IMPLIKASI PUTUSAN DKPP NOMOR 74/DKPP-PKE-II/2013 DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh: SITI ANNISAA’ MAHFUZHOH 1110048000012
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M / 1435 H
ABSTRAK
Komisi Kejaksaan adalah lembaga non struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang secara mandiri, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, seperti yang terdapat dalam peratura Presiden Nomor 18 tahn 2011. Dalam penelitian ini, penulis untuk memaparkan pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap kinerja jaksa, eksistensi lembaga Komisi kejaksaan dalam menjaga kinerja jaksa di Pengadilan Tinggi Jakarta, serta faktor apa saja yang menghambat pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap jaksa di Pengadilan Tinggi Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sosio legal. Metode sosio legal adalah metode yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Penelitian yang hanya meneliti peraturan perundang-undangan, dan sumber data yang digunakan berasal dari data sekunder. Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah bahwa Pengawasan komisi kejaksaan sebagai lembaga yang memiliki peran dan tugas dalam mengawasi kinerja kejaksaan khususnya para jaksa atau pegawai kejaksaaan. Adapun eksistensi komisi kejaksaan dalam mengawasi kinerja jaksa pada periode 2013-2014 cukup terlihat penurunan terhadap laporan pengaduan yang masuk di komisi kejaksaan namun belum menunjukkan kinerja yang optimal. Hambatan komisi kejaksaan dalam mengawasi kinerja jaksa di pengadilan tinggi jakarta belum terbentuknya kelompok kerja sesuai PP no. 18 tahun 2011 sebagai tenaga ahli yang diharapkan membantu kelancaran dalam pelaksanaan, belum maksimalnya dukungan administratif khususnya dalam SDM dengan jumah terbatas. Kata Kunci : Pengawasan Komisi Kejaksaan, Terhadap Kinerja Jaksa, Pengadilan Tinggi Jakarta. Dosen Pembimbing
: Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA.
DaftarPustaka
: Tahun 1986 s.d Tahun 2011.
iv
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga selalu dicurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, para tabi’in serta kaum muslimin yang tetap berpegang teguh kepada risalahnya hingga akhir zaman dan membawa manusia keluar dari kubangan lumpur Jahiliyah menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu persyaratan untuk menadapatkan gelar S1 Sarjana Hukum (S.H). Penulis berharap semoga skripsi ini sangat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis betul-betul menyadari adanya rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari berbagai pihak yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis guna menyempurnakan skripsi ini. Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, H. JM. Muslimin, MA, Ph.D.
v
2. Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA. dan Arip Purkon, SH.I, MA. Selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara. 3. Nur Habibi, SH.I, MH. Dosen Pembimbing I, dan Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. Dosen Pembimbing II, yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan terimakasih dan doa semoga Allah SWT membalasnya. 4. Seluruh dosen Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan utama dan perpustakaan fakultas yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Orang tua tercinta, Ayahanda Papi Firly dan Ibunda Nurbaiti yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, tak henti-hentinya memberikan nasehat, dukungan baik moril dan materiil yang tak terhingga, motivasi serta doa yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk penulis, memberikan semangat kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan studi S1 ini. 6. Adik-adik tersayang, Dini Nurfirda dan Hamzah Muzakkir yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam menimba ilmu untuk menyelesaikan studi S1 ini. Dan seluruh keluarga besar H. Munir Ali dan Muhammad Zein yang selalu memberikan motivasi bagi penulis.
vi
7. Teman-teman yang tak pernah terlupakan yang juga memberikan dukungan tanpa henti kepada penulis, Keluarga besar KOPRI Cabang Ciputat,
Asrama
Putri
PMII,
PMII
Cabang
Ciputat,
PMII
Komfaksyahum, Pastisa ang. xix, Fokdem, serta teman-teman seperjuangan di Jurusan Ilmu Hukum khususnya angkatan 2010. 8. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebut satu persatu.
Akhirnya, kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya dan semoga amal kebajikan mereka semua diterima disisi-Nya dan diberikan pahala yang berlipat ganda sesuai dengan amal perbuatannya.Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, dan masyarakat umumnya.
Jakarta, 1 Januari 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................................
i
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ............................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................
iii
ABSTRAK .................................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ................................................................................................
v
DAFTAR ISI ............................................................................................................... viii
BAB I
:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................................
7
D. Kajian (review) Studi Terdahulu ...................................................
8
E. Kerangka Teori dan Konsep .......................................................... 10 F.
Metode Penelitian .......................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ................................................................... 15
BAB II:
LANDASAN TEORI A. Teori Demokrasi ............................................................................ 18 B. Teori Etika Hukum ........................................................................ 23 1. Pengertian Etika ..................................................................... 23 2. Fungsi Etika............................................................................ 25 3. Hubungan Etika dengan Profesi Hukum ................................ 26 C. Teori Lembaga Negara .................................................................. 27
BAB III :
DKPP
DAN
PEMILIHAN
UMUM
KEPALA
DAERAH
PROVISI JAWA TIMUR A. DKPP dalam Penegakkan Etika Penyelenggara Pemilihan Umum 33 1.
Sejarah dan Pembentukan DKPP ........................................... 33
viii
2.
Dasar Hukum dan Urgensi DKPP .......................................... 37
B. Kedudukan Komisi Umum Kepala Daerah .................................. 39 1. Dasar Hukum KPUD .............................................................. 39 2. Praktik dan Penerapan UU Nomor 15 Tahun 2011Tentang Penyelenggara Pemilu ............................................................ 43 C. Proses Pendaftaran dan Penetapan Peserta Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur .................................................................................... 46 D. Tata Cara Pengajuan Permohonan Gugatan ke DKPP ................. 51
BAB IV :
ANALISIS PUTUSAN DKPP No.74/DKPP-PKE-II/2013 DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH JAWA TIMUR 2013 A. Kewenangan DKPP Sebagai Penyelenggara Pemilu Menurut UU Nomor 15 Tahun 2011 .................................................................. 54 B. Implikasi Putusan DKPP No.74/DKPP-PKE-II/2013 Terhadap Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur 2013 ...................................... 60 C. Analisis Putusan DKPP No.74/DKPP-PKE-II/2013 ..................... 64
BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 67 B. Saran-saran .................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 71
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara demokrasi, ini terlihat dalam Pasal 1 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Secara sederhana, demokrasi didefinisikan sebagai suatu sistem pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat. 1 Dimana setiap warga negara mempunyai suara dalam pelaksanaan kekuasaan dan ikut ambil bagian secara nyata. 2 Salah satu implementasi dari kedaulatan rakyat adalah melalui Pemilihan Umum. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses dimana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan – jabatan disini beraneka ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat diberbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. 3 Pemilu merupakan prasyarat penting dalam negara demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai suatu kumpulan metode atau suatu pendekatan dengan mekanisme prosedural bagi warga masyarakat dalam menggunakan hak pilih mereka. Sistem pemilu pun dari waktu ke waktu sesuai tuntutan
1
Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi, Edisi revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001), h. 82. 2 Khairul Fahmi, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 20.
Rumidan Rabi’ah, Lebih Dekat Dengan Pemilu Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2009), h. 46. 3
1
2
zaman terus mengalami perubahan sehingga hampir bisa dikatakan, sistem Pemilu di Indonesia tidak tuntas karena setiap kali pergantian rezim selalu diubah undang-undang dan peraturan berdasarkan kebutuhan zaman. Desain sistem Pemilu cenderung mengutamakan kepentingan elite yang notabane menjadi aktor dalam proses penyusunan Undang-Undang Pemilu itu sendiri. Politik formal menjadi basis legitimasi kekuatan politik yang dominan dalam pengambilan keputusan sehingga dalam kondisi dan situasi tertentu desain sistem Pemilu tidak melihat realitas sosial politik masyarakat, atau yang paling sederhana bagaimana para perumus Undang-Undang Pemilu mengedepankan kepentingan rakyat termasuk konstituen mereka sendiri. Akibatnya, proses dan hasil penyelenggaraan Pemilu tidak selalu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang diharapkan rakyat. Pemilu tidak menghasilkan jalan keluar bagi pemecahan atas persoalan bangsa, tetapi agenda Pemilu hanya dijadikan sebagai ajang merebut kekuasaan dan bahkan momen Pemilu senantiasa dimaknai para elite sebagai musim pergantian pemimpin dan dengan demikian transformasi nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilu tidak berjalan efektif .4 Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu yang lemah 4
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 1.
3
berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas. Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Penyelenggara Pemilu memiliki tugas menyelenggarakan Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan Pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing . KPU dianggap sebagian pihak tidak mampu menyelenggarakan proses pemilihan umum yang netral. Independensi yang menjadi garansi netralitas para anggota KPU diduga banyak yang dilanggar dan menyebabkan proses pemilu menimbulkan banyak tuduhan miring. Sementara itu Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pengawasan pemilu di negara kesatuan Republik Indonesia diharapkan dapat memastikan bahwa proses pemilu berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam hal ini, Bawaslu memiliki dua tugas, yakni melaksanakan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran. Berkaca pada pemilu sebelumnya, kinerja Bawaslu belum menunjukkan hal signifikan terkait dengan adanya sebuah pelanggaran. Kerja Bawaslu juga
4
dinilai hanya aktif dalam penindakan tapi tidak cukup mampu melakukan pencegahan pelanggaran. Apa yang dihasilkan oleh Bawaslu sepertinya tidak membuat para kontestan pemilu surut untuk tidak melakukan praktik-praktik pelanggaran. Keberadaan Bawaslu tidak membuat efek jera dan dianggap angin lalu. Tentu ini mempengaruhi kualitas demokrasi dan mendelegtimasi peran dan fungsi Bawaslu. Bawaslu pada akhirnya sekedar menjadi mesin pencatat pelanggaran dan nyaris tanpa wibawa. Dalam konteks tersebut DKPP dibentuk. Tugas dan kewenangan DKPP berkaitan dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya penyelenggaraan Pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi perubahan, bahkan berharganya pemilu dibutuhkan lembaga khusus yang permanen melakukan penegakan kode etik guna menghasilkan Pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.5 Meskipun demikian apa yang sudah dilakukan DKPP, bukanlah tanpa kritik. Kasus Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Khofifah-Herman yang
tidak diloloskan sebagai peserta dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah Jawa Timur oleh KPUD Jawa Timur, karena alasan adanya dualisme partai pendukung, melaporkan gugatannya ke DKPP. Sidang gugatan pelanggaran kode etik yang diadukan pasangan bakal Calon Gubenur Jawa
5
Komisi Hukum Nasional, Obesitas Penyelenggara Pemilu, Jurnal Desain Hukum Volume 13, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2013), h. 2.
5
Timur Khofiffah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawiredja itu, mengungkap sejumlah fakta tentang kurang tertibnya administrasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur dalam melaksanakan tahapan verifikasi.6 Tuntutan Khofifah-Herman untuk melakukan kaji ulang terhadap putusan KPU Jawa Timur tentang penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, dikabulkan sebagian oleh DKPP, dimana DKPP menjatuhkan sanksi peringatan ke Andry Dewanto Ahmad, merehabilitasi Sayekti Suwandi dan memberhentikan sementara Najib Hamid, Agung Nugroho dan Agus Mahfud Fauzi menurut hasil putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013. Akhirnya pada tanggal 31 Juli 2013, KPU membatalkan keputusannya yang tertuang dalam Putusan KPU Jatim Nomor 18/Kpts/KPU-Prov014/2013 dan menetapkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawireja sebagai peserta Pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2013 menurut putusan Nomor 41/Kpts/KPU-Prov-014/2013. Putusan DKPP mengenai pemberian perintah kepada KPU untuk segera meloloskan Khofifah-Herman sebagai peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Timur, menuai kritik. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan putusan tersebut memberi kesan DKPP ingin melibatkan diri sebagai peradilan administrasi pemilihan umum. Padahal secara undang-undang, jelas disebutkan bahwa 6
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-timur/13/07/29/mqpg6v-soal-khofifahdkpp-kritik-kpu-jatim, diakses pada 24 Januari 2014.
6
kewenangan DKPP adalah dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik.7 Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, Wewenang DKPP hanya memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Boleh memecat. Hanya itu, tidak lebih. Badan ini tidak bisa membatalkan keputusan KPU/KPUD. Karena DKPP bukan lembaga peradilan. DKPP hanya Dewan Kehormatan. Hanya mengurusi soal etik, bukan soal hukum. Sama seperti DPR, sifatnya hanya dewan. 8 Hal ini menimbulkan persoalan, DKPP sebagai salah satu Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum yang tugasnya menangani permasalahan kode etik para penyelenggara pemilihan umum, dalam hal ini telah mencampuri wewenang dari KPUD Jawa Timur, yang mana menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, keputusan DKPP tidak bisa memberikan implikasi hukum terhadap proses pemilu. Berlatar belakang dari permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Implikasi Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 7
http://www.tempo.co/read/news/2013/08/01/078501589/Kasus-Khofifah-PutusanDKPP-Dinilai-Kebablasan, diakses pada 28 Januari 2014. 8
http://www.sapujagatnews.com/yusril-dkpp-langgar-hukum-tata-negara-serir-1/, diakses pda 28 Januari 2014.
7
1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka penelitian ini dibatasi pada Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 terhadap kewenangan DKPP yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan dampak atau pengaruh Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 terhadap pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah di Jawa Timur. 2. Perumusan Masalah Untuk memperjelas masalah dalam pembahasan ini, maka dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut: a.
Bagaimana kesesuaian Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKEII/2013 dengan kewenangan DKPP yang diatur dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu ?
b.
Bagaimanakah dampak serta pengaruh Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 terhadap pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah di Jawa Timur ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 sesuai dengan kewenangan DKPP yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu
8
b. Untuk mengetahui dampak atau pengaruh Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 terhadap pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah di Jawa Timur
2. Manfaat Penelitian a.
Manfaat Teoritis 1) Untuk lebih memperkaya pemikiran ilmu pengetahuan penulis baik dibidang hukum maupun dibidang ketatanegaraan. 2) Untuk mengelaborasi antara teori yang diperoleh penulis diperkuliahan dengan fakta hukum yang terjadi di masyarakat 3) Untuk menambah khasanah keilmuan dibidang Hukum Tata Negara bagi Pembacanya
b.
Manfaat Praktis 1) Penelitian ini bermanfaat bagi praktisi hukum, pengamat, dan pejabat pemerintahan dan mahasiswa ilmu hukum pada khususnya tentang Kewenangan DKPP sebagai penyelenggara Pemilu menurut UU No.15 tahun 2011, sehingga diharapkan dapat turut aktif dalam proses pemerintahan yang demokratis dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara yang diamanatkan dalam Alinea IV UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2) Agar penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan bagi semua pihak khususnya yang hidup di lingkungan Hukum Tata Negara.
9
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu Kajian terkait dengan Pemilu tengah menjadi bahan diskusi hangat dan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Berbagai karya ilmiah dan tulisan baik berupa jurnal, buku, maupun tulisan-tulisan lainnya banyak yang telah membahas hal ini. Namun, terkait dengan pembahasan Analisis Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 Pemilihan Umum Kepala Darah Jawa Timur Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Guberur Khofifah-Herman, sejauh penelusuran penulis belum ada yang pernah melakukannya, maka untuk memposisikan skripsi ini kiranya perlu memaparkan penelitianpenelitian sebelumnya agar kemungkinan terjadinya pengulangan penelitian dapat dihindari. Skripsi tentang “Ambiguitas Kewenangan Panitia Pengawas Pemilu (Studi Kasus Sengketa Pemilu Kepala Daerah Tanggerang Selatan)”, ditulis oleh Rhino Sofana dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013. Skripsi ini membahas tentang kewenangan panitia pengawas pemilu dalam Pemilu Kepala daerah Tanggerang Selatan. Fokus skripsi tersebut meliputi peran dan fungsi Panwaslu dalam Pemilukada Tanggerang Selatan, pemahaman para pihak yang bersengketa terhadap fungsi pengawasan Panwaslu, dan tindakan Panwaslu terhadap sengketa pemilu. Dari segi objek, dalam penelitian Rhino Sofana, membahas mengenai Kewenangan Panwaslu sedangkan penulis membahas mengenai Kewenangan
10
DKPP. Dari segi lokasi, penelitian Rhino Sofana membahas Kasus Sengketa Pemilu Kepala Daerah di Tanggerang Selatan, sedangkan penulis membahas Kasus Sengketa Pemilu Kepala Daerah di Jawa Timur. Dari segi isinya, Penelitian Rhino Sofana lebih menekankan pada ambiguitas kewenangan Panwaslu dalam menangani sengketa Pemilu Kepala Daerah Tanggerang Selatan, sedangkan penulis membahas kewenangan DKPP dalam meloloskan peserta pemilu terhadap Proses Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur. Skripsi
yang berjudul “Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam
Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2004”,
ditulis oleh
Ulismanudi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 2004. Skripsi ini membahas tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses penyelesaian perselisihan hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera. Dari segi objek, dalam penelitian Ulismanudi, membahas mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pemilu Legislatif 2014, sedangkan penulis membahas mengenai Kewenangan DKPP dalam Pemilukada Jawa Timur 2013. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis ajukan tidak sama dengan 2 skripsi di atas.
E. Kerangka Teori dan Konsep
11
Pemilihan Umum merupakan ciri dari negara demokrasi. Yang mana kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, Pemilihan Umum selanjutnya disingkat Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan teori trias politica, pembagian kekuasaan negara, dibagi menurut fungsinya, pertama kekuasaan legislatif yang membuat UndangUndang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang, dan kekuasaan yudikatif yang mengadili atas pelanggaran Undang-Undang.9 Begitu juga dalam proses pemilu, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, ada pembagian kekuasaan, yang mana masing-masing lembaga mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing. Tiga lembaga yang menyelenggarakan jalannya pemilu yaitu, yang pertama Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas melaksanakan jalannya proses pemilihan umum, kedua Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) yang bertugas mengawasi proses pemilihan umum dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu, yang ketiga adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP),
lembaga
yang bertugas menangani
pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, menegakkan kode etik para penyelenggara Pemilihan umum, yaitu KPU dan Bawaslu. 9
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005) h. 151.
12
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian Gubernur adalah kepala pemerintah tingkat provinsi; kepala pemerintahan daerah tingkat I.10 Tujuan dari analisis putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 adalah untuk mengetahui bahwa ada salah satu dari keputusan DKPP yang melanggar UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, yaitu mengenai keputusan yang mememerintahkan KPU untuk meloloskan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Khofifah-Herman sebagai peserta Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur 2013.
F. Metode Penelitian Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan suatu metode penelitian dengan pemaparan sebagai berikut: 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah normatif.
Pada
penelitian
hukum
normatif
yang
sepenuhnya
mempergunakan data sekunder, maka penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentantif dapat ditinggalkan penyusunan kerangka konsepsionil mutlak diperlukan. Di dalam menyusun kerangka konsepsionil, maka dapat dipergunakan perumusan-perumusan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar penelitian, atau yang hendak diteliti.11
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986) h. 53 11
13
Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis putusan DKPP No.74/DKPP-PKE-II/2013 tentang KPUD Jawa Timur, putusan KPU Jawa Timur No.18/KPTS/KPU-PROV-014/2013 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah Jawa Timur, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP tentang
Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, dan
peraturan lainnya yang berkaitan dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah. 2. Pendekatan Masalah Sesuai dengan penelitian ini yang menggunakan jenis penelitian normatif, maka penulis menggunakan beberapa pendekatan yang akan dilakukan yaitu, Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dan Pendekatan Kasus (Conceptual-Approach). Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan dengan meneliti lebih lanjut rumusan masalah dalam hal analisis Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 Pemilihan Umum Kepala Darah Jawa Timur Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Guberur Khofifah-Herman Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Pendekatan Kasus digunakan untuk mengetahui praktek dari pelaksanaan Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 Pemilihan Umum Kepala Darah Jawa Timur Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Khofifah-Herman. 3. Teknik Pengumpulan Data
14
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu : a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)
Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 tentang KPUD Jawa Timur
2)
Putusan KPU Jawa Timur Nomor 18/KPTS/KPU-PROV014/2013 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah Jawa Timur
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu 4) Peraturan DKPP Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu 5) Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari buku-buku yang berhubungan dengan Pemilu, Buku-buku Hukum Tata Negara, skripsi, dan tentang hukum tata negara yang berkaitan dengan kewenangan DKPP dalam Pemilihan Kepala daerah. c. Bahan Non Hukum Bahan yang menunjang petunjuk maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,
15
Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain sebagainya sumber data yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini.
4. Pengolahan dan Teknik Analisis Data Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum kepermasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian penulis menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. 5. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
16
Untuk dapat menuangkan hasil penelitian ke dalam bentuk penulisan yang teratur dan sistematis, maka skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab. BAB I :
PENDAHULUAN Bab satu membahas tentang latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian (review) studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II :
LANDASAN TEORI
Bab ini membahas mengenai Teori Demokrasi, Teori Etika Hukum, dan Teori Lembaga Negara. BAB III :
DKPP DAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH PROVISI JAWA TIMUR Bab ini membahas tentang peran, fungsi, kedudukan, dan kewenangan dari dua penyelenggara Pemilu yang ada dalam skripsi ini, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
BAB IV :
ANALISIS PUTUSAN DKPP No. 74/DKPP-PKE-II/2013 Bab ini dipaparkan tentang analisis yuridis dari putusan DKPP No. 74/DKPP-PKE-II/2013, implikasi putusannya terhadap Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur, dan akibat yang ditimbulkan dari
17
putusan DKPP No. 74/DKPP-PKE-II/2013. BAB V :
PENUTUP Berisi kesimpulan dan saran penulis yang didapatkan berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Demokrasi Demokrasi dari segi etimologi (bahasa) berasal dari dua kata demos artinya rakyat dan cratos/cratein berarti pemerintahan. Berarti pemerintah yang dilakukan oleh rakyat.12 Demokrasi diwujudkan dengan adanya pemerintahan yang bersendikan perwakilan rakyat, yang kekuasaan dan wewenangnya berasal dari rakyat dan dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat serta bertanggungjawab penuh kepada rakyat. Oleh karena itu demokrasi mensyaratkan adanya pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat tersebut yang harus diselenggarakan secara berkala dengan bebas, rahasia, jujur, dan adil.13 Secara terminologis pengertian demokrasi sebagai berikut: a. Menurut
Josefh
A.
Schmeter,
demokrasi
merupakan
suatu
perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat;14
12
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.V, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2009. 13
Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, cet.II, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005), h.
76. 14
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, cet.III, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 162
18
19
b. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa; 15 c. Menurut Philippe C. Schmitterdan Terry Lynn Karl, demokrasi merupakan suatu system pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.16 Faham demokrasi tersebut sudah lahir sejak berpuluh-puluh tahun sebelum Masehi hingga sekarang abad ke 21 dan selalu dipikirkan serta dibicarakan orang maka wajarlah, melalui perjalanan waktu yang semakin lama itu, demokrasi mengalami perkembangan pemikiran. Ternyata setelah diuji dari zaman ke zaman, bahkan acapkali mengalami peperangan-peperangan besar, faham demokrasi itu dapat diterima oeh sebagian besar umat manusia.17 Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang pengertian demokrasi yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat
dan
penentu
keputusan
dan
kebijakan
tertinggi
dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat 15
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, cet.III, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 162 16
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, cet.III, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 162 17
h. 78.
Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, cet.II, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005),
20
atau mewakilinya melalui lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut system demokrasi diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas dan tidak mengesampingkan kaum minoritas. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat menurut Moh Mahfud MD mengandung pengertian tiga hal penting. Pertama, pemerintah dari rakyat (government of the people), Kedua pemerintahan oleh rakyat (government by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for people).18 Diantara sekian banyak aliran fikiran yang dinamakan demokrasi ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusionil dan satu aliran kelompok yang menamakan dirinya “demokrasi”, tetapi yang pada hakekatnya mendasarkan dirinya atas komunisme. Kedua kelompok aliran demokrasi mula-mula berasal dari Eropa, tetapi sesudah perang dunia II nampaknya juga didukung oleh beberapa negara baru di Asia. India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia mencita-citakan demokrasi konstitusionil, sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan maupun gaya hidup dalam negara-negara tersebut. Di lain fihak ada negara-negara baru di Asia yang mendasarkan dirinya atas azas-azas komunisme, yaitu RRC, Korea Utara, dan sebagainya.19 Negara konstitusional ialah negara yang pemerintahannya didasarkan sistem konstitusional, yaitu suatu sistem yang tertentu, yang pasti dan jelas
18
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, cet.III, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 162 19
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 50.
21
dimana hukum yang hendak ditegakkan oeh negara dan yang membatasi kekuasaan pemerintah. Agar pelaksanaannya teratur dan tidak simpang siur, harus merupakan satu tertib, satu kesatuan tujuan konstitusi yang merupakan hukum dasar dalam negara sebagai tolak ukur/paremeter dari semua peraturan hukum yang ada, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis.20 Selanjutnya, Wikipedia free encyclopedia menyebutkan bahwa demokrasi modern setidaknya mempunyai delapan karekteristik pokok, yakni (1) ada konstitusi yang membatasi kekuasaan dan mengontrol aktifitas pemerintah; (2) pemilihan untuk para pejabat publik yang dilakukan secara bebas; (3) hak untuk memilih dan mencalonkan diri dalam pemilihan; (4) kebebasan berekspresi; (5) kebebasan pers dan adanya akses untuk sumber-sumber informasi alternatif; (6) kebebasan berasosiasi; (7) adanya kesetaraan dalam hukum; (8) warga negara yang terdidik yang terinformasi mengenai hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 21 Dalam berbagai literature hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari: 1.
Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2.
Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3.
Peradilan yang bebas dan mandiri.
4.
Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asa kedaulatan rakyat.
20
Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, cet.II, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005),
21
Budi Winarno, Globaliasasi dan Krisis Demokrasi, (Yogyakarta: Medpress. 2007), h.
h. 78. 39.
22
Keempat prinsip atau ajaran diatas merupakan “mascot” bagi suatu pemerintahan yang konstitusional, akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak diimplementasikan. Dalam praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.22 Sistem konstitusional yang mencerminkan sistem hukum dan sistem pemerintahan suatu negara berbeda-beda satu sama lain sesuai dengan latar belakang dan proses perkembangan masing-masing bangsa atau negara tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan konsep negara hukum atau rule of law dari berbagai negara itu pun berbeda-beda, sesuai dengan sistem konstitusional yang dianutnya. 23 Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal adalah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu, dan yang dicantumkan dalam Penjelasan mengenai system pemerintahan negara yaitu: 22
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, cet.VI, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 1. 23
h. 81.
Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, cet.II, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005),
23
I.
Indonesia
ialah
(Rechtsstaat).
negara
Negara
yang
Indonesia
berdasarkan
atas
hukum
berdasarkan
atas
hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).24 II.
Sistem Konstitusionil Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan kedua istilah “Rechtstaat” dan “sistim konstitusi”, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari UndangUndang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Disamping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.25
B . Teori Etika Hukum 1.
Pengertian Etika Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dalam kaitannya dengan kata etika tersebut, Bartens menjelaskan etika berasal dari Yunani kuno yaitu ethos dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaan.
24 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 51 25
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 51
24
Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah etika yang oleh filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 BC) sudah dipakai untuk menujukkan sifat moral.26 Dr. James J. Spillane SJ. Mengungkapkan bahwa etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.27 Mengacu pada pandangan Levinas, etika dapat saja diibaratkan seperti “kaca mata” yang melekat pada manusia. Apabila kaca itu berwarna merah, maka keseluruhan objek yang dilihat akan berbuansa merah. Dengan berkaca pada pernyataan Albert Einstein, dapat pula disimpukan bahwa apa yang dipandang baik dan buruk memang terkadang bergantung pada subjektivitas (kepentingan) dari manusia yang melakukan penilaian tersebut.28 Istilah etika menghubungkan penggunaan akal budi perseorangan dengan tujuan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain. Pada hakikatnya segala ucapan etika itu relatif belaka; lazimnya nilai ucapan senantiasa terikat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Selanjutya baik atau buruknya kelakuan 26
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 7. 27 28
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, cet. V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.1.
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 55.
25
seorang manusia hanya dipastikan dari sudut pandang masyarakat belaka, oleh sebab itu terabaikanlah pribadinya. 29 2. Fungsi Etika Menurut Darji Darmodiharjo, etika memberi petunjuk untuk situasi yang harus kita lakukan dalam situasi konkret yang tengah dihadapinya. Kedua, mengatur pola konsistensi kita dengan orang lain, Ketiga, mengetahui tipe jenis manusia macam apa kita ini. Dalam konteks ini etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis. 30 Jika tiga pernyataan tersebut itu diintisarikan, sampailah pada suatu fungsi utama etika, sebagaimana disebutkan oleh Magnis Suseno, yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Disini terlihat bahwa etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dan yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Pengertian demikian perlu dicari dengan alasan: 1) Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita bingung harus mengikuti moraitas yang mana.
29 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, cet.II, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003), h.1. 30
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 7.
26
2) Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menantang pandanganpandangan moral tradisional. 3) Adanya berbagai ideology yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup, yang masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup, dan 4) Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, di lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.31 3. Hubungan Etika Dengan Profesi Hukum Etika dimasukkan dalam disiplin pendidikan hokum disebabkan, belakangan terlihat adanya gejala penurunan etika dikalangan aparat penegak hukum, yang mana hal ini tentunya akan merugikan
bagi
pembangunan masyarakat Indonesia.32 Suatu
pendidikan
professional
tanpa
pendidikan
mengenai
tanggung jawab dan etika professional tidak lengkap. Pendidikan keterampilan hukum dibidang teknis dibidang hukum yang mengabaikan segi yang menyangkut tanggung jawab seseorang terhadap orang yang dipercayakan kepadanya dan profesinya pada umumnya serta nilai-nilai
31
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, cet.II, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003), h. 2. 32
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, cet.V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 4.
27
dan ukuran etika yang harus menjadi pedoman dalam menjalankan profesinya hanya akan menghasilkan tukang-tukang yang terampil belaka dibidang hukum dan profesinya.33 Di sisi lain, juga dapat dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah dimaksudkan untuk menyiapkan peserta didik atau mahasiswa menjadi sarjana hukum yang: 1. 2. 3. 4. 5.
Menguasai hukum Indonesia; Menguasai dasar-dasar ilmiah dan dasar-dasar kemahiran kerja; Mengenal dan peka akan masalah-masalah keadilan dan masalah-masalah kemasyarakat; Mampu menganalisa masalah-masalah hukum dalam masyarakat; Mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memcahkan masalah-masalah kemasyarakatan dengan bijaksana dan tetap berdasar pada prinsip-prinsip hukum. (Pasal 1 Keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan RI Nomor 17/0/1993 tentang kurikulum yang berlaku secara Nasional Pendidikan Tinggi Program Sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum).
Dilakukannya hal tersebut tentunya, agar pada waktu pendidikan, mahasiswa hukum telah dibekali dengan pelajaran etika profesi hukum, dengan hal ini diharapkan agar para lulusan Lembaga Pendidikan Tinggi Hukum, menjadi aparat hukum yang memiliki etis, sehingga mereka dapat menopang dan mendorong pembangunan nasional.34 C. Teori Lembaga Negara Negara merupakan gejala kehidupan umat manusia di sepanjang sejarah umat manusia. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling
33
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, cet. II, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003), h. 10. 34
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, cet.V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 4
28
sederhana sampai ke yang paling kompleks di zaman sekarang. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam masyarakat, negara selalu menjadi pusat perhatian dan objek kajian bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahan umat manusia.35 Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat
dan
menertibkan gejala-gejala
kekuasaan
dalam
masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.36 Sejak ribuan tahun yang lalu para filosof yunani telah menyadari bahwa institusi yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Abad 19-an Max Weber mencoba mengkaji birokrasi dan institusi secara sistematis. Weber melihat bahwa politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaran negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam hal tertentu.37
35
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.V, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 9. 36
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.38. 37 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 40
29
Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas: a. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antogonisme yang membahayakan; b. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegaiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.38 Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya. Organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: worm), sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa
38
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 39.
30
baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.39 Dari
segi
kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat
itu biasanya
diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembagalembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertical ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.40 Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan tertinggi negara sebelum amandemen UUD 1945. Kewenangan MPR salah satunya adalah mengubah dan menetapkan UUD 1945. Menurut ketentuan dalam pembagian teori kekuasaan, MPR selaku lembaga tertinggi mempunyai hubungan horizontal dengan lembaga tinggi negara lainnya. Hubungan tersebut juga ditentukan dalam TAP MPR-RI No III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga Tinggi Negara.41
39
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Konstitusional Lembaga Negara, Cet.II, Konstitusi Press, 2006), h. 46
(Jakarta:
40 Jimly Ashiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, cet.II, (Yogya: FH UII Press, 2005), h. 35. 41
Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi, Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran Dalam Proses Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 82.
31
Secara harfiah logika hukumnya, MPR selaku lembaga yang mengubah dan menetapkan UUD 1945, maka MPR yang dapat menjaga dan juga menafsirkan UUD 1945. Perubahan terhadap UUD 1945 juga dilakukan salah satunya dengan adendum hanya menambahkan ketentuan umum yang diatur dan disebutkan dalam penjelasan UUD 1945.42 Sistem kerjasama antar lembaga negara tidak lagi bersifat vertikal, hal ini disebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara. Kedudukan MPR kini sama dengan lembaga negara lainnya, baik dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif.43 Pasca amandemen UUD 1945, telah dibentuk lembaga yudikatif baru yang bertugas untuk menjaga dan menafsirkan konstitusi yaitu, Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pasal 24 dan 24C UUD menyebutkan kedudukan dan kewenangan MK sebagai lembaga negara bidang yudikatif. Oleh karena itu telah terjadi peralihan kewenangan dalam menafsirkan konstitusi dari MPR kepada MK. 44 Dalam pandangan hukum menyebutkan bahwa MPR merupakan lembaga negara yang menetapkan konstitusi semestinya dapat menafsirkan konstitusi. Pasca amandemen UUD 1945 sendiri, MPR memberikan kewenangan dalam menjaga konstitusi serta menafsirkan konstitusi pada lembaga negara lainnya 42
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi I, (Bandung: Alumni, 1992), hal 95. 43
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Antarlembaga Negara, cet,II, (Jakarta: Konpress, 2005), h. 237. 44
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Antarlembaga Negara, cet.II, (Jakarta: Konpress, 2005), h. 238.
32
yang dibentuk melalui UUD 1945, yaitu MK. Peralihan kewenangan dalam menafsirkan konstitusi dari MPR pada MK merupakan terobosan hokum baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena MK dapat menafsirkan konstitusi maka MK menafsirkannya sebagaimana tugas dan kewenangannya dalam yudisial.45 Dalam melakukan fungsi peradilan terkait kewenangan MK yang diatur dalam pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 tersebut, MK melakukan penafsiran terhadap konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan konstitusi, karena disamping sebagai pengawal konstitusi, MK juga disebut sebagai sole interpreter of the constitution.46 Pembentukan MK merupakan dalam rangka menyempurnaan pelaksanaan reformasi konstitusional yang integral menuju proses demokratisasi yang berfungsi untuk menggantikan fungsi MPR dalam hal menafsirkan konstitusi.47
45
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Antarlembaga Negara, cet.II, (Jakarta: Konpress, 2005), h. 239. 46 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Antarlembaga Negara, cet.II, (Jakarta: Konpress, 2005), h. 239. 47
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, cet.II, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), h. 244.
BAB III DKPP DAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013
A. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Penegakan Etika Penyelenggara Pemilihan Umum 1. Sejarah dan Pembentukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Untuk meneggakkan Kode Etik, agar dipatuhi oleh semua pihak yang terkait, diperlukan adanya Dewan Kehormatan.
48
Lembaga
penegakan kode etik ini keberadaannya sudah ada sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.49 Dewan
Kehormatan
bertugas
dan
berwenang
memeriksa
pengaduan dan/ atau laporan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh anggota KPU dan anggota KPU Provinsi (Dewan Kehormatan di Tingkat Pusat). Anggota Dewan kehormatan berjumlah lima orang, terdiri dari tiga orang anggota KPU, yang dalam hal ini adalah yang tidak berstatus sebagai pihak yang akan diperiksa, dan dua orang dari luar anggota KPU, yang berasal dari tokoh masyarakat atau akedemisi yang memiliki integritas. Susunan Dewan Kehormatan KPU 48 Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 135. 49
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 31.
33
34
terdiri atas satu ketua merangkap anggota dan anggota Ketua dipilih dari dan oleh anggota Dewan Kehormatan sendiri. Ketua Dewan Kehormatan KPU tidak boleh dirangkap oleh ketua KPU.50 Dewan Kehormatan KPU bersifat ad hoc, ditetapkan dengan keputusan KPU. Meski dalam praktik menunjukkan DK KPU bersifat ad hoc,
tetapi lembaga ini selalu dibentuk setiap tahun karena tingkat
pelanggaran Kode Etik penyelenggara Pemilu yang semakin meningkat. Beberapa kali dibentuk DK KPU selama diterapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, faktanya terdapat banyak anggota KPU yang diberhentikan dan dengan keterbasan ruang gerak dari konteks wewenang kelembagaan tetap menjalankan tugas dengan baik.51 Hasil Pemeriksaan DKPP berbentuk rekomendasi. Rekomendasi ini bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh KPU.52 Boleh jadi prestasi kinerja baik dan beberapa terobosan yang dilakukan sejak masih bersifat sementara itulah yang kemudian mendorong parlemen khususnya di Komisi II selaku mitra DK KPU meningkatkannya menjadi permanen. Perubahan Umdamg-Undang Nomor 22 Tahun 2007 teryata membawa konsekuensi logis yang cukup berarti dimana status DK KPU dinaikkan
50
Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 135. 51 Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 31. 52
Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 136.
35
menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Perubahan fundamental ini terlihat jelas dari semula ad hoc menjadi permanen, dan tidak bergantung lagi pada pleno KPU, bahkan DKPP menurut amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tidak saja mmeriksa anggota KPU, tetapi juga anggota Bawaslu yang secara institusi sebagai penyelenggara Pemilu di masing-masing tingkatan.53 Perbedaan paling menonjol antara DK KPU dan DKPP pada dimensi batas wewenang. DK KPU dibentuk sesuai wilayah atau daerah adanya dugaan pelanggaran kode etik. DK KPU pusat dibentuk untuk memeriksa KPU pusat, begitu DK KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota. Sedangkan DKPP meliputi semua jajaran penyelenggara Pemilu dari pusat hingga tingkat paling bawah.54 Dewan
Kehormatan
Penyelenggara
Pemilu
senantiasa
mengembangkan tradisi penanganan kasus dengan bersifat transparan, dan oleh karena itu sidang dilakukan secara terbuka untuk umum. Kita perlu
membangun
kesadaran
yang
tentu
tidak
hanya
bagi
penyelenggaraan Pemilu di dalam menjalankan tugas berdasarkan rule of law and the rule of ethichs, tetapi kita juga bertekad membangun tradisi politik etik dengan tujuan memperkuat basis etika penyelenggara pemilu
53
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 31. 54
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 32.
36
agar fungsi
norma bisa berjalan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Etika merupakan bagian penting dalam persoalan moral setiap orang sehingga ia menjadi batas-batas nilai yang membedakan perbuatan baik buruk manusia dengan makhluk lain. Sigmund Freud mengatakan didalam kehidupan jiwa manusia terdapat “das es” dan “ais ich”, das es merupakan ketidakasadaran manusia dalam kekuatan-kekuatan hidup dan das ich bagian dari kesadaran individu untuk memaksimalkan potensi kemanusiaannya untuk memahami keadaan yang baik bersifat internal atau dalam dirinya maupun keadaan-keadaan yang muncul disebabkan oleh kekuatan eksternal sebagai pengendali apa yang disebut das es. Dalam persepektif ini manusia sesungguhnya memiliki dua petensi besar yang menjadi unsur kecenderungan bertindak yakni potensi untuk bertindak destruktif dan konstruktif.55 Tugas kita ialah bagaimana menjadikan nilai (value) sebagai system norma yang bisa dipercaya oleh semua masyarakat dalam kaitan kehadiran eksistensi penyelenggara Pemilu. Menjadikan keberadaan DKPP sebagai suatu instrument sosial politik dalam system berbangsa yang mampu menarik perhatian publik atau setiap orang, atau dalam bahasa modern disebut the believed capacity of any object to statisfy a human desire. Kita ingin menjadikan lembaga DKPP sebagai instrument
55
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 39.
37
demokrasi yang mencitrakan dirinya dengan nilai kebaikan bersama tanpa ada keberpihakan.56 2. Dasar Hukum dan Urgensi DKPP Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di seluruh Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia atau disingkat DKPP RI merupakan lembaga yang dibentuk dalam praktek demokrasi modern di Indonesia. DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya penyelenggaraan Pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu berharganya Pemilu dibutuhkan lembaga khusus yang permanen melakukan penegakan kode etik guna menghasilkan Pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.57 Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan 56
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 39. 57
DKPP.go.id
38
kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD NRI 1945 adalah “komisi pemilihan umum” (dengan huruf kecil), tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan Umum” (dengan huruf Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).58 Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) adalah lembaga baru yang dibentuk pada tanggal 12 Juni 2012 oleh pemerintah. Keberadaan DKPP dimaksudkan untuk mengawal etika penyelenggara Pemilihan Umum di setiap jajaran. DKPP merupakan institusi ethics yang ditugaskan
Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2011
Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum.59 Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS), anggota Panitia
Pemilihan
Penyelenggara
Luar
Negeri
Pemungutan
Suara
(PPLN)
,
anggota
Kelompok
(KPPS),
anggota
Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN), anggota
58 59
Jimly Asshiddiqie, Makalah Pengenalan DKPP Untuk Penegak Hukum, (Jakarta: 2013).
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 29.
39
Bawaslu,
anggota
Bawaslu
Provinsi
dan
anggota
Panwaslu
Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri. DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara. Landasan Kerja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu: 1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum; 3. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Legislatif; 4. Peraturan DKPP, KPU, dan Bawaslu tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, yaitu: a. Peraturan DKPP No.1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu; b. Peraturan KPU No.13 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu; c. Peraturan BAWASLU No. Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu; 5. Peraturan DKPP No. Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.60
B. Kedudukan Komisi Pemilihan Umum Daerah 1. Dasar Hukum Komisi Pemilihan Umum Daerah Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah nama yang diberikan oleh Undang-Undang tentang Pemilihan Umum untuk lembaga penyelenggara
60
Jimly Asshiddiqie, Makalah Pengenalan DKPP Untuk Penegak Hukum, (Jakarta: 2013).
40
pemilihan umum (pemilu). 61 Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 telah menentukan bahwa : “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” Dalam pasal 22E ayat 5 ditentukan pula bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan uum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Oleh sebab itu menurut UUD 1945 penyelenggara pemilihan umum itu haruslah suatu komisi yang bersifat: (i) nasional; (ii) tetap; dan (iii) mandiri atau independen.62 Jika lembaga penyelenggara pemilu itu tidak bersifat nasional, tetap, dan mandiri, maka lembaga tersebut bukanlah lembaga sebagaimana dimaksud oleh UUD NRI 1945. Disamping lembaga penyelenggara pemilu yang memenuhi syarat-syarat konstitusi itu diadakan lagi lembaga lain
yang
bersfat
tandingan,
hanya
karena
para
politisi
yang
mengendalikan proses pembentukan Undang-Undang (misalnya) tidak menyukai independensi lembaga penyelenggara yang sudah ada, maka kedudukan konstitusional lembaga peyelenggara pemilu itu jelas dilindungi oleh UUD 1945.63 Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
KPU
menjalankan
tugasnya
secara
berkesinambungan. Dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari
61
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 201 62 JImly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.V, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 427. 63
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 201.
41
pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.64 Menurut Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, struktur organisasi penyelenggara pemilu terdiri KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten /kota. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU. Dalam menjalankan tugasnya, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/kota mempunyai sekretariat. Pola organisasi dan tata kerja KPU ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul KPU ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan presiden berdasarkan usul KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan pemilu, KPU kabupaten/kota membentuk Panitia Pemilihan
Kecamatan
dan
Panitia
Pemungutan
Suara.
Dalam
melaksanakan pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) membentuk KPPS. Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) berakhir tugasnya dua bulan setelah hari pemungutan suara. Sedangkan tugas PPS dan KPPS berakhir satu bulan setelah hari pemungutan suara. Dalam pelaksanaan pemilu diluar negeri KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk KPPSLN. Tugas PPLN dan KPPSLN sebagiamana dimaksud pada ayat (9) berakhir satu
64
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu Bab III.
42
bulan setelah hari pemungutan suara. Untuk mengawasi pelaksanaan pemilu, KPU membentuk pengawas pemilu.65 Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa
untuk
melaksanakan
Pemilihan
Umum,
KPU
mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut:
1. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum; 2. menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum; 3. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS; 4. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan; 5. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II; 6. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum; 7. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum. Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf:
65
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 203.
43
1. tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undangundang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan tugas dan kewenangan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.66 2. Praktik dan Penerapan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu Desain sistem Pemilu cenderung mengutamakan kepentingan elit yang notabane menjadi actor dalam proses penyusunan Undang-Undang Pemilu itu sendiri. Politik formal menjadi basis legitimasi kekuatan politik yang dominan dalam pengambilan keputusan sehingga dalam kondisi dan situasi tertentu desain sistem pemilu tidak melihat realitas social politik masyarakat, atau yang paling sederhana bagaimana para perumus UndangUndang Pemilu mengedepankan kepentingan rakyat termasuk konsituen mereka sendiri. Akibatnya, proses dan hasil penyelenggaraan pemilu tidak selalu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang diharapkan rakyat. Pemilu tidak menghasilkan jalan keluar bagi pemecahan atas persoalan bangsa, tetapi agenda pemilu hanya dijadikan sebagai ajang merebut kekuasaan dan 66
KPUJatim.go.id
44
bahkan momen pemilu senantiasa dimaknai para elit sebagai musim pergantian pemimpin dan dengan demikian transformasi nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu tidak berjalan efektif.67 KPU dianggap sebagian pihak tidak mampu menyelenggarakan proses pemilihan umum yang netral. Independensi yang menjadi garansi netralitas para anggota KPU diduga banyak yang dilanggar dan menyebabkan proses pemilu menimbulkan banyak tuduhan miring. Meskipun pada akhirnya pemilu tetap terlaksana, tetapi prasangka-prasangka tidak netralnya KPU pada pemilu sebelumnya sampai sekarang masih terdengar. Secara Prosedural pemilu memang berjalan, tetapi meninggalkan cela dibelakang. Sementara itu Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pengawasan pemilu, di Negara Kesatuan Republik Indonesia diharapkan dapat memastikan bahwa proses pemilu berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam hal ini Bawaslu memiliki dua tugas, yakni melaksanakan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran.68 Pelajaran berharga dari pemilu sebelumnya adalah ketiadaan lembaga pengawas yang melakukan pengawasan teradap penyelenggara pemilu. Dan manakala terjadi ketidakpuasan atas hasil pemilu yang terjadi adalah demonstransi-demonstransi di kantor KPU/KPUD. Misalanya adanya 67 Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 1. 68
Komisi Hukum Nasional, Obesitas Penyelenggara Pemilu, Desain Hukum Volume 13, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2013), h. 2.
45
anggota KPU yang tidak netral acapkali tidak dilakukan tindakan yang rill dan tanpa ada upaya proses lebih lanjut, apalagi dikenakan sanksi. Dalam konteks tersebut DKPP dibentuk. Tugas dan kewenangan DKPP berkaitan dengan orang perorang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu.69 DKPP difungsikan untuk mengawal proses penyelenggaraan pemilu agar tidak saja demokratis tetapi berkredibilitas dan berintegritas guna menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tahu tanggung jawabnya. Penegakkan kode etik pemilu merupakan konsentrasi tugas dan fungsi institusi DKPP. Rule of ethichs dalam penyelenggaraan pemilu menjadi domain lembaga ini sehingga kita berharap keberadaan lembaga ini bisa menjadi model baru dalam desain sistem demokrasi modern di negaranegara modern.70 C. Proses Pendaftaran dan Penetapan Peserta Pemilukada Jawa Timur 2013 Peraturan mengenai Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010, yang sebelumnya diatur dalam Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009. 69
Komisi Hukum Nasional, Obesitas Penyelenggara Pemilu, Desain Hukum Volume 13, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2013), h. 3. 70
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 145.
46
Didalam peraturan KPU ini terdapat 8 Bab dan 67 Pasal. Bab pertama mengatur mengenai ketentuan umum, Bab kedua mengatur mengenai Persyaratan Pencalonan Peserta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Bab ketiga mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Bakal Pasangan Calon, Bab keempat mengatur mengenai Tata Cara Penelitian Bakal Pasangan Calon, Bab kelima mengatur mengenai Penetapan dan Pengumuman Pasangan Calon, Bab keenam mengatur mengenai Ketentuan Lain-Lain, Bab ketujuh mengatur mengenai Ketentuan Peralihan, bab kedelepan mengatur mengenai Ketentuan Penutup. Peraturan Tata Cara pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ini agak berbeda dengan Peraturan Pemilihan Umum Presiden, anggota DPR, dan DPRD Provinsi/Kota. Karena didalam Peraturan KPU ini, anggota peserta pemilu bukan hanya dari partai atau gabungan partai saja, tetapi boleh dari perseorangan atau independen yang diatur dalam pasal 3 Peraturan KPU Nomer 13 Tahun 2010. Pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota yang didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Memperoleh kursi pada pemilu DPRD Tahun 2009 paling rendah 15% (lima belas perseratus) dari jumlah kursi DPRD yang bersangkutan; atau
47
b. Memperoleh suara sah pada pemilu anggota DPRD Tahun 2009 paling rendah 15% (lima belas perseratus) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota DPRD didaerah yang bersangkutan.71 Sedangkan Pasangan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota yang berasal dari perseorangan, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling rendah 6,5% (enam koma lima perseratus) b. Provinsi dengan jumlah penduduk 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling rendah 5% (lima perseratus) c. Provinsi dengan jumlah penduduk 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling rendah 4% (emapat perseratus) d. Provinsi dengan jumlah penduduk 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling rendah 3% (tiga perseratus). Dan jumlah dukungan harus tersebar dilebih dari 50% (lima puluh perseratus) jumlah kabupaten atau kota diprovinsi tersebut 72. Adapun Persyaratan Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Warga Negara Indonesia yang memenuhi Syarat : a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah.
71
Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis tentang Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 72
Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis tentang Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
48
c. Berpendidikan paling rendah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sederajat; d. Berusia paling rendah 30 tahun bagi calon Gubernur/Wakil Gubernur dan berusia paling rendah 25 tahun bagi calon Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota pada saat pendaftaran; e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim pemeriksa kesehatan; f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuata hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya; i. Menyerakan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara; k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; l. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib menyerahkan bukti pembayaran; m. Meyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta kelyyuarga kandung, suami dan istri; n. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan o. Tidak dalam status sebagai pejabat Kepala Daearah. Para
calon
juga
harus
melengkapi
pesyaratan-persyaratan
administratif, sesuai dengan aturan yang tertera pada Bab 3 Pasal 14-19 Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010, yang nantinya akan diserahkan kepada KPUD. Setelah proses pendaftaran calon, KPU lalu melakukan proses verifikasi administarasi dari tiap pasangan calon yang dilakukan selama 3
49
hari. Lalu dilanjutkan lagi dengan verifikasi faktual. Yang dilakukan selama 9 hari, dengan mencocokkan dan meneliti secara langsung setiap nama pendukung untuk seluruh pendukung bakal pasangan calon atau dengan mengumpulkan para pendukung pada tanggal dan waktu yang sama atau mendatangi alamat pendukung, untuk membuktikan kebenaran dukungan terhadap bakal pasangan calon.73 Bakal Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur yang telah memenuhi
syarat
dukungan
berdasarkan
hasil
verifikasi
dapat
mendaftarkan diri sebagai pasangan calon dengan menyerahkan surat pencalonan yang telah ditanda tangani oleh bakal pasangan calon perseorangan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Adapun dengan Pemilukada yang terjadi di Jawa Timur. Pemilukada di daerah ini juga menyimpan cerita yang menarik soal sengketa Pemilukada di Jawa Timur Tahun 2013. Dimana terdapat satu Calon Gubernur yang tidak lolos verifikasi, yaitu pasangan calon Khofifah Indar Parawansa dan juga Herman Sumawiredja. Dengan keputusan KPU Jawa Timur pada tanggal 14 Juli 2013 melalui surat putusan Nomor: 18/Kpts/KPU-Prov-014/2013, menetapkan nama-nama calon yang memenuhi syarat dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Timur 2013. Yaitu:
73
Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis tentang Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
50
1. Pasangan Calon DR. H. EGGI SUDJANA, SH, M.Si. dan Drs. MOCH.SIHAT; 2. Pasangan Calon Bambang Dwi Hartono dan MH. SAID ABDULLAH; 3. Pasangan Calon DR.
H.
SOEKARWO dan Drs.
H.
SAIFULLAH YUSUF. 74 Sementara Pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Herman Suryadi Sumawiredja yang dinyatakan tidak lolos verifikasi, mereka tidak hanya diam begitu saja. Akhirnya pada tanggal 19 Juli 2013, mereka mengajukan gugatannya kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. D. Tata Cara Pengajuan Permohonan Gugatan ke DKPP Tata cara pengajuan permohonan gugatan diatur dalam peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 mengenai Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. Pengajuan permohonan gugatan ke DKPP berisi mengenai laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Penyelenggara Pemilu menurut peraturan DKPP Nomor 12 Tahun 2012 adalah anggota KPU, anggota KPU Provinsi, KIP Aceh, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota KIP Kabupaten/Kota, anggota PPK, 74
Putusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 18/Kpts/KPU-Prov-014/2013 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur yang Memenuhi Syarat dalam Pemilihan Umum Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2013.
51
anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPLSN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, Anggota Pengawas Pemilu Lapangan, dan/atau anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri. Dugaan pelanggaran kode etik dapat diajukan kepada DKPP berupa pengaduan dan/atau laporan dan/ atau rekomendasi dari DPR. Seseorang yang dapat melakukan pengaduan atau laporan ialah penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim kampanye, masyarakat, pemilih, dan pimpinan DPR atas nama perwakilan DPR.75 Pengaduan dilakukan secara tertulis. Bisa langsung menerima berkas kekantor DKPP atau pengiriman tidak langsung via elektronik maupun non elektronik. Pengaduan harus memuat mengenai, identitas lengkap pengadu atau pelapor, identitas teradu atau terlapor, alasan pengaduan atau laporan, dan permintaan kepada DKPP untuk memeriksa dan mengutus dugaan pelanggaran kode etik. Persyaratan pertama mengenai indikasi dari laporan yaitu harus memuat identitas lengkap teradu atau terlapor, yang akan penulis lampirkan formulirnya. Formulir pengaduan juga harus disertai dengan fotokopi KTP atau identitas lainnya, surat pernyataan yang ditanda tangani oleh pengadu, dan alat bukti.
75
Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2012 mengenai pedoman beracara kode etik penyelenggara pemilihan umum.
52
Persyaratan kedua yaitu harus memuat identitas teradu atau terlapor. Identitas teradu atau terlapor ini paling sedikit harus memuat nama lengkap, jabatan, dan alamat kantor. Yang mana dapat memudahkan hakim untuk mencari tahu mengenai si terlapor. Persyaratan ketiga yaitu memuat alasan pengaduan atau laporan meliputi waktu perbuatan dilakukan, tempat perbuatan dilakukan, perbuatan yang dilakukan dan bagaimana cara perbuatan itu dilakukan. Persyaratan yang terakhir yaitu mengenai permintaan kepada DKPP untuk memeriksa dan mengutus dugaan pelanggaran kode etik, sehingga pelaporan atau penggugatan bisa dicatat oleh petugas administrasi DKPP, yang juga formulirnya akan penulis lampirkan. Ada sekitar 12 juta penyelenggara KPU dan Bawaslu beserta jajaran yang berpotensi sebagai pihak teradu. Seandaainya disetiap pelanggaran pemilu didaerah itu diadukan tidak menutup kemingkinan DKPP akan kewalahan. Untuk itu DKPP menyiapkan tim pemeriksa daerah. Tim pemeriksa daerah ini akan bertugas memeriksa pengaduan yang dilakukan KPU dan Panwaslu tingkat Kabupaten dan/ atau Kota,76 tetapi tetap DKPP pusat yang berwenang memutus suatu perkara, tim
76
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Persiapan DKPP di Tahun Politik, Newlatter DKPP Edisi I, (Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, 2014), h. 2.
53
pemeriksa daerah ini hanya berwenang memeriksa dan menyidang pelanggaran kode etik.77
77
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, DKPP Siap Bekerja, Newslatter DKPP Edisi III, (Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, 2014), h. 2.
BAB IV Analisis Putusan DKPP No. 74/ DKPP-PKE-II/2013 Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Timur 2013 A. Kewenangan DKPP Sebagai Penyelenggara Pemilihan Umum menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Kewenangan
Dewan
Kehormatan
Penyelenggara
Pemilu
sebagai
penyelenggara pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pasal 1 ayat 22, yang berbunyi : Dewan Kehormatan Peyelenggara Pemilu yang selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Dalam hal ini, penulis akan membahas mengenai kewenangan DKPP yang dalam salah satu putusannya, menurut penulis telah melanggar atau melebihi batas kewenangannya, yaitu dalam kasus Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur 2013. Dan lebih terfokus kepada gugatan atau laporan yang diajukan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jawa Timur, Khofifah-Herman kepada DKPP. Pada tanggal 14 Juli 2013 KPUD Jawa Timur melalui surat putusannya nomor 18/Kpts/KPU-Prov-014/2013 mengumumkan nama-nama yang telah ditetapkan memenuhi syarat sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jawa Timur, yaitu :
54
55
1. Pasangan Calon DR. H. EGGI SUDJANA, SH, M.Si. dan Drs. MOCH.SIHAT; 2. Pasangan Calon BAMBANG DWI HARTONO dan MH. SAID ABDULLAH; 3 Pasangan Calon DR. H. SOEKARWO dan Drs. H. SAIFULLAH YUSUF. Tentu saja keputusan KPUD Jawa Timur tersebut, yang tidak meloloskan Pasangan Khofifah Indar Parawansa- Herman Sumawiredja sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2013 membuat Khofifah-Herman geram. Alasan karena adanya dualisme partai pendukung membuat pasangan Khofifah-Herman ini tidak dapat lolos dalam proses hasil verifikasi yang dilakukan oleh KPUD Jawa Timur. Tentu hal ini tidak dapat diterima begitu saja oleh Khofifah-Herman. Mereka merasa tidak diperlakukan secara adil oleh KPUD Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Juli 2013 Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Khofifah Indar Parawansa dan Herman Sumawiredja melaporkan gugatannya ke DKPP, karena adanya dugaan pelanggaran etik yang telah dilakukan oleh beberapa anggota dari KPUD Jawa Timur. Sehingga mereka tidak diloloskan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2013. Pada tanggal 31 Juli 2013 DKPP mengumumkan hasil gugatan yang diajukan oleh Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Khofifah-Herman melalui surat putusannya No.74/ DKPP-PKE-II/ 2013, memutuskan:
56
1.
Mengabulkan pengaduan pengadu untuk sebagian;
2.
Menjatuhkan sanksi peringatan kepada teradu I atas nama Andry Dewanto Ahmad;
3.
Merehabilitasi Teradu V atas nama Sayekti Suwidyah;
4.
Menjatuhkan sanksi berupa “pemberhentian sementara” kepada Teradu II atas nama Nadjib Hamid, Teradu III Agung Nugroho dan Teradu IV Agus Machfud Fauzi sampai hak konstitusional Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dan H. Herman Sumawiredja terpulihkan;
5.
Memerintahkan
kepada
Komisi
Pemilihan
Umum
Republik
Indonesia untuk melakukan peninjauan kembali secara cepat dan tepat terhadap keputusan KPUD Jawa Timur sesuai maksud, prinsip, dan etika penyelenggara pemilu dalam rangka pemulihan hak konstitusional Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dan H. Herman Sumawiredja; 6.
Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk mengambil alih tanggung jawab KPU Provinsi Jawa Timur untuk sementara, dan melaksanakan putusan ini sebagaimana mestinya, serta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk mengawasi keputusan ini.
Putusan pada point 5 inilah yang akan penulis bahas. Kata-kata “memerintahkan kepada KPU” membuat penulis merasa bahwa DKPP telah melebihi kewenangan sebagai Dewan Etik Pemilihan Umum.
57
Secara kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang, memang DKPP berwenang untuk menangani kasus pelanggaran kode etik yang terjadi di KPUD Jawa Timur. Dalam Pasal 109 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu yang berbunyi, “DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/ atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan, dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri. Di dalam Pasal 111 ayat 3 dan 4 juga dijelaskan mengenai tugas dan wewenang DKPP yang meliputi: a.
Menerima pengaduan dan/ atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu;
b.
Melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan dan/ atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu;
c.
Menetapkan putusan; dan
d.
Menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindak lanjuti.
58
Wewenang DKPP: a.
Memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
b.
Memanggil pelapor, saksi, dan/ atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan
c.
Memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
Pada Pasal 112 ayat (10), (11), (12), (13): 10) Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat Pleno DKPP. 11) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap. 12) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat. 13) KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS,
KPPSLN,
Bawaslu,
Bawaslu
provinsi,
Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, PPL, dan PPLN Wajib melaksanakan putusan DKPP.
59
Dari uraian tugas dan wewenang DKPP di atas, memang tidak disebutkan mengenai putusan yang di luar pelanggaran etik. Kalimat “Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk melakukan peninjauan kembali secara cepat dan tepat terhadap keputusan KPUD Jawa Timur” menurut penulis adalah hal yang tidak tepat dikeluarkan oleh sebuah lembaga penegakkan kode etik, karena putusan itu telah diluar kewenangan putusan sebuah lembaga penegak etik. Menurut Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Surabaya, Prof. Eko Sugitario, SH, M.Hum, berpendapat sebenarnya sidang DKPP ini bisa dipertanyakan, “karena bukan kewenangan DKPP untuk menentukan soal keputusan KPU, itu merupakan ranah PTUN. DKPP hanya mengadili pelanggaran etika penyelenggara pemilu. Tidak lebih.”78 Mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahedra berpendapat bahwa “DKPP tidak bisa membatalkan keputusan yang dibuat KPU. DKPP sesuai fungsinya hanya memutuskan masalah kode etik. MK mengadili hasil pemilukada, sementara yang mengadili keputusan lembaga negara (KPU Jatim) adalah peradilan tata usaha negara.”79 Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan “Putusan tersebut memberi kesan DKPP ingin melibatkan diri sebagai peradilan administrasi pemilihan umum. Padahal secara 78
http://surabayapagi.com/index.php?read=Disetir-Khofifah,-Sidang-DKPPKebablasan;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962d78a1cf95d4e0bff964c23a284d4247e 79
khofifah
http://nasional.inilah.com/read/detail/2015977/inilah-pernyataan-yusril-soal-gugatan-
60
undang-undang, jelas disebutkan bahwa kewenangan DKPP adalah dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik.”80 Pendapat ketiga ahli hukum tata negara tersebut dapat kita jadikan pertimbangan bahwa tugas DKPP benar adalah megenai penegakan kode etik para penyelenggara pemilu, dan diluar putusan yang diluar etika penyelenggara pemilu, merupakan bukan kewenangan dari DKPP. Walaupun salah satu tugas DKPP dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 pasal 111 ayat 3 adalah “Menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindak lanjuti”, akan tetapi dengan adanya kalimat diatas, penulis menafsirkan bahwa kalau memang ada suatu temuan diluar kewenangan DKPP, berarti temuan itu hanya bisa disampaikan kepada
lembaga
yang terkait,
yang
berwenang untuk
mengurus
dan
memutuskannya. Dan putusan itu bersifat rekomendasi, bukan perintah yang wajib harus dilaksanakan. B. Implikasi Putusan DKPP No. 74/ DKPP-PKE-II/2013 Terhadap Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur 2013 Dikabulkannya sebagian gugatan Khofifah Indar Parawansa dan Herman Sumawiredja oleh DKPP, pastinya akan memberikan akibat atau implikasi terhadap proses pemilukada di Provinsi Jawa Timur. Adapun berbagai dampak atau implikasi dari putusan DKPP Nomor 74/ DKPP-PKE-II/2013, yaitu:
80
http://www.yiela.com/view/3211907/-kasus-khofifah-putusan-dkpp-dinilaikebablasan-
61
1. Diloloskannya
Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawiredja
sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jawa Timur 2013 2. Ketua KPUD Jawa Timur Andrey Dewanto Ahmad (Teradu I) diberikan sanksi peringatan; 3.
Direhabilitasinya Sayekti Suwidyah (Teradu V);
4. Nadjib Hamid (Teradu II), Agung Nugroho (Teradu III) dan Agus Machfud Fauzi (Teradu IV) diberhentikan sementara sampai hak konstitusional Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dan H. Herman Sumawiredja terpulihkan; 5. Pelaksanaan putusan ini di ambil alih oleh KPU pusat dan Bawaslu sebagai pengawas dari pelaksaan putusan tsb. Implikasi putusan yang akan penulis bahas disini adalah mengenai diloloskannya Pasangan Khofifah-Herman sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jawa Timur 2013. Memang bukan semata-mata karena putusan DKPP tersebut pasangan Khofifah dan Herman bisa lolos dan mengikuti Pemilukada Jawa Timur ini, tetapi karena adanya unsur instruksi atau perintah dari putusan DKPP ini yang akhirnya membuat KPU untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan KPUD Jawa Timur Nomor 18/Kpts/KPU-Prov-014/2013.
Dan
melalui
putusannya
nomor
641/Kpts/KPU/Tahun 2013 , KPU menyatakan meloloskan Khofifah Indar Parawansa dan Herman Sumawiredja sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jawa Timur 2013 dengan nomor urut 4.
62
Tentu saja putusan KPU ini menuai berbagai kritik dikalangan ahli hukum tata negara. Bukan karena persoalan personal calonnya, tetapi mengenai prosedur pelolosan Pasangan Khofifah-Herman yang awal mulanya mendapat perintah dari DKPP untuk segera melakukan peninjauan kembali terhadap putusan KPUD Jawa Timur yang enggan meloloskan Khofifah-Herman. Seperti yang telah dijelaskan diatas mengenai tugas dan kewenangan DKPP, bahwa implikasi putusan DKPP tidak boleh mengenai soal proses pemilu. Kewenangannya hanya boleh memutus dan memberikan sanksi soal etika penyelenggara pemilu saja. Seperti yang telah dijelaskan Ketua DKPP Prof. Jimly Asshiddiqie, SH dalam tulisannya yang berjudul “Pengenalan Tentang DKPP Untuk Penegak Hukum”. Ia menulis: Secara normatif dan formal putusan DKPP tidak berkaitan dengan proses tahapan pemilihan umum. Sebabnya ialah objectum litis perkara di DKPP hanya berkaitan dengan isu persona aparat penyelenggara pemilihan umum, maka dengan sendirinya keputusan DKPP pun tidak mengandung akibat hukum terhadap proses pemilihan umum atau tahapan pemilihan umum. Objek Perkara di DKPP juga tidak tergantung kepada ‘tempos delicti’ atau saat kapan suatu perbuatan melanggar kode etik. Misalnya, meskipun Pemilihan Walikota Depok telah berlangsung dua tahun sebelumnya dan putusan sengketa hasil pemilu telah bersifat final dan mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
63
oleh Komisi Pemilihan Umum, tetapi dikemudian hari terbukti adanya pelanggaran kode etika yang dilakukan oleh Ketua KPU Depok dalam proses pemilihan Walikota Depok 2 tahun sebelumnya itu, tetap saja DKPP berwenang memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi 2 tahun sebelumnya itu. Ternyata, dari pemeriksaan yang bersifat terbuka oleh DKPP, terbukti bahwa Ketua KPU Kota Depok memang telah melanggar kode etika, maka atas dasar itu ia diberhentikan berdasarkan putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Namun, putusan DKPP itu tidak dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan walikota yang telah terpilih dan bahkan telah menjalankan tugasnya selama 2 tahun, meskipun ketua KPU Kota Depok telah diberhentikan berdasarkan putusan DKPP. Mengapa demikian? Sebabnya adalah bahwa antara persoalan pelanggaran kode etik aparat KPU dan proses pemilihan Walikota dan dengan persoalan sengketa mengenai hasil pemilihan itu, sama sekali tidak dapat dikaitkan berdasarkan prinsip sebab-akibat atau kausalitas. Pernyataan dan contoh kasus diatas yang telah dijabarkan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam tulisannya “Pengenalan DKPP Untuk Penegak Hukum” jelas telah mempunyai kesamaan dengan kasus Khofifah Indar Prawansa dan Herman Sumawiredja. Pasangan Khofifah-Herman dinyatakan tidak lolos oleh KPUD Jawa Timur, lalu ia menggugat ke DKPP. DKPP pun memutuskan bahwa Ketua KPUD Jawa Timur Andry Dewanto Ahmad melanggar kode etik dan diberikan sanksi peringatan oleh DKPP.
64
Tetapi pada kenyataannya, Prof. Jimly Asshiddiqie selaku ketua DKPP memberikan putusan yang berbeda, dalam menangani kasus sengketa Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Khofifah-Herman. Jelas-jelas ia menegaskan bahwa antara persoalan pelanggaran kode etik aparat KPU dan proses persoalan sengketa mengenai hasil pemilihan itu, sama sekali tidak dapat dikaitkan berdasarkan prinsip sebab-akibat kausalitas. Kata pengembalian hak konstitusional lah yang dijadikan alasan Prof. Jimly Asshiddiqie sebagai pimpinan rapat pleno kasus ini. Kata-kata yang penulis kutip dari putusan yang dikeluarkan DKPP adalah “Menghilangkan hak seorang warga negara yang memenuhi persyaratan, bukan hanya menciderai demokrasi, tetapi merupakan pembunuhan politik seseorang. Dengan mendasarkan diri pada keterangan, bukti-bukti dan pendapat ahli didalam persidangan, terhadap keputusan mayoritas anggota KPU Jatim yang kemudian menjadi keputusan KPU Jatim yang “menghilangkan” hak politik Khofifah-Herman,
DKPP
dengen
kesadaran
dan
keyakinan
penuh
berpendapat, bahwa negara berkewajiban memulihkan hak tersebut Negara harus menempuh segala upaya untuk mengembalikan hak politik warga negara atas nama Khofifah-Herman sebagai Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur, agar hak politik warga negara tidak dibunuh negara melalui penyelenggara negara dalam penyeleggaraan pemilu.” Putusan tersebut memang mengandung maksud baik, yaitu untuk pengembalian hak konstitusional dari Khofifah Indar Parawansa dan Herman Sumawiredja. Tapi menurut penulis dengan adanya kata memerintahkan untuk
65
segera melakukan peninjauan kembali, seperti ada hal paksaan dan kewajiban untuk segera meloloskan Khofifah Indar Parawansa dan Herman Sumawiredja sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2013, yang menurut Undang-undang DKPP tidak diberikan kewenangan soal itu. C. Analisis Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 Melalui Putusan DKPP Nomor 74/DKPP-PKE-II/2013 yang dikeluarkan DKPP pada tanggal 31 Juli 2013, DKPP menerima gugatan sebagian atas permohonan gugatan yang diajukan oleh Khofifah Indar Parawansa dan Herman Sumawiredja sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2013. Putusan DKPP memberi sanksi skorsing sementara tiga komisioner KPU Jawa Timur dan saksi teguran kepada Ketua KPUD Jawa Timur, Andry Dewanto. DKPP juga memerintahkan kepada KPU untuk melakukan Peninjauan Kembali dalam rangka pengembalian hak konstitusional KhofifahHerman sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2013, dan memerintahkan KPU Pusat untuk mengambil alih tanggung jawab KPUD Jawa Timur untuk sementara. Akibat dari putusan tersebut, akhirnya KPU melakukan peninjauan kembali, dan meloloskan Khofifah-Herman sebagai Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2013. Dalam
pertimbangannya,
pelanggaran
etik
yang
dilakukan
oleh
komisioner KPUD Jawa Timur telah menghilangkan hak konstitusional dari Khofifah-Herman sebagai warga negara yang berhak untuk mencalonkan diri
66
sebagai Kepala Daerahnya, dan menurut DKPP, negara wajib untuk mengembalikan hak konstitusional dari Khofifah-Herman dengan cara meloloskan Khofifah-Herman menjadi Peserta Calon Gubernur dan Wakil Gubernur jawa Timur 2013. Dalam konteks putusan DKPP ini, mengundang beberapa pakar hukum tata negara untuk berkomentar. Dari komentar yang telah penulis jabarkan di point B, semua setuju bahwa DKPP telah melebihi kewenangannya, dan putusan mengenai etika penyelenggara pemilu, tidak bisa dikaitkan dan tidak dapat mengubah proses hasil pemilu. Sebagaimana sesuai dengan wewenang DKPP yang telah diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pasal 111 ayat (4) dan Pasal 112 ayat (10), (11), (12), dan (13). Tugas untuk memberikan putusan mengenai proses hasil pemilu, apakah Khofifah-Herman dapat lolos sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2013, itu adalah wewenang dari KPU pusat, yang sudah dimandatkan DKPP untuk mengambil alih tanggung jawab dari KPUD Jawa Timur untuk sementara. Bawaslu juga mempunyai peran untuk mengawasi jalannya proses putusan tersebut. Apabila
DKPP
terlalu melampaui batas kewenangannya
dengan
mengeluarkan putusan yang berkenaan dengan proses pemilu, penulis berpendapat seakan-akan DKPP adalah lembaga yang paling dominan atau mempunyai otoritas yang paling tinggi diantara 3 lembaga penyelenggara
67
pemilu tersebut. Padahal 3 lembaga tersebut sejajar dan mempunyai tugas masing-masing yang saling melengkapi satu sama lain. Maka Jelaslah bahwa putusan DKPP No.74/ DKPP-PKE-II/ 2013 pada point 5 yang berbunyi “Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk melakukan peninjauan kembali secara cepat dan tepat terhadap keputusan KPUD Jawa Timur sesuai maksud, prinsip, dan etika penyelenggara pemilu dalam rangka pemulihan hak konstitusional Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dan H. Herman Sumawiredja” menurut penulis telah melebihi tugas dan kewenangan DKPP yang telah ditetapkan oleh UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
BAB V Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Dari
perumusan
masalah
yang
penulis
kemukakan
serta
pembahasannya baik yang berdasarkan teori maupun data-data yang penulis dapatkan selama mengadakan penelitian, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam menangani kasus sengketa pemilihan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jawa Timur 2013 melalui salah satu putusannya No. 74/ DKPP-PKE-II/2013, menurut penulis telah melebihi kewenangannya. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 yang mengatur tentang penyelenggara pemilu, telah mengatur tugas dan kewenangan dari DKPP dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sementara DKPP mengeluarkan Putusan yang memerintahkan KPU untuk melakukan peninjauan kembali untuk mengembalikan hak konstitusional dari Khofifah-Herman sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2013, yang mana putusan tersebut merupakan bukan kewenangan dari DKPP, melainkan kewenangan dari KPU. Apabila ingin menggugat hasil putusan dari KPUD Jawa Timur yang tidak meloloskan Khofifah-Herman sebagai peserta Pemilukada Jawa Timur,
67
68
mereka dapat menggugat ke PTUN. DKPP memutus soal pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan PTUN memutus soal hasil putusan lembaga negara. 2. Putusan yang dikeluarkan oleh DKPP yaitu memerintahkan KPU untuk segera melakukan Peninjauan Kembali untuk mengembalikan hak konstitusional Khofifah-Herman, telah mengakibatkan
diloloskannya
Khofifah-Herman
sebagai
Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur oleh KPU. Putusan DKPP harusnya hanya mengenai soal etika para penyelenggara pemilu saja, bukan mengenai proses hasil pemilu. Walaupun 4 dari 5 komisioner KPUD Jawa Timur telah terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu, tetapi alasan ini tidak bisa dikaitkan dan tidak bisa mempengaruhi proses hasil pemilu yang telah menjadi kewenangan dari KPUD Jawa Timur.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sebagai akhir dari seluruh tulisan ini, penulis mencoba mengajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Komisi II DPR RI yang membidangi masalah Pemilu, harus lebih cermat lagi dalam mengawasi kinerja dari para Penyelenggara Pemilu, apakah berjalan sesuai dengan Undang-Undang atau tidak. Karena salah satu fungsi dari DPR adalah pengawasan. Komisi II
69
DPR RI, harus menegur DKPP dan melakukan evaluasi kepada semua lembaga penyelenggara pemilu. Agar tidak terjadi lagi penggunaan kewenangan secara berlebihan. 2. Harus saling membangun komunikasi yang lebih intens dan lebih baik lagi diantara 3 lembaga penyelenggara pemilu. Yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. Karena setiap lembaga pemerintahan, lembaga penyelenggara pemilu khususnya, telah mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing. Apabila tidak berjalan sesuai koridornya masing-masing, nantinya seperti ada satu lembaga yang lebih dominan atau lebih tinggi tingkatannya. Padahal KPU, Bawaslu, dan DKPP berada pada tingkatan yang sama. Mempunyai fungsi dan kewenangan masing-masing yang saling melengkapi, untuk mewujudkan pemilu yang luberjurdil. 3. Sebagai bentuk tidakan preventif, yaitu dengan melakukan proses rekrutmen atau seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu dengan lebih baik dan profersional lagi. Sehingga tidak banyak lagi pelanggaran yang akan dilakukan para penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu. Karena salah satu indikasi suksesnya suatu pemilihan umum dikarenakan para penyelenggara pemilu yang berkredibilitas dan berintegritas.
Daftar Pustaka Buku Abdullah, Rozali,
Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas (Pemilu
Legislatif), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Al-Marsudi, Subandi, Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi, Edisi Revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Ashiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Cet.II, Yogya: FH UII Press, 2005. Asshiddiqie, Jimly, Makalah Pengenalan DKPP Untuk Penegak Hukum, Jakarta : 2013. Asshiddiqie, Jimly, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013. Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet.V, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, Cet.II, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Asshiddiqie, Jimly, Sengketa Kewenangan Konstitusional Antarlembaga Negara, Cet.II, Jakarta: Konpress, 2005. Asshiddiqie, Jimly, Sengketa Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet.VI, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Fadjar, Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Cet.II, Malang: Bayu Media Publishing, 2005. Fahmi, Khairul, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011. K. Lubis, Suhrawadi, Etika Profesi Hukum, Cet.V, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Kansil, C.S.T. dan S.T. Kansil Christine, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Cet.II, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003.
Rabi’ah, Rumidan, Lebih Dekat Dengan Pemilu Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. S. Subekti, Valina, Menyusun Konstitusi Transisi, Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran Dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta: Rajawali Press, 2007. Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung: PT Refika Aditama, 2006. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.III, Jakarta: Universitas Indoneia (UI-Press), 1986. Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, Edisi I, 1992. Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, cet.II, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Thaib, Dahlan dan Hamidi, Jazim Dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Cet.VI, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, Cet.III, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000. Winarno, Budi,
Globaliasasi dan Krisis Demokrasi, Yogyakarta: Medpress,
2007.
Undang-Undang, Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Lembaga Negara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Putusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 18/Kpts/KPU-Prov-014/2013 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur yang Memenuhi Syarat dalam Pemilihan Umum Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2013.
Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. Jurnal Komisi Hukum Nasional, Obesitas Penyelenggara Pemilu, Jurnal Desain Hukum Volume 13, Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2013. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Persiapan DKPP di Tahun Politik, Newlatter DKPP Edisi I, Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, 2014. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, DKPP Siap Bekerja, Newslatter DKPP Edisi III, Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, 2014. Website http://www.republika.co.id 24 Januari 2014 DKPP.go.id KPUJatim.go.id http://surabayapagi.com http://nasional.inilah.com http://www.yiela.com