BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) telah ada sejak dahulu dan makin popular saat ini, namun definisi tunggal dari CSR itu sendiri belum ada. Terdapat banyak definisi mengenai konsep CSR. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) misalnya, mendefinisikan CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan sebagai “ Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large. Maksudnya adalah “komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas” (Wibisono, 2007). World Bank mendefinisikan CSR sebagai “ the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”. Sementara CSR Forum memberikan definisi “ CSR mean open and transparent business practices that are based on ethical values and respect for employess, communities and environment”.
Magnan dan Ferrel (2004) dalam Susanto (2007), memberi definisi CSR sebagai ”A bussiness acts in socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse stakeholders interest”. Dalam definisi tersebut ditekankan bahwa perlunya memberikan perhatian secara seimbang terhadap kepentingan stakeholders yang beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh para pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab (Susanto, 2007). Komisi Eropa mendefinisikan CSR sebagai kondisi dimana perusahaan secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih (Susanto, 2007). Definisi lain dari CSR juga dikemukakan oleh Elkington (1997) dalam Susanto (2007), dimana sebuah perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada peningkatan kualitas perusahaan (profit); masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people) serta lingkungan hidup (planet). The Jakarta Consulting Group mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial diarahkan ke dalam (internal) dan keluar (eksternal) perusahaan. Tanggung jawab ke dalam diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan, dan juga karyawan dalam bentuk kompensasi yang adil serta memberikan peluang pengembangan karir bagi karyawan oleh perusahaan tempat Ia bekerja. Sementara tanggung jawab ke luar berkaitan dengan peran perusahaan dalam pembayaran pajak dan penyediaan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang (Susanto, 2007).
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep dimana perusahaan memutuskan secara sukarela untuk berkontribusi pada suatu masyarakat agar menjadi lebih baik (Lubis, dkk, 2006). Pada dasarnya CSR menggambarkan suatu konsep dimana perusahaan mengintegrasikan perhatian sosial dan lingkungan dalam operasional bisnisnya dan dalam interaksi perusahaan dengan stakeholders-nya berdasarkan prinsip sukarela. Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki implikasi penting untuk seluruh pelaku ekonomi, sosial, dan pemerintah. Banyaknya definisi CSR tersebut, konsep ini menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan (Wibisono, 2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perusahaan dalam kegiatannya juga harus memperhatikan tiga hal yaitu profit, masyarakat
dan
lingkungan.
Ketiganya harus
berjalan
secara
sinergis
dan
berkesinambungan agar tercipta iklim perusahaan yang baik sehingga eksistensi perusahaan juga terjamin dengan citra atau reputasi positif
yang didapatnya dari
konsumen dan masyarakat.
2.1.2. Manfaat Corporate Social Responsibility Sudah saatnya korporat/perusahaan bukan hanya menempatkan diri sebagai aktor ekonomi, namun juga menempatkan dirinya sebgai aktor sosial yang juga berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya karena dengan cara inilah, masyarakat akan merasa ikut memiliki korporat yang ada di wilayah mereka, dan tidak akan menganggap suatu perusahaan yang beroperasi bagaikan duri dalam daging mereka. Ini semua dapat
dicapai hanya dengan menerapkan suatu model tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang transparan, akuntabel, dan partisipasif (Zainal, 2006). Pelaksnaaan tanggung jawab sosialnya, perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada tiga hal, yaitu profit, lingkungan dan masyarakat. Dengan diperolehnya laba, perusahaan dapat memberikan dividen bagi pemegang saham, mengalokasikan sebagian laba yang diperoleh guna membiayai pertumbuhan dan pengembangan usaha di masa depan, serta membayar pajak kepada pemerintah (Susanto, 2007). Perusahaan dangan lebih banyak memberikan perhatian kepada lingkungan sekitar, dapat ikut berpartisipasi dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan demi terpeliharanya kualitas kehidupan umat manusia dalam jangka panjang. Perusahaan juga ikut mengambil bagian dalam aktivitas manajemen bencana. Manajemen bencana di sini bukan hanya sekedar memberikan bantuan kepada korban bencana, namun juga berpartisipasi dalam usaha-usaha mencegah terjadinya bencana serta meminimalkan dampak bencana melalui usaha-usaha pelestarian lingkungan sebagai tindakan preventif untuk meminimalisir bencana (Susanto, 2007). Perhatian terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan cara melakukan aktivitas-aktivitas serta pembuatan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kompetensi yang dimiliki di berbagai bidang. Kompetensi yang meningkat ini pada gilirannya diharapkan akan mampu dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat (Susanto, 2007). Melalui tanggung jawab sosial yang dijalankan, perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek, namun juga turut berkontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitar dalam jangka panjang (Susanto, 2007). Perusahaan juga memperoleh manfaat dari aktivitas CSR. Pertama, mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya secara konsisten akan mendapatkan dukungan luas dari komunitas yang telah merasakan manfaat dari berbagai aktivitas yang dijalankannya. CSR akan mendongkrak citra perusahaan, yang dalam rentang waktu panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan. Manakala terdapat pihak-pihak tertentu yang menuduh perusahaan melakukan perilaku serta praktek-praktek yang tidak pantas, masyarakat akan menunjukkan pembelaannya. Karyawan pun akan berdiri dibelakang perusahaan, membela tempat institusi mereka bekerja (Susanto, 2007). Kedua, CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Demikian pula ketika perusahaan diterpa kabar miring bahkan ketika perusahaan melakukan kesalahan, masyarakat lebih mudah memahami dan memaafkannya (Susanto, 2007). Ketiga, keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggaan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas, sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan perusahaan. Hal ini akan berujung pada peningkatan kinerja dan produktivitas (Susanto, 2007).
Keempat, CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan para stakeholders-nya. Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang selama ini berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka raih. Hal ini mengakibatkan para stakeholders senang dan merasa nyaman dalam menjalin hubungan dengan perusahaan (Susanto, 2007). Kelima, meningkatnya penjualan seperti yang terungkap dalam riset Roper Search Worldwide, konsumen akan lebih menyukai produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab sosialnya sehingga memiliki reputasi yang baik (Susanto, 2007). Keenam, insentif-insentif lainya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya. Hal ini perlu dipikirkan guna mendorong perusahaan agar lebih giat lagi menjalankan tanggung jawab sosialnya (Susanto, 2007). Carrol dalam Susanto (2007) menggambarkan CSR sebagai sebuah piramida, yang tersusun dari tanggung jawab ekonomi sebagai landasannya, kemudian tanggung jawab hukum, tanggung jawab etika, dan tanggung jawab filantropis berada dipuncak piramida. Tanggung jawab ekonomi adalah memperoleh laba, sebuah tanggung jawab agar dapat menghidupi karyawan, membayar pajak dan kewajiban-kewajiban perusahaan lainnya. Tanpa laba perusahaan tidak akan eksis, tidak dapat memberi kontribusi apapun terhadap masyarakat. Kemudian sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial perusahaan di bidang hukum perusahaan harus mematuhi hukum yang berlaku sebagai representasi dari rule of the game. Berikutnya tanggung jawab sosial
juga harus tercermin dari perilaku etis perusahaan, dan puncaknya adalah tanggung jawab filantropis, yang mengharuskan perusahaan untuk berkontribusi terhadap komunitasnya, yaitu meningkatkan kualitas hidup.
2.1.3. Community Development (CD) sebagai Alat untuk Menjalankan Corporate Social Responsibility Dalam Earth Sumit Rio de Janeiro tahun 1992 dinyatakan mengenai perubahan paradigma pertumbuhan economic menjadi pembangunan berlanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep sustainable development (SD) dikembangkan pada Earth Summit, Afrika Selatan, tahun 2002 mematangkan konsep kelanjutan yaitu pada aspek social, lingkungan dan ekonomi (Kadar, 2006b). Konsep SD kemudian mewajibkan perusahaan untuk memenuhi keberlanjutan keberadaan komunitassecara sosial, lingkungan dan ekonomi. Keberlanjutan komunitas merupakan syarat pembelian izin pada suatu perusahaan untuk dapat beroperasi (Operating Licence) sebagai pemenuhan dari social contract. Corporate Social Responsibility (CSR) kemudian hadir sebagai upaya perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab sosial tersebut (Kadar, 2006a). The World Business Council for Sustainable development (2002) dalam (Kadar, 2006) mendefinisikan CSR sebagai komitmen perusahaan dalam pengembangan ekonomi yang berkesinambungan dalam kaitannya dengan karyawan beserta keluarganya . Masyarakat sekitar dan masyarakat luas pada umumnya, dengan tujuan
peningkatan kualitas hidup mereka (ESR Division PT Astra International Tbk, 2006). Sejalan dengan definisi tersebut, Kok et al. (2001) dalam Kadar (2006) menyatakan bahwa CSR merupakan kewajiban dari suatu perusahaan untuk menggunakan SD yang dimiliki dengan tujuan untuk memberi kemudahan/keuntungan bagi masyarakat melalui komitmen untuk berpartisipasi sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program community development (CD) merupakan salah satu bagian dari pelaksanaanprogram CSR. Program CD berfokus pada masyarakat sekitar lokasi perusahaan dan proyek/pabrik. Pelaksanaan CD sebagai upaya pemenuhan CSR antara lain dilator belakangi oleh : 1. Adanya penguasaan SDA dan SD Ekonomi yang bersifat eksploitatif, ekspansif, akumulatif. 2. Perusahaan menempatkan dirinya lebih kuat daripada masyarakat sehingga berdampak pada terjadinya peminggiran masyarakat. 3. Perusahaan adalah entitas sosial disamping sebagai entitas bisnis sehingga harus mempunyai social responsibility. 4. Timbulnya
ketidaknyamanan
(discomfort)
dan
ketidakseimbangan
antara
masyarakat dan perusahaan (Kadar, 2006).
2.1.4. Aktivitas Community Development dalam Corporate Social Responsibility Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Pasal 74 ayat 1 Tentang Perseroan Terbatas berbunyi ”Perseroan yang menjalankan kegiatan/usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan Sumber Daya Alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan”. Tanggung jawab sosial ini mengarah pada community development. Pengembangan masyarakat (community development) adalah semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi
masyarakat
di
bidang
ekonomi,
sosial,
dan
kultural
serta
untuk
mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memberi kesempatan yang memungkinkan masyarakat tersebut membantu secara penuh pada kemajuan dan kemakmuran bangsa (Conyers, 1996 dalam Nasdian, 2003). Hakekat dari pengembangan masyarakat adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan masyarakat (terutama masyarakat miskin) agar mau dan mampu mengakses berbagai sumberdaya, permodalan, teknologi, dan pasar dengan pendekatan pendampingan, untuk meningkatkan kesejahteraannya (Lubis, dkk, 2006), Konsep dasar community development yang dilebih ditekankan dalam hal ini adalah konsep CD yang dikemukakan Susanto (2007) yaitu kesadaran bahwa terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara perusahaan dengan komunitas yang berada dalam lingkungan sekitarnya. Komunitas lokal mengharapkan perusahaan bersedia membantu mereka dalam menghadapi masalah-masalah mereka. Sebaliknya pihak perusahaan mengharapkan mereka diperlakukan secara adil dan cara pandang yang suportif. Unsur-unsur yang mendasari Community Development (CD) dari sisi perusahaan adalah pengembangan citra perusahaan (Corporate Image Development), aktivitas pengembangan komunitas (Community Development) itu sendiri, dan tentu saja terdapat unsur filantropi yang menjadi cikal bakal kegiatan CD (Susanto, 2007).
Menurut Susanto (2007) Corporate image terbentuk dari asosiasi antara perusahaan dengan sekumpulan atribut positif maupun negatif. Misalnya perusahaaan diasosiasikan dengan atribut-atribut : bermutu, layanan baik, tetapi kurang memiliki tanggung jawab sosial. Jadi sejatinya corporate image berada dalam benak stakeholders-nya. Dari sisi individu, atribut-atribut yang menonjol (salience) inilah yang menentukan apakah sebuah perusahaan dinilai mempunyai reputasi baik atau buruk. Kegiatan CD dan aktivitas filantropis akan memberi dampak berkembangnya citra perusahaan. Tetapi harus disadari citra (image) sifatnya lebih terbatas dari sisi luasnya terpaan terhadap khalayak (publics), dan dari sisi rentang waktu. Corporate image menjangkau publik yang lebih terbatas, dan dalam rentang waktu yang terbatas pula (Susanto, 2007). Reputasi merupakan akumulasi dari corporate image secara lintas kelompok antar stakeholders, maupun dalam lintas waktu (over the time). Perusahaan memiliki stakeholders seperti karyawan, pemegang saham, pelanggan, komunitas, yang biasanya dikelompokkan sebagai primary groups, dan media, pemerintah, pemasok sebagai second groups. Namun penggolongan ini tidak lah baku karena setiap perusahaan mempunyai nature of business yang berbeda dan pengelompokkannya pun berbeda (Susanto, 2007). Kelompok-kelompok stakeholders ini masing-masing memiliki image tertentu terhadap perusahaan. Kumpulan dari corporate image masing-masing kelompok dalam rentang waktu yang panjang akan membentuk reputasi perusahaan (Susanto, 2007).
Manajemen reputasi mempunyai tugas utama untuk mengelola image agar sesuai dengan yang diinginkan oleh perusahaan (wished image). Walaupun demikian manajemen reputasi harus bergerak di ”dua dunia” agar tidak timpang, yaitu dunia realitas dan dunia image. Bergerak di dunia realitas dalam arti perusahaan harus benarbenar mempunyai organizational behavior yang dapat mendukung kinerja perusahaan dan menunjang reputasi perusahaan, termasuk penerapan CSR (Susanto, 2007). Langkah-langkah manajemen reputasi dalam dunia realitas ini harus didukung oleh kegiatan corporate communication yang efektif agar persepsi konstituent tidak salah, dan terbentuk lah image dan dalam jangka panjang yang diharapkankan (Susanto, 2007). Menurut Susanto (2007), program CSR dalam arti luas sangat mendukung manajemen reputasi dan konsep mega marketing. CSR dalam arti luas berdasarkan konsep Susanto ”Leit Star” mempunyai lima kewajiban : Be Profit, Be Ethical, Be Involved, Be Obidient, dan Be Bigger. Perusahaan harus memiliki tingkat profitabilitas yang memadai. Tanpa laba yang memadai perusahaan tidak akan mampu membayar pajak, memberi imbalan yang layak kepada para karyawan, kepada para pemasok dan tidak dapat memberikan multiplier effect yang diharapkan kepada komunitasnya. Selanjutnya CSR dalam arti luas juga harus mematuhi berbagai peraturan yang berlaku, memiliki prospek pertumbuhan yang cerah di masa depan, menjunjung tinggi etika bisnis, serta terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup komunitas dan lingkungan sekitarnya (Susanto, 2007).
2.1.5. Tahap Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Pelaksanaan CSR terdapat bebrapa tahapan. Tahap pertama, perusahaan disebut economic animal yang concer-nya bersifat ekonomis dengan fokus hanya diprofit. Tahap berikutnya, perusahaan mulai social awards, tapi mungkin masih merupakan derma. Donasi-donasi untuk charity kemudian ke community affairs, yaitu pemberian strategis berlatar belakang bisnis (termasuk cause-related marketing). Tahap berikutnya adalah corporate community investment, yaitu kemitraan strategis yang diinisiasi oleh perusahaan. Perusahaan bersama masyarakat desa membuat program membersihkan kali, membuat kompos, dan menanam ikan gurame ; ada edukasi dalam program ini. Pada akhirnya perusahaan akan menjadi sustainable business integrated into business function, goals, strategy. Corporate Social Responsibility (CSR) semacam ini tetap memikirkan bottom line profit (Tim We Pe, 2005 dalam Mulyadi, 2007). Besarnya tanggung jawab sosial yang harus dipikul oleh perusahaan terhadap lingkungannya tidak berarti bahwa perusahaan kemudian berdiri sendiri. Sementara dalam community development itu sendiri erat kaitannya dengan pihak-pihak terkait yang dinamakan stakeholders. Penamaan tersebut digunakan karena program community
development
juga
menuntut
partisipasi
para
stakeholder
untuk
memaksimalkan peran mereka masing-masing, sehingga tercipta suatu sinergi yang harmonis. Menurut Erna Witoelar dalam Nursahid (2006), filantropi (kedermawanan) atau merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial dapat diartikan sebagai keikhlasan menolong dan memberikan sebagian harta, tenaga maupun pikiran secara sukarela untuk kepentingan orang lain. Sementara itu dalam konteks beroperasinya perusahaan,
Steiner dalam
Nursahid (2006) memberikan definisi tentang filantropi perusahaan
sebagai pemberian sejumlah uang, waktu, produk atau jasa untuk membantu kebutuhan atau untuk mendukung bekerjanya lembaga-lembaga untuk menuju kesejahteraan manusia yang lebih baik.
2.1.6. Hubungan Corporate Social Responsibility dengan Good Corporate Governance (GCG) Perusahaan dalam melakukan usahanya tidak hanya mempunyai kewajiban yang bersifat ekonomis dan legal, namun juga kewajiban yang bersifat etis. Etika bisnis merupakan tuntutan perilaku bagi dunia usaha untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu diperlukan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) agar perilaku para pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk. Belakangan ini, Good Corporate Governance telah menjadi istilah dan gerakan yang begitu hangat diperbincangkan. Institusi-institusi global semacam IMF,World Bank, APEC, OECD, dan ADB pun turut menjadi pematik untuk menyalakan api implementasi GCG secara konsisten di dunia usaha. Dorongan terhadap derasnya isu GCG ini disinyalir dilatar belakangi beberapa permasalahan, antara lain bermula dari krisis finansial yang terjadi di berbagai kawasan, mulai dari krisis Mexico (1995) dan krisis Thailand (1997) yang kemudian menjelma menjadi krisis finansial Asia termasuk Indonesia. Banyak pihak menilai krisis finansial ini dipandang sebagai akibat lemahnya praktek GCG. Kondisi-kondisi tersebut akhirnya merangsang isu GCG yang tadinya isu marjinal menjadi naik kelas isu sentral.
Good Corporate Governance (GCG) merupakan suatu sistem dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan korporasi. Dalam arti luas mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders dapat dipenuhi secara proporsional. Good Corporate Governance (GCG) dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi korporasi. Good Corporate Governance (GCG) juga memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera. Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF (Wibisono, 2007). 1. Transparaency (keterbukaan informasi) Dalam mewujudkan prinsip ini perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholder-nya.
2.
Accountability (akuntabilitas) Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.
3. Responsibility (pertanggungjawaban)
Bentuk pertanggungjawaban perusahan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, di antaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. 4. Independency (Kemandirian) Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. 5. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran) Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Mencermati prinsip-prinsip GCG di atas, rasanya tak sulit mencari benang merah hubungan antara GCG dengan CSR. Prinsip responsibility merupakan prinsip yang mempunyai kekerabatan paling dekat dengan CSR. Dalam prinsip ini, penekanan yang signifikan diberikan kepada stakeholders perusahaan. Melalui penerapan prinsip ini diharapkan perusahaan dapat menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya sering kali Ia menghasilkan dampak eksternal yang harus ditanggung oleh stakeholders. Karena itu, wajar bila perusahaan juga memperhatikan kepentingan dan nilai tambah bagi stakeholders-nya (Wibisono, 2007). Kesimpulan yang didapat adalah penerapan CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep GCG. Sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab
terhadap masyarakat dan lingkungannya, perusahaan memang mesti bertindak sebagai good citizen yang merupakan tuntutan dari good bussiness ethic (Wibisono, 2007).
2.1.7. Etika Bisnis Sebagai Landasan Tanggung Jawab Pieris dan Jim (2007) mengemukakan etika bisnis adalah etika untuk berbisnis secara baik dan fair dengan menegakkan hukum dan keadilan secara konsisten dan konsekuen. Etika bisnis pada hakikatnya adalah sebuah tindakan moral atau perilaku etis untuk tetap setia pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadaban. Etika bisnis menggugat sikap bisnis tanpa tanggung jawab sebelum kelalaian serta sikap tak acuh bisnis berubah menjadi malapetaka, dan pelanggaran tidak lagi menjadi pelanggaran etika semata-mata namun berubah menjadi tindakan kriminil yang dapat dipidana oleh hukum positif (Peieris dan Jim, 2007). Etika bisnis sebagai etika terapan, bertujuan memberikan dasar manusiawi kepada wadah bisnis yang terkadang terlanjur memiliki citra negatif, sebelum segalanya terlambat dan malapetaka lain timbul susul menyusul memakan korban (Pieris dan Jim, 2007). Konsep etika bisnis mencakup pengertian tentang etika perusahaan, etika kerja dan etika perorangan, yang menyangkut hubungan-hubungan sosial antara perusahaan, karyawan dan lingkungannya. Etika perusahaan menyangkut hubungan perusahaan dan karyawan sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya (misalnya dengan perusahan lain atau masyarakat setempat), etika kerja terkait antara perusahaan dengan karyawannya, dan etika perorangan mengatur hubungan antar karyawan. Kebijakan perusahaan untuk memberikan perhatian serius pada etika perusahaan akan memberikan citra bahwa manajemen mendukung perilaku etis dalam perusahaan.
Kebikan perusahaan biasanya secara formal didokumentasikan dalam bentuk Kode Etik (Code Conduct). Di tengan iklim keterbukaan dan globalisasi yang membawa keragaman budaya, kode etik memiliki peran yang semakin penting, sebagai buffer dalam interaksi intensif beragam ras, pemikiran, pendidikan dan agama (Susanto, 2007).
2.1.8. Konsep Triple Bottom Line Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness “. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice (Wibisono, 2007). Melalui buku tersebut Elkington dalam Wibisono (2007) memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P”, dimana selain mengejar profit perusahaan juga mesti memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Hubungan ini diilustrasikan dalam bentuk segitiga sebagai berikut :
Sosial (People)
Lingkungan (planet)
Ekonomi (profit
Gagasan tersebut mengemukakan bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya (Elkington dalam Wibisono, 2007). Upaya perusahaan dalam meningkatkan peran untuk peningkatan kesejahteraan social dan kelestarian lingkungan membutuhkan sinergi multi pihak yang solid, baik dari pemerintah maupun komunitas atau masyarakat. Tidak mungkin persoalan bangsa ini hanya diselesaikan oleh salah satu pihak saja. Susanto (2007) mengemukakan bahwa komunitas dan korporat diusahakan berada dalam sebuah hubungan simbiosis mutualisme. Keberadaan perusahaan diharapkan dapat memacu derak roda perekonomian, yang membawa komunitas menuju taraf hidup yang lebih tinggi. Dengan demikian harus ada keseimbangan keuntungan komunitas (community benefits) dan keuntungan bisnis (business benefits), yang dapat diperoleh dari percampuran antara filantropi murni dengan penajaan bisnis (business sponsorship Approach) yang melahirkan filantropi strategis ( strategic philanthropy). Pemerintah bertindak sebagai katalisator dalam proses ini. Program community development harus didasarkan atas koordinasi dan kesepakatan antara perusahaan sebagai penyandang dana bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan pemerintah sebagai regulator. Bentuk pengembangan masyarakat sebagai wujud dari tanggung jawab sosial perusahaan, salah satunya dapat dilakukan dengan menjalin hubungan antara perusahaan dengan masyarakat atau konsumen dalam bentuk kemitraan. Menurut Tennyson (1998) dalam Wibisono (2007) kemitraan adalah kesepakatan antar sektor dimana individu, kelompok atau organisasi sepakat
bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban atau melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama menanggung resiko maupun keuntungan dan secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama. Wibisono (2007) mengemukakan tiga prinsip penting dalam membentuk kemitraan, yaitu : 1. Kesetaraan atau Keseimbangan (equity) Pendekatannya bukan top-down atau bottom-up, bukan pula berdasar kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan saling percaya. Untuk menghindari antagonisme perlu dibangun rasa saling percaya. 2. Transparansi Transparansi diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja. 3. Saling menguntungkan Suatu kemitraan harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat. Kemitraan antara perusahaan dengan pemerintah maupun komunitas / masyarakat dapat mengarah ke tiga skenario yang dikemukakan oleh Wibisono (2007) sebagai berikut : 1. Pola Kemitraan Kontra Produktif Pola ini akan terjadi jika perusahaan masih berpijak pada pola konvensional yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders yaitu mengejar profit sebesar-besarnya. fokus perhatian perusahaan memang lebih bertumpu pada bagaimana perusahaan bisa meraup keuntungan secara maksimal, sementara
hubungan dengan pemerintah dan komunitas atau masyarakat hanya sekedar pemanis belaka. 2. Pola Kemitraan Semi Produktif Dalam skenario ini pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap sebagai obyek dan masalah di luar perusahaan. Perusahaan tidak tahu program-program pemerintah, pemerintah juga tidak memberikan iklim yang kondusif kepada dunia usaha dan masyarakat bersifat pasif. Pola kemitraan ini masih mengacu pada kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak menimbulkan sense of belonging di pihak masyarakat dan law benefit dipihak pemerintah. 3. Pola Kemitraan Produktif Pola kemitraan ini menempatkan mitra sebagai subyek dan dalam paradigma common interest. Prinsip simbiosis mutualisme sangat kental pada pola ini. Perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, pemerintah memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan masyarakat memberikan support positif kepada perusahaan. Pola ini lah yang perlu mendapat perhatian dan porsi bahasan lebih lanjut agar bisa didorong untuk bisa diimplementasikan secara lebih luas.
2.1.9. Implementasi dan Mekanisme Program Corporate Social Responsibility Wibisono (2007) mengemukakan bahwa implementasi program CSR dapat dikelola berdasarkan pola sebagai berikut : 1. Program sentralisasi
Perusahaan sebagai pelaksana / penyelenggara utama kegiatan, dimana tempat kegiatan berlangsung di areal perusahaan. Pada prakteknya, pelaksanaan kegiatan bisa bekerjasama dengan lain misalnya event organizer atau institusi lainnya sejauh memiliki kesamaan visi dan tujuan. 2. Program desentralisasi Kegiatan dilaksanakan di luar area perusahaan. Perusahaan berperan sebagai pendukung kegiatan tersebut baik dalam bentuk bantuan dana, material maupun sponsorship. 3. Program kombinasi Pola ini dapat dilakukan terutama untuk program-program pemberdayaan masyarakat, dimana inisiatif, pendanaan maupun pelaksanaan kegiatan dilakukan secara partisipatoris dengan beneficiaries.
Mekanisme pelaksanaan program atau kegiatan CSR menurut Wibisono (2007) dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Bottom Up Process Program berdasar pada permintaan beneficiaries, yang kemudian dilakukan evaluasi oleh perusahaan. 2. Top Down Process Program berdasar pada survey / pemeriksaan seksama oleh perusahaan, yang disepakati oleh beneficiaries. 3. Partisipatif 4. Program dirancang bersama antara perusahaan dan beneficiaries.
2.2. Kerangka Pemikiran Tuntutan masyarakat terhadap produk ramah lingkungan dan juga dengan adanya pasal 74 Undang-undang No 40 Tahun tentang Perseroan Terbatas, menyebabkan perusahaan-perusahaan kini menerapkan CSR dalam kegiatan bisnisnya. PT Antam Tbk UBPE Pongkor sebagai perusahaan pertambangan yang rentan terhadap isu-isu kerusakan lingkungan, telah mengimplementasikan CSR dalam kegiatan bisnisnya. Terkait dengan hal tersebut, bagaimana implementasi CSR yang dilakukan PT Antam Tbk UBPE Pongkor terhadap komunitas, dalam hal ini dilihat dari bentuk program, mekanisme program, manfaat program dan keberlanjutan program. Antara CSR PT Antam Tbk UBPE Pongkor dengan PETI itu sendiri apakah terdapat hubungan, dimana hal ini akan dilihat dari makna CSR PT Antam Tbk UBPE Pongkor bagi PETI (Gambar 1).
Tuntutan masyarakat terhadap produk ramah lingkungan Pasal 74 Undangundang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Trend perusahaan menerapkan CSR
PETI
CSR PT Antam Tbk UBPE Pongkor
Implementasi CSR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan :
: garis hubungan sebab akibat : garis hubungan keterkaitan
2.3. Hipotesa Pengarah 1. PT Antam Tbk UBPE Pongkor mengimplementasikan CSR dalam kegiatan bisnisnya, dimana CSR tersebut terfokus pada tiga bidang, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Mekanisme program tersebut beupe “bootom up”, dimana program ditentukan oleh beneficiaries dan manfaat program CSR tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat yang secara tidak langsung membantu peningkatan kualitas hidup masyarakat. Program CSR belum sustainable karena masyarakat masih tergantung pada PT Antam Tbk UBPE Pongkor.
2. Terdapat hubungan antara CSR PT Antam Tbk UBPE Pongkor dengan PETI, dimana PETI yang juga merupakan masyarakat penerima CSR PT Antam Tbk UBPE Pongkor diasumsikan tidak menjadi PTI lagi setelah menerima program CSR PT Antam Tbk UBPE Pongkor.