29
BAB II SISTEM PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI PEKANBARU
A. Defenisi Dan Klasifikasi Pajak. 1.
Defenisi dan Fungsi Pajak Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara dipandang sangatlah perlu
untuk
terus ditingkatkan sehingga pembangunan dapat dilaksanakan dengan
kemampuan sendiri berdasarkan prinsip kemandirian. 39 Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.40 Pajak memiliki berbagai definisi yang pada hakikatnya mempunyai pengertian yang sama. Beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli adalah sebagai berikut. 1. P. J. A. Adriani Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran39
Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, (Jakarta : Yellow Printing, 2007),
hal.1 40
Ida Zuraida dan L.Y. Hari Sih Advianto, Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak Daerah Dilengkapi dengan Kompilasi Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2011), hal.3
29
Universitas Sumatera Utara
30
pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.41 2. Rochmat Soemitro. Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran umum.42 3. Soeparman Soemahamidjaja. “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.43 4. Edi Gernadi dan Kustadi Arinta. “Pajak adalah pembayaran berupa uang pada perbendaharaan umum negara dan daerah yang dikenakan atas wajib pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.44 Pajak menurut Pasal 1ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memberikan
41
Rudy Suhartono dan Wirawan B. Ilyas, Panduan Komprehensif dan Praktis Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) (Jakarta: Salemba Empat, 2010), hal.2 42 Rudy Suhartono dan Wirawan B. Ilyas, Ibid, hal.2 43 R. Santoso Brotodihardjo, Penghantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal.5 44 Edi Garnadi dan Kustadi Arinta, Intisari dan Sarana ketentuan Perpajakan Nasional, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 4
Universitas Sumatera Utara
31
defenisi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.45 Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak, antara lain sebagai berikut: 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang." 2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor. 3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. 5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).46
45 46
Rudy Suhartono dan Wirawan B. Ilyas, Ibid, hal.2 Rudy Suhartono dan Wirawan B. Ilyas, Ibid,hal.3
Universitas Sumatera Utara
32
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: Fungsi anggaran atau penerimaan (budgetair): pajak merupakan salah satu sumber dana yang digunakan pemerintah dan bermanfaat untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran. Penerimaan negara dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen penerimaan dalam negeri pada APBN. 2. Fungsi mengatur (regulerend) : pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contohnya adalah pengenaan pajak yang lebih tinggi kepada barang mewah dan minuman keras. 3. Fungsi stabilitas : pajak sebagai penerimaan negara dapat digunakan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah. Contohnya adalah kebijakan stabilitas harga dengan tujuan untuk menekan inflasi dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat lewat pemungutan dan penggunaan pajak yang lebih efisien dan efektif. 4. Fungsi redistribusi pendapatan : penerimaan negara dari pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.47
1.
2.
Penggolongan Pajak. Apabila ditinjau dari sifatnya pajak dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : 1. Pajak Subjektif adalah pajak yag berpangkal atau berdsarkan pada subjeknya, dengan artian memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : pajak Penghasilan. 2. Pajak Objektif adalah pajak yang hanya memperhatikan objek tanpa memperhatikan wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan nilai dan Pajak penjualan berang mewah.48
47
Ibid, hal.3 Marihot Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal.141 48
Universitas Sumatera Utara
33
Berdasarkan lembaga pemungutnya, pajak di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu pajak pusat dan pajak daerah (yang terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota). Pajak pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan hasilnya digunakan untuk membiayai
pengeluaran
pemerintah
pusat
dan
pembangunan. Pajak pusat dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraan pemungutannya dilaksanakan oleh Kementrian Keuangan.49 Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dengan demikian pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah dengan Peraturan Daerah.50 Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berdasarkan pemungutnya di Indonesia dikenal 2 jenis pajak yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari : 1. Pajak Penghasilan Diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009. 3. Bea Materai Diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. 49 50
Ibid, hal 142 Ibid, hal.142
Universitas Sumatera Utara
34
4. Bea Masuk Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 jo. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. 5. Cukai Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 jo. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Sedangkan Pajak Daerah terdiri dari : 1. Pajak Provinsi terdiri dari: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. 2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.51 B. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 1.
Pengertian BPHTB BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak yang terutang dan
harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.52
51
Waluyo, Perpajakan Indonesia Edisi 10 Buku 2 (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hal.237 Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek, Edisi I ,Cet. I, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal.160 52
Universitas Sumatera Utara
35
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan. Pemungutan BPHTB diatur dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.53 Terdapat 3 (tiga) unsur yang terkandung dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), yaitu bea (pajak), perolehan, hak atas tanah dan bangunan, yang pengertiannya merupakan satu kesatuan, yaitu: 1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.54 2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.55 3. Hak atas tanah: adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.56 4. Bangunan adalah hak yang melekat pada hak atas tanah. 53
Ibid, hal.226 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Pasal 1 ayat (1) 55 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Pasal 1 ayat (2) 54
Universitas Sumatera Utara
36
Subjek hukum atau Wajib Pajak dalam BPHTB adalah wajib pajak orang perorangan dan/atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan melalui perbuatan hukum dan peristiwa hukum.57 2.
Objek BPHTB Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah
perolehan hak atas tanah dan bangunan,58 sedangkan Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.59 Undang-undang BPHTB mengatur bahwa perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak terdiri karena 2 (dua) hal, yaitu : Pemindahan Hak dan Pemberian Hak Baru. Pemindahan Hak yang merupakan obyek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) meliputi 13 (tiga belas) jenis perolehan hak, yaitu : 1. Perolehan Hak Karena Jual Beli. Yaitu perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan oleh pembeli dari penjual (Pemilik tanah dan bangunan atau kuasanya) yang terjadi melalui transaksi jual beli, dimana atas perolehan tersebut pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual. 57
Pasal 86 ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
58
Pasal 85 ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
59
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2011 (Yogyakarta: Andi Offset, 2011), hal.340
Daerah. Daerah.
Universitas Sumatera Utara
37
2.
Perolehan Hak karena Tukar Menukar. Yaitu perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diterima oleh seorang atau suatu Badan Hukum dari Pihak lain dan sebagai gantinya orang atau Bandan Hukum tersebut memberikan Tanah dan Bangunan miliknya kepada Pihak lain tersebut sebagai pengganti tanah dan bangunan yang diterimanya. 3. Perolehan Hak karena Hibah. Yaitu perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diperoleh oleh seorang penerima hibah yang berasal dari pemberi hibah pada saat pemberi hibah masih hidup. 4. Perolehan Hak karena Hibah Wasiat. Yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian Hak Atas Tanah dan atau Bangunan kepada orang pribadi atau Badan Hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. 5. Perolehan Hak karena Waris. Yaitu perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan oleh ahli waris dari pewaris (pemilik tanah dan bangunan) yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. 6. Perolehan Hak karena Pemasukan dalam Perseroan atau Badan Hukum lainnya. Yaitu Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai hasil pengalihan hak atas tanah dan bangunan dari orang pribadi atau Badan Hukum kepada perseroan atau badan hukum lain. 7. Perolehan Hak karena Pemisahan Hak yang mengakibatkan Peralihan. Yaitu perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang berasal dari pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama. 8. Perolehan Hak karena Penunjukan Pembeli Dalam Lelang Yaitu Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan oleh seorang atau suatu Badan Hukum yang ditetapkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang. 9. Perolehan Hak sebagai Pelaksanaan Putusan Hakim Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Yang Tetap. Yaitu terjadi dengan peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai pihak yang semula memiliki suatu tanah dan bangunan kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim menjadi pemilik baru dari tanah dan bangunan tersebut. 10. Perolehan Hak karena Penggabungan Usaha. Yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha yang tetap berdiri dari badan usaha yang telah digabungkan ke dalam badan usaha yang tetap berdiri tersebut. 11. Perolehan Hak karena Peleburan Usaha. Yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha baru sebagai hasil dari peleburan usaha dari badan-badan usaha yang
Universitas Sumatera Utara
38
tergabung dan telah dilikuidasi. 12. Perolehan Hak karena Pemekaran Usaha. Yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha yang baru didirikan yang berasal dari aktiva badan usaha induk yang dimekarkan. 13. Perolehan Hak karena Hadiah. Yaitu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah. Sedangkan pemberian hak baru yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merupakan obyek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) meliputi 2 (dua) jenis perolehan hak, yaitu: 1. Perolehan Hak Karena Pemberian Hak Baru sebagai Kelanjutan Pelepasan Hak. Yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak. 2. Perolehan Hak Karena Pemberian Hak Baru Diluar Pelepasan Hak. Yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.60 3.
Tarif BPHTB Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan setelah menjadi Pajak
Daerah ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) diatur dengan Peraturan Daerah.61 Penetapan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagai Pajak Daerah sebagaimana dimaksud UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) mengandung beberapa pengertian sebagai berikut : a. Tarif pajak menjadi lebih fleksibel, karena dapat berubah setiap periode tertentu, tergantung kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah kabuapaten/kota bersangkutan. b. Memungkinkan terjadi perbedaan penetapan besarnya tarif pajak antara beberapa kabupaten/kota, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan kesenjangan di kalangan masyarakat, karena satu daerah kabupaten/kota menetapkan tarif pajak minimal sedangkan kabupaten/kota lain menetapkan tarif pajak maksimal atau bahkan ada daerah tertentu menerapkan tarif 60 61
Waluyo, Op.Cit, hal.228 Ibid, hal.230
Universitas Sumatera Utara
39
BPHTB secara progresif dengan interval antara 0% s.d 5%, karena undangundang hanya memberi batasan tarif maksimal sebesar 5%. c. Penerapan tarif pengenaan BPHTB dari pajak yang seharusnya terutang untuk jenis perolehan hak karena waris dan hibah wasiat serta hak pengelolaan yang sebelumnya ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 111 dan 112 Tahun 2000 sebesar 0% dan 50%, akan terjadi perbedaan penerapan besarnya prosentase oleh masing-masing daerah kabupaten/kota, bahkan sangat mungkin tidak diatur lagi dalam Peraturan Daerah, karena sebagaimana diatur dalam pasal 180 bagian 6 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB pada tanggal 1 Januari 2011 tidak berlaku lagi, sehingga segala peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut juga tidak berlaku.62 4.
Dasar Pengenaan BPHTB Dasar Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).63 Nilai Perolehan Objek Pajak adalah harga transaksi atau nilai pasar atas tanah dan bangunan yang dialihkan atau diperoleh yang dimuat dalam akta peralihan hak, risalah lelang atau pemberian hak baru. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.64 Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibahwasiat, termasuk suami/istri,
62
Amir Islamudin, BPHTB sebagai pajak daerah http://amirislamudin.blogspot.com/2011/05/bphtb-sebagai-pajak-daerah.html diakses tanggal 14 Juli 2014 63 Pasal 87 ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 64 Pasal 87 ayat 4 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Universitas Sumatera Utara
40
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).65 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) adalah suatu jumlah dari Nilai Perolehan Objek Pajak yang tidak dikenakan pajak. Harga Transaksi adalah harga perolehan hak atas tanah dan atau bangunan berdasarkan jual beli. Nilai Pasar adalah nilai perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena peralihan hak kecuali jual beli. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Terutang adalah harga transaksi atau nilai pasar setelah dikurangi oleh Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan dengan tarif yang ditetapkan peraturan daerah (maksimal 5 %). Perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 89 adalah : BPHTB = max 5% X (NPOP-NPOPTKP) atau Max 5% X (NJOP-NPOPTKP) C. Sistem Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 1.
Sistem Pemungutan pajak. Sistem yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menghitung dan
menetapkan jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak, ada 3 cara yaitu Official Assesment System, Self Assesment System dan With Holding System.66 65
Pasal 87 ayat 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Universitas Sumatera Utara
41
1.1. Official Assesment System. Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.67 Dalam sistem ini utang pajak timbul bila telah ada ketetapan pajak dari fiskus (sesuai dengan ajaran formil tentang timbulnya utang pajak). Jadi dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif. Kekurangan Sistem Pemungutan Pajak Official Assesment adalah karena tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan yang diwakili oleh fiskus sebagaimana tercermin dalam sistem penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang administrasi perpajakan. Wajib pajak hanya berperan sebagai pembayar jumlah pajak yang sebelumnya telah ditetapkan oleh fiskus. Dengan demikian, pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya, serta kurang diikutsertakan dalam memikul beban negara untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. Untuk menjaga keefektifan dari sistem pemungutan ini (Official Assesment), berarti secara tidak langsung adalah dengan memperkuat struktur fiskus dan
66 67
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2011, (Yogyakarta, Andi Offset, 2011), hal.7. Mardiasmo, Ibid, hal.7.
Universitas Sumatera Utara
42
administrasi perpajakan keseluruhan. Wajib pajak tidak berperan serta aktif dalam peningkatan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan administrasi perpajakan. 1.2. Self Assesment System Self Assesment System yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.68 Sistem ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kepada Fiskus, sedangkan fiskus bertugas memberikan penerangan dan pengawasan. Sistem Self Assesment berbeda dengan sistem Official Assesment karena Sistem Self Assesment memberikan konsekuensi yang berat bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang dibebankan kepadanya. Secara otomatis, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat, yakni berupa denda, bunga, ataupun kenaikan jumlah pajak yang terutang. Self Assessment System menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula. Di lain pihak, sistem ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut 68
Mardiasmo, Ibid, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
43
dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas parpajakan atau pemerintahan lainnya. Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah: a) Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. b) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan; c) Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (Self Assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.69 1.3. With Holding System. With Holding System yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan).70 Pihak ketiga diberikan
kepercayaan
untuk
melaksanakan
kewajiban
memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas Negara. Di akhir tahun pajak, pajak yang telah dipotong atau dipungut dan telah disetorkan ke kas negara
69
Meninjau-sistem-pemungutan-pajak,http://indonesiantaxation.blogspot.com/2009/11/ diakses tgl 9 Juli 2014 70 Mardiasmo, Op.Cit, hal.8
Universitas Sumatera Utara
44
itu akan menjadi pengurang pajak atau kredit pajak bagi pihak yang dipotong dengan melampirkan bukti pemotongan atau pemungutan. Sistem Withholding Tax di Indonesia diterapkan pada mekanisme pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) dan PPN yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat (2), PPh Pasal 15, dan PPN. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan tersebut dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh/SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Sistem Withholding memberikan peran aktif kepada Pihak ketiga sedangkan fiskus berperan dalam pemeriksaan pajak, penagihan, maupun tindakan penyitaan apabila ada indikasi pelanggaran perpajakan, seperti halnya pada Self Assessment System.71 Sistem pajak ini menekankan kepada pemberian kepercayaan pada pihak ketiga diluar fiskus yaitu, pemberi penghasilan melakukan pemotongan atau memungut pajak atas penghasilan yang diberikan dengan suatu persentase tertentu dari jumlah pembayaran atau transaksi yang dilakukannya dengan penerima penghasilan. Jumlah pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga tersebut dibayarkan kepada negara melalui penyetoran pajak seperti pada aktivitas yang dilakukan di Self Assessment dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan Undang-undang.
71
Setu Setyawan, Perpajakan Indonesia Edisi 2009, (Malang : UMM Press, 2009), hal.10
Universitas Sumatera Utara
45
Withholding Tax System selain memperlancar masuknya dana ke kas Negara tanpa intervensi fiskus juga dapat menghemat biaya administrasi pemungutan (administrative cost), seperti pada Self Assessment, wajib pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya secara tidak terasa telah memenuhi kewajiban perpajakannya. Manfaat withholding tax system antara lain, dapat menigkatkan kepatuhan secara sukarela karena pembayar pajak secara tidak langsung telah membayar pajaknya,
pengumpulan
pajak
secara
otomatis
bagi
pemerintah
tanpa
mengeluarkan biaya, menigkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan objek pajak), merupakan penerapan prinsip convenience of tax system, serta meningkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan obyek pajak). Withholding Tax System merupakan cara termudah bagi pemerintah untuk memungut pajak, tetapi di pihak lain, yaitu pihak Wajib Pajak, Withholding Tax System
ini menimbulkan beban pemenuhan kewajiban perpajakan (cost of
compliance) yang tinggi, misalnya beban administrasi, beban sanksi administrasi kalau terlambat memotong dan/atau menyetorkan, atau alpa tidak/belum memotong pajaknya pihak lain. Dengan kata lain, dalam Withholding Tax System ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk memungut dan mengadministrasikan pajaknya pihak lain (Wajib Pajak lain) yang mana kewajiban untuk mengadministrasikan pajaknya pihak lain tersebut sebenarnya adalah tanggung jawab pemerintah (dalam hal ini wewenang ada pada Direktorat Jenderal Pajak).
Universitas Sumatera Utara
46
Withholding Tax System
yang berlaku saat ini di Indonesia, Direktorat
Jenderal Pajak memiliki kewenangan penuh dalam menentukan jenis-jenis penghasilan yang merupakan objek Withholding Tax. Tidak ada pembatasan mengenai jenis-jenis penghasilan yang layak dan tidak layak dikenakan Withholding Tax. Hal ini tentunya akan memberi keleluasaan bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk terus memperluas pengenaan Withholding Tax ini. Alasannya adalah karena penerimaan pajak akan mudah terkumpul dan tugas Direktorat Jenderal Pajak cukup mengawasi saja, dan kalau ada Wajib Pajak tidak menjalankan Withholding Tax System tersebut dengan benar, maka Direktorat Jenderal Pajak tinggal menerapkan sanksi administrasi, yang tentunya akan menambah pundi-pundi penerimaan negara. Akan tetapi, bagi Wajib Pajak, perluasan Withholding Tax ini tentunya menimbulkan cost of compliance yang tinggi, karena mereka dibebani untuk memungut pajaknya pihak lain yang seharusnya
bukan
tanggung
jawab
mereka
untuk
memungut
dan
mengadministrasikannya. Hal ini bermula dari luasnya pendelegasian wewenang yang diberikan oleh UU PPh yang berlaku sekarang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menentukan sendiri jenis-jenis penghasilan yang akan dikenakan Withholding Tax. Selain itu ada beberapa faktor penghambat penerapan dan pelaksanaan kebijakan Withholding Tax System baik dari aspek yuridis, aspek SDM, maupun aspek moralitas. Misalnya sering terjadi penambahan/ perubahan peraturan perpajakan, baik fiskus dan pihak ketiga pemotong pajak (Tax Withholder)
Universitas Sumatera Utara
47
sangat terbatas, serta kurangnya kesadaran para pihak. Status kinerja Tax Withholder dan fiskus belum diatur secara spesifik dalam UU Pajak Penghasilan, sehingga bila terjadi kesalahan dan pelanggaran yang paling dirugikan adalah dari Wajib Pajak dan akan menanggung akibat hukumnya. 2.
Sistem pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Sebelum Menjadi Pajak Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan. Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Dasar hukum dalam melakukan pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebelum dialihkan menjadi pajak daerah adalah: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat;
Universitas Sumatera Utara
48
3. 4.
Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan; Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Besarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.72 Pada dasarnya yang obyek dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
adalah setiap upaya pemindahan hak atau pemberian hak atas tanah dan bangunan. Obyek bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Jual beli Tukar menukar Hibah Hibah wasiat Waris Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan Penunjukan pembeli pada lelang Pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap Penggabungan usaha Peleburan usaha Pemekaran usaha Hadiah73 Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai
perolehan obyek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan obyek pajak.74 Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal ini adalah: 72
Mardiasmo, Op.Cit, hal.340 Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 74 Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 73
Universitas Sumatera Utara
49
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Jual-beli adalah harga transaksi; Tukar-menukar adalah nilai pasar; Hibah adalah nilai pasar; Hibah wasiat adalah nilai pasar; Waris adalah nilai pasar; Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar; Penggabungan usaha adalah nilai pasar; Peleburan usaha adalah nilai pasar; Pemekaran usaha adalah nilai pasar; Hadiah adalah nilai pasar; Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.75 Apabila Nilai Perolehan Obyek pajak sebagaimana dimaksud tidak diketahui
atau lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak, yang digunakan adalah Nilai Jual Obyek Pajak PBB pada tahun terjadinya perolehan. Pihak yang terkena kewajiban melunasi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah orang pribadi dan badan hukum.76 Selain itu terdapat pihak yang dikecualikan dari kewajiban melunasi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, yaitu:
1. Perwakilan diplomatik dan konsulat dengan asas timbal balik 2. Negara untuk melaksanakan kepentingan umum 3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri untuk menjalankan fungsinya 75
Marihot Pahala Siahaan, Bea perolehan hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan Praktek,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 163 76 Pasal 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Universitas Sumatera Utara
50
4. 5. 6.
Orang pribadi atau badan, karena konversi hak atas tanah dan bangunan dengan tidak ada perubahan nama Orang pribadi atau badan yang diperoleh dari wakaf Orang pribadi atau badan yang diperuntukan untuk kepentingan ibadah.77
Subyek pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subyek pajak berkewajiban membayar pajak sebagai wajib pajak. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memuat bahwa setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.78 Wajib pajak wajib membayar pajak terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.79 Pasal ini memberikan defenisi dan pemahaman bahwa Pemerintah tidak menetapkan besarnya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang menjadi kewajiban subjek bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), karena sistem pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) adalah sistem Self Assesment yakni sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung dan menentukan 77
Pasal 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan 78
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan UndangUndang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 79 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Universitas Sumatera Utara
51
sendiri pajak terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.
3.
Sistem Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Setelah Menjadi Pajak Daerah. Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan langkah maju yang dilakukan oleh Indonesia dalam penataan sistem perpajakan nasional. Meskipun berbagai pihak menilai kebijakan tersebut sudah tepat dilakukan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan
sehingga
daerah
benar-benar
dapat
melakukan
pemungutan BPHTB dengan baik. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah di dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu: 1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional. 2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List). 3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undangundang. 4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah. 5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dankorektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi
Universitas Sumatera Utara
52
Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.80 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. 2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah. 3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.81 Pelaksanaan pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah dilakukan setelah adanya Peraturan Daerah (Perda). Perda tentang BPHTB merupakan dasar hukum yang mengatur kebijakan BPHTB di suatu daerah yang mencakup objek, subjek dan wajib pajak, tarif, dasar pengenaan, dan ketentuan lain yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB sesuai dengan kondisi masyarakat dan karakteristik daerah masing-masing. Pajak Daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak daerah di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota. Pembagian ini dilakukan pengenaan dan
sesuai
pemungutan masing-masing jenis
dengan kewenangan pajak
wilayah administrasi propinsi atau kabupaten/kota yang
daerah pada bersangkutan.
80
Intisari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 http://iprotax.wordpress.com/2012/03/08/ diakses tanggal 14 Juli 2014
Universitas Sumatera Utara
53
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 terdapat beberapa pajak yang dikelola oleh provinsi dan kabupaten/kota. Pajak Propinsi terdiri dari: a. b. c. d. e. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; Bea Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Permukaan. Pajak Rokok. Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri dari: Pajak Hotel. Pajak Restoran Pajak Hiburan. Pajak Reklame. Pajak Penerangan Jalan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan Pajak Parkir Pajak Air Tanah Pajak Sarang Burung Walet Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 82 Pajak
Air
daerah adalah konstribusi wajib kepada Daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. 83 Dari definisi tersebut jelas bahwa pajak daerah merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali.
82 83
Waluyo, Op.Cit, hal.236-237 Pasal 1 ayat 10 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Universitas Sumatera Utara
54
Berdasarkan Undang-undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah,
pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk memungut pajak dan retribusi di daerahnya masing-masing. Akan tetapi, perda-perda yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku,
termasuk terhadap Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009. BPHTB adalah salah satu pajak daerah. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau selanjutnya disebut BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 84 Selanjutnya, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.85 Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah termasuk hak
pengelolaan, besarta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria,
Undang-Undang Nomor
16 tahun 1985
tentang Rumah
susun, dan ketentuan perundang-undangan lainnya. 86 Obyek pajak adalah perolehan atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru. Pemindahan hak ini karena: jual beli, tukar
menukar, hibah, hibah
84
Mardiasmo, Op.Cit, hal.340 Ibid, hal.340 86 Waluyo, Ibid, hal.228 85
Universitas Sumatera Utara
55
wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan
hadiah.
Selain itu, pemberian hak baru dapat karena: kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak. 87 Jenis hak atas tanah yang dikenakan BPHTB ad.alah jenis hak yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Sedangkan jenis hak yang diatur dalam UU rumah susun adalah hak milik atas satuan rumah susun dan pengelolaan.88 Obyek pajak diperolah:
yang tidak dikenakan BPHTB adalah obyek pajak yang
perwakilan
pemerintahan
dan
diplomatik,
atau
untuk
negara
untuk
pelaksanaan
penyelenggaranaan
pembangunan
guna
kepentingan umum, badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri de ngan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas; orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; orang pribadi atau badan karena wakaf;
87 88
Mardiasmo, Op.Cit, hal.341 Pasal 85 ayat 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Universitas Sumatera Utara
56
orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. 89 Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP). Secara umum NPOP dibagi menjadi 3 dasar, yakni: 1). Harga transaksi: jual beli, penunjukan pembeli dalam lelang. 2).Nilai pasar: tukar menukar, hibah, pemberian hak baru, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena putusan hakim yang tetap, pemberian hak baru, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah. 3).NJOP PBB, apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP PBB. Sementara itu, NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 90 Setelah menjadi pajak daerah kabupaten atau kota, Pasal 9 ayat 2 UndangUndang BPHTB diadopsi oleh Pasal 90 ayat 2 Undang-Undang PDRD, sehingga masih tetap menegaskan bahwa pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan.91 4.
Sistem pemungutan BPHTB di Pekanbaru. Pemungutan BPHTB di Pekanbaru diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 04
Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat 2 Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) memuat bahwa Sistem dan Prosedur pemungutan BPHTB diatur dengan Peraturan Walikota. Untuk melaksanakan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 04 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tersebut, 89
Waluyo, Ibid, hal.229 Mardiasmo, Op.Cit, hal.27 91 Bastari, Sistem Pemungutan BPHTB dalam Seminar BPHTB Pasca Pengalihan Dari Pajak Pusat Menjadi Pajak Daerah di Medan pada tanggal 29 Januari 2013 90
Universitas Sumatera Utara
57
Walikota Pekanbaru mengeluarkan Peraturan Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai landasan hukum operasional dan teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan BPHTB. Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB mencakup seluruh rangkaian proses yang harus dilakukan dalam menerima, menatausahakan, dan melaporkan penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.92 Prosedur pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dimaksud meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
prosedur pengurusan Akta Pemindahan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan; prosedur pembayaran BPHTB; prosedur penelitian Surat Setoran Pajak Daerah BPHTB (SSPD BPHTB); prosedur pendaftaran Akta Pemindahan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan; prosedur pelaporan BPHTB; prosedur penagihan; prosedur pengurangan.93 Prosedur penelitian Surat Setoran Pajak Daerah BPHTB merupakan proses
verifikasi kelengkapan dokumen dan kebenaran data terkait objek pajak yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak Daerah BPHTB.94 Prosedur ini dilakukan setelah Wajib Pajak melakukan pembayaran BPHTB terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB melalui Bank yang Ditunjuk/ Bendahara Penerimaaan.95
92
Pasal 2 ayat 1 Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 93 Pasal 2 ayat 2 Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 94 Lampiran III Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 95 Ibid
Universitas Sumatera Utara
58
Prosedur verifikasi dilakukan oleh Fungsi Pelayanan di Dinas Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru untuk meneliti kebenaran dan kelengkapan Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSPD BPHTB) dan dokumen pendukungnya.96 Penelitian SSPD BPHTB dapat disertai dengan pemeriksaan lapangan.97 Penelitian kebenaran data peralihan hak atas tanah dan bangunan yang tercantum dan tertera dalam Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSPD BPHTB) merupakan syarat yang harus dilakukan sebelum Fungsi Pelayanan menandatangani SSPD BPHTB. Apabila SSPD BPHTB belum ditanda-tangani oleh Fungsi Pelayanan Dispenda, maka penandatangan akta peralihan hak di hadapan PPAT/Notaris juga belum dapat dilakukan PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta peralihan hak tersebut setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak kepada PPAT/Notaris yang bersangkutan. Apabila PPAT/Notaris melanggar ketentuan tersebut maka akan dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp.7.500.000. Sebagai suatu negara hukum maka setiap peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR harus memenuhi ketentuan Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Hal tersebut secara tegas dimuat dalam ketentuan Pasal 8 ayat 2 yang mengatur bahwa Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
96
Pasal 2 ayat 5 Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem Dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kota Pekanbaru. 97 Lampiran III Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Universitas Sumatera Utara
59
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pemungutan pajak BPHTB dilakukan dengan sistem menghitung sendiri pajak terutang (Self Assessment System) oleh Wajib Pajak.98 Peraturan
Walikota
Pekanbaru
sebagai
peraturan
pelaksanaan
yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Pekanbaru juga mengatur Sistem dan prosedur pemungutan BPHTB dengan melakukan verifikasi, tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan peraturan pelaksanaannya.99 Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.100 Verifikasi merupakan bagian dari pemeriksaan yang bertujuan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, sedangkan pembayaran pajak berdasarkan Surat 98
Pasal 98 Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak 99 Candra Fajri Ananda, dkk, Tim Asistensi Kementrian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal, Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah,(Jakarta : Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2012), hal.11-12 100 Pasal 1 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Universitas Sumatera Utara
60
Ketetapan Pajak merupakan Official Assesment System yaitu sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiskus.101 Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak ini dapat dilakukan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis pajak, baik untuk 1 (satu) atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.102 Kegiatan verifikasi dalam penelitian dan penentuan NPOP atas peralihan hak yang diatur oleh Walikota Pekanbaru merupakan suatu pemaksaan suatu yang bukan peraturan hukum dijadikan aturan hukum karena Peraturan Walikota tidak dikenal dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan Walikota yang dibentuk atas dasar perintah dari Undang-undang tersebut dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Dengan demikian, secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Delegasi kewenangan pemungutan (discretion) BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
101
Marihot Pahala Siahaan, Op.Cit, hal.182 http://www.pajak.go.id/content/seri-kup-verifikasi-dalam-rangka-penerbitan-ketetapanpajak diakses tanggal 11 Juli 2014 102
Universitas Sumatera Utara
61
Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut: 1. Delegasi harus definitive dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. 2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. 3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. 4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. 5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegan memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggungjawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris). Pada mandate, penerima mandate (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandate (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans.103 Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara hukum adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang mengikat secara umum. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Keberadaan dan kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 12/2011 tidak hanya mengatur keberadaan peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) tetapi juga 103
Ridwan HR, Op.Cit, hal 107
Universitas Sumatera Utara
62
menegaskan adanya peraturan perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang sistem pemungutan BPHTB. Akan tetapi peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, telah mengatur bahwa pemungutan pajak BPHTB dilakukan dengan sistem menghitung sendiri pajak terutang (Self Assessment System). Peraturan Walikota sebagai peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah yang mengatur Sistem dan prosedur pemungutan BPHTB dengan memerintahkan untuk melakukan verifikasi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan
Universitas Sumatera Utara
63
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.104 Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dalam dari Teori Stuffenbau Hans Kelsen. Hans Kelsen dalam Teori Stuffenbau membahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).105 Peraturan hukum dalam pengertian tertib hukum merupakan kesatuan keseluruhan serta mempunyai susunan bertingkat atau berjenjang. Bahwa peraturan hukum yang banyak jumlahnya merupakan suatu sistem, karena peraturan hukum yang satu (lebih tinggi) merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan yang lain (yang lebih rendah). Demikian bertingkat-tingkat dan berjenjang-jenjang. Demikian menurut Hans Kelsen yang juga dikenal dengan Stufenbau des Recht.106 Agar peraturan hukum mempunyai dasar kekuatan mengikat, harus ada rujukan pembentukan peraturan hukum sampai pada tingkat paling tinggi, yaitu norma dasar. Tanpa adanya susunan bertingkat atau berjenjang, maka peraturan hukum tidak mengandung tertib hukum.
104 Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 105 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif., (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2007), hal 71. 106 Ibid, hal.71
Universitas Sumatera Utara