BAB II PROFIL DESA PADANG HALABAN DAN TINJAUAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PEMBANGUNAN AGRARIA Dalam bab ini, peneliti akan menyajikan beberapa data dan informasi yang berkenaan dengan keadaan desa serta kebijakan pemerintah dalam hal pembangunan agraria. Adapun sumber data dan informasi yang diakses peneliti ialah bersumber dari arsip kantor Desa Padang Halaban, Sekretariat Serikat Tani Padang Halaban (STPHL), serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Data dan informasi tersebut, selanjutnya akan disajikan secara bertahap dalam sub pembahasan yang terbagi secara umum dari 4 sub pembahasan yaitu antara lain profil Desa Padang Halaban, profil Serikat Tani Padang Halaban (STPHL), tinjauan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan agraria, serta tinjauan konflik tanah di Desa Padang Halaban. Terkait uraian profil Desa Padang Halaban sendiri, dalam bab ini akan diuraikan berkaitan dengan kondisi geografis desa, sejarah desa, keadaan ekonomi, serta keadaan sosial masyarakat desa. Sementara untuk tinjauan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan agraria mengacu kepada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan. Terakhir uraian tentang tinjauan konflik tanah di Desa Padang Halaban, akan disajikan secara deskriptif historis dari perjalanan konflik tanah terjadi antara masyarakat dibawah naungan Serikat Tani Padang Halaban dengan PT. SMART di Desa Padang Halaban.
39
Universitas Sumatera Utara
2.1. Profil Desa Padang Halaban 2.1.1. Keadaan Geografis Desa Desa Padang Halaban berada di kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara. Secara geografis, Kabupaten Labuhan Batu Utara terletak diantara 99.25.000- 100.05.000 Bujur Timur dan 01058’ – 02050’ Lintang Utara dengan ketinggian 0 – 700 meter di atas permukaan laut. Kabupaten ini memiliki wilayah seluas 354.580 Ha dengan batas-batas sebagai berikut44 :
Sebelah Utara dengan Kabupaten Asahan dan Selat Malaka.
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Labuhan batu dan Kabupaten Padang Lawas Utara.
Sebelah Barat dengan Kabupaten Tapanuli Utara; dan Kabupaten Toba Samosir.
Sebelah Timur dengan Kabupaten Labuhan batu. Adapun peta kecamatan Aek Kuo, dimana desa Padang Halaban terletak
didalamnya, dapat dilihat dibawah ini :
44
Diakses dari http://mantumbahgoogle.blogspot.co.id/2013/10/peta-kabupaten-labuhanbatuutara.html. pada tanggal 25 agustus 2016. Pukul. 19.30.WIB
40
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Peta Kecamatan Aek Kuo Kabupaten Labuhan Batu Utara
Sumber : Peta Online Pemkab Labuhan Batu Utara Kabupaten Labuhan batu Utara adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Labuhan batu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2008 pada 24 Juni 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhan batu Utara, semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ibu kota kabupaten ini terletak di Aek Kanopan. Kabupaten Labuhan batu Utara terbagi ke dalam 8 wilayah kecamatan dan 90 desa/kelurahan. Delapan kecamatan tersebut antara lain : 1. Kecamatan NA IX-X 2. Kecamatan Merbau 3. Kecamatan Aek Kuo 4. Kecamatan Aek Natas 5. Kecamatan Kualuh Selatan 6. Kecamatan Kualuh Hulu 7. Kecamatan Kualuh Hilir 8. Kecamatan Kualuh Leidong
41
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Kecamatan Aek Kuo Khusus untuk kecamatan Aek Kuo mempunyai luas 25.020 ha, dengan ibu kota kecamatan Aek Korsik. Desa Padang Halaban menjadi lokasi penelitian merupakan desa yang terdapat di Kecamatan Aek Kuo. Jarak dari ibu kota kecamatan ke lokasi penelitian sekitar 1.50 km. Jarak dari desa ke ibu kota kabupaten sekitar 20 km, serta jarak ke Medan sebagai ibu kota provinsi adalah 187 km dan jarak ini bisa ditempuh dengan angkutan umum roda empat sekitar 78 jam perjalanan. Untuk mencapai kecamatan Aek Kuo dari ibu kota kabupaten bisa ditempuh sekitar 1-2 jam. Dari Aek Kanopan dengan menggunakan angkutan kota dan angkutan antar kota antar provinsi dengan ongkos Rp. 15.000,-. Sementara dari ibu kota provinsi medan, ditempuh dengan angkutan antar kota dalam provinsi (AKDP) melalui jalur jalan lintas timur sumatera menuju kampung pajak, simpang panigoran dengan ongkos Rp.50.000,-. selain itu, untuk menuju lokasi ini, dapat juga ditempuh dengan kereta api tujuan Medan - Rantau Parapat dengan ongkos Rp. 100.000,- dan turun di Stasiun Kereta Api Padang Halaban. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan ke Desa Padang Halaban. Perjalanan ke lokasi penelitian menggunakan kendaraan dua atau roda empat. Sebagian besar masyarakat menggunakan roda dua, dikarenakan tidak adanya angkutan umum menuju lokasi ini. Secara administrative, Desa Padang Halaban, mempunyai batas batas wilayah sebagai berikut45 :
45
Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo, Desa Padang Halaban. 2015. Rencana Kegiatan Pembangunan Desa Padang Halaban Tahun Anggaran 2015-2019. Hal 11
42
Universitas Sumatera Utara
Sebelah utara berbatasan dengan dusun Perlabean-Desa Aek Korsik, Desa Bandar Selamet dan Desa Purworejo Kecamatan Aek Kuo
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Padang Maninjau Kecamatan Aek Kuo dan Desa Pulo Jantan Kecamatan Na IX-X
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Simpang Empat, Desa Lobu Rampah Kecamatan Marbau
Sebelah Timur berbatasan dengan Dusun Parit Minyak Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuo, Desa Aek Hitetoras dan Desa Bulungihit Kecamatan Marbau. Desa Padang Halaban termasuk dataran rendah dengan sedikit bukit-bukit
kecil serta rawa-rawa. Daerah yang berada di antara dataran tinggi sebelah barat dan dataran rendah di sebelah Timur provinsi Sumatera Utara. Berada di antara kabupaten Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu Induk, namun lokasinya lebih dekat jika ke Labuhan Batu Induk atau ke Kota Rantau Prapat. Sekitar 7 Km ke sebelah barat dari perkebunan Padang Halaban terdapat jalan besar lintas timur Sumatera. Sementara itu ditengah-tengah perkebunan terdapat stasiun kereta api padang halaban yang akan menuju ke Medan atau Rantau Prapat. 2.1.2. Sejarah Desa 2.1.2.1. Periode Pasca Kedudukan Kolonial Belanda Tahun 1911, pohon kelapa sawit diperkenalkan di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara). Tanah Itam Hulu dan Pulau Raja adalah lokasi pertama kali perkebunan kelapa sawit dibuka oleh perusahaan Oliepalmen Cultuur
43
Universitas Sumatera Utara
dan Huileries de Sumatera. Perkebunan kelapa sawit semakin diperluas oleh perusahaan perkebunan sawit lainnya : Seumadam Cultuur Mij, Sungai Liput Cultuur Mij, Mapoli Tanjung Genteng oleh Palmbomen Cultuur Mij, Medang Ara Cultuur Mij, Deli Muda oleh Huileries de Deli46. Hingga tahun 1915 luas perkebunan sawit sudah mencapai 2.715 Ha; ditandai sebagai babak baru perkebunan sekala luas. Salah satu perusahaan perkebunan yang berdiri pada waktu itu adalah Perkebunan Padang Halaban Plantagen AG Zurich. Dalam berproduksi perkebunan memperkerjakan buruhburuh yang di datangkan dari pulau jawa dengan menggunakan program transmigrasi Kolonial Belanda, sebagaimana di jelaskan dalam keputusan politik Etis Belanda. Orang orang Jawa yang didatangkan berasal dari beberapa daerah dari Jawa Tengah, diantaranya : Kebumen, Banyumas, Banjarnegara, dan Klaten. Kedatangan orang orang Jawa ke tanah Deli akibat propaganda Belanda tentang kehidupan lebih baik di pulau emas. Dengan menggunakan kapal laut melalui laut Jawa menuju selat Malaka, masyarakat diturunkan di beberapa pelabuhan di Sumatera Timur ketika itu. Dari pelabuhan, para pendatang baru jawa ini di distribusikan ke beberapa perkebunan dengan alat transportasi berupa trem dan mobil yang disediakan oleh kolonial Belanda. Di perkebunanperkebunan tersebut orang-orang Jawa ditampung dalam satu kamp penampungan
46
STPHL-AGRA. 2014. Sejarah Perkebunan Padang Halaban. Hal 3. Dalam bentuk ebook.
44
Universitas Sumatera Utara
yang segera setelah itu dikomandoi oleh mandor kebun untuk bekerja di setiap afdeling47. 2.1.2.2. Periode Tahun 1942-1945 Pendudukan Indonesia oleh Jepang, kondisi rakyat pada waktu itu kekurangan kebutuhan pangan, demikian juga yang terjadi dengan buruh-buruh perkebunan. Sekitar 1.000 Ha tanah dikelola oleh Jepang untuk menanam tanaman pangan. Masyarakat yang mendiami Desa Padang Halaban dimobilisasi untuk menjadi buruh perkebunan tanaman pangan ini. Masyarakat tunduk pada aturan main tentara jepang yang kejam dan tidak manusiawi, seperti memperkerjakan masyarakat tanpa jaminan kehidupan yang layak48. Pada pemerintahan Jepang masyarakat dikonsentrasikan dalam satu barak penampungan yang dihuni oleh puluhan bahkan ratusan kepala keluarga. Masyarakat harus menjalankan kerja wajib untuk melakukan replanting tanaman perkebunan menjadi tanaman pangan dengan waktu dan beban kerja yang tidak menentu. Diantara para pemuda diwajibkan untuk terlibat dalam tentara bentukan Jepang, seperti PETA (Pembela Tanah air) dan HEIHO. Sedangkan perempuan dipaksa untuk menjadi budak seks orang-orang Jepang di perkebunan, yang dikenal dengan Jugun Ian Fu49. Proklamasi kemerdekaan Indonesia membuat tentara Jepang keluar dari perkebunan. Bekas tanah peninggalan Jepang kemudian diduduki oleh rakyat
47
Ibid. Hal 4. Ibid. Hal 6 49 Ibid. 48
45
Universitas Sumatera Utara
untuk kebutuhan pangan dan membantu laskar-laskar rakyat. Sementara tanaman komoditas seperti karet dan sawit yang ditinggalkan dikelola dan dipanen oleh sebagian masyarakat desa Rembu Rempah. Seperti di wilayah Afdeling karet PT Plantagen AG Zurich di kelola oleh masyarakat dan dipanen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2.1.2.3. Periode Tahun 1945-1954 Tanah yang diduduki oleh masyarakat sebanyak 20% saja yang dimanfaatkan untuk perkampungan dan ladang pangan, sisanya menjadi semak belukar. Diatas tanah tersebut dibangun beberapa desa, diantaranya desa : Sidodadi, Karang Anyar, Purworejo, Sidomulyo, Kertosentono, dan Blungit. Terdapat beberapa perkampungan di areal perkebunan, diantaranya : Pondok Roni, Pondok Lawas, dan Sidomukti. Beberapa tahun menduduki tanah, dikeluarkan Kartu Tanda Pendaftaran Pemakaian Tanah (KTTPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) Wilayah Sumatera Timur berdasarkan UU Darurat No 08 Tahun 1954 jo UU Darurat No 01 Tahun 1956 mengenai penyelesaian pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat50. Menurut data yang dihimpun oleh perkebunan ketika itu di tahun 19671968 masyarakat yang mendapatkan KRPT sebanyak 403 orang yang terdiri dari : desa Sidodadi (92 orang), desa Karang Anyar (80 orang), desa Sidomulyo (139 orang), desa Kertosentono (12 orang), dan desa Blungit (6 orang). Terjadi
50
Pemerintahan Desa Padang Halaban. Sejarah Desa Padang Halaban. 2015. Hal 10.
46
Universitas Sumatera Utara
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, di Kopenhagen, Denmark. Beberapa tahun setelah perundingan tersebut, pengusaha Belanda yang meninggalkan perkebunan setelah diusir oleh Jepang dan Revolusi Agustus 1945, kembali masuk ke areal perkebunan. Kedatangan mereka bermaksud untuk merencanakan pembangunan perkebunan kembali. Hal ini bisa dibuktikan dengan usaha dari pemilik perusahaan menanyakan kepada penduduk di Panigoran, Karanganyar dan Sidomulyo tentang kesediaannya kembali bekerja di kebun seperti sebelum pengusaha Belanda pergi atau jika tidak bisa terlibat dalam pekerjaan kebun kembali bisa mengolah tanah yang sudah diduduki dan dimiliki oleh masyarakat51. 2.1.2.4. Periode Tahun 1954-1965 Di areal Perkebunan Padang Halaban tidak hanya berdiri PT. Plantagen AG, tapi juga beroprasi NV. Sumcama dan PT. Sarikat Putra. Perusahaan perusahaan perkebunan ini beroprasi dengan memperkerjakan buruh yang berasal dari penduduk sekitar. Kondisi ekonomi, hidup masyarakat di perkebunan Padang Halaban sangat bergantung dengan kegiatan produksi mengelolah tanah. Setelah pengusiran Jepang dari tanah Indonesia dan ditandainya kemerdekaan Indonesia, masyarakat mulai bisa mengusahai tanah bekas perkebunan asing secara bebas. Tanah-tanah negara bebas mulai dikerjakan oleh masyarakat secara berkelompok untuk membuka lahan-lahan baru dan dibagi secara merata melalui kegiatan pemancengan. Rata-rata kesanggupan masyarakat ketika itu untuk mengerjakan
51
Ibid. Hal 11
47
Universitas Sumatera Utara
lahan seluas 2 Ha. Masyarakat bergantung pada kegiatan bertani, mengolah tanah untuk kebutuhan tanaman pangan berkelanjutan. Untuk mengolah tanah masyarakat bergantung pada perubahan cuaca dalam perkembangan bulan. Jika musim penghujan, tanah di kelola untuk tanaman padi. Ketika musim kemarau tanah digunakan untuk menanam jagung. Dari dua tanaman ini masyarakat di kawasan perkebunan padang halaban memenuhi kebutuhan pangan harian52. Masyarakat di kawasan Padang Halaban tidak asing dengan nama-nama organisasi massa maupun partai yang ada. Karena bagi mereka organisasi maupun partai tersebut wadah untuk bersosialisasi dan membangun persaudaraan diantara sesama. Sebelum 1965, setiap orang yang tinggal di areal perkebunan memiliki organisasinya sendiri-sendiri. Sejak diusirnya kolonial Belanda dan pendudukan Fasis Jepang di tahun 1945, para laskar-laskar rakyat dan masyarakat disekitar perkebunan Padang Halaban mengambil alih tanah. Usaha rakyat ini diperkuat oleh seruan dari Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam seruannya menyampaikan “perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat rakyat agar areal-areal atau tanah bekas perkebunan asing yang ditinggalkan pengelolanya supaya diberikan atau dibagikan kepada rakyat Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa Jepang) untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logitik laskar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka”.
52
STPHL-AGRA. Op.Cit. Hal 20
48
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan seruan tersebut, pada tahun 1945 hampir seluruh areal lahan di Desa Padang Halaban seluas 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik, Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong, Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 196053.
53
Ibid. Hal 25
49
Universitas Sumatera Utara
Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan batu. Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha (HGU) Desa Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 1969/1970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya penggarap liar). Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran. 2.1.3 Keadaan Demografi 2.1.3.1 Jumlah Penduduk Desa Penduduk Desa Padang Halaban berjumlah ± 1800 jiwa, terdiri dari 890 laki-laki dan 910 perempuan. Jumlah kepala keluarga di Padang Halaban adalah 445 KK54.
54
Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo, Desa Padang Halaban. 2015. Op.Cit. Hal 15.
50
Universitas Sumatera Utara
2.1.3.2. Suku Secara umum masyarakat Desa Padang Halaban mayoritas adalah suku jawa. Sesungguhnya apabila dilihat dari sejarah, seluruh masyarakat desa ini adalah masyarakat pendatang, karena masyarakat yang ada di desa sebelumnya merupakan petani penggarap yang lama kelamaan menetap di desa tersebut. Mayoritas penduduk di kawasan perkebunan Padang Halaban merupakan masyarakat dari suku jawa bekas kuli kontrak tempo dulu perkebunan Belanda dan Jepang. Dari informasi yang penulis dapatkan, ada kecenderungan pada setiap masyarakat desa mengelompokkan dirinya sebagai kelompok pendatang dan penduduk asli. Program transmigrasi yang merupakan bagian dari politik etis kolonial pada saat itu juga mempengaruhi jumlah penduduk suku jawa yang menetap di desa Padang Halaban. Selain suku bangsa jawa terdapat juga suku bangsa Batak Toba, Mandailing dan Melayu. Suku batak toba dan mandailing merupakan masyarakat pendatang, dimana mereka bermigrasi dari wilayah utara dan selatan Labuhan Batu Utara. Kelompok masyarakat ini kemudian menetap di desa dan mencari penghasilan dari berbagai kegiatan yang ada di desa tersebut55.
Adapun faktor penduduk pendatang di desa ini karena alasan: 1. Faktor Perkawinan Faktor perkawinan menjadi alasan utama seseorang untuk menetap di suatu daerah. Dalam hal ini salah satu pihak melakukan perkawinan dengan pihak
55
STPHL-AGRA. Sejarah Perkebunan Padang Halaban. 2014. Op.Cit. Hal.10
51
Universitas Sumatera Utara
lain. Artinya, seseorang penduduk dari desa ini melakukan perkawinan dengan seseorang dari pihak luar desanya. 2. Faktor Pekerjaan Selain faktor perkawinan, faktor pekerjaan juga menjadi satu alasan seseorang untuk tinggal dan menetap di Desa Padang Halaban. Misalnya masyarakat Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditempatkan pemerintah untuk melayani masyarakat setempat, seperti guru, bidan dan sebagainya. Walaupun diantara penduduk Desa Padang Halaban ada perbedaan masyarakat pendatang dengan masyarakat asli, tidak menjadi halangan untuk berinteraksi dalam masyarakat. Masyarakat asli dan pendatang saling berbaur dan sangat dekat satu sama lain. Kedekatan ini lebih didasarkan selain karena hubungan kekerabatan juga karena factor pekerjaan dan adanya saling membutuhkan antara masyarakat asli dan pendatang. 2.1.3.3. Agama Sebagian besar penduduk Desa Padang Halaban Kecamatan Aek Kuo beragama Islam yaitu sebanyak 73,25 %, sedangkan yang beragama Kristen Protestan sebanyak 14,86 %,Kristen Katolik sebanyak 9,6 %, Budha sebanyak 1,4 %, dan Hindu 0,9 %56. Adapaun tabulasi penduduk desa Padang Halaban berdasarkan Agama sebagai berikut:
56
Ibid. Hal 16.
52
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama No
Agama
Jumlah
Presentase
1
Islam
1314
73%
2
Kristen Protestan
252
14%
3
Katholik
144
8%
4
Budha
36
2%
5
Hindu
54
3%
1800
100%
Jumlah
Sumber : Dokumen Pemerintahan Desa Padang Halaban 2015
2.1.3.4. Pendidikan Desa Padang Halaban mempunyai tingkat pendidikan yang tergolong rendah. Lebih dari 40 % penduduknya hanyalah tamat SD, dimana sebagian tidak tamat SD dan ada juga yang masih buta huruf. Kondisi ini dikarenakan karena fasilitas pendukung pendidikan di desa ini sangat minim. Disamping itu, profesi sebagai petani tradisional dan sebagian buruh perkebunan tidak cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan di bidang pendidikan mereka57.
57
Diakases dari https://labuhanbatu utara kab. bps. go.id / frontend / Subjek / view / id / 28 # subjek View Tab3 | accordion – daftar – subjek 1
53
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Presentase
1
Tidak Tamat SD
133
7,3 %
2
SD
737
42,6 %
3
SMP
593
32 %
4
SMA
317
17 %
5
Diploma/Sarjana
20
1,1 %
1800
100 %
Jumlah
Sumber : Data Olahan BPS Labuhan Batu Utara 2.1.3.5. Keadaan Ekonomi Desa Desa Padang Halaban mempunyai mata pencaharian utama yaitu dari sektor pertanian. Hal ini ditandai dengan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani dan sebagiannya lagi buruh perkebunan. Beberapa masyarakat yang masih dalam usia produktif, selain berprofesi sebagai petani terkadang mereka juga bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit sembari menunggu hasil panen tanaman pangan yang mereka olah di lahan yang tidak begitu luas. Kondisi tidak terlepas dari semakin menyempitnya lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar petani di desa ini menanami lahannya dengan tanaman pangan seperti ubi kayu, ubi jalar, pisang, dan kakao. Bekerja sebagai buruh perkebunan
54
Universitas Sumatera Utara
menjadi alternative yang memungkinkan ketika kebutuhan untuk bertahan hidup mulai menipis. Mereka bekerja pada umumnya sebagai buruh perkebunan yang bekerja di lahannya para petani yang memiliki luas lahan lebih besar dan di perkebunan PT SMART anak perusuhaan Sinar Mas Group sebagai buruh harian lepas (BHL). Di samping itu, penduduk desa Padang Halaban ada juga yang berprofesi sebagai pedagang, PNS, ABRI/POLRI, medis, buruh, pengerajin, dan supir58. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan No
Keterangan
Jumlah
Presentase
1
Petani
1070
59,47 %
2
Buruh
146
8,14%
3
PNS, TNI, POLRI
50
2,80%
4
Lainnya
534
29,59%
1800
100%
Jumlah
Sumber : Data Olahan Potensi Desa/Kelurahan Labuhan Batu Utara Di tengah kondisi lahan petani Padang Halaban yang semakin sempit akibat dari perluasan lahan kelapa sawit oleh PT. SMART, secara langsung
58
Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo, Desa Padang Halaban. 2015 Op.Cit. Hal 18.
55
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi jumlah hasil produksi dari lahan mereka semakin menurun. Dari kondisi ini memaksa para petani untuk menyewa lahan dari penduduk setempat yang memiliki luas lahan yang lebih besar. Selain itu, petani padang halaban juga bekerja sebagai buruh harian lepas, dan bekerja di lahan petani yang memiliki lahan lebih luas untuk sekedar menambah pendapatan. Proses pendistribusian hasil pertanian petani padang halaban dijual langsung ke pasar yang terdapat di Aek Korsik. Sebagian petani bahkan ada yang menjual seluruh hasil panen pertaniannya kepada agen atau tengkulak. 2.1.3.6. Kondisi Kepemilikan Tanah Berdasarkan seruan dari Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 tentang kepemilikan lahan di area perkebunan Padang Halaban, bahwa tanah seluas 3000 Ha yang terletak di area perkebunan Padang Halaban yang dulunya dikuasai oleh perusahaan perkebunan kolonial dibagikan kepada para eks kuli Jepang serta laskar-laskar rakyat agar digunakan untuk bercocok tanam segala jenis tanaman pangan guna memberikan penghidupan kepada segenap rakyat. Selain itu, seruan tersebut juga sekaligus menandakan bahwa rakyat Indonesia telah merdeka dari segala bentuk penjajahan. Tanah-tanah
tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang
halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi
56
Universitas Sumatera Utara
Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Padang Halaban/Aek Kuo, Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong, Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran. Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan batu. Kemudian tanah dengan luas 3000 Ha yang terbagi ke beberapa desa ini lah yang hingga saat ini berstatus sengketa dengan perusahaan perkebunan yang berdiri diatasnya yakni PT. SMART. Sementara hingga ini, masyarakat yang terdiri dari beberapa desa tersebut terutama dari Desa Padang Halaban sejak tahun 2008, melakukan pendudukan lahan diatas lahan seluas 83 Ha dari 3000 Ha yang bersengketa dengan perusahaan.
57
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Tinjauan Konflik Tanah Di Desa Padang Halaban 2.1.4.1. Sebelum Adanya Usaha Penggusuran Tahun 1969 - 1970 Sejak diusirnya kolonial Belanda dan pendudukan Fasis Jepang di tahun 1945, para laskar-laskar rakyat dan masyarakat disekitar perkebunan Padang Halaban mengambil alih tanah. Usaha rakyat ini diperkuat oleh seruan dari Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam seruannya menyampaikan “perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat agar areal-areal atau tanah bekas perkebunan asing yang ditinggalkan pengelolanya supaya diberikan atau dibagikan kepada rakyat Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa Jepang) untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logistik laskar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka”. Berdasarkan seruan tersebut, pada tahun 1945 hampir seluruh areal lahan di Perkebunan Padang Halaban seluas 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik, Tanah di bekas Divisi III yang
58
Universitas Sumatera Utara
diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong, Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran59. Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan batu60. Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 1969/1970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya penggarap liar). Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran.
59 60
STPHL-AGRA. 2012. Kronologis Konflik Agraria Padang Halaban. Dalam bentuk ebook. Hal 2. Ibid.
59
Universitas Sumatera Utara
Bahkan pada tahun 1962, setelah sekitar 17 (tujuh belas) tahun mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Ulung Sitepu, atas prestasi Desa Sidomulyo yang berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Saat itu, Ulung Sitepu yang langsung turun atau datang ke Desa Sidomulyo untuk menyerahkan Piagam Penghargaan yang juga langsung diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo saat itu, yaitu bapak (alm) Langkir. 2.1.4.2. Pembantaian Warga di Tahun 1965 Imbas dari pertentangan politik di tingkat nasional sampai juga pada masyarakat di desa-desa sekitar perkebunan Padang Halaban. Melalui koordinasi oknum angkatan darat dan Komando Aksi melakukan penyisiran untuk menangkap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Penangkapan dilakukan hampir setiap malam dari berbagai penjuru tempat, tidak jarang juga penangkapan disertai dengan tindakan penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tertuduh. Penangkapan disertai dengan penghilangan orang terjadi di desa Sidomulyo, Panigoran, Aek Korsik, Sidomukti, dan beberapa daerah di kawasan perkebunan Padang Halaban. Di Sidomulyo kepala desa beserta pimpinan organisasi buruh dan organisasi petani menjadi korban, bahkan sampai detik ini keberadaan jasad korban tidak diketahui oleh sanak keluarga. Mereka di bantai secara kejam seperti menombak anggota badan, mengikat di kedua ibu jari, memukul, menendang, menyayat anggota organ tubuh, memenggal kepala korban,
60
Universitas Sumatera Utara
memperkosa korban dan mencampakkan mayat ke sungai. Peristiwa yang hampirhampir tidak bisa terlupakan meskipun para pelaku sejarah sampai dimakan usia. Seperti yang terjadi di Titi Panjang desa Panigoran menjadi tempat pembantaian terhadap anggota Pemuda Rakyat, yaitu : Mahmud, Karsan, Saru dan Suroso; di desa Sidomulyo ada proses penangkapan dan penghilangan kepada Bapak Langkir, Bapak Mico, Bapak Suyoto, Bapak Saud; di desa Patok Besi ada Bapak Suzari, dan beberapa korban lainnya yang tempat penguburannya tersebar di areal perkebunan dan pemakaman umum. Berdasarkan kesaksian kerabat korban di desa brussel terdapat 7 (tujuh) orang korban pembantaian dalam satu lubang di dekat simpang, yang kemudian simpang tersebut dikenal warga dengan Simpang Maut. Di Pamingke Blok Sepuluh terdapat dua lubang penguburan yang berisikan 6 (enam) orang korban pembantaian dari warga yang diambil di desa sekitar perkebunan Padang Halaban. Dimana dimungkinkan salah satu korban yang dikubur adalah bapak Suyoto dari Sidomulyo 61. Situasi mencekam pada tahun 1965 – 1968 dimanfaatkan oleh pihak perkebunan Plantagen AG untuk mengintimidasi dan menebarkan teror kepada rakyat. Mengkonsolidasikan seluruh perangkat keamanan di sekitar perkebunan Padang Halaban, tidak terkecuali militer dan bekas komando aksi serta para pekerja kebun yang didatangkan dari luar daerah untuk membantu proses-proses penggusuran.
61
Ibid. Hal 4.
61
Universitas Sumatera Utara
2.1.4.3. Penggusuran Tahun 1969-1970 Tahun 1968, akibat dari peristiwan pembantaian warga di tahun 1965, masyarakat di desa-desa sekitar Perkebunan Padang Halaban yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, mulai diintimidasi oleh Pengusaha Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG). Terjadi pengumpulan Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) untuk diperiksa dengan alasan ada pembaharuan. Pengutipan KTTPT dilakukan oleh kepala desa dari perusahaan, yaitu bpk Yahman yang dibantu pengawas kebun bapak Aritonang, dibantu juga oleh aparat kepolisian yang bernama Suwaji. Komandan kepolisian waktu itu bernama Aiptu Napitupulu62. Setelah pengumpulan KTTPT, pada tahun 1969 terjadi penggusuran. Pengusaha perkebunan dengan dibantu
aparat TNI/Polri dan didukung oleh
Pemerintah Kabupaten Labuhan batu saat itu, mulai melakukan intimidasi dan menuduh masyarakat desa sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) yang merupakan underbown-nya PKI. Selanjutnya, dengan todongan senjata laras panjang milik para aparat, masyarakat desa dipaksa untuk meninggalkan tanahnya,
dengan
terlebih
dahulu
melucuti/mengambil
bukti-bukti
kependudukan/kepemilikan tanah dari tangan masyarakat desa. Pada tahun 1969 sampai tahun 1970 proses penggusuran berlangsung. Penggusuran dilakukan di beberapa kampung, kampung pertama yang digusur Sukodamai/ Panigoran dengan menggunakan alat berat D8 dikawal oleh polisi
62
Ibid. Hal 5.
62
Universitas Sumatera Utara
militer berbaju hijau dan kuning dengan membawa senjata api laras panjang. Kampung kedua digusur adalah Sidomulyo dengan memakai tenaga TPU (Tahanan Umum) dibantu karyawan perusahaan dan dikawal oleh aparat. Padahal masyarakat di masing-masing desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban tidak pernah mengenal yang namanya BTI ataupun bergabung ke dalam partai terlarang tersebut. Akan tetapi, tuduhan terhadap masyarakat desa ini dengan menyebutnya sebagai Anggota BTI, hanya merupakan alat di masa Orde Baru sebagai dalih untuk mempermudah aksinya melakukan perampasan hak tanah rakyat yang tidak berdaya karena berhadapan dengan intimidasi dan todongan senjata laras panjang milik aparat TNI/Polri. Bagi masyarakat desa yang dituduh sebagai Anggota BTI dan tidak dapat melakukan perlawanan, akhirnya harus rela untuk ditahan di penjara Korem 021 Pematang Siantar atau disiksa dihadapan orang banyak63. 2.1.4.4. Masa Orde Baru Hingga Sekarang Tindakan sewenang-wenang perampasan tanah oleh pemerintah dan perkebunan menjadi pemantik bagi bangkitnya perjuangan rakyat. Usaha perjuangan dimulai sejak tahun 1970 dengan mengajukan desakan kepada pihak perkebunan untuk mengembalikan tanah rakyat. namun desakan tersebut tidak mendapatkan tanggapan dan justru mendapatkan ancaman dari pihak perkebunan. Kembali perjuangan dilakukan pada tahun 1975 dipimpin oleh tiga orang, diantara bapak Simajuntak, bapak Sasi dan Bapak Jono dengan mengajukan dialog, tapi
63
Ibid.
63
Universitas Sumatera Utara
usaha tersebut sia-sia karena pihak perusahaan tidak menanggapi. Ketidak pastian atas hidup rakyat pasca terjadi penggusuran dan perampasan tanah terus berlangsung menyebabkan rakyat kehilangan semangatnya lagi untuk berjuang. Disamping itu seiring derasnya tekanan dari pemerintah reaksioner Soeharto dan juga semakin senjanya usia para pejuang-pejuang yang hebat ini. Pada tahun 1998 ketika pecah gerakan reformasi yang dipelopori gerakan mahasiswa beserta gerakan buruh diberbagai kota memicu bangkitnya perlawanan di pedesaan. Tumbangnya Soeharto menjadi momentum mengambil kembali hak rakyat yang telah dirampas selama 32 tahun tanpa prikemanusiaan. Kala itu jutaan massa tumpah ruah di jalan-jalan ibu kota dan kota-kota provinsi sampai kabupaten diikuti aktivitas reclaiming tanah di desa-desa. Disinilah kekuatan massa menjadi guru utama dalam menyelesaikan persoalan rakyat dan telah menunjukkan bukti kedahsyatannya. Ketika reformasi 1998 terjadi, di perkebunan Padang Halaban perjuangan dimulai kembali, kali ini perjuangan dipimpin oleh bapak Samiran, dan bapak Sumardi Syam. Usaha perjuangan dilakukan dengan menyelenggarakan aksi-aksi politik dibantu oleh AGRESU dan GERAG serta pelindung hukum oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumut. Setelah beberapa kali melakukan aksi ke kantor-kantor pemerintahan baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, pada tahun 1999 Gubernur terpilih Sumatera
64
Universitas Sumatera Utara
Utara , bapak Tengku Rizal Nurdin mengeluarkan surat keputusan untuk bagi hasil antara petani dan perkebunan64. Harapan di pelupuk mata sirna dengan janji yang tak kunjung ditepati. Putusan tersebut tidak memiliki sama sekali kekuatan untuk memberikan hak kaum tani Padang Halaban sekitarnya, justru malah tidak pernah diungkap kembali oleh Pemprovsu, Bupati Labuhan Batu Utara, BPN Sumatera Utara, dan pihak perkebunan. Harapan yang sempat mengemuka di tengah-tengah rakyat telah di ingkari oleh arogansi Pemprovsu, Bupati Labuhan Batu Utara, BPN Sumatera Utara, dan pihak perkebunan. Seiring akan hal itu kepercayaan rakyat semakin sirna kepada pemerintah. Sampai pada akhirnya dengan teguh dan kembali merapatkan barisan rakyat KTPHS kembali berjuang. Tanah 3000 Ha adalah tanah rakyat, karena sejak awal tanah ini dibuka, dibabat dan dibangun oleh rakyat. Keberadaan perusahaan-perusahaan yang silih berganti sejak masa penjajahan Belanda – Jepang sampai perkebunaan swasta berdiri diatas perampasan dan penghisapan terhadap buruh dan kaum tani. Melalui berbagai kebijakan, dari Agrarische Wet sampai ke UU Penanaman Modal rakyat dibuat seolah-olah tidak punya hak atas tanah yang telah lama ditinggali dan di usahai. Sampai-sampai perusahaan menjadi penentu atas nasib buruh dan kaum tani. Upaya perjuangan dilakukan kembali dengan menyatukan warga yang sempat tercerai berai. Satu demi satu warga mengikatkan diri dalam persatuan
64
Ibid. Hal 12.
65
Universitas Sumatera Utara
perjuangan, dan secara bertahap membangun kelompok-kelompok kerja tiap desa disekitar perkebunan Padang Halaban. Terbangun kemudian kelompok kerja atau disingkat dengan Pokja di 10 desa, diantaranya Pokja Panigoran, Pokja Sidomulyo, Pokja Karanganyar, Pokja Pulojanten, Pokja Grojokan, Pokja Kampung Selamet, Pokja Purworejo, Pokja Aek Korsik, Pokja Kartosentono, dan Pokja Kampung Lalang. Setelah terkumpul barulah diperoleh jumlah anggota sebanyak 2040 KK atau sekitar 8160 jiwa dengan asumsi tiap KK sebanyak 4 orang anggota keluarga. Selain itu membentuk persatuan Pokja-Pokja menjadi Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) yang kemudian berubah nama menjadi STPHL-AGRA dengan membentuk struktur yang terdiri dari Ketua, Sekerteris Umum, sampai Pokja-Pokja65. Tindakan demikian memberi bentuk baru perjuangan dengan ikatan keanggotaan yang tersusun dengan rapi. Mulailah perjuangan dilakukan kembali, dengan tahapan pertama melakukan pendudukan lahan HGU PT.Smart di areal seluas 82 Ha. Pada tahun 2008 kurang lebih sebanyak 700 orang terlibat dalam aksi pendudukan. Awal-awal pendudukan sempat terjadi pengusiran oleh aparat keamanan kebun dan pihak kepolisian, namun masyarakat tidak bergeming dan tetap menduduki lahan. Dengan membentuk gubuk-gubuk darurat tempat berteduh sekaligus menjadi pos perjuangan. Kegiatan pendudukan lahan terjadi kurang lebih selama satu bulan dengan pengawalan ketat pihak keamanan. Dampaknya pihak perkebunan bekerjasama dengan pihak keamanan melakukan proses pidana
65
Ibid. Hal 16.
66
Universitas Sumatera Utara
kepada ketua dan Sekretaris umum dengan alasan menyerobot lahan perkebunan tanpa izin sesuai dengan putusan UU Perkebunan No 18 Tahun 2004 pasal 21 dan 47. Berdasarkan bukti-bukti yang ada kaum tani melakukan menempuh jalur hukum melalui gugatan perdata kepada pihak perkebunan PT.Smart sebagai upaya untuk mempertahankan diri karena ancaman hukuman dari pihak perkebunan dan juga intimidasi yang dilakukan oleh aparat keamanan kebun yang di dukung oleh pihak kepolisian. Akhirnya tuntutan pidana kepada ketua umum dan sekretaris ditangguhkan oleh pihak kepolisian. Apalagi setelah mengikuti beberapa sidang perdata di tingkatan Pengadilan Negeri Rantau Prapat dan Pengadilan Tinggi Medan dikalahkan oleh pihak perusahaan, dan memutuskan pihak perkebunan adalah pemilik sah lahan. Walaupun demikian tetap saja rakyat memasukkan banding ke Mahkamah Agung karena tidak ada pilihan lain. Ibarat sebuah Kapal terbawa arus dan sedikit penumpang yang masih bertahan untuk mengayuh perjuangan agar tidak tenggelam. Seiring proses hukum yang ada rakyat masih saja melakukan pendudukan lahan dan bertahan sampai detik ini. 2.1.5. Profil Serikat Tani Padang Halaban (STPHL) – Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Sejarah gerakan tani di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru. Upaya-upaya untuk menyatukan seluruh pandangan perjuangan kaum tani di Indonesia telah lama dilakukan. Namun, di dalam arus panjang perjuangan kaum
67
Universitas Sumatera Utara
tani di Indonesia belum berhasil menemukan sebuah jawaban fundamental, sebuah format gerakan tani seperti apa dan strategi apa yang dikehendaki dan kemudian perjuangan tersebut berhasil meningkatkan kesejahteraan kaum tani di Indonesia. Untuk menemukan rumusan tatanan masayarakat tani yang dicitacitakan membutuhkan konsentrasi pikiran dan tenaga tersendiri, meskipun berbagai aksi politik dan konsolidasi telah dilakukan. Kesatuan ide dan tindakan dalam gerakan tani ternyata belum mampu menyatukan gerakan tani dalam aspek politik, dan organisasi. Terkonsolidasikannya elemen gerakan tani di Indonesia yang telah dan sedang tumbuh tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dalam format dan strategi yang diinisiasi AGRA merupakan usaha maju untuk kemudian menjadi alat perjuangan dari kaum tani lebih meningkat untuk mencapai kehidupan yang damai dan sejahtera. Secara singkat, dapat
diuraikan tentang sejarah
perkembangan AGRA hingga terselenggarakannya Konfrensi Nasional Tani II AGRA di Subang. Sejarah perkembangan tersebut diawali pada Hari Tani Nasional 24 September 2002, berbagai kalangan yang serius dan fokus pada masalah-masalah kaum tani mengadakan konsolidasi guna pelaksanaan aksi bersama/serentak di hari tani nasional tersebut yang tergabung dalam Panitia Bersama Hari Tani Nasional, yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan rapat umum di tahun 2003 dengan agenda evaluasi sehingga menghasilkan resolusi pembentukan
68
Universitas Sumatera Utara
Panitia Bersama yang sifatnya diperluas hingga menghasilkan Badan Persiapan Organisasi Massa Tani tingkat nasional.. Setelah berbagai konsolidasi yang dilakukan, sejak itu seluruh konsolidasi gerakan tani serta upaya-upaya dan respon terhadap perkembangan situasi objektif di lapangan termasuk politik agraria berada dalam koordinasi dan kepemimpinan relatif Badan Persiapan Pembangunan Organisasi Massa Tani tersebut. Badan persiapan inilah yang kemudian bertanggung jawab hingga terselenggaranya Konfrensi Nasional I Tani AGRA pada 24 Februari 2004 di Wonosobo, Jawa Tengah. Dalam Konfrensi Tani Nasional I AGRA ini, mencapai beberapa kesepakatan yang penting terkait dengan usaha-usaha peningkatan perjuangan kaum tani dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kaum tani dengan mendorong terwujudnya Pembaruan Agraria (Reforma Agraria) yang sejati di Indonesia66. Pada awal tahun 2007, AGRA telah berdiri di salah satu provinsi terbesar di Indonesia yaitu Provinsi Sumatera Utara. Pembagunan organisasi ini dimulai dari Kabupaten Deli Serdang dengan perkembangannya di 2 kecamatan kecamatan Pancur Batu,dan kecamatan Kutalimbaru). Untuk saat ini sudah ada 3 desa pengorganisasian antara lain Desa Durin Tonggal, Desa Sei Mencirim, dan Desa Namo Rube Julu. Pada tahun 2013, daerah pengorganisasian AGRA bertambah, yaitu berada di Desa Padang Halaban, Kabupaten Labuhan Batu Utara yang menjadi lokasi penelitian ini67.
66 67
DPP-AGRA. Tentang Sejarah Pendirian AGRA Nasional. Hal 16. DPD-AGRA Sumut. 2014. Sejarah AGRA Sumatera Utara. Hal 7.
69
Universitas Sumatera Utara
2.1.5.1. Sejarah Berdirinya STPHL – AGRA Setelah beberapa tahun masyarakat Desa Padang Halaban mengelola tanah dengan tenang, keadaan ini terusik dengan penangkapan dan penembakan yang dilakukan pihak PT Smart (anak perusahaan Sinar Mas Group) dibantu oleh aparat TNI dan POLRI terhadap masyarakat Desa Padang Halaban pada tahun 2012. Kronologis kejadian ini sebenarnya dipicu dari masalah yang sudah lama pernah terjadi, yaitu permasalahan sengketa lahan antara masyarakat Padang Halaban dengan PT Smart, dimana masyarakat yang secara turun-temurun dari nenek moyang mereka menempati lahan yang diklaim oleh PT Smart adalah lahan miliknya. Kejadian ini mencapai puncak ketika, beberapa masyarakat Padang Halaban mengambil beberapa janjang sawit dari lahan reclaiming, dengan latar belakang untuk memenuhi kebutuhan hidup dari kondisi kehidupan yang memprihatinkan68. Dari kejadian ini, pihak PT Smart menuduh masyarakat mencuri sawit dari lahannya, dan menahan masyarakat yang mengambil sawit tersebut. Mengetahui penahanan kawannya ditahan oleh pihak Satpam perkebunan dan TNI, masyarakat tidak berterima dengan tuduhan tersebut dan sempat terjadi percekcokan dan beberapa provokasi dari pihak yang tidak bertanggungjawab hingga pada akhirnya menimbulkan kerusuhan. Pihak perkebunan menurunkan 4 pleton polisi untuk turun ke lahan dan menyisir dan menangkap beberapa petani yang dianggap sebagai dalang pemicu kerusuhan tersebut. Kondisi menjadi kacau balau setelah
68
Ibid. Hal 14.
70
Universitas Sumatera Utara
ada penembakan dan seorang anak petani bernama Gusmanto terluka. Sementara 3 orang ditangkap, dan warga bersiaga di beberapa rumah. Setelah tindakan penangkapan pertama, di ikuti dengan tindakan penangkapan kedua secara brutal oleh aparat kepolisian terhadap warga di setiap kerumunan massa dan rumahrumah warga. Bahkan 2 (dua) orang penggembala lembu ditangkap juga oleh aparat. Akhirnya sebanyak 60 orang warga ditangkap dengan alasan akan diberikan pengarahan. Para warga diangkut menggunakan 3 (tiga) mobil Dalmas. Kejadian penangkapan berlangsung sampai 14.00 WIB. Proses penangkapan tersebut, tidak dibarengi dengan surat perintah penangkapan dan dalam penangkapan, beberapa petani mengalami tindak kekerasan fisik. Kondisi menjadi kacau balau setelah ada penembakan dan seorang anak petani bernama Gusmanto terluka. Sementara 3 orang ditangkap, dan warga bersiaga di beberapa rumah. Kejadian ini menjadi sorotan utama beberapa kalangaan pada saat itu, terutama aktivis-aktivis sosial dan wartawan, hingga berita ini dimuat dalam media cetak dan elektronik. Informasi ini langsung direspon cepat oleh beberapa pengurus AGRA Sumatera Utara dengan berkoordinasi dengan beberapa aktivis NGO Lentera yang pada saat ini berada di lokasi konflik. Setelah mendapatkan informasi dari lapangan, beberapa aktivis AGRA langsung turun ke Padang Halaban untuk melakukan investigasi secara mendalam dan mencoba berinteraksi dengan masyarakat di desa tersebut.
71
Universitas Sumatera Utara
Setelah sekitar 1 (satu) bulan aktivis AGRA menetap di Padang Halaban, secara bertahap masyarakat mulai bisa menerima penjelasan dan pemahaman yang diberikan aktivis AGRA atas kondisi yang sedang mereka hadapi. Dari proses yang berjalan, beberapa orang aktivis AGRA rutin untuk melakukan diskusi dan konsoslidasi kepada petani Padang Halaban, hingga tercipatanya kesatuan pandangan bahwa perjuangan kaum tani haruslah perjuangan yang bersifat nasional dengan buah pikiran adalah peningkatan kesejahteraan kaum tani di Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 6 Juni 2013, KTPHS (Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya) berubah nama menjadi STPHL (Serikat Petani Padang Halaban) dan resmi menjadi ranting pengorganisasian AGRA wilayah Sumatera Utara dengan berbagai program organisasi dan pengangkatan kepemimpinan kolektif AGRA ranting desa Padang Halaban melalui Rapat Umum Anggota (RUA) dengan beranggotaka kurang lebih dari 300 orang69. Sampai saat ini, beberapa aktivis AGRA masih menetap di Padang Halaban dan berbagai kemajuan telah dirasakan kaum tani di desa ini, melalui berbagai kegiatan yang terlaksana secara terprogram, khususnya dengan adanya pendidikan politik dari organisasi yang meningkatkan kesadaran kaum tani. Sehingga nantinya kaum tani mampu memahami dengan baik tentang sebab akibat dari persoalan kehidupannya dan pemecahan masalah tersebut secara perlahan-lahan. Walaupun keinginan bersama atas kembalinya lahan yang
69
Ibid. Hal 17.
72
Universitas Sumatera Utara
dirampas oleh pengusaha masih dalam proses perjuangan, namun akan tetap diperjuangkan karena lahan tersebut merupakan jaminan atas kehidupan yang lebih sejahtera bagi masyarakat Padang Halaban. 2.1.5.2. Struktur Organisasi STPHL - AGRA Berdasarkan data Kelompok Masyarakat Serikat Tani Padang Halaban bahwa yang memegang kuasa pada daerah wilayah Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara sampai pada saat ini adalah: Ketua
: Bapak Suratmin
Sekretaris
: Bapak Selamat
Bendahara
: Bapak Naseb
Kadep Organisasi
: Bapak Adi Galang
Kadep Dikprop
: Bapak Aris Jatmiko
2.2 Tinjauan Kebijakan Pemerintah Terhadap Pembangunan Agraria Mengacu kepada program Nawa Cita Jokowi-JK yang terdiri dari 10 program utama dalam memimpin perjalanan Negara Republik Indonesia selama periodenya. Dimana di dalam 10 program tersebut terdapat program yang terkait dengan pembangunan agraria, sebagai program yang dianggap mendesak terhadap pembangunan negara kearah yang lebih baik. Melalui program pembangunan agrarianya yang tertuang di dalam Nawa Cita tersebut, maka untuk menjalankannya diperlukan sederetan kebijakan dan peraturan yang berkenaan dengan program tersebut.
73
Universitas Sumatera Utara
Dibawah ini akan dipaparkan beberapa deretan kebijakan atau peraturan pemerintah dibawah kepemimpinan Jokowi-JK, yang berkenaan dengan program pembangunan agraria semasa periode kepemimpinannya. Adapun peraturan atau kebijakan ini diambil dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta peraturanperaturan Presiden yang berkenaan dengannya.
2.2.1 Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Perpres No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Peraturan
ini ditujukan dalam rangka percepatan dan efektivitas
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sejumlah prosedur direvisi dalam Peraturan Presiden ini, antara lain gubernur harus sudah membentuk tim persiapan pengadaan tanah paling lama dua hari, sebelumya 10 hari, setelah menerima dokumen perencanaan Pengadaan Tanah dari Instansi yang memerlukan tanah. Kemudian tim yang bertanggung jawab harus memberitahuan rencana pembangunan kepada masyarakat sekitar paling lama tiga hari, sebelumnya 20 hari. Selanjutnya di dalam peraturan ini, Gubernur harus mengatasi keberatan dari masyarakat paling lama tiga hari, sebelumnya 14 hari. Sementara penetapan lokasi pembangunan dilakukan oleh gubernur dalam waktu paling lama tujuh hari kerja, sebelumya tidak ada batas waktu.
74
Universitas Sumatera Utara
Terkait ganti rugi, Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 mengatur, validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau pejabat yang ditunjuk paling lama tiga hari, sebelumnya tidak ada batas waktu. Pemberian ganti rugi dilakukan dalam waktu paling lama tujuh hari, sebelumnya tidak ada batas waktu70.
2.2.2. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Fungsi dan Kawasan Hutan PP ini menggantikan PP sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan dan Fungsi Kawasan Hutan serta terkait revisi PP No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Revisi itu dilakukan dengan menerbitkan PP. No. 105 tentang Perubahan kedua atas PP No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan71. Ketentuan yang diubah, bisa dilihat dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, g dan I. Ini menyangkut penggunaan kawasan di luar kegiatan kehutanan terjadi perubahan dengan ditambahkannya obyek stasiun bumi keantariksaan, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya, dan industri selain industri primer hasil hutan. Ketentuan pasal 6 diubah terkait izin pinjam pakai kawasan hutan atau IPPKH. Jika dalam aturan sebelumnya, IPPKH digunakan untuk penggunaan kawasan hutan. Sedangkan dalam PP No. 105 khusus untuk penggunaan kawasan 70
Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Diakses pada pukul 20.00 WIB 71 PP_Nomor_104_Tahun_2015 ttg tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Dalam bentuk PDF. Diakses pada tgl 25 September 2016. Pada pukul 19.30. WIB
75
Universitas Sumatera Utara
hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan, dan ini masih berhubungan dengan Pasal 4 ayat (2) diatas tadi. Selain soal perubahan akan objek IPPKH, perubahan lain dalam pasal ini menyangkut cakupan wilayah IPPKH, konpensasi atas IPPKH serta penggunaan IPPKH untuk survey dan eksplorasi. Ketentuan yang berubah dalam pasal 9 ayat (1), menyangkut subyek hukum yang dapat mengajukan penggunaan kawasan hutan. Jika sebelumnya hanya pejabat setingkat menteri, gubernur, bupati/ walikota, pimpinan badan usaha dan ketua yayasan. Kini subyek itu ditambah dengan pimpinan badan hukum, perseorangan, kelompok orang atau masyarakat. Sedangkan pimpinan badan usaha dan ketua yayasan dihapus. Ketentuan dalam pasal 10 ayat (3) yang diubah berkaitan dengan dihapuskannya penerbitan prinsip penggunaan kawasan hutan oleh Menteri sebelum menerbitkan IPPKH. Dalam ketentuan sebelumnya, sebelum IPPKH di berikan oleh Menteri, maka subyek hukum yang mengajukan IPPKH harus mendapat persetujuan penggunaan kawasan hutan oleh Menteri. Implikasi dari dihapusnya ketentuan tentang Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan, semua ketentuan dalam pasal 10 ayat (4), 11, 12 dan 13 dihapus dalam PP ini. Ketentuan yang dihapus tadi menyangkut semua tata cara untuk mendapatkan Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan. Ketentuan pasal 15 diubah terkait kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemegang IPPKH. Kewajiban Pemegang IPPKH yang sudah tercantum dalam pasal 15 di PP sebelumnya, kemudian ditambah dengan kewajiban melaksanakan
76
Universitas Sumatera Utara
tata batas areal IPPKH, lalu melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang dipinjam pakai yang sudah tidak digunakan, menyerahkan, melaksanakan tata batas dan mereboisasi lahan kompensasi kawasan hutan Ketentuan pasal 17 terkait larangan kepada pemegang IPPKH, jika sebelumnya hanya dilarang memindah tangankan IPPKH tanpa izin dari Menteri, serta menjaminkan kawasan kawasan dalam IPPKH kepada pihak lain, kini ditambah dengan larangan perubahan nama IPPKH tanpa izin Menteri, selain itu larangan melakukan kegiatan dalam wilayah IPPKH sebelum memperoleh batas areal kerja IPPKH. Terkecuali dalam hal IPPKH yang berkaitan dengan pembangunan nasional yang bersifat vital, seperti pembangkit tenaga listrik, waduk dan bendungan. Untuk pengecualian tadi, bisa dilakukan kegiatan tadi tanpa menunggu tata batas dilaksanakan. Ketentuan dalam pasal 18 ayat (3) berkaitan dengan Jangka Waktu IPPKH. Ketentuan terbaru dalam PP No. 105 ini, merubah objek alat vital Negara yang mempunyai jangka waktu IPPKH selama masih bisa digunakan untuk kepentingan umum. Objek terbaru itu adalah sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara, jalan umum, jalur kereta api, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, bangunan pengairan lainnya, sarana meteorologi, klimatologi, geofisika, serta religi, Ketentuan pasal 19 ayat (1) yang diubah terkait dengan pengawasan atau monitoring dan evaluasi penggunaan kawasan hutan. Berdasarkan ketentuan dalam pasal diatas, Menteri diserahi tugas untuk melakukan pengawasan dan
77
Universitas Sumatera Utara
evaluasi terhadap pengguna IPPKH. Ini merevisi tugas menteri
dalam
sebelumnya, yang mana Menteri Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan serta kepada pemegang dispensasi kawasan hutan. Ketentuan pasal 20 tentang hapusnya IPPKH. Di sini di jelaskan tentang sebab-sebab hapusnya IPPKH. Diantaranya adalah karena jangka waktu IPPKH telah berakhir, lalu karena dicabut menteri, serta diserahkannya IPPKH secara sukarela dari pemegang IPPKH kepada Menteri sebelum izin berakhir dengan pernyataan tertulis. Pasal 20 ini juga menghapus ketentuan tentang hapusnya persetujuan prinsip penggunaan kawasan yang sebelumnya diatur dalam PP sebelumnya. Selain ketentuan yang diubah, ditambahkan juga ketentuan baru seperti yang di cantumkan dalam pasal 25 huruf c. Isinya berkaitan tentang Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan, meski ketentuan Persetujuan Prinsip telah dihapus dalam PP ini, hal yang terkait lahan kompensasi yang telah di sediakan sebagai kompensasi tetap diwajibkan menyerahkan lahan itu, untuk dijadikan kawasan hutan. Kesimpulan dari revisi PP No. 24 tahun 2010 dengan PP No. 105 tahun 2015 adalah dihapuskannya ketentuan Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan dalam PP revisi ini.
78
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen Agraria) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, diharapkan penyelesaian kasus pertanahan dapat dijalankan secara lebih efektif. Terdapat sejumlah hal penting dalam aturan ini yang mesti diperhatikan dalam kasus pertanahan di Indonesia. Pertama, kasus pertanahan sendiri membedakan yang namanya sengketa, konflik, dan perkara pertanahan. Sengketa tanah sendiri merupakan perselisihan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Sementara konflik tanah adalah perselisihan pertanahan baik orang, kelompok, organisasi, badan hukum yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas. Sedangkan, perkara tanah sendiri adalah perselisihan pertanahan yang penanganan perkara dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Kedua, dalam aturan ini dibedakan penanganan penyelesaian sengketa dan konflik berdasarkan datangnya laporan. Pasal 4 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 membedakan jenis laporan berdasarkan dua jalan, yakni inisiatif dari kementerian dan pengaduan masyarakat. Dimana, terhadap dua mekanisme laporan itu dibedakan masing-masing proses administrasi dan pencatatan penanganan aduan yang masuk. Namun, mekanisme selanjutnya tidak terdapat perbedaan setelah temuan dan aduan diregister. Terhadap temuan dan aduan tersebut dilakukan analisa secara mendalam untuk mengukur dan mengetahui
79
Universitas Sumatera Utara
apakah kasus pertanahan itu menjadi kewenangan kementerian. Pasal 11 ayat (3) Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan sengketa atau konflik yang menjadi kewenangan kementerian, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang72. Sengketa atau konflik itu antara lain, kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan, dan/atau perhitungan luas, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar, tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan. Selanjutnya, kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah, kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti, kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan, kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin, penyalahgunaan pemanfaatan ruang, serta kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Selain sengketa atau konflik tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang tidak berwenang menangani kasus pertanahan. Namun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dapat mengambil inisiatif untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa atau konflik melalui jalur mediasi. Jalur mediasi dalam aturan ini ditempuh juga untuk jenis sengketa atau konflik, baik yang menjadi kewenangan kementerian atau yang bukan menjadi kewenangan kementerian.
72
Permen 11 2016_Kasus Pertanahan. PDF. Diakses pada tgl 25 September 2016. Pukul 20.00. WIB
80
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian melalui jalur mediasi dapat ditempuh apabila para pihak sepakat melakukan perundingan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat bagi kebaikan semua pihak. Jika salah satu pihak saja menolak, maka penyelesaiannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Teknisnya, mediasi dilakukan paling lama 30 hari dimana untuk mediatornya berasal dari kementerian, Kantor Wilayah BPN atau Kantor Pertanahan. Dalam hal mediasi ditemukan kesepakatan, maka selanjutnya dibuat perjanjian perdamaian berdasarkan berita acara mediasi yang mengikat para pihak. Setelah itu, perjanjian perdamaian itu didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat untuk memperolah kekuatan hukum mengikat. Yang perlu dicatat, mediasi dianggap batal apabila setelah diundang tiga kali secara patut, para pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak hadir. Sehingga, para pihak dipersilahkan menyelesaikan sengketa atau konflik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, terkait dengan eksekusi. Keputusan penyelesaian sengketa atau konflik dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Terhadap keputusan itu wajib dilaksanakan kecuali terdapat
alasan
yang sah untuk menunda
pelaksanaannya. Pasal 33 ayat (2) Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan ada tiga alasan yang sah untuk menunda pelaksanaan. Ketiganya, yakni sertifikat yang akan disita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, tanah yang menjadi objek pembatalan menjadi
81
Universitas Sumatera Utara
objek hak tanggungan, serta tanah telah dialihkan kepada pihak lain73. Keempat, terkait dengan penanganan perkara. Dalam konteks ini, penanganan perkara yang dilaksanakan dalam perkara di peradilan perdata atau tata usaha negara (TUN) dimana Kementerian Agraria dan Tata Ruang menjadi pihak. Kalau kementerian kalah dalam perkara, Kementerian dapat melakukan upaya hukum meliputi perlawanan (verzet), banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Selain itu, pihak yang berperkara dapat meminta keterangan ahli atau saksi ahli dari Kementerian melalui Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN, atau Menteri. Sementara, dalam hal perkara di pengadilan tidak melibatkan Kementerian sebagai pihak namun perkaranya menyangkut kepentingan Kementerian, maka Kementerian dapat melakukan intervensi. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk ditunda, diantaranya objek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan, terhadap objek putusan sedang dalam status diblokir atau sita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, serta alasan-alasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 50 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 mengatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dimintakan permohonan pelaksanaan melalui Kantor
73
Ibid.
82
Universitas Sumatera Utara
Pertanahan setempat atau langsung diajukan ke Kementerian, khusus dalam hal permohonan pembatalan penetapan tanah terlantar.
83
Universitas Sumatera Utara