Modal Sosial dan CSR (Corporate Social Responsibility)

Modal Sosial dan CSR (Corporate Social Responsibility) Aziz Fasya [email protected]

Himpunan Mahasiswa Sosiologi

Abstrak Studi ini membahas pengaruh modal sosial terhadap implementasi CSR Ternak Mandiri PT Badak NGL, Bontang-Kalimantan Timur. Studi mengenai modal sosial dan CSR cukup jarang dilakukan oleh peneliti terdahulu. Umumnya studi terdahulu meletakkan CSR sebagai instrumen pembentukan modal sosial antara perusahaan dan komunitas lokal. Dalam penelitian ini modal sosial digunakan sebagai instrumen untuk melihat keberhasilan CSR perusahaan, yaitu CSR Ternak Mandiri PT Badak NGL. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain deskriptif. Adapun responden di dalam penelitian ini berjumlah 32 orang, yaitu semua anggota kelompok ternak mandiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial memiliki pengaruh terhadap implementasi CSR Ternak Mandiri; semakin tinggi modal sosial maka semakin tinggi tingkat keberhasilan implementasi CSR Ternak Mandiri; terdapat hubungan yang lemah antara modal sosial dan implementasi CSR Ternak Mandiri. Hubungan yang lemah antara modal sosial dan implementasi CSR ternak mandiri dikarenakan 3 (tiga) aspek, yaitu jarak tempat tinggal antar anggota kelompok ternak, distribusi informasi antar anggota yang tidak menyebar dan distribusi sapi yang tidak merata. Kata kunci: CSR, modal sosial, implementasi CSR

Abstract This study discussed about the effects of social capital and the CSR implementation in PT Badak NGL‟s Ternak Mandiri program, Bontang-East Borneo. The social capital and CSR implementation studies are still rarely. Previous studies generally put CSR as an instrument of social capital between companies and local communities. In this study, social capital is used as an instrument to look at the success of the company‟s CSR, PT Badak NGL‟s ternak mandiri program. The research method is quantitative method with descriptive design. The respondents in this study are 32 people, that is all members of ternak mandiri program. The result of this research shows that social capital has a relationship with the implementation of CSR Ternak Mandiri; the higher the social capital, the higher the success rate of implementation of CSR; There is a low relationship between social capital and CSR implementation of Ternak Mandiri. The low relationship between social capital and CSR implementation of ternak mandiri is caused by 3 (three) aspects, the distance between the members of ternak mandiri programs‟ home, the unspreading of information between members and uneven of the distribution of cattle. Keywords: CSR, social capital, CSR implementation

Pendahuluan

Modal sosial..., Azis Fasya, FISIP UI, 2013

Industri ekstraktif tak pernah luput dari konflik antara perusahaan dengan komunitas lokal. Salah satu contoh konflik antara perusahaan dengan komunitas lokal adalah konflik PT Freeport Mc Moran Indonesia yang merupakan perusahaan tambang asing yang telah 44 tahun melakukan aktifitas tambang di tanah Papua, Indonesia. Salah satu faktor pemicu konflik antara perusahaan dengan komunitas lokal adalah komunitas lokal tidak dapat menikmati kekayaan alam melalui aktifitas produksi PT Freeport. Padahal keuntungan bersih yang didapatkan PT Freeport mencapai Rp. 3.000 triliun (www.rakyatmerdekaonline.com, November 2011). Tak heran jika pemberitaan mengenai konflik PT Freeport sering dimuat di berbagai media, seperti konflik yang terjadi pada tahun 2011 yang lalu dimana seorang karyawan PT Freeport peserta aksi, Piter Ayami Seba, tertembak aparat keamanan dan meninggal. Beberapa orang lainnya, baik dari pihak karyawan maupun aparat, mengalami luka-luka. Massa yang marah, akhirnya membakar tiga mobil kontainer milik perusahaan dan memblokir ruas jalan Mil 28 (www.intelejen.co.id, 18 Oktober 2011). Dalam hal ini, konflik yang diperbincangkan oleh Marx tidak sama dengan konflik yang terjadi pada tataran korporasi dengan komunitas. Konflik antara korporasi dengan komunitas berbeda. Konflik korporasi dengan komunitas merupakan konflik antara kelompok sosial dengan institusi produksi, sehingga tujuan konflik bukan menghancurkan, melainkan memperoleh manfaat atau pemenuhan kebutuhan atau kepentingan masing-masing (Prayogo, Dody, 2004). Dengan kata lain, konflik merupakan salah satu media bagi komunitas untuk dapat menyampaikan keinginan dan kepentingan mereka kepada korporasi yang mengeksploitasi sumber daya di sekitar mereka agar mereka sebagai warga lokal juga mendapatkan keuntungan dan manfaat dari hasil eksploitasi yang dilakukan oleh korporasi. Untuk meminimalisir konflik antara perusahaan dengan komunitas lokal, maka konsep Corporate Social Responsibility mulai diperbincangkan. Corporate Social Responsibility (selanjutnya disebut CSR) merupakan kewajiban korporasi untuk turut menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat, sekaligus secara bersamaan membangun relasi saling mendukung antara korporasi dengan masyarakat di sekitarnya (Dennis, 2007; Freeman, 2005; Bartkus, 2002; Kotler, 2005, Saiia, 2003, dalam Prayogo, Dody, 2011). Dikarenakan CSR penting bagi perusahaan, maka muncul ISO26000 sebagai panduan CSR internasional bagi perusahaan dan UU No. 40 Pasal 74 Tahun 2007 yang merupakan kebijakan nasional bagi perusahaan dalam melakukan kegiatan industri. Melihat definisi konflik korporasi-komunitas dan beberapa bentuk konflik korporasi-komunitas yang tejadi pada PT Freeport Indonesia, maka menjadi suatu hal yang penting dalam membicarakan modal sosial yang terjadi antara perusahaan dengan komunitas lokal. Dalam melihat relasi antara Modal sosial..., Azis Fasya, FISIP UI, 2013

perusahaan dan dengan komunitas lokal, John Elkington menjelaskan bahwa harus terdapat triple bottom lines atau relasi yang dinamis antara negara, korporasi dan masyarakat. Triple bottom lines tidak dapat berdiri jika korporasi tidak membangun relasi terlebih dahulu dengan stakeholder yang ada di sekitarnya. Membangun relasi sosial dengan stakeholder yang ada di sekitar korporasi merupakan cara untuk mendapat social legitimacy dan menciptakan modal sosial yang kuat antara korporasi dengan stakeholder di sekitarnya, salah satunya adalah masyarakat. negara

perusahaan

komunitas lokal

Keberhasilan program CSR perusahaan dapat dilihat dengan adanya modal sosial yang baik yang dibangun oleh perusahaan dengan komunitas sekitar, dengan cara melibatkan mereka ke dalam setiap bagian perencanaan dan pengambilan keputusan program. Hal serupa juga diungkapkan oleh Praktisi & Akademisi CSR & Social Entrepreneurship, Dr. Maria R Nindita menyatakan, yang mengatakan banyak perusahaan yang akan melaksanakan program CSR, tanpa ada kerjasama dengan elemen

masyarakat

lainnya,

maka

kemungkinan

bahwa

program

tersebut

akan

gagal

(www.tribunnews.com, 21 Februari 2012). Peneliti melakukan studi pustaka terhadap tulisan-tulisan terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu umumnya banyak melakukan studi evaluasi CSR perusahaan saja. Studi evaluasi CSR dilakukan guna untuk mengetahui sejauh mana efektivitas program CSR yang dilakukan oleh perusahaan terhadap komunitas lokal yang ada disekitarnya. Adapun penelitian mengenai modal sosial terkait dengan CSR cukup jarang dilakukan, bahkan peneliti hanya menemukan 1 (satu) studi saja. Penelitian modal sosial tersebut hanya melihat CSR PT Newmont sebagai media pembentuk modal sosial. Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk melihat apakah modal sosial memiliki pengaruh terhadap keberhasilan implementasi CSR dan selanjutnya ingin melihat bagaimana pola hubungan modal sosial dengan implementasi CSR. Menurut Putnam (1993), modal sosial merupakan gambaran organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling


menguntungkan. Dalam menjalankan CSR, tentu penting melihat melihat modal sosial yang terjalin antara perusahaan dengan komunitas lokal, yaitu dengan meilhat nilai-nilai kepercayaan (trust), jaringan sosial (social networking), norma sosial (social norms), dan nilai-nilai sosial (social values). Modal sosial adalah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul ada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan. (Bourdieu dan Wacquant, 1992, dalam John Field, 2010) Modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan abadi di tengah-tengah masyarakat atau pada bagian tertentu dari masyarakat tersebut (Fukuyama, 2002) Dari beberapa definisi mengenai modal sosial yang telah dikemukakan oleh para ahli, modal sosial merupakan elemen yang cukup penting bagi masyarakat, dan menurut peneliti menjadi hal yang penting bagi korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Bisnis industri ekstraktif, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh banyak media, merupakan salah satu industri yang cukup rentan terhadap kemungkinan konflik, karena industri ekstraktif memanfaatkan dan mengeksploitasi hasil alam yang ada di sekitar masyarakat. Oleh karenanya, penting bagi kalangan akademisi untuk melihat bagaimana pola hubungan modal sosial komunitas lokal dengan implementasi CSR perusahaan.

Tinjauan Teoritis CSR (Corporate Social Responsibility) Sebuah perusahaan yang beroperasi di dalam suatu wilayah memiliki dua tanggung jawab, yaitu tanggung jawab terhadap komunitas masyarakat sekitar dan juga tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar tempat perusahaan beroperasi. Secara historikal, hadirnya perusahaan di tengahtengah komunitas masyarakat tidak menghasilkan impact terhadap masyarakat sekitar. Bahkan masyarakat merasa dirugikan dengan kehadiran perusahaan di tengah-tengah mereka, karena selain mereka tidak mendapatkan keuntungan dari perusahaan lingkungan tempat tinggal mereka juga mengalami kerusakan, sehingga kondisi tersebut sering mengundang konflik yang berkepanjangan antar perusahaan dengan komunitas masyarakat sekitar. Konflik tersebut menjadikan masyarakat


sekitar berada di dalam keadaan sosial yang timpang (inequality), tidak adil (injustice) dan selalu dihadapi oleh permasalahan sosial (social problems) lainnya. Corporate Social Responsibility (selanjutnya disebut CSR) merupakan kewajiban korporasi untuk turut menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat, sekaligus secara bersamaan membangun relasi saling mendukung antara korporasi dengan masyarakat di sekitarnya (Dennis, 2007; Freeman, 2005; Bartkus, 2002; Kotler, 2005, Saiia, 2003, dalam Prayogo, Dody, 2011). Dari beberapa pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan sebuah komitmen bagi perusahaan yang beroperasi di sekitar masyarakat untuk dapat memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat, yaitu dengan cara salah satunya adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat, dan juga membangun relasi korporas-komunitas lokal yang harmonis, yaitu relasi yang saling mendukung agar konflik perusahaan dengan komunitas lokal dapat berkurang. Modal Sosial Modal sosial merupakan teori yang telah lama diperbincangkan oleh sosiolog. Teori modal sosial pertama kali diperkenalkan oleh Putnam pada tahun 1985 sewaktu meneliti Italia Utara. Masyarakat Italia Utara memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi karena tiap individu punya minat besar untuk terlibat dalam masalah publik. Menurut Putnam (Putnam, 1993, dalam Field, Jhon, 2010), modal sosial adalah kemampuan warga untuk mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Iklim demokratis tersebut terbentuk ketika terdapat nilai trust atau kepercayaan antara anggota masyarakat dengan pemimpinnya. Secara sederhana, Putnam menjelaskan modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Teori modal sosial cukup banyak didefinisikan oleh para ahli, namun teori modal sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori modal sosial yang didefinisikan oleh Uphoff. Modal sosial adalah adalah akumulasi dari berbagai tipe sosial (hubungan sosial, norma, kepercayaan, solidaritas, dan kerjasama) yang meningkatkan jumlah (atau probabilitas) dari perilaku kerjasama yang saling menguntungkan (Uphoff, 2000). Komponen-komponen modal sosial menurut Uphoff (2000) tersebut diantaranya:


1. Hubungan sosial (jaringan): merupakan pola-pola hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non materi. Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan dan berbasis pada kebutuhan. 2. Norma: kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang diyakini dan disetujui bersama. 3. Kepercayaan: komponen ini menunjukkan norma tentang hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk menjadi seseorang yang layak dipercaya. Pada bentuk ini juga dikembangkan keyakinan bahwa anggota lain akan memiliki keinginan untuk bertindak sama. 4. Solidaritas: terdapat norma-norma untuk menolong orang lain, bersama-sama, menutupi biaya bersama untuk keuntungan kelompok. Sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan terhadap kelompok dan keyakinan bahwa anggota lain akan melaksanakannya. 5. Kerjasama: terdapat norma-norma untuk bekerjasama bukan bekerja sendiri. Sikap-sikap kooperatif, keinginan untuk membaktikan diri, akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kemaslahatan bersama, keyakinan bahwa kerjasama akan menguntungkan. Implementasi CSR Secara keseluruhan penilaian terhadap keberhasilan program dapat beragam, dan oleh sebab itu penetapan indikator keberhasilan program sangat menentukan apakah indikatornya ditekankan kepada kepentingan korporasi, masyarakat penerima atau pemerintah. Selain itu, dalam melakukan penilaian terhadap implementasi CSR, perlu dibatasi pada tingkatan mana penilaian dilakukan, apakah pada tingkat input, output, outcome atau impact program (Prayogo, Dody, 2011). 1. Penilaian pada tingkat input lebih mudah dilakukan karena hanya melihat tercapai-tidaknya input program seperti dana dan logistik, serta proses penyelenggaraan kegiatan CSR dan Comdev. 2. Pada tingkat output penilaian menjadi lebih kompleks karena sangat tergantung pada bagaimana sasaran yang hendak dicapai program, apakah sejalan dan dapat diwujudkan. 3. Pada tingkat outcome penilaian program bermakna lebih komprehensif karena menunjukkan bagaimana capaian program secara keseluruhan disejajarkan dengan tujuan yang hendak dicapai.


4. Pada tingkat impact penilaian terhadap keberhasilan program dapat dilihat dari sejauh mana dampak positif program dapat dirasakan, baik oleh korporasi, masyarakat maupun pemerintah. Metode Penelitian Penelitian adalah suatu cara untuk menemukan jawaban atas pertanyaan. Menurut Neuman, penelitian sosial adalah kumpulan metode dan metodologi yang digunakan oleh peneliti secara sistematis untuk memproduksi pengetahuan ilmiah mengenai dunia sosial (Neuman, 2006). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain eksplanatif. Penelitian eksplanatif merupakan bentuk penelitian yang menjelaskan gambaran spesifik dari situasi, konteks sosial dan hubungan variabel (Neuman, 2006). Penelitian ini hanya menggunakan 2 variabel penelitian, modal sosial (sebagai variabel independen) dan implementasi CSR (sebagai variabel dependen). Penelitian ini termasuk pada penelitian cross-sectional, karena peneliti mengamati atau menyelidiki informasi suatu kasus pada suatu titik waktu tertentu. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Teknik survei digunakan dalam pengumpulan data primer dengan cara menanyakan responden menggunakan kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur berupa buku-buku, skripsi, jurnal penelitian, data statistik, dan artikel dari internet yang relevan dengan modal sosial dan implementasi CSR perusahaan. Adapun responden di dalam penelitian ini adalah semua orang yang bergabung ke dalam kelompok ternak mandiri1, yaitu sebanyak 32 orang. Tempat tinggal peternak meliputi dua daerah yang berbeda, yaitu Desa Sukarahmat, Kutai Timur, dan Desa Lhoktuan, Kota Bontang. Jadi dapat dikatakan bahwa semua anggota populasi dijadikan sampel. Sampel seperti ini dapat dikatakan sampel jenuh/sensus. Sampel jenuh/sensus adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi dijadikan sampel (Sugiyono, 2010). Temuan Data Didalam bagian ini akan dideskripsikan mengenai informasi responden berupa usia, jenis kelamin, etnis, agama, pendidikan formal terakhir, status pernikahan, pekerjaan utama responden, penghasilan pekerjaan utama, pekerjaan sampingan responden, penghasilan pekerjaan sampingan, tempat tinggal, dan alamat responden. 1

Kelompok ternak binaan PT Badak NGL yang merupakan salah satu bentuk CSR unggulan PT Badak NGL BontangKaltim.


Tabel 1. Karakteristik Responden (n:32) No

Karakteristik

Frekuensi

%

1. < 45 tahun

21

65,6%

2. > 45 tahun

11

34,4%

32

100%

32

100%

32

100%

1. Tidak tamat SD

5

15.6%

2. Tamat SD/sederajat

23

71.9%

3. Tamat SLTP/sederajat

2

6.2%

4. Tamat SLTA/sederajat

1

3.1%

5. Tamat D3/Perguruan

0

0%

1

3.1%

1. Menikah

31

96.9%

2. Pernah menikah

1

3.1%

1. Tidak

1

3.1%

2. Ya

31

96.9%

1. Petani

22

68.8%

2. Pedagang

1

3.1%

3. Tukang

9

28.1%

1. < Rp. 1.500.000

20

62.5%

2. Rp. 1.500.001 – Rp.

5

15.6%

Usia 1

2

3

4

Jenis kelamin: 1. Laki-laki Etnis: 1. Jawa Agama: 1. Islam Pendidikan formal terakhir

5

Tinggi

Status pernikahan 6

Responden memiliki pekerjaan 7

utama

Jenis pekerjaan utama: 8

Penghasilan perbulan 9

pekerjaan utama:


1.200.000 3. > Rp. 1.200.000

7

21.8%

32

100%

32

100%

1. < Rp.9.000.000,-

13

40.6%

2. Rp. 10.000.000,- - Rp.

10

31.3%

9

28.1%

1. Rumah orang tua

0

0%

2. Rumah saudara

2

6.2%

3. Rumah pribadi

30

93.8

1

3.1%

6

28.1%

14

43.8%

5

15.6%

2

6.2%

1

3.1%

Responden memiliki pekerjaan 10

sampingan: 1. Ya

11

Jenis pekerjaan sampingan: 1. Peternak Penghasilan pertahun pekerjaan sampingan:

12

15.000.000,3. > Rp. 15.000.000,Tempat tinggal saat ini: 13

Alamat: 1. Rt04, dusun api-api, desa sukarahmat 2. Rt06, dusun api-api, desa sukarahmat 3. Rt07, dusun api-api, 14

desa sukarahmat 4. Rt20, kel. Belimbing, lhoktuan 5. Rt21, jl. Pipa, kel. Belimbing, lhoktuan 6. Rt22, jl. Slamet Riyadi, lhoktuan

Dari tabel 1 terlihat bahwa semua responden berjenis kelamin laki-laki (100%) dengan distribusi umur yang berbeda-beda, yaitu < 45 tahun berjumlah 21 orang (65.6%) dan > 45 tahun berjumlah 11 orang (34.4%). Semua responden berasal dari etnis yang sama, yaitu etnis Jawa (100%),


karena lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan salah satu daerah multi-etnis di Indonesia. Sedangkan agama mayoritas yang dipeluk oleh responden adalah agama Islam (100%). Tempat tinggal responden yang diteliti mencakup 2 desa, desa Sukarahmat yang berada di Kabupaten Kutai Timur dan desa Lhoktuan yang berada di Kota Bontang. Mayoritas responden berasal dari desa Sukarahmat yaitu dengan persentase sebesar 75%. Hal ini dikarenakan desa Sukarahmat merupakan daerah yang paling cocok untuk kegiatan ternak, karena masih banyaknya lahan yang tersedia. Sedangkan responden di desa Lhoktuan, Kota Bontang, hanya 25% saja, karena lahan kota sudah tidak tersedia untuk kegiatan ternak. ”kita ternak sapi, taro dimana lokasinya, gak cocok di Bontang gak ada lahan, padahal ada disana sudah dearah Bontang itu. yaoke kita akan lihat. Pertama kita akan lihat orangnya dulu kemudian lahan. Orang tuh penting ya, kita punya pengalaman dalam hal penyaluran dana, kalau orangnya itu gak ada semangat, tujuan, ya duit yang dikasih hilang . tapi kelihatannya orangnya jujur-jujur, lokasinya cocok makanya kita putuskan disini” (Informan PB, 14/03/2013, 15.27) Data mengenai jenis pendidikan terakhir responden, mayoritas responden hanya menduduki bangku Sekolah Dasar (SD), yaitu sebanyak 71.9%. Sedangkan jenis pendidikan terakhir lainnya adalah sebanyak 15.6% responden tidak tamat Sekolah Dasar (SD), sebanyak 6.2% responden tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan hanya 3.1% responden yang tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. (SLTA). Mayoritas responden memiliki pekerjaan utama dengan persentase 96.9%. Perlu diketahui bahwa responden yang diteliti tidak berasal dari satu daerah yang sama, oleh karena itu jenis pekerjaan utama yang dimiliki oleh responden juga berbeda-beda. Responden yang berasal dari desa Sukarahmat, Kutai Timur, mayoritas responden bekerja sebagai petani yaitu dengan persentase sebesar 68.68%. Hal ini dikarenakan masih sangat banyaknya lahan kosong yang dapat dijadikan sebagai lahan untuk berkebun dan bertani. Sedangkan responden yang berasal dari desa Lhoktuan, Kota Bontang, mayoritas responden bekerja sebagai tukang/buruh bangunan yaitu dengan persentase sebesar 28.1%. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan kosong kota dan pesatnya pembangunan infrastruktur Kota Bontang. Penghasilan yang didapatkan responden dari pekerjaan utamanya sangat variatif. Oleh karena itu, peneliti membagi jumlah penghasilan yang didapatkan responden dari pekerjaan utama menjadi 3 kategori, yaitu 1) < Rp. 1.500.000 2) Rp. 1.500.001 – Rp. 1.200.000 dan 3) > Rp. 1.200.000. responden


dengan kategori 1 merupakan kelompok mayoritas, yaitu dengan persentase 62.5%. Selanjutnya dilanjutkan dengan kategori 3 dengan persentase 21.8% dan kategori 2 sebesar 15.6%. Tidak meratanya penghasilan pekerjaan utama dikarenakan jenis pekerjaan responden yang berbeda-beda. Responden dengan jenis pekerjaan petani umumnya mendapatkan penghasilan Rp. 800.000 – Rp. 1.500.000, sedangkan responden dengan jenis pekerjaan tukang/buruh bangunan mendapatkan penghasilan Rp. 1.500.000 – Rp. 2.100.000. Mayoritas responden, dengan persentase 100%, setuju bahwa mereka mempunyai pekerjaan sampingan, yaitu sebagai peternak yang merupakan program CSR perusahaan dalam pemberdayaan masyarakat sekitar. Penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan sampingan sebagai peternak juga variatif, sehingga peneliti membagi jumlah penghasilan menjadi 3 kategori, yaitu 1) < Rp.9.000.000, 2) Rp. 10.000.000 – Rp. 15.000.000, 3) > Rp. 15.000.000. Pembahasan Selanjutnya sub-bab ini ingin melihat hubungan antara modal sosial (hubungan sosial, norma, kepercayaan, solidaritas, dan kerjasama) dan implementasi CSR (input, output, outcome, dan impact). Analisa ini dilakukan untuk melihat apakah modal sosial memiliki pengaruh terhadap tingkat keberhasilan implementasi CSR, yaitu ternak mandiri. Sebelum masuk pada penjelasan uji tabel silang atau cross tab, peneliti akan memaparkan sedikit mengenai proses uji tabel silang atau cross tab. Peneliti melakukan proses compute pada variabel modal sosial terlebih dahulu, yaitu dengan menyatukan ke-5 (lima) dimensi, hubungan sosial, norma, kepercayaan, solidaritas, dan kerjasama, yang terdapat di dalam modal sosial menjadi 1 (satu) variabel, yaitu variabel modal sosial. Lalu peneliti melakukan proses recode pada variabel modal sosial, yaitu dengan membuat 2 (dua) kategorisasi jawaban tinggi dan rendah dengan menggunakan median atau nilai tengah sebagai pembagi kategorisasi tinggi dan rendah. Hal yang sama pun dilakukan peneliti pada variabel implementasi CSR. Peneliti melakukan proses compute terlebih dahulu, yaitu dengan menyatukan ke-4 (empat) dimensi, yaitu input, output, outcome, dan impact, di dalam implementasi CSR menjadi 1 (satu) variabel, yaitu variabel implementasi CSR. Lalu peneliti melakukan proses recode pada variabel implementasi CSR, yaitu dengan membuat 2 (dua) kategorisasi jawaban tinggi dan rendah dengan menggunakan median atau nilai tengah sebagai pembagi kategorisasi tinggi dan rendah. Setelah melakukan proses compute-recode terhadap variabel modal sosial dan implementasi CSR, peneliti melakukan uji tabel silang atau cross tab terhadap kedua variabel tersebut (lihat tabel 5.3). Modal sosial..., Azis Fasya, FISIP UI, 2013

Tabel 2. Implementasi CSR berdasarkan Modal Sosial Implementasi CSR

Tinggi Modal Sosial Rendah

Total

Rendah 61,% (11) 35,7% (5) 50% (16)

Tinggi 38,9% (7) 64,3% (9) 50% (16)

Total 100% (18) 100% (14) N=32

Berdasarkan hasil tabel silang atau cross tab pada tabel 5.3 terlihat bahwa semakin tinggi modal sosial anggota kelompok ternak mandiri maka kecenderungannya semakin tinggi pula tingkat keberhasilan implementasi CSR ternak mandiri. Begitu pun sebaliknya, semakin rendah modal sosial anggota kelompok ternak mandiri, maka kecenderungannya semakin rendah pula tingkat keberhasilan implementasi CSR ternak mandiri. Dari hasil tabel silang menunjukkan bahwa terdapat hubungan statistik yang positif antara modal sosial dan tingkat keberhasilan implementasi CSR. Hal ini didukung oleh Tesis Fatwa Maulana yang mengatakan bahwa modal sosial dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang aman dan dinamis untuk pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Pemanfaatan modal sosial dalam pembangunan masyarakat dilakukan dengan cara mensinergiskan modal sosial masyarakat penerima program dengan program pembangunan tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh analisa univariat yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pada modal sosial dan implementasi CSR. Modal sosial yang rendah terkait antara kelompok ternak mandiri dengan PT Badak NGL dikarenakan adanya kecurangan pada saat pembagian sapi. Umumnya orang-orang yang tinggal dekat dengan tempat tinggal ketua kelompok mendapatkan sapi terlebih dahulu, dan seandainya sapi yang didapatkan berdasarkan nomor undian kecil, mereka tidak akan mengambil sapi tersebut. Sebagaimana terdapat pada kutipan wawancara sebagai berikut, Biasanya orang-orang yang di deket Juwono itu dapat in duluan kapan datang sapinya. Jadi mereka udah wanti-wanti sapi mana yang mau diambil. Kalo pas diundi ga dapat dengan yang diinginkan mereka ga ngambil. Yang ngambil justru orang-orang yang ga Modal sosial..., Azis Fasya, FISIP UI, 2013

tinggal deket sama juwono. Kaya pak ... yang dapat sapi kecil. Harga jualnya kalo begitu murah mas, 8 jutaan lah. (Informan PD, 11/03/2013, 19.24) Peneliti menggunakan uji statistik Sommers d untuk melihat pola hubungan antara modal sosial dan implementasi CSR. Di dalam penelitian ini ditentukan nilai α sebesar 0,05. Hasil uji statistik Sommers d menunjukkan bahwa kedua variabel, modal sosial dan implementasi CSR, memiliki hubungan yang positif. Namun kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut bersifat lemah, yakni dengan nilai kekuataan hubungan sebesar 0,254, yang tergolong ke dalam kategori lemah. Penting untuk melihat pola hubungan yang rendah antara modal sosial dan implementasi CSR. Berdasarkan temuan peneliti, rendahnya modal sosial dan implementasi CSR ternak mandiri disebabkan oleh beberapa faktor, 1) tempat tinggal, 2) distribusi informasi yang tidak menyebar, dan 3) distribusi sapi yang tidak adil. Pertama, temuan data menunjukkan bahwa tempat tinggal memiliki pengaruh terhadap rendahnya modal sosial kelompok ternak. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab 4 mengenai karakteristik responden, tempat tinggal responden adalah tersebar pada dua daerah, yaitu Kelurahan Lok Tuan di Kota Bontang dan Desa Sukarahmat di Kabupaten Kutai Timur. Pada kelurahan Lok Tuan RT 20, RT 21 dan RT 22 merupakan tempat tinggal peternak di Kota Bontang. Pada Desa Sukarahmat RT 04, RT 06 dan RT 07 merupakan tempat tinggal peternak di Desa Sukarahmat. Selanjutnya temuan berdasarkan tempat tinggal ternyata memiliki pengaruh terhadap faktor kedua, yaitu distribusi informasi yang tidak menyebar kepada setiap anggota ternak. Informasi merupakan salah satu elemen yang paling penting di dalam modal sosial sebagaimana yang dijelaskan oleh Putnam, bahwa dalam membentuk kepercayaan antar individu maupun kelompok dibutuhkan informasi yang timbal-balik antar keduanya. Maksudnya adalah setiap individu di dalam sebuah kelompok berhak mendapatkan informasi apapun yang terkait dengan peran dan tujuan kelompok tersebut. Namun yang terjadi pada kelompok ternak mandiri adalah tidak menyebarnya informasi kepada setiap anggota kelompok, sehingga muncul sikap distrust atau rendahnya kepercayaan antar anggota yang berpengaruh kepada rendahnya modal sosial kelompok ternak. Sebagai contoh adalah berdasarkan hasil observasi peneliti yang dilakukan pada saat peneliti melakukan PKL (Praktik Kerja Lapangan) di PT Badak, pada saat ramadhan peneliti bersama pengelola program melakukan safari ramadhan atau kunjungan pada kelompok ternak dan juga melakukan diskusi mengenai proses beternak kelompok. Dalam kunjungan tersebut peternak yang hadir hanya berjumlah 11 orang, dan ke11 orang tersebut merupakan peternak yang bertempat tinggal di RT 07 atau dekat dengan tempat tinggal ketua kelompok, bahkan ke 11 peternak yang hadir tersebut turut membawa anak istri untuk bersama menyantap menu berbuka yang telah disediakan oleh perusahaan. Menarik untuk dilihat lebih


jauh adalah bahwa pihak pengelola program tidak menyinggung atau menanyakan kepada peternak yang hadir mengapa anggota ternak yang lain tidak hadir pada saat pertemuan. Seharusnya sebagai pihak pengelola program perusahaan memiliki rasa sensitifitas terhadap anggota kelompok dan juga melakukan monitoring terhadap kegiatan yang dilakukan oleh anggota kelompok ternak. Distribusi informasi yang tidak menyebar juga memiliki pengaruh terhadap faktor yang ketiga, yaitu distribusi sapi yang tidak merata. Distribusi sapi yang tidak merata dikarenakan terdapat kelompok eksklusif di dalam kelompok ternak. Kelompok eksklusif yang dimaksud adalah anggota kelompok yang tinggal berdekatan dengan ketua kelompok. Anggota kelompok yang termasuk di dalam kelompok eksklusif memiliki peran yang cukup dominan dalam distribusi informasi dan distribusi sapi. Sebelum sapi didistribusikan kepada semua anggota kelompok, sapi-sapi tersebut ‟dititipkan‟ terlebih dahulu kepada ketua kelompok. Pada saat sapi tersebut ‟dititipkan‟ kepada ketua kelompok, seharusnya ketua kelompok memberikan informasi kepada semua peternak bahwa sapi telah tiba dan telah berada di lokasi, namun yang terjadi adalah distribusi informasi tersebut lebih dahulu disebarkan ketua kelompok kepada peternak yang bertempat tinggal dekat dengannya dengan kata lain informasi terlebih dahulu disebarkan kepada kelompok eksklusif tersebut. Kelompok eksklusif yang bertempat tinggal dekat dengan ketua kelompok umumnya sudah mewanti-wanti dia menginginkan sapi yang mana, sehingga meskipun terdapat mekanisme pengundian pengambilan sapi peternak tersebut tidak akan mengambil sapi undian yang tidak baik kualitasnya. Sapi undian yang tidak baik kualitasnya umumnya akan diambil oleh peternak yang tinggal justru jauh dari tempat tinggal ketua kelompok, atau di luar RT0 7. Sapi undian yang tidak baik kualitasnya mendapatkan harga jual yang rendah. Sebagaimana yang terdapat pada kutipan wawancara sebagai berikut, ”Biasanya orang-orang yang di deket Juwono itu dapat in duluan kapan datang sapinya. Jadi mereka udah wanti-wanti sapi mana yang mau diambil. Kalo pas diundi ga dapat dengan yang diinginkan mereka ga ngambil. Yang ngambil justru orang-orang yang ga tinggal deket sama juwono. Kaya pak... yang dapat sapi kecil. Harga jualnya kalo begitu murah mas, 8 jutaan lah” (Informan PD, 11/03/2013, 19.24) Beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya modal sosial dapat digambarkan pada gambaIndikasi di atas mengenai distribusi informasi dan distribusi sapi yang tidak adil dapat digambarkan pada gambar 1. di dalam gambar tersebut terlihat bahwa orang-orang yang bertempat tinggal dekat di RT 07 atau dekat dengan tempat tinggal ketua kelompok akan mendapatkan distribusi informasi yang lebih cepat, dan mereka cenderung memiliki power terhadap pemilihan sapi pada saat pendistribusian sapi. Sebaliknya, mereka yang tinggal jauh dari tempat tinggal ketua kelompok terlambat mendapatkan informasi apapun yang berkaitan dengan kelomok ternak. Dengan kata lain Modal sosial..., Azis Fasya, FISIP UI, 2013

logikanya adalah semakin peternak bertempat tinggal dekat dengan tempat tinggal ketua kelompok, maka semakin mudah ia mendapatkan informasi dan memiliki power di dalam kelompok. Sebaliknya, semakin jauh tempat tinggal peternak dengan ketua kelompok, maka semakin susah ia mendapatkan informasi dan tidak memiliki power di dalam kelompok. Gambar 1. Ilustrasi distribusi informasi pada kelompok ternak Tempat tinggal anggota kelompok di luar RT 07, yaitu RT 04, RT 06 (Sukarahmat), dan Kelurahan Lok Tuan

R

Tempat tinggal anggota kelomok di RT 07

Tempat tinggal ketua kelompok di RT 07

Penjabaran pada gambar 1. diatas menjelaskan bahwa terdapat anggota kelompok ternak yang terekslusi di dalam kelompoknya, yaitu dengan indikasi distribusi informasi dan distribusi sapi yang tidak merata. Anggota kelompok yang terekslusi inilah yang menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya modal sosial dan implementasi CSR ternak mandiri. Anggota kelompok yang tereksklusi merupakan anggota yang kurang berdaya, karena mereka tidak memiliki power di dalam kelompok. Berdasarkan dari apa yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya hingga penjelasan bab 5 di atas, dapat dimaknai bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Uphoff (2000) menjelaskan bahwa modal sosial merupakan salah satu elemen yang dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antar kedua aktor. Hubungan yang saling menguntungkan antar kedua aktor tersebut didapatkan melalui penelitian yang dilakukannya dengan disponsori USAID (United States Agency for International Development) di Sri Lanka. USAID merupakan salah satu lembaga Amerika yang memberikan program pembangunan di Sri Lanka. Adapun keberhasilan program tersebut salah satunya diukur melalui variabel modal sosial yang telah dimodifikasi oleh Uphoff. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa modal sosial mendukung program pembangunan yang dilakukan oleh USAID. Namun yang perlu digarisbawahi adalah Uphoff tidak melihat tataran modal sosial secara mikro. Modal sosial model Uphoff hanya melihat keberhasilan program pada tataran makro.


2. Selanjutnya modal sosial model Uphoff memiliki „kekaburan‟ definisi antar tiap dimensi yang ada di dalamnya. Berikut akan dipaparkan definisi tiap-tiap dimensi modal sosial model Uphoff, 1) Hubungan sosial (jaringan): merupakan pola-pola hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non materi. Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan dan berbasis pada kebutuhan. Komponen ini termasuk pada kategori structural, 2) Norma: kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang diyakini dan disetujui bersama, 3) Kepercayaan: komponen ini menunjukkan norma tentang hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk menjadi seseorang yang layak dipercaya. Pada bentuk ini juga dikembangkan keyakinan bahwa anggota lain akan memiliki keinginan untuk bertindak sama. 4) Solidaritas: terdapat norma-norma untuk menolong orang lain, bersama-sama, menutupi biaya bersama untuk keuntungan kelompok. Sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan terhadap kelompok dan keyakinan bahwa anggota lain akan melaksanakannya. 5) Kerjasama: terdapat norma-norma untuk bekerjasama bukan bekerja sendiri. Sikap-sikap kooperatif, keinginan untuk membaktikan diri, akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kemaslahatan bersama, keyakinan bahwa kerjasama akan menguntungkan. Bila dilihat definisi dari dimensi kepercayaan, solidaritas dan kerjasama, terdapat kata-kata norma. Definisi antar dimensi pada variabel modal sosial model Uphoff menyulitkan pembaca, karena pada tiap-tiap dimensi terdapat definisi norma (diluar definisi variabel norma). Seharusnya kata-kata norma tersebut sebaiknya diganti dengan tindakan yang dilakukan aktor. 3. Temuan dari penelitian yang peneliti lakukan adalah bahwa modal sosial memiliki pengaruh terhadap implementasi CSR, namun temuan modal sosial berada pada kategori rendah. Modal sosial yang rendah dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu 1) tempat tinggal, 2) distribusi informasi yang tidak tersebar dan 3) distribusi sapi yang tidak merata. Mungkin ke-3 (tiga) hal ini yang tidak dilihat oleh Uphoff. Ternyata tempat tinggal dan informasi memiliki pengaruh terhadap modal sosial dan implementasi CSR. Sebagaimana data yang telah digali oleh peneliti pada saat wawancara mendalam, semakin dekat tempat tinggal anggota kelompok dengan ketua kelompok, maka semakin dekat pula informasi dan power yang ia dapatkan. Sebaliknya, semakin jauh tempat tinggal anggota kelompok dengan ketua kelompok, maka semakin jauh pula informasi yang didapat dan lemahnya power yang dimilikinya. 4. Modal sosial model Uphoff kurang melihat sejauh mana peran aktor di dalam kelompok. Data yang ditemukan oleh peneliti adalah bahwa terdapat indikasi ketua kelompok yang merupakan


aktor utama dalam kelompok ternak melakukan diskriminasi tindakan terhadap peternak yang bertempat tinggal jauh dengan tempat tinggalnya. Menurut peneliti, peran aktor dalam kesuksesan suatu kelompok penerima program sangat menentukan keberhasilan program. Ketua kelompok merupakan aktor yang seharusnya bertindak netral, berlaku adil kepada setiap anggotanya, namun dalam kasus ini ketua kelompok terlihat hanya berpihak kepada beberapa peternak saja. Kebepihakan ketua kelompok terhadap beberapa peternak menimbulkan eksklusi terhadap peternak lainnya.

Penutup Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh peneliti, maka dapat data tersebut dapat menjawab pertanyaan penelitian yang telah dikonstruksi oleh peneliti mengenai apakah modal sosial mempengaruhi tingkat keberhasilan CSR ternak mandiri dan bagaimana pola hubungan antara modal sosial dan implementasi CSR. Penjelasan hasil penelitian mengenai jawaban dari pertanyaan penelitian akan dijelaskan dengan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, mengenai apakah modal sosial mempengaruhi tingkat keberhasilan CSR ternak mandiri, maka jawaban yang didapatkan melalui penelitian dan pengolahan data melalui SPSS16 adalah modal sosial memiliki pengaruh terhadap keberhasilan CSR ternak mandiri. Hasil yang ditampilkan dari uji tabel silang adalah semakin tinggi modal sosial anggota kelompok ternak mandiri maka kecenderungannya semakin tinggi pula tingkat keberhasilan dari implementasi CSR yang didapatkan oleh kelompok tersebut. Begitupun sebaliknya, semakin rendah modal sosial anggota kelompok ternak mandiri maka kecenderungannya semakin rendah pula tingkat keberhasilan dari implementasi CSR yang diterima oleh kelompok tersebut. Adapun kekuatan hubungan antara kedua variabel setelah diukur berdasarkan uji statistik menggunakan sommers d‟ menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antar kedua variabel berada pada kategori rendah, yaitu pada nilai 0,254. Kedua, mengenai bagaimana pola hubungan antara modal sosial dan implementasi CSR. Pola hubungan antara modal sosial dan implementasi yang rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu 1) tempat tinggal, 2) distribusi informasi yang tidak tersebar dan 3) distribusi sapi yang tidak merata. Sebenarnya antar ketiga faktor tersebut saling berkaitan. Semakin dekat tempat tinggal peternak dengan tempat tinggal ketua kelompok, maka semakin mudah informasi dan power yang dia dapatkan. Sebaliknya, semakin jauh tempat tinggal peternak dengan tempat tinggal ketua kelompok, maka semakin susah informasi yang dia dapatkan dan mereka juga tidak memiliki power dibandingkan dengan peternak yang bertempat tinggal dekat dengan ketua kelompok.


Saran Adapun saran yang dapat diberikan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Akademis: Jika ada peneliti yang ingin melakukan kajian mengenai modal sosial dan CSR sebaiknya jumlah responden yang digunakan dalam penelitian nanti di atas 32 orang, karena data lapangan sangat berpengaruh pada saat pengolahan data. 2. Sosiologis: dibutuhkan sebuah aktor yang memiliki peran dalam menciptakan inklusifitas antar anggota kelompok ternak, karena kelompok ternak mandiri merupakan kelompok ternak yang cukup rentan akan kemungkinan konflik internal. Dengan terjadinya inklusifitas antar anggota, pengembangan program ternak mandiri sebagai salah satu CSR unggulan PT Badak NGL mungkin dapat lebih baik lagi. 3. Praktis: bagi anggota kelompok ternak yang eksklusif terhadap anggota kelompok ternak yang lain, sebaiknya kecenderungan tindakan tersebut dikurangi agar konflik antar anggota kelompok tidak terjadi. Selain itu bagi anggota kelompok yang merasa dicurangi, sebaiknya melaporkan kecurangan tersebut kepada pihak pengelola CSR ternak mandiri, agar ke depannya kegiatan CSR ternak mandiri dapat lebih baik lagi. Daftar Pustaka Buku Banerjee, Subhabrata Bobby. Corporate Social Responsibility: The Good, The Bad, The Ugly. USA: Edward Elgar Publishing, Inc. Castiglione, Dario, Van Deth, Jan W., Wolleb, Guglielmo. The Handbook of Social Capital. New York: Oxford University Press. Creswell, John W. 2009. Research Design. California: Sage Production. Field, John. 2010. Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana Fukuyama, Francis. 2002. The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial. Yogyakarta: Qalam Kotler, Philip, Lee, Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility: doin the most good for your company and your cause. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc Lawrence, Anne T., Weber, James, Post, James E. 2005. Business and Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. New York: McGraw-Hill Companies Lawang, Robert M. Z. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Depok: FISIP UI PRESS


Lin, Nan. 2003. Social Capital: A Theory of Social Structure and Actioin. New York: Cambridge University Press Neuman, Lawrence W. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches – 6th Edition. Boston: Pearson Education. Prayogo, Dody. 2008. Konflik Antara Korporasi Dengan Komunitas Lokal: Sebuah Kasus Empirik pada Industri Geotermal di Jawa Barat. Depok: FISIP UI Press Prayogo, Dody. 2011. Socially Responsible Corporation. Jakarta: Universitas Indonesia Press (UIPress) Prof. Dr. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Ritzer, George. 2008. Modern Sociological Theory – 7th Edition. New York: McGraw-Hill Higher Education Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Uphoff, Norman. 2000. Understanding Social Capital: Learning From The Analysis and Experience of Participation. Cornell University van Zanten, Wim. 1994. Statistika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial - Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Skripsi, Thesis, Disertasi Pradivi Moningka (2012). “Studi Evaluasi Program Pemberdayaan Petani Kedelai Hitam (Studi Kasus: Program Pemberdayaan Petani Kedelai Hitam oleh Yayasan Unilever Indonesia Sebagai Bentuk Corporate Social Responsibility dari PT Unilever Indonesia TBK)” Ellen Suryanegara, (2011). “implementasi program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Frisian Flag Indonesia terhadap terhadap interaksi sosial dan pembentukan corporate image antara perusahaan dengan komunitas lokalnya (Skripsi Oleh Ellen Suryanegara” Fatwa Maulana, (2009). “Pemanfaatan Modal Sosial Masyarakat Pada Program Pembangunan Gampoeng (PPG) Kecamatan Baktiya Barat, Kabupaten Aceh Utara” Hasan Asy’ari S.H, (2009). “Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Sebagai Modal Sosial Pada PT NEWMONT” Media online


http://www.acehtraffic.com/2012/04/pencemaran-lingkungan-pt-arun.html,

diunduh

pada

tanggal

07/05/2013, pukul 21.57 http://www.intelijen.co.id/warta/1430-konflik-freeport-di-tengah-usaha-renegosiasi-kontrak-tambang, diunduh pada tanggal 13 Mei 2013, pukul 21.30 http://www.iso.org/iso/home/standards/iso26000.htm http://www.tribunnews.com/2012/12/07/program-csr-gagal-karena-kurang-melibatkan-masyarakat, diunduh pada hari Jumat, 25 Desember 2012, pukul 17.46 http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTSOCIALDEVELOPMENT/EXTTSO CIALCAPITAL/0,,contentMDK:20185164~menuPK:418217~pagePK:148956~piPK:216618~theSite PK:401015,00.html, diunduh pada 19 Mei 2013, pukul 14.32 Jurnal Abidin S., Djainal. (2009). Modal Sosial dan Dinamika Usaha Mikro Kecil. Jurnal Masyarakat. Vol. 15. No. 1. Hal. 82-92 Darmajanti Ibrahim, Linda. (2002). Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal Sosial Komunitas Jakarta. Jurnal Masyarakat. Edisi No. 11. Hal. 62-88 Isma Rosyida, (2011). Partisipasi Masyarakat dan Stakeholder Dalam Penyelenggaraan Program Corporate Social Responsibility (CSR) dan Dampaknya Terhadap Komunitas Lokal. Sodality. Vol. 05. No. 1. Hal. 51-70 Grootaert, Christian, and van Bastelar, Thierry. (2001). Understanding and Measuring Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations From the Social Capital Initiative. Social Capital Initiative Working Paper No. 24 Lawang, Robert M. Z. (2002). Penanggulangan Kemiskinan dan Kapital Sosial. Jurnal Masyarakat. Edisi No. 10. Hal. 44-52 Prayogo, Dody. (2004). Konflik Antara Korporasi dan Komunitas. Jurnal Masyarakat. Edisi No. 13. Hal. 4-19 Prayogo, Dody, Hilarius,Yosef. (2012). Efektivitas Program CSR/CD dalam Pengentasan Kemiskinan: Studi Peran Perusahaan Geotermal di Jawa Barat. Jurnal Masyarakat. Vol. 17. No. 1. Hal. 1-22 Regus, Maximus, Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai, NTT, Jurnal Masyarakat. Edisi 16, 2011 Sumber lain Majalan LNG Badak: Edisi Khusus CSR Tahun 2012


Majalah Sinergy PT Badak NGL. Edisi 03 November – Desember 2012 Laporan Keberlanjutan Sustainability Report 2010 Laporan Community Development 2


Modal Sosial dan CSR (Corporate Social Responsibility)

Recommend Documents