BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Otonomi daerah dan desentralisasi tidak dapat dipisahkan dengan
pemilihan kepala daerah secara langsung maupun dengan pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD sebagai lembaga legislatif daerah atau DPRD karena semangat pemilihan tersebut lahir karena keberadaan dari otonomi dan desentralisasi yang efektif berlaku pada 1 Januari 2001 menggantikan sistem sentralisasi pada jaman Orde baru. Hendratno (2009) menjelaskan bahwa istilah otonomi daerah dan desentralisasi sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Istilah otonomi lebih cenderung berada dalam aspek politik-kekuasaan negara sedangkan desentralisasi lebih cenderung berada dalam aspek administrasi negara. Antara desentralisasi dengan otonomi daerah mempunyai hubungan yang sangat erat sehingga sangat susah untuk dipisahkan antara keduanya karena otonomi daerah lahir karena keberadaan adanya desentralisasi. Otonomi daerah merupakan persoalan
seberapa
besar
kewenangan
untuk
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang daerah. Menurut syariff Saleh dan Sugeng Istanto dalam Hendratno (2009) menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak untuk mengatur dan memerintah daerah sendiri atas inisiatif kemauan sendiri dimana hak tersebut didapatkan dari pemerintah dengan kata lain otonomi merupakan hak atau wewenang untuk mengatur dan mengurus rumahtangga daerah.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar prakarsa,
kreativitas
dan
peran
serta
aktif
masyarakat
dalam
rangka
mengembangkan dan memajukan daerah, masyarakat tidak hanya dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat semlainkan yang utama adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Syaukani, dkk (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa argumentasi mengapa
desentralisasi
dan
otonomi
diterapkan
dalam
pemerintahan
daerah,adalah: 1. Efisiensi dan efektivfitas penyelenggaraan pemerintah. Pemberian
kewenangan
kepada
pemerintah
daerah
merupakan suatu kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat dihindari, penerapan desentralisasi maka tentunya ada transfer
kewenangan
kepada
daerah
sehingga
di
selenggarakan pemerintahan lokal dimana pemerintah daerah akan lebih baik menyelenggarakan daripada dilakukan secara nasional dan sentralistik. 2. Pendidikan politik. Pemerintahan
daerah
merupakan
pelatihan
dan
pengembangan demokrasi dalam suatu negara agar penerapan peraturan tidak terkesan coba-coba dalam menerapkan aturan dalam undang-undang.
Kewenangan kepada pemerintah
daerah agar dijalankan dengan baik karena masyarakat di
Universitas Sumatera Utara
daerah sudah dapat memahami konteks kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Menurut John Stuart Mill dalam Syaukani, dkk (2005) menyatakan bahwa dengan adanya pemerintahan daerah maka akan menyediakan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi politik. 3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan Pemerintah daerah merupakan langkah strategis untuk meniti karir politik lanjutan, politisi dan anggota legilslatif yang handal dan kaliber nasional lahir karena proses yang panjang dan bukan politisi instan dan legislatif instan yang terpilih karena kekuatan uang. 4. Stabilitas nasional Manfaat
dari
desentralisasi
dan
otonomi
dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalan penciptaan politik yang stabil dengan alasan yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Stabilitasn politik nasional sudah seharusnya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. 5. Kesetaraan politik Pemerintahan daerah menciptakan kesetaraan politik dengan menciptakan kesempatan untuk terlibat dalam politik salah satunya adalah dalam hal pemberian suara dalam pemilihan. Partisipasi
politik
yang
meluas
mengandung
makna
Universitas Sumatera Utara
kesetaraan yang meluas diantara warga masyarakat dalam suatu masyarakat.
2.2
Sistem Pemilihan Semu Masa Orde Baru dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
merupakan satu-satunya UU Pemerintahan daerah yang lahir dan digunakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dengan justifikasi pelaksanaan UUD 1945 dan pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol sedemikian rupa termasuk dalam pilkada. Sebagai ketentuan perundangan, materi yang mengatur pilkada dalam UU No. 5 Tahun 1974 dapat dikatakan lengkap dan rinci. UU tersebut mengatur syarat kepala daerah, mekanisme pengisian, kewenangan kepala daerah, hubungan kepala daerah dan DPRD, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah, masa jabatan. Sejalan dengan konstruksi kepala daerah yang otonom menurut UU No. 5 Tahun 1974 Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dasarnya adalah Presiden sebagai penanggungjawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan di seluruh negara karena secara hierarkis bertanggungjawab kepada Presiden, maka kepala daerah diangkat oleh Presiden bagi calon yang memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh Undangundang. Pemilihan kepala daerah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 adalah kepala daerah berumlah sedikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang yang telah dimusyawarahkan dan disepakati oleh DPRD dengan Menteri Dalam Negeri,
Universitas Sumatera Utara
hasil pemilihan disampaikan oleh DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. Dari kondisi tersebut sangat terlihat kentalnya intervensi pusat dalam pilkada, pusat tidak hanya menjadi proses terakhir penentuan calon terpilih juga terlihat peranan Menteri Dalam Negeri dalam proses pencalonan. Pengangkatan kepala daerah oleh Presiden tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon karena proses pengangkatan kepala daerah adalah hak prerogatif dari Presiden. Menurut Agus Pramusinto dalam Prihatmoko (2005), aturan tersebut terkait kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan Gubernur yang mampu bekerja sama dengan pemerintah pusat. Syarat kepala daerah sangat interpretatif diantaranya setia dan taat kepada negara dan pemerintah, mempunyai rasa pengabdian
terhadap
nusa
dan
bangsa,
mempunyai
kepribadian
dan
kepemimpinan, berwibawa, jujur, cerdas, berkemampuan dan terampil, adil dan mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang cukup dalam bidang pemerintahan. Pemberhentian kepala daerah menjadi kewenangan penuh dari Presiden dan Menteri Dalam Negeri, dengan aturan yang multi-interpretatif masyarakat daerah merasa seing dirugikan sehingga muncul kericuhan bahkan kerusuhan karena menganggap intervensi pusat terlalu berlebihan. Pemerintah sering memilih orang-orang yang punya akses dengan pusat kekuasaan. Menurut Afan Gaffar dkk (2005), realitas empirik pelaksanaan pilkada masa orde baru merupakan rekrutmen politik lokal yang sepenuhnya ditentukan oleh pusat karena peran militer sangat dominan sebagai pemangku kepala daerah.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 Dalam otonomi yang luas dan nyata pada Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 Pemerintah Daerah berwenang melakukan apa saja yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah kecuali yang berhubungan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama. Sementara, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah berhak mengatur tentang pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, kerjasama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalam kebijakan otonomi daerah. Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa hasil dari berlakunya reformasi adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang masih mengatur pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi dalam alam demokrasi, dalam perjalanan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengalami banyak permasalahan yang masih perlu di perbaiki sehingga melahirkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang melaksanakan Pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung sering kita sebut dengan Pilkada adalah sesuatu hal baru dalam masyarakat. Dengan perubahan format pemilihan kepala daerah tersebut masyarakat menjadi penentu dalam pemilihan pemimpin masyarakat di daerah yang berdasarkan hukum dan dilindungi Undangundang. Namun, kita masih mengakui dan perlu penegasan bahwa di dalam masyarakat memilih itu adalah hak dan bukan kewajiban. Pilkada adalah upaya
Universitas Sumatera Utara
demokrasi untuk mencari pemimpin daerah yang berkualitas dengan cara-cara yang damai, jujur, dan adil dalam Amiruddin dan Bisri (2006). Dalam semangat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kepala daerah di pilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara demokratis dan tertutup. Dengan kata lain bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan dengan pemilihan secara tidak langsung atau tidak memberikan partisipasi kepada masyarakat untuk melaksanakan pemberian suara, pilkada tidak langsung tidak memberi ruang bagi rakyat untuk menggunakan hak pilihnya secara aktif yakni hak untuk memilih dan hak untuk di pilih. Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa ihwal Kepala Daerah diatur dalam Pasal 34 sampai Pasal 40 UU No. 22 Tahun 1999 yang secara tegas memuat ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan DPRD dalam pelaksanaan pilkada. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa: Ayat (1) dikatakan “Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan”. Ayat (2) dikatakan “Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”. Banyaknya keperluan pembenahan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 akhirnya menyimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak dapat di jadikan rujukan untuk menjadikan sistem menjadi demokratis karena belum mampu menciptakan pemimpin daerah yang lebih akuntabel terhadap masyarakat meskipun telah memberikan wewenang kepada kepala daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa
Universitas Sumatera Utara
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan yang dijiwai dalam otonomi daerah. RPJM 2004-2009; Bab 13 terdapat beberapa kelemahan dalam Undangundang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu: 1. Belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. 2. Berbedanya cara pandang para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah 3. Masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah. 4. Belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien. 5. Masih
terbatasnya
dan
rendahnya
kapasitas
aparatur
pemerintah daerah 6. Masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, dan 7. Pembentukan daerah otonom baru yang belum sesuai dengan tujuannya. Wahidin (2008) menelaskan bahwa fokus perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ke Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah pada kuatnya keinginan untuk lebih memproporsionalkan kewenangan daerah atas wilayah sendiri karena dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dinilai lebih besar dominasi pusat dibandingkan dengan kewenangan daerah. Dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara nyata masih dirasakan adanya permasalahan dan bila dibiarkan akan mengganggu efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah meskipun pendidikan politik
Universitas Sumatera Utara
sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan desentralisasi telah menunjukkan hasil yang relatif mengalami kemajuan namun belum diimbangi dengan pencapaian yang memadai pada aspek peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pada puncak dari urusan pemerintah daerah adalah pelayanan publik yang nyata dan mampu sepenuhnya menyentuh masyarakat dan dapat dirasakan pelayanan langsung yang memberikan nilai positif kepada pelayanan pemerintah dalam bentuk pelayanan publik tersebut. Kebijakan pemerintah tidak lain adalah kesejahteraan yangmerupakan urusan pemerintahan dengan penyediaan kebutuhan publik seperti rumah sakit, pengaturan publik seperti pajak dan retribusi dan sebagai hasil akhir dari kinerja pemerintah daerah. Lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengubah peta politik yang dulunya dipilih oleh DPRD secara tertutup berubah ke ranah yang terbuka yang dipilih oleh masyarakat, trauma terhadap pelaksanaan pilkada Orde Baru yang ditandai dengan intervensi pusat yang berlebihan. Prihatmoko (2005) bahwa UU No. 32 Tahun 2004 lahir berdasarkan atas konstitusional yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD) yaitu Pasal 1 Ayat (1), Pasal 1 Ayat (2). Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”, Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, Pasal 18 Ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan Provinsi, kabupaten, dankota dipilih secara demokratis”. Artinya, dalam frase “kedaulatan di tangan rakyat pada Pasal 1 Ayat (1)” dan “dipilih secara demokratis pada Pasal 18 Ayat (4)” itulah pokok inti dari pembuatan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan merumuskan agar
Universitas Sumatera Utara
diterapkannya
Pilkada
yang
melibatkan
rakyat
secara
langsung
untuk
menggantikan sistem pemilihan perwakilan melalui DPRD yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999. Pembuat UU No. 32 Tahun 2004 merasa pasti bahwa Pilkada langsung merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi, artinya bahwa Pilkada langsung merupakan bentuk penyerahan kewenangan pemerintah pusat pada pemerintahan daerah dan memiliki pondasi yang kokoh dalam UUD. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menerapkan konsep urusan residu untuk Kabupaten/Kota dengan mengatur hanya urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, daerah hanya diwajibkan melaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk membatalkan semua perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Maka, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mulai ditata pembagian urusan pemerintahan yang semakin jelas antara Pemerintah
Pusat
dengan
Pemerintahan
Provinsi
dan
Pemerintahan
kanupaten/kota, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menerapkan urusan Konkuren antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Setiap urusan dibagi berdasarkan tiga kriteria yaitu eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Penerapan ketiga kriteria tersebut melahirkan pembagian urusan yang jelas antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Ada 31 urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat konkuren. Dengan pembagian ketiga kriteria tersebut maka Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan menangani urusan pemerintahan yang berskala Provinsi sedangkan
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan mengurusi urusan yang berskala Provinsi dalam bentuk Kabupaten/Kota dan Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan atas urusan pemerintahan Kabupaten/Kota dari ke-31 urusan konkuren tersebut. Dalam masyarakat, Pilkada sebagai pendidikan politik merupakan sarana untuk menjadikan masyarakat menjadi melek politik, sadar politik dalam perbuatan tindakan secara rasional karena masyarakat tidak lagi menjadi objek dalam pemerintahan meskipun saat ini harapan mendidik masyarakat melalui demokrasi pemilihan langsung akan berubah seiring dengan adanya revisi UU No. 32 Tahun 2004 yang menitikberatkan revisi tersebut dengan memberikan perhatian khusus bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung sarat dengan persoalan uang yang berlebihan. Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa Pasal 18 Ayat 4 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis” menjadi dasar penyusunan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam Pasal 18 Ayat 4 tersebut tidak ada amanat konstitusi tentang pemilihan Wakil Kepala Daerah dengan kata lain terdapat ambiguitas dalam pasal tersebut meskipun adanya aturan penjelasan mengenai Undang-undang Pasal 18 Ayat 4 tersebut. Selain itu antara kabupaten/kota dengan provinsi sama-sama merupakan daerah otonom, kepala pemerintahan untuk provinsi memilik peran ganda oleh Gubernur yaitu sebagai Kepala Daerah dan juga sekaligus sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Wilayah Provinsi sehingga sistem pemilihannya tidak harus sama.
Universitas Sumatera Utara
2.4
Demokrasi Secara harfiah demokrasi adalah sesuatu yang berasal dari rakyat,
dilakukan oleh rakyat dan dikembalikan kepada rakyat sebagai tanggungjawab dari pemerintah kepada rakyatnya termasuk dalam dalam pemilihan kepala daerah. Kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintah untuk mencapai tujuan dari keinginan dan kehendak masyarakat secara keseluruhan dalam wilayah Kabupaten/Kota guna mencapai perubahan kearah yang lebih baik dimana masyarakat memberikan tanggungjawab dan kepercayaan dalam menjalankan proses demokrasi yang dilakukan oleh segenap masyarakat. Menurut Robert Dahl dalam Prihatmoko (2005), demokrasi lokal mendorong masyarakat disekitar pemerintahan tersebut untuk ikut serta secara nasional terlibat dalam kehidupan politik, dengan pilkada secara langsung maka kesetaraan politik diantara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Menurut Diamond dalam Leo Agustino (2009), ada lima alasan utama negaranegara
sedang
berkembang
mengimplementasikan
proses
menganggap demokrasi,
bahwa
yaitu:
sangat
Pertama,
penting Demokrasi
menyediakan ruang bagi partisipasi secara luas dan otonom bagi setiap individu, satu aturan dasar dari demokrasi adalah kebebasan individu untuk terlibat langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, Kontrol politik akan sangat baik bila dilaksanakan oleh orang-orang tetapi oleh mereka yang berada diluar dari struktur pemerintahan, adanya usaha saling kontrol guna pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik menjadi kebutuhan dalam merealisasikan sistem pemerintahan yang demokratis. Ketiga, Demokrasi mennyediakan ruang bagi sirkulasi elite yang kompetitif dan berkala, pemilihan
Universitas Sumatera Utara
umum kepala daerah merupakan perwujudan dari suksesi kekuatan formal. Keempat, Tersedianya mekanisme pengelolaan dan penyelesaian konflik yang dibarengi dengan kekerasan. Karena itu, demkorasi harus mampu menyediakan mekanisme teknis dan praktis dalam upaya pengelolaan dan penyelesaian konflik secara akomodatif. Penguatan demokrasi ditingkat lokal melalui pilkada langsung adalah bagian dari pemberian otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab dan berupaya agar kesadaran dan pengetahuan masyarakat pemilih akan hak-haknya berdemokrasi dapat ditingkatkan kualitasnya sehingga tidak mudah untuk dipengaruhi oleh praktik-praktik yang mengotori demokrasi di tingkat lokal. Upaya penguatan demokrasi di tingkat lokal melalui pilkada langsung adalah mekanisme yang tepat sebagai bentuk terobisan atas mandeknya pembangunan demokrasi di tingkat lokal. Demokrasi sangat mahal biayanya karena sesungguhnya membangun demokrasi sama dengan membangun suatu peradaban. Demokrasi dilakukan oleh mereka yang berhak memilih, demokrasi harus diikuti oleh kedewasaan berpolitik yang menjadikannya menjadi buday politik dalam masyarakat agar masyarakat dapat memahami dan mengerti arti dari proses politik dengan pilihan-pilihan yang rasional pada saat memberikan aspirasi dan partisipasinya, penghormatan terhadap hak asasi dari manusia itu sendiri yang dilaksanakan secara bebas dan bertanggungjawab. Penggunaan cara-cara kekerasan dalam bentuk apapun untuk memaksakan kehendak adalah melanggar prinsip demokrasi itu sendiri sekalipun dilakukan demi demokrasi itu sendiri, demokrasi hanya mungkin dibangun dengan cara-cara yang beradab agar fondasinya kuat dan tahan dari segala
Universitas Sumatera Utara
goncangan sebaliknya demokrasi yang dibangun dengan cara-cara anti-demokrasi akan rapuh dan mudah runtuh. Dalam Amiruddin (2006), ada 3 ukuran yang menunjukkan suatu pemerintahan dikelola dengan berbasis pada demokrasi lokal yaitu political equality; loyal equality; dan sense of loyal response. Pertama, political equality, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah manakala dalam proses pelaksanaannya dibangun atas dasar prinsip kesetaraan politik dan bukan saja terjadi secara horizontal antara eksekutif tetapi juga secara vertikal antara rakyat dengan kepala daerah, posisi masyarakat dikuatkan dengan kekuatan bargaining politic yang cukup karena masyarakat memegang kendali atas suara yang telah diberikannya dan dipertanggungjawabakan secara penuh oleh kepala daerah. Keuda, loyal equality yaitu akuntabilitas lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat sulit diwujudkan karena keterlibatan masyarakat dalam proses penyelenggaraan di daerah tidak diwadahi dalam suatu sistem yang jelas dan setelah pilkada transparansi mendapatkan tempat yang proporsional yang menjadi arti penting dalam pilkada langsung, keadaan tersebut menjadi pemecah kebekuan sistem politik yang lebih memungkinkan terbukanya akuntabilitas lokal. Ketiga, sense of loyal response yaitu terjadi dikarenakan kepala daerah yang dihasilkan dari pemilihan rakyat secara langsung memiliki konsekuensi yaitu suara pemerintah harus tunduk kepada rakyat, ketertundukannya pada suara rakyat adalah jaminan bagi selamatnya kontrak politik yang terbangun melalui sistem ini. Perjalanan demokrasi sangatlah panjang dan tidak semudah seperti yang duraikan, demokrasi menjadi tujuan dalam suatu negara yang penerapnnya membutuhkan semua elemen dalam masyarakat. Perjalanan demokrasi mengalami
Universitas Sumatera Utara
banyak hambatan karena memiliki banyak fenomena dalam mewujudkannya. Lambannya penerapan demokrasi dikarenakan kurang mengakarnya budaya demokrasi dalam masyarakat sehingga perilaku intoleran, sikap tidak saling percaya, pelanggaran terhadap aturan-aturan politik yang telah disepakati menjadi awal dari kegagalan demokrasi serta akar masalah adalah belum matangnya aturan, ide serta nilai demokrasi yang tertanam dalam budaya demokrasi pada suatu komunitas dalam negara. Dari besarnya cita-cita tersebut karena demokrasi adalah suatu poses perjalanan panjang daru suatu negara yang tidaklah cukup mengungkapkan demokrasi hanya berdasasrkan teori dalam tahapannya saja. Hubungan demokrasi dengan politik adalah pada saat politik dalam penerapannya dalam pemilihan kepala daerah memiliki kontrak politik terhadap masyarakat dalam hal janji-janji politik yang sudah disampaikan dalam kampenye. Adanya kepribadian dalam melaksanakan politik menjadi politik yang tahan hantaman dari segala arah yang ada, sikap yang berdaulat dalam politik serta fatsun politik yang ada menghantarkan politik pada nilai-nilai politik yang ada meskipun cukup nyata dirasakan adanya pengaruh dari oportunispragmatisme dari berbagai pihak dalam melihat peluang aji mumpunng dalam politik. tujuan dari politik pada demokrasi adalah memberikan jalan keluar sebagai solusi yang berarti kepada masyarakat, politik sebagai keberimbangan dalam setiap pengambilan keputusan yang sangat penting bila mengingat pengaruh yang diciptakan politik sebagai efek kepada masyarakat,bila demokrasi dalam politik dijalankan dengan setengah hati akan menciptakan hilangnya pegangan
masyarakat
akan
kondisi
yang
ada
sehingga
melahirkan
ketidakpercayaan kepada pemegang mandat yang telah diberikan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan demokrasi kesejahteraan dalam hal ini adalah mendongkrak ekonomi masyarkat sangat kental terlihat dalam masyarakat karena pada saat pelaksanaan pesta demokrasi setiap calon kepala daerah selalu membagikan uang sebagai salah satu cara untuk meluluhkan hati rakyat dengan pesan yang ingin disampaikan seakan begitulah kebaikan calon kepala daerah jika berhasil menjadi kepala daerah yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan rakyat yang cukup dengan membagikan uang kepada masyarakat. Kandidat yang mempunyai uang cukup banyak dan tentunya dengan sumber yang tidak jelas dapat mengelabui konstituen. Dengan kondisi kesadaran masyarakat yang masih sangat lemah tentunya uang dapat diterima sebagai tawaran yang sangat menggembirakan apalagi didukung oleh kondisi ekonomi masyarakat saati ini yang sedang sulit sehingga dalam kondisi demikian uang dapat dipandang sebagai dewa penolong yang dapat mengeluarkan masyarakat dari tuntutan pemenuhan kebutuhan sesaat. Namun, masyarakat yang sedikti kritis menghadapi pemilihan kepala daerah justru lebih bersifat strategis-pragmatis yaitu menerima uang namun tidak memilih calon tersebut karena masyarakat sudah memiliki pemahaman tambahan bahwa siapapun calon kepala daerah yang terpilih maka kondisi akan sama saja dan tidak mengalami perubahan. Politik uang mengingkari cita-cita etis masyarakat untuk membentuk, mengembangkan tata pemerintahan yang baik dan bersih serta jujur berdasarkan sendi-sendi integritas kandidat yang baik, tanpa itu karakter pemerintah yang demokratis akan sulit terwujud. Pemerintahan yang dihasilkan dari ketidakjujuran akan melahirkan otoriter, represif, tidak transparan dan menutup partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah namun harus diakui bahwa hal
Universitas Sumatera Utara
tersebut adalah harga mahal yang harus dibayar untuk melalui proses berdemokrasi. Demokrasi telah menjadi budaya politik dalam masyarakat, sifat demokrasi mempertahankan kebenaran menjadi suatu pendirian yang tegas bahwa didalam demokrasi semua orang diciptakan sama dan dikaruniai suatu hak yang tidak bisa dilanggar oleh orang lain, bebas bertanggungjawab dalam hukum dan mencari kebahagiaan tanpa harus menidas orang lain, untuk menjaga hak-hak ini pemerintahan dibentuk didalam masyarakat dimana kekuasaan kepala daerah yang sebenarnya berasal dari persetujuan rakyat atau mereka sebagai masyarakat yang diperintah. Demokrasi sebagai kehendak rakyat, sudah dapat dipastikan bahwa demokrasi akan berwujud manakala kehendak rakyat mayoritas dapat dipenuhi oleh pemerintah berkuasa dengan relatif baik. Karena itu, dari mana sumber kekuasaan itu berasal atau dengan kata lain darimana sumber kekuasaan itu berada, maka rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang utuh berhak meminta pertanggungjawaban kepala daerah yang terpilih. Budaya merupakan faktor utama untuk menjelaskan dibentuknya suatu sistem yang demokratis atau bahkan gagalnya demokrasi tersebut. Budaya politik dalam masyarakat merupakan pembelajaran yang berlangsung terus-menerus dalam waktu yang tidak ditentukan selama NKRI masih berdiri meskipun kebutuhan negara selalu berubah sehingga perundang-undangan ikut berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, namun ketika perubahan itu bertentangan dengan demokrasi maka budaya politik demokrasi menjadi defisit dan bahkan dapat hilang sama sekali dari masyarakat meskipun secara nyata aturan demokrasi masih ada dan hidup.
Universitas Sumatera Utara
2.5
Pilkada Tujuan utama dari pilkda adalah penguatan masyarakat dalam rangka
peningkatan kapasitas demokrasi ditingkat lokal dan peningkatan harga diri masyarakat yang sudah sekian lama termarginalkan. Keunggulan pilkada dalam demokrasi lokalmsangat menguntungkan karena didepan mata masa depan demokrasi lokal akan semakin bersinar meskipun tidak menjadi hal terpenting dalam mencapai demokrasi yang diinginkan. Dalam pemilihan kepala daerah secara tidak langsung masyarakat hanya menjadi objek dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah karena suara masyarakat hanya dititipkan kepada DPRD. Seorang kepala daerah harus memiliki rasio dengan kemampuan mengekspresikan gagasan, pengetahuan, dan ketrampilan dalam mengambil keputusan secara cepat dan akurat. Kecerdasan emosi seorang kepala daerah mampu juga untuk menahan diri, berempati, dan terbuka kepada sesama apalagi saat menghadapi kekalahan harus mampu berjiwa besar dan berlapang dada. Ada pula kecerdasan spiritual menyangkut kemampuan mengekspresikan nilai-nilai, keyakinan, kepercayaan yang dimiliki secara kontekstual. Kepala daerah adalah seorang yang dekat dengan masyarakat dan dikenal oleh masyarakat, tidak pada saat kampanye saja setiap calon merasa dekat dengan masyarakat dan setelah terpilih justru menghilangkan masyarakat dari tujuan utama keberhasilan pencapaian kepala daerah. Seiring dengan berjalannya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat tidak dapat dipungkiri bahwa pilkada tidak terlepas dari peran uang dalam mencapai kekuasaan artinya pilkada yang berlangsung saat ini dimana kandidat yang maju sebagai kepala daerah tidak sepenuhnya jujur, adil dalam
Universitas Sumatera Utara
memperoleh kemenangan. Amiruddin (2006), mengemukakan bahwa terdapat 2 bentuk pilkada, yaitu: 1.
Pilkda dimata masyarakat hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan oleh segelintir elite parpol untuk mendapatkan kekuasaan dilembaga eksekutif daerah. Partai politik sebagai instrumen yang seharusnya menyajikan calon yang paling baik bagi masyarakatcenderung lebih mementingkan calon-calon yang loyal kepada partai atau atasan daripada calon diluar partai yang munkgin dianggap masyarakat lebih berkualitas dan pantas menjadi kepala daerah. Maka, dengan demikian pemilihan kepala daerah hanya menjadi bagian dari ambisi elite partai untuk memupuk kekuasaan guna merebut posisi politik yang lebih strategis.
2.
Setelah reformasi pemegang sejati kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri, dengan diadakannya pilkda telah memberikan secercah harapan bagi perkembangan demokrasi kedepan. Lahirnnya sikap optiomis bahwa pilkada akan membawa perubahan kearah yang lebih baik dalam perkembangan demorkasi kepada masyarakat cukup mempunyai alasan yang kuat mengingat bagi masyarakat yang telah sekian lama dalam cengekraman kekuasaan dan kemudian melepaskan diri dari dominasi sistem tersebut. Pilkada bukan jawaban akhir dari proses demokrasi karena masih dihadapkan pada penyalahgunaan wewenang dan sentimen primordial oleh segelintir kalangan untuk mencapain tujuan yang sempit dan harus mengandalkan materi (uang) untuk mencapai kekuasaan, keadaan tersebut didasari pada tujuan agar pemilihan berlangsung secara demokratis.
Universitas Sumatera Utara
Ciri penting yang dimiliki pilkada langsung adalah memiliki asas. Asas merupakan suatu pangkal tolak pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan sesuatu tata hubungan atau kondisi yang dikehendaki. Maka dari hal tersebut, asas pilkada merupakan pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Asas pilkada merupakan prinsip-prinsip dasar atau pedoman
yang
harus
mewarnai
proses
berjalannya
pilkada
dalam
penyelenggaraannya. Asas pilkada juga berarti jalan atau sarana agar pilkada terlaksana secara demokratis, asas-asas pilkada harus tercermin dalam tahapan pilkada, asas-asas tersebut adalah: langsung; umum; bebas; rahasia; jujur; dan adil. Dalam pemilihan kepala daerah belum melembaganya demokrasi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan upaya pemberdayaan untuk medewasakan masyarakat melalui berbagai pendidikan politik.
Jika tatanan
demokrasi sosial belum melenbaga maka individu atau masyarakat yang memiliki perbedaan sulit untuk menyelesaikan secara damai sehingga sangat diharapkan agar pilkada dapat berjalan lancar, damai, jujur, dan berkualitas serta mampu meningkatkan kesejahteraan dalam masyarakat. Masyarakat sebagai pemilih sangat diharapkan menjadi rasional dalam memilih kepala daerah yang dianggap mampu mengemban tanggungjawab. Namun, sebagian masyarakat dapat dikatakan pemilih yang bersifat ala tradisi. Menurut Firmansyah dalam Purnama Putra (2009), bahwa pemilih tradisi merupakan seorang pemilih atau kumpulan pemilih yang sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran memilih seorang kandidat kepala daerah. Pandangan demikian akan menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
kesan pemilih untuk selalu mendengarkan dan membenarkan kata orang yang didukungnya sehingga akan memudahkan calon untuk memobilisasi massannya. Seiring perjalanan waktu, adanya pemahaman dalam masyarakat bahwa kandidat yang mengeluarkan uang paling banyak akan memperoleh kemenangan dalam pilkada. Menurut Rifai dalam Haboddin dkk (2009), mendefenisikan politik uang sebagai suatu tindakan memberikan sejumlah uang kepada masyarakat agar memberikan suaranya kepada calon kepala daerah yang telah memberikan bayaran tersebut. Hampir semua peristiwa politik ang di gelar selalu memerlukan uang yang tentunnya tidak sedikit jumlahnya karena pasangan calon kepala daerah yang akan bertarung diharuskan membeli partai politik sebagai kendaraan atau perahu politik dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, diantarnya pada saat kampanye, iklan media cetak/elektronik, kerja keras tim sukses, saksi hingga pada kondisi terjelek dalam serangan fajar. Pilkada menggunakan uang mengisyaratkan bahwa besarnya biaya penyelenggaraan pilkada menimbulkan kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa demokrasi itu sangat nahal. Demokrasi yang mahal berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat untuk ikut dalam pertarungan politik. Dalam realitas politik dimasyarakat yang demokratis terbentuk pendapat bahwa pada umumnya sumbersumber kekayaan dapat menghasilkan kekuasaan dan kekuasaan dapat menghasilkan kekayaan. Salah satu maksud dilaksanakannya pilkada langsung sebenarnya untuk mengurangi praktek politik uang dengan asumsi bahwa politik uang akan lebih sulit dilakukan karena pemegang hak suara adalah semua warga negara yang memiliki hak pilih. Pemahaman tersebut lahir dari sebuah fenomena politik dimana sistem pemilihan tidak langsung yakni melalui anggota dewan
Universitas Sumatera Utara
berkembang praktek politik uang dalam setiap pemilihan kepala daerah yang sering disebut dengan politik dagang sapi. Dalam perhelatan pilkada tidak seorang calon menginginkan untuk kalah, besarnya harapan untuk menang tidak diimbangi dengan kepuasan hasil yang dicapai sehingga cenderung melakukan hal-hal diluar kewajaran karena hilangnya sifat berjiwa besar, berlapang dada serta siap menerima kekalahan secara adil dan jujur. Konflik lahirnya dari ketidaksiapan calon untuk kalah, besarnya biaya yang telah dikeluarkan menjadikan setiap calon menjadi gelap mata dalam mencapai kursi kepemimpinan sehingga menggunakan pengaruhnya untuk membentuk suatu barisan yang tidak setuju atas kemenangan dari calon lainnya. Menurut Webster dalam Purnama Putra (2009), mendefenisikan konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik sering memiliki makna benturan seperti perbedaan pendapat, persaingan atau pertentangan antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, dan kelompok dengan lembaga pemerintah. Secara umum, konflik dapat disimpulkan sebagai suatu perwujudan dari persepsi masyarakat dari adanya perselisihan atau perbedaan kepentingan yang muncul diantara dua belah pihak atau lebih, baik yang sifatnya pribadi atau kelompok yang dapat menimbulkan adanya perpecahan antara kedua belah pihak yang berkonflik. Dalam pesta demokrasi yang merupakan perhelatan akhbar hanya ada satu pemenang dalam pilkada, kebesaran hati untuk menerima kekalahan sebagai bentuk penghargaan terhadap demokrasi adalah suatu hal yang penting untuk kemajuan pilkada. Kekalahan dalam pilkada tidak lantas
Universitas Sumatera Utara
menjadikan hal tersebut menjadi suatu perbedaan. Menurut Dahrendorf dalam Purnama Putra (2009), mengatakan ada 3 bentuk pengaturan konflik yang bisa digunakan sebagai resolusi konflik, yaitu: 1.
Konsiliasi, yaitu semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuaka untuk mencapai kesepakatan tanpa pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau pemaksaan kehendak.
2.
Mediasi, kedua belah pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga seperti tokoh masyarakat, tokoh agama atau yang memiliki pengetahuan dan keahlian mendalam tentang subyek yang dipertentangkan.
3.
Arbitrasi, kedua belah pihak sepakat untuk mendapat keputusan akhir yang bersifat legal dan arbitor sebagai jalan keluar konflik. Dari kondisi tersebut dibutuhkan langkah bijak dari setiap calon kepala
daerah, kemampuan pemerintah memberikan pemahaman dan meberikan pendidikan politik yang dapat mengeluarkan konflik dari tataran masyarakat. Pencapaian kursi kepemilimpinan daerah dalam pesata demokrasi tidak hanya sekedar menduduki kursi pemerintahan namun adanya tanggungjawab yang sangat besar dalam membebaskan masyarkat dari kondisi yang tidak sesuai dengan keadaan sebenanrnya sehingga setiap kepala daerah mampu menorehkan tinta emas keberhasilannya. Perbandingan dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 dalam Tabel 1 memiliki perbedaan penting dalam desentralisasi, dekosentrasi, otonomi daerah, pemerintah daerah, pemerintahan daerah, kepala daerah, pemilihan kepala daerah, dan pemberhentian kepala daerah. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 kepala daerah sebagai pemerintah daerah beserta perangkat daerah
Universitas Sumatera Utara
otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, pemerintahan daerah juga merupakan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom oleh pemda dan DPRD dan/atau daerah kota, sementara hal yang terpenting adalah pemilihan kepala daerah dimana pemilihan dilaksanakan oleh DPRD dan mendapatkan pengesahan dari Presiden dan pemberhentiannya disusulkan oleh DPRD dan disahkan oleh presiden. Sementara dalam UU No. 32 Tahun 2004 dalam hal pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah, penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam NKRI. pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung dalam pemilihan kepala daerah dengan penentuan suara terbanyak sementara pemberhentian kepala daerah melalui mekanisme pemilukada dan dikarenakan tidak dapat melaksanakan tugas serta melanggar sumpah jabatan. Dalam Tabel 2 diterangkan kelebihan dan kekurangan pilkada langsung dan pilkda tidak langsug. Dari kondidi tersebut dapat dilihat serta dinilai dalam proses pilkada mana akan berpijak dalam pemilihan kepala daerah yang terbaik dengan mempertimabangkan aspek-aspek yang ada dengan mengkorelasikannya dengan fakta yang terdapat dalam masyarakat. Dari kondisi tersebut maka pilkada sudah seharusnya dapat menjadi suatu solusi bagi pemilihan kepala daerah yang minim anggaran yang menghasilkan kepala daerah yang jujur, adil, memiliki kecakapan akan memerintah dengan menjauhkan praktek kotor dalam
Universitas Sumatera Utara
menjalankan pemerintahan dengan hukum yang beralku tegas serta tidak pandang bulu. Kelebihan dan kekurangan dalam pilkada tersebut juga akan melahirkan sistem pemilihan kepala daerah yang bersifat tetap sehingga perubahan UU dalam pemilihan kepala daerah diubah bukan dikarenakan kekurangan dan kerugian akibat perilaku dari setiap kandidat namun lebih menekankan pada perbaikan yang positif sehingga memberikan pendidikan politik yang dapat mendewasakan demokrasi ditingkat lokal yang madiri dan rasional.
Universitas Sumatera Utara