39
BAB II PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Ruang Lingkup Politik Hukum Pidana Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa depan. 35 Ketika hukum pidana dan hukum acara pidana masih dikuasai paham absolutisme pada zaman ancient regime, penguasa merumuskannya secara politis dan tidak tegas. Pemeriksaan perkara pun dilakukan secara tertutup agar kekuasaan sewenang-wenang dimungkinkan. Pada masa revolusi Perancis, merupakan awal perubahan hukum pidana yang disusun secara sistematis. Perubahan tersebut menuju pada pola pendekatan sosial dan menganggap kejahatan sebagai gejala sosial. Munculah kelompok aliran hukum pidana dengan klasifikasi aliran klasik, aliran kriminologi dan aliran sosiologis. 36 Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana. Penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya, bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan 35M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System &Impelementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 1 36 Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
40
eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi, Kriminalisasi, menurut Sudarto, 37 dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipindana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Dalam hubungan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan 38bahwa kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan perngertian penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro, 39adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Lebih lanjut dikatakan Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khusunya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan kebijakan penegakan hukum. Lebih lanjut, Barda Nawawi menandaskan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari politik sosial.
37Sudarto,
Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 39-40. Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 29-30. 39Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan), Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 84 38 Barda
Universitas Sumatera Utara
41
Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. 40 Dari uraian di atas tampaknya terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 41 Teori-teori criminalisering yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas sekali. 42 Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana”. 43 Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam riga kerangka, yaitu sturktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan.Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari
40 M.
Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hal. 18. 41Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 24. 42Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 55 43Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 255.
Universitas Sumatera Utara
42
sistem itu. Kemudian kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem.
44
Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai
pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan merugikan masyarakat itu sendiri. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya, 45ini disebut legalitas dalam hukum pidana. Dalam hal ini Negara memiliki kewenangan untuk menentukan normanorma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi pihak lain. Dengan demikian, tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan hukum pidana (perumusan delik) mempunyai hubungan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum pidana adalah melayani tegaknya tertib hukum dalam suatu Negara. 46 Dalam mengkaji politik hukum pidana, maka hal ini terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, 47istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu:
44Teguh 45ibid.
46Ibid.
Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 4 hal. 5.
47Sudarto,
op. cit, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
43
1.
Perkataan
politiek
dalam
bahasa
Belanda
berarti
sesuatu
yang
berhubungan dengan Negara; 2.
berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan Negara. Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah kebijakan
yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini, dijumpai kata-kata seperti politik ekonomi, politik criminal, politik hukum, dan politik hukum pidana. Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud
48
menjelaskan hukum
merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variable berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik hukum sebagai: “Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mem-pengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.” Menurut Solly Lubis, 49 politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
48Mahfud 49Solly
MD.. op. cit, hal. 1-2 Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 49
Universitas Sumatera Utara
44
Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan,
50
politik hukum merupakan
kebijakan Negara melalui badan-badan yang berwenang untukmenerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk meng- ekspersikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Dalam kaitan ini, Paul Scholten 51menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logical bahan-bahan positif, yakni undang-undang, dan vonis-vonis. Menurut Scholten, bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan. Oleh karena itu, kemurnian ilmu hukum selalu mengandyng sesuatu yang tidak murni dari bahannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka menurut Scholten, ilmu hukum akan menjadi mahluk tanpa darah. Politik Kriminil atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society. 52Hal ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
50Sudarto,
loc. Cit. Arief Sidharta, Seri Dasar-dasar Ilmu Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Prahyangan, Bandung, 1997, hal. 5 52Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Dipenegoro, Semarang, 2000, hal. 47. 51 B.
Universitas Sumatera Utara
45
Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dihormati. 53 Jika demikian halnya maka menurut Sudarto, 54 melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrument) belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafas Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum dalam
53Sudarto, 54ibid.
op. cit, hal. 23 hal. 93-94
Universitas Sumatera Utara
46
pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijuwai oleh semangat dan idealisme Pancasila. 55 Menurut Sudarto, 56 politik kriminil itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas. 1. Dalam arti sempit, politik kriminil digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana. 2. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi. 3. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat Penegakan norma-norma sentral itu menurut Sudarto dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminil berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penganggulangan kejahatan. Pada bagian lain, Sudarto menyatakan, 57 menjalankan politik hukum pidana, juga mengadakan pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Untuk mencapai hasil yang berhasilguna dan berdayaguna maka para pembuat kebijakan dapat memanfaatkan informasi yang telah disediakan oleh kriminologi. 55Sahetapy,
Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum, Analisis CSIS (Januari-Februari, XXII), No. 1, 1993, hal. 55-56 56Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981, hal. 113-114 57Sudarto, op. cit, hal. 161-162
Universitas Sumatera Utara
47
Apabila mengabaikan informasi tersebut akan mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional. Pandangan Sudarto di atas, sejalan dengan Marc Ancel, 58 menurut, in modern science has primery three essencial componens: criminology, criminal law, dan penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek. Selanjutnya, criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundangundangan pidana, tetapi juga pengadilan di mana peraturan-peraturan itu diterapkan dan penyelengaraan pemasyarakatan (prison administarion) yang memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan. Sebagai mana dikemukakan oleh G Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu: 59 1.
Penerapan hukum pidana/ Criminal law application;
2.
Pencegeahan tanpa pidana /Prevention without punishment;
3.
Mempengaruhi masyarakat tentang tindak pidana dan pemidanaan / Influencing views of society on crime anf punishment.
58Barda
Nawawi Arief, op. cit., hal. 1. Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 1. 59Barda
Universitas Sumatera Utara
48
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam,
60
yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan
menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non-penal policy). Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan represif adalah tindakan yang dilakukan setelah kejadian terjadi untuk menekan agar kejadian tidak meluas atau menjadi parah. Sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan prefentif sebelum terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan prefentif adalah tindakan yang mengutamakan pencegahan sebelum terjadinya kejadian. Menurut pandangan dari sudut politik kriminil secara makro, non-penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, dan kepada
60Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
49
para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science di samping criminology dan criminal law. 61 Dengan demikian, penal policy atau politik hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undangundang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut Sudarto
62
merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana. Dalam kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan, 63 kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan, pengertian dari tujuan penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro, 64 adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
61Barda
Nawawi Arief,op. cit, hal. 1. Hukum dan Hukum Pidana, op. cit, hal 39-40. 63Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 29-30. 64Mardjono Reksodiputro, op. cit, hal. 84 62Sudarto,
Universitas Sumatera Utara
50
masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khusunya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undang pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial. Politik sosial tersebut menurut Barda Nawawi Arief dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian, jika politik kriminil menggunakan politik hukum pidana maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. 65Oleh karena itu, proses kriminalisasi yang terus berlangsung harus dilakukan evaluasi, karena sebagaimana yang dituliskan Bruggink (alih bahasa oleh Arief Sidharta): 66 “Dewasa ini mungkin mengeluh bahwa melimpahnya aturan-aturan hukum mempunyai dampak sebaliknya ketimbang yang dituju. Semula aturan hukum dimaksudkan untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan dengan cara yang lebih baik akan tetapi aturan-aturan hukum justru mencekik kehidupan kemasyarakatan itu, dengan terlalu membelenggu kreativitas dan spontanitas.” Untuk memperjelas, Bruggink memberikan contoh pada aturan-aturan hukum yang menyangkut hubungan antara orang tua dan anak. Jika pemerintah
65Barda
Nawawi Arief, op. cit, hal. 37. Refleksi tentang Hukum, Alih bahasa oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 167. 66Bruggink,
Universitas Sumatera Utara
51
lebih banyak menetapkan aturan, ada kemungkinan inti hubungan antara orang tua dan anak akan tertekan. Untuk itu, menurut Bruggink, diperlukan wawasan tentang peranan kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat sebagai titik tolak. Dari tulisan Bruggink ini dapat dirumuskan bahwa sebenarnya masyarakat tidak memerlukan hukum berdasarkan jumlah (kuantitas) melainkan dari mutu atau kegunaannya (kualitas). Sudarto 67 mengingatkan, pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Dan intensitas pengaruhnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana berat tidak banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula. Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. 68 hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan masyarakat itu sendiri.
67Sudarto, 68Arief
op. cit, hal. 90-91 Amrullah, op. cit, hal 21.
Universitas Sumatera Utara
52
Sudarto berpendapat, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 69 Dalam kesempatan lain dikemukakan pula, bahwa melaksanakan politik hukum pidana mempunyai arti sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Pada hakikatnya kebijakan pidana (penal policy) dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalisaikan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan administratif. 70 Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupaka tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsiolaisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi atau operasionalisasi
69Sudarto,
op. cit, hal 151 Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 75. 70 Barda
Universitas Sumatera Utara
53
hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. 71 Kesalahan atau kelemahan tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan kesalahan straegis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. 72 Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 73 Teori-teori criminaliseringyang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini ternyata masih terbatas sekali. 74 Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan maslah “kriminalisasi”, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. 75 Proses kriminalisasi tersebut diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan dimana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana (tahap formulasi). Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap
71Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 157-158. 72Barda Nawawi Arief, loc. Cit. 73Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 24 74Roeslan Saleh, op. cit, hal. 55 75Muladi, op. cit, hal. 255.
Universitas Sumatera Utara
54
untuk diterapkan oleh hakim (tahap aplikasi) dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (tahap eksekusi). 76 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam mengahadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi , harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: 77 1.
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penganggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat;
3.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle);
4.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
76Sudarto, 77ibid.
op, cit, hal. 32 hal 44-48
Universitas Sumatera Utara
55
Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut: 78 “Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminil yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.” Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana. Namun demikian usaha ini pun masih sering dipersoalkan. Perbedaan peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun dan menurut Herbert L. Packer, usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting. 79 Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam bidang kebiijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional yntuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya, dalam masalah kebijakan orang
78Teguh 79ibid,
Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, op. cit, hal 24 hal. 25
Universitas Sumatera Utara
56
dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.
80
Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial seperti dikemukakan oleh Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy). B. Politik Hukum Pidana Dalam Menentukan Suatu Pemidanaan Kebijakan politik hukum pidana yang paling mempengaruhi dalam penanggulangan kejahatan adalah mengenai kebijakan pidana dalam menentukan suatu pemidanaan. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan
sebagai
hukum,
sedangkan
“pemidanaan”
diartikan
sebagai
penghukuman. 81 Untuk itu dalam menetapkan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi ini diperlukan suatu kebijakan hukum pidana agar penjatuhan dan pemberian sanksi pidana dapat mencapai sasaran yang tepat dan berguna bagi negara dan masyarakat. Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah suatu pemberian penderitaan dari pihak berwenang terhadap seseorang atas kesalahan yang dilakukannya dalam beberapa hal (berupa pelanggaran terhadap peraturan atau perintah). Secara umum, pemidanaan memiliki definisi yang hampir sama dengan sanksi biasa (mere penalties), yang membedakannya adalah rasa empati dalam masyarakat, jika sanksi biasa (mere penalties) lebih berupa sanksi terhadap pelanggaran biasa
80Sudarto,
op. cit, hal. 61.
81http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-jenis-jenis-dan-tujuan.html,
diakses
pada tangaal 25 Maret 2013
Universitas Sumatera Utara
57
seperti, surat tilang dan sanksi terhadap pelanggaran lainnya, pemidanaan lebih ditujukan kepada perbuatan yang bertentangan yang menyangkut nilai moral di dalam masyarakat. 82 Hegel
83
menyatakan, Pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan.
Kejahatan dilakukan karena kehendak pelaku kejahatan itu sendiri. Pelanggaran terhadap hak orang lain diakui oleh pelaku kejahatan sebagai haknya sendiri. Kejahatannya merupakan peniadaan dari hak, dan pemidanaan
adalah
“peniadaan” dari kejahatan, karenanya pemidanaan ini diminta dan dipaksakan kepada si pelaku kejahatan oleh dirinya sendiri. Beberapa di antara para ahli hukum pidana menyadari betul persoalan pemidanaan bukanlah sekedar masalah tentang proses sederhana memidana seseorang dengan menjebloskan ke penjara. Refleksi yang paling kecil saja, dengan mudah menunjukan bahwa memidana sesungguhnya mencakup pula pencabutan (peniadaan), termasuk proses pengadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kesepakatan tentang apa pemidanaan itu merupakan hal yang penting sebelum menempatkan perintah (putusan) ke berbagai aplikasi paksaan publik pada individu, entah atas nama kesehatan, pendidikan, ataupun kesejahteraan umum. 84 Jerome Hall sebagaimana dikutip Gerber dan McAnany dalam memberi batasan konseptual tentang pemidanaan dianggap sebagai kemajuan besar yang telah dicapai. Hall membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan 82 Joel Feinberg (1970), The Expressive Function of Punishment, dalam A Reader On Punishment, R.A. Duff & David Garland (Ed.), Oxford University Express, New York, 1994, hal. 73. 83J. G. Murphy, Marxism and Retribution, dalam A Reader on Punishment, R. A. Duff & Garland (Ed.), Oxford University Express, New York, 1994, hal. 47. 84Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 74
Universitas Sumatera Utara
58
berikut ini. Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas nama negara, ia “diotoritaskan”. Keempat, ia diberikan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan delam etika. Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya. 85 Unsur-unsur pemidanaan yang dikemukakan oleh Jerome Hall diatas dapat ditarik garis mengenai pemidanaan, yakni pemidanaan adalah penderitaan yang berupa kehilangan sesuatu yang diperlukan seseorang yang dilakukan secara paksa oleh pemerintah yang berwenang sebagai isyarat adanya peraturanperaturan, pelanggaran dan penentuan yang dapat dilihat dalam putusan yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan kejahatan. Pemidanaan yang dijatuhkan kepada seseorang itu pun tidak dapat dijatuhkan dengan sewenangwenang, melainkan harus diperhatikan juga unsur-unsur individu pelaku, yakni dengan melihat personalitas, motif dan dorongannya untuk melakukan kejahatan. Pekembangan pemikiran tentang pemidanaan juga diikuti oleh kemajuan pemikiran mengenai tujuan pemidanaan. Sejarah pemidanaan selama seratus 85Rudolph
J. Gerber & Patrick D. Mc Anany, The Philosophy Of Punishment, Dalam The Sociology Of Punishment & Correction: Second Edition. Norman Johnston, Leonard Savitz, & Marvin E. Wolfgang (Ed.), John Wiley and Sons, Inc, New York, 1970, hal. 351.
Universitas Sumatera Utara
59
tahun terakhir memberi pengaruh kuat pada harapan-harapan yang membaik ini, bagi orang yang dihukum bahkan lebih mengesankan ketika itu dipandang bersama dengan kekerasan yang meningkat yang telah diciptakan oleh perang modern hampir dalam setiap kehidupan. 86 Dasar pemidanaan pun telah bekembang sesuai perkembangan peradaban manusia. Masalah pidana sering dijadikan tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat “peradaban” bangsa yang bersangkutan.
87
Pemikiran dasar pemidanaan pun
terbagi menjadi beberapa aliran, yang dimulai dengan aliran klasik. Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. 88Aliran ini muncul pada abad XVIII berpaham
indeterminasi
mengenai
kebebasan
kehendak
manusia
yang
menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (deadstarfrecht). Karenanya, sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan tehadap perbuatan, bukan pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence). Artinya, penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa di pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahulu maupun keadaan-keadaan dari
86Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit., hal. 76.
87ibid. 88M.
Sholehuddin, op. cit, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
60
perbuatan/kejahatan yang dilakukan.
89
Pendek kata, tidak dipakai sistem
individualisasi pidana. Pada abad XIX lahirlah aliran positif yang mencari sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak belakang dengan aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan berkehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah pidana, menurut aliran modern ini, harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya, aliran ini bertitik tolak dengan pandangan determinisme 90 dan mengehendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan. Bermuara dari kedua konsepsi aliran hukum pidana tersebut lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 91 1.
Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal);
2.
Pidana hanya diberikan kepada orang yang besalah (asas cupabilitas; tiada pidana tanpa kesalahan);
3.
Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaraan/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada
89ibid.
90Teguh 91
Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 78 M. Sholehuddin, op. cit, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
61
kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaanna. Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan, yaitu teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (verenigings theorieen). Penulis pertama yang mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino Rossi (1787-1848). Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asa dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, ia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. 92 Dalam teori ini, orientasi pelarangan hukum pidana ditujukan pada orang dan perbuatannya, konsep perbuatan yang dilakukan modifikasi doktrin free will, deduktif-induktif dan menggunakan konsep normatif-empirik. Teori ini menganggap pidana diperlukan, tetapi bukan balas dendam dan bertujuan, pidana merupakan bagian dari pertanggungjawaban pilihan bebas, tetapi dipertimbangkan faktor-faktor lain yang meringankan (eksternal-internal). Perkembangan pemikiran pidana selanjutnya, pertanggungan jawab seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat (etat dangereux). Bentuk pertanggungan jawab kepada si pembuat lebih bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Kalau digunakan istilah pidana, menurut aliran ini, pidana harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat.
92Muladi
dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
62
Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi si pembuat. Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, aliran modern ini berkembang menjadi apa yang dikenal dengan aliran atau gerakan perlindungan masyarakat (social defence). Tokoh terkenal gerakan social defence ini adalah Filipo Gramatica yang pada 1945 mendirikan “Pusat Studi Perlindungan Masyarakat” (The study- centre of social defence) di Genoa. Aliran atau gerakan perlindungan masyarakat yang menjadi orientasi pelarangan hukum pidana adalah perlindungan masyarakat. Sasarannya, manusia dan perbuatannya. Konsep gejala yang manusiawi dan merupakan pernyataan dari seluruh kepribadian pelaku. Pemidanaan dalam aliran ini, setelah diadili dan dipidana (diperbaiki) masih harus diberi kekuatan agar dapat “mengekang diri sendiri” dan memupuk perasaan tanggung jawab antar sesama manusia, aliran ini juga mengembangkan model pertanggungjawaban pelaku. Berdasarkan hal tersebut, Sudarto menyatakan: “Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggung-jawaban atas perbutatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”. 93
93
Sudarto, Hukum Pidana 1, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, Semarang, 19871988, hal. 85
Universitas Sumatera Utara
63
Pembicaraan masalah penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan empat aspek: pertama, penetapan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum (seseorang atau korporasi); keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait anatara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana. 94 Bagian penting dari sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi daam suatu tindak pidanan untuk menegakkan berlakunya norma. Di sisi lain, pemidanaan itu sendiri merupakan proses paling kompleks dalam sistem peradilan pidana karena melibatkan banyak orang dan insitusi yang berbeda. Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dalam pendapat Sudarto 95 yang menyatakan, pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang. Sedangkan pemberian pidana in concreto menyangkut berbagai badan yang kesemuaannya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. Dengan kata lain, pemidanaan menyangkut tentang penetapan sanksi pidana dan bagaimana cara melaksanakan sanksi hukum pidana itu terhadap terpidana. Berkaitan dengan masalah sanksi, G.P. Hoefnagels bahkan memberikan arti secara luas. Dikatakannya, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua 94Teguh 95M.
Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 82 Sholehuddin, op. cit., hal.114
Universitas Sumatera Utara
64
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang-undang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. Hoefnagels melihat pidana sebagai suatu proses waktu yang keseluruhan proses itu dianggap sebagai suatu pidana. 96 Menurut Barda Nawawi Arief, 97 strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakikat permasalahannya. Bila hakikat permasalahannya lebih dekat dengan masalahmasalah di bidang hukum perekonomian dan perdagangan maka lebih diutamakan penggunaan sanksi tindakan dan/atau pidana denda. Penentuan jenis ancaman pidana, penjatuhan dan palaksanaan pidana berhubungan erat dengan tujuan pemidanaan. Permasalahannya, apakah jenisjenis pidana tersebut sudah menggambarkan tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan. 98 Dengan demikian, apapun jenis dan bentuk sanksi yang ditetapkan tujuan pemidanaan harus menjadi patokan. Karena itu, harus ada kesamaan pandang atau pemahaman pada tahap kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari sanksi pidana dan/atau tindakan itu sendiri. Adanya tujuan pemidanaan yang harus dijadikan patokan dalam rangka menunjang berkerjanya sistem peradilan pidana, menurut Muladi,
99
untuk
menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, yaitu sinkronisasi struktural
96ibid.
97Barda
Nawawi Arief, loc. Cit. Prasetyo & Abdul Halim Baratullah, op. cit., hal. 85. 99Muladi, op, cit., hal. 2. 98Teguh
Universitas Sumatera Utara
65
(structural synchronization), sinkronisasi substansial
(subtantial Syncrhroni-
zation), dan sinkronisasi kultural (cultural synchronization). Sekarang ini, faktor-faktor yang menentukan politik hukum tidak sematamata ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoritis belaka, akan tetapi ditentukan juga oleh kenyataan dan perkembangan hukum di negara lain serta hukum internasional. Apalagi bila dicermati, sasaran kajian politik hukum yang digunakan
oleh
pembuat
hukum
nasional,
100
menurut
Soewoto
Moeljosoedarmo, 101 kebijakan ini dapat berupa pilihan hukum yang berlaku, sistem hukum yang dianut, dasar filosofis yang digunakan termasuk kebijakan agar mendasarkan hukum nasional pada asas-asas hukum yang berlaku. Masalah penetapan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Setelah tujuan pemidanaan ditetapkan, barulah ditentukan jenis dan bentuk sanksi apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan. Penetapan sanksi pada tahap kebijakan legislasi ini menurut Barda Nawawi Arief, 102 harus merupakan tahap perencanaan strategis di bidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberikan arah pada tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Perumusan jenis sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana yang kurang tepat, menurut beliau, dapat menjadi faktor timbul dan 100Teguh
Prasetyo & Abdul Halim Baratullah, loc. Cit.
101ibid.
102Muladi
dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 92 dan 98
Universitas Sumatera Utara
66
berkembangnya kriminalitas. Pendapat ini sejalan dengan pandangan mazhab kritikal dalam kriminologi 103 yang menyatakan, kejahatan yang terjadi maupun karakteristik pelaku kejahatan ditentukan terutama bagaimana hukum pidana itu (termasuk stelsel sanksinya) dirumuskan dan dilaksanakan. 104 Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah antara penerapan sanksi dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana dan perumusan tujuan pemidanaan, yakni adanya kaitan yang erat dengan landasan filsafat pemidanaan, teori-teori pemidanaan dan aliran-aliran hukum pidana yang dianut mendominasi pemikiran dalam kebijakan kriminil (criminal policy) dan kebijakan penal (penal policy).
105
Hal ini sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita
106
yang
menegaskan, perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan UndangUndang KUHP Nasional tersimpul pandangan social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat
sprititual
berlandaskan
Pancasila.
Menurutnya,
keempat
tujuan
pemidanaan tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkan Pasal 54 ayat (2) RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan, “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”. Dalam penentuan sanksi dalam suatu pemidanaan, dibedakan antara lain sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif
103Teguh
Prasetyo & Abdul Halim Bakatullah, op. cit., hal. 86
104ibid. 105ibid.
hal. 87. Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal. 90. 106 Romli
Eksistensialisme dan
Universitas Sumatera Utara
67
terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika
fokus sanksi pidana tertuju pada
perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera) maka fokus sanksi terarah pada upaya memberikan pertolongan agar pelaku berubah. 107 Dengan demikian, sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada si pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelanggar. 108 Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial. 109 Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak belakang dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder lead) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada adanya tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan.
107Muladi
110
Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat
dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 4. Hukum Pidana, (Jilid I A), Badan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, Semarang,
108Sudarto,
1973, hal. 7. 109M. Sholehuddin, op. cit., hal. 32. 110Ibid.
Universitas Sumatera Utara
68
mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus,
yakni
melindungi
masyarakat
dari
ancaman
yang
merugikan
kepentingannya. Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masnyarakat. Perbedaan orientasi ide dasar dari dua sanksi tersebut (sanksi pidana dan sanksi tindakan) sebenarnya memiliki kaitan pula dengan filsafat yang memayunginya, yakni filsafat indeterminisme sebagai ide sanksi pidana dan filsafat determinasi sebagai sumber ide sanksi tindakan. Sebagaimana diketahui, asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan. Karenanya sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku. Sedangkan determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan prilaku
manusia,
naik
sebagai
perorangan
maupun
sebagai
kelompok
masnyarakat, ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis, dan keagamaan yang ada. 111 Dengan demikian, perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor itu, dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi pelaku.
111ibid.
Universitas Sumatera Utara
69
Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti tersebut di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori retributif atau teori absolut, teori relatif atau teori deterrence, teori penggambungan (integratif), teori treatment dan perlindungan sosial (social defence). 112 Teori absolut (teori retributif), misalnya, memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif mancari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau, yakni memusatkan argumennya pada tindakan yang sudah dilakukan. Menurut Sahetapy, 113 teori abosolut adalah teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu irrasional. Alasan pembenar dari pemidanaan pada teori retributif didasarkan pada frase kuno yaitu “an eye for an eye, a tooth fo a tooth”dalam Code Of Hammurabbi yakni “mata dibalas oleh mata, gigi dibalas oleh gigi” atau pelanggar diberikan pemidanaan karena rasa keadilan pada masyarakat
112Mahmud
Mulyadi,Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, USU Repository, Medan, 2006 113 J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenal Ancaman Pidana mati terhadap Pembunuhan Berencana, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 198.
Universitas Sumatera Utara
70
memaksakan pemidanaan itu. Teori Retributif memiliki prinsip-prinsip dasar antara lain: 114 1. Perbuatan Kriminal pasti merupakan perbuatan yang salah berdasarkan moral. 2. Pemidanaan harus sesuai dengan pelanggaran. 3. Pemidanaan harus menggambarkan pengembalian penderitaan kepada si pelanggar karena perbuatannya yang salah berdasarkan moral. Teori retributif atau teori absolut melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang imoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan. 115 Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan, karenanya teori ini disebut juga teori proposionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan secara moral. 116 Nigel Walker dalam Sentencing in A Rational Society menegaskan, asumsi lain yang dibangun atas dasar retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimaksudkan dalam undang-undang yang memberi sanksi-sanksi pidana 114C.
Ray Jeffery, Crime Prevention Through Environmental Design, Sage Publication, Inc, California, 1977, hal. 16. 115Mahmud Mulyadi, op. cit. 116Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
71
masksimum yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil daripada usaha-usaha yang berhasil. 117 Nigel Walker memberi contoh tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dengan tidak sengaja terkadang dibedakan sanksinya. Ancaman pidana maksimum terhadap pengemudi yang mengemudi dengan cara membahayakan adalah pidana penjara dua tahun, tetapi mengemudi dengan cara membahayakan sehingga mengakibatkan kematian orang lain, diancam pidana maksimum loma tahun. Selanjutnya Nigel Walker menjelaskan, ada dua golongan penganut teori retribusi. Pertama, penganut teori retributif murni yang memandang pidana harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Kedua, penganut teori retributif tidak murni, yang dipecah lagi menjadi: 1. Penganut teori retributif terbatas (The Limiting Retributivist) yang berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran. 118 2. Penganut teori retributif distribusi (retribution in distribution). Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi. Kaum retributif ini berpandangan, selama orang membatasi sanksi dalam 117M.
Sholehuddin, op. cit., hal. 36. hal. 37.
118Ibid.
Universitas Sumatera Utara
72
hukum pidana pada orang-orang yang telah melakukan pelanggaran kejahatan dan tidak membenarkan sanksi ini digunakan pada orang yang bukan pelanggar maka harus diperhatikan prinsip retribusi yang menyatakan bahwa: “Masyarakat tidak berhak menerapkan tindakan yang tak menyenagkan pada seseorang yang bertentangan dengan kehendak kecuali bila ia dengan sengaja melakukan sesuatu yang dilarang.” 119 Akhirnya Nigel Walker menjelaskan, hanya penganut penganut teori retributif murni (the pure retributivist) yang mengemukakan dasar-dasar pembenaran untuk pemidanaan. Terhadap pertanyaan tentang sejauhmanakah pidana perlu diberikan kepada pelaku kejahatan, teori retributif menjelaskan sebagai berikut: 1. Dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaanbalas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan menuduh tidak menghargai hukum. Tipe retributif ini disebut vindicative. 2. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe retributif ini disebut fairness. 3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe retributif ini disebut dengan proportionality. Termasuk ke dalam
119Ibid.
hal. 15-16.
Universitas Sumatera Utara
73
kategori the gravity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya.
120
Tipe retributif yang disebut vindicative di atas termasuk ke dalam teori pembalasan. John Kaplan 121 dalam bukunya Criminal Justice membagi teori retributif menjadi dua: 1. The Reverange Theory (teori pembalasan) 2. The Expiation Theory (teori penembusan dosa). Pembalasan mengandung arti, hutang si penjahat “telah dibayar kembali” (the criminalis paid back), sedangkan penembusan dosa mengandung arti, si penjahat “membayar kembali hutangnya (the criminalis pays back). Jadi, pengertiannya tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan, tergantung dari cara orang berpikir pada saat menjatuhkan suatu sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia “berhutang sesuatu kepada kita”. Sebaliknya, Johannes Andenaes menegaskan, “penembusan” tidak sama dengan “pembalasan dendam” (revenge). Pembalasan berusaha memuaskan hasrat basal dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan penembusan dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. 122
120Ibid,
hal. 38. dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 13. 122Ibid. hal. 14. 121Muladi
Universitas Sumatera Utara
74
Tipe retributif yang propotionality mendapat dukungan dari pendapat van Bemmelen yang mengatakan, untuk hukum pidana dewasa ini, pemenuhan keinginan pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldingsbehoefte) tetap merupakan hal penting dalam penerapan hukum pidana agar tidak terjadi “main hakim sendiri” (vermijding van eigenrichting). Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh suatu sanksi harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit. Selain itu, beratnya sanksi tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi umum sekalipun. 123 Sesungguhnya bila diamati secara mendalam, teori retributif seperti yang telah diuraikan di atas, sebenarnya tidak lepas dari latar belakang fiolosofis yang menjadi landasan pemikiran sistem pemidanaan menurut zamannya. Teori retributif pada dasarnya bersumber dari pemikiran Imanuel Kant (1724-1804) yang dikenal dengan sebutan retributivisme atau populer disebut dengan istilah just desert theory oleh para pakar kriminologi di Amerika Serikat. Dalam pandangan Kant, pidana yang diterima seseorang merupakan konsekuensi dari kejahatan yang dilakukannya, bukan dari suatu kontrak sosial. Bahkan ia menolak pandangan yang menyatakan bahwa pidana ditujukan untuk kebaikan pelaku kejahatan atau kebaikan masyarakat. Kant hanya menerima satusatunya alasan bahwa pidana dijatuhkan karena semata-mata pelaku yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Dari latar belakang filsafat pemidanaan Imanuel Kant demikian lahirlah teori retributif yang mendasari tujuan pemidanaan
123Ibid.
hal. 15
Universitas Sumatera Utara
75
intinya menitikberatkan pada pertanggungjawaban pelaku kejahatan terhadap kobannya. Pada pihak lain, teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu preventif, deterrence, dan reformatif. 124dalam tujuan preventif, prevensinya pun tebagi dua yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Tujuan pemidanaan pemidanaan prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakan norma dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. 125 Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan tidak lain agar timbul rasa taku untuk melakukan kejahatan. Tujuan ini, dibedakan dalam tiga bagian, yaitu tujuan yang bersifat individual, publik, dan bersifat jangka panjang. Tujuan deterrence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku merasa jera untuk melakukan kembali kejahatan. Tujuan deterrence
yang bersifat publik, agar
anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Sedangkan tujuan deterrence yang bersifat jangka panjang atau long term deterrence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana, sehingga masyarakat akan mematuhi dan menjalankan hukum pidana sebagai suatu
124Barda
Nawawi Arief, op. cit. hal. 31. Mulyadi, op. cit.
125Mahmud
Universitas Sumatera Utara
76
tindakan yang wajar dan pantas. Teori ini sering disebut sebagai educative teory atau denunciation theory. 126 Teori relatif memandang, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Menurut Leonard Orland, 127 teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mngurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Karena itu, teori relatif lebih melihat ke depan. Teori ini, sampai derajat tertentu, dapat dilihat sebagai bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensikonsekuensinya untuk kebaikan sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positif yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan dan merupakan kriteria satu-satunya bagi pembenarannya. 128 Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terpidana telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si
126Romli
Atmasasmita, op. cit., hal. 84. Sholehuddin, op.cit., hal. 42. 128Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 97. 127M.
Universitas Sumatera Utara
77
terpidana, korban dan juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai teori konsekuensialisme. 129 Para pendukung Teori Relatif (Teori Deterren) percaya jika hukuman dapat mengurangi frekuensi kejahatan dengan satu atau lebih cara yakni: 130 1. Mencegah pelaku melakukan kejahatan (Deterring the offender) dengan mendorong dia agar menahan diri untuk melakukan kejahatan yang lebih dari sebelumnya, atau paling tidak mencegah dia untuk melakukan kejahatan yang sama dengan penjatuhan hukuman 2. Mencegah timbulnya potensi orang lain untuk meniru kejahatan tersebut (deterring potential imitators) dengan penjatuhan hukuman, dapat mengurangi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama 3. Memperbaiki si pelaku kejahatan (reforming the offender) meningkatkan karakter pelaku sehingga dia cenderung tidak akan melakukan kejahatan walaupun tanpa ada rasa takut dari ancaman hukuman 4. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk menanggapi serius terhadap suatu kejahatan (education the public to take more serious view of such offences) sehingga secara tidak langsung mengurangi frekuensi kejahatan
129Ibid. 130N.
Walker, Reductivism and Deterrence, dalam A Reader on Punishment, R. A. Duff & David Garland (Ed. ), Oxford University Express, New York, 1994, hal. 212. Nigel Wakler menyatakan teori Relatif dapat juga dikatakan sebagai teori Reduktif karena teori ini memiliki tujuan untuk mengurangi frekuensi tindak kejahatan yakni mencegah tindak kejahatan tersebut dengan cara penjatuhan hukuman.
Universitas Sumatera Utara
78
5. Melindungi Masyarakat (protecting the public) atau lebih spesifiknya untuk melindungi korban, dengan cara menahan pelaku kejahatan sehingga memeberikan rasa aman kepada masyarakat (korban). Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dari teori relatif ini, yaitu: 131 1. The purpose of punishment is prevention (Tujuan pidana adalah pencegahan) 2. Prevention is not a final aim, but a means to amore suprems aim, e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat); 3. Only breaches of the law which are imputable to the perpetrator as intent or negelience quality for punishment (Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalkan kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana); 4. The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan); 5. The punishment is propective, it point into future; it may contain as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or social welfare.(Pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur
131Teguh
Prasetyo & Abdul halim Barkatullah, op. cit., hal. 97-98.
Universitas Sumatera Utara
79
pembalasan tidak dapat diterima bila tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat). Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukan sekedar pembalasan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan lain yang bermanfaat. Pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan Teori Retributif atau absolut pada dasarnya memiliki tujuan yang berbeda dengan teori relatif. Teori Gabungan berusaha menemukan suatu jalan tengah antara kedua teori-teori tersebut. Teori gabungan mengakui adanya suatu pembalasan
(retributif)
dalam
suatu
pidana
dan
menjadi
pembenaran
dijatuhkannya pidana, namun seharusnya perlu dperhatikan bahwa penjatuhan pidana ini harus membawa manfaat untuk mencapai tujuan lain, misalnya kesejahteraan masyarakat (social walfare). 132 Teori yang berikutnya adalah teori treatment. Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat
pantas
diarahkan
kepada
pelaku
kejahatan,
bukan
pada
perbuatannya.Pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebahai pengganti hukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 133
132
Mahmud Mulyadi, op. cit.
133ibid.
Universitas Sumatera Utara
80
Teori treatment (pengobatan) memiliki hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Teori ini sangat memerlukan fasilitas memadai dari lembagalembaga pemasyrakatan untuk dapat dilakukannya pengobatan (treatment) ataupun rehabilitasi. Kenyataannya, hanya terdapat sedikit negara yang memiliki fasilitas
untuk
melakukan
pelaksanaan
rehabilitasi
maupun
pengobatan
(treatment). 134 Hambatan kedua yang menjadi alasan untuk menentang teori ini yakni adanya
kemungkinan
seseorang
untuk
bertindak
tirani
(kejam)
dan
mengenyampingkan Hak Asasi Manusia (HAM). Seorang tahanan harus diserahkan pada seorang dokter untuk dilakukan pengobatan (treatment) sebelum tahanan itu dilepas. Tidak ada seorang pun yang dapat memprediksikan berapa lama pengobatan itu akan berlangsung atau mengontrol keputusan dokter. Dari fakta ini, “Treatment” dilaksanakan atas nama kebaikan, tetapi tidak dapat dikontrol, sehigga tidak menutup kemungkinan para tahanan akan dijadikan objek penelitian dokter tersebut, yang mana dikatakan Silving, “even ‘bad people’ are not by the same token experimental rabbits.” (bahkan seorang penjahat tidak dapat disamakan dengan kelinci percobaan). 135 Teori perlindungan sosial (social defence) terbagi dua yaitu aliran
radikal dan aliran moderat. Aliran radikal memandang ”hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang”. 136 Aliran ini 134Rudolph
J. Gerber & Patrick D. Mc Anany, The Philosophy of Punishment, dalam The Sociology of Punishment & Correction: Second Edition, Norman Johnston, Leonard Savitz, & Marvin E. Wolfgang (Ed.), John Wiley and Sons, Inc, New York, 1970, hal. 354. 135Ibid. 136 Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hal. 151.
Universitas Sumatera Utara
81
masih mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Aliran moderat memandang bahwa
setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial dalam seperangkat peraturan-
peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielekkan dalam suatu sistim hukum.
Pandangan yang radikal 137 dipelopori dipelopori dan dipertahankan oleh F.
Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The fight againts punishment” (La Lotta Contra La Pena). Gramatika berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap pebuatannya. Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social Defence” atau “Perlinfungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang ridak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat: 138
137
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 35. Mulyadi, op. cit.
138Mahmud
Universitas Sumatera Utara
82
1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsikonsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri. 3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-diksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. Teori social defence beraliran moderat ini menjawab kegagalan teori treatment dalam suatu sistem pemidanaan. Teori treatment atau teori rehabilitation hanya menjadikan usaha memperbaiki (menyembuhkan/treatment) seorang pelaku kejahatan sebagai fokus sentral dan mengenyampingkan tujuan pemidanaan, baik tujuan retributif atau pembalasan maupun tujuan deterrence. C. Kedudukan Politik Hukum Pidana Dalam Pidana Indonesia Pidana dan pemidanaan selalu bekembang seiring dengan perkembangan masyarakat, sehingga diperlukan suatu hukum pidana yang dapat mengikuti alur perkembangan pidana dan pemidanaan. Indonesia sendiri tidak lepas dari perkembangan pidana dan pemidanaan.Oleh karena itu diperlukan suatu hukum pidana di Indonesia agar dapat mengimbangi perkembangan masyarkat. Oleh karena itu diperlukan suatu pembaharuan hukum pidana. Disamping alasan perkembangan masyarakat, masih ada alasan lain yang menuntut perlunya dilakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu alasanpolitis, alasan sosiologis dan
Universitas Sumatera Utara
83
alasan praktis. 139 Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional. Alasan sosiologi menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, sedangkan alasan praktis, antara lain bersumber pada kenyataan bahwa biasanya bekas-bekas negara jajahan mewarisi hukum negara yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, yang kemudian banyak tidak dipahami oleh generasi muda dari negara yang baru merdeka tersebut. Berdasarkan alasan-alasan di Indonesia harus sudah memiliki peraturan hukum pidana yang sesuai dengan keadaan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan suatu pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana dapat diartikan sebagai usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik.Hukum pidana yang lebih baik itu dapat pula dikatakan sesuai dengan tujuan pembaharuan, yaitu penanggulangan kejahatan.Menurut Barda Nawawi Arief, penanggulangan kejahatan sebagai tujuan sering digunakan dengan berbagai istilah seperti “penindasan kejahatan” (repression of crime), “pengurangan kejahatan” (reduction of crime), dan “pengendalian kejahatan” (control of crime). 140 Dalam istilah penanggulangan kejahatan di atas, di satu sisi tidak terdapat defenisi istilah “lebih baik”, sehingga bukan tidak mungkin suatu penanggulangan masyarakat mengenyampingkan nilai-nilai manusiawi dalam masyarakat. Alasanalasan pembaharuan di atas dapat mencegah hal-hal yang tidak manusiawi dalam penanggulangan kejahatan di Indonesia. Bagaimana tidak, alasan politik yang 139Sudarto, 140Barda
op. cit., hal. 66-68 Nawawi Arief, op. cit., hal. 153.
Universitas Sumatera Utara
84
dilandasi oleh pemikiran bahwa Indonesia sebagai negara yang merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional, akan menuntut penciptaan hukum yang lebih baik, lebih manusiawi daripada hukum kolonial, karena subyek hukum bukan lagi bangsa jajahan, tetapi bangsa Indonesia yang merdeka. Demikian pula dengan pembuat hukumnya, bukan lagi bangsa penjajah, melainkan bangsa Indonesia sendiri yang merdeka. Alasan sosiologi menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai kebudayaan bangsa, jelas menuntut penciptaan hukum sesuai dengan nilai- nilai Pancasila. Ini berarti bahwa hukum harus melihat subyeknya sebagai manusia pribadi, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan.Alasan praktis menuntut penciptaan hukum yang mudah dimengerti, singkat, jelas dan tidak berbelit-belit bahasanya, sehingga masyarakat umum mudah memahaminya. 141 Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaruan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Dapat disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 142 1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:
141 Shafrudin, Tesis Pelaksanaan Politik Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan, Universitas Diponegoro, 2009, hal. 66 142 Barda Nawawie Arief, Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Semarang, 2008, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
85
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang
tujuan
nasional
(kesejahteraan
masyarakat dan sebagainya.) b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan) c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2. Dilihat dari pendekatan nilai: Pembaharuan
hukum
pidana
pada
hakikatnya
merupakan
upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilainilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dab sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau Wvs).
Universitas Sumatera Utara
86
Dilihat dari pendekatan kebijakan, terdapat tiga masalah sentral dalamkebijakan kriminil dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 143 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana 2. Siapa yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana 3. Sanksi apa sebaiknya digunakan atau dikenakan pada si pelanggar. Sudarto berpendapat, dalam menghadapi masalah sentral pertama di atas (masalah kriminalisasi) harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut 144: 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spriritual berdasarkan Pancasila; dalam hal ini (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan
terhadap
tindakan
penanggulangan
itu
sendiri,
demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).
143Ibid.,
hal.27 op. cit., hal. 44-48
144Sudarto,
Universitas Sumatera Utara
87
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). Selanjutnya dikemukakan
bahwa problem
dari
pendekatan
yang
berorientasi pada kebijakan adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai kedalam proses pembuatan keputusan. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana pada umumnya terwujudnya dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut sebagai berikut: 1. Pemeliharaan tertib masyarakat; 2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahayabahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain. 3. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum. 4. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. Selanjutnya ditegaskan, bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. pidana hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. Suatu pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Berdasarkan pandangan yang demikian, Bassiouni
Universitas Sumatera Utara
88
menyatakan, bahwa disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis, tetapi juga disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value based and value oriented). 145 Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa dalam melaksanakan politik pada hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief 146 antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu dichotomy, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Sebab, kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai. Terlebih lagi bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang bertujuan membentuk “manusia Indonesia seutuhnya”. Apabila hukum pidana dan pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanis harus pula diperhatikan. Hal ini penting, tidak hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan (human problem), tetapi juga karena hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi manusia. Penggunaan sarana penal atau (hukum) pidana dalam suatu politik kriminal memang bukan merupakan posisi strategis dan memang banyak menimbulkan persoalan. Sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan yang dapat disederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan saja 145Shafrudin,op. 146Barda
cit., hal. 89. Nawawie Arief, op. cit., hal. 33-34
Universitas Sumatera Utara
89
hukum pidana dan pidana sama sekali. Persoalannya tidak terletak pada masalah eksistensinya. Tetapi terletak pada masalah kebijakan penggunaannya. Oleh karena itu, sebagai suatu masalah kebijakan/politik, sudah barang tentu penggunaannyapun tidak dilakukan seara absolut, karena pada hakikatnya tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan/politik. Dalam pembuatan peraturan hukum pidana yang lebih baik, memang diperlukan suatu pendekatan kebijakan, tetapi pendekatan nilai pun tidak boleh dikesampingkan. diperlukan suatu politik hukum untuk menciptakan peraturan hukum yang dalam penerapannya dapat tercapai tujuan darimana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus bernafaskan nilai-nilai Pancasila. Sehingga pembaharuan hukum pidana tersebut dapat menunjukan suatu karakter bangsa Indonesia serta tujuannya sesuai dengan hati nurani bangsa Indonesia.
Universitas Sumatera Utara