningkatan pasien usia lanjut, pasien dengan diabetes serta hipertensi yang sangat tergantung pada kualitas pembuluh darah yang baik dengan resiko
komplikasi
terjadinya
steal
syndrome.
Rohl
dkk
tahun
1968
mempublikasikan tiga puluh pasien yang dilakukan teknik penyambungan side to end, teknik juga mendapat respon yang cukup baik di masyarakat dan sampai saat ini masih dipergunakan.
2.2 Anatomi arteri Radialis dan Vena Cephalica Sebelum kami sampaikan tentang arteri radialis serta vena cephalica ada baiknya diketahui anatomi dari pembuluh darah arteri dan vena secara umum. Pada gambar 2.1, tampak perbedaan pembuluh darah arteri dan vena, dimana lumen vena tampak lebih besar dibanding arteri. Hal ini terjadi karena dinding arteri terdiri dari 3 lapis yaitu tunika intima (endotel), tunika media (pars muskularis) yang tebal dan tunika adventisia terdiri dari jaringan elastis, dibanding vena dengan lapisan intima dan muskulus yang tipis. Gaya gravitasi menyebabkan aliran darah vena terbalik dari semestinya untuk menuju jantung. Untuk mencegah aliran darah balik pada vena, maka pada vena terdapat katup, sedangkan pada arteri tidak ada katup tetapi dindingnya tebal dengan tiga layer. (gambar 2.2).
11
Gambar 2.1. Perbedaan pembuluh darah arteri dengan vena
Gambar 2.2. Anatomi pembuluh darah vena dan lapisan dinding arteri
Arteri radialis cabang dari arteri brachialis berada mulai dari leher tulang radius berjalan diatas tendon biceps. Pada pertengahan atas berjalan tumpang tindih dengan musculus brachioradialis. Pada bagian distal lengan bawah, arteri radialis berjalan diatas diantara brachioradialis dengan fleksor carpi radialis dan diantara kedua tendon dapat dipalpasi pada pergelangan tangan (gambar 2.3) (Ellis, 2006). Diameter arteri radialis dalam keadaan normal yaitu berkisar 2 – 3,5 mm. Diameter arteri radialis yang kecil cenderung berakibat gagalnya suatu fistula arteriovenous (Brown, 2007).
12
Gambar 2.3. letak anatomi arteri radialis
Distal dari denyut arteri radialis, arteri bercabang membentuk superficial palmar arch kemudian mengarah ke profundus pada tendon abductor pollicis longus dan ekstensor pollicis brevis untuk kemudian masuk pada anatomical snuffbox dimana disini dapat diraba denyutnya, kemudian menembus musculus interosseous dan abductor pollicis diantara metacarpal 1 dan 2 dan berjalan untuk membentuk palmar arch yang lebih dalam bersama dengan cabang arteri ulnaris (Ellis, 2006). Vena cephalica menerima darah balik diantara ibu jari dan telunjuk, berlanjut ke bagian lateral dari antebrachii dekat dengan fossa antecubital bercabang menjadi vena antecubital mediana yang mana menjadi vena perforantes yang berlanjut ke sistem vena dalam fossa antecubital. Vena antecubital mediana berlanjut diatas di upper arm yang kemudian bersatu dengan vena basilica. Pada
13
fossa antecubital, vena cephalica bercabang – cabang yang berlanjut di upper arm menjadi vena cephalica upper arm. Salah satu dari cabang tersebut akan tampak jelas dan dapat digunakan sebagai outflow vena pada fistula. Pada upper arm vena cephalica berlanjut sebagai vena superficial yang melewati bahu pada deltopectoral yang mana membelok dan menembus fascia clavipectoral dan bergabung dengan vena subclavian (gambar 2.4). Vena cephalica berperan sebagai saluran untuk akses vaskular di forearm atau upper arm (Shenoy,2007). Diameter vena cephalica yang ideal agar terbentuk AVF yang matur disarankan diatas 2 mm dimana pasca terbentuknya AVF diameternya melebar dapat mencapai 6 mm (Brown, 2007).
Gambar 2.4. Anatomi vena cephalica
14
2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi dan Maturasi Fistula Terdapat tiga komponen agar fistula berfungsi dengan baik yaitu: (1) inflow arteri, (2) needle stick segment (the conduit) dan (3) aliran (outflow) dari vena. Selain tiga komponen diatas, maturasi dan kelanjutan fungsi fistula tergantung pada beberapa faktor termasuk anatomi pembuluh darah dan teknik operasi yang digunakan sebagai akses pembuluh darah (Shenoy, 2007). 1. Dari segi anatomi Empat segmen anatomi pada akses pembuluh darah termasuk : (1) aliran darah masuk (inflow) arteri dan lokasi penyambungan, (2) segmen kanulasi dari fistula, (3) aliran darah keluar (primary outflow) dari vena dan (4) vena sentral. Kontinuitas dan kualitas dari ke empat segmen vaskular tersebut mempengaruhi maturasi dari fistula (Shenoy, 2007). Sebelum dilakukan akses vaskular, aliran darah arteri pasien dengan gagal ginjal kronis berkisar < 100 ml/menit (dengan rata – rata 31 ml/menit), dengan dilakukan insersi baik berupa fistula ataupun graft akan menghasilkan peningkatan 10 – 20 kali dari aliran darah arteri brachialis. Peningkatan ini terjadi oleh harena hilangnya hambatan secara tiba – tiba oleh karena adanya fistula. Pada pembuluh darah arteri yang besar seperti brachialis atau yang lebih besar dapat mengakomodasi aliran darah masuk yang besar pula, sedangkan pada arteri yang lebih kecil seperti radial atau ulnar harus melalui adapatasi fisiologis untuk mengakomodasi aliran darah masuk yang besar. Pada pembuluh darah kecil yang telah mengalami kalsifikasi mungkin tidak dapat melakukan adaptasi dan gagal menghasilkan aliran darah yang cukup
15
untuk hemodialisis. Oleh karena alasan tersebut diatas maka evaluasi diameter serta kualitas aliran darah arteri merupakan langkah yang sangat penting dalam prosedur evaluasi pasien sebelum dilakukan tindakan. Walaupun pada arteri yang normal atau dengan diameter yang lebih kecil dapat mengalami dilatasi dan mengakomodasi peningkatan aliran darah masuk arteri, tetapi pada diameter yang sama yang mengalami kalsifikasi dan arterosclerosis mungkin dapat gagal mengalami dilatasi (Shenoy, 2007) 2. Sistem sirkulasi Idealnya semua aliran darah yang terjadi karena inflow arteri dapat melewati segmen kanulasi pada outflow vein. 3. Teknik operasi yang dipakai Teknik operasi yang dipakai ada berbagai macam cara dan dapat dilakukan pada berbagai macam lokasi arteri dan vena (lihat gambar 2.5) Hal dibawah ini merupakan karakteristik fistula arteriovenous yang berfungsi dengan baik (Shenoy, 2007): 1. Aliran darah: pada terapi hemodialisis memerlukan aliran darah antara 350 ml/menit sampai 450 ml/menit melalui sirkuit ekstra corporal. Aliran darah di AVF haruslah melebihi 600 ml/menit. Kebanyakan fistula yang baik aliran darahnya berkisar 800 ml/menit sampai 1200 ml/menit. Apabila aliran darah kurang dari 600 ml/menit maka vena bisa menjadi kolap pada saat aliran darah melewati pompa dialisa mendekati aliran darah yang melewati fistula.
16
2. Segmen kanulasi haruslah merupakan satu vena yang lurus dengan panjang lebih dari 10 cm. Bila vena berkelok – kelok, maka harus ada dua segmen lurus dengan panjang paling tidak 4 cm. 3. Segmen yang akan dikanulasi harus memiliki diameter lebih dari 6 mm untuk memudahkan insersi dari jarum. Segmen kanulasi haruslah kurang dari 5 mm di bawah permukaan kulit untuk memudahkan insersi jarum.
2.4 Faktor - Faktor Resiko Berbagai macam faktor resiko dapat mempengaruhi hasil dari pembuatan fistula diantaranya melibatkan faktor usia, gender dan komorbid seperti diabetes melitus (Wiese dan Daniel, 2004). Pada seorang perempuan ukuran lumen pembuluh darah biasanya lebih kecil dari pria sehingga pada umumnya operasi pada perempuan harus lebih telaten dan sabar untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan teknik ketika menjahit (Yuwono, 2010). Usia tua terutama diatas 60 tahun mempengaruhi kualitas pembuluh darah bila dikaitkan dengan kejadian aterosklerosis yang berakibat pada munculnya komplikasi berupa steal syndrome, begitu pula pada pasien yang menderita diabetes dan pasien yang telah lama menderita gagal ginjal namun belum berani operasi (Wiese dan Daniel, 2004). Sebaliknya pada pasien dengan gagal ginjal kronis yang segera dilakukan operasi dan berusia muda, hasil operasi AVF akan lebih baik dan bertahan lama karena kualitas pembuluh darah vena yang lebih baik dimana vena belum sering terkena trauma karena penusukan ketika cuci darah, teknik operasi menjadi lebih
17
mudah dan cepat dan kemungkinan terjadi kesalahan teknik lebih kecil. Selain itu faktor merokok, penyakit arteri perifer dan vena seperti dinding arteri yang telah mengalami ateroma, lapisan intima yang telah mengalami diseksi dapat mempengaruhi hasil maturasi fistula (Yuwono, 2010). Riwayat pemasangan central venous catheter (CVC) pada rute subclavian dapat menyebabkan stenosis dan oklusi sebesar 50 % pada vena subclavia sehingga dianjurkan agar tidak membuat AVF pada sisi yang sama karena akan menyebabkan edema pada lengan (Pantealis dan Grapsa, 2011).
2.5 Evaluasi Preoperatif Evaluasi preoperatif pada pasien di sini adalah pemeriksaan vaskular yaitu arteri perifer dan vena serta riwayat medis untuk mengidentifikasi faktor predisposisi masalah pembuluh darah arteri seperti diabetes, merokok, penyakit arteri perifer dan vena serta riwayat pemasangan CVC, atau transvenous pacer wires (Shenoy, 2007). Pemeriksaan fisik sistem vena yang terbaik dengan menggunakan dua torniquet yang digunakan secara simultan, satu ditempatkan 2 - 4 cm dibawah garis cubiti dan yang lain ditempatkan pada 1/3 atas antebrachii. Beberapa vena mudah mengalami spasme tetapi dengan gerakan seperti menghangatkan ekstremitas, menepuk secara gentle dapat menimbulkan distensi pada vena (Shenoy, 2007). Hal penting yang juga harus disampaikan kepada pasien dan tenaga kesehatan adalah mencegah manipulasi pada vena. Punksi pada vena akan menimbulkan
18
jaringan parut, dimana pada saat pembuatan fistula, jaringan parut akan mengganggu dilatasi dan proses remodeling, menyebabkan aliran turbulen dan sebagai predisposisi stenosis. Bila memungkinkan, vena pada kedua lengan bawah tetap tidak dimanipulasi bukan hanya pada tangan yang non dominan. Sebagai alternatif punksi pada vena dapat dilakukan pada dorsum manus (Konner dkk, 2003). Sedangkan pada arteri, denyut dari arteri radialis mudah diraba, menilai palmar arch yang paten dengan jalan melakukan pemeriksaan Allen’s test (Wiese dan Daniel, 2004). Pemeriksaan Allen’s test dikerjakan dengan cara: 1. Posisi pasien berhadapan dengan pemeriksa dengan telapak tangan menghadap ke atas 2. Lakukan penekanan pada arteri radialis atau pada arteri ulnaris pada pergelangan tangan 3. Dengan penekanan yang kuat pada arteri lalu minta pasien untuk mengepalkan tangan sehingga akan tampak pucat 4. Ketika tangan pasien pucat, lepaskan tekanan pada arteri ulnaris dan lihat apakah telapak tangan pasien tampak merah muda, lalu kemudian lepaskan tekanan 5. Ulangi langkah 2 dan 4 pada arteri radialis Interpretasinya: apabila warna telapak tangan berubah menjadi merah muda setelah melepaskan tekanan pada salah satu arteri itu menunjukkan patensi arteri dan aliran yang adekuat. Apabila pucat masih tampak lebih dari 2 detik pada
19
penekanan arteri ulnaris maka test positif pada arteri radialis terjadi insufisiensi dan hal sebaliknya pada arteri ulnaris. (Beathard, 2003) Pemeriksaan tambahan yang dapat dikerjakan seperti Ultrasound Doppler Colour (CDU) dan vascular mapping. Pemeriksaan ini dikerjakan pada 1. Pasien dengan pemeriksaan fisik yang sulit dikerjakan seperti: obesitas, tidak adanya denyut nadi, pembedahan berulang untuk akses vascular 2. Kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri: usia tua, diabetes, penyakit kardiovaskular 3. Kemungkinan penyakit pembuluh darah vena, ada riwayat kanulasi vena sebelumnya (Ferring dkk, 2008). Pemeriksaan tambahan ini menggunakan linier CDU scanner dengan pencitraan 7.0 MHz atau 5.0 MHz Doppler probe atau yang lebih tinggi. Pasien berbaring pada posisi supine tanpa menekuk lengan untuk mencegah penekanan pada pembuluh darah selama pemeriksaan. Silva dkk mengidentifikasi kriteria sonografi yang digunakan untuk pemeriksaan vena sebelum dilakukan operasi. Menggunakan sebuah torniquet, diameter sebuah vena yang dapat digunakan untuk AVF adalah ≥ 2.5 mm dan diameter ≥ 4.0 mm untuk graft. Kriteria selanjutnya adalah tidak adanya segmental stenosis atau segmen yang buntu serta kontinyuitas dari sistem vena dalam pada ipsilateral upper arm. Jika tanpa menggunakan torniquet, maka diameter minimal pada vena cephalica adalah ≥ 2.0 mm. Untuk diameter arteri, banyak penulis menyatakan minimal ≥ 2.0 mm dan peak systolic velocity setidaknya 50 cm/s untuk pembuatan AVF. Untuk perhitungan secara tepat diameter pembuluh darah, direkomendasikan pengukuran
20
lumen arteri dari lapisan dalam satu ke lapisan dalam lainnya (intima ke intima) menggunakan teknik B-mode atau M-mode. Selain ukuran diameter arteri dan vena, juga penting untuk mengukur indeks resistensi suatu pembuluh darah, hal ini dapat di evaluasi saat terjadinya reaktif hiperemia pada pembuluh darah. Kondisi reaktif hiperemia ini terjadi saat dibukanya kepalan tangan setelah tangan dalam posisi mengepal selama 2 menit. Sinyal resistensi tinggi suatu triphasic doppler dengan kepalan tangan yang mengepal berubah ke gambaran gelombang biphasic resistensi rendah setelah kepalan tangan dibuka. Resistance Index ( RI ) ini dapat di hitung dengan menggunakan formula sebagai berikut : (peak systolic flow velocity – end diastolic flow velocity)/ peak systolic flow velocity = RI Bila angka preoperatif RI ≥ 0.7 mm menunjukkan bahwa aliran darah arteri tidak meningkat secara drastis sehingga kemungkinan untuk hasil yang sukses sangat kecil. Mengukur RI ini terutama membantu dalam hal merencanakan lokasi dari operasi, apakah pergelangan tangan atau daerah diatasnya (tabel 2.1)
tabel 2.1 Kriteria preoperatif CDU dalam hal penyeleksian arteri dan vena yang baik sehingga mempengaruhi hasil suatu fistula (Wiese dan Daniel, 2004) kriteria preoperatif CDU Diameter arteri
≥ 1.6 mm (diameter internal)
Diameter vena
≥ 2.0 mm (tanpa menggunakan torniquet)
Indeks resisten arteri
˂ 0.7 mm (saat reaktif hiperemia)
21
2.6 Teknik Pembedahan Fistula Radiocephalica Pada pembedahan vaskular, kaca pembesar (loupes) dengan pembesaran 2,5 kali merupakan peralatan yang esensial. Benang halus dengan ukuran 6.0 atau lebih kecil akan menghasilkan hasil yang optimal. Sangatlah penting untuk mencegah terjadinya torsi pada pembuluh darah pada saat manipulasi vena (Shenoy, 2007). Prosedurnya sebagai berikut tangan diletakkan pada meja dengan posisi abduksi 90o. Lidocain 0,5% atau 1% sebagai lokal anestesi tanpa menggunakan epinefrin di injeksikan di daerah yang akan di insisi berbentuk longitudinal dekat dengan wrist joint diantara vena cephalica dan arteri radialis (Montreuil, 2007). Setelah dilakukan insisi, flap kulit sebelah lateral diangkat sehingga vena cephalica terlihat lalu disisihkan sejauh kurang lebih 3 cm untuk menghindari trauma pada cabang saraf radialis. Arteri radialis dapat dicapai tepat sebelah lateral dari muskulus fleksor carpi radialis dengan cara membuka fascia dalam lengan bawah secara transversal tepat diatas denyut nadi. Kemudian arteri radialis tersebut disisihkan sambil dilakukan ligasi cabang – cabang kecilnya. Penyambungan dapat dilakukan secara end to end atau end to side atau side to side. Setelah selesai dilakukan penyambungan, dilakukan perawatan perdarahan yang masih ada lalu luka pembedahan ditutup dengan langsung menjahit kulit Teknik yang pertama di gunakan adalah untuk penyambungan adalah side to side yang diperkenalkan oleh Appel pada tahun 1966. Satu tahun setelahnya, pada tahun 1967 oleh Sperling dkk memperkenalkan teknik baru yaitu end to end, teknik ini mendapat respon yang cukup bagus namun mendapat tantangan seiring
22
meningkatnya pasien lanjut usia dan diabetes yang memerlukan kualitas pembuluh darah yang lebih baik dan komplikasi yang lebih sedikit. Pada tahun (1968) oleh Rohl dkk mempublikasikan tiga puluh pasien yang menggunakan teknik penyambungan side to end. Teknik ini juga mendapat respon yang cukup bagus di masyarakat dan tetap dipakai sampai saat ini. Diketahui ada beberapa teknik penyambungan yang dapat dilakukan sesuai dengan arah aliran darah (Yuwono, 2010) yaitu: 1. Side to end: side (sisi) adalah bagian arteri (misalnya arteri radialis di pergelangan tangan kiri), sedangkan end (ujung) adalah bagian dari vena misalnya ujung vena cephalica di pergelangan tangan kiri (gambar 2.5 a) 2. Side to side: disini disambungkan adalah sisi arteri misalnya sisi arteri radialis kiri dan sisi vena misalnya vena cephalica kiri (gambar 2.5 b) 3. End to end: yang disambungkan adalah ujung arteri misalnya ujung arteri radialis kiri dengan ujung vena ujung vena cephalica kiri (gambar 2.5 c) 4. End to side: disini yang dimaksud adalah melakukan anastomosis antara ujung arteri misalnya ujung arteri radialis kiri dengan sisi vena misalnya sisi vena cephalica kiri (gambar 2.5.d) Beberapa kelebihan dan kekurangan di uraikan dalam beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Mosaffar dkk (2013) yang menyebutkan bahwa tidak didapatkan perbedaan patensi yang signifikan pada penyambungan dengan teknik side to side dibanding teknik side to end selama 6 bulan. Yuwono (2010) menyatakan teknik penyambungan side to end saat ini lebih sering digunakan dibandingkan side to side karena volume aliran darah vena
23
yang cukup besar menuju jantung, sambungan side to end mencegah terjadinya hipertensi vena karena aliran vena perifer ditutup, namun teknik ini
a.
b.
c.
d. Gambar 2.5. Jenis teknik penyambungan a).side (arteri radialis) to end (vena cephalica); b.side (arteri radialis) to side (vena cephalica); c.end (arteri radialis) to end (vena cephalica); d.end (arteri radialis) to side (vena cephalica).
cukup sulit karena vena sering terputar (torsi) pada ujungnya yang dapat menimbulkan penyempitan lumen vena. Pada penyambungan side to side dapat terjadi hipertensi vena sehingga memudahkan timbulnya pembengkakan jari tangan dan volume darah yang mengalir pada vena menuju jantung berjumlah sedikit dibandingkan side to end. Sementara pada teknik penyambungan end to
24
end hal ini cukup mudah dilakukan karena kemungkinan vena terputar (torsi) lebih bisa dihindari selain itu aliran darah ke proksimal lebih terbatas sehingga resistensi vena menurun yang berakibat pada komplikasi hipertensi vena ditangan juga jarang terjadi. Teknik penyambungan fistula radiocephalica yang dilakukan di RSUP Sanglah adalah teknik side to end, dengan berbagai pertimbangan oleh operator lebih mudah dikerjakan. Rumah Sakit (RS) Universitas Kristen Indonesia (UKI) melakukan tindakan fistula radiocephalica sebagai salah satu akses vaskuler dalam hemodialisis, jumlah pasien yang di lakukan tindakan sebanyak 200 pasien selama 2 tahun dimana teknik penyambungan yang sering digunakan adalah teknik end to end.
RS UKI menggunakan teknik penyambungan end to end
dengan
pertimbangan teknik ini oleh operator juga lebih mudah dikerjakan dan biaya yang murah namun data awal mengenai komplikasi dan volume aliran darah pasca pembuatan fistula radiocephalica baik pada RS UKI di Jakarta maupun pada RSUP Sanglah Denpasar sampai saat ini belum ada Menurut Yuwono (2010) terdapat beberapa data terkait jumlah volume aliran darah yang di daerah vena menuju jantung. Pada penyambungan tipe end to end tekanan vena ke proksimal cukup tinggi menandakan bahwa volume tersebut mencukupi untuk pemenuhan kriteria maturasi, begitu pula pada tipe side to end. (tabel 2.2) Pada tabel 2.2 menunjukkan bahwa pada teknik penyambungan side to end tekanan darah vena ditangan sangat rendah yaitu 4 mmHg sehingga kemungkinan terjadi komplikasi hipertensi vena jarang, sedangkan pada teknik penyambungan
25
end to end tekanan vena di tangan juga kecil, hanya meningkat sedikit yaitu 6 mmHg, menandakan bahwa kemungkinan terjadinya komplikasi hipertensi vena ditangan juga jarang akan terjadi, namun data diatas tidak menyebutkan pada minggu keberapa volume aliran darah vena ke proksimal ini diukur.
Tabel 2.2 Volume aliran darah fistula antara arteri radialis dan vena cephalica Pada
Vena ke
Tekanan
Tekanan
anastomosis
proksimal dari
darah arteri
darah vena
(ml/menit)
anastomosis
(mmHg) di
(mmHg) di
(ml/menit)
tangan
tangan
-
18
95
3
Side to side
571
434
58
26
End to side
474
369
92
23
Side to end
507
507
61
4
End to end
435
435
91
6
Normal
2.7 Perubahan Fisiologi dan Anatomi Pasca Fistula Radiocephalica Wedgewood dan teman-teman memeriksa angka aliran darah di arteri radialis sebelum dan segera setelah operasi end to side fistula. Alirannya meningkat dari 21,6±20,8 ml/menit menjadi 208±175 ml/menit. Pada fistula yang berkembang baik angka aliran darah dapat mencapai 600 sampai 1200 ml/menit (Konner dkk, 2003). Pada 1 minggu pasca operasi fistula radiocephalica volume aliran darah arteri brachialis meningkat bahkan mencapai 861±565ml/menit. (Beathard, 2003)
26
Sedangkan pada hari ke 10 pasca operasi rata-rata volume aliran darah mencapai 885±227 ml/menit dan pada 30 hari pasca operasi mencapai 934±260ml/menit (Shemesh dkk, 2007) Konsekuensi fisiologis dari AVF tergantung ukuran dari proksimal dan distal arteri dan vena, aliran kolateral disekitar fistula serta diameter dari fistula. Untuk kepentingan klinis dibuat ukuran fistula lebih besar dibandingkan diameter arteri untuk antisipasi kemungkinan terjadi stenosis (Parker dkk, 2007) Segera setelah dibuatnya fistula, tekanan pada proksimal vena yang cepat ini tepat berada pada daerah penyambungan. Dengan tercapainya aliran yang cepat ini akan teraba bruit/ thrill oleh karena adanya aliran turbulen dimana hal ini menunjukkan tidak adanya stenosis atau sumbatan pada proksimal vena (Gordon, 2010) Pada perubahan biologi, dilatasi vaskular timbul sebagai akibat adanya upaya untuk mengurangi tekanan yang tinggi. Timbul stimulus terhadap endotel untuk mengeluarkan faktor relaksasi seperti nitric oxide (NO) dan prostacyclin yang mana juga mencegah agregasi platelet. Tetapi hal sebaliknya terjadi jika tekanan rendah, menyebabkan endotel melepascan prothrombin dan faktor vasokontriktor seperti thromboxane. (Toregeani, dkk., 2008) Hal lain yang juga berperan adalah fungsi dari metalloprotease yang menyebabkan dilatasi dari dinding arteri, hal ini dibuktikan dengan melakukan inhibisi terhadap metalloprotease akan mencegah dilatasi pembuluh darah pada percobaan binatang (Gordon, 2010).
27
Aliran meningkat sebagai hasil dari dilatasi dan perubahan vaskular (vascular remodeling), ditemukan diameter proksimal dari vena antecubital meningkat secara progresif sedangkan ketebalan dari intima media belum berubah. Dilatasi dari vena menyebabkan penurunan ketegangan pada pembuluh darah dan kembali normal dalam waktu 3 bulan. Vena dari fistula mengalami hipertrofi dengan diikuti oleh peningkatan diameter dari dinding vena. Secara pararel terjadi juga remodeling dari arteri radialis tanpa diikuti oleh hipertropi arteri, meskipun juga terjadi pelebaran diameter dan aliran darah arteri (Konner dkk, 2003). Penyembuhan pada pembuluh darah mulai terjadi bila lapisan endothelium pada tunika intima sudah tumbuh merata menutupi permukaan luka pada anastomosis yaitu pada akhir minggu kedua pasca bedah. Lapisan endothelium tersebut akan tumbuh dari sisi arteri dan dari sisi vena, sehingga endothelium tersebut akan bertemu pada garis anastomosis dan saling menyeberang ke sisi lainnya membentuk “karpet” menutupi permukaan yang semula telanjang pada luka anastomosis. Pada akhir minggu ke-2 lapisan endothelium walaupun sudah menyeberang ke sisi lainnya tetapi masih belum merata. Selain itu, aliran darah pada vena yang mendapat aliran darah dari arteri akan menyebabkan dilatasi pembuluh vena sehingga memudahkan identifikasi vena sehingga vena dengan mudah diraba dan dilakukan penusukan jarum pada cuci darah. AVF sudah dikatakan maturasi apabila telah mengalami arterialisasi yaitu pembuluh vena telah cukup lebar dan tebal, dikatakan mulai setelah 4 minggu (Yuwono, 2010). Sebagai tambahan kegagalan pembuluh darah untuk mengalami dilatasi disebabkan oleh disfungsi endotel, beberapa literatur menyebutkan kemampuan
28
vena untuk mengalami dilatasi menurun pada hipertensi, diabetes, gagal ginjal terminal, gagal jantung kronis (Linden, 2006).
2.8 Monitoring Fistula Monitoring fistula dikerjakan segera setelah terbentuknya fistula, baik anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Ball,2005). 2.8.1
Pemeriksaan Fisik pasca pembentukan fistula
a. Inspeksi Inspeksi pertama yang harus di lakukan adalah membandingkan lengan satu dengan lainnya untuk mencari adanya ekimosis, perubahan warna, kerusakan pada kulit dan kemerahan. Pada daerah akses, dilihat apakah terdapat aneurisma, bentukan hematom, lengkungan, flat spots, kanulasi, lokasi akses, tangan dan lengan yang bengkak, perubahan warna dari kuku dan timbulnya vena - vena aksesori b. Palpasi Penilaian berikutnya adalah palpasi. Palpasi dapat menentukan patensi dari fistula dengan menilai adanya suatu thrill. Thrill adalah suatu sensasi yang teraba diatas lokasi
penyambungan dimana arteri
dan
vena
telah dilakukan
penyambungan. Getaran atau purring yang teraba adalah turbulensi dari aliran darah yang terbentuk dari tekanan tinggi sistem arteri dengan tekanan rendah sistem vena. Menurut Dr. Gerald Beathard, thrill ini biasanya hanya teraba pada daerah penyambungan dan bila teraba di area lain, maka kemungkinan terjadi stenosis vena. Bila tidak didapatkan thrill, tidak dapat dilakukan kanulasi sampai
29
evaluasi lebih lanjut. Alasan lain untuk melakukan palpasi adalah untuk melakukan evaluasi dari penempatan jarum dialisa. Pemakaian tourniquet harus di gunakan pada fistula baik yang lama maupun yang baru untuk membantu memperlihatkan lokasi kanulasi yang potensial, perabaan yang lebih baik dalam menentukan kedalaman dan sudut pemasangan jarum dan menstabilkan vena pada posisinya agar tidak berputar selama kanulasi. Palpasi dilakukan sepanjang akses untuk mengecek diameter vena yang tetap, flat spots, dan aneurisma. Palpasi juga dapat digunakan untuk mengecek suhu kulit. Kulit yang hangat dapat mengindikasikan suatu infeksi, dimana biasanya disertai dengan peningkatan suhu badan, kemerahan, dan nyeri. Kulit yang dingin dapat mengindikasikan penurunan suplai darah ke ekstremitas, denyut arteri radialis harus di raba untuk penurunan sirkulasi dan kuku harus di cari apakah ada perubahan warna dan capillary refill time lebih dari 3 detik. Jangan lupa untuk selalu membandingkan antara suhu lengan pada akses dengan kontralateralnya. c. Auskultasi Prosedur auskultasi adalah evaluasi ketiga yang digunakan untuk penilaian akses. Penting untuk mendengarkan suara dan karakter aliran darah melalui fistula. Pada auskultasi mendengarkan suara bruit yaitu suara whoosing yang terbentuk dari turbulensi penyambungan. Suara ini biasanya terdengar berkesinambungan. Konner dkk. (2003) menguraikan beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk mengenali aliran darah yang lambat atau impending stenosis pada pasien, yaitu :
30
1. Pada pemeriksaan auskultasi terdapat frekuensi bruit yang tinggi pada stenosis. 2. Tes elevasi tangan untuk melihat ada tidaknya kolaps dari segmen poststenotic vena dan perkiraan pelebaran dari segmen pre-stenotic. 3. Perdarahan yang terus menerus setelah jarum kanulasi dicabut. 4. Peningkatan tekanan dalam vena selama sesi hemodialisis menyebabkan peningkatan progresif tekanan dalam vena secara berturutan pada sesi dialisa. 2.8.2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai berupa Colour Doppler Ultrasound (CDU) untuk mengetahui out flow vena sehingga dapat diketahui maturasi dari fistula. Apabila pada pemeriksaan CDU tidak tampak ada masalah namun fistula tersebut belum matur maka perlu dilakukan evaluasi lagi 3-4 minggu lagi (Shenoy, 2007). Dengan pemeriksaan CDU mampu mengetahui adanya stenosis. Aliran darah dibawah 350 ml/menit ataupun adanya penurunan aliran > 15% dapat diprediksikan adanya stenosis atau adanya trombosis (Chambers dan Sicard, 2008). Selain pemeriksaan CDU dapat juga dilakukan magnetic resonance angiography (MRA), namun pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin oleh karena biaya yang mahal. Perlu diingat juga bahwa pemeriksaan CDU merupakan operator-dependent, walau demikian CDU dapat memberikan informasi aliran darah pada akses hemodialisis dan juga karakteristik anatomi dan lokasi stenosis vena (Soule dan Henry, 2007). Penelitian yang dilakukan di King Fahd Hospital of the University di AlKhobar, Saudi Arabia, CDU digunakan untuk mengetahui disfungsi akses
31
hemodialisis dengan sensitifitas yaitu 96,4%. Dapat disimpulkan bahwa CDU merupakan teknik non invasive yang dapat digunakan untuk mengetahui baik anatomi maupun hemodinamik pada fistula arteriovenous (Moghazy, 2009). Dalam mendiagnosa volume aliran darah, CDU tidak dapat dilakukan secara maksimal selama hemodialisis dan sebaiknya dikerjakan periode bebas dialisa. Perhitungan volume aliran darah merupakan prediktor yang paling signifikan untuk mengetahui kegagalan akses vaskular baik AVF ataupun yang menggunakan graft. Pada polytetrafluoroethylene (PTFE) graft pemeriksaan CDU dapat dilakukan pada seluruh akses, sedangkan pada AVF direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan volume aliran darah pada arteri brachialis yang mana sangat berkorelasi baik dengan aliran pada akses vaskular. Pemeriksaan pada arteri radialis akan menyebabkan hasil yang lebih rendah, oleh karena aliran darahnya mungkin disediakan oleh kolateral arteri bagian distal di daerah palmar selain itu, kalkulasi pada vena outflow sering sulit dikerjakan oleh karena adanya variasi diameter, percabangan, aliran turbulen dan vibrasi oleh karena lokasi arteri dan vena yang superfisial (Wiese dan Daniel, 2004). Selain itu tujuan dari pemilihan arteri brachialis adalah untuk mengukur aliran laminar dari pembuluh darah sehingga radiologi dapat mengukur volume dengan baik, sedangkan bila melakukan pengukuran pada pembuluh darah di vena, terdapat aliran balik yang dapat menyulitkan pengukuran. Untuk
evaluasi
diameter
dari
feeding
arteri
digunakan
B-mode
ultrasonography (gambar 2.6) pada potongan transversal dari lapisan dalam satu ke lapisan dalam yang lain (intima ke intima). Area cross-sectional dihitung
32
dengan software, pada saat bersamaan dihitung juga time averaged velocity (TAV) dengan potongan longitudinal dengan sudut dipertahankan ≤ 60 o. Aliran darah pada akses vaskular dihitung dengan cara: TAV(cm x s-1) x cross-sectional area(r2π;cm2) x 60 = volume (ml/menit) Pada PTFE graft aliran darah minimal berkisar antara 800-1000 ml/menit dan apabila kurang dari ini kemungkinan terjadi kegagalan tinggi. Sedangkan pada AVF apabila kurang dari 300 ml/menit terjadi kegagalan akses (Konner, Daniel, Ritz, 2003) (lihat tabel 2.3).
Gambar 2.6. Hasil pemeriksaan Colour Doppler ultrasound untuk mengetahui volume aliran darah pada arteri brachialis (Wiese dan Daniel, 2004). Pada kejadian komplikasi yaitu berupa stenosis, maka akses vaskular diperiksa oleh sonografi dengan cara longitudinal dan transversal dimulai dari feeding arteri brachialis menyeberang ke anastomosis dan arterialized draining
33
veins dengan selanjutnya menuju vena sentral bila memungkinkan. Perivascular space juga di lakukan pemeriksaan karena stenosis yang fungsional dapat terjadi ekstralumen, dikarenakan kompresi oleh karena abses, hematoma atau seroma. Ada beberapa tanda khas pada CDU untuk menilai hemodinamika yang berkaitan dengan stenosis tercantum pada tabel 2.4 Tabel 2.3 Kriteria volume aliran yang rendah dari suatu fistula (Konner, Daniel dan Ritz, 2003) AVF -
Minimum flow rate : 350 sampai 400 ml/min
< 300 ml/min recirculation problems < 200 ml/min clotting problems PTFE graft -
Minimum flow rate : 800 sampai 1000 ml/min
< 600 ml/min clotting problems
Tabel 2.4 Tanda khas pada CDU Tanda pasti langsung pada area yang menyempit Penurunan diameter lumen > 50% Peak systolic velocity > 400cm/s Pronounced aliasing phenomenon Tanda pasti tidak langsung pada feeding arteri High resistance Doppler Waveform Reduction in access flow routine
34
Untuk menghitung stenosis, area cross-sectional intralumen minimal dibandingkan dengan diameter segmen normal terdekat menggunakan formula : (original lumen – residual lumen)/ original lumen x 100 = percent stenosis kegagalan akses vaskuler yang tersering kedua disebabkan oleh karena trombosis. Trombus muncul pada awal pembentukan karena tidak adekuatnya aliran yang berasal dari lumen yang kecil suatu pembuluh darah atau kegagalan untuk dilatasi. Untuk mendiagnosa lebih awal trombosis pasca operasi dapat di lihat pada parameter tidak langsung CDU yaitu triphasic doppler waveform dan tampak aliran yang rendah pada feeding arteri. Lokasi dan luas dari trombosis yang akut ini dievaluasi jauh mudah menggunakan mode colour doppler dibandingkan Bmode, dimana trombosis yang baru terbentuk ini mempunyai bahan dengan gambaran ekho yang sama dengan darah sedangkan pada trombosis yang lebih lama, terlihat peningkatan gambaran ekho pada bahan, lebih terlihat pada B-mode. Aneurisma dan pseudoaneurisma biasanya terbentuk pada lokasi yang mengalami kerusakan setelah berulang kali dilakukan kanulasi. Gambaran aliran pada CDU ini dapat membedakan terutama pseudoaneurisma dari hematoma, dengan tanda ’to and fro’ suatu tanda dengan gambaran khas gelombang aliran darah balik dari kantong aneurisma ke pembuluh darah yg sesungguhnya selama fase diastole. Dengan meningkatnya diameter lumen pembuluh darah, tekanan stress dinding akan naik dan aneurisma akan cenderung membesar spontan sesuai Hukum Laplace.
35
2.9 Waktu Maturasi dan Kanulasi Fistula Radiocephalica. National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative Guidelines for Vascular Accses tahun 2006 menyatakan kriteria suatu fistula dikatakan maturasi berdasarkan “The Rule Of 6s” yaitu aliran darah arteri 600 ml/menit, diameter 6 mm dan kedalaman pembuluh darah 6 mm dari permukaan kulit (Shenoy, 2007). Dari ketiga kriteria tersebut diatas yang merupakan prediktor yang paling signifikan untuk mengetahui maturasi ataupun kegagalan maturasi adalah perhitungan volume aliran darah (Wiese dan Daniel, 2004). Banyak Negara seperti Kanada, Inggris, Amerika lebih dari 90% melakukan kanulasi pertama setelah 4 minggu pasca operasi fistula arteriovenous (Ethier dkk, 2008). Dalam artikelnya, Beathard (2003) menyatakan bahwa kanulasi pertama kali sebaiknya dilakukan setelah satu bulan pasca operasi dengan pertimbangan, bertambahnya waktu akan terjadi peningkatan peningkatan aliran darah, diameter vena dan penebalan dinding vena. Jindal dkk (2006) juga mengatakan bahwa untuk dapat dilakukan kanulasi sebaiknya tunggu pembuluh darah mengalami maturitas setidaknya kanulasi baru dilakukan setelah satu bulan pasca operasi. Penelitian Shemesh dkk (2007) menyimpulkan bahwa hari ke 10 pasca tindakan AVF pada forearm telah tercapai volume aliran darah minimal 600 ml/menit serta tidak terdapat perbedaan bermakna volume aliran darah antara hari ke 10 dengan hari ke 30 pasca operasi. Penelitian di RSUP Sanglah pada tahun 2010 juga menyatakan maturasi fistula radiocephalica teknik side to end yang berumur 4 minggu lebih baik dibandingkan yang berumur 2 minggu (Deddy, 2010)
36
2.10 Komplikasi Tindakan Komplikasi yang terjadi pada AVF memang lebih sedikit dibandingkan pada akses pembuluh darah yang lain, namun komplikasi ini kadang muncul dan harus ditangani secara efektif. Beathard (2003) mengelompokkan komplikasi utama menjadi kegagalan maturasi fistula awal dan lambat, flow yang berlebihan, pembentukan aneurisma, dan infeksi. 1. Kegagalan maturasi awal dan lambat Penyebab kegagalan fistula awal dapat dikelompokkan menjadi problem inflow dan outflow. Masalah pada aliran masuk (inflow) ini berkaitan dengan feeding arteri yang abnormal, kecilnya suatu lumen untuk pembuatan akses atau adanya penyakit arteri seperti aterosklerotik serta lesi yang diperoleh yaitu juxtaanastomosis stenosis. Etiologi dari lesi juxta-anastomosis stenosis ini masih belum jelas, namun kemungkinan berkaitan dengan manipulasi dari ujung vena, torsi, dan angulasi yang tidak baik. Lesi ini dapat di tangani dengan percutaneous angioplasty atau secara pembedahan. Masalah aliran keluar (outflow) ini disebabkan tidak adanya aliran yang baik pada vena. Masalah ini disebabkan karena anatomi vena yang terlalu kecil, vena yang mengalami fibrotik atau stenosis yang disebabkan oleh trauma seperti penusukan dan adanya vena - vena tambahan (accessory veins). Kegagalan fistula yang lambat biasanya terjadi setelah tiga bulan pasca pembuatan. Penyebab utamanya adalah stenosis dan trombosis. Stenosis umumnya terbentuk secara khusus pada area bifurkasio vena, titik tekanan dan berkaitan dengan katup – katup vena, sementara pada kegagalan maturasi disebabkan oleh karena trombosis terjadi pada vena menuju jantung
37
dekat dengan penyambungan, angka kejadiannya sebesar 9% (Allon, 2007). Trombosis dapat terjadi di awal atau kemudian. Pada awal pasca bedah biasanya terjadi beberapa jam sampai 1-2 hari. Hal ini sering akibat kesalahan teknik operasi. Trombosis yang terjadi kemudian timbul beberapa bulan sampai beberapa tahun pasca operasi, biasanya akibat hipotensi, penyempitan pembuluh vena oleh hiperplasia endothelium, penyempitan oleh karena trauma tusukan jarum hemodialisis atau tekanan tensimeter (Yuwono, 2010). Trombosis sering ditemukan pada wanita, pasien bukan kulit putih, usia tua, dengan penyakit vaskular (Allon, 2007). Trombosis dapat ditangani dengan tindakan trombektomi (Davies dan Gibbons, 2007). 2. Aliran yang berlebihan Aliran yang berlebihan menghasilkan dua masalah yaitu iskemia dan high cardiac output. Aliran darah balik vena menuju jantung dan kerja otot jantung dapat meningkat secara signifikan setelah tindakan AVF atau penggunaan graft. Kondisi ini dapat menyebabkan kardiomegali dan congestive heart failure (CHF) pada beberapa pasien. Hipersirkulasi terjadi apabila tahanan outflow terlalu rendah dan penyambungan terlalu lebar. Masalah ini lebih sering terjadi pada penggunaan graft (PTFE graft) dan fistula pada arteri brachialis. Upaya untuk memperbaikinya dengan jalan mempersempit proksimal fistula atau graft baik dengan prosthetic band atau penjahitan. Adakalanya, akses yang baru mungkin harus dibuat dengan menggunakan conduit diameter lebih kecil atau menggunakan tapered prosthetic material (Chambers dan Sicard, 2008). Sementara pada iskemia dimana terjadi aliran darah arteri yang bertekanan tinggi menuju sistem vena dengan tekanan
38
rendah. Hal ini akan menyebabkan hipertensi vena dengan terjadi pembengkakan jaringan distal, hiperpigmentasi, indurasi kulit dan ulserasi kulit seperti pada lengan pasien dengan stasis vena (Yuwono, 2010) 3. Pembentukan aneurisma Aneurisma pada AVF terbentuk dari rusaknya dinding pembuluh darah dan secara fisiologis digantikan oleh jaringan kolagen. Kondisi ini diperburuk dengan tusukan jarum dialisis berulang. Sekali aneurisma terbentuk, hukum Laplace memprediksi kemungkinan terjadi pembesaran secara spontan, karena stress pada dinding pembuluh darah menjadi lebih besar seiring dengan peningkatan diameter aneurisma. Kondisi awal dalam pembentukan aneurisma biasanya disebabkan oleh adanya stenosis dari outflow. Komplikasi yang dapat terjadi dapat berupa pecahnya aneurisma, infeksi dan pada kasus yang jarang terjadi adalah retrograde emboli. Penanganan secara bedah meliputi reseksi sebagian atau total dari kantong aneurisma, mengkoreksi stenosis dan merekonstruksi lumen agar kembali adekuat (Konner dkk, 2003) 4. Infeksi Angka kejadian infeksi pada fistula berkisar kurang dari 3 %. Infeksi bakteri dapat terjadi dengan gejala pembengkakan, kulit berwarna kemerahan, nyeri, peninggian suhu di tempat tersebut. Hal ini juga disebabkan imunitas pasien penyakit ginjal kronis relatif rendah sehingga mudah mengalami infeksi. Pencegahannya adalah dengan melakukan tindakan aseptik dan antiseptik seperti menggunakan kain steril, betadine dan alkohol 70 % baik saat tindakan maupun saat penusukan jarum dialisa. Bila terjadi infeksi, harus diberikan antibiotika dan
39
analgesia selama paling sedikit 5 hari. Untuk membantu mempercepat berkurangnya
pembengkakan
dapat
diberikan
tablet
Diosmin-Hesperidin
(Ardium) sehari 2x1 tablet sesudah makan selama 7 hari berturut – turut (Yuwono, 2010). Selain komplikasi diatas juga ditemukan beberapa komplikasi lainnya yaitu berupa arterial steal syndrome dan iskemia terjadi 1.6% dari pasien dengan AVF. Masalah ini jarang terjadi pada fistula di daerah pergelangan tangan dan cenderung lebih sering ditemukan pada fistula yang letaknya lebih ke proksimal yaitu fistula brachiocephalica yang berkisar 30%. Steal syndrome terjadi oleh karena aliran darah dari sambungan arteri terhadap vena dengan resistensi yang rendah, dimana terjadi aliran balik dari tangan dan forearm sehingga menyebabkan iskemia. Secara klinis clinical steal syndrome dengan gejala spesifik berupa nyeri, kelemahan, parestesi, atropi otot dan apabila tetap dibiarkan akan menjadi ganggren. Hal ini bisa diatasi dengan jalan menutup fistula tersebut (Parker dkk, 2007).