Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 SISTEM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH PADA DAERAH DENGAN OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA Andrew Setiawan Ngongo Kette Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum PPs Undana Kupang – NTT
[email protected] Abstract The juridical phenomenon in relation to local election system in specialized autonomous region occurs in a form of a conflict of its law settings since the election system in Indonesia is regulated in Act No. 32 of 2004 on Regional Government, as amended by Act No. 12 of 2008, was challenged by the election regulations on Special District Act and the Act for the Autonomous Special Region. The researcher intrigued by the aforementioned situation therefor to kick-off a study and discussions of the problem which are to examine local election systems on these particular special autonomy regions. election regulations on Special District Act based on the political, social, cultural and historical formation of the area. Key Words: special autonomy, election Abstrak Fenomena yuridis terkait sistem pemilukada yang terjadi pada daerah otonomi khusus di Indonesia yaitu terjadi pertentangan produk hukum pengaturan sistem pemilukada karena sistem pemilukada di Indonesia diatur pada Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dihadapkan dengan pengaturan pemilukada pada Undang-Undang Daerah Otonomi Khusus khusus terkait penyelenggaraan pemilukada. Problematik tersebut di atas penulis ingin meneliti dan membahas permasalahan yang akan diteliti yakni mengindentifikasi sistem pemilukada pada daerah dengan otonomi khusus. Pengaturan Pemilukada pada daerah dengan otonomi khusus didasari pada aspek politik,sosial,budaya serta sejarah terbentuknya daerah tersebut. Kata kunci: otonomi khusus, pemilukada A. Pendahuluan Demokrasi lokal di Indonesia terlihat dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah di mana negara memberikan kekuasaan penuh kepada daerah untuk mengelola segala urusan rumah tangga daerahnya sendiri. Prinsip dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia yakni desentralisasi. Asas desentralisasi ini memberikan peluang bagi daerah untuk dapat mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri walaupun tetap dalam bingkai sistem negara kesatuan. Pelibatan pemerintahan daerah dalam mengurus kewenangannya merupakan keleleuasaan yang bertujuan untuk pengembangkan demokrasi daerah dan pembangunan daerah yang pada gilirannya mengarah pada kesejahteraan rakyat di wilayah kerja daerahnya. 35
Andrew Setiawan Ngongo Kette : Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah … UUD NRI 1945 mengatur tentang desentralisasi dan satuan pemerintahan daerah di Indonesia, yaitu selain menganut model desentralisasi simetris (seragam) dan mengakui pula desentralisasi asimetris (beragam). Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan (2). Dalam Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Lebih lanjut dalam Pasal 18B ayat (1) dan (2) diatur bahwa (1) Negara mengakui dan menghormati satuan–satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. Di Indonesia sendiri terdapat
beberapa daerah yang memiliki perbedaan khusus
dalam sistem pemilu dan pemilukada dibanding dengan daerah-daerah lain. Daerah tersebut yakni DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Perbedaan tersebut dikarenakan daerah-daerah tersebut memiliki keistimewaan dan kekhususan tersendiri. Keistimewaan dan kekhususan daerah ini merujuk pada sejarah dan budaya berdirinya/terbentuknya daerah-daerah tersebut. Keistimewaan dan Kekhususan daerah tersebut juga diatur masing-masing dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hal yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini, yaitu mengenai pelaksanaan sistem pemilukada pada Daerah Otonomi Khusus. Penelitian ini berkarakter atau bertipe yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian merupakan analisis terhadap asas dan kaidah politik hukum tentang sistem pemilukada pada daerah otonomi khusus di Indonesia. Sehubungan dengan itu maka aspek-aspek yang diteliti, yaitu: Sistem Penetapan Perolehan Suara Pemilukada di DKI Jakarta; Sistem Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur pada DI Yogyakarta; Keterlibatan Partai Lokal Aceh dalam Sistem Pemilukada pada Daerah Khusus NAD. Semua informasi yang diperoleh dari berbagai bahan hukum dianalisis dengan menggunakan metode berpikir induktif, yaitu suatu pola berpikir yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat khusus, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dengan tetap berpedoman pada
36
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 metode interpretasi hukum sesuai dengan asas dan kaidah hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
B.
Pembahasan Secara jelas UUD 1945 (Amandemen) yang biasa disebut UUD NRI 1945 mengatur
tentang desentralisasi dan satuan pemerintahan daerah di Indonesia, yaitu selain menganut model desentralisasi simetris (seragam) dan mengakui pula desentralisasi asimetris (beragam). Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan (2). Dalam Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Lebih lanjut dalam Pasal 18B ayat (1) dan (2) diatur bahwa (1) Negara mengakui dan menghormati satuan–satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization) merupakan desentralisasi luas mencakup desentralisasi politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak harus seragam untuk semua wilayah negara, mempertimbangkan kekhususan masing-masing daerah.
Desentralisasi
asimetris
adalah
pemberlakuan
kewenangan
khusus
pada
wilayah‐wilayah tertentu dalam suatu negara, yang dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan pelbagai permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penerapan kebijakan desentralisasi asimetris atau otonomi asimetris (assymetric authonomy), merupakan sebuah manifestasi dari usaha pemberlakuan istimewa.1 Pemberlakuan desentralisasi asimetris terbukti dengan adanya daerah otonomi khusus dan daerah istimewa yakni DKI Jakarta, Nanggroe Aceh Darrusalam, dan Yogyakarta. Ketiga daerah tersebut memiliki perbedaan dalam proses pemilukada baik dalam proses penetapan perolehan suara pemenang, penetapan kepala daerah serta adanya partai lokal. Pemilihan umum adalah merupakan institusi pokok pemerintahan perwakilan yang demokratis, karena dalam suatu negara demokrasi, wewenang pemerintah hanya diperoleh Stefanus, Kotan Y. “Implikasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) Terhadap Kemajuan Pembangunan Daerah”. www. simpuldemokrasi.org. diakses pada 10 April 2013 hal. 1 1
37
Andrew Setiawan Ngongo Kette : Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah … atas
persetujuan
dari
mereka
yang
diperintah.
Mekanisme
utama
untuk
mengimplementasikan persetujuan tersebut menjadi wewenang pemerintah adalah melalui pelaksanaan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, khususnya untuk memilih presiden / kepala daerah. Bahkan dinegara yang tidak menjunjung tinggi demokrasi sekalipun, pemilihan umum diadakan untuk memberi corak legitimasi kekuasaan (otoritas).2 Pemilihan umum kepala daerah yang demokratis haruslah diselenggarakan dalam suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat, atau dengan perkataan lain pemilihan umum yang demokratis harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:3 1. Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik. 2. Aturan permainan yang fair. 3. Dihargainya nilai-nilai kebebasan. 4. Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan berbagai kekuatan politik secara proporsional. 5. Tiadanya intimidasi. 6. Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan umum. 7. Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungkawabkan secara moral dan hukum. Penyelenggaraan pemilu kepala daerah secara langsung merupakan amanat yang terkandung dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemilu kepala daerah langsung merupakan perwujudan dari prinsip otonomi daerah seluas-luasnya.4 Terdapat beberapa provinsi di Indonesia yang diakui Negara sebagai daerah dengan otonomi khusus dan daerah istimewa. Daerah-daerah tersebut antara lain Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta serta Provinsi Papua. Pada daerah-daerah tersebut diberikan kewenangan mengatur daerahnya sendiri (otonomi) dengan berlandaskan kekhususan dan keistimewaan dari daerah itu sendiri (desentralisasi asimetris). Sistem pemerintahan khususnya dalam sistem pemilukada pada daerah dengan otonomi khusus dan daerah istimewa tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Marzuki, “Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera Utara: Studi Konstitusional Peran DPRD Pada Era Reformasi Pasca Pemilu 1999”, Disertasi (Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2007), hal. 143 3 Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta, 1992), hal. 33 4 Ibid, hal. 145 2
38
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 1. Nanggroe Aceh Darussalam Tahapan penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat perbedaan dimana pada tahapan pencalonan UUPA memberikan peluang kepada partai lokal atau gabungan partai lokal atau gabungan partai politik nasional dan partai lokal untuk mengajukan bakal calon gubernur dan wakil gubernur dalam pemilukada Aceh. Perbedaan ini sangat terasa karena Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang mengakomodir adanya partai lokal dalam sistem pemerintahannya. Partai politik lokal Aceh adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan, anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupten/Kota (DPRK), Gubernur dan wakil Gubernur, serta Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota. Kedudukan partai lokal Aceh baik dalam pemilu maupun pemilukada gubernur/bupati/walikota sama dengan partai politik nasional dan hal tersebut diatur pada Bab XI UUPA, bahkan diatur jelas tentang pembentukan, kedudukan dan fungsi, hak dan kewajiban, larangan, sanksi, serta tata cara pengajuan bakal calon kepala daerah. Penentuan partai politik lokal Aceh sebagai peserta Pemilu Tahun 2014 juga melalui proses yang sama yakni verifikasi syarat kepengurusan, keanggotaan serta keterwakilan perempuan sebagai pengurus partai. Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31/2002 menyatakan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris. Partai politik di Nanggroe Aceh Darussalam ( NAD) adalah bagian dari kompromi politik dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka dalam rangka menghasilkan perdamaian di propinsi tersebut dengan adanya persetujuan Gerakan Aceh Merdeka untuk meninggalkan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan mereka di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberhasilan mencapai langkah kompromi tersebut patut dihargai mengingat penderitaan rakyat Aceh akibat kekerasan bersenjata yang terjadi selama puluhan tahun. Oleh karena itu langkah-langkah kompromi yang tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
39
Andrew Setiawan Ngongo Kette : Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah … menjaga nama baik Republik Indonesia dapat dianggap sebagai keberhasilan dalam penyelesaian konflik Aceh. Salah satu butir kesepakatan dalm kesepakatan damai Helsinki adalah partai lokal. Butir 1.2.1. (Partisipasi Politik) MoU Helsinki tertulis: “Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penendatangan Nota Kesepahaman ini,pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan Nasional. Memahami aspirasi masyarakat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintahan RI dalam tempo satu tahun, atau paling lambat18 bulan sejak penandatangan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.” Produk hukum sebagai implementasi butir di atas adalah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Respon masyarakat Aceh tentang keberadaan partai politik lokal positif. Survei Lembaga Suvei Indonesia (LSI) pada 28 Juli – 2 Agustus 2005 dan Maret 2006 menunjukkan manyoritas masyarakat Aceh mendukung pembentukan partai politik lokal. Partai lokal yang sudah terdaftar di Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Partai GAM, Partai Generasi Aceh Beusaboh Thaat dan Taqwa (Gabthat), Partai Serambi Persada Nusantara Serikat (PSPNS), Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA), Partai Darussalam, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh Meudaulat (PAM), Partai Lokal Aceh (PLA), Partai Daulat Aceh (PDA), dan Partai Pemersatu Muslimin Aceh (PPMA).5 2. DKI Jakarta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegaskan pada Pasal 4 yaitu Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi. Kekhususan Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada Pasal 5 UU 27 Tahun 2009 yakni Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung
5
Petunjuk Pelaksanaan Menkum HAM RI Nomor M-08.UM.08/2007 tentang Pendaftaran Parlok di Aceh, tersedia di website http:// www.hukumonline.com, diakses tanggal 12 November 2013.
40
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional. Perbedaan sistem pemilukada pada Provinsi DKI Jakarta terdapat pada persyaratan penentuan calon terpilih, di mana pada pengaturan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 1 “Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.” dan Pasal 2 “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.” Pengaturan tentang penentuan calon terpilih pada pemilukada gubernur dan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta tersebut bertolak belakang dengan pengaturan pemilukada yang diatur pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 107 ayat 1 “Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.” Ayat 2 “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.” Ayat 4 “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.” Perbedaan terhadap legitimasi pasangan calon terpilih pada pemilukada gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dengan daerah lain di Indonesia tersebut sangatlah unik di mana pada DKI Jakarta tidak ada alternatif lain jika pasangan calon peserta pemilukada tidak melebihi 50% dari jumlah suara sah maka akan dilanjutkan ke putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan kedua, sedangkan pada daerah lain jika tidak melebihi 50% maka ada alternatif lain, yaitu pasangan calon yang memiliki atau
41
Andrew Setiawan Ngongo Kette : Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah … meraih 30% suara sah sehingga jika ada pasangan calon yang melebihi 30% dari jumlah suara sah akan ditetapkan sebagai calon terpilih. Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan suatu daerah khusus dengan peranan sebagai Ibukota Negara dan merupakan pusat segala aspek kehidupan nasional yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Sedangkan pusat pemerintah Negara merupakan pusat dari badan-badan negara Indonesia, perencanaan, pengarah, pemerintahan negara, serta pengawasannya diselenggarakan di Jakarta. Karena peranan strategis yang sangat menentukan dalam kelangsungan hidup bangsa dan negara, keamanan, ketertiban Ibukota dan seluruh wilayah DKI Jakarta harus terjamin karena dampaknya akan sangat luas. Stabilitas segala aspek kehidupan masyarakat Jakarta akan merupakan cermin bagi segala aspek kehidupan nasional, bahkan merupakan citra kepada dunia internasional karena Jakarta adalah pintu gerbang utama Indonesia. Dengan mengacu pada alasan-alasan tersebut maka para pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah merumuskan pengaturan pemilukada khusus bagi DKI Jakarta. Penentuan pemenang dalam pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 UU No 29 tahun 2007 tersebut sedikit berbeda dengan pengaturan pada UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah dimana pada Pasal 107 ayat 2 “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi (mencapai 50% jumlah suara sah), pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.” Dan ayat 4 “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.” "Susunan pemerintahan di atas didasarkan atas kebutuhan pengaturan bagi satu wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk dan sumber daya keuangan yang besar serta dengan batas administrasi pemerintahan yang kurang jelas," Mahfud MD (detiknews.com Kamis, 13/09/2012). Mahkamah Konstitusi juga menilai DKI Jakarta adalah daerah provinsi yang memiliki banyak sekali aspek dan kondisi bersifat khusus yang berbeda dengan daerah lainnya sehingga memerlukan pengaturan yang bersifat khusus.
42
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Syarat gubernur dan wakil yang terpilih diharuskan memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah, dan apabila tidak ada yang mencapainya maka dilaksanakan pemilihan putaran kedua adalah kekhususan yang masih dalam ruang lingkup dan tidak bertentangan dengan konstitusi. "Penentuan persyaratan demikian merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah Konstitusi membantah syarat 50 persen plus satu karena banyaknya keberagaman di Jakarta. Hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan pilkada dua putaran. Kondisi multikultural relatif terdapat pada semua wilayah pemerintahan. Selain itu, legitimasi juga dibutuhkan oleh pemerintahan dalam semua kondisi, baik multikultural ataupun tidak sehingga sebenarnya tidak ada korelasi secara langsung dengan keharusan persentase perolehan suara lebih dari 50 persen. 3. Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (1)) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Kewenangan istimewa sebagaimana diberikan Negara kepada Daerah Yogyakarta merupakan wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah (Pasal 1 ayat (3)), sedangkan pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pemerintahan daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dan urusan keistimewaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah DIY dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY (Pasal 1 ayat (7)). Sistem pemilihan umum pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya pada pemilihan gubernur, diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Bab VI Pengisian Jabatan Gubernur Dan Wakil Gubernur Pasal 18 Ayat (1) huruf c yang disebutkan bahwa “bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”. Tata cara pengajuan bakal calon gubernur dan wakil gubernur pun diatur berbeda dengan daerah lain yaitu dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta bahwa “Berdasarkan
43
Andrew Setiawan Ngongo Kette : Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah … pemberitahuan dari DPRD DIY sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur dan Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai calon Wakil Gubernur paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah surat pemberitahuan DPRD DIY diterima” dan Pasal 3 “Kasultanan dan Kadipaten pada saat mengajukan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur kepada DPRD DIY menyerahkan: a. surat pencalonan untuk calon Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat; b. surat pencalonan untuk calon Wakil Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Kasentanan Kadipaten Pakualaman; c. surat pernyataan kesediaan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai calon Wakil Gubernur”. Bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diajukan tersebut tidak dipilih sebagaimana yang dilakukan di daerah lain yang dipilih langsung oleh rakyat. Bakal calon gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta diangkat melalui mekanisme penetapan yang diselenggarakan oleh Panitia Khusus Penetapan. Panitia Khusus Penetapan tersebut dibentuk oleh DPRD DIY yang terdiri dari ketua, wakil, dan sekretaris DPRD yang karena jabatanya menduduki jabatan ketua, wakil dan sekretaris Panitia Khusus Penetapan dan anggotannya terdiri atas fraksi-fraksi (Pasal
22 ayat
(4,5,dan 6)). Proses penetapan tersebut sangatlah bertolak belakang dengan pengaturan pemilukada di daerah lainnya, disebabkan karena proses penetapan gubernur dan wakil gubernur yang berasal dari unsur kesultanan yakni yang bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono sebagai calon Gubernur dan dari unsur Kadipaten yakni yang bertahta sebagai Adipati Paku Alam sebagai calon Wakil Gubernur mengarah ke sistem pemerintahan monarki Dari sudut historis Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian /Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan
44
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti.6 Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini.”
C. Kesimpulan dan Saran C. 1. Kesimpulan Adanya daerah dengan otonomi khusus seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam, dan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan cerminan pelaksanaan desentralisasi asimetris di Indonesia. Pada DKI Jakarta terdapat perbedaan dimana penentuan calon gubernur terpilih harus melampaui 50% dari total jumlah pemilih DKI Jakarta karena kondisi multikultural relatif terdapat pada semua wilayah pemerintahan. Selain itu, legitimasi juga dibutuhkan oleh pemerintahan dalam semua kondisi, baik multikultural ataupun tidak sehingga sebenarnya tidak ada korelasi secara langsung dengan keharusan persentase perolehan suara lebih dari 50 persen. Demikian pula di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga terdapat perbedaan dalam sistem pemilu kepala daerah, pada daerah lain di Indonesia, kepala daerah dipilih melalui pemilihan umum langsung oleh masyarakat pada daerah bersangkutan. Gubernur dan Wakil Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta diangkat/ditetapkan sesuai Bab IV UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga tidak dilaksanakannya pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur melainkan melalui penetapan oleh DPRD. Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat perbedaan dalam sistem pemilu, yakni terdapat Partai Lokal pada tingkat Provinsi DI Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki hak antara lain mengikuti pemilu untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan (DPRK) Dewan Perwakilan Rakyat 6
Ismu Gunadi Widodo, 2006, Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, hal. 2
45
Andrew Setiawan Ngongo Kette : Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah … Kabupaten/Kota, mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, serta pasangan calon walikota dan wakil walikota. Perbedaan-perbedaan pengaturan sistem pilkada tersebut merupakan akibat adanya pemberlakuan sistem desentralisasi asimetris pada daerah dengan otonomi khusus di Indonesia. Hal tersebut juga didukung dengan latar belakang sejarah, politik dan budaya terbentuknya daerah-daerah dengan otonomi khusus tersebut dan diperkuat dengan diakuinya daerah-darah tersebut oleh pemerinta Republik Indonesia yang tertuang dalam Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
C. 2. Saran 1. Bagi Pemerintah, bahwa pengaturan pemerintahan daerah pada daerah dengan otonomi khusus dan daerah istimewa sudah benar dan wajib dilaksanakan karena pada dasarnya tidak mengganggu sistem penyelenggaraan negara khususnya terkait penyelenggaraan pilkada. Hal ini dikarenakan bahwa kekhususan atau keistimewaan daerah-daerah dengan otonomi khusus tersebut didasari dari aspek sejarah, politik dan kebudayaan yang tumbuh dan timbul di daerah itu dan negara mengakui hal tersebut. Sehingga tidak perlu diperdebatkan jika ada perbedaan-perbedaan khusus terkait penyelenggaraan daerah dan penyelenggaraan pilkada. 2. Bagi Masyarakat, bahwa pada dasarnya masyarakat daerah-daerah dengan otonomi khusus secara mayoritas telah menerima dan melaksanakan perbedaan pengaturan tersebut. Terbukti sejak terbentuknya daerah-daerah dengan otonomi khusus beserta pengaturan penyelenggaraan daerah dan pilkada tetap terlaksana dengan baik dan tidak terdapat permasalahan yang kompleks yang timbul karena adanya perbedaan pengaturan tersebut. Oleh karena itu, perbedaan pengaturan khususnya pengaturan pilkada pada daerah dengan otonomi khusus hendaknya tidak dijadikan sebagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia.
46
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 DAFTAR PUSTAKA Buku Thaib, Dahlan dan Ni’matul Huda. Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1992 Widodo, Ismu Gunadi. Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara, 2006 Hasil Penelitian Marzuki. “Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera Utara: Studi Konstitusional Peran DPRD Pada Era Reformasi Pasca Pemilu 1999”. Disertasi. Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2007 Pratikno, dkk. “Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi”. Hasil Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2010 Internet Petunjuk Pelaksanaan Menkum HAM RI Nomor M-08.UM.08/2007 tentang Pendaftaran Parlok di Aceh, tersedia di website http:// www.hukumonline.com, diakses tanggal 12 November 2013 Stefanus, Kotan Y. “Implikasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) Terhadap Kemajuan Pembangunan Daerah”. www. simpuldemokrasi.org. diakses pada 10 April 2013
47