BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN KEPERDATAAN A.
Tanggung Jawab Hukum Dilihat dari aspek lingkup bidang hukum, maka secara
umum konsep tanggung jawab hukum (liability) akan merujuk pada tanggung jawab hukum dalam ranah hukum publik dan tanggung
jawab
hukum
dalam
ranah
hukum
privat.
Tanggungjawab hukum dalam ranah hukum publik misalnya tanggung jawab administrasi Negara dan tanggung jawab hukum pidana. Sedangkan tanggungjawab dalam ranah hukum privat, yaitu tanggung jawab hukum dalam hukum perdata
dapat
wanprestasi melawan
berupa
dan
tanggungjawab
tanggungjawab
hukum.1
tort
berdasarkan
berdasarkan
/onrechtmatige
perbuatan
daad
(Belanda)
(selanjutnya disingkat PMH). Tanggung wanprestasi
jawab
diawali
hukum
dengan
perdata
adanya
berdasarkan
perjanjian
yang
melahirkan hak dan kewajiban. Perjanjian diawali dengan adanya janji. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak
melaksanakan
atau
melanggar
kewajiban
yang
dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi)
dan
pertanggungjawaban
1
atas
dasar
hukum
itu
ia
dapat
berdasarkan
dimintai
wanprestasi.
Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum,Jakarta: Pradnya Paramita, 1979., hal. 13
Sementara
tanggungjawab
perbuatan
melawan
hukum
hukum
perdata
didasarkan
berdasarkan pada
adanya
hubungan hukum, hak dan kewajiban, yang bersumber pada hukum. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dapat dijumpai baik dalam ranah hukum pidana (publik) maupun dalam ranah hukum perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah perbuatan melawan hukum pidana begitupun perbuatan melawan
hukum
perdata.
Dalam
konteks
itu
jika
dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah
untuk
dikatakan
melawan
hukum
keduanya
mensyaratkan adanya ketentuan hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua perbuatan melawan hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok antara kedua perbuatan melawan hukum tersebut, apabila perbuatan melawan hukum pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public
interest),
hak
obyektif
dan
sanksinya
adalah
pemidanaan. Sementara perbuatan melawan hukum perdata lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies). B.
Tanggungjawab Hukum Yang Berdasar Wanprestasi
Tanggung jawab hukum dengan dasar wanprestasi didasari adanya perikatan. Perikatan timbul baik karena perjanjian atau karena undang-undang.2 Aturan mengenai hukum perjanjian di Indonesia terdapat dalam KUHPerdata buku ketiga tentang perikatan. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata definisi persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.3 Apabila ada salah satu pihak tidak menghormati janjijanji (kewajiban) yang sudah disepakati berarti ada pihak yang kepentingannya
dilanggar
maka
hukum
memberikan
perlindungan atas kepentingan para pihak yang dilanggar janjinya tersebut. Kepentingan yang dilindungi dalam hukum perjanjian adalah kepentingan ekonomi. Tanggung jawab ini lahir dari adanya pelanggaran terhadap sebuah perjanjian (breach
of
promises).
Janji-janji
dalam
konsep
hukum
perikatan adalah prestasi. Rumusan prestasi dalam hukum perikatan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu berupa: 1.
Memberikan sesuatu;
2.
Berbuat sesuatu;
3.
Tidak berbuat sesuatu. Dalam hukum perikatan, apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan prestasinya maka dikatakan wanprestasi. Kata wanprestasi diresap dari kata wanprestasie (bahasa Belanda) 2
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], Ps. 1233. 3 Ibid., Ps. 1313
diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai non-performance of contract atau breach of contract. Wanprestasi adalah keadaan dimana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi dapat berupa suatu keadaan
dimana
pihak
yang
berkewajiban
untuk
melaksanakan prestasi: 1.
Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikan, namun tidak tepat seperti apa yang dijanjikan;
3.
Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Tindakan
wanprestasi
ini
dapat
terjadi
karena
kesengajaan, kelalaian atau tanpa kesengajaan. Konsekuensi keadaan wanprestasi adalah pihak yang dirugikan dapat menuntut
pihak
penggantian
yang
kerugian
melakukan dengan
wanprestasi
berupa
perhitungan-perhitungan
tertentu berupa biaya, rugi dan bunga dan/atau pengakhiran perjanjian. Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap pengeluaran yang dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan sebagai akibat adanya wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud
dengan
kerugian
adalah
berkurangnya
nilai
kekayaan debitur sebagai akibat adanya wanprestasi dari pihak debitur.4
4
Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Cetakan ke-II,Bandung: PT. Citra Aditya Bekti, 2001,hal.138
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat dituntut untuk: 1.
pemenuhan perjanjian;
2.
pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi;
3.
ganti rugi
4.
pembatalan perjanjian;
5.
pembatalan dengan ganti rugi. Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding)
tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata.5 Sedangkan bentuk pernyataan lalai diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan:6 1. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu salinan daripada tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang bersangkutan. 2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri. 5
6
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], op. cit., Ps. 1243”Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan” Kitab Undang – Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], op. cit., Ps. 1238” Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau aanmaning yang biasa disebut sommasi. C.
Tanggung Jawab Hukum Berdasar Perbuatan Melawan Hukum Pengertian perbuatan melawan hukum pada awalnya
mengandung pengertian sempit namun sekarang pengertian meluas yang digunakan. Pengertian perbuatan melawan hukum yang sempit tersebut dipengaruhi oleh ajaran legisme. Berdasarkan faham ini bahwa perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban
hukum
menurut
pengertian
onrechtmatigedaad
undang-undang. sama
dengan
Sehingga perbuatan
melawan undang-undang (onwetmatigedaad). Terdapat tiga Arrest Hoge Raad yang memiliki nilai historis yang menggambarkan terhadap pemahaman istilah “melawan hukum”. Arest pertama adalah Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Arest kedua adalah Arrest Hoge Raad 10 Juni 1910 dalam perkara kasus Zutphenese Juffrouw. Arest ketiga adalah Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen. Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine.
7
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer perbuatan Melawan Hukum, cet. 1 Bandung: Binacipta, 1991., hal. 9. Bahwa untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pada 11 Januari 1911 diajukan rancangan reqout untuk merubah dan menambah redaksi Pasal 1401 BW dengan perumusan PMH yang lebih luas, yaitu “perbuatan malawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang karena kesalahan para pembuat bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaaan baik atau kewajiban
7
Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit merek “Singer” yang telah disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk dari Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan huruf-huruf yang besar, sedang katakata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang terbaca adalah”Singer” saja. Ketika pedagang itu digugat di muka pengadilan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata (1401 B.W Belanda), Hoge Raad menolaknya karena pada waktu itu tidak ada peraturan perundang-undangan yang melindungi hak terhadap merek dagang.8 Secara umum, ada 5 (lima) prinsip-prinsip tanggung jawab hukum dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability base on fault) Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya
jika
ada
unsur
kesalahan yang dilakukan. Prinsip ini dalam pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dipegang
secara
teguh.
Pasal
1365
KUHPerdata
menyebutkan “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1365 KUHPerdata
sebagai bapak rumah tangga yang baik” rancangan ini tidak disahkan sebagai undang-undang. Menurutnya rumusan ini kemudian dipertimbangkan dalam putusan Lindenbaum vs Cohen 8
R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003, hal.346.
yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhi empat unsur pokok yaitu :
a. Adanya perbuatan melanggar hukum b. Perbuatan melawan hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan
berlawanan
dengan
sikap
hati-hati
yang
seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain9 c. Adanya unsur kesalahan10 d. Pengertian hukum
kesalahan
perdata,
Kesalahan
dalam
adalah
pengertian
dalam
bukan
dalam
hukum
pidana.
pasal
1365
KUHPerdata
ini
mengandung semua gradasi dari kesalahan dalam arti “sengaja” sampai pada kesalahan dalam arti “tidak sengaja” atau “lalai”. e. Adanya kerugian yang diderita f. Pengertian
menurut
Niuewenhuis
adalah
berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan
oleh
perbuatan
(melakukan
atau
Purwahid Patrick Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Undang-undang) Bandung Mandar maju ,1994 ,Hal 10-11 10 Ibid. 9
membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.11 g. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. h. Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Artinya tidak jika orang yang tidak
bersalah
harus
mengganti
kerugian
yang
diderita oleh oranglain. Dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat. 2.
Prinsip
praduga
untuk
selalu
bertanggung
jawab
(presumption of liability) Prinsip ini mengatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada tergugat. Ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik. Dalam
prinsip
beban
pembuktian
terbalik,
seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat
membuktikan
bertentangan
dengan
sebaliknya, asas
hal
hukum
ini
praduga
tentu tidak
bersalah yang lazim dikenal dalam hukum pidana. Menurut
prinsip
ini
ditekankan
selalu
bertanggungjawab atas setiap kerugian yang timbul, tetapi
jika
dapat
membuktikan
bahwa
dia
tidak
Niuewenhuis Pokok-Pokok Hukum Perikatan,terjemahan Djasadin Saragih,Surabaya,Universitas Airlangga,1985,Hal.57.
11
bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan. Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum. Namun jika diterapkan dalam kasus perlindungan konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti
dirinya
tidak
bersalah.
Tentu
saja
konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan
gugatan.
Posisi
konsumen
sebagai
penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat. Prinsip tersebut seiring dengan perkembangan kemudian dikenal dengan prinsip caveat emptor ke caveat vendor, dimana ingin meletakkan aspek keadilan dalam perlindungan konsumen. Prinsip ini pernah diterapkan dalam hukum Pengangkutan, khususnya pengangkutan udara, yang dapat dilihat dalam Pasal 17, 18 ayat (1), 19 jo 20 konvensi Warsawa 1929 atau Pasal 24, 25, 28, jo 29 Ordonansi Pengangkutan Udara No.100 Tahun 1939 kemudian dalam perkembangannya dihapuskan dengan Protokol Guatemala.12
12
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, cet 4 Bandung : PT Citra Aditya Abadi, hal 40-41
3.
Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability) Prinsip
praduga
bertanggungjawab transaksi
hanya
konsumen
untuk
tidak
selalu
dikenal
dalam
lingkup
yang
sangat
terbatas
dan
pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contohnya dapat
dilihat dalam
hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi cabin atau tangan yang biasa dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggungjawab dari penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.13 4.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) Prinsip
tanggung
jawab
mutlak
sering
diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability) kendati demikian ada pula para ahli yang
membedakan
pendapat
yang
kedua
terminologi
mengatakan,
diatas.
strict liability
Ada
adalah
prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force
majeure.
Sebaliknya
absolute
liability
adalah
prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada 13
Rahayu Hartini, Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta Pengangkutan Udara di Indonesia, Malang, UMM Press, 2007
pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability hubungan itu harus ada, sementara pada absolute
liability
hubungan
itu
tidak
selalu
ada.
Maksudnya, pada absolut liability dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam). Dalam Black‟s Law Dictionary, strict liability diartikan “Liability that does not depend on actual negligence or intent to harm, but that is baseb on the breach of an absolute duty to make something safe. Strict liability most often applies either to ultrahazardous activities or in products liability cases” Menurut
Richard
A.
Posner,
melalui
konsep
ultrahazardous, tort lawb membebankan strict liability pada aktivitas yang melibatkan bahaya dalam derajat yang tinggi yang tidak dapat dicegah oleh pihak yang telah bertindak hati-hati atau pihak yang mungkin menjadi korban.14 Menurutnya,
contoh
yang
baik
untuk
strict
liability ialah kerugian yang diakibatkan oleh tetangga yang memelihara macan di rumahnya. Area strict liability telah 14
mendorong pihak yang menjalankan
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Canada: Little Brown & Company, 1986 p. 163.
kegiatan
yang
digolongkan
extrahazardous
untuk
membuat beberapa alternatif yang dapat mengurangi derajat bahaya.15 Injurer akan melakukan tindakan pencegahan pada level yang optimal karena bila ia melakukan tindakan pencegahan di bawah level yang optimal maka akan ada total accident cost yang harus ditanggungnya. Strict
liability
masuk
dalam
konsep
hukum
tentang tort secara umum (the tort law in general). Perbuatan melawan hukum menurut sistem hukum common law dapat dibagi menjadi tiga perbuatan: a. Intentional Torts: suatu tort yang mensyaratkan bahwa
pelaku
menyebabkan
mempunyai kerugian
kesengajaan
(injury)
dan
itu
yang dapat
dianggap perbuatan melawan hukum. b. Negligent Torts: sikap tindak yang dilakukan secara unreasonably yang mengakibatkan kerugian kepada pribadi sesorang atau kebendaan seseorang. c. Strict Liability Torts: Behavior that is tortious because it causes unlawful personal/property damage to another, regardless of fault, reasonableness. Perilaku yang menyakitkan karena menyebabkan kerusakan melanggar hukum pribadi / properti lain, terlepas dari kesalahan, kewajaran. Pertanggungjawaban
hukum
strict
liability
walaupun tidak dikenal dalam hukum perlindungan 15
Ibid
konsumen,
namun
dikenal
dan
digunakan
dalam
hukum penerbangan dan hukum lingkungan. Hukum Lingkungan konsep
Indonesia
strict
mengenal
liability.
dan
mengadopsi
Diterapkannya
konsep
pertanggung jawaban tersebut dapat dilihat dalam UU No.
32
Tahun
2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 88 bunyinya “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius
terhadap
lingkungan
hidup
bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Di dalam penjelasan pasal 88 Yang dimaksud dengan “bertanggungjawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan yang tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi” ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Tanggung Jawab Produk (Product liability) di beberapa sistem hukum berbeda-beda penerapannya. Ada yang menerapkan tanggung jawab atas produk berdasarkan kesalahan. Artinya pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawab apabila memang dapat dibuktikan bahwa ada kesalahan. Namun ada juga yang menerapakan tanggung jawab pelaku usaha pembuat
(produsen), menggunakan tanggung jawab strict liability, terhadap barang yang diproduksinya. Dengan demikian pelaku usaha akan bertanggung jawab terhadap kerugian (injuries) yang disebabkan atas produk yang cacat (defect). Konsep Product liability mengacu pada kewajiban setiap atau semua pihak sepanjang
rantai
pembuatan
produk
apapun
atas
kerusakan yang disebabkan oleh produk tersebut. 5.
Prinsip
tanggung
jawab
dengan
pembatasan
(limitation of liability) Adalah
prinsip
tanggung
jawab
dengan
pembatasan yang sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan, bila film yang ingin dicuci/dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas) maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu roll film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. (Dalam UUPK yang baru seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang
merugikan
konsumen,
termasuk
membatasi
maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang jelas.
Selain peranggungjawaban di atas ada juga sistem pertanggungjawaban yang dilakukan oleh organ/badan hukum. D.
Sistem Pertanggungjawaban Pada Badan Hukum Selain manusia alami, badan hukum juga dipandang
sebagai subyek hukum. Menurut Prof. Wirjono Projodikoro, badan hukum adalah suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang
mempunyai
hak-hak,
kewajiban-kewajiban
dan
perbuatan hukum terhadap orang lain atau badan lain.16 Istilah
badan
hukum
merupakan
terjemahan
dari
bahasa Belanda, rechtspersoon. Selain diterjemahkan sebagai badan hukum, beberapa sarjana menerjemahkan istilah rechtspersoon menjadi purusa hukum, awak hukum, dan pribadi hukum.17 Menurut R. Subekti,
Badan hukum pada
pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan suatu perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau mengugat di depan hakim.18 Badan
hukum
dalam
bahasa
Indonesia
diartikan
sebagai organisasi atau perkumpulan yang didirikan dengan akta yang otentik dan dalam hukum diperlakukan sebagai orang yang memiliki hak dan kewajiban atau disebut juga dengan subyek hukum. Subyek hukum dalam ilmu hukum P.N.H Simanjuntak, Pokok pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, Hlm. 28-29 17 Chidir Ali, Badan Hukum,Bandung: Alumni, 1987, hal 14 18 Ibid hal 19 16
ada dua yakni, orang dan badan hukum. Disebut sebagai subyek
hukum
oleh
karena
orang
dan
badan
hukum
menyandang hak dan kewajiban hukum. Sebagai subyek hukum, badan hukum juga memiliki kewenangan
untuk
melakukan
perbuatan
hukum
sebagaimana subyek hukum orang atau individu. Namun, oleh karena bentuk badan hukum yang merupakan himpunan dari orang-orang, maka dalam pelaksanaan perbuatan hukum tersebut, suatu badan hukum diwakili oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, maka subyek hukum juga dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum menjadi tanggung jawab badan hukum tersebut yang dalam pelaksanaannya juga diwakili oleh pengurusnya. E.
Teori-teori Badan Hukum Untuk mengetahui hakikat badan hukum, berikut ini
dikemukakan 5 (lima) teori tentang badan hukum yang sering dikutip oleh penulis-penulis ahli hukum kita.19 1. Teori fiksi Teori ini dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (17791861).Teori ini dianut di beberapa negara antara lain dianut oleh Opzomer, Diephuis, Land dan Houwing serta Langemeyer.
19
Chidir Ali,op.cit, hlm 31-31
Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang yang menghidupkannya
dalam
bayangan
sebagai
subyek
hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Dengan kata lain sebenarnya menurut alam hanya manusia selaku subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya, badan hukum selaku subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subyek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya. Sehingga badan hukum bila akan bertindak harus dengan perantaraan wakilnya yaitu alat-alat perlengkapannya, misalnya: direktur atau pengurus dalam suatu perseroan terbatas atau korporasi. 2. Teori Kekayaan Bertujuan Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun ada kekayaan (vermorgen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyai dan terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Kekayaan badan hukum dipandang
terlepas
dari
yang
memegangnya
(onpersoonlijk/subjectloos). Disini yang penting bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu. Karena itu, menurut teori
ini tidak perduli manusia atau bukan, tidak perduli kekayaan itu merupakan hak-hak yang normal atau bukan, pokoknya adalah tujuan dari kekayaan tersebut. 3. Teori organ Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke (1841-1921), pengikut aliran sejarah dan di negeri Belanda dianut oleh L.G.Polano. Ajarannya disebut leer der volledige realiteit ajaran realitas sempurna. Menurut teori ini badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu „Eine Leiblichgeistige Lebensein Heit’. Badan hukum itu menjadi suatu „verbandpersoblich keit‟ yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia
yang
perantaraan
mengucapkan
mulutnya
atau
kehendaknya dengan
dengan
perantaraan
tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka (organen) putuskan, adalah kehendak dari badan hukum. 4. Teori kekayaan bersama (Propriete Collective Theory) Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering (18181892) srjana Jerman pengikut aliran/mazhab sejarah tetapi keluar. Pengikut teori ini adalah Marcel Pleiniol (Prancis) dan Molengraaff (Belanda), kemudian diikuti Star Busmann, Kranenburg, Paul Scolten dan Apeldoorn.
Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah milik (eigendom) bersama seluruh anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang abstrak. 5. Teori Kenyataan Yuridis Teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten, serta sudah merupakan de heersende
leer.
Menurut
Meijers
badan
hukm
itu
merupakan suatu realitas, konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebut teori tersebut sebagai teori kenyataan
sederhana
(
eenvoudige
realiteit),
karena
menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Jadi menurut teori kenyataan yuridis badan hukum adalah wujud yang riil, sama riilnya dengan manusia. Sebagai
Organ
ada
beberapa
doktrin
mengenai
pertanggung jawaban organ/ badan hukum diantaranya sebagai berikut : 1. Doktrin Ultra Vires
Definisi Ultra vires menurut Black’s Law Dictionary
20
adalah: “an act performed without any authority to act on subject.” Ultra
Vires
didefinisikan
sebagai
“tindakan
yang
dilakukan tanpa otoritas untuk bertindak sebagai subjek”. Dalam Bahasa Latin, ultra vires berarti “di luar” atau “melebihi” kekuasaan (outside the power) yaitu kekuasaan yang diberikan hukum terhadap suatu badan hukum (dalam hal ini badan hukum Perseroan diwakili oleh Organ Perseroan dalam melakukan tindakan hukumnya). Istilah lain yang seringkali digunakan untuk mendefinisikan ultra vires adalah “pelampauan wewenang”21. Ultra vires diterapkan dalam arti luas yakni tidak hanya kegiatan yang dilarang oleh Anggaran Dasarnya, tetapi termasuk
juga
tindakan
yang
tidak
dilarang,
tetapi
melampaui kewenangan yang diberikan. Doktrin ultra vires memiliki mempunyai basis teori keagenan. Konstruksi hubungan hukum terjadi antara pihak principal pada satu sisi dan agent pada sisi yang lain. Dalam hal ini Organ Perseroan merupakan agent dan Perseroan merupakan principal. Agent harus melakukan tindakan dalam batas kewenangannya (intra vires). Apabila ia bertindak di luar batas kewenangannya maka Organ Perseroan tersebut melakukan tindakan ultra vires. 20
21
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal.1522 Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 102
Akibat hukum dari tindakan ultra vires adalah tindakan tersebut batal demi hukum (null and void), karena tindakan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat objektif sahnya perjanjian yaitu “kausa yang halal.”
2. Pertanggungjawaban Vicarious Liability Secara umum seseorang hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tetapi dalam hukum juga dikenal konsep bahwa seseorang bertanggungjawab terhadap perbuatan orang lain, undang-undang mengatur dan menetapkan orang yang dipandang bertanggung jawab sebagai pembuat. Konsep mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain dalam hukum dikenal dengan istilah Vicarious liability (atau disebut juga respondent superior atau let the master answer) Undang-undang dapat menentukan Vicarious liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut; a. Seseorang
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila
perbuatan
kewenangannya
itu
menurut
telah
didelegasikan
undang-undang
kepada
orang lain. Dalam hal ini diperlukan suatu syarat atau prinsip tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle)
b. Seorang majikan dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan buruhnya atau pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan buruh itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servants act is the master’s act in law) KUHPerdata juga menganut sistem pertanggungjawaban Vicarious liability. Sebagaimana diketahui bahwa dalam KUHPer tanggung jawab terhadap PMH dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: a. tanggung jawab diri sendiri (Pasal 1365 KUHPerdata), b. tanggung jawab terhadap orang-orang yang menjadi tanggungannya tanggung
(Pasal
jawab
1367
orang
KUHPerdata),
tua/wali,
tanggung
yaitu jawab
majikan terhadap bawahan dan tanggungjawab guru, kemudian c. tanggung jawab terhadap Gedung dan binatang yang ada dalam pengawasannya. Pasal tersebut merupakan pengecualian dari tanggung jawab vicarious liability di Indonesia. Namun untuk hubungan
majikan
pengecualiannya
dan
dari
bawahannya pembuat
tidak
ada
undang-undang.
Hubungan majikan dan bawahan adalah hubungan “trust” sehingga
majikan
dianggap
selalu
bertanggungjawab
terhadap bawahan sepanjang bahwa kesalahan itu dapat dibebankan
kepada
bawahannya.
Artinya
sepanjang
kesalahan tersebut dapat dikenakan kepada bawahannya
maka majikan selalu bertanggung jawab, kecuali bawahan tidak dapat dikenakan tanggung jawab, misalkan karena adanya overmacht, maka si majikan pun dibebaskan dari tanggung jawab. Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability. Karena menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu pekerja
atau
kelompok
pekerja
bertanggung
jawab
terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh para pekerjanya. Latar belakang penerapan konsep ini adalah bahwa dibalik dinding, suatu korporasi itu adalah sebagai satu kesatuan. 3. Prinsip Tanggung Jawab Terbatas (Limit Liability) Badan hukum memiliki keistimewaan dengan dianutnya prinsip tanggung jawab terbatas. Tanggung jawab terbatas berperan
sebagai
berbeda
dari
“defensive
“affirmative
asset asset
partitioning” partitioning”
yang dalam
personalitas hukum.22 Ini merupakan konsekuensi dari status perseroan sebagai badan hukum yang terpisah dari pemilik dan pengurusnya. Pembatasan tanggung jawab dibebankan kepada para pemegang saham bahwa tanggung jawab hanya sebatas sebesarnilai saham yang disetorkannya kepada perseroan. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perseroan Terbatas diatur, bahwa
22
Khairandy Ridwan, Perseroan Terbatas,2009 Kreasi Total Media. Hlm.14.
“pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki” Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan: a. Bahwa perseroan merupakan subyek hukum mandiri yang terpisah dari pribadi para pemegang sahamnya, bertindak atas nama dan untuk kepentingannya dan bertanggung
jawab
sendiri
terhadap
tindakannya
tersebut. b. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi
atas
segala
perikatan
yang
dibuat
oleh
perseroan atas nama perseroan. c. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi terhadap perseroan melebihi nilai saham yang dimilikinya. d. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa pemegang saham, pada prinsipnya tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat atas nama perseroan juga atas kerugian yang dialami oleh perseroan. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas modal yang disetorkannya kepada perseroan. Timbulnya prinsip tanggung jawab terbatas berkaitan erat dengan didapatnya status perseroan sebagai badan hukum. Sebelum perseroan menjadi badan hukum, maka sesuai
dengan
Pasal
39
KUHD
,
masing-masing
pengurusnya bertanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan.23 Hal ini juga berlaku bagi pemegang saham, seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2), yang menentukan bilamana persyaratan
perseroan
sebagai
badan
hukum
belum
terpenuhi, maka ketentuan mengenai tanggung jawab pemegang saham yang hanya terbatas pada besarnya nilai saham yang disetorkan tidaklah berlaku.24 Badan hukum melindungi pemiliknya dari tanggung jawab pribadi atas utang dan kewajiban organisasi. Pemilik/pemegang jawab
secara
saham
pribadi
atas
dilindungi utang
dari
bisnis
tanggung perseroan.
Meskipun, pemilik kemudian menjadi pengurus perseroan, tetap mendapatkan perlindungan dari tanggung jawab pribadi. Dari kedua hal di atas dapat disimpulkan bahwa para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi
23
H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid II,1989, Jaakarta: PT Djambatan. Hlm. 102. 24 Pasal 3 ayat (2) UU No 40 tahun 2004 tentang Perseroan Terbatas Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila: a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatanmelawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, Yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan
terhadap utang maupun kewajiban perseroan yang timbul dari
perikatan
maupun
tindakan
hukum
lain
yang
dilakukan oleh perseroan atas nama perseroan. Tanggung
jawab
terbatas
memberikan
tabir
perlindungan bagi setiap pemegang saham, sehingga terlepas dari tuntutan pihak ketiga yang timbul atas kontrak atau perikatan yang dilakukan oleh perseroan.25 Keterpisahan tanggung jawab hukum antara perseroan dengan pribadi pemegang saham tersebut mempertegas ciri dari perseroan terbatas bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas nilai saham yang dimilikinya dan tidak meliputi kekayaan pribadinya.26 Kelebihan dari adanya prinsip tanggung jawab terbatas adalah dalam menarik investor atau pemodal, terutama para investor yang memiliki sedikit informasi atau memiliki keterbatasan dalam
pengawasan
kegiatan
dan
aktivitas
perseroan/badan hukum.
25
M. Yahya Harahap. Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, 2009. hlm 75.
Rustamaji Purnomo : Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil Pada Perseroan Terbatas (studi kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia). 2008. Hlm. 49. 26