36
BAB II PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Dalam bab II yang berjudul Pemilihan Kepala Daerah ini mendeskripsikan gambaran umum tentang pemilihan kepala daerah. Dalam bab II ini adapun halhal yang akan dibahas diantaranya: -
Sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia
-
Hubungan otonomi daerah dengan pemilihan kepala daerah secara langsung
-
Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah
2.1. Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Dalam sub bagian ini akan dijabarkan pemilihan kepala daerah dalam 4 era, yakni : a. Pilkada era Demokrasi Parlementer b. Pilkada era Demokrasi Terpimpin c. Pilkada era Orde Baru d. Pillkada era Reformasi Dibedakannya menjadi 4 era, sebab ada perbedaan Undang-Undang Dasar yang digunakan dan sistem politik yang terjadi saat itu, sehingga mempengaruhi sistem ketatanegaraan di Indonesia, khususnya prosedur pemilihan kepala daerah.
37
a. Pilkada era Demokrasi Parlementer Pada 23 November 1945, keluarlah UU No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Di dalamnya mengatur bahwa pemilihan kepala daerah (residen, bupati, kepala kota) dilakukan melalui pengangkatan oleh pemerintah pusat. Setelah UU No. 1 Tahun 1945 berjalan hampir tiga tahun, ternyata dalam praktiknya dipandang kurang memuaskan, karena isi UU tersebut sangat sederhana dan banyak hal yang menyangkut urusan pemerintahan daerah belum terakomodir. Sehingga, pada 10 Juli 1948 lahirlah UU No. 22 Tahun 1948, tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang ini dibagi 2 daerah, hal ini sesuai dengan Pasal 1, yang membagi menjadi: - Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri - Daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri dan bersifat istimewa Pada daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, proses pemilihan kepala daerah, yakni calon gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh DPRD, dari 2 sampai 4 calon yang diusulkan oleh DPRD tersebut, pemerintah pusat akan mengangkat 1 orang diantara calon-calon yang diusulkan tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Berkaitan dengan hal ini, Bhenyamin Hoessein38 dalam Majalah FIGUR Edisi XXII/Februari 2008, mengatakan; “Kadang kala pemerintah pusat membelot, yang diangkat bisa saja di luar dari calon-calon yang diusulkan oleh
38
Bhenyamin Hoessein, Majalah FIGUR, Edisi XXII, Februari, 2008, h. 4
38
DPRD. Alasannya, pemerintah pusat harus mengangkat orang yang Republiken, sebab masih ada orang-orang Indonesia yang masih pro Belanda,” Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 ini mengatur bahwa, kepala daerah mengemban dua jabatan sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai ketua serta anggota DPRD. Pada waktu perubahan dari Undang-Undang Dasar 1945, lalu Konstitusi RIS, pada tahun 1950 terbitlah UUD Sementara yang berlaku mulai 15 Agustus 1950 (UUDS 1950). Berbeda dengan UUD 1945 yang hanya memuat satu pasal saja tentang pemerintahan daerah yaitu pasal 18, maka UUDS 1950 memiliki tiga pasal yaitu 131, 132, dan 133 yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan daerah-daerah Swapraja. Pasal 131 UUDS memuat empat hal sebagai berikut : 1. Pembagian daerah Indonesia aras daerah besar dan kecil akan merupakan daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom). 2. Bentuk susunan pemerintahan daerah otonom akan diatur dengan undangundang. Bentuk dan susunan itu ditetapkan dengan memperhatikan dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan. 3. Kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur rumah tangganya. 4. Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya
Dari ketentuan diatas, mendasari diterbitkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 23, menentukan :
39
(1) Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan Undangundang. (2) Cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan Undang-undang.
Dalam ketentuan tersebut, memang tidak dijabarkan secara eksplisit bahwa pemilihan kepala daerah itu dilakukan secara langsung atau tidak. Namun dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ini menjabarkan bahwa pada dasarnya Undang-Undang ini mengamanatkan dilakukannya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat, sesuai dicantumkan dalam Pasal 131 UUDS. Namun keadaan masyarakat yang baru berpindah sistem dari federal, membuat hal ini sulit untuk direalisasikan, karena ditakutkan akan munculnya republik-republik kecil. Adapun yang dijabarkan dalam Penjelasan umum, yakni: “Berhubung dengan itu, maka jalan satu-satunya untuk memenuhi maksud tersebut ialah bahwa Kepala Daerah itu haruslah dipilih langsung oleh rakyat dari Daerah yang bersangkutan. Dasar pikiran ini tercantum dalam pasal 23 ayat 1 yang selanjutnya dalam ayat 2 ditentukan bahwa cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan Undang-undang. Akan tetapi meskipun pada azasnya seorang Kepala Daerah itu harus dipilih secara demikian, namun sementara waktu dipandang perlu memperhatikan pula keadaan yang nyata dan perkembangan masyarakat dewasa ini didaerah-daerah, kenyataan mana kiranya belum sampai kepada suatu taraf, yang dapat menjamin berlangsungnya pemilihan dengan diperolehnya hasil-hasil dari pemilihan itu yang sebaik-baiknya.”
Akhirnya, proses pemilihan kepala daerah tetap seperti yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1948, dimana calon gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh DPRD, satu diantaranya diangkat oleh pemerintah pusat. Namun dalam UU No. 1 Tahun 1957 ini kepala daerah tidak lagi merangkap jabatan (dual role),
40
sebagaimana dalam UU No. 22 Tahun 1948 tetapi dalam daerah otonom provinsi terdapat kepala daerah dan wakil pemerintah, sehingga dikenal dengan istilah dualisme personil. Yang satu menjabat jabatan dekonsentrasi, yang satunya lagi menjabat jabatan desentralisasi.
b. Pilkada era Demokrasi Terpimpin Situasi politik yang tidak kondusif karena berlarut-larutnya pembahasan konstitusi baru di Konstituante yang mengalami kebutuan memakan waktu lebih dari dua tahun, membuat Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yaitu kembali ke UUD 1945.39 Berlakunya kembali UUD 1945 berarti pemerintah pusat kembali ke posisi sentral. Sehingga otonomi yang seluas-luasnya yang berlaku ketika era demokrasi parlementer bergeser kepada demokrasi terpimpin. Kemudian pada September 1965 Presiden RI mengesahkan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah. Isinya tidak jauh berbeda dengan dengan UU No. 22 Tahun 1948, dimana calon gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh DPRD, satu di antaranya diangkat oleh pemerintah pusat. Dalam prosesnya, pemerintah lebih mengutamakan kemampuan (capability) orangnya. c. Pilkada era Orde Baru Memasuki era Orde Baru, pemilihan kepala daerah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1974. UU ini merupakan koreksi dan penyesuaian dari UU No. 18 Tahun 39
Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, 36
41
1965. Menurut Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974, Kepala Daerah Tingkat I (gubernur) dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya hasil pemilihan itu diajukan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikitnya dua orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. Adapun yang tercantum dalam Pasal 15 yakni : (1) Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ Pimpinan Fraksi-fraksi depan Menteri Dalam Negeri. (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. (3) Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya hasil pemilihan itu diajukan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur sedikitnya dua orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.
Sebagaimana ketentuan Pasal 16, dirumuskan sebagai berikut:
42
(1) Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. (3) Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.
d. Pilkada era Reformasi Setelah tumbangnya orde baru, penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UndangUndang ini merubah sistem pemerintah daerah yang semula sentralistis menjadi desentralisasi yang lebih luas. Namun mekanisme Pilkada masih menggunakan sistem tidak langsung, sebagaimana yang digunakan dalam Undang-undang sebelumnya. Akan tetapi meskipun dipilih oleh DPRD, pemerintah pusat tidak berhak campur tangan sebagai aktualisasi dari desentralisasi. Begitu mendapatkan suara terbanyak, otomatis terpilih menjadi gubernur, bupati, atau walikota. Benyamin, mengatakan “Persoalannya gubernur merangkap dua jabatan (dual role) sebagai pejabat desentralisasi dan dekonsentrasi. Sementara jabatan bupati atau walikota semata-mata dalam rangka desentralisasi. Akibatnya pamor gubernur redup di mata bupati dan walikota, karena mereka menganggap bukan bawahan gubernur dan sama-sama dipilih langsung oleh DPRD.”40
40
Benyamin Hoessein, Loc.Cit
43
Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945, yang mengakibatkan Presiden tidak lagi dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
melainkan oleh rakyat secara langsung, pada tahun 2004. Maka wacana pemilihan kepala daerah secara langsung akhirnya diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004
ini, Pilkada belum
dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (Pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada 1 Juni 2005. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
2.2. Hubungan otonomi daerah dengan pemilihan kepala daerah secara langsung
Cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
44
Berkaitan dengan unsur memajukan kesejahteraan (yang digaris bawahi) yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945, menunjukkan tipologi negara hukum Indonesia bertipologi negara kesejahteraan. Sehingga
korelasi
dengan
pemerintah
adalah
menunjukkan
bahwa
penyelenggaraan negara haruslah memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa landasan konstitusional pemerintahan daerah yakni pada pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sedangkan penjabarannya secara eksplisit diatur dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 angka 2 UU Pemerintahan Daerah, Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini berdasarkan Pasal 18 ayat (1), (2) dan ayat (5) yang menentukan : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.
45
Implikasi dari ketentuan tersebut pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam teori otonomi yang berkaitan dengan pendistribusian wewenang dalam penyelenggaraan Negara atau pemerintahan pusat dan daerah ada tiga bentuk : Pertama, hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi territorial Kedua, hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi territorial Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.41 Adapun yang dimaksud dengan Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan 41
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, (Buku I), Yogyakarta, 2001, h. 32
46
oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Adapun yang menjadi kelebihan desentralisasi, menurut Riwu Kiwo, yaitu: 1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan 2. Keseimbangan dan keserasian daerah tidak perlu menunggu antara bermacam-macam instruksi dari pusat. 3. Desentralisasi territorial, dapat segera mendorong dilaksanakan. 4. Dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi kepentingan tertentu, khususnya desentralisasi territorial dapat lebih mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan/keperluan dan keadaan khusus daerah. 5. Dengan adanya desentralisasi, daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan yang dapat bermanfaat bagi seluruh Negara. 6. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat. 7. Secara psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi daerah-daerah karena sifatnya lebih langsung ke sasaran.42 Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 42
Riwu Kiwo dalam H.M Sjaiful Rachman, Pembangunan dan Otonomi Daerah Realisasi Program Kabinet Gotong Royong. Yayasan Pancur Siwah, 2002, h. 88
47
Mawardi Oentarto, mengemukakan bahwa pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki cirri-ciri sebagai berikut: 1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya negara federasi 2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan bentuk penyerahan atau pengakuan atau urusan pemerintahan yang diberikan kepada daerah. 3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat.43 Bagir Manan44, berpendapat, sistem otonomi riil mempunyai ciri khas, urusan-urusan rumah tangga ditetapkan secara materiil, daerah-daerah dalam rumah tangga dapat mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh pemerintah pusat. Otonomi dalam rumah tangga riil didasarkan pada faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing. Adapun hak daerah dalam menyelenggarakan otonomi, yang tertuang dalam pasal 21 Undang-undang Pemerintahan Daerah, diantaranya : a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; b. memilih pimpinan daerah; c. mengelola aparatur daerah; 43 Mawardi Oentarto, S, Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia, “Kumpulan Makalah”, Program Pascasarjana UGM, 13 Mei 2002, Yogyakarta, h. 2 44 Bagir Manan, Hubungan antar Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, (Buku II), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 32.
48
d. mengelola kekayaan daerah; e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah; f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Disamping
memiliki
hak,
terdapat
pula
kewajiban
yang
harus
dilaksanakan oleh pemerintah daerah, yakni : a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mewujudkan keadilan dan pemerataan; e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; h. mengembangkan sistem jaminan sosial; i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah; k. melestarikan lingkungan hidup; l. mengelola administrasi kependudukan; m. melestarikan nilai sosial budaya; n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jika dikaji secara mendalam tidak semua urusan pemerintah pusat dilimpahkan kepada daerah, karenanya otonomi dalam hal ini tidak berarti tidak terbatas. Adapun yang menjadi urusan Propinsi dan Kabupaten/Kota tercantum dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu: Pasal 13 (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
49
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. (2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Pasal 14 (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
50
(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Jika memandang otonomi secara luas maka perlu mengutip ajaran catur Praja dari Van Vollenhoven yaitu pembentukan perundang-undangan sendiri, melaksanakan sendiri, melakukan peradilan sendiri dan melakukan tugas kepolisian sendiri pada otonomi daerah hanya melaksanakan tugas peradilan yang tidak ada. Namun, Amrah Muslimin45, mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan pokok pangkal mengenai otonomi adalah “otonomi dalam Negara kesatuan”. Sedangkan pembatasan dari kewenangan daerah, diatur dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni; Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.
45
h.15.
Amrah Muslimin, Aspek-aspek Otonomi Daerah, Buku I, Bandung, Alumni, 1978,
51
Menurut Larry Diamond dan Brian C Smith, esensi dari demokratisasi pemerintah lokal adalah untuk memperluas kesempatan check and balances antara pemerintah lokal dan pemerintah pusat.46 Pendapat Larry tersebut memberikan pemahaman meskipun otonomi seluas-luasnya namun tidak berarti tanpa kontrol dari pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan pembatasan kewenangan yang tidak dapat diberikan kepada daerah. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang 46
Kacung Maridjan, dalam Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik, dan Demokrasi Lokal, Jakarta, November 2007.
52
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional Dalam kaitan dengan hal tersebut, C.F Strong47 mengatakan; The essence of a unitary state is that the sovereignity is undivided or in other words, that powers of the central government are unrestricted, for constitution of a unitary state does not admit of any other law making body than the central one. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi
pada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah 47
231
C.F. Strong, Modern Political Constitution, (Sidgusick & Jackson Limited, 1952), p.
53
ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Inti
dari
konsep
pelaksanaan
otonomi
daerah,
adalah
upaya
memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan mayarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah luas dan kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan, serta memelihara kesinambungan fiscal secara nasional. Banyak harapan yang dimungkinkan dari penerapan otonomi daerah. Seiring dengan itu tidak sedikit pula masalah, tantangan dan kendala yang dihadapi oleh daerah.48 Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
48
HAW. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 1
54
Dalam buku The Liang Gie, dikatakan desentralisasi hanya soal teknis pemerintahannya, yang ditujukan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya, seperti:49 a. Bahwa rakyat di daerah adalah berkewajiban memajukan daerahnya b. Bahwa rakyat daerah itu lebih erat hubungannya dan lebih kenal dengan kepentingan-kepentingan. c. Penyelesain suatu masalah dapat dilakukan secara lebih serasi dengan sifat dan kondisi daerah yang bersangkutan. d. Pengurusan mengenai beberapa hal, dapat dilakukan dari tempat yang lebih jauh dari tempat urusan yang bersangkutan.
Pemberian otonomi daerah dengan sistem desentralisasi yang memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya untuk kesejahteraan rakyat ternyata berimplikasi juga pada pemilihan kepala daerah. Dikarenakan tujuan otonomi untuk kesejahteraan rakyat, maka mekanisme terhadap Pilkada pun berubah menjadi Pilkada langsung, sehingga memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin yang dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan pemilihan langsung demikian diharapkan dapat menghasilkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang betul-betul bertanggung jawab pada rakyat. Pertanggung jawaban kepala daerah terpilih terhadap rkyat dalam bentuk
49
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Suatu analisa tentang masalah-masalah desentralisasi dan penyelesainnya, Jakarta, Gunung Agung 1986, jilid III, h. 38-39.
55
pelayanan dan kebijakan pembangunan, karena sesuai konsep otonomi daerah, dimana kepala daerah memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam mengelola daerahnya. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan adanya Undnag-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah dan daerah serta antar daerah. Oleh karena itu diperlukan figur kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mengembangkan inovasi demi kesejahteraan rakyat. Karenanya hakekat otonomi daerah yakni untuk kesejahteraan rakyat sangat relevan dengan perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah yang semula diwakili oleh DPRD menjadi langsung dipilih oleh rakyat. Sebab, adanya jaminan dari Negara kepada rakyatnya untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas sehingga dapat bertanggung jawab pada konstituenny (rakyatnya).
2.3. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kepala daerah, dalam dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentng pemerintahan, adalah gubernur (kepala daerah provinsi), bupati (kepala daerah kabupaten), atau walikota (kepala daerah kota). Kepala daerah dibantu oleh
56
seorang wakil kepala daerah. Sejak tahun 2005, pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Pasangan tersebut dicalonkan oleh partai politik dan/atau independen. Adapun yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyangkut Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam Undang-undang tersebut, Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. mengajukan rancangan Perda; c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hukum administrasi antara wewenang dan kekuasaan berbeda arti. Jika dalam bahasa Inggris, “kekuasaan” diartikan sebagai “power”50, sedangkan “kewenangan” dalam bahasa Inggris diartikan “authority atau competence”.51 Menurut Soerjono Soekanto, Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan baik dengan sukarela atau terpaksa.52 Dilain pihak Suwoto Mulyosudarmo dengan menggunakan istilah kekuasaan mengemukakan bahwa, ada dua macam pemberian kekuasaan yang
50 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, Edisi Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1997, 313 51 Ibid, h. 614 52 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV Radjawali, Jakarta, 1989, h. 241
57
sifatnya derivative. Perolehan kekuasaan secara derivative dibedakan atas delegasi dan mandate.53 Sedangkan Kewenangan, menurut SF. Marbun, yaitu kekuasaan yang diformalkkan baik terhadap golongan orang tertentu, maupun kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan legislative maupun kekuasaan pemerintah sedangkan wewenang hanya mengenai suatu onderdil tertntu saja sehingga kewenangan merupakan kumpulan dari wewenang-wewenang.54 Philipus M. Hadjon, memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah “wewenang” dan “bevoigheid” digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum publik, sedangkan wewenang selalu digunakan dalam konsep hukum publik.55 Sedangkan Wakil kepala daerah mempunyai tugas: a.
membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah; membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi; memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota; memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
b.
c. d.
e.
53
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, h. 39 54 SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, h. 185 55 Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des 1997, h. 1
58
f.
melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
g.
Dalam melaksanakan tugasnya, wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah. Apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya maka wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah tersebut. Dengan demikian posisi wakil kepala daerah hanyalah sebagai “ban serep” dari kepala daerah, “Dalam perspektif hukum tata negara tidak dapat kita pungkiri bahwa posisi wakil kepala daerah hanyalah sebagai ban serep saja. Tugas dan fungsi wakil kepala daerah hanya residu dari tugas dan fungsi kepala daerah karena hal-hal yang bersifat teknis administratif sudah dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.”56 M. Solly Lubis dalam bukunya Hukum Tata Negara, menyatakan “tugas” adalah kekuasaan dalam rangka pelaksanaan pemerintah negara sesuai dengan tujuan-tujuan
yang
telah
ditetapkan
dalam
konstitusi
aturan-aturan
pelaksanaanya.57 Adapun yang menjadi kewajiban bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, yakni: a.
56
57
memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Dilema Wakil Kepala Daerah, Batampost.co.id, 1 Maret 2010 Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandiri Maju, Bandung, 1992, h. 26
59
b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
meningkatkan kesejahteraan rakyat; memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; melaksanakan kehidupan demokrasi; menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah; menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
Selain mempunyai kewajiban tersebut, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah yang disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (untuk Gubernur) atau kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur (untuk bupati/walikota) untuk digunakan sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban
kepada
DPRD,
serta
menginformasikan
laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Untuk melancarkan dalam menjalankan tugas dan wewenang kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang: a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;
60
b. c.
turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun; melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan; melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan, kecuali mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya; merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.
d.
e.
f. g.
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, berakhirnya jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dikarenakan berhenti dan diberhentikan. Berhentinya kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, karena: a.
meninggal dunia;
b.
permintaan sendiri; atau
c.
diberhentikan.
Sedangkan diberhentikannya Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, karena: a. b.
c. d. e. f.
berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah; dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah; tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah; melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
61
Dari kepala daerah, yaitu Gubernur, Bupati, Walikota, yang memiliki fungsi ganda yakni sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat adalah Gubernur. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam kedudukannya tersebut, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur memiliki tugas dan wewenang, yakni: a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b. koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan tindak lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur diatas, diatur dalam Peraturan Pemerintah.