BAB II PERSEPSI KONSEP SYUKUR DAN ETOS KERJA
Dalam kajian teori pada bab dua ini, akan memaparkan mengenai mengenai teori persepsi yang melputi pengertian ersepsi, proses dibentuknya persepsi,dan factor yang mempengaruhi persepsi. konsep syukur yang antara lain: pengertian syukur, perbedaan antara al-Syukr, al-Hamd, dan al-Madhu, macam-macam syukur, keutamaan syukur, dan tingkatan syukur. Kemudian etos kerja disini akan menjelaskan mengenai, pengertian etos kerja, fungsi etos kerja, faktor-faktor yang menumbuhkan etos kerja, hal-hal yang menghambat etos kerja, pandangan Islam terhadap etos kerja serta ciri-ciri dan indikator etos kerja. A. Teori Persepsi 1. Pengertian Persepsi Terbentuknya persepsi dimulai dengan pengamatan yang melalui proses hubungan melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, dan menerima
sesuatu
hal
yang
kemudian
seseorang
menseleksi,
mengorganisasi, dan menginterpretasikan informasi yang diterimanya menjadi suatu gambaran yang berarti. Terjadinya pengamatan ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lampau dan sikap seseorang dari individu. Dan biasanya persepsi ini hanya berlaku bagi dirinya sendiri dan tidak bagi orang lain. Selain itu juga persepsi ini tidak bertahan seumur
20
21
hidup dapat berubah sesuai dengan perkembangan pengalaman, perubahan kebutuhan, dan sikap dari seseorang baik laki-laki maupun perempuan.1 Menurut Philip Kotler, Persepsi adalah proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan masukanmasukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Persepsi dapat diartikan sebagai suatu proses kategorisasi dan interpretasi yang bersifat selektif. Adapun faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah katakteristik orang yang dipersepsi dan faktor situasional.2 Bimo Walgito mengungkapkan, bahwa persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalamanpengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain.3
1
Gaspersz, Vincent. Manajemen Bisnis Total dalam Era Globalisasi. (Jakarta : Penerbit PT.Gramedia, 1997) 2 Kotler, Phillip. Marketing Management Analysis, Planning, Implementation & Control. (Prentice Hall Int,1995). Hlm. 219 3 Bimo Walgito, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Gramedia, 2004), Hlm. 70
22
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesamaan pendapat bahwa persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui inderaindera yang dimilikinya. 2. Proses Terbentuknya Persepsi Proses pembentukan persepsi diawali dengan masuknya sumber melalui suara, penglihatan, rasa, aroma atau sentuhan manusia, diterima oleh indera manusia (sensory receptor) sebagai bentuk sensation. Sejumlah besar sensation yang diperoleh dari proses pertama diatas kemudian diseleksi dan diterima. Fungsi penyaringan ini dijalankan oleh faktor seperti harapan individu, motivasi, dan sikap. Sensation yang diperoleh dari hasil penyaringan pada tahap kedua itu merupakan input bagi tahap ketiga, tahap pengorganisasian sensation. Dari tahap ini akan diperoleh sensation yang merupakan satu kesatuan yang lebih teratur dibandingkan dengan sensation yang sebelumnya. Tahap keempat merupakan tahap penginterpretasian seperti pengalaman, proses belajar, dan kepribadian. Apabila proses ini selesai dilalui, maka akan diperoleh hasil akhir berupa Persepsi.
23
3. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Vincent, ada beberapa factor yang mempengaruhi persepsi yaitu: a. Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (focus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan, juga minat dan motivasi. b. Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi, yang diperoleh, pengetahuan
dan
kebutuhan
sekitar,
intensitas,
ukuran,
keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek. B. Konsep Syukur 1. Pengertian Syukur Untuk mengetahui konsep syukur, maka terlebih dahulu mengetahui arti syukur secara bahasa dan secara istilahnya. Syukur berasal berasal dari kata "Syakara", "Yasykuru" yang maknanya yaitu "Memuji" atau "Menghargai".4Syukur menurut bahasa artinya memuji pemberi nikmat atas kebaikan yang dilakukannya.5
Ada beberapa pendapat para ulama yang mengartikan mengenai syukur, yaitu:
4
Munir Baalbaki, Kamus Al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, (Rembang: Halim Jaya. 2006), Hlm.472 5 Imam Khanafi Al-Jauhari, Pokok-pokok Ajaran Tasawuf, (Pekalongan: STAIN Pekalomgan Press. 2010), Hlm. 63
24
Menurut Al-Ghazali, dalam buku Mutiara Ihya‟Ulumuddin Ringkasan yang ditulis sendiri oleh Sang Hujjatul-Islam Syukur adalah menyadari bahwa tidak ada yang memberi kenikmatan kecuali Allah. Kemudian apabila engkau mengetahui perincian kenikmatan Allah kepadamu dalam anggota-anggota tubuh, jasad dan ruhmu, serta seluruh yang engkau perlukan dari urusan-urusan penghidupanmu, muncullah di dalam hatimu rasa senang kepada Allah dan kenikmatannya serta anugerahnya atas dirimu. Kemudian, karenannya engkau banyak beramal.6 Menurut Abu Bakar Al-Warraq, Syukur atas anugerah adalah memberikan kesaksian terhadap anugerah tersebut dan melaksanakan penghormatan. Maksudnya adalah menyaksikan atas apa yang diberikan Allah kepada makhluknya di bumi ini, baik berupa fisik maupun metafisik. Kemudian
melaksanakan
penghormatan
kepada
Allah
yang
telah
memberikan anugerahnya kepada semua makhluknya, misalnya dengan melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya. Menurut Al-Junayd, syukur adalah jika orang tidak menggunakan anugerah (yang diberikan Allah) untuk bermaksiat kepada-Nya. Maksudnya adalah seseorang dikatakan bersyukur ketika orang itu mendapat anugerah tidak menggunakannya dalam kemaksiatan, tetapi untuk kebaikan. Menurut Asy-Syilbi, syukur adalah kesadaran akan sang pemberi anugerah, bukan kesadaran akan anugerah.7 kesadaran akan sang pemberi
6
Al-Ghazali, Mutiara Ihya‟Ulumuddin Ringkasan yang Ditulis Sendiri OlehSang Hujjatullah, (Bandung: Mizan. 1990), Hlm.317. 7 Imam Khanafi Al-Jauhari, Pokok-pokok Ajaran Tasawuf, (Pekalongan: STAIN Pekalomgan Press. 2010), Hlm. 64.
25
anugerah yang dimaksud adalah Allah SWT, karena Allahlah yang maha memiliki segalanya, yang memberikan anugerah kepada makhluknya dimuka bumi. Dengan mengetahui anugerah itu akan membuat seorang hamba bisa mengetahui pemberi anugerah. Jika dia mengetahui pemberi anugerah, tentu akan mencintai-Nya dan bersungguh-sungguh dalam mengharapkan-Nya. Sebab siapa yang mengetahui Allah, tentu akan mencintai-Nya. Tentang syukur, Gus Dur mengajarkannya dalam praktik lahir. Laku lahir yang senantiasa dilakukan Gus Dur adalah keteguhannya dalam melakukan
pelayanan,
khususnya
memberi
bantuan
kepada
yang
membutuhkan dan melayani mereka yang meminta pertolongan kepadanya. Karena di dalam jasad manusia ada sebongkah daging, jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya, jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya, bongkahan daging itu adalah hati. Dari hati yang baik inilah seseorang bisa tergerak untuk melakukan kebaikan. Ini adalah cerminan dari laku batin syukur ketika ia mendapatkan nikmat dalam segala bentuknya. Orang bersyukur adalah beramal berdasarkan kelapangan dada, kemurahan hati, serta kedermawanan tanpa memperhitungkan untung rugi dari sudut dunia.8 Dari beberapa penjelasan para Ulama di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut al-Ghazali lebih menekankan kepada hati dan perbuatan, Asy-Syilbi lebih menekankan kepada hati, Abu Bakar Warraq menekankan kepada hati dan perbuatannya. Sedangkan Al-Junaid, dan Gus Dur dalam 8
Nur Khalik Ridwan, Suluk Gus Dur: Bilik-bilik Spiritual Sang Guru Bangsa, (Jogjakarta: AR- RUZZ MEDIA. 2014), hlm. 169
26
bersyukur lebih menekankan kepada anggota badan yaitu dengan perbuatan. Setelah mengetahui pengertian syukur dari beberapa pendapat para ulama, kita dapat mengetahui syukur menurut terminologi adalah memperlihatkan pengaruh nikmat Ilahi pada diri seseorang hamba pada qalbunya dengan beriman, pada lisannya dengan pujian dan sanjungan, dan pada anggota tubuhnya dengan mengerjakan amal ibadah dan ketaatan.9 2. Perbedaan antara al-Syukur, al-Hamd, dan al-Madhu. Ada tiga istilah yang hampir mirip, namun ketiganya ada perbedaannya yaitu al-Syukr, al-hamd, dan al-Madhu.Untuk mengetahui perbedaan antara al-Syukr, al-Hamd, dan al-Madhu, harus mengetahui penjelasan dari masing-masing kata tersebut. Maka dari itu penulis akan memaparkan penjelasan dari ketigannya. Didalam bahasa Arab, kata yang mengandung arti pujian ada beberapa diantarannya adalah al-Hamd dan al-Madhu serta al-Syukr.Namun ketigannya memiliki arti khusus masing-masing dan penggunaanyapun berbeda. Semuannya diartikan sebagai “Pujian” kecuali al-Syukr yang diartikan terima kasih atau syukur. Makna kata al-Syukr hanya diberikan pada suatu anugerah atau kenikmatan yang diberikan oleh seseorang dan alSyukr hanya diberikan karena atas perbuatan baik seseorang. Makna kata alHamdu yaitu pujian yang disertai dengan mahabah (Kecintaan) atas kebaikan dari suatu anugerah kenikmatan, kebaikan yang diberikan oleh 9
Imam Khanafi Al-Jauhari, Pekalomgan Press. 2010), Hlm. 63
Pokok-pokok Ajaran Tasawuf,
(Pekalongan: STAIN
27
seseorang kepada orang lain atas sifat-sifat baiknya. Makna kata alMadhuyaitu pujian yang diberikan kepada seseorang baik orang itu telah melakukan kebaikan atau tidak.10 Dari penjelasan di atas penulis
menyimpulkan bahwa perbedaan
antara al-Syukr, al-Hamdu, dan al-Madhu adalah al-Syukr hanya diberikan kepada suatu anugerah atau kenikmatan yang diberikan oleh seseorang atas perbuatan baik seseorang tersebut (perbuatannya) bukan atas sifat-sifat baiknya. Misalnya ketika seseorang diberi makanan oleh orang lain maka kita memberi syukur atau berterima kasih kepadanya pada perbuatannya. Kemudian al-Hamdu diberikan kepada perbuatan baik seseorang pada sifatsifat mulianya, seperti ilmunya yang mendalam, kesabarannya, kasih sayangnya pada sesama. Selanjutnya al-Madhu diberikan pada perbuatan baik seseorang, boleh diberikan kepada orang yang berbuat baik atau tidak. Karena pujian al-madhu bisa juga diberikan kepada orang yang tidak melakukan kebaikan. Jadi, jika berterima kasih itu diarahkan pada perbuatan baik seseorang yang melakukan kebaikan kepada kita, maka itu dinamakan dengan istilah al-Syukr, jika berterima kasih itu diarahkan pada sifat-sifat baik seseorang yang melakukan kebaikan kepada kita, maka itu dinamakan dengan istilah al-Hamdu, sedangkan jika berterima kasih itu diarahkan kepada seseorang baik orang itu melakukan kebaikan atau tidak, maka itu dinamakan dengan istilah al-Madhu. 10
„Abdul-Karim Ibn Hawazin al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri, (Bandung: PUSTAKA. 1994), Hlm. 135
28
3. Macam-macam Syukur Setelah mengetahui pengertian syukur secara bahasa dan istilah, kini akan membahas mengenai macam-macam syukur. Menurut Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam buku Risalah Qusyairiyah Syukur
terbagi menjadi tiga, yaitu: a. Syukur dengan lisan, yakni mengakui kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT dengan sikap merendahkan diri. Maksudnya apabila hati seseorang penuh dengan rasa syukur kepada Allah maka dengan sendirinya lisan akan mengucapkan puji syukur kepada Allah. Syukur dengan lisan adalah syukurnya orang yang berilmu. Ini dapat direalisasikan dengan bentuk ucapan. b. Syukur dengan badan, yakni bersifat selalu sepakat dan melayani (mengabdi) kepada Allah SWT. Syukur dengan badan adalah syukurnya orang yang beribadah. Ini dapat direalisasikan dengan bentuk perbuatan. c. Syukur dengan hati, yakni mengetahui dan mengakui bahwa semua nikmat yang diterima adalah semata-mata dari karunia Allah. Selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan konsisten menjaga keagungannya. Syukur dengan hati adalah syukurnya orang yang ahli ma‟rifat. Ini dapat direalisasikan dengan semua hal ihwal secara konsisten.11
11
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Amani. 2007), Hlm. 245
29
Menurut Hasan al-Basri, hal-hal yang perlu disyukuri adalah: a. Nikmat dunia, seperti kesehatan dan harta yang halal. b. Nikmat Agama, seperti amal, ilmu, taqwa dan ma‟rifat kepada Allah. c. Nikmat akhirat, seperti pahala yang banyak atas amal shaleh yang sedikit.12 Menurut Imam Khanafi al-Jauhari, hal-hal yang menunjang bersyukur adalah: a. Agar terpelihara rasa syukur, Dianjurkan untuk memandang ke bawah, memandang orang-orang yang tingkatan status sosialnya di bawah kita. Jangan melihat orang-orang yang status sosialnya di atas kita, kecuali taqwanya. b. Setiap orang hendaknya menyadari bahwa kelak akan dimintai pertanggung jawabannya tentang nikmat yang telah diperolehnya. c. Berdoa kepada Allah, agar (Dia) membantu kita untuk dapat bersyukur.13 4. Keutamaan Syukur Berbicara mengenai keutamaan syukur, Allah SWT memerintahkan kepada kaum muslim untuk bersyukur kepada-Nya. Allah menjelaskan keutamaan syukur dalam beberapa ayat Al-Qur‟an yaitu: a. Pada surat al-Baqarah ayat 152:
12
Abdul Qadir Iso, Hakikat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi Press. 2005), Hlm. 277 Imam Khanafi Al-Jauhari, Pokok-pokok Ajaran Tasawuf, (Pekalongan: STAIN Pekalomgan Press. 2010), Hlm. 73 13
30
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku”. b. Pada surat al-Luqman ayat 12:
“Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".14 (QS. Al-Luqman: 12) Ayat di atas menjelaskan mengenaimanusia yang diperintahkan bersyukur kepada Allah SWT bukanlah untuk kepentingan Allah itu sendiri, karena Allah SWT ghaniyun „anil„alamin tapi justru untuk kepentingan manusia itu sendiri. Selain itu, Nabi Muhammad Saw juga memberikan penjelasan mengenai keutamaan syukur dalam sebuah hadits yaitu:
َّط ل ِم ِم
َّط لَّط ِم ُم َّطل ِم ُم ِم َم ْم ِم َم ِم ل ِم ِم
“Orang yang makan lalu bersyukur kedudukannya sederajat dengan orang puasa yang sabar”.15 Hadits di atas menjelaskan mengenai seseorang yang makan lalu orang itu bersyukur maka sama halnya dengan orang yang berpuasa yang bisa menahan kesabarannya. Sangatlah sulit bagi manusia untuk bisa 14
Imam Khanafi Al-Jauhari, Pokok-pokok Ajaran Tasawuf, (Pekalongan: STAIN Pekalomgan Press. 2010), Hlm. 73-74 15 Ibnu Majjah, Sunnah al-khafid abi abdullah Muhammad Ibnu yazzid al-qosyiinni Ibnu Majjah, Juz 1 Hlm. 561
31
mengendalikan dirinya dari sikap emosi untuk bisa bersabar, karena pada dasarnya hati seorang manusia itu seperti batu atau lebih keras dan kekerasannya itu tidak dapat hilang kecuali dengan menangis dalam keadaan takut dan bersyukur kepada Allah. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:
َم ُم َم ي َم ْمى َم ْم ِم َم َما ِم ِم َم ُم ِم اْم َمح َّط ُم ْمو َمن َمتَم ُم ْمى ُم ُمز ْما َم ةٌ َمتُم ْم َم لبُم َمهُم ْم ِم َمى ٌء َم َم ْمد ُمخلُم ْمى َمن ْم َمج َّط َم قِم َمْمل َمو َما ِمن ْم ِمح َّط ُم ْمو َمن ؟ قَم َما َّط ِمذ َمْمن َم ْمل ُمك ْمُمو َمن ّم ّللاَم ً َّط ِمذ َمْمن َم ْمل ُمك ْمُمو َمن ّللاَم َم: " َمو ِمً َم ْم ٍل َمخ َم,َم َم ً َم لَمً ُم لِّل َمح ٍلا َم لَمً َّطل َّط ِمء َمو َّط ."ل َّط ِمء “Diserukan pada hari kiamat agar orang-orang yang banyak memuji berdiri.Maka suatu jamaah berdiri lalu bendera ditegakkan atas mereka lalu mereka masuk surga.Ditanyakan; “Siapa orang-orang banyak memuji?” Beliau bersabda: “Mereka yang bersyukur kepada Allah Ta‟ala atas setiap keadaan.” Dan dalam kata-kata yang lain: Mereka yang bersyukur kepada Allah Ta‟ala dalam keadaan suka dan duka”.16 Dari beberapa uraian ayat al-Qur‟an dan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah memerintahkan orang-orang muslim untuk selalu bersyukur kepada-Nya. Dengan cara selalu mengingat kepada Allah, karena dengan selalu mengingat-Nya Allah akan mengingat hamba-Nya. Selain itu, orang-orang muslim juga dianjurkan untuk selalu mensyukuri dan tidak 16
Imam Al-Ghazali, Terjemah Ihya‟ „Ulumiddin jilid VII, (Semarang: CV. Asy Syifa‟. 2003), Hlm. 391
32
mengingkari nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. karena pada dasarnya dengan bersyukur maka sesungguhnya syukur itu untuk dirinya sendiri, dan jika tidak bersyukur maka Allah maha kaya lagi maha terpuji. 5. Tingkatan Syukur Berbicara mengenai syukur, selain menjelaskan mengenai keutamaan syukur juga menjelaskan mengenai tingkatan-tingkatan dalam bersyukur. Imam Ghozali dalam kitab Ihya‟ Ulumuddin memberikan perumpamaan tigkatan syukur. Dia membuat sebuah contoh, ada seorang raja yang hendak berpergian menghadiahkan seekor kuda pada salah seorang bawahannya. Bisa dibayangkan betapa gembira hatinya. Kegembiraan itu dapat dilihat dari tiga segi. Pertama, dia gembira karena yang diberikan adalah seekor kuda. Benda yang sangat berguna sehingga bisa dipakai berkendara kemana saja ia pergi. Kudanya bagus sekali, kegembiraan itu tidak tertuju kepada raja, tapi semata-mata kepada kudanya. Andai kata ia menemukan kuda itu di suatu padang, pasti kegembiraan itu sama dengan kegembiraan menerima hadiah kuda tersebut. Kedua, kegembiraannya bukan karena hadiah kuda tersebut, tapi lebih kepada perhatian raja terhadap dirinya, andaikata dia menemukan kuda tersebut disuatu padang rumput atau diberi oleh selain raja, pasti sama sekali ia tidak bergembira. Sebab ia tidak memerlukan kuda itu atau jika dibanding dengan tujuannya mencari tempat dihati raja maka kudanya itu sama sekali tidak berarti.
33
Ketiga, ia bergembira karena punya kendaraan agar bisa lebih berarti dihadapan raja. Ia pergi ke mana saja yang diperlukan dengan tujuan kebaktian pada raja dapat ditingkatkan. Ia berharap semakin dekat dengan hati raja, ini kadang bisa meningkatkan derajatnya menjadi menteri jika dibandingkan dengan kebaikan raja memberikan kuda. Dari ketiga bentuk syukur ini, dapat dianalisis satu persatu, pada bagian yang pertama, di sini tidak ada arti syukur sama sekali. Sebab pandangan yang bersangkutan hanya terbatas pada pemberian itu. Kegembiraan hanya tertuju pada kuda, bukan pada siapa yang memberi kuda itu. Demikian pula pada orang yang gembira menerima nikmat, tapi kenikmatan itu saja yang menjadi tujuannya maka hal itu masih jauh dari arti bersyukur. Kedua, ada sedikit rasa syukur jika dilihat dari rasa gembirannya tertuju pada siapa yang memberi nikmat. Hanya sayang tidak tertuju pada Zat-Nya, tapi hanya tertuju kepada perhatiannya yang mungkin akan memberi nikmat lagi nanti. Orang seperti ini adalah orang yang beribadah dan bersyukur kepada Allah karena takut siksa dan mengharapkan pahala. Ketiga adalah syukur yang sempurna.Yaitu hendaknya kegembiraan seseorang itu tertuju pada nikmat Allah dalam segi bahwa nikmat itu bisa membawanya lebih dekat kepada Allah, berada di samping-Nya dan selalu bisa memandang ke wajah-Nya, inilah derajat yang paling tinggi.17
17
Budi Handrianto, Kebeningan Hati dan Pikiran:Rrefleksi Tasawuf KehidupanOrang Kantoran, (Jakarta: Gema Insani. 2002), Hllm. 127-131.
34
B. Etos Kerja 1. Pengertian Etos Kerja Sebelum menjelaskan arti dari etos kerja secara menyeluruh, maka terlebih dahulu harus mengetahui arti dari masing-masing kata itu sendiri. Etos kerja berasal dari dua kata yaitu etos dan kerja. Etos berasal dari bahasa Yunani ethos yamg berarti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya.18 Kerja adalah aktivitas yang dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu sehingga tambah rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas. Aktivitas tersebut dilakukan
karena
kesengajaan,
untuk
memperoleh
sesuatu
yang
direncanakan. Karenanya, terkandung di dalamnya suatu gairah, semangat untuk menyerahkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga apa yang dikerjakannya benar-benar memberikan kepuasan dan manfaat.19 Walau
demikian,
tidaklah
semua
aktivitas
manusia
dapat
dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan. Karena di dalam makna pekerjaan terkandung tiga aspek yang harus dipenuhinya secara nalar, yaitu: a. Bahwa aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan tanggung jawab (motivasi). 18
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, (Jakarta: Gema Insani Press. 2002),
Hlm. 15 19
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Hlm. 24
35
b. Bahwa apa yang dia lakukan tersebut dilakukan karena ada kesengajaan, sesuatu yang direncanakan, karenanya terkandung di dalamnya suatu gabungan antara rasa dan rasio. c. Bahwa yang dia lakukan itu, dikarenakan adanya sesuatu arah dan tujuan yang luhur, yang secara dinamis memberikan makna bagi dirinya, bukan hanya sekedar kepuasan biologis statis seperti misalnya (suami istri melakukan hubungan sebadan), tetapi adalah sebuah kegilaan untuk mewujudkan apa yang diinginkannya agar dirinya mempunyai arti.20 Untuk mengetahui pengertian dari etos kerja, ada beberapa pendapat para tokoh yang mengartikan etos kerja sebagai berikut: Menurut Panji Anoraga, etos kerja adalah pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja, oleh karena itu menimbulkan pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai suatu yang luhur, sehingga diperlukan dorongan atau motivasi.21 Menurut Soekaji, etos adalah keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia menjalankan kehidupannya. Hubungan dengan kerja, etos kerja berarti keseluruhan norma dan penilaian seseorang atau masyarakat dalam melakukan pekerjaan.22 Menurut Max Weber, dalam buku The Protestant Ethic and theSpirit of Capitalism sebagaimana yang dikutip oleh Mubyarto, mengatakan bahwa 20
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Nada Insani Press,1995),
Hlm. 27
21
Panji Anaraga, Psikologi Kerja, (Jakarta: Rineka Cipta. 2001), Hlm. 29 Uswatun Khasanah, Etos Kerja Arena Menuju Puncak Prestasi, (Yogyakarta: Harum Group. 2004), Hlm. 152 22
36
ada kaitan antara perkembangan suatu masyarakat dengan sikap dari masyarakat itu terhadap makna kerja. Menurut pengamatan Weber dikalangan Sekte Protestan Calvinist terdapat suatu “kebudayaan” yang menganggap bahwa kerja keras adalah suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan spiritual. Kerja keras bagi umat Protestant Sekte
Calvinist
adalah
suatu
panggilan
rohani
untuk
mencapai
kesempurnaan kehidupan mereka.Akibat dari semangat kerja keras ini ternyata melimpah pula pada kehidupan ekonomi mereka.23 Sedangkan menurut Alatas dalam buku Etos Kerja dan Kohesi Sosial menjelaskan etos kerja bukan suatu fenomena kebudayaan, melainkan suatu fenomena sosiologi yang eksistansinya terbentuk oleh hubungan produksi yang timbul sebagai akibat dari struktur ekonomi yang ada dalam masyarakat.24 Dengan demikian, etos kerja berkaitan erat dengan harapan serta cara dirinya untuk memberikan makna terhadap pekerjaan itu sendiri.25 Dari masing-masing pendapat para tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Etos kerja adalah suatu sikap yang sudah mendasar dan melekat pada seseorang yang berorientasi pada nilai-niai yang transenden, etos kerja tersebut dibentuk oleh pengaruh budaya, pendidikan seseorang dan keyakinan seseorang.
23
Mubyarto dkk, Etos Kerja dan Kohesi Sosial, (Yogyaakarta: Aditya Media. 1991), Hlm.
1-2
24
Mubyarto dkk, Etos Kerja dan Kohesi Sosial, (Yogyaakarta: Aditya Media. 1991), Hlm.
3
25
Toto Tasmara, MembudayakanEtosKerja Islam, (Jakarta: GemaInsani Press. 2002),
Hlm. 19
37
2. Fungsi Etos Kerja Setelah mengetahui pengertian dari etos kerja, maka dapat dilihat bahwa etos kerja mempunyai fungsi tersendiri bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Fungsi etos kerja adalah sebagai sumber motivasi kerja, mendorong seseorang dalam bekerja untuk membentuk
kepuasan
yang
diharapkan
akan
dapat
meningkatkan
produktifitas.26 3. Faktor-faktor yang Menumbuhkan Etos Kerja Menurut Toto Tasmara, untuk membentuk watak generasi yang tinggi etos kerjanya. Tidaklah cukup hanya dengan pemberian nasehat, tetapi dibutuhkan dua perangkat pembelajaran, yatu sistem reward and pinalthy (cara belajar instrumental) dan selanjutnya mereka akan belajar dari keteladanan (cara belajar observational atau disebut juga dengan modelling) dengan menyampaikan beberapa pesan antara lain sebagai berikut:27 a. Bekerja itu adalah ibadah dan amanah, dan Allah sangat mencintai orangorang yang bekerja. Dengan pesan-pesan ini, mereka akan bekerja dengan
semangat
dan
kerinduan
agar
pekerjaannya
tersebut
menghasilkan tingkat hasil (performance) yang seoptimal mungkin. b. Menumbuhkan
gerak
kreativitas
untuk
mengembangkan
dan
memperkaya serta memperluas bidang pekerjaanya (job enrichment Eenlargement). Dengan cara ini, mereka akan merasakan bahwa dengan
26
Mubyarto dkk, Etos Kerja dan Kohesi Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media. 1991), Hlm.
4
27
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, (Jakarta: GemaInsani Press. 2002),
Hlm. 33
38
mengembangkan pekerjaannya akan tumbuh berbagai kegiatan dan tantangan lain, yang berarti menunjukkan bertambahnya amanah Allah kepada dirinya. c. Ada semacam malu hati yang mendalam (budaya malu) bila pekerjaannya tidak dilaksanakan dengan baik karena hal ini berarti sebuah pengkhianatan terhadap Allah. Dengan berfikir seperti ini, setiap pribadi muslim merupakan tipikal manusia yang terus meronta, gelisah, dan berfikir keras untuk secara dinamis mencari terobosan, inovasi serta aktivitas yang penuh arti dalam bentuk dinamika kreativitas yang terus mengalir tak mengenal lelah.28 Sedangkan jika dilihat dalam konteks masyarakat pedesaan, maka tinggi rendahnya etos kerja sangat ditentukan oleh sejumlah faktor seperti pola pemilikan tanah dan faktor produksi lain seperti ternak, pola hubungan produksi yang ada dalam masyarakat, serta tersedia atau tidaknya pekerjaan diluar sektor pertanian. Seorang anggota masyarakat
pedesaan yang
pekerjaannya buruh serabutan cenderung tidak akan bekerja keras apabila ia merasa bahwa hasil kerja kerasnya berupa kenaikan produksi sebagian besarnya harus diserahkan kepada si pemilik tanah. Keinginan kerja keras seorang petani akan terhambat apabila si petani itu memperoleh kesulitan
28
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, (Jakarta: GemaInsani Press. 2002),
Hlm. 34
39
dalam memperoleh sarana produksi yang dia butuhkan guna menaikkan produktivitas lahan pertaniannya.29 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat merupakan masalah ada atau tidaknya struktur ekonomi, sosial, dan politik yang mampu memberi motivasi bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. 4. Hal-hal yang Menghambat Etos Kerja Menurut Toto Tasmara dalam buku Etos Kerja Pribadi Muslim, ada beberapa hal-hal yang dapat menghambat jalanya etos kerja antara lain yaitu: a. Khurafat dan Takhayul Sikap takhayul tidak lebih dari kedurjanaan yang menjatuhkan martabat kemanusiaan, serta mebunuh kreativitas sebagai salah satu ciri etos kerja yang hakiki. Di dalam takhayul ini tergantung suatu ilusi yaitu membayangkan sesuatu tanpa fakta empiris dan bisa dinalar yang benar sehingga nilai objektivitasnya sangat diragukan. Apabila hal ini diyakini sebagai suatu kebenaran, maka bukan saja akan menumpulkan cara berpikir, tetapi dapat membuahkan kemubaziran serta tumpulnya daya pikir.30
29
Mubyarto dkk, Etos Kerja dan Kohesi Sosial, (Yogyaakarta: Aditya Media. 1991), Hlm.
4
30
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Nada Insani Press,1995),
Hlm. 127
40
b. Pelan-pelan asalkan terlaksana Secara hakiki peribahasa yang dikenal sebagai warisan nenek moyang seperti: pelan-pelan asalkan terlaksana, sebenarnya memberikan pengertian bahwa setiap pekerjaan atau kegiatan apapun harus dilandaskan kepada: 1. Kesungguhan 2. Ketelitian 3. Ketepatan data 4. Proses dan data orientik Peribahasa pelan-pelan asalkan terlaksana memberikan suatu nuansa bahwa apabila seseorang bekerja dengan benar, mengikuti prosedur maka akan menghasilkan pekerjaan yang paripurna. Falsafah serta ungkapan dari nenek moyang atau para leluhur kita itu pada awalnya sangat luhur, tetapi kemudian memberikan konotasi negatif karena telah kehilangan spirit dari maknanya yang hakiki. Kemudian membawa efek sampingan yang berbau toleransi terhadap jiwa yang malas, seakan-akan memberikan nuansa batin rileks bersante-sante yang hampir mirip dengan suasana kemalasan. c. Menyia-nyiakan waktu Seorang muslim memandang dunia sebagai ajang ibadah yang penuh dengan tantangan dan perjuangan. Di dadanya terdapat keyakinan mendalam, bahwa tidak ada satupun di dunia ini yang diciptakan Allah secara sia-sia. Kalaupun ada maka kesia-siaan itu hanyalah datang dari cara pandang dan sikap dari manusia itu sendiri. Sebab itu, bagaikan orang yang akan menghadapi pertandingan besar setiap hari dia isi dengan berbagai
41
latihan serius dan disiplin yang tinggi. Tetapi apabila orang tersebut tidak bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk berlatih maka orang tersebut tidak akan menang karena telah menyia-nyiakan waktu yang telah ada. 31 d. Menerima-fatalistik Konotasi sabar, pasrah dan nrimo, jangan sampai berubah menjadi sikap fatalisme. Bagaikan ikan mati yang mengambang dan hanya ikut hanyut di air keruh tanpa mampu mengubah diri dan posisinya. Sebaliknya kita harus menafsirkan bahwa sabar itu adalah satu kekuatan batin yang tangguh dan secara konsisten tidak pernah mengenal menyerah untuk tetap di atas jalur cita-cita yang telah diyakininya. e. Makan tidak makan asalkan bisa kumpul Pepatah Makan tidak makan asalkan bisa kumpul, merupakan satu falsafah yang luhur sebagai refleksi dari keakraban, saling membantu diantara sesama keluarga dan berani menanggung derita demi keutuhan ikatan
keluarga.
Tetapi
jangan
sampai
salah
tafsir
seakan-akan
mengorbankan nilai bekerja hanya karena alasa merasa jauh dari keluarga atau menjadikan diri kita malas mencari nafkah karena merasa sudah mendapatkan jaminan (belas kasihan) dari keluarga. f. Salah persepsi, bahwa kerja kasar itu hina Persepsi seperi ini akan melahirkan suatu penyakit yang mendorong seseorang menjadi manusia yang gengsian, rapuh dan kehilangan daya 31
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Nada Insani Press,1995), Hlm. 128-129
42
juang. Ketahuilah pada akhirnya, seseorang dinilai dari prestasinya, bukan oleh gengsi yang bersifat artifisial yang tampak luar belaka.Islam telah mendidik agar menjadi pekerja yang tangguh, serta menghasilkan prestasi yang terlahir dari tetesan keringat hasil perjuangan hidup yang ulet.32 g. Jimat atau Mascot Hampir dari seluruh pelosok dunia, keyakinan akan suatu benda yang membawa tuah (kesaktian) atau memberikan rezeki, perlindungan, ketentraman, diyakini oleh banyak orang. Isim, jimat, atau mascot, tidak lebih dari pada lambang keraguan seseorang yang menghadapi realitas hidup tanpa adanya keyakinan diri. Etos kerja memang membutuhkan semangat juang, tetapi tidak baik apabila semangat itu tumbuh dari keyakinan atau kemantapan jiwa hanya merasa dilindungi atau dijamin oleh jimat baik berupa boneka, batu cincin, isim atau benda-benda antik lain yang dikeramatkan.33 5. Pandangan Islam Terhadap Etos Kerja Setelah berbicara tentang etos kerja pada umumnya, kini pembahasan mengarah kepada etos kerja menurut Islam. Etos kerja sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan dan budaya. Maka etos kerja akan mempunyai arti apabila sejak dini sistem pendidikan dan budaya yang ada dilingkungannya diisi dan dikembangkan berdasarkan nilai yang islami. Sebaliknya apabila sistem pendidikan dan budaya masyarakat sudah
32
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Nada Insani Press,1995), Hlm. 129-131 33 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Nada Insani Press,1995), Hlm. 132-133
43
menjauh atau dijauhkan dari sistem dan nilai Islam, maka umat Islam akan menjadi generasi yang aneh. Satu generasi yang mengaku Islam tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai Islam.34 Dalam pandangan Islam, kerja adalah upaya untuk mengisi kualitas Islami, yaitu lingkungan kehidupan yang dilahirkan dari semangat tauhid, yang dijabarkan dalam bentuk amal prestatif (amal saleh) yang berbalut keberanian, ketangguhan, ketabahan dan kesungguhan.35 Di sisi lain, makna bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset pikir, dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khoiru ummah) atau dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu bisa memenuhi kebutuhan dirinya. Secara lebih hakiki, bekerja bagi seorang muslim merupakan “ibadah”, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Illahi agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos yang terbaik.
34
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Nada Insani Press,1995),
Hlm. 125 35
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, Hlm. 27
44
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 7:
“Sesungguhnya, kami telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya kami menguji mereka siapakah yang terbaik amalnya.” (al-Kahfi: 7).36 Ayat diatas menjelaskan bahwa, setiap pribadi muslim akan terketuk hatinya untuk mengaktualisasikan etos kerja dalam bentuk mengerjakan segala sesuatu dengan kualitas yang tinggi. Mereka sadar bahwa Allah menguji dirinya untuk menjadi manusia yang memiliki amal atau perbuatan yang terbaik, bahkan merekapun sadar bahwa untuk dapat berjumpa dengan Allah hanyalah dengan berbuat amal-amal yang baik. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 110:
Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Al Kahfi: 110).
36
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, (Jakarta: Gema Insani Press. 2002), Hlm. 15-25.
45
Dari beberapa potongan ayat di atas, tampaklah dengan sangat jelas bahwa bekerja memberikan makna “Keberadaan dirinya di hadapan Ilahi”. Dia bekerja secara optimal dan bebas dari segala belenggu atau tirani dengan cara tidak mau terikat dengan sesuatu apapun. Dalam pengertian ini seorang muslim menjadi seorang yang kreatif. Mereka mau melakukan eksplorasi, sepertinya ada semacam “kegilaan” untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang terbaik. Hal ini karena dia sadar bahwa bumi dihamparkan bukan sekedar tempat dia menumpang hidup, melainkan justru untuk diolahnya sedemikian rupa untuk menggapai kehidupan yang lebih baik.37 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, etos kerja dalam pandangan Islam adalah sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh dan oleh karenannya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.38 6. Ciri-ciri dan Indikator Etos Kerja Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya,
37
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Hlm. 26 Toto Tasmara, MembudayakanEtosKerja Islam, (Jakarta: GemaInsani Press. 2002),
38
Hlm. 27
46
memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan (khoiru ummah). Ciri-ciri orang yang mempunyai etos kerja biasanya memiliki sikap yang tanggung jawab, kreatif, disiplin dan percaya diri dalam melakukan setiap tugas pada suatu pekerjaannya. Dari sikap-sikap yang dimiliki tersebut dapat melahirkan suatu kebiasaan tingkah laku yang baik dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Menurut Toto Tasmara ada beberapa ciri-ciri orang yang memiliki etos kerja, dapat dilihat pada gambar bagan di bawah ini:39
39
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Nada Insani Press,1995), Hlm. 23-61
47
Kepemimpinan Tanggung Jawab
Mandiri Perduli Kesehatan dan Gizi Selalu Berhitung
Disiplin Menghargai Waktu Hemat & Efisien Berorientasi Pada Produktivitas
Ciri-ciri Etos Kerja
Berwiraswasta
Insting Bersaing
Kreatif
Berkeilmuan Ulet Makro universal Berwawasan Luas
Open Minded Memperkaya Silaturahmi
48
Dari gambar bagan di atas, kini akan dijelaskan secara terperinci mengenai ciri-ciri etos kerja antara lain yaitu: 1. Tanggung jawab a. Memiliki jiwa kepemimpinan (leadhership) Seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai personalitas yang tinggi. Larut dalam keyakinannya tetapi tidak segan untuk menerima kritik, bahkan mengikuti apa yang terbaik. Integritasnya terhadap keyakinan tauhid itulah yang menyebabkan dia bagaikan batu karang yang tidak mudah goncang, walaupun dia berada dipihak minoritas sekalipun. Karena bagi dirinya ukuran kebenaran tidak ditentukan oleh jumlah mayoritas. b. Keinginan untuk mandiri (independent) Keyakinannya akan nilai tauhid menyebabkan setiap pribadi muslim yang memiliki semangat jihat sebagai etos kerjanya, adalah jiwa yang merdeka. Semangat jihat ini melahirkan sejuta kebahagiaan yang diantaranya ialah kebahagiaan untuk memperoleh hasil dan usaha atas karsa atau karya yang dibuahkan dari dirinya sendiri. Dia merasa risih apabila memperoleh
sesuatu
tanpa
bertegang
otot
memandikan
keringat.
Kemandirian bagi dirinya adalah lambang perjuangan sebuah semangat jihat yang sangat mahal harganya. 2. Disiplin a. Memperhatikan kesehatan dan gizi Etos kerja pribadi muslim adalah etos kerja yang sangat erat kaitanya dengan cara dirinya memelihara kebugaran dan kesegaran jasmaninya.
49
Salah satu persyaratan untuk menjadi sehat adalah cara dan ciri dirinya untuk memilih dan menjadikan konsumsi makanannya yang sehat dan bergizi sehingga dapat menunjang dinamika kehidupan dirinya dalam mengemban amanah Allah. b. Selalu berhitung Setiap langkah dalam kehidupannya selalu memperhitungkan segala aspek dan resikonya dan tentu saja sebuah perhitungan yang rasional, tidak percaya takhayul apalagi segala acam mistik atribut kemusyrikan. Komitmen pada janji dan disiplin pada waktu merupakan citra seorang muslim sejati. Waktu shalat yang secara tepat dan konsisten, datang lima kali sehari, menggedur melalui suara muadzin, merupakan sisi lain dari cara Islam menghargai waktu. Di dalam bekerja dan berusaha, akan tampaklah jejak seorang muslim yang selalu teguh pendirian, tepat janji dan berhitung dengan waktu. c. Menghargai waktu Waktu baginya adalah rahmat yang tiada terhitung nilainya.Baginya pengertian terhadap makna waktu merupakan rasa tanggung jawab yang sangat besar. Sehingga sebagai konsekuensi logisnya dia menjadikan waktu sebagai wadah produktivitas. Ada semacam bisikan dalam jiwanya jangan lewatkan barang sedetikpun kehidupan ini tanpamemberi arti. Menyusun tujuan, membuat perencanaan kerja, dan kemudian melakukan evaluasi atau hasil kerja dirinya, merupakan salah satu ciri dan karakter seorang mujahid.
50
d. Hidup berhemat dan efisien Orang yang berhemat adalah orang yang mempunyai pandangan jauh kedepan. Dia berhemat bukanlah ingin menumpuk kekayaan, sehingga melahirkan sikap kikir individualistik, melainkan karena satu reserve bahwa tidak selamanya waktu itu berjalan secara lurus ada upand down, sehingga berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. e. Beroreintasi pada produktivitas Sikap seperti ini merupakan modal dasar dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang selalu beroreintasi kepada nilainilai yang produktif. Dengan demikian, dia selalu berhitung efisien artinya selalu membuat perbandingan antara jumlah keluaran dibandingkan dengan enerji (waktu, tenaga) yang dikeluarkan (produktivitas=keluaran yang dihasilkan berbanding dengan masukan dalam bentuk waktu dan enerji). 3. kreatif a. Memiliki jiwa wiraswasta (enterpreneurship) Memiliki semangat wiraswasta yang tinggi, tahu menikirkan segala fenomena yang ada disekitarnya, merenung dan kemudian bergelora semangatnya untuk mewujudkan setiap perenungan batinnya dalam bentuk yang nyata dan realistis nuraninya sangat halus dan tanggap terhadap lingkungan dan setiap tindakannya diperhitungkan dengan laba rugi, manfaat atau mudharat.
51
b. Memiliki insting bertanding dan bersaing Insting bertanding merupakan butir darah dan sekaligus mahkota kebesaran setiap muslim, yang sangat obsesif untuk selalu tampil meraih prestasi yang tinggi. Dia tidak akan pernah menyerah pada kelemahan atau pengertian nasib dalam artian sebagai seorang fatalis. c. Haus untuk memiliki sifat keilmuan Seorang yang mempunyai wawasan keilmuan tidak pernah cepat menerima sesuatu sebagai taken for granted karena sifat pribadinya yang kritis dan tidak pernah mau menjadi kerbau yang jinak, yang hanya mau ikut kemana hidungnya ditarik. Dia sadar bahwa dirinya tidak boleh ikut-ikutan tanpa pengetahuan karena seluruh potensi dirinya suatu saat akan diminta pertanggung jawaban dari Allah SWT. Seorang mujtahid adalah seorang yang haus dahaga untuk mencicipi ilmu, karena dia sadar bahwa Rasulullah mewajibkan kepada setiap muslimin dan muslimat untuk mencari dan menggali ilmu mulai dari buaian dan sampai di liang lahat, bahkan demi ilmu dia tidak peduli sejauh mana tempat yang harus dia tempuh. d. Ulet, pantang menyerah Keuletan merupakan modal yang sangat besar di dalam menghadapi segala macam tantangan atau tekanan, sebab sejarah telah banyak membuktikan betapa banyaknya bangsa-bangsa yang mempunyai sejarah pahit akhirnya dapat keluar dengan berbagai inovasi, kohesivitas kelompok dan mampu memberikan prestasi yang tinggi bagi lingkungannya.
52
e. Berwawasan makro-universal Dengan memiliki wawasan makro, seorang muslim menjadi manusia yang bijaksana. Mampu membuat pertimbanga yang tepat, serta setiap keputusannya lebih mendekati kepada tingkat ketepatan yang terarah dan benar. Wawasan yang luas ini, mendorong dirinya lebih realistis dalam membuat perencanaan dan tindakan. Dia jabarkan strategi tindakannya, dia jelaskan arah dan tujuannya dan kemudian menukik pada tindakan-tindakan operasional yang membumi. 4. Percaya Diri a.
Dia tidak merasa puas berbuat kebaikan (positive improvements), karena merasa puas di dalam berbuat kebaikan, adalah tanda-tanda kematian kreativitas. Sebab itu sebagai konsekuensi logisnya, tipe seorang mujahid itu akan
tampak dari semangat juangnya, pantang surut apalagi terbelenggu dalam kemalasan yang nista. Sekali dia berniat, tidak ada satu benteng menghalanginya, tak adasamudera yang menakutkannya. Keberanian yang berjodoh dengan ilmu yang tajam diarahkannya untuk membuahkan prestasi amaliah. Dengan semangat ini, seorang muslim selalu berusaha untuk mengambil posisi dan memainkan perannya yang dinamis dan kreatif. Bagi dirinya, seseorang disebut berani bukanlah karena dia mampu membunuh sebanyak-banyaknya,
tetapi
keberanian
yang
paling
hakiki,
ialah
53
kemampuan menundukkan dirinya sendiri, menghancurkan perasaan pengecut dan rendah diri. b. Memperkaya jaringan silaturrahmi Silaturrahmi adalah lampu penerang dalam tatanan pergaulan kehidupan yang apabila dilakukan dengan penuh tanggung jawab maka dalam perkembangan selanjutnya dapat mengangkat martabat dirinya dihadapan manusia. Dengan memperkaya alur silaturrahmi berarti telah menyalakan begitu banyak pelita kehidupan yang akhirnya cahaya peluang lampu tersebut akan memberikan begitu banyak cahaya peluang dan tantangan untuk kita respons dengan amal yang prestatif. Hubungan syukur dengan etos kerja menurut Toto Tasmara (2002:6)
dalam bukunya mengemukakan bahwa: Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat (shalih) yang merupakan bagian dari amanah Allah. Itulah sebabnya, cara pandang kita di dalam melaksanakan suatu pekerjaan harus didasarkan pada tiga dimensi kesadaran, yaitu : aku tau (makrifat, alamat, epistemology), aku berharap(hakikat, ilmu, religiositas) dan aku berbuat (syariat, amal, etis).40 Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin tinggi, menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika lainnya bisa juga ditemukan pada masyarakat dan bangsa lain. Kerajinan, gotong royong, saling membantu, bersikap sopan misalnya masih
40
Toto Tasmara, membudayakan Etos Kerja Islam, (Jakarta; Gema insani, 2002, hlm. 6
54
ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya adalah bahwa pada bangsa tertentu nilai-nilai etis tertentu menonjol sedangkan pada bangsa lain tidak. Dalam perjalanan waktu, nilai-nilai etis yang tadinya tidak menonjol atau biasa-biasa saja bisa menjadi karakter yang menonjol pada masyarakat atau bangsa tertentu. Setiap keyakinan mempunyai sistem nilai dan setiap orang yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya. Bila pengertian etos kerja adalah respon yang unik dari seseorang atau kelompok atau masyarakat terhadap kehidupan; respon atau tindakan yang muncul dari keyakinan yang diterima dan respon itu menjadi kebiasaan atau karakter pada diri seseorang atau kelompok atau masyarakat. Menurut Jansen H Sinamo dalam delapan etos kerja yaitu : (1) Kerja adalah Rahmat bekerja tulus penuh syukur; (2) Kerja adalah Amanah bekerja benar penuh tanggung jawab; (3) Kerja adalah Panggilan bekerja tuntas penuh integritas; (4) Kerja adalah Aktualisasi bekerja keras penuh semangat; (5) Kerja adalah Ibadah bekerja serius penuh kecintaan; (6) Kerja adalah Seni bekerja cerdas penuh kreativitas; (7) Kerja adalah Kehormatan bekerja tekun penuh keunggulan; (8) Kerja adalah Pelayanan bekerja paripurna penuh kerendahan hati.41 Dari beberepa pendapat para ahli di atas dapat diuraikan bahwa etos kerja merupakan kecenderungan atau karakter, sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok. Bahkan dapat 41
Jansen H Sinamo, Etos Kerja, (http:/pembelajar.com/proaktiforganizer/?page_id=170, Minggu 5 juni 2016
55
dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika. Etika tentu bukan hanya dimiliki bangsa tertentu. Masyarakat dan bangsa apapun mempunyai etika, ini merupakan nilai-nilai universal. Dengan kata lain, etika kerja merupakan produk dari sistem kepercayaan yang diterima seseorang atau kelompok atau masyarakat.