BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan hubungannya dengan teori kepemimpinan yang dijadikan rujukan atau referensi kaum perempuan, yaitu beberapa tulisan para ilmuan dan beberapa pemaknaan teks al-Qur`an maupun hadits Nabi SAW. dan fakta sejarah pada masa awal Islam berkembang. Disamping itu, akan diuraikan pula proses pemaknaan mereka terhadap kepemimpinan politik dan apa implikasi terhadap langkah mereka dalam pemimpin publik. Berkaitan dengan hal di atas, maka akan dijelaskan wujud-wujud tindakan riil yang mereka hasilkan, dalam rangka memimpin masyarakat.
2.1. Konsep Kepemimpinan Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalam terdapat dua pihak yaitu yang dipimpin (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan kominikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan setelah ditambah akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Apabila dilrengkapi dengan
19
awalan “ke” menjadi “kepemimpinan” (leadership) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakuakan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok (Inu Kencana, 2003). Jadi kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Miftah, 1997). Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan menggerakkan atau memotivasi sejumlah orang agar secara serentak melakukan kegiatan yang sama dan terarah pada pencapaian tujuannya (Nawawi dan M. Martin, 1995). Oleh sebab itu, hal yang penting dari kepemimpinan adalah adanya pengaruh dan efektifnya kekuasaan dari seorang pemimpin. Jika seseorang berkeinginan mempengaruhi perilaku orang lain, maka aktivitas kepemimpinan telah mulai tampak relevansinya. Seiring dengan pengertian di atas, pemimpin adalah orang yang mempunyai wewenang dan hak untuk memepengaruhi orang lain, sehingga mereka berprilaku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut melalui kepemimpinannya. Dengan demikian, secara sederhana kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi. Sementara itu kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin tersebut. Ini merupakan suatu sumber yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak untuk mengajak atau mempengaruhi orang lain (Miftah, 1997). Lebih lanjut, Miftah Toha juga
20
membedakan antara kekuasaan dan otoritas (authority) yang sering dianggap sama pengertiannya. Authority dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki seseorang pemimpin. Dengan demikian otoritas adalah kekuasaan yang disahkan (legitimazed) oleh suatu peranan formal seorang pemimpindalam sebuah organisasi (Miftah, 1997). Dari uraian di atas, kepemimpinan perempuan adalah termasuk tipe kepemimpinan demokratik, karena jabatan yang disandangnya dari hasil pilian masyarakat, kendati pun banyak kalangan politikus dari partai-partai
yang
berasaskan Islam atau sebagian Ulama` menolaknya. Pemimipin
demokratik
biasanya
memandang
peranannya
selaku
koordinator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas, karena tipe pemimpin demokratik adalah tipe pemimipin yang paling ideal dan paling didambakan. Memang, harus diakui bahwa pemimpin yang demokratik tidak selalu merupakan pemimpin yang paling efektif dalam kehidupan organisasi sosial karena ada kalanya, dalam hal bertindak dan memgambil keputusan, bisa terjadi keterlambaatan sebagai konsekuensi keterlibatan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Sekalipun demikian, pemimpin yang demokratik tetap dipandang sebagai pemimpin terbaik karena kelemahannya mengalahakan kekurangannya (Sondang 1999). Setiap masyarakat membutuhkan para pemimpin yang dapat mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan bersama dan aktivitas untuk kepentingan umum.
21
Dan dengan cara yang dapat diterima, para pemimpin dapat merumuskan masalah dan mengusahakan pemecahannya. Jadi, seseorang menjadi pemimpin karena memang ada kebutuhan masyarakat akan seorang yang dipilih, yang dianggap mampu mengadakan aktualisasi dan merealisasi dari kebutuhan yang dianggap sebagai keinginan masyarakat (Susanto, 1983). Para pemimpin itu dalam struktur masyarakat disebut sebagai kelompok elit, sebagaimana dikemukakan oleh Schoorl, sebagai berikut: Dalam arti yang paling umum, elit itu menunjuk sekelompok orang, yang di dalam masyarakat menempati kedudukan yang lebih tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit adalah sekelompok orang terkemuka di beberapa bidang tertentu, dan khususnya golongan kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dari mana pemegang kekuasaan itu diambil (Schoorl, 1991). Tampaknya, sudah menjadi anggapan umum bahwa kekuatan pengerak masyarakat terdapat pada pemimpin. Dalam setiap masyarakat secara wajar timbullah dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin, yaitu kelompok mayoritas kebanyakan. Dan untuk menerangkan
setiap
perubahan
dan
perkembangan
masyarakat
perlu
diperhitungkan faktor kepemimpinan dari komunitas elit tersebut. Sementara itu, jika dianalisis dari sifat hubungan antara pemimipin dan masyarakat atau para pengikut, maka pada umumnya terdapat dua macam pendekatan, yaitu bahwa pemimpinlah yang membuat masyarakat atau yang disebut teori “The Great Man” (Miftah, 1997). Kedua adalah teori sosiologis, yang meyakini bahwa masyarakatlah yang membuat pemimpin atau disebut juga
22
teori ”Sosial Learning” (Miftah, 1997). Menurut Sartono Kartodirdjo, kedua teori tersebut bisa disatukan menjadi teori kepribadian dalam situasi, artinya seorang pemimpin lahir akibat interaksi antara faktor kepribadian dan faktor situasional. Secara terperinci ia menyebutkan adanya interaksi dari tiga faktor, yaitu sifat golongan, kepribadian dan situasi atau kejadian. Dari ketiga faktor itu menunjukkan sifat multidimensional gejala kepemimpinan, yaitu aspek sosial psikologis, sosiologis antropologis, dan sosial historis (Kartodirdjo, 1986). Dari cara seorang pemimpin dalam melakukan kepemimpinannya itu dapat digolongkan atas beberapa tipologi; 2.1.1. Tipe Otokratis Kepemimpinan secara otokratis adalah kepemimpinan yang cara memimpinnya menganggap organisasi sebagai miliknya sendiri. Sehingga seorang pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap para anggota organisasinya dan menganggap mereka itu sebagai bawahannya dan merupakan alat atau mesin, tidak diperlakukan sebagaimana manusia. Bawahan hanya menurut dan menjalankan perintah atasannya serta tidak boleh membantah, karena pimpinan tidak mau menerima kritik, saran dan masukan. Tipe kepemimpinan otokratis ini dapat kita jumpai dalam pemerintahan feodal oleh kerajaan-kerajaan pada zaman abad pertengahan. Kepemimpinan yang otokratis biasanya dikendalikan oleh seorang pemimpin yang mempunyai perasaan harga diri yang sangat tinggi. Bawahannya dianggap bodoh, tidak berpengalaman, dan selayaknya diperintah sesuka mereka.
23
Dengan egoisme yang sangat tinggi, seorang pemimpin yang otokratik melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional seperti kekuasaan yang tidak perlu dibagi dengan orang lain dalam organisasi, ketergantungan total para anggota organisasi mengenai nasib masing-masing dan sebagainya. 2.1.2. Tipe Paternalistik Cara ini dapat dikatakan untuk seorang pemimpin yang bersifat kebapaan, ia menganggap bawahannya bagaikan anak yang belum dewasa. Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat agraris.Dengan demikian pemimpin semacam ini jarang sekali atau tidak pernah memberikan kepada bawahannya untuk bertindak sendiri, untuk mengambil inisiatif dan mengambil keputusan. Para bawahannya tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan daya kreasi dan inovasinya. Konsekuensi dari perilaku demikian ialah bahwa para bawahannya tidak dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide, dan saran. Seorang pemimpin yang paternalistik ini dalam hal-hal yang tertentu sangat dibutuhkan, akan tetapi sebagai pemimpin pada umumnya kurang efektif. 2.1.3. Tipe Kharismatik Rupanya sulit untuk menemukan sebab seorang pemimpin mempunyai harisma. Yang jelas adalah bahwa pemimpin tersebut mempunyai daya tarik sendiri. Pemimpin yang kharismatik mampu menguasai bawahannya karena mereka diliputi oleh kepercayaan yang luar biasa terhadapnya. Para pengikut
24
seorang pemimpin yang kharismatik tidak pernah mempersoalkan nilai yang diikuti, sikap, gaya dan perilaku yang digunakan pemimpin diikutinya. Keputusan dan kesetiaan para bawahannya timbul dari kepercayaan yang penuh keoada pemimpin yang dicintai, dihormati, dan dikagumi, bukan karena benar tidaknya alasan-alasan dan tindakan seorang pemimpin. Kemampuan untuk menguasai bawahannya yang terdapat pada diri seorang pemimpin yang demikratis
disebabkan
kepercayaannya
yang
luar
biasa
kepada
kemampuannya itu. Seorang pemimpin yang demokratis adala pemimpin yang dianggap mempunyai kekuatan ghaib atau kesaktian yang tidak dapat diindra secara ilmiah, sehingga dikagumi para bawahannya meskipun para bawahannya tidak selalu dapat menjelaskan secara konkrit mengapa orang tersebut dikagumi. 2.1.4. Tipe Laissez Faire Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para bawahannya terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pemimpin tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional. Seorang pemimpin yang laissez faire melihat peranannya bagaikan polisi lalu lintas. Dengan anggapan bahwa para bawahannya sudah mengetahui dan
25
cukup dewasa untuk taat kepada peraturan permainan yang berlaku, dan cenderung memiliki peranan yang pasif dan membiarkan bawahannya berjalan menurut tempatnya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana bawahannya harus berjalan dan bergerak. Kepemimpinan semacam ini biasanya tidak kelihatan adan sebuah organisasi dan segalanya dilakukan tanpa ada rencana dari pemimpin. Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang laissez faire dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya bertolak dari falsafah hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati bersama, mempunyai tangguing jawab yang besar terhadap tugas yang harus diembannya. Dengan sikap demikian, maka tidak ada alasan kuat untuk memperlakukan para bawahannya sebagai orang-orang yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, tidak setia dan tidak loyal. Nilai yang didasarkan dalam kepemimpinan tersebut adalah nilai saling mempercayai yang besar. 2.2.5. Tipe Demokratik Seorang pemimpin yang demokratik dihormati dan segani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan oeganisasional. Perilakunya memberi motivasi para bawahannya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Dalam pelaksanaan tugas kepemimpinannya mau menerima saran-saran dari bawahannya dan bahkan kritik dimintanya dari mereka demi kesuksesan kinerja bersama. Ia memberi kebebasan yang cukup
26
kepada bawahannya, karena menaruh kepercayaan yang besar bahwa mereka itu akan berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik. Untuk dapat mencapai hasil yang baik, seoarang pemimpin yang demokratik senantiasa berusaha memupuk kekeluargaan dan persatuan, membangun semangat bekerja pada bawahannya. Satu lagi karakteristik penting yang dimiliki seorang pemimpin demokratik yang sangat positif adalah dengan cepat ia menunjukkan penghargaan kepada para bawahannya yang berprestasi baik. Penghargaan itu dapat berbentuk kata pujian, tepukan pada bahunya, memberikan piagam penghargaan, kenaikan pangkat atau bahkan mempromosikan jika keadaan memungkinkan. Seorang pemimpin yang demokratis akan bangga apabila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang bahkan lebih tinggi dari kemampuan dirinya sendiri (Sondang, 1999). Pada zaman sekarang pemimpin semacam inilah yang diharapkan dan dituntut masyarakat banyak, oleh karena kepemimpinan yang demokratik segala aktivitas dapat dikerjakan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Seiring dengan konsep di atas, berikut akan dijelaskan rujukan para kaum perempuan tentang konsep kepemimpinan yang dijadikan landasan untuk bertindak. Yang pertama, dapat dipahami dari surat Fathir, ayat 39, yaitu “Dialah Yang menjadikan kamu semua pemimpin (khalifah) di muka bumi”, ayat ini merupakan penjelasan pernyataan Allah, bahwa Dia memposisikan manusia sebagai pemimpin (khalifah), tanpa memandang jenis kelaminnya baik perempuan maupun laki-laki. Dan dapat dipahami pula dari surat Ali-Imran ayat 195,
27
disebutkan “Sesungguhnya Aku tidak mensia-siakan amal perbuatan orang-orang yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan”, surat al-Taubah ayat 71, juga dikatakan “Dan orang-orang yang beriman, baik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lain: mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma`ruf, menentang yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Ayat di atas secara jelas berusaha untuk mengkikis habis berbedaan jenis kelamin (gender), khususnya dalam arti kemanusiaan. Secara umum kaum lakilaki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan. Di sisi lain, pada masa Nabi Sulaiman, di negeri yang diabadikan sebagai salah satu nama surat dalam al-qur`an yang dikenal ”baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (negeri yang adil, makmur, aman, dan sentosa), yaitu negeri Saba`. Negeri ini ternyata dipimpin oleh penguasa perempuan, Ratu Bilqis. Sedangkan pada awal perkembangan Islam pun, Ummul Mu`minin siti `Aisyah juga pernah menjadi seorang panglima perang dalam perang jamal. Realita semacam ini akan menjadi tendensi dan semakin melunturkan larangan prempuan untuk tampil sebagai serang pemimipin publik (Said Aqil, 1999). Disamping itu al-Qur`an secara tegas memberikan pandangan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dilihat dari ayat yang membicarakan Adaam dan Hawa, sampai mereka terlempar ke bumi, selalu menggunakan bentuk kata ganti mereka berdua (huma).
28
2.2. Politik Perempuan 2.2.1. Pengertian Jender dan Jenis Kelamin Kata gender (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin baik perempuan maupun laki-laki (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983). Jender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalah hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: an introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Menurut (Fakih, 2003) makna kata ini sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstuksi secara sosial dan kultural. Sifat ini bukan sifat bawaan akan tetapi sifat yang terbentuk karena pengaruh proses sosial dan kultural. Sebagai contoh anak atau orang yang lahir dan dibesarkan di desa yang jauh keramaian dan pergaulan akan cenderung kurang percaya diri, atau apabila ia dikurung ia pasti akan berbicara halus dan pelan, sanagat sopan, dan rendah hati. Karena sifat itu akan melekat hanya karena proses, bukan karena dikodratkan, sifat itu bisa dipertukarkan.
29
Sekelompok sifat di atas, karena telah menjadi ciri yang telah berlangsung lama, dianggap melekat pada diri laki-laki dan perempuan dan bersifat biologis. Di sisi lain, perempuan menganggap bahwa dirinya memang demikian dan di sisi lain, kaum laki-laki mengaganggap lebih unggul dari lawan jenisnya. Lanjut Fakih, perbedaan jender yang telah lama ada berlangsung terus menerus, turun menurun dari generasi ke generasi seolah telah menjadi sifat dan ketentuan Allah SWT. Karena perempuan cenderung menganggap bahwa perbedaan tersebut adalah hal yang kodrati, maka mereka sering merasa kalah dari laki-laki. Di dunia kepemimipinan, meskipun perempuan yang memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki, akan tetapi mereka enggan tampil di depan, belum bisa menerima kelompoknya sendiri menjadi pemimipinnya, lebih suka rutinitas dan cenderung menghindari tantangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Di mata kaum
laki-laki,
mereka
masih
sering
dipertanyakan
dan
diragukan
kepemimpinannya (Susanto, 1998). Lanjut Fakih untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut : lakilaki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui.
Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa
30
dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Pada bagian lain yang hampir serupa Shadily dalam Ihromi (2000) membedakan antara antara gender dan jenis kelamin. Menurutnya istilah jender serimg diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Kedua istilah memang mengacu pada perbedaan jenis kelamin, tetapi istilah seks terkait pada komponen biologis.artinya : masing-masing jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) secara biologis berbeda dan sebagai perempuan dan laki-laki mempunyai keterbatasan dan kelebihan tertentu berdasarkan fakta biologis masing-masing. Misalnya : seorang yang berjenis kelamin perempuan bisa mengandung, melahirkan dan mempunyai air susu ibu (ASI). Seorang yang secara biologis dilahirkan sebagai laki-laki mempunyai sperma. Perbedaan biologis masing-masing merupakan pemberian Tuhan, dan tidak mudah untuk diubah. Sebaliknya, jender, adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seorang. Atau : jender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap dan perilaku seseorang yang ia pelajari. Yang dipelajari biasanya berbagai sifat dan perilaku yang dianggap pantas bagi dirinya karena ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Sifat-sifat seperti “feminitas” bagi perempuan dan “maskulinitas” bagi laki-laki ditentukan oleh lingkungan budayanya. Melalui apa yang diajarkan orang tuanya, guru-guru sekolahnya, guru agamanya, dan tokoh masyarakat dimana seorang tergabung. Artinya : jender seorang diperoleh melalui suatu proses yang panjang, sebagai hasil belajar seorang sejak ia masih usia dini.
31
2.2.2. Perempuan di Kancah Politik Perempuan merupakan substansi yang selalu enak dan elok untuk diperbincangkan oleh semua kalangan, baik kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan itu sendiri. Itu bisa dimaklumi, mengingat perempuan adalah sosok yang cukup penting dalam kehidupan. Perempuan merupakan penerus, pengabdi, dan pendidik bagi generasi yang akan datang, yaitu generasi yang akan menentukan perjalanan bangsa tercinta ini. Kalau kita berbicara perempuan haruslah pertama-tama kita mulai dengan menempatkan mereka sebagai manusia. Dengan bertumpu pada titik pandang kemanusiaan, kita akan menilai bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama, sama mulia budi pekertinya, sama luhur cita-citanya, dan sama-sama memiliki impian dan harapan. Dan tentu mereka mempunyai potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi kepemimpinan sebagai individu maupun makhluk sosial (Marwah Daud, 1996). Kaum laki-laki telah melahirkan karya seni yang besar; kaum perempuan telah melahirkan kaum laki-laki; dan ibu yang besar akan melahirkan bangsa yang besar pula, sebagaimana yang dikutip oleh pemikir proklamator kita dalam Colin Brown, Soekarno on the of women. Kutipan tersebut mengisyaratkan gambaran kenyataan peran dan fungsi perempuan sangat penting dan menentukan dalam kehidupan, karena perempuan menjadi pusat atau sentralnya sebuah bangsa akan berkembang. Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan baik sekarang maupun masa akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam
32
pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya pada semua tingkat internasional, regional. Pada masa pra Islam dunia diwarnai oleh imperialisme dan kolonialisme antar sesama manusia maupun antar kelompok, suku, dan bangsa. Kaum perempuan diibaratkan tidak lebih dari barang yang bisa dijual belikan, menjadi bagian dari kaum laki-laki (subordinatif), makhluk yang tidak berharga, tidak memiliki
independensi
diri,
hak-haknya
boleh
dirampas dan
ditindas,
keberadaannya sering menimbulkan masalah, dan diletakkan dalam posisi marginal. Setelah Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan dan mengajak manusia untuk melepaskan diri dari tirani kemanusiaan, dan manusia dipandang setara di hadapan Allah SWT. Tidak ada yang lebih istimewa dan tidak ada yang lebih nesta. Hanya satu yang manjadi pembeda di hadapan Allah SWT. yaitu kadar ketaqwaannya (Syafiq, 2001). Penghormatan Islam kepada kaum perempuan terjadi pada saat kehidupan masyarakat Islam berada pada masa Rasulullah SAW. Kaum perempuan pada masa tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak berbeda dengan kaum laki-laki. Apabila kaum laki-laki dapat berperan dalam dunia publik, perempuan juga tidak dilarang pada medan yang sama. Rasulullah SAW. telah memulai suatu tradisi baru yang dianggap tindakan revolusioner dalam memandang prempuan. Beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang (world view) masyarakat Arab yang pada waktu itu masih didominasi oleh cara pandang masa Raja Fir`aun. Penghargaan terhap perempuan sudah tidak ada sama sekali, kelahiran anak perempuan langsung membuat muka mereka masam.
33
Oleh sebab itu, dalam pelbagai kesempatan pembelaan Rasulullah SAW. dilakukan di depan siapa pun dan dalm kesempatan apa pun. Rasulullah SAW. sadar bahwa membela perempuan adalah wujud dari komitmen kemanusiaan. Dalam sesempatan yang lain, Rasulullah SAW. menampilkan perempuan sebagai sosok yang sangat penting dalam kehidupan, dalam fungsinya sebagai pembawa cahaya terang bagi kehidupan keluarga. Dikatakan oleh beliau, bahwa perempuan adalah pelita bagi kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, Islam sebenarnya menjadi sarana yang tepat untuk mempersatukan misi dan visi kesetaraan kaum laki-laki dan perempuan (Syafiq, 2001). Walaupun sekarang sudah banyak perempuan yang memegang jabatan politik (pemimpin publik) didalam kehidupan politik kenegaraan, namun jumlahnya masih sedikit dibandingkan laki-laki, apalagi jika dibandingkan jumlah perempuan yang prosentasenya lebih banyak dari lak-laki secara umum (Majid, 2003). Dan ketika Filipina memiliki presiden perempuan Qorazon Aquino, betapa pers menyorotinya sedemikian rupa, tidak hanya karena ia seorang presiden, namun juga karena ia perempuan, sampai-sampai pakaian yang dikenakan saja diliput, sekalipun secara historis tidak sedikit perempuan yang berperan dalam pentas politik (penguasa negara) (AM. Fatwa,1997). Bahkan perempuan yang duduk di lembaga politik pemerintah hanya sekitar 8% dari keseluruhan perempuan yang ada di suatu negara tertentu. Bahkan perempuan di negara besar, seperti Amerika Serikat, kurang dari 5% dari jumlah keseluruhan perempuan. Contoh lain, di Selandia baru prosentasenya yang duduk didalam parlemen hanya mencapai 5% dari keseluruhan jumlah perempuan di
34
negara tersebut. Sedangkan di Britania Raya dan India, peran perempuan dalam parlemen lumayan cukup besar, yang mencapai 8-10% dari keseluruhan perempuannya. Itu sebagian contoh kecil dari gambaaran perempuan yang menjabat jabatan politik dalam kehidupan politik kenegaraan (Teguh, 1999). Sebagai bukti keberhasilan kaum perempuan yang menjabat dalam bidang politik kenegaraan, cukuplah penulis sebutkan beberapa perempuan yang menduduki jabatan pemimipin tertinggi di sejumlah negara, pada zaaman dahulu hingga sekarang. Mereka termasuk para pemimpin yang sukses dan melebihi kaum laki-laki: 1. Hatsybisut yang memimpin Mesir lebih dari dua puluh tahun pada masa al-Usrah 18 (1555-1350 SM). 2. Cleopatra yang diasingkan saudaranya agar jauh dari kekuasaan. Akan tetapi, ia tidak menyukai hidup terasing yang menyengsarakan. Kemudia ia berusaha kembali ke tanah kelahirannya dan berhasil mengambil kembali haknya untuk menjadi penguasa Mesir. 3. Shafiyyah Hatun, putri Raja Thahir yang berkuasa di Aleppo (Halab), pada masa Al-Mamalik. Ia mengatur pemerintahan seperti raja-raja sebelumnya, dan kejayaannya berlangsung sampai enam tahun. 4. Ghaziyyah Khayun, putri Raja Al-Kamil, istri Raja Al-Muzhaffar Mahmud, yang menguasai Hamah. 5. Syajarah al-Durr yang sempat menyembunyikan berita kematian suaminya agar tidak mempenagruhi mental para panglima pasukan yang akan menyerang pasukan tentara salib yang dipimpin Louis IX. Syajarah
35
mengumpulkan para panglomanya dan berkata, “Raja menyuruh kalian untuk
bersumpah
kepadanya”.
Kemudian
ia
menyerahkan
kepemimpinannya kepada putranya, Raja Turan Syah. Dan ketika kemenangan suadah diraihnya, Syajarah al-Durr mengumumkan kematian suaminya dan pembaiatan kepada putranya. Kemudia semua bersepakat untuk memberikan penghargaan kepada ratu ini dengan mengabadikan namanya pada uang logam yang bertuliskan al-Musta`shimiyyah alShalihiyyah Malikah al-Muslimin. 6. Al- Bisysyi yang memimpin Persia. 7. Bandranika Pemimpin Srilangka. 8. Indira Ghandi pemimpin India. 9. Fathimah `Ali jinan sebagai pemimpin Pakistan. 10. Margareth Teacher pemimpin Inggris. 11. Growharlem Bernette pemimpin Norwegia. 12. Corazon Aquino pemimpin Filipina. 13. Golda Meir pemimpin Mesir. Dan masih banyak lagi sejumlah perempuan yang memegang tampuk kepemimpinan, seperti negara kita sendiri yang dipimpin oleh ibu Megawati Soekarno Putri, Ratu Denmark, Ratu Inggris, dan lain-lain di beberapa kerajaan di Eropa (Qasim, 92). Islam pun tidak kekurangan tokoh-tokoh perempuan, sebagaimana Sayyidah `Aisyah binti Abu Bakar yang pernah memimpin perang Jamal. Di dunia Islam muncul banyak perempuan yang berkiprah dalam dunia sosial
36
maupun politik. Mereka memiliki peranan besar dalam Islam. Barang kali prosentase jumlah perempuan yang duduk dalam politik pada tahun-tahun sekarang ini mengalami peningkatan, itulah harapan kita semua.
2.3. Kepemimpinan dalam Birokrasi Pemerintah Pada dasarnya manusia ingin memiliki kekuasaan dan pengaruh, sehingga manusia dikategorikan makhluk politik. Karena manusia merupakan makhluk politik, tentunya mempunyai kepentingan dibidang politik. Kepentingan tersebut pada umumnya tercermin dari keinginan untuk turut serta dilibatkan dalam menentukan nasibnya dalam kehidupan bernegara, baik sebagai seorang pemimpin maupun yang dipimpin. Sekalipun ada kalangan seseorang yang tidak serta merta mampu mengekspresikan visi politiknya. Akan tetapi kemampuan demikian dapat ditumbuhkan dan dikembangkan. Obyek kepemimpinan
dalam pemerintah adalah hubungan antara
pemimpin dengan yang dipimpin, dalam hal ini yang memimpin adalah pemerintah, sedangkan yang dipimpin adalah rakyatnya sendiri, dan obyek materinya adalah manusia (Inu Kencana, 2003). Sebagai terjemahan managemen pemerintah, yakni adanya perlengkapan, kesempurnaan, dan kelancaran jalannya aktifitas ketatalaksanaan pemerintah, merupakan indikasi kuat pada sebuah keberhasilan para pemimpin pemerintahan pada semua jajaran maupun keberhasilan para pemimpin administrasi pemerintah. Kebijakan yang dihasilkan dari sebuah keputusan untuk menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang diambil oleh seluruh jajaran para pemimpin pemerintah
37
sebagai pedoman untuk bertindak. Lain halnya dengan keputusan yang diambil oleh pemerintah dan aparatnya, selain menjadi pedoman bagi pemerintah dan aparatnya sendiri, juga dapat merupakan pedoman untuk bertindak bagi pihakpihak lain di luar pemerintah dan aparaturnya (Sunindhia dan Widiyanti, 1993). Negara dan pemerintah dituntut untuk memenuhi keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat, karena pemerintah pada hakekatnya adalah pelayan masyarakat. Pemerintah diadakan tidak untuk melayani diri sendiri, akan tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat, mengembangkan kemampuan, dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu birokrasi publik (pemerintah) berkewajiaban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan publik yang baik dan profesional. Jadi pelayanan berokrasi publik yang tujuannya mensejahterakan masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Untuk dapat menilai sejauh mana mutu dan kualitas pelayanan publik yang telah diberikan oleh aparatur pemerintah, ada sepuluh kreteria yang menunjukkan suatu pelayanan publik dikatakan baik. 1. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personol, dan komunikasi. 2. Reliable, terdiri dari kemapuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat. 3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan.
38
4. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan. 5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak hubungan pribadi. 6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat. 7.
Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai
bahaya dan resiko.
8. Acces, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan 9. Communication, kemauan memberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepeda masyarakat. 10. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan (Joko, 2001). Terciptanya pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (Clean and Good Gavernance) menjadi cita-cita dan harapan setiap bangsa. Sehingga UNDP (United Nations Development Program), sebagaimana yang dikutip oleh lembaga Administrasi Negara mengajukan karakteristik Good Gavernance, sebagai berikut; 1. Participation, setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung mapun melalui intermediasi institusi legetimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
39
2. Rule of Law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. 3. Transparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses, lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat difahami dan dapat dimonitor. 4. Responsiveness, para lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. 5. Consensus
orientation,
Good
Gavernance
menjadi
perantara
kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal beberapa kebijakan maupun prosedur. 6. Equity, semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. 7. Effectiveness and afficiency, proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia. 8. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
40
9. Strategic vition, para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good gavernance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan (Joko, 2001, 25). Kepemimpinan
dalam
mewujudkan
good
gavernance
hendaknya
kepemimpinan yang visioner, bersih, berwawasan, demokratis, responsif dan responsible. Visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang bersekala nasional maupun regionanl. Demokratis dan responsif, merupakan persyaratan untuk mengangkat pemimpin dalam birokrasi pemerintah. Pemimipin yang demokratis dalam setiap proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, senantiasa melibatkan publik, dan keputusan yang dihasilkan substansinya harus berpihak pada kepentingan publik. Sementara pemimpin yang responsif adalah pemimpin yang cepat tanggap (respon) dan cepat menanggapi (menindak lanjuti) keluhan, kepentingan, dan aspirasi yang dipimpinnya. Sedangkan pemimpin yang responsibel adalah pemimpin yang memiliki sense of responsibility and profesionally. Pemimipn yang responsif memiliki rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya (Joko, 2001, 34). Dan yang lebih penting lagi dalam kondisi perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, yang merupakan indikasi terjadinya empowering yang dialami oleh masyarakat pemimpin birokrasi pemerintah harus mengubah posisi dan peran dalam memberikan layanan masyarakat. Pemimpin yang suka mengatur dan memerintah,
41
sayogyanya berubah menjadi suka melayani dan yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju arah yang fleksibel kolaburatis dan dialogis.
2.4. Perempuan dan Budaya Sifat anti perempuan (misoginis) adalah suatu bukti kegusaran seorang laki-laki atas derajat keberadaannya yang disamakan dengan perempuan (Mernissi, 1991). Secara umum Perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ tubuhnya. Puluhan abad lamanya pandangan ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari beberapa agama besar di dunia seperti Islam, Yahudi dan Kristen. Ketiga agama tersebut mempunyai pandangan yang sama karena persamaan latar belakang budaya. Dalam budaya patriarkhi, agama berfungsi untuk melegitimasi kenormalan seksualitas dan status laki-laki. Konsekuensinya, seksualitas dan status perempuan tidak akan pernah menempati satus laki-laki. Selama budaya patriarkhi tetap dipertahankan, sejauh itu pula pandangan misoginis dalam kadar yang berbeda tetap mewarnai kehidupan masyarakat. Dari faktor di atas telah menyebabkan terpeliharanya ketimpangan jender pada tingkat relasi sosial. Interpretasi agama mempunyai andil besar untuk menempatkan ketimpangan tersebut sebagai bagian dari realitas obyektif yang harus diterima (Abdullah, 2003). Lanjut Abdullah, agama dijadikan sebagai alat pemaksa bagi kelebihan posisi dan peran yang diharapkan dari masing-masing pihak sehingga akan sangat sulit bagi setiap individu untuk keluar dari tatanan
42
tersebut. Konsep kekuasaan bagi budaya patriarkhi adalah ekspresi dari seorang laki-laki untuk menunjukkan kekuatannya sebagai penentu. Oleh karenanya, setiap laki-laki merefleksikan kekuasaan tersebut kepada bagian masyarakat yang lain, sebagaimana seorang suami kepada istrinya, kakak laki-laki terhadap adiknya, dan pada tingkat yang tertinggi adalah seorang raja terhadap rakyatnya. Ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan seperti di atas dapat dijadikan sebagai kontruksi sosial. Dalam masyarakat terdapat ideologi jender yang membedakan laki-laki dan perempuan bukan hanya berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi juga berdasarkan peran masing-masing. Hampir dalam segala hal, perempuan ditempatkan sebagai subordinat, sedangkan laki-laki adalah superior. Struktur sosial masyarakat yang membagi-bagi tugas antara laki-laki dan perempuan seringkali merugikan perempuan. Perempuan diharapkan bisa mengurus dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga, walaupun mereka bekerja di luar rumah tangga, sebaliknya tanggungjawab laki-laki dalam menatur rumah tangga sangat kecil. Posisi perempuan Indonesia sejak dulu hingga sekarang hampir tidak banyak berubah, dan perbedaan perlakuan tersebut telah dimulai sejak mereka masih kanak-kanak. Anak perempuan diarahkan untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan lantai, mencuci, menyetrika baju, dan mengasuh adiknya, sedangkan anak laki-laki seringkali dibiarkan bermain sesukanya sendiri. Anak laki-laki juga jarang menerima larangan ataupun peringatan tentang bagaimana mereka sebaiknya bersikap dan bertingkah laku. Berbeda halnya dengan anak perempuan yang sangat sering
43
menerima berbagai larangan. Perempuan di batasi dengan norma yang tidak sama dengan laki-laki sehingga tidak bisa berbuat sebebas laki-laki. Ada yang pendapat yang menyatakan bahwa perempuan sebaiknya tidak bepergian sendiri di malam hari. Bila itu dilakukan akan menimbulkan penilaian yang negatif dari masyarakat (Sudjoko, 1975). Pada umumnya, kebudayaan merupakan ketentuan arti mengenai kategori laki-laki dan perempuan oleh masyarakat. Sehingga istilah laki-laki dan perempuan merupakan berbagai kreteria yang dihubungkan dengan masyarakat berdasarkan budaya. Penyebaran sikap yang dihubungkan dengan jender telah dibuktikan di lintas devisi. Artinya alokasi pertanggungjawaban dan hampir seluruh keputusan mengenai peningkatan karir karyawan, gaji, dan kekuasaan dalam sebuah organisasi dipengaruhi perbedaan jender antara laki-laki dan perempuan (Peter G, 2000). Perempuan seringkali dianggap sebagai orang yang paling berperan dalam pendidikan dan penerus nilai budaya bagi anak-anaknya. Sebagai orang yang harus meneruskan nilai-nilai bagi generasi penerus, maka perempuan diharapkan mempunyai kepribadian dengan ciri-ciri kehalusan, keagamaan, kesopanan, dan lain sebagainya. Karena kewajiban itu harus dipikul perempuan, maka sejak dini perempuan dipersiapkan untuk bias menjalankan tugas tersebut. Perempuan seringkali dinomorduakan dalam hal pendidikan. Jika dalam suatu keluarga, orangtua ternyata tidak mampu membiayai sekolah anak-anaknya, mereka akan mendahulukan anak laki-laki. Laki-laki dipersiapkan sebagai tiang keluarga nantinya, sedangkan perempuan hanya sebagai pengurus rumah tangga. Ada yang
44
lebih tragis lagi sebuah anggapan yang menyatakan; perempuan itu swarga nunut neraka katut. Mereka menganggap bahwa perempuan tidak perlu berpretasi terlalu tinggi sebab nantinya mereka hanya akan menumpang pada suami (Abdullah, 2003). Dari budaya patriakhi tersebut, sehingga perempuan yang menjadi pemimin publik sangat sedikit. Meski banyak studi yang mengindikasikan bahwa perempuan mempunyai keahlian dalam berprilaku dan kualitas yang memenuhi syarat dalam kepemimpinan yang efektif, akan tetapi mereka masih belum dapat mewakili dalam kapasitas yang signifikan. Hal ini disebabkan berbagai rintangan yang menghambat kemajuan kepemimpinan perempuan, antara lain; rintangan secara kelompok, rintangan secara perorangan dan rintangan secara pribadi, sehingga harus ada sebuah pola atau bentuk dalam memupuk perkembangan dan kemajuan pemimpin perempuan (Peter G, 2000). Perlakuan yang berbeda semacam ini sedikit demi sedikit memupuk kesadaran laki-laki bahwa mereka adalah pihak yang harus selalu dimenangkan dalam setiap konpetisi sekalipun mereka menggunakan cara yang tidak layak disampaikan kepada publik. Mereka juga secara tidak langsung memperoleh penegasan ataupun pengesahan bahwa merekalah makhluk nomor satu. Perempuan selalu disadarkan bahwa mereka hanya merupakan subordinat lakilaki. Berbagai upaya untuk meningkatkan kedudukan perempuan telah banyak dilakukan. Sedikit demi sedikit perjuangan untuk menyamakan hak antara perempuan dan laki-laki dilakukan. Perempuan mulai banyak yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan.
45
Berkaitan dengan perempuan di masa sekarang, Armahedi Mashar menawarkan suatu gerakan pasca feminisme Islami yang integrative guna membendung gerakan anti feminisme tradisional yang konservatif dan desakan pro feminisme radikal yang agresif (progresif sekuler). Gerakan ini diharapkan dapat mencairkan eksklusifitas gerakan feminisme radikal yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai lawan yang saling mengalahkan. Dan gerakan ini akan
mampu
mendobrak
persepsi
tradisional
konservatif
yang
selalu
mengagungkan supermasi kaum laki-laki. Pada akhirnya gerakan ini diharapkan mampu menempatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi setara dan berperan sebagai kawan seiring dalam memajukan bangsa (Armahedi, 1995). Senada dengan pendapat tersebut adalah gagasan transformasi yang dilontarkan oleh Abdul Ahmed al Na`im. Transformasi terhadap ketentuan Islam adalah suatu keharusan demi untuk memperoleh formulasi hukum yang memadai bagi kehidupan kontemporer (Na`im, 1994). Jadi kalau kita melihat bagaimana struktur dan norma yang tertanam dalam masyarakat, kita bisa memahami jika kemudian timbul ketimpangan dalam masyarakat. Laki-laki dipahami menjadi penghuni kelas satu, karena memang sejak mereka lahir hal itu sudah tertanam, baik oleh keluarga maupun masyarakat. Perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah dan menduduki subordinat. Kaum laki-lakilah yang kuat dan mampu menyelesaikan masalah, termasuk pekerjaan dengan baik. Sebetulnya perempuan juga mempunyai potensi yang tidak kalah jika dibandingkan dengan laki-laki, namun mereka ragu dalam mengembangkan diri karena ada struktur dan norma yang memojokkan kaum perempuan akibat
46
budaya patriarkhi yang sudah berkembang. Perempuan seringkali masih dibingungkan oleh berbagai masalah yang muncul sebagai akibat dari peran gandanya. Kemingkinan yang dapat dicapai oleh perempuan sangat luas. Hanya keterbatasan kebiasaan, norma dan nilai yang tumbuh dalam masyarakat itulah yang menghambat berbagai kemungkinan untuk merealisasikan potensinya, sebagaimana yang dikatakan Leila Budiman (Leila, 1988). Sejalan dengan itu, Mariane Weber berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sebetulnya mempunyai kemampuan dan kapabelitas yang sama besar. Perempuan juga bisa melakukan berbagai hal yang bisa dilakukan oleh kaum lakilaki, namun perempuan tidak punya waktu yang cukup untuk itu semua. Mereka harus membagi waktu untuk berbagai hal. Meskipun mereka bekerja, namun mereka tetap harus mengurus rumah tangga dan memelihara anak mereka. Berbeda halnya dengan laki-laki, mereka leluasa mengembangkan karir tanpa harus memikirkan rumah tangga (Weber, 1991).
2.5. Stereotipe Negatif Bagai sebuah siklus atau mata rantai yang saling mengkait, kondisi sosial masyarakat semula sudah memposisikan kaum perempuan pada suatu strata tertentu dalam sebuah kontruksi sosial yang telah diinstitusionalkan dan disosialissikan sejak awal dan ditambah dengan kondisi riil kedudukan kaum perempuan
dalam
segala
bidang,
baik
bidang
pendidikan,
ekonomi,
ketenagakerjaan, pemerintahan dan lainnya yang tidak pernah atau belum sejajar dengan kaum laki-laki menyebabkan munculnya stereotipe neganif terhadap kaum
47
perempuan yang menilai kaum perempuan adalah kaum yang lemah, tidak mampu dan tidak bisa disejajarkan dengan laki-laki. Stereotipe gender lahir dari adanya satu pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal jenis kelamin (biologic), pemahaman ini pun akhirnya berkembang dan terbangun adanya pencitraan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Megawangi (1999) memberikan gambaran bahwa kalau pun ada perbedaan laki-laki dan perempuan hanya pada apa yang sering disebut 3 M ( menstruasi, melahirkan, dan menyusui). Aspek 3 M ini oleh para feminis diangap bukan alasan seorang perempuan harus menjadi ibu, karena konsep ibu adalah bukan karena alam (nature), melainkan karena adanya sosialisasi, atau konstruksi sosial (nurture). Secara fisik biologis laki-laki dan perempuan tidak saja dibedakan oleh identitas jenis kelamin, bentuk dan atonomi biologis lainnya, melainkan juga komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan tersebut menimbulkan akibat fisik biologis, seperti laki-laki mempunyai suara besar, berkumis, berjenggot, pinggul lebih ramping, dada yang datar. Sementara perempuan mempunyai suara yang lembut bening, dada menonjol, pinggul lebih besar, dan organ reproduksi yang amat berbeda dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai tersebut, akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia khususnya dalam perbedaan relasi gender, menimbulkan banyak perbedaan. Oleh sejumlah ilmuwan perbedaan anatomis biologis dan komposisi kimia dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing tidak dapat dikatakan semuanya benar, mengingat dalam hal tertentu justru akan terjadi
48
sebaliknya. Oleh karena itu perbedaan tersebut perlu dikritisi kembali sehingga diperoleh kebenaran yang akurat (Dharma, 2002). Tabel 2.5.1 Perbedaan Emosional dan Intelektual laki-laki dan perempuan Laki-laki
Perempuan
- Sangat agresif
- Tidak terlalu agresif
- Independen
- Tidak terlalu independen
- Tidak emosional
- Lebih emosional
- Dapat menyembunyikan emosi
- Sulit menyembunyikan emosi
- Tidak mudah berpengaruh
- Mudah berpengaruh
- Tidak mudah goyah menghadapi krisis
- Mudah goyah menghadapi krisis
- Lebih aktif
- Lebih pasif
- Lebih kompetitif
- Kurang kompetitif
- Lebih logis
- Kurang logis
- Lebih mendunia
- Berorentasi ke rumah
- Lebih terampil berbisnis
- Kurang terampil bisnis
- Lebih terus terang
- Kurang berterus terang
- Berperasaan tidak mudah tersinggung
- Berperasaan mudah tersinggung
- Lebih suka bertualang
- Tidak suka bertualang
- Mudah mengatasi persoalan
- Sulit mengatasi persoalan
- Jarang menangis
- Lebih sering menangis
- Penuh percaya diri
- Kurang rasa percaya diri
- Lebih banyak mendukung sikap agresif
- Kurang menyukai sikap agresif
- Lebih ambisi
- Kurang ambisi
49
- Mudah membedakan rasio dan rasa
- Sulit membedakan rasio dan rasa
- Memahami seluk beluk perkembangan - Kurang memahami seluk-beluk dunia
perkembangan dunia
- Umumnnya tampil sebagai pemimpin
- Jarang tampil sebagai pemimpin
- Lebih merdeka
- Kurang merdeka
- Pemikiran lebih unggul
- Pemikiran kurang unggul
- Lebih bebas berbicara
- Kurang bebas berbicara
- Lebih obyektif
- Lebih subyektif
Alice Rossi (1978) berpendapat, bahwa peran
stereotipe gender ini
bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Berhubung perempuan dianugerahkan alam untuk menjalankan proses reproduksi, maka pengalaman proses reproduksi pada perempuan (hamil, melahirkan, dan menyusui) akan memberikan peran berstereotipe gender. Sementara Fakih (2003) memberikan gambaran awal tentang stereotipe gender pada makna stereotipe itu sendiri, menurutnya secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe yang diberikan kepada suku bangsa tertentu, misalnya Yahudi di Barat, Cina di Asia Tenggara, telah merugikan suku bangsa tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakadilan, Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Misalnya yang terjadi terhadap perempuan menurutnya adalah penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini.
50
Hampir senada dengan pendapat Fakih diatas, Shadily (2000) memberikan pandangan tentang stereotipe gender yang berlaku “ bahwa tugas perempuan terutama adalah mendidik dan mengasuh anak” juga menyebabkan anak perempuan kurang diberi pengalaman atau kurang dipersiapkan untuk berkompetisi di wilayah publik, sehingga perempuan hingga kini lebih terkonsentrasi dalam pekerjaan-pekerjaan di sektor informal yang disesuaikan dengan keterampilan terbatas yang mereka miliki. Akibatnya : secara ekonomis dan sosial apa yang mereka kerjakan mempunyai status yang lebih rendah bila dibandingkan dengan apa yang dikerjakan laki-laki. Sebenarnya banyak hal yang bisa kita lihat dalam keseharian bahwa stereotipe gender pada perempuan ini memang terbentuk dan terbangun di masyarakat. Berikut ini pendapat lain dari Behm & Kassin (1996) yang mengutip dari penelitian William & Best pada tahun 1982 tentang stereotipe gender yaitu meski bagaimanapun ketika seseorang ditanyai untuk mendeskripsikan sesosok laki-laki dan perempuan, maka seseorang laki-laki akan dideskripsikan lebih memiliki jiwa petualang, tegas, agresif, mandiri dan berorietasikan pada pekerjaan; sebaliknya seseorang perempuan akan dideskripsikan lebih sensitif, lemah lembut, kurang mandiri, emosional dan berorientasikan pada hal-hal kemasyarakatan. Gambaran ini sangatlah universal dan diambil dari penelitian dari sekitar 2.800 orang mahasiswa dari 30 negara yang berbeda mulai dari Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Asia dan Australia. Selain pendapat diatas ada juga penggambaran stereotipe gender ini berdasarkan ketidaksamaan peran antara feminin dan maskulin yang dilakukan
51
oleh Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik (Indonesian Center for Women in Politics) pada tahun 1999 dalam modulnya yang membagi ketidaksamaan gender atas stereotipe, yaitu Tabel 2.5.2 Ketidaksamaan gender atas stereotipe Stereotipe
Feminim
Maskulin
Stereotipe Kerja
Kerja Feminim (Perawat; Kerja Maskulin guru TK; Penata rambut; (Insinyur; Pilot; Operator
telepon
dan Politikus; Manajer dan
sebagainya)
Pembagian Kerja
sebagainya)
Reproduktif (Melahirkan Produktif (Menghasilkan anak)
uang)
Ruang Lingkup Fungsi
Kerja Domestik
Publik
Fungsi
Pencari nafkah tambahan
Pencari nafkah utama
52