BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. KATARAK 2. 1.1. DEFENISI Katarak adalah kekeruhan pada lensa atau hilang transparansinya dimana dalam keadaan normal jernih. lensa yang transparan atau bening, dipertahankan oleh keseragaman serat, distribusi dan komposisi protein kristalin dalam lensa. Sifat transparansi lensa ini dapat menurun oleh karena lensa mengalami perubahan ikatan struktur protein dan
inti/ nukleus lensa, sehingga terjadi peningkatan
kekeruhan inti lensa. (Khurana Ak, 2007 ; 5)
2.1.2. EPIDEMIOLOGI Menurut World Health Organization(WHO) katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan tajam penglihatan di dunia. Tahun 2002 WHO memperkirakan sekitar 17 juta (47, 8%) (Oliver j,Cassidy,L 2005) The Beaver Dam Eye Study, melaporkan 38,8% pada laki-laki, dan 45,9 % pada wanita dengan usia lebih dari 74 tahun. Menurut Baltimore eye survey katarak pada ras kaukasian. (American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012). Berdasarkan Survei Kesehatan Indra tahun 1993-1996, Angka kebutaan sebesar 1,5% dari jumlah penduduk atau sekitar 3,3 juta jiwa dengan kebutaan akibat katarak menempati urutan pertama dengan persentase 0,78%. (KEMENKES 2005)
Universitas Sumatera Utara
Di Sumatera Utara, menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Mata tahun 2004 didapat angka kebutaan akibat Katarak di Tanjung Balai 0,37% dan kabupaten Karo 0,41%. Angka-angka yang diteliti ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional akibat katarak.(Silalahi,E 2004) Sembilan puluh lima persen penduduk yang berusia 65 tahun telah mengalami berbagai tingkatan kekeruhan pada lensa. Sejumlah kecil berhubungan dengan penyakit mata atau penyakit sistemik spesifik. Dapat juga terjadi sebagai akibat pajanan kumulatif terhadap pengaruh lingkungan dan pengaruh lainnya seperti merokok, radiasi UV, dan peningkatan kadar gula darah. Pasien dengan DM 4,9 kali lebih tinggi risiko katarak. Penelitian menunjukkan bahwa 31,4% pasien katarak yang menderita diabetes(Arimbi 2012) (Tana, Rifati, & Kristanto, 2009). Auckland Cataract Study Melaporkan hampir 80% dari penderita katarak yang menjalani pembedahan memiliki riwayat penyakit sistemik yang signifikan. Riwayat penyakit sistemik yang paling sering adalah diabetes melitus adalah 34,6% dari 101 pasien, hipertensi 30,5% dari 89 pasien, diikuti penyakit jantung 5,5% dari 16 pasien, dan asma 5,1% dari 15 pasien ( Ali N. Al-Oramy, et al, 2007). UK prospective Diabetes Study Group menyatakan bahwa katarak diderita oleh sekitar 15% individu yang menderita DM tipe 2 dan sering ditemukan pada saat diagnosis ditegakkan. (Rizkawati, 2012)
2.1.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI LENSA Lensa adalah suatu struktur bikonveks, vaskular, tidak berwarna, dan hampir transparan sempurna, lensa tidak mempunyai asupan darah ataupun inervasi syaraf, dan bergantung sepenuhnya pada akuos humor untuk metabolisme.
Universitas Sumatera Utara
Lensa terletak dibelakang iris dan didepan korpus vitreus. Posisinya oleh zonula zinni, terdiri dari serabut-serabut kuat yang melekat ke korpus siliaris. (American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012 ; Khurana Ak, 2007). Diameter lensa adalah 9-10mm, dan tebalnya bervariasi sesuai dengan umur, mulai dari 3,5mm pada saat lahir dan 5mm pada saat dewasa. Lensa dapat membiaskan cahaya karena memiliki indeks refraksi, normalnya 1,4 disentral, dan 1,36 perifer. Dalam keadaan non akomodif, kekuatannya 15-20D. (American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012 ; Khurana Ak, 2007). Struktur lensa terdiri dari kapsul yang tipis, transparan, dikelilingi oleh membran hyalin yang lebih tebal pada permukaan anterior dibanding posterior. Lensa disokong oleh serabut zonular berasal dari lamina nonpigmen epitelium pars plana pars plikata dari pada corpus siliaris. Zonular ini termasuk kedalam lensa diregio equator. Nukleus pada bagian sentralnya terdiri dari serabut-serabut tua. Korteks pada bagian perifer terdiri dari serabut-serabut lensa yang muda. Komposisi lensa terdiri dari 65% air, 35% protein, dan sedikit mineral. Kandungan kalium lebih tinggi dilensa dari pada jaringan lainnya. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. (American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012 ; Khurana Ak, 2007). Secara fisiologi lensa mempunyai sifat tertentu yakni, kenyal atau lentur karena memegang peranan penting dalam akomodasi untuk menjadi cembung, jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media refraksi penglihatan. (American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012 ; Khurana Ak, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Seiring dengan bertambahnya usia pada lensa ada dua hal yang terjadi. Pertama, penurunan fungsi dari mekanisme pompa transportasi aktif lensa yang mengakibatkan rasio Na+ dan K+ terbalik. Hal ini menyebabkan hidrasi dari serat lensa. Kedua, peningkatan reaksi oksidatif akibat bertambahnya umur menyebabkan penurunan kadar asam amino sehingga sintesis protein didalam lensa juga akan menurun. Kedua hal ini akan menyebabkan kekeruhan dari serat lensa kortikal akibat denaturasi protein.(khurana AK,2007)
Gambar. 1. Anatomi lapisan lensa Dikutip dari khurana AK, 2007
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. KLASIFIKASI Katarak berdasarkan derajat kekeruhan lensa menurut Buratto : Derajat 1 : Nukleus lunak. Pada katarak derajat 1 biasanya visus masih lebih baik dari 6/12,. Tampak sedikit keruh dengan warna agakl keputihan. Refleks fundus juga masih mudah diperoleh dan usia penderita juga biasanya kurang dari 50 tahun. Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan. Pada katarak jenis ini tampak nukleus mulai sedikit berwarna kekuningan, visus biasanya antara 6/12-6/30. Reflek fundus juga masih mudah diperolah dan katarak jenis ini paling sering memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis posterior. Derajat 3 : Nukleus dengan kekerasan medium. Katarak ini yang paling sering ditemukan dimana nukleus tampak berwarna
kuning disertai dengan kekeruhan
korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus biasanya antara 3/60-6/30 dan bergantung juga dari usia pasien. semakin tua usia pasien maka semakin keras nukleusnya. Derajat 4 : Nukleus keras. Pada katarak ini warna nukleus sudah berwarna kuning kecoklatan, dimana usia penderita biasanya lebih dari 65 tahun. Visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60. Dimana refleks fundus maupun keadaan fundus sudah sulit dinilai. Derajat 5 : Nukleus sangat keras. Pada katarak jenis ini nukleus sudah berwarna kecoklatan bahkan agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60 atau lebih jelek dan usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini sangat keras dan disebut juga brunescent cataract atau black cataract. ( Soekardi I, Hutauruk JA 2004)
Universitas Sumatera Utara
Katarak berdasarkan morfologi menurut Lens Opacity Classificassion System (LOCS) III: -
Nuklear
-
Cortical
-
PSC (Posterior Sub Capsular) (Sabanayagam et al, 2011)
2.1.5. DIAGNOSIS Diagnosa ditegakkan melalui anamnesa, dan pemeriksaan. Gejala yang biasa dikeluhkan penderita katarak antara lain : 1. Silau Pasien
katarak
sering
mengeluhkan
silau,
yang
biasa
bervariasi
keparahannya mulai dari penurunan sensitivitas kontras dalam lingkungan yang terang hingga silau pada saat siang hari atau pada malam hari. Keluhan ini khususnya dijumpai pada katarak posterior subkapsular. 2. Diplopia Perubahan nuklear terletak pada lapisan dalam nukleus menyebabkan daerah pembiasan multipel ditengah lensa. tipe katarak ini kadang-kadang menyebabkan diplopia monokular. ladanya perubahan persepsi penglihatan warna. 3. Halo Hal ini bisa terjadi pada beberapa pasien oleh karena terpecahnya spektrum warna oleh karena meningkatnya kandungan air dalam lensa.
Universitas Sumatera Utara
4. Distorsi Pada
stadium
awal
katarak,
biasanya
pasien
mengeluhkan
distorsi
penglihatan berupa garis lurus kelihatan bergelombang. 5. Penurunan penglihatan Katarak menyebabkan penurunan penglihatan progresif tanpa rasa nyeri. Setiap tipe katarak biasanya mempunyai gejala gangguan penglihatan yang berbeda-beda, tergantung pada cahaya, ukuran pupil dan derajat myopia.
6. Myopic shift Perkembangan katarak dapat terjadi peningkatan dioptri kekuatan lensa, yang umum menyebabkan miopia ringan atau sedang. Umumnya kekeruhan pada katarak nuklear ditandai dengan kembalinya penglihatan dekat oleh karena meningkatnya miopia akibat peningkataan kekuatan kekuatan refraktif nulear sklerotik, sehingga pemakaian kacamata atau biofokal tidak diperlukan lagi. (American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012 ; langston DP 2002 ; Oliver j,Cassidy,L 2005) Pada pemeriksaan mata dilakukan dengan pemeriksaan
slit-lamp
dapat
menjelaskan morfologi katarak dan menilai secara keseluruhan dari segmen anterior mata. dan
dapat membantu menentukan penyebab dan prognosis. Pada
Pemeriksaan
segmen
posterior
B
scan
ultrasonography
dapat
membantu
mengevaluasi segmen posterior, walaupun gambaran retina,atau kelainan optic nerve, tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan sampai pemeriksaan optic nerve head,
retina
dan
fovea
dilakukan
secara
langsung.(
American
Academy
Ophtalmology, 6, 2010-2011 ; Jackson LT 2008).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Katarak diabetika Dikutip dari Chongdon G Nathan, 2006
2.1.6. PENATA LAKSANAAN
Adapun indikasi pembedahan terhadap katarak adalah: 1. Memperbaiki penglihatan. Merupakan indikasi yang paling umum dilakukannya operasi katarak, walaupun tingkat kebutuhannya bervariasi pada setiap orang. Operasi merupakan satusatunya cara untuk memperbaiki penglihatan jika katarak sudah menyebabkan gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. 2. Indikasi medikal Dilakukan jika katarak sudah mempengaruhi kesehatan mata, contohnya : glaukoma fakolitik dan glaukoma fakomorfik. Operasi katarak untuk memperbaiki kejernihan media okular juga di butuhkan agar dapat mengetahui keadaan patologis melalui funduscopy, seperti retinopaty diabetic yang membutuhkan monitoring dan pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
3. Kosmetik Kosmetik merupakan ind ikasi yang jarang. Hal ini ditujukan untuk mengembali kan warna pupil menjadi hitam. (kanski,2008) Tehnologi pembedahan katarak telah berkembang dengan cepat, pemilihan terhadap pembedahan tergantung dari berbagai faktor; ada beberapa jenis pembedahan katarak : 1. Intra Capsular Catarac Extraction (ICCE) Merupakan tehnik bedah yang digunakan sebelum adanya bedah katarak ekstracapsular. Seluruh lensa bersama dengan pembungkus atau kapsulnya dikeluarkan. Diperlukan sayatan yang cukup luas dan jahitan yang banyak (14-15 mm). Prosedur tersebut relatif beresiko tinggi disebabkan oleh insisi yang lebar dan tekanan pada badan vitreus. Metode ini sekarang sudah ditinggalkan. Kerugian tindakan ini antara lain ,angka kejadian cystoid macular edema dan retinal detachmet setelah operasi lebih tinggi, Insisi yang sangat lebar dan astigmatisma yang tinggi. Resiko kehilangan vitreus selama operasi sangat besar. 2. Ekstra Capsular Catarac Ekstraction (ECCE). Merupakan tehnik operasi katarak dengan melakukan pengangkatan nukleus lensa dan korteks melalui pembukaan kapsul anterior yang lebar 9-10mm, dan meninggalkan kapsul posterior. Tehnik ini mempunyai kelebihan dibanding ICCE yaitu kapsul posterior akan utuh secara anatomi sehingga baik untuk fiksasi IOL dan menghambat atau mencegah bakteri masuk ke korpus vitreus dan mencegah terjadinya endoftalmitis.
Universitas Sumatera Utara
3.Small incision catarac surgery (Sics). Pada Teknik Small Incision Cataract Surgery insisi dilakukan di sklera sekitar 5.5 mm – 7.0 mm. Keuntungan insisi pada sklera kedap air sehingga membuat katup dan isi bola mata tidak prolaps keluar. Dan karena insisi yang dibuat ukurannya lebih kecil dan lebih posterior, kurvatura kornea hanya sedikit berubah. 4. Phacoemulsification. Merupakan salah satu tehnik ekstraksi katarak ekstrakapsuler yang berbeda dengan ekstraksi katarak katarak ekstrakapsular standar (dengan ekspresi dan pengangkatan nukleus yang lebar). Sedangkan fakoemulsifikasi menggunakan insis kecil, fragmentasi nukleus secara ultrasonik dan aspirasi kortek lensa dengan menggunakan
alat
fakoemulsifikasi.
Secara
teori
operasi
katarak
dengan
fakoemulsifikasi mengalami perkembangan yang cepat dan telah mencapai taraf bedah refraktif oleh karena mempunyai beberapa kelebihan yaitu rehabilitasi visus yang cepat, komplikasi setelah operasi yang ringan, astigmatisma akibat operasi yang minimal dan penyembuhan luka yang cepat. (American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012)(Medscape 2012) (Soekardi I, Hutauruk JA 2004) (Timothy L.Jackson, Moorfields 2008).
2.1.7. KOMPLIKASI Komplikasi pembedahan katarak dapat terjadi pada waktu yang berbeda, terbagi dari ; pada saat operasi, dan setelah operasi. Oleh karena itu perlu untuk mengevaluasi pasien post operasi katarak selama 1 hari, 1 minggu, 1 bulan dan 3 bulan. ( Soekardi I, Hutauruk JA 2004)
Universitas Sumatera Utara
Komplikasi awal pembedahan adalah setiap kejadian klinis yang terjadi baik selama operasi maupun 48 jam setelah operasi. Komplikasi lanjut adalah setiap kejadian klinis yang terjadi dalam 4-6 minggu setelah operasi. Komplikasi intra operasi antara lain prolaps vitreus, iridodialisis, hifema,dan perdarahan ekspulsif. Sedangkan komplikasi setelah operasi antara lain edema kornea, kekeruhan kapsul posterior, residual lens material, prolap iris, hifema, glaukoma sekunder, iridosiklitis, endophtalmitis, ablasio retina, astigmatisma. (American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012) 2.2 DIABETES MELITUS (DM) 2.2.1. Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. (PERKENI, 2005)
2.2.2. Epidemiologi Internasional Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi DM didunia adalah 1,9%. Tahun 2012 angka kejadian DM tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia adalah 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian DM tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita DM. (Fatimah, RN 2015) WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Dengan demikian diperkirakan adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. (PERKENI, 2005)
Universitas Sumatera Utara
.
Laporan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 oleh
departemen kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi DM didaerah urban Indonesia sebesar 5,7%. (PERKENI, 2005)
2.2.3. Patogenesis Diabetes melitus Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan yaitu : a. rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar. b. Desensitasi atau penuruinan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin dijaringan perifer. (Fatimah, RN 2015)
2.2.4. Klasifikasi Berdasarkan kriteria diagnosis PERKENI ( Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) bahwa penderita dengan diabetes melitus jika ada gejala glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL atau adanya gejala klasik diabetes melitus dengan kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL atau kadar gula darah plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL. (PERKENI, 2011) Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 , diabetes mellitus terbagi 3 yaitu DM tipe 1, DM tipe 2 dan DM Gestasional. Namun menurut American Diabetes Association (ADA) dalam Standarts of Medical Care in Diabetes, 2012, Diabetes melitus terbagi 4 yaitu : 1. DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Universitas Sumatera Utara
Terjadi pada 5-10% dari angka kejadian diabetes disebabkan oleh defisiensi insulin absolut karena kerusakan autoimun sel β pada pankreas dan idiopatik. 2. DM tipe 2 atau NIIDM (Noninsulin Dependent Diabetes Mellitus) Terjadi 90% pada tipe DM, oleh karena disfungsi sel β pankreas dan resistensi insulin. 3. DM tipe lain : -
Defek genetik sel-β pancreas
-
Defek genetik kerja insulin
-
Penyakit-penyakit dari eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis)
-
Endokrinopati(akromegali,Cushing‟ssyndrome,glucagonoma,pheochromocyto ma,hyperthyroidism,somatostatinoma, aldosteronoma)
-
Akibat obat-obatan atau zat kimia (seperti pada pengobatan AIDS atau setelah transplantasi organ)
-
Infeksi (rubella kongenital, cytomegalovirus, coxsackie)
-
Diabetes imunologis yang jarang (“stiff-person” syndrome, anti-insulin reseptor antibodi)
-
Sindroma
lain
yang
berkaitan
dengan
diabetes
(Down‟s
syndrome,
Klinefelter‟s syndrome, Turner‟s syndrome, Wolfram‟s syndrome, Huntington‟s chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome, myotonic dystrophy, porphyria, Prader-Willi syndrome). 4. DM Gestasional (DM pada kehamilan) Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang merupakan intoleransi glukosa.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Komplikasi DM Komplikasi pada penyakit diabetes melitus dapat terjadi akut dan kronik. Komplikasi akut meliputi hipoglikemi, ketoasidosis, dan hiperosmolar-non ketotik. Komplikasi kronik dibagi menjadi makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular adalah komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri besar sehingga menyebabkan artherosklerosis. Timbulnya artherosklerosis antara lain dapat diawali oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan gangren. Komplikasi mikrovaskular adalah komplikasi pada pembuluh darah kecil. Komplikasi mikrovaskular pada mata antara lain retinopati diabetik, glaukoma, katarak, dan sindroma mata kering. Komplikasi mikrovaskular pada mata dapat terjadi 5 tahun setelah menderita diabetes melitus tanpa pengobatan yang teratur. (Joshi, Caputo, Wietekamp, Karchnier, 1999)
2.3. Peranan stres oksidatif pada diabetes melitus Pada diabetes melitus, pertahanan antioksidan dan sistem perbaikan seluler akan terangsang sebagai respons tantangan oksidatif. Sumber stres oksidatif yang terjadi berasal dari peningkatan produksi radikal bebas akibat autooksidasi glukosa, penurunan konsentrasi antioksidan berat molekul rendah dijaringan dan gangguan aktivitas pertahanan antioksidan enzimatik. Kerusakan oksidatif pada DNA yang berkorelasi dengan peroksidasi asam lemak membran dan status antioksidan yang rendah juga ditemukan pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, produksi berbagai gula pereduksi antara lain glukosa, glukosa-6-fosfat dan fruktosa, akan meningkat melalui proses glikolisis dan jalur poliol. Glukosa sebagai gula pereduksi bersifat toksik.
Universitas Sumatera Utara
Pada DM ada 3 jalur munculnya stres oksidatif, yaitu glikasi protein nonenzimatik, Jalur poliol sorbitol (aldose reduktase), Autooksidasi glukosa. Reaksi secara nonenzimatik glukosa darah dengan protein didalam tubuh akan berlanjut sebagai reaksi browning dan oksidasi. Reaksi tersebut selanjutnya dapat menyebabkan akumulasi modifikasi kimia protein jaringan dan mengalami perubahan kimia yang dikenal dengan reaksi Maillard, pada reaksi ini terjadi pembentukan advance glycosylation end products (AGEs). AGEs merupakan salah satu produk sebagai penanda modifikasi protein sebagai akibat reaksi gula pereduksi terhadap asam amino. Akumulasi AGEs diberbagai jaringan merupakan sumber utama radikal bebas sehingga mampu berperan dalam peningkatan stres oksidatif, serta terkait dengan patogenesis komplikasi diabetes. Pada DM, akumulasi AGEs secara umum mempercepat terjadinya arterosklerosis, nefropati, neuropati, retinopati serta katarak. (Setiawan & Suhartono, 2005)
2.4.
Katarak Diabetika Katarak adalah salah satu komplikasi yang paling awal diabetes mellitus .
Klein et al melaporkan bahwa pasien dengan diabetes mellitus adalah 2-5 kali lebih mungkin untuk terjadinya katarak dibandingkan dengan penderita tanpa DM, resiko ini mungkin mencapai 15-25 kali pada penderita diabetes kurang dari 40 tahun glukosa puasa. Bahkan terganggunya kadar gula darah puasa telah dianggap sebagai faktor resiko untuk terjadinya katarak kortikal. Dalam sebuah penelitian dari Iran , Janghorbani dan Amini yang mengevaluasi 3888 pasien DM tipe 2 yang bebas dari katarak di awal kunjungan, dan melaporkan tingkat pembentukan katarak 33,1
Universitas Sumatera Utara
per 1.000 orang setelah melakukan pengamatan pemeriksaan lanjutan selama 3,6 tahun .(Javadi AM,Ghanavati ZS,2008)
2.4.1. Mekanisme katarak Diabetika Katarak pada pasien diabetes atau sering dikenal sebagai katarak diabetika adalah penyebab utama penurunan visus pada pasien dengan diabetes mellitus. Proses pembentukan katarak, yang dikenal sebagai kataraktogenesis pada pasien diabetes lebih cepat daripada non-DM. Patofisiologi katarak diabetika terkait dengan akumulasi sorbitol dalam lensa dan denaturasi protein lensa. Teori klasik yang mendasari terjadinya katarak diabetika terkait dengan teori osmotik katarak, dimana cairan akuos merupakan sumber nutrisi bagi lensa yang juga berfungsi sebagai penampung hasil metabolit yang dieksresi oleh jaringan sekitarnya. Berbeda dengan pada sel yang lain, glukosa dapat masuk kedalam lensa mata dengan bebas, melalui proses difusi tanpa bantuan insulin. Terjadi pemecahan glukosa didalam lensa sebagian besar 78% melalui jalur glikolisis anaerobik, 14 % melalui jalur pentosa fosfat dan sekitar 5 % melalui jalur poliol. (Lukitasari Arti, 2011) Teori lain mengatakan bahwa ada tiga mekanisme dari katarak disebabkan oleh hiperglikemia, yaitu : 1) Mekanisme autooksidasi glukosa, atau senyawa oksigen reaktif, yang mengandung oksigen radikal bebas pada penderita diabetes akan menginduksi peroksidasi lipid yang mengakibatkan modifikasi makromolekul seluler seperti lipid, DNA dan protein dalam berbagai jaringan termasuk lensa mata. Modifikasi makromolekul seluler di berbagai jaringan telah menyebabkan sindroma kompleks pada penderita dengan diabetes termasuk katarak. (Setiawan & Suhartono, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2) Glikasi dari nonenzimatik protein, peningkatan kadar glukosa dalam aqueous humor bisa menginduksi glikasi protein dalam lensa, proses yang menghasilkan superoksida radikal (O2-) Dan akhirnya dalam bentuk glikasi / AGE juga memicu pembentukan radikal bebas (Prancis, Stein, & Dawczynski, 2003). 3) Jalur metabolisme Kegiatan poliol yang lebih mempercepat pembentukan oksigen reaktif senyawa radikal bebas yang mengandung oksigen. Kekeruhan pada lensa dapat terjadi karena hidrasi (cairan pengisian) lensa, atau sebagai akibat dari denaturasi protein lensa. Pada diabetes mellitus, akumulasi sorbitol dalam lensa yang akan meningkatkan tekanan osmotik dan menyebabkan penumpukan cairan di lensa. Sementara denaturasi protein terjadi karena stres oksidatif oleh Reactive Oxygen Species (ROS), yang mengoksidasi protein lensa (kristal) (Pollreisz & Erfurth, 2009). Pembentukan senyawa oksigen reaktif yang berlebihan mengakibatkan ketidakseimbangan antara antioksida dan radikal bebas pada penderita DM yang mengakibatkan kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai stres oksidatif . Gangguan oksidatif pada pasien diabetes ditandai dengan meningkatnya kadar MDA pada pasien diabetes lebih tinggi dari non DM (Marjani, 2010) (Setiawan & Suhartono, 2005).
2.5.
Peranan stres oksidatif pada katarak
Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi zat reaktif dengan antioksidan yang menyebabkan kerusakan jaringan sehingga terjadi produksi yang berlebihan dari radikal bebas atau sistem pertahanan antioksidan menjadi lemah. Stres oksidatif mempengaruhi kadar protein, lipid, dan DNA, yang
Universitas Sumatera Utara
ditelah diamati penyebab katarak dimana terjadinya apoptosis pada sel memegang peranan pada perkembangan dan patologi lensa.(Miranda M, 2013) Salah satu efek toksik dari stres oksidatif yaitu, reactive oxygen species (ROS) yang dapat merusak membran sel, proses ini dikenal proses ini didasari oleh suatu proses lipid peroksidase. Target utama lipid peroksidase yakni adanya asam lemak tidak jenuh dalam fosfolipid membran. Salah satu bentuk dari lipid peroksidase yaitu zat toksik, Malondialdehid yang terlibat dalam kataraktogenesis. (Chang Dong et al, 2013) 4. (Miranda M, 2013)
Gambar 3. Proses Stres oksidatif Dikutip dari Nielsen F et al, 1997 Stres Oksidatif diperkirakan memegang peranan pada etiologi katarak berkaitan dengan usia, lensa mengandung cadangan antioksidan seperti vitamin C dan E, karotenoids, dan glutathion-GSH, dan enzim antioksidan ( superoksida dismutase, katalase, dan GSH reduktase/ peroksidase yang dapat mencegah kerusakan dan penuaan yang dikaitkan dengan berkurangnya kandungan cadangan antioksidan
Universitas Sumatera Utara
dan aktivitas enzimatik antioksidan, Penurunan ini dapat menyebabkan akumulasi ROS dan peroxynitrite di lensa. (Chang Dong et al, 2013) 2.5.1. Malondialdehid Malondialdehid ( MDA ) adalah hasil alami dari peroksidasi lipid yang berasal dari asam lemak tak jenuh ganda. Bisa juga dihasilkan selama prostaglandin biosintesis dalam sel. MDA bereaksi dengan gugus amino pada protein dan biomolekul lainnya, termasuk dengan basis DNA yang mutagenik dan mungkin karsinogenik. (Jetawattana S,2005)(Karatas F et al 2002)
Gambar 4. Struktur malondialdehid Dikutip dari Nielsen F et al, 1997
Pengukuran MDA, yang merupakan hasil peroksidasi lipid, adalah metode yang sensitif untuk estimasi kuantitatif konsentrasi lipid peroksida dalam berbagai jenis sampel termasuk jaringan biologis dari manusia dan hewan, obat dan makanan.
MDA
merupakan indikator stess oksidatif dalam sel dan jaringan.
Peningkatan kadar hasil lipid peroksidase dengan pengukuran kadar MDA , telah dikaitkan dengan berbagai kondisi dan keadaan patologis penyakit. (Jetawattana S,2005)
Universitas Sumatera Utara
Cara pengukuran kadar MDA Metode yang paling umum untuk mengukur MDA didasarkan pada reaksi dengan Asam thiobarbiturat (TBA). Asam thiobarbiturat zat reaktif (TBARS) assay adalah berdasarkan metode Yagi dengan metode kolorimetrik yang banyak digunakan untuk deteksi peroksidasi lipid dalam bahan biologis. MDA terbentuk sebagai hasil dari peroksidasi lipid dan bereaksi dengan asam thiobarbiturat di bawah tinggi temperatur (90-100ºC) dan dalam kondisi asam. Reaksinya menghasilkan warna merah muda dalam rantai gabungan MDA-TBA , yang merupakan hasil dari 2 mol TBA ditambah 1 mol dari MDA. Kompleks berwarna dapat diekstraksi dalam pelarut organik seperti butanol dan diukur dengan fluorometry atau spektrofotometri menggunakan panjang gelombang 532 nm dengan koefisien kepunahan ε532 = 1,53 x 105 M-1 cm-1 [11], diukur dalam satuan nmol/L. (Jetawattana S,2005)
Gambar 5. Reaksi asam thiobarbiturat. Dikutip dari J]etawattana S,2005
Universitas Sumatera Utara