RUANG UTAMA
PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG: STUDI RAPID APPRAISAL DI KABUPATEN BEKASI Yayan Rudianto Abstrak Bagaimana politik dan kebijakan dijalankan? Daerah sekarang tengah menikmati keleluasan lebih besar untuk menentukan arah kebijakan bagi masing-masing daerah dalam menggunakan sumberdaya publik. Perluasan kebebasan dalam masa demokratisasi sekarang, selain dari desentraliasi itu sendiri, bagi perorangan dan masyarakat telah dimanfaatkan untuk menyatakan kepentingannya dan menyalurkan ini pada proses pengambilan keputusan yang lebih dekat dan berarti bagi mereka. Penelitian ini akan mengangkat salah satu isu penting akhirakhir ini yakni tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. Data dikumpulkan melalui wawancara kepada kelompok elit (parpol, DPRD, pemda, panwaslu) dan masyarakat (tokoh masyarakat, akademisi, perempuan dan warga lainnya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kalangan mendukung pelaksanaan Pilkada langsung karena dianggap lebih aspiratif. Lembaga yang menyelenggarakannya adalah KPUD, dana berasal dari APBD dan APBN. Calon independen (non-parpol) diberi kesempatan untuk maju sebagai bakal calon. Perihal impeachment bagi Kepala Daerah, terdapat perbedaan pandangan antara masyarakat dan elite. Kata Kunci: Pilkada Langsung, Rapid Appraisal, Kabupaten Bekasi
Pendahuluan Kebijakan desentralisasi sekarang ini telah membuat perubahan besar tentang bagaimana politik dan kebijakan dijalankan di antara aktoraktor yang bertambah banyak, baik di
tataran nasional dan terutama di pemerintahan-pemerintahan daerah. Untuk yang terakhir ini mereka sekarang menikmati keleluasan lebih besar untuk menentukan arah kebijakan bagi masing-masing daerah dalam menggunakan sumberdaya
publik untuk mencapai tujuan tersebut, dan membuat kebijakan itu lebih sesuai dengan aspirasi dan ekspresi dari lembaga perwakilan dan aktor-aktor berpengaruh lainnya. Propinsi sekarang memiliki sumberdaya personal dan finansial jauh lebih besar, tapi dengan kewenangan yang masih kabur untuk bisa mempengaruhi kebiijakan kabupaten/kota di wilayahnya supaya bisa sejalan dengan arah kebijakan dari proses politik di tingkatannya sendiri. Pusat tetap mempertahankan kekuasaan dan sumberdaya yang besar, tetapi terus dirundung kesulitan akibat kesemrawutan politik yang terus berubah saat ini. Perubahan dalam keterlibatan dan pengaruh aktor-aktor itu tidak hanya terjadi dalam kerangka pemerintah atau negara, namun pada pelaku-pelaku lain di luar itu yang semakin kuat dan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan publik. Keadaan ini muncul sebagai akibat dari perluasan kebebasan dalam masa demokratisasi sekarang, selain dari desentraliasi itu sendiri. Bagi perorangan dan masyarakat, demokratisasi dan desentralisasi telah dimanfaatkan untuk menyatakan kepentingannya dan menyalurkan ini pada proses pengambilan keputusan yang lebih dekat dan berarti bagi mereka. Untuk yang terakhir ini masih perlu banyak pengamatan untuk memastikan seberapa jauh keseimbangan antara negara dan masyarakat telah terjadi. Pemeriksaan atas tingkah laku aktor-aktor di pemerintahan kabupaten/kota jadi mendesak sekarang ini karena ada keperluan perdebatan tentang arah kebijakan desentralisasi itu sendiri, terutama dalam kerangka pem-
bahasan perubahan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Pemeriksaan tentang peran dan pengaruh aktor-aktor ini bisa dilakukan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan penyusunan kebijakan daerah, pengelolaan wilayah khususnya berkaitan dengan isu pemekaran wilayah, pemilihan umum, dan rencana pemilihan kepala daerah secara langsung. Instrumen Penelitian Penelitian ini akan mengangkat salah satu isu penting akhirakhir ini yakni tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. Dalam hal rencana pemilihan kepala daerah secara langsung studi ini antara lain mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan penyelenggaraan, kriteria calon kepala daerah, kampanye, pelaksanaan pemilihan, penetapan hasil pemilihan dan hubungan antara pemilih dengan kepala daerah terpilih selama memegang jabatannya. Untuk mengetahui hal tersebut dilakukan wawancara kepada kelompok elit (parpol, DPRD, pemda, panwaslu) dan masyarakat (tokoh masyarakat, akademisi, perempuan dan warga lainnya). Metodologi dan Laporan Studi ini merupakan sebuah rapid appraisal, sehingga tidak bisa diharapkan akan mampu memberi gambaran rinci tentang persoalan yang diteliti. Dengan kata lain, yang ditampilkan dalam tulisan ini lebih banyak berupa peta permasalahan berdasarkan topik yang diteliti. Beberapa statistik yang ditampilkan 2
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2008
sifatnya hanya sebagai pelengkap dan tidak secara khusus dibahas. Peta permasalahan berasal dari informasi yang dikumpulkan dari serangkaian wawancara dan diskusi kelompok, baik di kalangan masyarakat maupun pemda dan penyedia pelayanan lain. Selain wawancara dan diskusi kelompok juga dilakukan exit workshop sebagai sarana untuk melakukan konfirmasi ulang atas informasi yang dikumpulkan melalui wawancara dan diskusi kelompok tadi. Kesimpulan ditampilkan pada akhir pokok bahasan. Sementara rekomendasi sengaja tidak disusun, dengan harapan tulisan ini menjadi lentur dan bisa dipergunakan oleh siapapun yang memanfaatkannya.
kalangan elite dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: pendidikan minimal S1, memiliki moral yang baik (tidak tercela di tengah masyarakat, tidak terlibat kriminal, tidak terlibat penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya, tidak terlibat KKN, taat beragama, tidak terlibat pemberontakan G 30 S/PKI dan ormas antekanteknya), siap secara ekonomi (tidak harus orang kaya yang penting mampu mengatur keuangan/APBD, tidak bermodal tapi mempunyai kecakapan manajerial artinya dari sisi modal bisa dibiayai oleh perorangan, kelompok, pengusaha dari dalam ataupun luar Kabupaten Bekasi), dan usia minimal 25 tahun, maksimal 60 tahun pada saat pendaftaran. Menarik untuk dilihat di sini bahwa persyaratan pendidikan yang diusulkan minimal S1. Syarat ini lebih tinggi dibandingkan dengan wacana yang berkembang dalam perubahan UU Pemerintahan Daerah (UU 22/1999) yang hanya mensyaratkan pendidikan minimal SLTA. Aspek lainnya yang menarik adalah bagaimana respon terhadap isu putra daerah. Responden menganggap bahwa isu putra daerah tidak perlu, sebab masyarakat Bekasi sudah majemuk. Artinya kalau isu ini dijadikan bahan kampanye calon Bupati dan Wakil Bupati sudah ketinggalan zaman. Menurut undang-undang yang berlaku sekarang, hanya partai politik atau fraksi dalam DPRD yang boleh mencalonkan seseorang menjadi bupati. Bakal calon yang tidak diusulkan fraksi tidak diproses oleh Panitia Pilkada sekedar untuk menjadi calon saja, walaupun mendapat banyak dukungan dari
Pemilihan Kepala Daerah Elite 1. Penyelenggara Penyelenggara pemilihan kepala daerah sebaiknya KPU yang merupakan badan independen yang profesional dan berpengalaman. Sebagai catatan, KPU harus terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut: tokoh masyarakat, akademisi umum dan pondok pesantren, LSM yang bonafide, dan unsur pemda. Biaya untuk penyelenggaraan diambil dari APBD dan bantuan pusat (APBN). Tanggung jawab penyelenggara kepada pemda melalui mekanisme yang sama dengan KPUD sekarang yakni sebagai salah satu unsur pertanggungjawaban Bupati dalam LPJ kepemimpinannya. 2. Kriteria Bakal Calon/Calon Bupati Untuk menjadi bakal calon bupati, menurut responden dari 3
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2008
masyarakat. Untuk ke depan penjaringan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati bisa dikombinasikan antara bakal calon yang diusulkan fraksi, dan bakal calon perseorangan (independen) yang telah lulus seleksi di tingkat KPUD. Fraksi tidak mencalonkan tetapi mengambil dari bakal calon yang telah mendaftar ke KPUD walaupun nonpartai. Fraksi bekerja untuk pilkada (rakyat) bukan untuk partai. Bakal calon mendaftar ke KPUD sebanyak-banyaknya, bisa diusulkan oleh partai atau secara pribadi (bakal calon independen). KPUD menyeleksi bakal calon yang memenuhi syarat masuk bursa pemilihan, kemudian hasilnya sejumlah pasangan bakal calon tersebut diserahkan kepada DPRD untuk diseleksi lagi menjadi lima pasangan calon. DPRD mensosialisasikan lima pasangan tersebut kepada masyarakat pemilih. Pada waktunya, masyarakat pemilih langsung memilih satu pasangan calon dari lima pasangan calon tersebut dalam satu kali putaran. Hanya satu pasangan calon dengan suara terbanyaklah yang kemudian ditetapkan dalam sebuah rapat paripurna DPRD sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Kepala Daerah yang lama boleh mencalonkan asal belum dua kali masa jabatan sebagai Kepala Daerah secara berturut-turut. Badan yang memverifikasi hasil pemilihan adalah KPUD. PNS, Polri, TNI juga boleh mencalonkan diri dengan syarat cuti di luar tanggungan negara selama proses pilkada. Untuk syarat pengusulan tidak perlu ada sejumlah dukungan sebab akan banyak menimbulkan rekayasa. Jika KPU/KPUD seperti sekarang dalam pemilihan legislatif dan
presiden/wakil presiden mampu menjaga indenpendensinya, maka KPUD dalam kaitannya dengan Pilkada ke depan adalah bagian dari itu, sehingga konsultasi tetap diperlukan dengan level pemerintahan yang lebih tinggi. Tetapi bila KPU/KPUD yang sekarang bubar, maka KPUD dalam kaitannya dengan Pilkada melakukan konsultasi dengan Biro Otonomi Daerah di propinsi dan Pusat. 3. Kampanye Bentuk kampanye berupa pertemuan di lingkungan yang dilakukan secara tertutup, tidak perlu kampanye terbuka/arak-arakan. Media yang digunakan adalah spanduk, koran, TV, radio, stiker, foto copy materi kampanye, dan lain-lain. Jenis kampanye adalah kampanye dialogis dengan calon terpilih, baik dalam bentuk pertemuan di lingkungan calon pemilih, ataupun melalui media masa. Dalam pendanaan, tidak ada batasan dana kampanye. Sumber dana bisa dari dana pribadi, sumbangan dari donator perorangan, kelompok, atau pengusaha. Tanggung jawab penggunaan dana tersebut mekanismenya diserahkan pada kesepakatan sendiri antara calon kepala daerah dengan para donaturnya. Materi kampanye adalah program kerja, isu aktual, tidak menyinggung SARA, dan tidak menjelek-jelekkan pihak lain (rival). Selama masa kampanye tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara. 4. Pelaksanaan Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan selama satu 4
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2008
hari secara serentak. Hari pemilihan tidak perlu ditetapkan sebagai hari libur. Pemilihan dilakukan sebanyak satu kali putaran. Pengawas tidak perlu semacam Panwaslu tetapi cukup Kepolisian RI, TNI, dan Hansip. Jika terjadi darurat, diadakan koordinasi sebaik mungkin, tidak ada penundaan pencoblosan. Pemilih dapat melaksanakan haknya di mana pun dengan syarat menyerahkan surat keterangan sebagai pemilih dari TPS asal, tidak ada manipulasi perolehan suara. Semua langkah penanganan situasi darurat ini diatur oleh Perda tentang Pilkada.
Di samping berbagai informasi di atas, terdapat beberapa catatan yang cukup penting untuk disampaikan, yaitu: 1. Isu money politic pasti ada, namun tidak perlu ada sanksi (serahkan saja ke seluruh rakyat/pemilih, karena bagi siapapun yang melakukan money politic, dia hanya berhadapan dengan kemampuan menghabis kan dana kampanyenya tanpa ada kepastian menang dalam pemilihan. Kalaupun tetap memaksakan diri, ujung-ujungnya calon tersebut bangkrut, dengan demikian tidak perlu ada sanksi lain). 2. Manfaat pilkada langsung adalah rakyat/pemilih bisa mencari pemimpin daerahnya secara langsung. 3. Tanggapan masyarakat atas pi lkada langsung, di satu sisi menguntungkan, tapi di sisi lain terlalu olok biaya bagi pasangan calon, atau ada yang berpendapat tidak penting siapa yang terpilih asalkan rakyat bisa sejehtera.
5. Pemilih Semua warga Kabupaten Bekasi yang dibuktikan oleh KTP boleh ikut memilih dan cukup umur saat didaftarkan sebagai pemilih yakni minimal 17 tahun atau sudah menikah. Hak-hak pemilih adalah mencoblos salah satu pasangan dari lima pasangan calon dan mendapatkan rasa aman ketika pencoblosan berlangsung (asas Luber dan Jurdil dijamin terlaksana tanpa diskriminasi dan intimidasi dari pihakpihak tertentu, lawan politik, aparat pemda, Polri, TNI, dan lain-lain). Hasil pilkada disahkan dalam sidang paripurna DPRD Kabupaten Bekasi. Masyarakat tidak bisa menjatuhkan Kepala Daerah, demikian juga DPRD. Kalau terjadi penyimpangan dari program kerjanya, maka DPRD bisa menggugat melalui Pengadilan Negeri/PTUN. Bila putusan pengadilan kepala daerah telah melanggar APBD, maka bisa dijatuhkan, kemudian sisa masa jabatannya diganti oleh Ketua DPRD, Sekda, dan Kepala Kejaksaan Negeri/Kapolres/Dandim.
Masyarakat 1. Penyelenggara Penyelenggara pemilihan kepala daerah sebaiknya lembaga independen yang berasal dari berbagai kelompok/tingkatan masyarakat yang dipilih secara terbuka dengan menggunakan mekanisme tertentu (standar tertentu). Di sini terlihat bahwa responden masyarakat tidak mengarah pada suatu lembaga tertentu secara spesifik, melainkan lebih pada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh lembaga penyelenggara Pilkada. 5 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2008
Sumber pembiayaan pilkada dianggarkan dalam APBD pada tahun dilakukannya Pilkada. Akuntabilitas pelaksanaan, baik dari sisi pembiayaan, maupun dari sisi kualitas Pilkada dapat dicapai dengan imbangan adanya lembaga pengawas independen yang berasal dari dan dibentuk oleh masyarakat, pada sisi lain perlu ada perwakilan fraksi (wakil partai) yang ada di DPRD.
oleh lembaga penyelenggara pilkada (KPUD). Bakal calon hanya boleh diusulkan oleh parpol pemenang pemilu legislatif (yang memperoleh sekian persen suara) pada pemilu legislatif daerah. Tidak perlu dilakukan konsultasi dengan pemerintah lebih tinggi. 3. Kampanye Bentuk kampanye lebih tepat dengan dialog terbuka melalui penyampaian visi, misi, dan program kerja. Kampanye bisa dalam bentuk dialog di media cetak, radio, TV, dan lain-lain yang diatur oleh KPUD/ penyelenggara Pilkada. Dana kampanye disediakan oleh kandidat atau sponsor pendukung dengan aturan tertentu, dan tidak dibenarkan dana kampanye dari pemerintah. Selama berkampanye tidak dibenarkan menggunakan fasilitas negara, kecuali lapangan terbuka atau sarana gedung yang diatur oleh KPUD.
2. Kriteria Bakal Calon/Calon Kepala Daerah Untuk menjadi bakal calon/ calon perlu syarat admistrasi yaitu pendidikan minimal S1. Memiliki pengalaman pada bidang/organisasi yang berbasis kemasyarakatan. Usia antara 21-60 tahun (usia produktif), lulus tes kesehatan, fit and proper test, dan perlu dilakukan uji publik. Perlu ada aturan dalam bentuk Perda yang ditetapkan DPRD. Masukan dari masyarakat diakomodasikan dalam Perda tersebut. Artinya DPRD melalui Panitia Khusus yang bertanggung jawab terhadap Perda tersebut perlu meng-input dari masyarakat. Yang mengusulkan calon adalah parpol yang memperoleh sekian persen jumlah suara pada pemilu legislatif daerah. Temuan ini menarik, berbeda dengan apa yang berkembang di kalangan elite, di kalangan masyarakat justru tidak muncul keinginan agar ada calon yang berasal dari non-partai. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kalangan masyarakat belum terlalu “akrab” dengan ide adanya calon independen seperti itu. Bakal calon diusulkan kepada lembaga penyelenggara pilkada (bisa saja ke KPUD). Verifikasi dilakukan
4. Pelaksanaan Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan dalam satu hari, dan diusulkan agar hari pelaksanaan pilkada dinyatakan sebagai hari libur. Hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh responden elite yang tidak mengusulkan hari pelaksanaan pilkada sebagai hari libur. Banyaknya putaran pemilihan, pertama tergantung hasil putaran pertama. Bila putaran pertama hasil perolehan suara ada yang mutlak yakni 50 persen ditambah satu dari suara sah, maka tidak perlu putaran kedua. 5. Pemilih 6
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2008
Pemilih adalah mereka yang ditetapkan oleh UU/Perda yaitu mereka yang sesuai dengan persyaratan sebagai pemilih pada pemilu legislatif. Hak-hak pemilih (satu orang/sama) tidak boleh diwakilkan (one man one vote).
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Semua kalangan mendukung pelaksanaan Pilkada langsung karena dianggap lebih aspiratif. 2. Lembaga pelaksanaan Pilkada cenderung untuk mengarah pada KPUD. 3. Pendanaan Pilkada diusulkan agar berasal dari APBD dan APBN. 4. Muncul wacana perlunya calon independen (non -parpol) diberi kesempatan untuk maju sebagai bakal calon dalam Pilkada. 5. Ada perbedaan pandangan antara responden elite dengan responden dari masyarakat dalam hal impeachment. Responden masyarakat menginginkan agar mekanisme itu dimungkinkan (meskipun tetap harus melalui DPRD), sedangkan responden elite cenderung untuk tidak mengin ginkannya.
6. Penetapan Hasil Penetapan hasil pilkada disahkan oleh KPUD/lembaga penyelenggara Pilkada yang ditandatangani oleh Panwas, Ketua DPRD, Ketua Parpol yang mengusulkan pasangan bakal calon. 7. Hubungan antara Pemilih dan Kepala Daerah dalam Masa Jabatannya Masyarakat bisa melakukan impeachment atau pemakzulan dengan cara mengusulkan kepada DPRD atau KPUD untuk kemudian diproses. Jenis pelanggarannya adalah pelanggaran administratif dan pelanggaran publik/politik (diatur dalam Perda). Ini juga merupakan poin krusial yang memperlihatkan perbedaan pandangan antara responden elite dengan responden dari masyarakat. Perlu diingat bahwa responden elite cenderung untuk menolak ide impeachment ini. Beberapa catatan dalam kaitan ini adalah: money politic harus terbukti secara hukum dan bisa menjadi sanksi bagi kepala daerah untuk dijatuhkan, masyarakat sangat mendukung rencana Pilkada langsung, karena manfaatnya masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya secara lansung.
Daftar Pustaka Gore, Al. 1997. Businesslike Government. National Performance Review. October. Dunleavy, Patrick. 1991. Democracy, Bureaucracy, & Public Choice. Hemel Hempstead: Simon & Schuster International Group. Hardjosoekarto, Sudarsono. 1994. Debirokratisasi: Relevansi dan Masalahnya. Bisnis & Birokrasi. No. 3/Vol.II/September.
Kesimpulan
Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 7 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2008
Sugiyono. 1997. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Dokumen-dokumen: Undang-undang. 1999. Nomor 22. Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. Undang-undang. 1999. Nomor 25. Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. http://www.sinarharapan.go.id/ http://www.suaramerdeka.com/
8 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2008