BAB II PEMAHAMAN TERHADAP PUSAT PELESTARIAN KESENIAN WAYANG KULIT TRADISIONAL BALI DI KAB. BADUNG
2.1 Pemahaman Mengenai Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali 2.1.1 Pengertian Wayang Kulit Wayang di Bali merupakan suatu bentuk kebudayaan sekaligus kesenian. Kesenian ini selalu menjadi bagian dari sebuah rangkaian upacara keagamaan umat Hindu. Oleh sebab itu, keberadaan serta peran serta dari sebuah pertunjukan wayang tidak akan pernah bisa lepas dari kehidupan masyarakat di Bali. Menurut beberapa ahli, pengertian Wayang adalah sebagai berikut :
Menurut W.J.S. Poerwadarminta, wayang adalah gambar atau tiruan orang dan sebagainya, dibuat dari kulit kayu atau sebagainya, untuk pertunjukan suatu lakon.
Menurut I Gusti Bagus Sugriwa, pewayangan berasal dari kata wayang yang sama artinya dengan bayang-bayang. Mendapat awalan pa dan akhiran an, yang mengandung pengertian perihal tentang seluk beluk wayang, yang terutama ialah pelaku pertunjukan wayang yang dibuat dari kulit sapi yang dipahat/ ditatah yang Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 8
merupakan bentuk-bentuk khayalan, dewa-dewa, raksasa, binatang, pohon-pohonan, dan lain-lainnya serta dilihat oleh penonton bayangannya. Dari beberapa pengertian ahli mengenai kesenian wayang tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kesenian wayang kulit di Bali merupakan sebuah seni pertunjukan bayangan yang pelaku-pelakunya berupa wayang kulit yang dimainkan dibalik layar oleh seorang manusia yang disebut dengan “Dalang”. Sedangkan Wayang Kulit Tradisional Bali merupakan seni pertunjukan bayangan yang berkembang di Bali mulai dari wayang kulit itu sendiri, Dalang yang memainkan wayang kulit tersebut serta gamelan pengiring dari pertunjukan wayang kulit tersebut.
2.1.2 Sejarah Wayang Kulit Dari segi historis, berdasarkan prasasti Wukajana wayang dikenal pada abad ke-XII M, apabila dilihat dari bentuk huruf-huruf yang masih dapat dibaca, wayang berasal dari masa Belitung (Van Naerssen, 1937; 444-446 dalam Soetrisno, 2008). Pertunjukan wayang telah ada sejak abad IX yang disebut dengan mamayang buat hyang tertulis dalam prasasti Kuti (840 M) disebut pula dengan kalimat haringgit. G.A.Y Hazeau berpendapat di dalam desertasinya tahun 1897 bahwa meskipun pada akhirnya pertunjukan wayang itu diperkaya dengan cerita yang berasal dari naskah-naskah sastra India, namun pertunjukan wayang adalah asli Indonesia (Mulyono, 1975 :23 dalam Soetrisno, 2008). Wayang merupakan ciptaan budaya genius bangsa Indonesia yang telah dikenal sekurang-kurangnya sejak abad X dan telah berkembang hingga masa kini. Wayang pada awalnya merupakan budaya lisan yang bermutu seni sangat tinggi. Daya tahan dan perkembangan wayang telah teruji dalam menghadapi tantangan zaman, oleh karena wayang berakar dalam masyarakat dan hampir di semua daerah di Indonesia mengenal wayang sesuai dengan latar belakang budaya daerahnya. Wayang bukan hanya sekedar tontonan atau hiburan melainkan berisi tuntunan dan nasihat (pitutur) yang penuh dengan keteladanan. Pergelaran wayang menggambarkan wewayangane ngaurip, karena merupakan bayangan atau simbol kehidupan manusia karena wayang menggambarkan kehidupan manusia dengan segala persoalan yang dihadapinya (Soetrisno, 2008). Bahwa pertunjukan wayang menggunakan media kulit, baru diperjelas sekitar abad XI-XII sebagaimana dinyatakan dalam kitab Arjunawiwaha (Wiryamartana, 1987:154 dalam Soetrisno, 2008) :
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 9
o Annonton ringgit menangis askl mudha hidpan o Huwus wruh towin ya(n) walulang inukir molah angucap o Atur ning wwa(ng) trsnêng wisaya malah tan wi(hi) ka[nhi]na o R
tattwam (y)a-n (m)ay sahana-hana ning bhwa siluman
Artinya :
Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya
Telah tahu pula bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan berucap itu
Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indera melongo saja, sampai tak tahu
Bahwa pada hakekatnya mayalah segala yang ada sulapan belaka
2.1.3 Jenis-jenis dan Bentuk Wayang Kulit Tradisional Bali Kesenian wayang kulit di Bali memiliki berbagai macam jenis. Jenis-jenis pertunjukan wayang kulit di Bali dibedakan berdasarkan lakon atau cerita yang dimainkan dalam pertunjukan wayang. Selain itu perbedaan jenis pertunjukan wayang juga berdasarkan dari jenis upacara apa yang diselenggarakan. Jenis-jenis pertunjukan wayang kulit tradisional Bali berdasarkan lakon atau cerita yang dimainkan adalah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : 264): a.
Wayang Ramayana merupakan wayang yang di dalam ceritanya mengambil tema atau lakon atau epos Ramayana.
b. Wayang Parwa (Marwa) merupakan wayang yang di dalam ceritanya mengambil tema atau lakon atau epos dari Mahabharata. c.
Wayang Calonarang merupakan wayang yang menceritakan tentang kisah pemerintahan Prabu Erlangga, dimana Sang Raja yang kawin dengan Dewi Ratna Mangali yang dalam topiknya menceritakan kegiatan ilmu hitam oleh Calonarang di Desa Girah yang dilawan dan dikalahkan oleh tingkah laku baik yang dipelopori oleh Empu Barata.
d. Wayang Cupak/ Gerantang merupakan pertunjukan wayang dengan lakon atau cerita Cupak Gerantang. Mereka adalah tokoh wayang dalam cerita wayang itu sendiri seperti halnya Wayang Jemblung di Jateng, dimana tokoh raja ( Umarmaya ) oleh masyarakat diberi julukan “Jemblung”. Lama-kelamaan terkenal dengan nama “Wayang Jemblung” bagi pertunjukan wayang itu. Dalam Wayang Cupak Gerantang, Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 10
mereka adalah dua tokoh kakak beradik. Lakon ini menceritakan seseorang yang buruk karena pendir (Cupak) dengan tingkah laku yang baik dan cakap yang dipelopori oleh Gerantang. e.
Wayang Gambuh merupakan jenis pertunjukan wayang yang mengambil tokohtokoh pegambuhan untuk disajikan dalam sistem pakeliran (di balik layar). Sumber lakon pertunjukan wayang ini berasal dari drama tari Gambuh dengan mengambil cerita Panji Inukertapati dan Rangkesari.
f.
Wayang Arja merupakan seni pertunjukan wayang yang tokohnya diambil dari drama tari Arja. Beberapa tokoh tersebut seperti mantri, galuh, condong, desak, penasar dan lainnya. Cara pementasan sama dengan jenis wayang lainnya, namun sistem pembabakannya sama persis dengan drama tari Pangarjan.
g.
Wayang Tantri merupakan satu jenis seni pertunjukan wayang Bali juga yang ceritanya menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita Tantri. Selain itu, pengklasifikasian jenis wayang kulit juga berdasarkan fungsinya dalam
suatu upacara keagamaan di Bali. Jenis wayang ini memegang peranan penting yaitu berkaitan langsung dengan suatu upacara keagamaan (Sumandi dalam Krisnahadi, 2003:II-26). Jenis-jenis wayang yang dimaksud tersebut terdiri dari tiga jenis yaitu sebagai berikut : a. Wayang Sapuh Leger Kata "Sapuh Leger" (baca, Sapuh Légér) di Bali secara khusus dihubungkan dengan pertunjukan wayang dalam kaitannya untuk pemurnian kepada anak atau orang yang lahir tepat pada wuku wayang dalam siklus kalender Bali. Secara ritual upacara pemurnian dinamakan lukat atau nglukat, yaitu suatu aktivitas untuk membuat air suci (tirta) yang dilakukan baik oleh seorang pendeta (Pedanda atau Pemangku) maupun seorang dalang (Mangku Dalang) dengan tujuan untuk membersihkan mala (ke-kotoran) rohani seseorang. Sapuh leger adalah pembuatan air suci (tirta pang-lukatan) yang dilakukan seorang dalang sehabis pertunjukan wayang, ditujukan untuk pembersihan seseorang yang khusus lahir pada wuku wayang (Wicaksana, 2003:33). Pertunjukan Wayang Sapuh Leger yang sering dipentaskan di Bali bersumber pada lontar Kala Purana, Japa/Cepa Kala, Kidung Sang Empu Leger, Kala Tatwa, Kakawin Sang Hyang Kala, Tutur Wiswa Karma dan Kidung Sapuh Leger. Lakon Sapuh Leger adalah mengisahkan asal-usul kelahiran dan perjalanan Bhatara Kala, dimana ayahnya Dewa Siwa memberi ijin kepadanya untuk memangsa anak atau Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 11
orang yang lahir pada tumpek wayang, kemudian jenis-jenis korbannya, lolosnya korban, tipuan Dewa Siwa terhadap Kala dengan memberikan teka-teki; peranan dalang sebagai pemenang, meredam kerakusan Kala. Aspek angkara digambarkan amat kuasa dan kuat, dalam mitos ini diwujudkan sebagai raksasa besar dan kuat berwujud Bhatara Kala yang tak tertandingi oleh para dewa. Hal ini memberi petunjuk bahwa kuasa keteraturan, kebaikan, kebijakan, atau aspek positif dari dewa sebenar-nya selalu terancam oleh kuasa ketidak teraturan, kekacauan atau aspek negatif dalam diri manusia. Bhatara Guru dalam mitos digambarkan hanya dapat melemahkan Kala, tetapi tidak dapat melenyapkannya sama sekali karena Kala adalah aspek angkara atau atau negatif yang bersumber dari pada dirinya juga. Secara simbolis cara melemahkan potensi angkara atau aspek negatif dalam diri manusia diperagakan melalui pentas dengan membatasi waktu-waktu makannya (siang dan malam hari serta kelahiran pada Tumpek Wayang), ritual, dan mantram dilakukan oleh Batara Guru yang menjelma menjadi dalang. Dengan peragaan itu berarti bahwa kuasa keangkara-murkaan dilemahkan atau hanya dibuat lemah oleh aspek kesucian. Lakon Sapuh Leger meng-ungkapkan ajaran mistikisme yang masih dipraktek dalam kehidupan masyarakat Bali (Wicaksana, 2003:33).
b. Wayang Sudamala Merupakan wayang yang sejenis dengan wayang Sapuh Leger, dimana jika ditelusuri arti kata Sudamala adalah : “Suda” berarti suci dan “Mala” berarti kotor. Dapat dikatakan bahwa wayang ini adalah untuk membersihkan kekotoran, dalam artian lebih bersifat kerohanian dibandingkan jasmaniah. Pertunjukan wayang ini dapat melengkapi upacara Panca Yadnya. Pengambilan lakon pun sangat menentukan sifat pertunjukan tersebut, umumnya dipergunakan lakon Bima Swarga, Dewa Ruci dan Lubdaka.
c. Wayang Lemah Merupakan pertunjukan wayang yang berfungsi sebagai pelengkap dalam kaitannya dengan Upacara Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya. Apabila pementasan Wayang Lemah menyertai upacara Dewa Yadnya, maka pementasan dilaksanakan di halaman pura bertepatan dengan upacara piodalan yang sedang berlangsung. Sesuai dengan namanya, Wayang Lemah semestinya dipertunjukan pada siang atau sore hari/ lemah.
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 12
Sedangkan jika dilihat dari segi bentuk, bentuk wayang Bali adalah sangat sederhana jika dibandingkan dengan bentuk wayang Jawa. Demikian pula tentang warna-warna cat atau sunggingannya. Dalam hal menentukan warna wayang-wayang tokoh di Bali disesuaikan dengan warna dewa-dewa yang menaungi Sembilan penjuru mata angin ataupun setidaknya lima dewa yang pokok yaitu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan :269) : a.
Dewa Brahma berwarna merah, bertempat di arah kelod (selatan).
b.
Dewa Iswara berwarna putih, bertempat di arah kangin (timur).
c.
Mahadewa berwarna kuning, bertempat di arah kauh (barat).
d.
Dewa Wisnu berwarna hitam bertempat di arah kaja (utara).
e.
Dewa Siwa berwarna mancawarna bertempat di tengah.
2.1.4 Fungsi Wayang Kulit Di Bali pertunjukan wayang merupakan suatu pertunjukan seni yang memiliki banyak fungsi. Sebagian besar pertunjukannya tidak akan pernah lepas dari rangkaian kegiatan keagamaan umat Hindu. Pertunjukan kesenian wayang kulit di Bali memilki fungsi sebagai bagian dari sebuah upacara, pendukung suatu sesi ritual keagamaan, maupun hanya sebagai pelengkap dan hiburan semata. Dari perbedaan fungsi tersebut, maka pertunjukan Wayang Tradisional Bali dapat digolongkan menjadi tiga fungsi utama yaitu sebagai berikut (Wicaksana, 2003:5): 1.
Wayang Wali, merupakan suatu jenis pertunjukan wayang tradisional Bali yang pementasannya berfungsi sebagai bagian dari suatu upacara keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu. Sehingga bisa dikatakan bahwa pementasan wayang ini mutlak harus ada saat upacara tersebut. Jika tidak, maka upacara tersebut tidak akan dikatakan sukses atau berhasil. Jenis pertunjukan wayang yang bisa dikategorikan sebagai Wayang Wali adalah Wayang Sapuh Leger.
2.
Wayang Bebali, merupakan suatu pertunjukan wayang yang fungsinya sebagai pengiring suatu upacara yang dilaksanakan di pura atau dalam lingkup yang lebih kecil di dalam lingkungan peumahan Bali. Pertunjukan wayang ini biasanya mengiringi kegiatan upacara Panca Yadnya. Jenis pertunjukan wayang yang bisa dikategorikan sebagai Wayang Bebali adalan Wayang Lemah dan Wayang Sudamala.
3.
Wayang Balih-balihan, merupakan suatu pertunjukan wayang yang tidak sacral seperi wayang wali maupun bebali. Pertunjukan wayang ini murni hanya bersifat sebagai Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 13
hiburan semata. Di dalam pertunjukan wayang ini, para dalang telah melakukan banyak modifikasi dalam hal pementasannya, namun tetap berpegang teguh kepada Dharma Pewayangan dan pakem-pakem dalam pertunjukan wayang. Pengambilan atau penentuan lakon pada fungsi wayang balih-balihan akan disesuaikan dengan jenis upacara apa yang dilengkapi dengan pertunjukan wayang tersebut. Sehingga lakon yang akan dipentaskan akan sangat dipengaruhi oleh jenis upacara apa yang diselenggarakan.
Klasifikasi jenis pertunjukan wayang yang ditampilkan selalu berdasarkan fungsi wayang tersebut kaitannya dalam sebuah upcara keagamaan. Berikut merupakan klasifikasi jenis wayang berdasarkan fungsinya (Bandem, 1981): Wayang Parwa berfungsi untuk hiburan, upacara agama dan tontonan, Wayang Lemah, Wayang Sudamala dan Wayang Ramayana berfungsi untuk upacara agama, Wayang Sapuh Leger berfungsi sebagai upacara Manusa Yadnya (salah wetu), Wayang Cupak Gerantang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan di pura, sedangkan Wayang Calonarang serta Wayang Arja berfungsi sebagai hiburan dan sesangi.
2.1.5 Proses Pembuatan Wayang Kulit Wayang kulit merupakan suatu jenis kesenian yang sangat kompleks. Di dalam pementasannya terkandung beberapa jenis kesenian seperti seni peran, seni vokal, sastra, bahkan terdapat nilai-nilai moral dan falsafah hidup yang sangat berguna bagi kehidupan. Proses pembuatan wayang kulit juga bisa dikategorikan sebagai sebuah kesenian karena dalam proses pembuatanya terdapat seni pahat dan juga seni lukis. Adapaun cara pembuatan wayang kulit tradisional Bali adalah sebagai berikut (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan :265): a.
Mula-mula kulit sapi mentah dikeringkan pada sinar matahari sampai benar-benar kering. Di Bali, pada umumnya kulit yang digunakan untuk membuat wayang adalah kulit sapi, lain halnya di Jawa yang digunakan adalah kulit kerbau, karena memang hasil wayang yang dibuat dari kulit kerbau memiliki kualitas yang lebih baik.
b.
Sesudah kulit benar-benar kering, kulit tersebut dibasahi lagi dengan air dengan maksud supaya kulit sebelah luar menjadi agak lebih lunak dan lebih merata. Kemudian dikerok menggunakan suatu alat yang disebut dengan “patil” sampai bersih
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 14
semua bulu-bulunya. Setelah proses pengerokan selesai, kulit kembali dibasahi dengan air kemudian dipanaskan dan dikeringkan kembali. c.
Kulit yang benar-benar telah kering kemudian mulai digambari wayang apa yang dikehendaki untuk dibuat. Hal ini biasanya dengan menggunakan wayang-wayang pilihan yang sudah ada sebagai pola.
d.
Setalah selesai menggambar pola wayang di atas kulit, kulit tersebut mulai ditatah menurut pola yang telah dibuat. Proses tatah merupakan proses memahat wayang.
e.
Kulit yang sudah selesai ditatah (telah berbentuk wayang) terlebih dahulu diberi warna dasar hitam dengan menggunakan mangsi (merupakan warna alami yang diambil dari arang). Penyelesaian selanjutnya yaitu pengecatan/sunggingan. Warna cat bagi wayang-wayang tokoh ditentukan menurut ketentuan warna-warna dalam Dewata Nawa Sanga.
f.
Setelah proses pengecatan selesai, dilanjutkan dengan langkah pemasangan gelik (dibuat dari tali plastik ukuran besar yang digunakan untuk menyambungkan bagian sendi bahu dan siku wayang dengan cara dibakar lalu ditekan). Sesudah itu dipasangkan pula katik (pegangan badan wayang) badan yang terbuat dari kayu atau bambu dan demikian juga dipasang katik tangan (pegangan untuk menggerakan tangan wayang) yang terbuat dari kayu atau bambu juga.
g.
Setelah semua proses tersebut selesai, wayang telah siap untuk digunakan.
2.1.6 Perlengkapan Pertunjukan Wayang Kulit Dalam pertunjukan wayang kulit di Bali baik pertunjukan itu sifatnya biasa/ hiburan maupun untuk upacara keagamaan dan sebagainya, pada umumnya alat-alat atau perlengkapan pertunjukan itu sama. Berikut merupakan perlengkapan dari suatu pertunjukan wayang kulit di Bali (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan :266) : a.
Wayang, dalam satu kotak wayang kulit Bali berisi ±200 wayang. Jumlah ini termasuk atau meliputi wayang-wayang Ramayana, Purwa, Calonarang maupun wayang Cupak. Dalam hal ini, maupun ada pengkhususan dalang, wayang yang digunakan adalah tetap sama. Hanya saja nanti dalam pertunjukannya tokoh-tokoh yang memegang peranan jauh berbeda.
b.
Layar atau Kelir, dibuat dari kain putih yang tipis berukuran ±2.50 x 1.50 m dengan lis disebelah atas berwarna hitam bernama langitan yang lebarnya ±15 cm. Demikian pula disebelah bawah yang bernama lemahan. Pada bagian bawah (lemahan) Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 15
digunakan paku yang terbuat dari bambu untuk menancapkan layar tersebut pada gedebog. c.
Gedebog, merupakan sebatang pohon pisang yang digunakan sebagai media untuk menancapkan wayang kulit saat pementasannya. Pada wayang kulit Bali, hanya digunakan satu gedebog.
d.
Belencong, merupakan tempat atau pusat cahaya dalam pertunjukan wayang. Disamping untuk penerangan, belencong juga berfungsi sebagai alat untuk menghidupkan atau nafas dari pada wayang-wayang yang sedang dimainkan. Pada umumnya belencong di Bali terbuat dari tanah liat dan minyak yang digunakan untuk menjaga api tetap hidup adalah minyak kelapa. Sumbunya terbuat dari benang mentah atau lawe.
e.
Kropak, merupakan tempat untuk menyimpan wayang. Tempat wayang ini biasanya terbuat dari kayu dan saat pertunjukan dipergunakan sebagai alas untuk membunyika kepyak.
f.
Kepyak, adalah sebuah alat yang dibunyikan dalam pertunjukan sebuah wayang. Bunyi yang dihasilkan yaitu “pyak”, biasa dibunyikan setelah wayang selesai berucap atau melakukan gerakan.
g.
Gamelan, pada umumnya tabuh atau gamelan terdiri dari dua bagian yaitu :
Untuk mengiringi Wayang Ramayana memerlukan 12 macam gamelan yaitu : -
2 buah gender wayang besar
-
2 buah gender wayang kecil
-
1 kempul
-
1 kecek
-
1 clulup
-
1 klenang
-
1 kelentong
-
1 tawa-tawa
-
2 kendang
Untuk mengiringi Wayang Parwa cukup hanya menggunakan 4 buah gender wayang.
Untuk berjalannya suatu pertunjukan wayang tersebut, maka dibutuhkan tenaga manusia sebagai pelaksana pertunjukannya. Peranan manusia dalam pertunjukan wayang Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 16
dibedakan menjadi beberapa peranan yaitu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan :270) : a.
Dalang, terdiri dari 1 orang (laki-laki atau perempuan) yang memenuhi peryaratanpersyaratan tertentu antara lain :
b.
Sekurang-kurangnya telah berusia 35 tahun.
Harus benar-benar menguasai ketentuan-ketentuan dalam Darma Pewayangan.
Harus menguasai dasa suara ( dang, dong, deng, ding, dan sebagainya)
Penyimping, merupakan dua orang yang berada di sebelah kanan dan kiri dalang yang tugasnya untuk menyiapkan segala keperluan dalang selama proses pertunjukan. Tugasnya juga termasuk untuk membantu dalang dalam pemilihan dan pengambilan wayang yang dimainkan selama pertunjukan.
c.
Penabuh, untuk pertunjukan wayang Ramayana terdiri dari 12 orang dan untuk pertunjukan wayang Parwa terdiri dari 4 orang saja.
d.
Pesinden/ Waranggana, dalam pertunjukan wayang Bali tanpa menggunakan pasinden, tugas ini seluruhnya dijalankan oleh dalang, namun seiring dengan perkembangan di Bali saat ini sudah mulai menggunakan sinden yang dilakukan oleh kaum wanita. Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Dalang Ketengkong/tututan (pembantu dalang) Kelir Damar Blencong Gedebong Kropak Wayang kanan dan kiri disimping Instrumen Gender Wayang Tukang Gender/Penabuh
Gambar 2.1 Struktur Pementasan Wayang Kullit Parwa Sumber : Eisemen dan Fred, 1989
Pergelaran atau pertunjukan wayang kulit biasanya dilaksanakan di pura, wantilan atau balai banjar bahkan di rumah seseorang yang sedang menyelenggarakan upacara yadnya tertentu yang membutuhkan pertunjukan wayang kulit sebagai bagian dari upacara Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 17
tersebut maupun hanya sebagai pelengkap dan hiburan saja. Dalam pementasannya, pertunjukan wayang kulit harus menghadap ke arah utama yang dalam agama Hindu adalah ke arah Kaja (utara) dan Kangin (timur). Selain itu, jika wayang wali/ bebali yang bersifat sakral dan menjadi pelengkap suatu kegiatan upacara agama di pura, maka pertunjukan wayang tersebut harus dipertunjukan di area Utama Mandala atau Jeroan.
2.1.7 Cara Menyimpan Wayang Kulit Wayang Kulit disimpan atau ditaruh di dalam sebuah kotak yang disebut dengan Kropak dan diatur dengan rapi. Wayang di Jawa, tiap-tiap jenis wayang dibatasi dengan sebuah eblek dan juga urutan letaknya pun diatur menurut ketentuan, misalnya eblek ke-1 (terbawah) adalah tempat untuk menaruh wayang jenis binatang-binatang. Eblek ke-2 untuk kera-kera ricikan dan para panakawan, Eblek ke-3 untuk para Dewa, pendeta dan sebagainya. Cara penyusunan seperti itu juga akan memudahkan cara mencari wayang atau mengambil wayang yang dikehendaki oleh Ki Dalang. Tetapi, penyimpanan wayang di Bali, hanya diletakkan begitu saja tanpa ada pengelompokkan dan pembatas antar jenis wayang. Sehingga dalam pertunjukannya nanti, terlebih dahulu Dalang membongkar dan mengeluarkan wayang itu satu persatu dari dalam kotak sambil memilih-milih wayangwayang yang perlu dimainkan nanti. Pada saat Dalang mengeluarkan dan memilih wayang yang akan digunakan ini disertai dengan iringan gamelan yang mana hal ini sudah merupakan ketentuan pokok (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan :267).
2.2 Pemahaman Mengenai Pusat Pelestarian 2.2.1 Pengertian Pelestarian Berikut ini merupakan beberapa pengertian dari pelestarian : a.
Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankam keberadaan budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya (UU No 11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya, dalam Putra, 2002).
b.
Menurut definisi yang diberikan International Federation of Library Assosiation (IFLA), pelestarian mencakup semua aspek usaha melestarikan bahan pustaka, keuangan, ketenagaan, metode dan teknik serta penyimpanan koleksi (Martoatmojo dalam Putra, 2002:II-1).
c.
Pelestarian adalah menjaga hasil budaya ciptaan manusia atau alam yang memiliki nilai estetis ataupun sejarah sehingga dapat bertahan dalam perkembangan jaman. Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 18
2.2.2 Tujuan Pelestarian Tujuan dari kegiatan pelestarian yaitu sebagai berikut (Balai Pelestarian Nilai Budaya): a.
Melindungi nilai-nilai filosofis dari suatu kebudayaan agar tidak menghilang dari kehidupan.
b.
Melindungi semua benda yang sudah dianggap sebagai benda-benda cagar budaya dengan langsung melakukan perawatan (membersihkan, memelihara, memperbaiki baik secara fisik maupun non fisik, serta memperbaiki langsung dari pengaruh lingkungan yang bisa merusak benda tersebut).
c.
Melindungi benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala dari kerusakan yang diakibatkan oleh alam, kimiawi dan mikro organisme.
2.2.3 Unsur-unsur Pelestarian Berikut ini unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam suatu kegiatan pelestarian yaitu sebagai berikut (Martoatmojo dalam Putra, 2002:II-3): a. Manajemen Manajemen berkaitan dengan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kegiatan pelestarian tersebut dan prosedur yang harus dilewati sebelum pelaksanaan pelestarian dilakukan. b. Tenaga Pelaksana Dalam usaha pelestarian tersebut hendaknya melibatkan tenaga ahli yang terampil dan memiliki latar belakang ilmu yang berkaitan dengan apa yang dilestarikan tersebut. c. Laboratorium Sebagai wadah atau tempat untuk melaksanakan kegiatan konservasi terhadap bendabenda budaya. d. Pendanaan Sumber dana yang jelas akan memperlancar dalam suatu usaha pelestarian, biasanya sumber dana berasal dari suatu instansi yang berkepentingan dan memerlukan adanya usaha pelestarian tesebut.
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 19
2.3 Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali 2.3.1 Latar Belakang Perlunya Pelestarian Wayang Kulit Tradisional Bali Pelestarian Wayang Kulit disini merupakan suatu usaha yang dilakukan agar kesenian ini bisa tetap ada di tengah-tengah perkembangan jaman dan teknologi yang semakin pesat ini. Pelestarian ini dianggap perlu karena wayang jika dilihat dari fungsinya memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali terlebih dalam aktifitas keagamaannya. Fungsi Wayang Kulit di Bali bisa dibedakan menjadi tiga fungsi yaitu Fungsi Wali (sakral), wayang disini merupakan bagian penting dari sebuah upacara yadnya, contohnya adalah Wayang Sapuh Leger, Fungsi Bebali, wayang merupakan pelengkap atau pendukung sebuah kegiatan upacara yadnya di Bali, contohnya adalah Wayang Lemah dan Wayang Sudamala, serta Fungsi Balih-balihan (profan), wayang hanya berfungsi sebagai sarana atau media hiburan bagi masyarakat umum, contohnya adalah Wayang Parwa, Wayang Ramayana dan lainnya. Dengan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa Kesenian Wayang tidak akan pernah lepas dari aktifitas keagamaan umat Hindu dalam tingkatan Panca Yadnya (Wicaksana, Wawancara, 2015). Berdasarkan data yang diperoleh di Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, perkembangan jumlah seniman wayang atau Dalang bersama sekaanya cenderung mengalami penurunan. Tercatat pada tahun 2006 terdapat 104 Sekaa Wayang kemudian pendataan terakhir mencatat pada tahun 2012, jumlah Sekaa Wayang di Kabupaten Badung hanya sebanyak 57 sekaa. Selain itu, di Badung juga tidak memiliki sentra pengrajin wayang (Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, 2015). Selain itu perkembangan seniman wayang dan kualitas dalang yang semakin lama semakin menurun dalam hal penguasaan lakon, bahasa, gerak wayang serta mantramantra. Keadaan ini sangat berbeda dengan kualitas dalang pada zaman dahulu yang mempelajari hal-hal tersebut terkait dengn Darma Pewayangan selama bertahun-tahun sehingga pemahamannya bisa lebih baik. Jika dibandingkan dengan profesi dalang sekarang yang bisa didapat dengan mengenyam pendidikan formal, calon dalang tidak perlu mempelajari sastra dan mantra-mantra dengan waktu yang lama. Cukup melalui proses pendidikan dengan kurikulum tertentu seseorang telah bisa menjadi dalang. Berbicara mengenai mutu, memang kualitas dalang menurun, tetapi berbanding terbalik dengan teknik pementasan atau pertunjukan wayang tersebut yang semakin berkembang akibat kemajuan teknologi saat ini (Krisnahadi: 2003:II-19).
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 20
Hal lain yang mempengaruhi perlunya pelestarian Kesenian Wayang ini adalah animo atau tanggapan masyarakat khususnya masyarakat perkotaan yang semakin menurun terhadap pertunjukan wayang kulit. Lain halnya dengan masyarakat desa yang memiliki apresiasi lebih baik tentang kesenian wayang kulit, hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruh budaya luar yang sangat tinggi di daerah perkotaan. Jika hal ini tidak ditanggapi dengan serius, maka akan menjadi sebuah ancaman bagi suatu keberadaan kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali. Oleh sebab itu, maka dikira perlu dibuatkan sebuah Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali sebagai wadah dalam hal usaha mempertahankan nilainilai filosofis wayang maupun bentuk nyata dari kesenian wayang tersebut.
2.3.2 Tujuan Pelestarian Wayang Kulit Dilihat dari berbagai permasalahan yang diangkat dalam latar belakang perlunya pelestarian Wayang Kulit di atas, maka dapat ditentukan bahwa tujuan pelestarian ini adalah sebagai berikut : a.
Untuk mempertahankan fungsi Wayang Kulit Bali kaitannya dengan kegiatan upacara agama Hindu di Bali.
b.
Untuk mempertahankan bentuk atau wujud serta jenis-jenis Wayang Kulit Tradisional Bali yang ada.
c.
Meningkatkan kualitas seniman pewayangan atau Dalang yang semakin menurun dari segi penguasaan lakon, bahasa, gerak wayang dan lainnya.
d.
Mengadakan kerajinan wayang kulit sebagai salah satu wujud pelestariannya.
e.
Mengembangkan kesenian wayang kulit tradisional Bali dengan lebih menarik guna meningkatkan apresiasi atau tanggapan positif masyarakat umum tentang kesenian wayang tersebut.
2.3.3 Peranan Pemerintah dalam Usaha Pelestarian Wayang Kulit Berdasarkan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, peranan pemerintah dalam usaha pelestarian wayang yaitu berupa kegiatan-kegiatan seni pewayangan dan pembentukan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang kesenian wayang. a.
Kegiatan yang dilakukan Pemerintah dalam usaha pelestarian Kesenian Wayang adalah :
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 21
PKB (Pekan Kesenian Bali) dimana didalamnya dilaksanakan pertunjukan Wayang Kulit Tradisi Khas Bali dari masing-masing duta kabupaten di Bali.
Parade Wayang Parwa dan Lomba Wayang Ramayana.
Festival wayang kulit antar kabupaten se-Bali dan festival dalang anak mulai tanggal 14 April 1978.
Pertemuan para dalang yang pertama kali diselenggarakan pada tanggal 23 Desember 1975 oleh Yayasan Pedalangan Daerah Bali untuk pengumpulan Dharma Pewayangan.
Penataran Dalang dan juru tabuh gender pewayangan yang pertama kali diselenggarakan pada tanggal 8-10 November 1976.
Dilakukan pencatatan jumlah dalang di Bali pertama kali pada tahun 1976 serta pencetakan naskah, dharma pewayangan dan lontar aslinya.
Pembinaan dalang wanita yang pertama dari Tunjuk, Tabanan.
Pencanangan “Wayang Masuk Sekolah” oleh Kanwil Depdikbid. Provinsi Bali pada tahun 1990.
b.
Organisasi yang dibentuk sebagai usaha pelestarian kesenian wayang adalah:
PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) daerah Provinsi Bali pada tahun 1977.
Yayasan Pedalangan Daerah Bali yang dibentuk pada tanggal 6 Agustus 1975.
Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan ( Listibya ) Bali seksi Pedalangan yang dibentuk pada tahun 1966.
SMKN 3 Sukawati sebagai wadah pendidikan formal yang bergerak di bidang kesenian, salah satunya terdapat Jurusan Pedalangan
ISI (Institut Seni Indonesia) juga merupakan institusi pendidikan formal untuk mendapatkan pendidikan setara perguruan tinggi.
2.3.4 Lingkup Pelestarian Lingkup pelestarian tentang kesenian wayang ini meliputi dua hal yaitu Wayang sebagai objek dan Dalang sebagai subjek (Wicaksana, Wawancara, 2015): a.
Wayang disini berperan sebagai objek. Wayang adalah sebuah kesenian berupa pertunjukan bayangan boneka yang dimainkan dibalik layar oleh seseorang yang disebut Dalang. Fungsi dari pertunjukan wayang ini mencakup tiga fungsi yaitu fungsi wali, fungsi bebali dan fungsi balih-balihan. Dari tiga fungsi tersebut, terdapat lagi beberapa jenis pertunjukan wayang yang dipertunjukan sesuai dengan fungsinya. Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 22
b.
Seniman Wayang (Dalang dan Pengrajin Dalang), Dalang dan Pengrajin Wayang disini bertindak sebagai subjek dalam berkesenian wayang, Dalang memainkan atau mempertunjukan pertunjukan wayang, sedangkan pengrajin wayang membuat wayang yang dimainkan oleh Dalang.
2.4 Studi Banding Studi banding dilakukan dengan maksud agar penulis bisa lebih memahami mengenai proyek sejenis yang akan dibuat dalam tugas akhir. Dalam studi banding atau studi kasus ini, dilakukan observasi di beberapa objek yaitu berikut : 2.4.1 Balai Pelestarian Nilai Budaya, Badung (Bali, NTB, NTT) Balai pelestarian ini terletak di Jalan Raya Dalung Abianbase No. 107, Kuta Utara, Badung, Bali. Balai pelestarian ini berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Gambar 2.2 Balai Pelestarian Nilai Budaya
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) merupakan sebuah balai pelestarian yang didirikan untuk mengkaji kebudayaan sebagai suatu sistem terpadu berintikan seperangkat nilai budaya yang menentukan arah perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Sesuai dengan namanya, fokus pada perangkat nilai kebudayaan dan kesejarahan (aspek intangible sebagai pembeda dengan lembaga yang menangani aspek tangible). Kajian yang dilakukan oleh BPNB itu meliputi subsistem teknologi dengan segala bentuk menifestasi dan ekspresinya di wilayah kebudayaan. BPNB juga didirikan untuk kepentingan akademik, aplikasi dan terapan, mengingat akan kebutuhan data dan informasi maupun kebijaksanaan yang diperlukan oleh kebudayaan di daerah-daerah yang pada umumnya
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 23
tidak disiapkan, kalaupun ada tetapi belum optimal untuk melaksanakan tugas dan fungsi melestarikan kebudayaan yang memerlukan kepekaan sejarah dan budaya.
A. Tugas Pokok Sebagai salah satu UPT di bawah Kementerian Pendidikan di Kebudayaan, BPNB memeiliki tugas operasional di bidang kesejarahan dan nilai tradisional di wilayah Bali, NTB dan NTT. Fokus pelaksanaan tugas berupa pengamatan dan analisis, pensosialisasian sejarah maupun nilai tradisional daerah yang ditunjang dengan kegiatan administratif.
B. Fungsi Sebagai sebuah lembaga yang berkompeten menangani bidang kebudayaan di wilayah kerja (Bali, NTB, NTT), BPNB memiliki fungsi sebagai berikut : 1.
Melakukan pengamatan dan analisis kesejarahan dan nilai tradisional daerah yang tercermin dalam sistem kepercayaan, sistem sosial, lingkungan budaya dan tradisi lisan.
2.
Pelaksanaan penyusunan Rencana dan Program.
3.
Pengembangan hasil kajian.
4.
Pelaksanaan pengemasan hasil kajian dan pemanfaatannya.
5.
Pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan.
6.
Pelaksanaan pelayanan publik.
7.
Melakukan dokumentasi dan informasi kesejarahan dan nilai tradisional daerah.
8.
Melakukan urusan tata usaha dan urusan rumah tangga balai.
C. Sasaran dan Pelaku Aktivitas Sasaran dan pelaku aktivitas dari Balai Pelestarian Nilai Budaya ini adalah bagi instansi pendidikan, instansi-instansi terkait bahkan untuk masyarakat umum.
D. Bentuk Kegiatan Balai Pelestarian Nilai Budaya melaksanakan kegiatan berupa : 1.
Kegiatan Pembudayaan dan Pemasyarakatan
Dialog Budaya di Bali, NTB dan NTT
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 24
Sarasehan Pini Sepuh Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Bali, NTB dan NTT
Peragaan Tradisi Lisan Daerah di Bali, NTB dan NTT, salah satunya pengadaan pertunjukan wayang kulit Bali yang peruntukan bagi pelajar setara SMA di Bali.
2.
Penyuluhan dan Penyebaran informasi
Pameran Foto Kesejarahan dan Nilai Tradisional
Lomba Penulisan Objek Sejarah
Lawatan Sejarah
Jelajah Budaya atau Jejak Tradisi Daerah
Apresiasi Kesejarahan dan Nilai Tradisional
E. Pengelolaan Pengelolaan atau struktur organisasi dari BPNB adalah sebagai berikut : 1.
Kepala Balai.
2.
Kepala Sub. Bagian Tata Usaha. Atas kebijakan Kepala Balai, Kepala Sub. Bagian Tata Usaha membawahi beberapa sub kelompok diantaranya : Kelompok Urusan Dalam Urusan Kepegawaian Urusan Keuangan Urusan Informasi, Publikasi dan Perpustakaan
3.
Kelompok Jabatan Fungsional : Kelompok Sejarah Kelompok Tradisi Internalisasi dan Diplomasi Budaya Kelompok Kepercayaan Kelompok Seni dan Film Berikut merupakan gambar bagan dari struktur organisasi Balai Pelestarian Nilai
Budaya :
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 25
Kepala Balai Kasubag Tata Usaha
Klp. Urda
Klp. Jabatan Fungsional
Klp. Tradisi
Klp. Kepercayaan
Klp. Kepegawaian
Klp. Keuangan
Klp. Internalisasi dan Diplomasi Budaya
Klp. Dokumentasi/Perpustaka an
Klp. Seni dan Film
Klp. Sejarah
Gambar 2.3 Struktur OrganisasiBalai Pelestarian Nilai Budaya Sumber : Balai Pelestarian Nilai Budaya
F. Fasilitas Fasilitas yang ada dalam Balai Pelestarian Nilai Budaya ini adalah berupa gedung pengelola dan sebuah auditorium untuk kegiatan dialog budaya dan lainnya. Berikut merupakan lay out dari Balai Pelestarian Nilai Budaya :
B
D
B A
C
Keterangan : A = Gedung Pengelola Bagian Tata Usaha B = Gedung Pengelola Kelompok Jabatan Fungsional C = Auditorium D = Tempat Suci
Gambar 2.4 Lay Out Pelestarian Nilai Budaya
Gambar 2.5 Dari kiri (Auditorium, Gedung Pengelola Bagian Fungsional, Gedung Pengelola Bagian Tata Usaha)
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 26
A. Gedung Pengelola Bagian Tata Usaha difungsikan sebagai tempat bagi pengelola tata usaha Balai Pelestarian Nilai Budaya ini untuk bekerja mengurusi segala kegiatan dan keperluan dari Balai Pelestarian ini. Ruang-ruang yang ada didalamnya sesuai dengan bagian-bagian dalam sub bagian tata usaha dalam struktur organisasi ditambah dengan ruang Kepala Balai Pelestarian dan ruang rapat. B. Gedung Pengelola Kelompok Jabatan Fungsional sebagai tempat bagi kelompok jabatan fungsional dalam hal ini yaitu para peneliti dengan bagiannya masingmasing yang sudah diungkapkan dalam struktur organisasi untuk melakukan penelitian. Penelitian ini tidak dilakukan di ruangan yang khusus seperti laboratorium atau yang lainnya, tapi dilakukan di ruangannya masing-masing. C. Auditorium digunakan untuk melakukan kegiatan dialog budaya dan kegiatan lainnya seperti budaya lisan. Budaya lisan merupakan kegiatan yang diperuntukan bagi para siswa SMA di seluruh Bali. Sistematika kegiatannya adalah para siswa diundang untuk menonton pertunjukan wayang, setelah itu diberikan waktu satu minggu untuk menulis laporan, kemudia diundang kembali ke Balai Pelestarian Nilai Budaya ini untuk mempresentasikan laporannya mengenai pertunjukan wayang kulit tersebut. Selama ini, pertunjukan wayang kulit tidak dilakukan di Balai Pelestarian ini, karena kurang tersedianya area untuk pertunjukannya. D. Tempat Suci sebagai media untuk mendekatkan diri kehadapan Tuhan Yang Maha Esa.
2.4.2 Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar (Bali, NTB, NTT) Balai Pelestarian Cagar Buadaya (BPCB) Bali terletak di Jalan Raya Tampaksiring, Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Kantor ini berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sama halnya dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB), BPCB juga bergerak di bidang pelestarian, namun yang menjadi pembeda dengan BPNB yaitu dari jenis pelestariannya. BPCB bergerak di bidang pelestarian yang bersifat Tangible (terlihat) artinya suatu pelestarian berupa bentuk fisik dari sebuah peninggalan purbakala.
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 27
Gambar 2.6 Balai Pelestarian Cagar Budaya
A. Tugas Pokok Tugas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) adalah melaksanakan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan serta fasilitasi pelestarian cagar budaya di wilayah kerjanya.
B. Fungsi Dalam rangka melaksanakan tugas pokok tersebut, BPCB menyelenggarakan fungsi : a.
Pelaksanaan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya
b.
Pelaksanaan zonasi cagar budaya
c.
Pelaksanaan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya
d.
Pelaksanaan pengembangan cagar budaya
e.
Pelaksanaan pemanfaatan cagar budaya
f.
Pelaksanaan dokumentasi dan publikasi cagar budaya
g.
Pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya
h.
Fasilitasi pelaksanaan pelestarian dan pengembangan tenaga teknis di bidang pelestarian cagar budaya, dan
i.
Pelaksanaan urusan ketatausahaan BPCB.
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 28
C. Sasaran dan Pelaku Aktifitas Sasaran dan pelaku aktivitas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya ini adalah bagi instansi pendidikan, instansi-instansi terkait, masyarakat umum serta para wisatawan. D. Bentuk Kegiatan Bentuk kegiatan utama dari Balai Pelestarian Cagar Budaya ini adalah sebagai berikut : 1.
Registrasi dan Dokumentasi merupakan wujud kegiatan yang ditekankan pada upaya pencatatan benda, bangunan, struktur, lokasi dan satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai cagar budaya kepada pemerintah.
2.
Perlindungan merupakan wujud kegiatan dalam upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya.
3.
Pemeliharaan merupakan kegiatan dalam upaya memelihara situs, objek serta lingkungannya sehingga tetap lestari. Implementasi kegiatannya seperti konservasi tradisional dan modern (kimiawi) pada benda-benda yang rentan terhadap pengaruh alam dan manusia.
4.
Pemugaran merupakan kegiatan dalam upaya pengembalian kondisi fisik cagar budaya yang rusak sesuai dengan kondisi aslinya seperti bentuk, bahan, warna dan teknik pengerjaannya. Selain hal tersebut, juga dilakukan kegiatan seperti sosialisasi dan pameran
mengenai benda-benda cagar budaya di lingkungan kerja BPCB.
E. Pengelolaan Pengelolaan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya ini terdiri dari Kepala BPCB dan dua bagian dalam struktur organisasi yaitu Subbag Tata Usaha dan Kasi Perlindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan. Masing-masing bagian tersebut terdapat beberapa sub-sub lagi yang akan dijelaskan dalam bagan berikut ini :
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 29
Kepala BPCB
Kepala Sub Bagian Tata Usaha
Koor. Urusan Umum Sub. Urusan Rumah Tangga
Kasi Perlindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan Koor. Pokja Pengamanan & Penyelamatan Subpokja Pengamanan
Sub. Urusan Persuratan
Subpokja Penyelamatan
Sub. Urusan Sekretarian, Humas dan Kemitraan
Subpokja Zonasi
Sub.Urusan Monitoring &Evaluasi
Koor. Pokja Pemeliharaan Subpokja Pemeliharaan
Urusan Kepegawaian dan Pengembangan SDM
Subpokja Konservasi Koor. Pokja Pemugaran
Urusan Keuangan
Subpokja Pemugaran Subpokja Gambar & Pengukuran Subpokja Pertukangan Koor. Pokja Dokumentasi & Publikasi Subpokja Dokumentasi Subpokja Registrasi & penetapan Koor. Pokja Pengelolaan Cagar Budaya Bawah Air Koor. Pokja Pengembangan dan Pemanfaatan Subpokja Pengembangan Subpokja Perijinan&Pemanfaatan Subpokja Permuseuman Subpokja Perpustakaan
Gambar 2.7 Struktur Organisasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumber : Profil Pelestarian Cagar Budaya
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 30
F. Fasilitas Fasilitas yang tersedia di Balai Pelestarian Cagar Budaya adalah kantor BPCB itu sendiri dan Museum Arkeologi Gedung Arca yang merupakan bagian dari BPCB yang digunakan sebagai wadah untuk pelestarian sekaligus pameran benda-benda cagar budaya tersebut. Berikut merupakan layout dari BPCB dengan Museum Arkeologi Gedung Arca: 17 2
15 2
18 2
N 14 2 16 2
10 9 G 2H2 I 12 M 2 D C
11 2 F 13 2
ZONA 1
E
ZONA 2
8 2
9 2 J
7 2 K 5 2
L B
19 2
2 2
A 6 2
ZONA 3
4 2
1 3 2
Gambar 2.8 Lay Out BPCB dan Museum Arkeologi Gedung Arca Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Keterangan :
Kanopi Kantor BPCB Pos Satpam Ruang Sevis (Toilet) Wantilan Bale Kulkul Kantin Ruang Staff Penginapan Tamu Dinas
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Staff PBA (Perlindungan Bawah Air) Ruang Gong Kolam Laboratorium Ruang Konservasi dan Perpustakaan Ruang Staff Rumah Tangga Bale Bengong Padmasana Penunggun Karang Parkir
A-K L M N
= Ruang Koleksi Museum = Bale Bengong untuk memajang koleksi = Bale Patok untuk memajang koleksi = Ruang Koleksi Khusus
= Museum Arkeologi Gedung Arca = Zona 1 (Jeroan) = Zona 2 (Jaba Tengah) = Zona 3 (Jaba) = Kantor BPCB
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 31
Gambar 2.9 Zona 1 Museum Arkeologi Gedung Arca
Gambar 2.10 Zona 2 Museum Arkeologi Gedung Arca
Gambar 2.11 Zona 3 Museum Arkeologi Gedung Arca
Gambar 2.12 Kantor BPCB
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 32
2.5 Spesifikasi Umum Proyek 2.5.1 Pengertian Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali merupakan suatu usaha dalam bentuk wadah arsitektural yang dirancang guna untuk mewadahi segala aktifitas yang berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali.
2.5.2 Fungsi Secara garis besar, fungsi dari Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional ini adalah sebagai media untuk usaha pelestarian dan pengembangan kesenian wayang kulit tradisional Bali agar bisa tetap bertahan di jaman yang semakin modern ini.
2.5.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan dari Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali ini adalah sebagai berikut : a.
Untuk dapat melestarikan kesenian wayang kulit tradisional Bali.
b.
Mempertahankan fungsi dan jenis-jenis wayang kulit tradisional Bali yang ada.
c.
Untuk dapat digunakan sebagai media dalam meningkatkan kualitas para seniman wayang (Dalang) dan pengrajin wayang yang belum ada di daerah Badung.
d.
Untuk dapat mengembangkan kesenian wayang kulit tradisional Bali agar lebih inovatif sehingga mampu meningkatkan minat masyarakat terhadap kesenian wayang kulit tradisional Bali. Sasaran atau lingkup pelayanan proyek ini adalah utamanya bagi seniman
pewayangan. Selain itu juga untuk masyarakat umum, instansi-instansi tertentu dan juga untuk para wisatawan lokal maupun mancanegara.
2.5.4 Pengelolaan Status pengelolaan akan berada di bawah Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung karena proyek ini bergerak di bidang pelestarian suatu budaya khususnya dalam pelestarian kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali. Sedangkan untuk struktur organisasi internnya akan dipimpin oleh seorang Kepala Pusat Pelestarian dan membawahi Kepala Bagian Tata Usaha dan Kepala Bagian
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 33
Fungsional. Masing-masing Kepala bagian ini akan dibantu oleh beberapa staff yang telah ditentukan masing-masing tugasnya.
2.5.5 Aktifitas dan Pelaku Aktifitas yang dilakukan di dalam Pusat Pelestarian ini yaitu segala aktifitas yang dapat mendukung kegiatan pelestarian dan pengembangan sesuai dengan permasalahanpermasalahan yang timbul di atas. Aktifitas-aktifitas tersebut adalah : a.
Penelitian terhadap fungsi dan jenis-jenis wayang kulit yang ada tetapi sudah sangat jarang ditemukan.
b.
Pelatihan terhadap seniman pewayangan baik itu Dalang maupun pengrajin wayang sebagai usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia yang bergerak di bidang kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali.
c.
Aktifitas pameran dan pertunjukan wayang kulit sebagai usaha untuk meningkatkan minat masyarkat umum terhadap kesenian wayang di tengah kemajuan jaman saat ini
d.
Aktifitas pengembangan kesenian wayang kulit tradisional Bali agar terlihat lebih menarik, sehingga dapat menarik minat generasi muda untuk mengenali dan mempelajari kesenian wayang kulit tersebut.
e.
Aktifitas pengelolaan atau manajemen yang bertanggung jawab atas kegiatan pelestarian tersebut.
f.
Aktifitas rekreasi sekaligus edukasi bagi masyarakat umum dan instansi-instansi tertentu. Berdasarkan aktifitas-aktifitas tersebut di atas, maka pelaku-pelaku dari kegiatan
yang ada dalam Pusat Pelestarian ini dikategorikan menjadi empat kategori pelaku yaitu Peneliti, Seniman, Pengunjung dan Pengelola.
2.5.6 Fasilitas Fasilitas yang akan disediakan yaitu berupa wujud bangunan sebagai wadah untuk mewadahi aktifitas-aktifitas yang ada di dalamnya. Pendekatan penentuan fasilitas ini berdasarkan studi objek yang dilakukan di BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) dan BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya). Selain itu penentuan fasilitas juga berdasarkan kegiatan-kegiatan serta pelaku atau civitas yang akan melakukan kegiatan dalam Pusat Pelestarian Wayang Kulit Tradisional Bali ini.
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 34
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat ditentukan bahwa fasilitas-fasilitas berupa wadah arsitektural yang akan dibangun pada Pusat Pelestarian Wayang Kulit Tradisional Bali ini adalah dibagi menjadi tiga fasilitas, yaitu : a.
Fasilitas Utama berupa Ruang Penelitian untuk para peneliti dalam melakukan penelitian, Balai Pelatihan untuk pelatihan dalam rangka meningkatkan kualitas para seniman pewayangan, Ruang Pameran dan Ruang Pertunjukan untuk kegiatan pengembangan kesenian wayang kulit tradisional Bali agar kesenian ini bisa terlihat lebih menarik sehingga mampu menarik minat generasi muda untuk berkunjung, mengenal, serta mempelajari kesenian wayang tersebut.
b.
Fasilitas Penunjang berupa kantor pengelola untuk kegiatan manajemen yang bertanggung jawab atas segala kegiatan pelestarian ini, selain itu juga disediakan cafeteria dan beberapa toko souvenir untuk sarana rekreasi tambahan bagi pengunjung.
c.
Fasilitas Servis berupa ruang servis bagi pelaku aktivitas di dalamnya dan untuk mendukung kinerja dari Pusat Pelestarian ini dalam hal utilitas.
2.5.7 Persyaratan Lokasi Berdasarkan pengamatan pada studi banding, maka persyaratan lokasi untuk pembangunan Pusat Pelestarian ini adalah sebagai berikut : a.
Lokasi harus memenuhi kaidah tata ruang atau RTRW yang ada di Kabupaten Badung.
b.
Lokasi Pusat Pelestarian harus berada di jalur utama untuk kemudahan akses.
c.
Lokasi Pusat Pelestarian harus berada dekat dengan pemukiman karena sasaran utama adalah masyarakat lokal agar mereka mau mengenal atau bahkan mempelajari kesenian ini agar tidak punah di masa yang akan datang.
d.
Lokasi Pusat Pelestarian berada pada lokasi yang strategis, lengkap dengan jaringan utilitas, infrastruktur dan aksesbilitas yang baik.
e.
Ukuran lahan pada lokasi pembangunan harus memiliki luasan yang cukup untuk menampung semua kegiatan serta fasilitas Pusat Pelestarian ini.
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 35