BAB II REGULASI TENTANG ADVOKAT A. Advokat dan Jasa Litigasi di Indonesia Sumber hukum acara perdata yang digunakan di Indonesia sejak jaman Belanda adalah HIR, Rbg dan Rv. Dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau sumber hukum acara perdata bagi daerah pulau Jawa dan Madura tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan, akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikehendakinya sesuai dengan pasal 123 HIR, 147 Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang). Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.1 Berbeda dengan Rv/BRv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering atau Hukum Acara untuk golongan Eropa) yang mewajibkan para pihak bisa diwakilkan oleh orang lain ketika akan beracara di pengadilan. Dewasa ini penggunaan wakil sering digunakan oleh orang yang berperkara di pengadilan, akan tetapi dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim akan dapat mengetahui lebih jelas persoalannya, karena para pihak yang berkepentinganlah yang mengetahui seluk beluk peristiwanya. Kalau para pihak menguasakan kepada seorang kuasa, tidak jarang kuasa ini kurang mendalami peristiwa yang menjadi
1
Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, Hlm.16-17.
sengketa secara terperinci, tetapi kalau ada pertanyaan dari hakim yang memeriksanya, ia masih harus berkonsultasi lagi dengan pihak yang diwakilinya. Lagi pula berperkara di pengadilan secara langsung tanpa seorang kuasa akan jauh lebih ringan biayanya dari pada kalau menggunakan seorang kuasa, karena masih harus mengeluarkan honorarium untuknya. Sebaliknya adanya seorang wakil mempunyai manfaat juga. Orang yang belum pernah berhubungan dengan peradilan dan harus berperkara, biasanya gugup menghadapi hakim, maka seorang pembantu atau wakil sangat bermanfaat. Terutama seorang wakil yang tahu akan hukumnya dan mempunyai i’tikad baik, merupakan bantuan yang tidak kecil bagi hakim dalam memeriksa suatu perkara, karena memberikan sumbangan pemikiran dalam memecahkan persoalan-persoalan hukum.2 Advokat pertama-tama ditemukan dalam Bab IV Ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO). Advokat ini merupakan padanan kata dari kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar Master in de rechter (Mr). Pada jaman penjajahan Belanda, advokat harus bergelar Mister. Jadi jika sudah Mister maka disebut advokat dan bekerja di pengadilan
untuk
orang-orang
Eropa.
Bahkan
wajib
bagi
mereka
menggunakan advokat. Untuk orang pribumi disebut Fukrul, lengkapnya Fukrul Bambu.3 Asalnya dari istilah Procoreur. Akar kata advokat apabila
2
Ibid. Hlm.17. M. Atho Mudzhar, Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat Implikasi dan Tantangan bagi Fakultas Syari’ah, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama,2005), Hal. 141
3
didasarkan kamus latin Indonesia dapat ditelusuri dari bahasa latin yaitu advocatus yang berarti antara lain yang membantu seseorang dalam berperkara, saksi yang meringankan. Sedangkan menurut Black Law Dictionary, kata advokat juga berasal dari bahasa latin, yaitu advocare, suatu kata kerja yang berarti to defend, to callone’s aid, to vouch, to warrant. Sebagai kata benda (noun) kata tersebut berarti: 4 Seseorang yang membantu, mempertahankan, membela orang lain, seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan berbicara untuk orang lain di hadapan pengadilan, seseorang yang mempelajari hukum dan telah diakui untuk berpraktik, yang memberikan nasihat kepada klien dan berbicara untuk yang bersangkutan di hadapan pengadilan, seseorang asisten penasihat/ pembicara untuk kasus-kasus.
Dalam English Language Dictionary istilah advokat diartikan sebagai berikut; 5 Pengacara yang berbicara atas nama seseorang/ pembela mereka di pengadilan. Definisi advokat tersebut menunjukkan bahwa cakupan pekerjaan advokat dapat meliputi pekerjaan yang berhubungan dengan pengadilan dan di luar pengadilan. Advokat sudah dikenal sejak abad pertengahan (abad 5-15) dengan sebutan advokatt gereja. Advokatt gereja (kerkelijke advocaten, duivel advocaten) yaitu advokat yang tugasnya memberikan segala macam keberatan-keberatan dan nasihat dalam suatu acara pernyataan suci bagi orang yang telah meninggal. Pada zaman kerajaan Romawi, advokat hanya
4 5
V. Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011), Hal.2-3 Ibid.
memberikan nasihat nasihat, sedangkan yang bertindak sebagai pembicara dinamakan Patronus-Procureur.6 Dalam bahasa Inggris advokat disebut sebagai trial lawyer, secara spesifik di Amerika dikenal sebagai attorny at law atau di Inggris dikenal sebagai barrister, peran yang diberikan oleh penasihat hukum di Amerika dikenal sebagai consellor at law atau di Inggris dikenal sebagai solicitor selain itu juga terdapat istilah-istilah hukum dalam bahasa inggris yang melakukan pekerjaan bersifat nonlitigasi di luar pengadilan seperti corporate lawyer, legal officer, legal cauncel, legal advisor dan legal assistance.7 Secara terminologis, terdapat beberapa pengertian advokat yang didefinisikan oleh para ahli hukum, organisasi, peraturan dan perundangundangan yang pernah ada sejak masa kolonial hingga masa sekarang seperti; 1.
Advokat adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan,
2.
Menurut Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) pada Bab I pasal 1 ayat 1 anggaran dasar AAI advokat didefinisikan termasuk penasihat hukum, pengacara, pengacara praktek dan para konsultan hukum,
3.
Pada pasal 1 butir 13 UU No. 18 tahun 1981 tentang hukum acara pidana menyatakan bahwa seseorang penasihat hukum adalah seseorang yang
6
Ibid. Rohmat Rosyadi & Sri Hartini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hal. 72-73
7
memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum, 4.
Menurut UU No. 18 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UndangUndang ini. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa advokat
merupakan profesi yang memberikan jasa hukum kepada masyarakat atau kliennya, baik secara litigasi maupun nonlitigasi dengan mendapatkan atau tidak mendapatkan honorarium/fee. Apabila kita mengikuti pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto8 dari sudut Ilmu Hukum, cakupan advokat tersebut sebagai politik hukum (Legal Policy) politik hukum yang dimaksud di sini adalah mencari kegiatan untuk memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam ikatan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud disini adalah pembentuk undangundang (pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat) yang mewujudkan aspirasi masyarakat, yang dalam hal ini antara lain mencakup para praktisi hukum. Hal itu dimaksudkan antara lain agar antara para praktisi hukum yang dulu terkotak-kotak (advokat/pengacara dan konsultan hukum) kiranya dapat bersatu dan dihimpun dalam wadah (organisasi) yang diharapkan dapat
8
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni)1986, Hal. 4-5
meningkatkan kualitas advokat dan menjadi profesional yang disegani pada masa mendatang. Salah satu ahli/sarjana hukum, Luhut M.P. Pangaribuan9 mendefinisikan pengertian advokat sebagai orang yang melakukan suatu pekerjaan berdasarkan keahlian (knowledge) untuk melayani masyakarat secara independen dengan limitasi kode etik yang ditentukan oleh komunitas profesi. Namun dalam praktik dewasa ini ternyata belum ada istilah baku untuk profesi tersebut. Seperti dalam undang-undang ketentuan-ketentuan pokok kehakiman UU No. 14 Tahun 1970, undang-undang tentang MA UU No 14 Tahun 1985 dan undang-undang tentang Peradilan Umum UU No. 2 Tahun 1986 menggunakan istilah penasihat hukum. Pada saat yang sama, praktik administratif menggunakan secara berbeda dan inkonsisten pula. Misalnya, Departemen Kehakiman menggunakan pengacara (1984), Pengadilan Tinggi menggunakan advokat/ pengacara.10 Pengertian berikut ini memberikan perbedaan ruang lingkup peran yang diberikan antara konsultan hukum dengan advokat, penasehat hukum, pengacara, pengacara praktek. Perbedaannya adalah konsultan hukum menjalankan praktek profesinya berdasarkan surat ijin usaha yang khusus yang diberikan oleh yang berwenang tidak di muka Pengadilan. Sedangkan advokat, penasehat hukum, pengacara, pengacara praktek menjalankan praktek profesinya berdasarkan surat keputusan menteri kehakiman atau ketua Pengadilan Tinggi setempat di muka dan di luar Pengadilan. Pengertian 9
M. Atho Mudzhar. Op. Cit. Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat & Contempt Of Court, (Jakarta: Djambatan, 2002), Hal.6-7
10
ini sedikit agak membingungkan yaitu apakah seorang konsultan hukum juga seorang advokat sebagaimana menurut ayat 1 di atas yang menyebutkan bahwa konsultan hukum termasuk advokat. Selanjutnya apakah seorang advokat sekaligus merupakan konsultan hukum karena dapat menjalankan praktek profesinya di luar dan di muka Pengadilan atau apakah ijin yang diperoleh Advokat sekaligus merupakan ijin untuk menjalankan praktek profesi seorang konsultan hukum.
B. Pengakuan Negara atas Profesi Advokat (Regulasi Advokat) Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk
kepentingan
masyarakat
pencari
keadilan,
termasuk
usaha
memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin
berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrakkontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Walaupun
keberadaan
dan
fungsi
Advokat
sudah
berkembang
sebagaimana dikemukakan, peraturan perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat sampai saat dibentuknya Undang-Undang ini masih berdasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial, seperti ditemukan dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 : 23 jo. Stb. 1848 : 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya kemudian, Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 : 8), Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446 jo. Stb. 1922 : 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522). Namun, peraturan perundang-undangan tersebut terkesan diskriminatif dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem tata negara di Indonesia. Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus untuk memberi landasan yang kokoh pelaksanaan tugas
pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, maka dibentuk UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat, seperti dalam pengangkatan,
pengawasan,
dan
penindakan
serta
ketentuan
bagi
pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya. Dalam melaksanakan profesinya maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah ditetapkan beberapa hak dan kewajiban yang melekat pada diri advokat. Hal tersebut tentunya untuk mendukung kedudukan advokat sebagai profesi yang mulia atau officium nobile. Penyebutan profesi mulia atau officium nobile kepada profesi advokat didasarkan pada alasan bahwa faktor menguasai ilmu pengetahuan hukum bukan merupakan modal utama bagi seorang advokat namun juga harus memiliki nilai kejujuran dan panggilan nurani.11
11
Setiyono, S.H, M.H., Kajian Yuridis Mengenai Hak Imunitas Advokat. http://www.m2sconsulting.com/index.php/publikasi/artikel-hukum/22-kajian, diakses tanggal 17 Agustus 2014.
Di dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 yang menjelaskan bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Organisasi advokat tersebut bertugas memberikan layanan bantuan hukum berdasarkan pasal 1 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003. Namun dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 42 Tahun 2003 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, disebutkan bahwa Pemberi Bantuan Hukum (PBH) boleh merekrut mahasiswa fakultas hukum jika jumlah advokat yang terhimpun dalam wadah PBH tidak memadai. Selain itu juga dijelaskan di dalam Pasal 13 ayat (3) PP No. 42 Tahun 2003, mahasiswa baru dapat beracara dengan melampirkan bukti tertulis pendampingan dari advokat PBH atau advokat dari luar yang direkrut untuk menangani kasus tertentu. Syarat lainnya terdapat dalam Pasal 13 ayat (4) PP No 42 Tahun 2003, yakni mahasiswa harus sudah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan paralegal. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 menyebutkan bahwa sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, secara normatif, sumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya merupakan salah satu kewajiban yang harus
dipenuhi oleh orang yang sudah diangkat oleh Organisasi Advokat sebagai advokat sebelum menjalankan praktiknya dalam memberikan jasa hukum. Dalam prakteknya seorang advokat yang hanya bersumpah di organisasinya ditolak oleh pengadilan ketika beracara di pengadilan. Hal ini didasari dengan adanya Surat Ketua MA No. 025/KMA/V/2009 yang ditujukan kepada seluruh Pengadilan Tinggi di Indonesia yang intinya pada Nomor 3, yaitu Advokat yang disumpah bukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi maka sumpahnya dianggap tidak sah sehingga sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di pengadilan. Padahal sumpah tersebut sudah didasari oleh pasal 4 ayat 1 UU No. 18 tahun 2003 dimana disebutkan bahwa sumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di Pengadilan Tinggi bisa beracara di pengadilan. Kalimat “bersumpah menurut agamanya” bisa diartikan sebagai bersumpah di organisasi advokat di hadapan rohaniawan menurut agamanya masing-masing. Melihat keterangan di atas, terdapat kontradiksi peraturan antara undangundang yang satu dengan peraturan/ undang-undang lainnya. Di satu sisi menyebutkan bahwa untuk menjadi advokat harus berkualifikasi sarjana dan disumpah di pengadilan tinggi. Peraturan ini juga didukung dengan hasil uji materil (judicial review) UU No 18 Tahun 2003 oleh Mahkamah Konstitusi (MK): 1) Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2) Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa
3)
4)
5) 6)
frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”; Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”; Menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum; Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; Memerintahkan pemuatan amar Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Sedangkan yang lain menjelaskan bahwa untuk beracara bisa dilakukan mahasiswa hukum dan cukup disumpah di organisasinya di hadapan rohaniawan. Maka dari itu, MK selaku pelaku kekuasaan kehakiman yang berwenang menguji undang-undang setidaknya mengamati bahwa ada beberapa peraturan perundang-undangan yang terlihat kontradiksi tersebut. Di Indonesia lembaga yang berwenang melaksanakan uji materil/ judicial review12 adalah MA dan MK. Bertitik tolak dari ketentuan pasal 24A dan
12
Judicial Review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip checks and balances berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). Karena itu kewenangan untuk melakukan judicial review itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak
pasal 24C UUD 1945.13 Kewenangan hak uji MA sebatas hanya menguji peraturan perundang-undangan di bawah udang-undang terhadap undangundang. Seperti menguji undang-undang dengan PP, Kepres, Kepmen atau Perda dan sebagainya. Sedangkan MK berwenang menguji UU dengan UUD 1945. Berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kepada MK diberikan kewenangan hak menguji UU terhadap UUD 1945. Kewenangan ini merupakan kekuasaan mengadili MK pada tingkat pertama dan terakhir (the first and the last instance), sehingga putusan yang dijatuhkan bersifat final (final judgement).14 Ketentuan yang digariskan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut lebih ditegaskan lagi dalam pasal pada Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 4 tahun 2004 Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ketentuan yang sama juga dijelaskan lagi pada UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK (Selanjutnya disebut UU MK). Bab ini mengatur kekuasaan dan kewenangan MK. Pada Pasal 10 ayat (1) huruf a ditegaskan lagi hak uji MK yakni menguji UU terhadap UUD 1945. Dari penegasan pasal tersebut, hak menguji UU terhadap UUD 1945 mutlak menjadi yurisdiksi MK dalam
dilakukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat 12 disebut sebagai judicial review, melainkan legislativ review. 13
M. Yahya Harahap, S.H., Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali. 2008. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 95-97 14 Ibid.
kedudukan dan kapasitasnya sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman (judicial authority).15 Kekuasaan dan kewenangan lain yang diberikan undang-undang kepada MA, disebut pada pasal 36 UU No. 14 tahun 1985 tentang UU MA yang berbunyi: “Mahkamah Agung dan pemerintahan melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris....” Bertitik tolak dari ketentuan di atas dihubungkan dengan pasal 45 UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum pada satu segi, dikaitkan dengan pasal 12 dan 13 UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat, dapat dijelaskan hal-hal berikut: 16 1.
Pengawasan terhadap penasihat hukum langsung menjadi kewenangan Mahkamah Agung.
2.
Pengawasan Mahkamah Agung terhadap penasihat hukum sepanjang yang menyangkut peradilan.
3.
Pengawasan umum terhadap penasihat hukum / advokat di luar kegiatan pengadilan dilakukan oleh organisasi advokat Selain
perundang-undangan
di
atas,
Mahkamah
Agung
juga
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang legal standing advokat, diantaranya: 1.
Surat
No
89/KMA/VI/2010
tertanggal
bulan
Juni
2010
yang
memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia untuk
15 16
Ibid. Ibid. Hal. 155-158
mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh pengurus Peradi. Sesuai dengan jiwa kesepakatan antara pengurus Peradi yang diwakili oleh ketua umum Dr. Otto Hasibuan dengan pengurus pusat KAI yang diwakili oleh presidennya Indra Sahrum Lubis, S.H., M.H. pada tanggal 24 Juni 2010 di hadapan Ketua Mahkamah Agung RI. 2.
Surat KMA RI No 52/KMA/HK.01/III/2011 yang memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman oleh pengadilan tentang advokat agar bisa beracara di pengadilan adalah advokat yang telah mengangkat sumpah di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi.