BAB II PELAKSANAAN PERKAWINAN CAMPURAN YANG DILAKUKAN DI LUAR NEGERI 2.1 Tata cara Perkawinan Campuran yang dilakukan di Luar Negeri. Tata cara Perkawinan Campuran yang dilakukan di Luar Negeri telah diatur secara jelas di dalam Pasal 59 ayat (2) sampai dengan Pasal 61 ayat (1) Undang Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut : 1. Perkawinan Campuran yang dilakukan dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan menurut Undang - undang perkawinan ini. (Pasal 59 ayat (2)). 2. Perkawinan Campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat - syarat pekawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing - masing telah dipenuhi. (Pasal 60 ayat(1)). 3. Untuk membuktikan bahwa syarat - syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka mereka berwenang mencatatkan perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat - syarat telah dipenuhi. (Pasal 60 ayat (2)). 4. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal, apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (Pasal 60 ayat (3)). 5. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut. (Pasal 60 ayat (4)). 6. Perkawinan Campuran dicatat oleh Pegawai pencatat yang berwenang. (Pasal 61 ayat (1). 2.2 Pelaksanaan Perkawinan Campuran di Luar Negeri. Pelaksanaan Perkawinan Campuran, di atur di dalam RGH (Regeling op de Gemengde Huwelijken) S. 1898 - 158, dapat dijelaskan sebagai berikut : Pasal 6, (s.d.u. dg. S. 1,901-348.). Pelaksanaan perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang berlaku terhadap suaminya, dengan tidak mengurangi persetuiuan suami-istri yang selalu dipersyaratkan. Namun bila hukum ini tidak mengharuskan oleh
1 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
37
siapa atau di hadapan siapa pelaksanaan perkawinan itu dilakukan, pelaksanaan itu harus dilakukan di hadapan kepala suku dari suami, atau wakilnya yang sah, dan bila kepala itu tidak ada, dihadapan kepala bagian kota, kepala desa atau kampung tempat pelaksanaan perkawinan itu. Bila hukum tersebut tidak mengharuskan akta perkawinan tertulis, maka orang yang melaksanakan atau yang di hadapannya telah dilaksanakan perkawinan itu berkewajiban untuk membuat akta yang demikian itu sesuai dengan contoh yang akan ditetapkan oleh Gubemur Jenderal (kini: pemerintah). (S. 1898 -161 jo. S.1901-349.) Bila orang itu tidak dapat menulis, maka akta itu ditulis oleh orang yang ditunjukoleh kepala Pemerintahan setempat. (s.d.u.dg. S. 1918-3O jo- S1919-81; S' 1907-205 Pasal 3 jo. S. 19-816.) Bila terhadap istrinya berlaku hukum keluarga yang ditetapkan untuk golongan Eropa dan terhadap suaminya tidak, maka orang yang melaksanakan atau yang dihadapannya dilaksanakan perkawinan itu berkewajiban untuk mengirimkan akta yang dibuat mengenai itu dalam jangka waktu yang ditentukan dengan Ordonansi kepada pegawai Catatan Sipil untuk golongan Eropa dalam resort tempat pelaksanaan perkawinan itu. Akta ini oleh pegawai itu d idaftar dalam daftar tersendiri yang disediakan khusus untuk itu dan disimpan.41
41
http://id.wikisource.org/wiki/Peraturan_Perkawinan_Campuran, di akses pada Pukul 23.25 Wib, tanggal 21-05-2012
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
38
2.2.1 Pelakasanaan Perkawinan Campuran antar Kewarganegaraan. Pelaksanaan Perkawinan Campuran antar Kewarganegaraan di Luar Negeri, ini dapat dijelaskan di dalam 2 (dua) perbedaan di antaranya : 2.2.1.1 Perkawinan bagi pemeluk Agama Islam. 1. Administrasi Perkawinan, Perkawinan antara warga negara Indonesia dengan Warga Negara Asing dikenal dengan Pernikahan Campuran, adapun Administrasi/Syaratnya adalah sebagai berikut : a. Calon Pengantin (Catin), Warga Negara Indonesia : 1) Surat Keterangan Nikah dari Kelurahan / Desa. 2) Persetujuan kedua calon pengantin. 3) Surat Rekomendasi / Pindah Nikah bagi yang bukan penduduk asli daerah. 4) Foto copy KTP, KK / Keterangan domisili, Akta kelahiran dan ijazah @2 lembar. 5) Foto copy keterangan vaksin/ imunisasi, TT (Tetanus Toxoid) bagi calon pengantin wanita. 6) Akta Cerai Asli bagi janda / duda cerai. 7) Surat keterangan / Akta kematian suami / istri dan kutipan akta nikah terdahulu bagi janda / duda karena meninggal dunia. 8) Pas Foto terpisah 2 x 3 dan 3 x 4 background biru @4 lembar. 9) Ijin dari kesatuan bagi anggota TNI dan POLRI. 10) Ijin dari Pengadilan Agama (PA) bagi yang hendak berpoligami (bagi calon pengantin laki - laki). 11) Dispensasi nikah bagi calon pengantin laki - laki yang belum berusia 19 tahun dan calon pengantin perempuan yang belum berumur 16 tahun. 12) Ijin dari orang tua bagi calon pengantin bagi yang belum berusia 21 tahun. 13) Taukil / wali secara tertulis dari KUA setempat bagi wali nikah (dari pihak perempuan) yang tidak dapat menghadiri akad nikah. 14) Surat keterangan memeluk islam / sijil muslim bagi mualaf. a. Calon Pengantin Warga Negara Asing (WNA) :
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
39
1) Ijin dari kedutaan / konsulat perwakilan di Indonesia dan dalam Bahasa Indonesia. 2) Foto copy Passport yang masih berlaku. 3) Foto copy Visa / Kitas yang masih berlaku. 4) Foto copy Akta kelahiran yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. 5) Akta cerai bagi janda / duda cerai. 6) Pas Foto terpisah 2 x 3 dan 3 x 4 background biru @4 lembar. 7) Taukil / wali secara tertulis dari KUA setempat bagi wali nikah (dari pihak perempuan) yang tidak dapat menghadiri akad nikah.42 2.
Tata Cara Perkawinan : Cara
pelaksanaan perkawinan Islam,
ialah calon
mempelai Pria duduk di atas tikar (boleh juga duduk di atas kursi) menghadap wali nikah ke arah Kiblat, kemudan wali nikah mengucapkan “Ijab”(penyerahan) kepada calon mempelai pria dengan memegang tangan kanan (bersalaman) dan berkata “Aku nikahkan …, dengan menyebut besarnya, mas kawin dan calon mempelai pria menjawab”Kabul” yang berbunyi ‘Saya terima nikahnya …, Apabila ‘Ijab - Kabul’ itu disetujui dan dibenarkan dua orang
saksi
maka
selesailah
upacara
perkawinan itu. Hanya saja dalam pelaksanaaan yang umum, karena upacara yang sederhana itu terasa tidak berkenan di hati keluarga / kerabat bersangkutan, seolah - olah tidak menghargai upacara suci itu, maka dilaksanakan “Walimahan”, sebagaimana juga 42
Hasil Wawancara
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
40
memang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, berdasarkan hadis nukhari - muslim di mana Rasululloh SAW juga menyatakan bahwa, Jika salah seorang di antara anda di undang ke perayaan mempelai, maka hendaklah ia datang. Berdasarkan hadis - hadis tersebut di antara ulama ada yang
berbeda
pendapat,
ada
yang
berpendapat
bahwa
diadakannya perayaan dalam perkawinan itu hukumnya wajib dan ada yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Namun pada kenyataannya di Indonesia walaupun sederhana dalam upacara perkawinan selalu diadakan perayaan, dengan mengundang sanak keluarga, kerabat dan tetangga mereka yang datang dilayani dengan hidangan minum atau makan / minum. Selain
melaksanakan
upacara
perkawinan
dengan
perayaan, juga biasanya diadakan acara kesenian, seni bunyi, seni suara, dan seni tari. Acara kesenian ini juga dalam islam sifatnya “Mubah” atau “Halal” , asal saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dasar hukumny ialah Hadist riwayat Akhmad dan Bukhari, di mana Nabi pernah mengatakan umumkanlah perkawinan ini dan pukullah gendering untuk perkawinan itu. Kemudia hadist jama’ah muslim dan Nasa’I bahwa Siti Aisyah mengatakan bahwa setelah mempelai wanita dibawa ke rumah pria dan Anshor, lalu nabi bertanya, Hai Aisyah tidakkah ada
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
41
pada anda permainan, sesungguhnya Al- Anshor itu amat suka dengan permainan. Jadi dalam pelaksanaan upacara perkawinan islam boleh mengadakan perayaan dengan kesenian, asal saja tidak bercampur aduk dengan perilaku ma’siyat seperti membiarkan perjudian, minuman keras, dansa - dansi ala barat, berpakaian tidak sopan dan sebagainya.43 2.2.1.2 Perkawinan bagi pemeluk Agama Kristen Protestan/Katholik. 1. Dalam Bahasa Undang - Undang Perkawinan, Perkawinan antara warga negara Indonesia dengan Warga Negara Asing dikenal dengan Pernikahan Campuran, adapun Administrasi/Syaratnya adalah sebagai berikut : a. Warga Negara Indonesia : 1) 10 lembar foto gandengan berdua ukuran 4 x 6. 2) Foto copy KTP yang dilegalisir oleh kelurahan, 2 lembar. 3) Foto copy KK yang dilegalisir. 4) Surat Keterangan N1, N2, N3 beserta masing - masing foto copy nya. 5) Foto copy surat Baptis masing - masing pengantin 2 lembar. 6) Akta kelahiran, masing - masing calon pengantin beserta foto copy. 7) Foto copy surat nikah gereja, 2 lembar. 8) Foto copy KTP saksi, masing - masing 2 lembar. 9) Akta kematian atau Akta perceraian dari catatan sipil bagi yang sudah pernah menikah 2 lembar. 10) Dokumen KPP. 11) Dokumen Kanonik. 12) Foto copy KTP 2 saksi. 13) Foto copy perubahan nama (opsional). 43
Hilman Hadikusuma, Op.cit, h. 95-97.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
42
b. Bagi Warga Negara Asing : 1) Foto copy passport yang telah di legalisir 2 lembar. 2) Akta kelahiran beserta foto copy 2 lembar. 3) Foto copy surat Baptis. 4) Surat Ijin Kedutaan WNA 2 lembar. 5) Surat bukti lunas pajak bagi yang bekerja di Indonesia, 2 lembar. 6) Syarat keterangan dari Imigrasi dan Departement Tenaga Kerja bagi yang bekerja di Inodonesia 2 lembar.44 2. Tata Cara Perkawinan : Dalam Agama Katholik upacara perkawinan juga bersifat sederhana, apabila antara keluarga kedua belah pihak, terutama kedua calon mempela sepakat untuk mengikat tali perkawinan, maka disiapkanlah keduanya untuk menghadap Pendeta / Pastor setempat dalam tenggag waktu 1¹/² - 2 bulan sebelum perkawinan. Ketika menghadap kedua calon membawa surat pemandian yang baru, keterangan dari kepala desa, izin instansi (jika bekerja) izin orang tua (jika masih tanggungan orang tua) dan surat dari Pendeta / Pastor setempat jika akan kawin di tempat lain. Di gereja yang bersangkutan
akan mengisi
formulir perkawinan, dan diwawancarai oleh petugas gereja jika mingkin
ada yang mengahalangi perkawinan itu, adanya
kesepakatan yang bebas tanpa paksaan dari kedua mempelai, dan
44
Hasil Wawancara
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
43
jika adanya kesepakatan yang bebas tanpa paksaan dari kedua belah mempelai, dan jika perlu diberikan dispensasi. Upacara perkawinan dilakukan di Gereja Paroki (tempat ibadah) yang lain atas izin Ordinarius wilayah atau Pastor / Paroki, bilik di rumah bukan tempat yang layak untuk peneguhan perkawinan. Sampai pada waktu, hari, tanggal, jam yang telah ditentukan kedua calon mempelai dengan berpakaian mempelai hadir di gereja dengan dua (2) orang saksi. Pastor yang bertindak sebagai Imam dan para pembantunya menyambut kedatangan kedua calon mempelai di pintu masuk gereja. Imam memberi salam dan mengucapkan selamat datang semoga Rahmat Allah beserta kita. Kedua Calon menjawab “Sekarang dan Selamanya”. Lalu keduanya dipercikkan air berkah dan dipersilahkan masuk ke dalam gereja di muka. Kemudian para hadirin bernyanyi yang diiringi musik, selanjutnya salah seorang jemaat berdoa dan membaca Injil. Imam berkhotbah (Homili) dengan mengutip ayat - ayat suci menerangkan arti dan tujuan perkawinan, tugas
dan
kewajiban suami isteri, pendidikan anak - anak dan masyarakat. Setelah itu Imam mempersilahkan para saksi megambil tempat disisi calon mempelai. Lalu imam bertanya dengan menyebut nama mempelai Pria, bersediakah anda dengan keikhlsan hati
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
44
diresmikan perkawinannya. Jawab mempelai pria ”Ya saya bersedia” lalu ditanya lagi bersediakah anda mengasihi dan menghormati isteri anda sepanjang hidup. Mempelai Pria menjawab “Ya saya bersedia. Begitu pula pertanyaan yang diajukan kepada mempelai wanita. Lalu imam bertanya pada keduanya, apakah anda berdua sebagai suami / isteri Kristen / Katholik bersedia melaksanakan kewajiban - kewajiban anda di dalam hidup perkawinan dan keluarga, di gereja dan masyarakat, dijawab serentak oleh keduanya, “Ya kami bersedia”. Imam seterusnya berkata “ tibalah saatnya untuk meresmikan perkawinan anda berdua, letaknya tangan kiri anda di atas kitab suci dan angkkat tangan kanannya, dan ucapkan perjanjian perkawinan anda di bawah sumpah. Mula - mula mempelai pria kemudia mempelai wanita. Perjanjian perkawina itu berbunyi “ Saya (nama …,) menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa (sebut mana mempelai pria/wanita) yang hadir disini, mulai saat ini menjadi isteri / suami saya. Saya berjanji setia kepadanya dalam suka dan duka dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikian janji saya, Demi Allah dan Injil Suci ini”. Selanjutnya untuk meneguhkan janji bersatu Imam berkata, Berikan tangan anda yang seorang kepada yang lain
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
45
(kedua tangan empelai berpegangan), lalu imam melingkari kedua tangan itu dengan stola dan meletakkan tangan kanannya di atasnya seyara berkata : “Atas nama gereja ALLAH dan dihadapan para saksi dan hadirin sekalian, saya menegaskan bahwa perkawinan yang diresmikan ini adalah perkawinan Kristiani yang sah. Semoga sakramen ini menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan, yang dipersatukan ALLAH. Mempelai menjawan
“Janganlah diceraikan oleh
manusia” Imam mengakhiri ucapannya, Tuhan Allah kita, kiranya meneguhkan ikatan perkawinan yang telah kam adakan di hadapanNya dan dihadapan Gerejanya. Kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan dokumen dan jika ada pemberkatan cincin dan pemberkatan empelai, dilaksanakan. Maka selesailah upacara peneguhan perkawinan dan pemberkatan tersebut. Menurut Agama Kristen HKBP upacara perkawinan dilakukan dengan diadakan pengembalaan oleh pendeta yang menerangkan arti dan tanggung jawab dalam keluarga orang Kristen kepada mempelai pria dan wanita sebelum waktu pemberkatan
perkawinan
dilakukan.
Kemudian
dilakukan
“Partumpolon” (acara mengumumkan dengan terang sebelum pemberkatan) bertempat di rumah HKBP, atau di kantor HKBP atau di Gereja, yang kesemuanya disaksikan oleh keluarga dekat
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
46
dan pengetuanya. Pegumuman hanya dua (2) kali hari minggu, boleh pengumuman hanya satu kali saja kalau keadaan memaksa, tetapi harus ada izin pendeta resort. Pemberkatan perkawinan hanya boleh dilakukan oleh pendeta bertempat di gereja, jika pemberkatan akan dilakukan di desa dapat di delegasikan pendeta kepada guru jemaat atau pengetua. Pemberkatan perkawinan juga dapat dilakukan terhadap perkawinan berlarian (mangalua: Pria: maiturun: wanita) dengan syarat ada surat keterangan pendeta yang menyatakan bahwa kawin lari itu tidak terjadi perbuatan yang melanggar ketentuan HKBP dan adat, harus ada persetujuan dari kerabat pihak pria dan dari pihak wanita atau walinya. Persetujuan orang tua / wali tersebut tidak diperlukan apabila mereka berumur 21 tahun.45 2.3 Pelaporan Perkawinan WNI di Luar Wilayah Republik Indonesia. 2.3.1 Menurut Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependukan. Sesuai ketentuan Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, yang berlaku pelaporan perkawinan tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut : a. Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada perwakilan Republik Indonesia. ( Pasal 37 ayat (1)). 45
Hilman Hadikusuma, Op.cit, h 97-99.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
47
b. Apabila Negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelengarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat. (Pasal 37 ayat (2)). c. Perwakilam Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perkawinan dalam Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. (Pasal 37 ayat (3)). d. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana ditempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia. (Pasal 37 ayat (4)).46 2.3.2 Menurut Perpres Nomor 25 Tahun 2008 Tentang persayaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 1. Pencatatan perkawinan bagi Warga Negara di Luar Wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia dilakukan pada instansi yang berwenang di Negara setempat. (Pasal 70 ayat (1)). 2. Perkawinan Warga Negara Indonesia yang telah dicatatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat berupa foto copy : ( Pasal 70 ayat (2)). a. Bukti pencatatan perkawinan / akta perkawinan dari Negara setempat. b. Paspor Republik Indonesia dan / atau. c. KTP suami / isteri bagi penduduk Indonesia. 3. Pelaporan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tata cara : ( Pasal 70 ayat (3)). a. Warga Negara Indonesia mengisi fomulir pelaporan perkawinan dengan menyerahkan persyaratan kepada Pejabat Konsuler. b. Pejabat Konsuler mencatat pelaporan Perkawinan Warga Negara Indonesia dan memberikan surat bukti pencatatan perkawinan dari negara setempat. 4. Dalam hal ini Negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia. ( Pasal 71 ayat (1)). 5. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat berupa : ( Pasal 71 ayat 2)). a. Surat keterangan tentang terjadinya Perkawinan di negara setempat. b. Pas foto suami / isteri. c. Foto copy paspor Republik Indonesia, dan d. Foto copy KTP suami / isteri bagi penduduk Indonesia.
46
Buku pelaporan di bagian perkawinan catatan sipil (wawancara dengan ”Ibu Endang”).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
48
6. Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tata cara : ( Pasal 71 ayat (3)). a. Warga Negara Indonesia mengisi Formulir Pencatatan Perkawinan dengan menyerahkan dan/atau menunjukkan persyaratan sebagaiana dimaksud pada ayat (2) kepada Pejabat Konsuler. b. Pejabat Konsuler mencatat dalam Registrasi Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. 7. Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban menyampaikan data perkawinan sebagimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 71 ayat (3) kepada Instansi Pelaksana melalui department yang bidang tugasnya meliputi urusan pemerinthan dalam negeri. (Pasal 72 ayat (1)). 8. Instansi pelaksana yang menerima data perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat dan merekam ke dalam database kependudukan. (Pasal 72 ayat (2)). 9. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksd dalam Pasal 70 dan Pasal 71 setelah kembali ke Indonesia melapor kepada Instansi Pelaksana atau IPTD Instansi pelaksana di tempat domisili dengan membawa bukti pelaporan / pencatatan perkawinan di Luar Negeri dan Kutipan Akta Perkawinan. (Pasal 73).47
47
Buku pelaporan di bagian perkawinan catatan sipil (wawancara dengan ”Ibu Endang”).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB III BAGAIMANA AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG DILAKUKAN DI LUAR NEGERI MENURUT UU.No 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 3.1 Hak Dan Kewajiban Suami Isteri. Ketentuan dalam KUHPerdata yang menempatkan isteri berada dalam keadaan tidak cakap (handelings onbekwaam) tidak hanya dalam hal menikah dengan persatuan harta secara bulan, tetapi juga dalam hal kawin dengan pemisahan harta dan bahkan dalam keadaan pisah meja dan ranjang. Hal itu menurut Poul Scholten di dasarkanpada dua alasa, Pertama, demi untuk persatuan harta dalam kelurga maka seorangisteri ditempatkan berada di bawah kekuasaan suami. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tidaklah mungkin dalam satu kapal (bahtera) rumah tangga terdapat dua orang nahkoda. Kedua, adanya anggapan bahwa seorang isteri adalah lemah dan kemampuan berfikirnya kurang, sehingga perlu ditaruh di bawah kekuasaan suami. Alasan - alasan tersebut untuk kondisi saat ini baik di Belanda maupun di Indonesia sudah tidak relevan lagi, karena saat ini dengan munculnya gerakan gender dan emansipasi wanita, sudah banyak kaum wanita (termasuk yang berstatus isteri) melakukan aktifitas dan kegiatan baik dalam bekerja maupun kegiatan social. Di antara para isteri tersebut malah ada yang yang memperoleh penghasilan lebih besar dari suaminya, sehingga ketentuan memonopoli pengurusan (beheer) suami atas harta perkawinan dan harta pribadi isteri dengan dalih isteri tidak cakap (onbekwaam) adalah tidak tepat.
1 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
50
Di Indonesia, setelah ketentuan dalam Pasal 108 KUHPerdata oleh SEMA Nomor 3 tahun 1963 dianggap tidak berlaku, kemudian juga dilakukan perombakan dalam Undang - Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan perihal tidak kecakapan isteri dalam perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal pasal 108 KUHPerdata telah dianulir dan diperbaki. Artinya dengan dilangsungkannya suatu perkawinan tidak mengakibatkan kedudukan dan status isteri sebagai subyek hukum yang onbekwaam, akan tetapi isteri tetap dapat melakukan perbuatan hukum dan melakukan pengurusan terhadap harta pribadi maupun harta perkawinan. Hal tu tertuang dalam Pasal 31 Undang - Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan : 1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 2. Masing – masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang – Undang Perkawinan dan status kedudukan isteri adalah sama dan sederajat dengan suami. Isteri tidak berada di bawah kekuasaan suami seperti yang diatur dalam KUHPerdata. Suami dan isteri masing – masing dapat melakukan perbuatan hukum tanpa harus meminta bantuan, ijin atau kuasa dari pihak lain. Perbuatan – perbuatan yang boleh dilakukan isteri tanpa ijin suaminya tersebut adalah termasuk pula perbuatan hukum dalam lapangan harta kekayaan, baik atas harta pribadi maupun harta perkawinan. Harta benda pribadi masing – masing suami isteri yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan adalah tetap berada di bawah kekuasaan masing – masing suami – isteri. Terhadap harta bawaan tersebut masing – masing suami isteri
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
51
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bendanya tersebut. Dengan demikian maka kedudukan isteri juga cakap untuk melakukan perbuatan atas harta bendaa pribadinya (harta bawaan), tanpa memerlukan ijin, kuasa atau bantuan dari suaminya. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing – masing. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 35 – 37 Undang – Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang – Undang Perkawinan telah mengakomodasi tuntutan zaman yang menghendaki kesamaan kedudukan dan hak antara isteri dan suami dalam Perkawinan. Isteri bukan lagi berada di bawah kekuasaan atau sebagai sub ordinat suami dalam kehidupan rumah tangga. Undang – Undang Perkawinan memang membedakan peran dan kedudukan suami isteri dalam rumah tangga, yaitu suami sebagai kepala rumah tangga, sedang isteri sebagai ibu rumah tangga. Pembedaan itu bukan berarti kedudukan isteri berbeda di hadapan suaminya, namun hanya sekedar pembagian peran saja dalam pengurusan rumah tangga bersangkutan. Suami sebagai kepala rumah tangga berkewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anak – anaknya, sehingga suami dituntut untuk bekerja. Sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga berkewajiban mengurus rumah tangga termasuk mengasuh membesarkan dan mendidik anak – anak, serta melakukan tugas kepengurusan rumah tangga yang lain. Hanya saja pembagian peran tersebut tidak diterapkan secara ketat, dalam arti
isteri masih diperbolehkan untuk
melakukan kegiatan dan aktivitas di luar rumah tangga. Misalnya isteri yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
52
bekerja baik mandiri maupun terikat kerja dengan pihak lain, baik sebagai karyawan swasta atau menjadi pegawai negeri sipil di instansi pemerintahan. Jadi, ketentuan mengenai pembagian peran antara suami dan isteri dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam pasal 31 UUP tidak harus diterapkan secara rigid (kaku). Artinya suami tidak boleh bertindak main kuasa dengan melarang isteri bekerja, sementara kebutuhan nafkah anak - anak dan rumah tangga tidak dapat dicukupi oleh suaminya. Justru kegiatan isteri di luar rumah tangga untuk bekerja tersebut bertujuan membantu meringankan beban suami dalam menafkahi kebutuhan rumah tangga dan anak – anak mereka. Hanya saja efektivitas isteri di luar rumah sebagai pekerja hendaknya dijalankan dengan tidak meninggalkan peran isteri sebagai ibu rumah tangga yang harus tetap mengurus segala kebutuhan dan keperluan rumah tangga bersangkutan.48 3.2 Hubungan Orang Tua Dan Anak. 3.2.1 Berdasarkan Hukum Perdata Internasional Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
48
J.Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut BW dan UUP, Laksbang Grafika, 2010, Cetakan Pertama, Surabaya, h.12 - 15
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
53
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis. Dalam sistem hukum Indonesia, Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958. Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
54
membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.49 3.2.2
Berdasarkan
Undang-Undang
No.
12
Tahun
2006
Tentang
Kewarganegaraan Pemberlakuan Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, memunculkan sederet aturan dan petunjuk pelaksanaan itu rupanya belum membuat urusan kawin campuran selesai seratus persen. Banyak pasangan yang telah maupun mau melakukan perkawinan campuran masih mengeluhkan kesulitan yang dihadapi di lapangan. Jumlah anak yang didaftarkan untuk memperoleh warga negara ganda terbatas. Bisa jadi, keengganan pasangan antar negara mendaftar karena sosialisasi kurang, pilihan untuk tidak menjadi WNI, plus prosedur pengurusan yang dirasa panjang, serta menguras tenaga dan uang. Pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraa No. 12 Tahun 2006 merupakan momentum bersejarah bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini memiliki nilai historis karena produk hukum yang digantikan, yakni Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang merupakan peninggalan rezim orde lama yang dilestarikan orde baru. Konfigurasi politik era orde lama dan orde baru relatif otoritarian, cenderung melahirkan produk hukum konservatif. Sedangkan di era reformasi, karakter 49
http://norickyujustice.blogspot.com/2011/04/status-hukum-anak-dari-hasil perkawinan .html, diakses pada Pukul 09.36 wib, tanggal 05.06.2012.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
55
politik cenderung demokratis melahirkan aturan-aturan legal yang responsif. Perubahan konfigurasi politik inilah yang mengantarkan Undang-Undang kewarganegaraan dari yang berwatak konservatif menjadi responsif. Perwujudan
demokratisasi
negara
dalam
Undang-Undang
Kewarganegaraan yang baru tercermin dari produk hukumnya yang responsif, yakni dalam bentuk persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender. Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 2006 dalam Pasal 2 disebutkan bahwa warga negara asli Indonesia adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Pasal inilah yang menihilkan pemojokan terhadap etnik tertentu. Undang-Undang ini menyiratkan penolakan konsep diskriminasi dalam perolehan kewarganegaraan atas dasar ras, etnik, dan gender, maupun diskriminasi yang didasarkan pada status perkawinan. Dalam pasal lain juga disebutkan, WNI yang menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap menjadi WNI atau melepaskannya. Selain itu, apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI atau selama masa tenggang waktu tiga tahun itu, ia bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di Indonesia.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
56
Bagian yang paling penting dari Undang-Undang baru ini adalah dianutnya asas campuran Ius Sanguinis - Ius Solli dan mengakui kewarganegaraan ganda pada anak-anak dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri hingga usia 18 tahun. Artinya sampai anak berusia 18 tahun, diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai usia tersebut ditambah tenggang waktu tiga tahun barulah si anak diwajibkan memilih salah satunya. Ketentuan inilah yang menghindari terjadinya stateless. Undang-Undang kewarganegaraan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 ini memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: a. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. b. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. c. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
57
diatur dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi. Indonesia
memiliki
sistem
hukum
perdata
internasional
peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya, tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional Indonesia,
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
58
sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi Indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anakanak yang dibawah umur. Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain. Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memenuhi kedua syarat tersebut. Syarat material harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
59
(hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 Undang-Undang No. 1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.50 3.3
Harta Kekayaan Perkawinan. Mengenai Harta Benda dalam perkawinan diatur dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 menentukan : Pasal 35, 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut UndangUndang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Hal ini berlainan sekali dengan sistem yang dianut B.W yaitu bahwa dalam satu keluarga pada asasnya hanya ada satu kelompok harta saja yaitu harta persatuan suami isteri. Menurut UU No. 1 / 1974 kelompok harta yang mungkin terbentuk adalah : a. Harta bersama Menurut pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, harta bersama suami isteri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), 50
Ibid
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
60
maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian, harta yang telah dipunyai pada saat di bawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama. Ketentuan tersebut di atas tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita simpulkan, bahwa termasuk harta bersama adalah : a) Hasil dan pendapatan suami. b) Hasil dan pendapatan isteri. c) Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan. Dengan demikian suatu perkawinan, (paling tidak bagi mereka yang tunduk pada Hukum Adat) yang dilangsungkan sesudah berlakunya UUP tidak mungkin mulai dengan suatu harta bersama dengan saldo yang negatif, paling-paling, kalau suami isteri tidak membawa apa-apa dalam perkawinannya, maka harta bersama mulai dengan harta yang berjumlah nihil. d) Harta pribadi Harta yang sudah dimiliki suami atau isteri pada saat perkawinan dilangsungkan tidak masuk ke dalam
harta bersama, kecuali mereka
memperjanjikan lain. Harta pribadi suami isteri, menurut pasal 35 ayat 2 UUP terdiri dari : 1. Harta bawaan suami isteri yang bersangkutan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
61
2.Harta
yang
diperoleh
suami
isteri
sebagai
hadiah
atau
warisan.
Apa yang dimaksud dengan ”harta bawaan”, dalam Undang-Undang maupun dalam penjelasan atas UU RI nomor 1/1974, tentang perkawinan”, tidak ada penjelasan lebih lanjut, tetapi mengingat, bahwa apa yang diperoleh sepanjang perkawinan masuk dalam kelompok harta bersama, maka dapat diartikan bahwa yang dimaksud di sini adalah harta yang dibawa oleh suami isteri. Jadi yang sudah ada pada suami dan atau isteri ke dalam perkawinan. Adanya pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta pribadi dengan harta bersama, tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan (atau sebelumnya) dapat menimbulkan banyak masalah di kemudian hari dalam segi asal usul harta atau harta-harta tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan baik karena perceraian maupun kematian (perceraian). Adalah sangat menguntungkan, kalau di kemudian hari dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing suami isteri. Walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal 35 ayat 2, tetapi kalau kita mengingat pada ketentuan pasal 35 ayat 1, maka ketentuan mengenai harta pribadi hibahan dan warisan, kiranya hanyalah meliputi hibahan atau warisan suami / isteri yang diperoleh sepanjang perkawinan saja. Pasal 35 ayat 2 mengandung suatu asas yang berlainan dengan asas yang dianut dalam B.W, yang menyebutkan bahwa yang suami dan atau isteri peroleh sepanjang perkawinan dengan Cuma-Cuma baik hibahan atau warisan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
62
masuk ke dalam harta persatuan kecuali nila ada perjanjian lain. Pasal lain dalam UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur harta bersama yaitu pasal 36 dan 37 yang berbunyi : Pasal 36, yakni : 1. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37, yakni ; “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam UndangUndang No. 1 tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dibahas dalam Bab XIII. Menurut pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Dalam Bab XIII tidak disebut mengenai terjadinya harta bersama, sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 UU No. 1 tahun 1974. Mengenai harta bersama lebih lanjut diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97. 1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. 2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Pembagian harta Perkawinan (harta gono gini) biasanya dilakukan tersendiri...artinya setelah perkawinan putus karena perceraian...para pihak mengajukan gugatan baru yaitu gugatan harta bersama (gono gini).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
63
BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN 1. Tata cara Perkawinan Campuran yang dilakukan di Luar Negeri telah diatur secara jelas di dalam Pasal 59 ayat (2) sampai dengan Pasal 61 ayat (1) Undang - Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pelaksanaan Perkawinan Campuran, di atur di dalam RGH (Regeling op de Gemengde Huwelijken) S. 1898 – 158, yakni bahwa Pelaksanaan perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang berlaku terhadap suaminya, dengan tidak mengurangi persetuiuan suami-istri yang selalu dipersyaratkan. Namun bila hukum ini tidak mengharuskan oleh siapa atau di hadapan siapa pelaksanaan perkawinan itu dilakukan, pelaksanaan itu harus dilakukan di hadapan kepala suku dari suami, atau wakilnya yang sah, dan bila kepala itu tidak ada, dihadapan kepala bagian kota, kepala desa atau kampung tempat pelaksanaan perkawinan itu. 2. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang – Undang Perkawinan dan status kedudukan isteri adalah sama dan sederajat dengan suami. Isteri tidak berada di bawah kekuasaan suami seperti yang diatur dalam KUHPerdata. Suami dan isteri masing – masing dapat melakukan perbuatan hukum tanpa harus meminta bantuan, ijin atau kuasa dari pihak lain. Perbuatan – perbuatan yang boleh dilakukan isteri tanpa ijin suaminya tersebut adalah termasuk pula perbuatan hukum dalam lapangan harta kekayaan, baik atas harta pribadi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
64
maupun harta perkawinan. Harta benda pribadi masing – masing suami isteri yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan adalah tetap berada di bawah kekuasaan masing – masing suami – isteri. Terhadap harta bawaan tersebut masing – masing suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bendanya tersebut. Dengan demikian maka kedudukan isteri juga cakap untuk melakukan perbuatan atas harta bendaa pribadinya (harta bawaan), tanpa memerlukan ijin, kuasa atau bantuan dari suaminya. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing – masing. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 35 – 37 Undang – Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan
orang
tuanya
sebagai
persoalan
pendahuluan,
apakah
perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. 4.2 SARAN 1. Bagi pejabat pemerintah bahwa untuk Tata Cara Perkawinan Campuran yang dilakukan di Luar Negeri sebagaimana yang terkandung didalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebelum melakukan tugasnya agar
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
65
bertindak secara proporsional dan melakukannya dengan baik seperti apa yang sudah terkandung didalam Undang-undang yang berlaku. 2. Bagi masyarakat sebelum melakukan perkawinan yang diselenggarakan di luar negeri atau dapat disebut dalam perkawinan campuran, agar mematuhi aturan-aturan atau tata cara yang sudah diterapkan oleh pejabat pemerintah setempat, dan agar syarat - syarat pekawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing - masing telah dipenuhi. Karena kita dinegara hukum, dan sepantasnya kita harus mematuhi aturan-aturan yang yang berlaku.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Cetakan Ketiga, Bandung, 2008. Amirudin dan H. Zainal Asikin Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Mataram, 2003. Bayu Seto Hardjowahono, Dasar - Dasar Hukum Perdata Internasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Cetaka Ketiga, Bandung, 2007. J.Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut BW dan UUP, Laksbang Grafika, Cetakan Pertama, Surabaya, 2010. MR.Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Karya Gemilang, Cetak- an Ketiga, Jakarta, 2011. Satryo
Soemantri Brodjonegoro, Pendidikan Kewarganegaraan, PT.Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama, Jakarta 2001.
Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang - Undang Perkawinan, Liberty, Cetakan Keenam, Yogyakarta, 2007. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Cetakan ketiga, Jakarta, 1984. Subekti, Pokok - Pokok Hukum Perdata, PT. Intermas,Cetakan XXXI, Jakarta, 1985. Sutiono Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Cetakan Pertama, Yogyakarta,1989. Titik
Tri Wulantutik, Hukum Perdata dalam Sistem Nasional, Kencana, Cetakan Ke-1, Jakarta, 2008.
Hukum
Zainudin Ali, M.A. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Palu,
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
B. Perundang - undangan Undang - Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang Undang No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan. Undang - Undang No. 62 Tahun 1958 jo Undang - Undang No.12 Tahun2006 tentang Kewarganegaraan. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken), keputusan Raja 29. Des. 1896 No.23 Statblad 1898 – 158. KUHPerdata (Burgelijk Wetbook). C. Website http://www.inoputro.com/2011/09/asas-ius-soli-dan-asas-ius-sanguinis/. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/12/pengertian-kewarganegaraan. http://Maspur10150.files.wordpress.com/2012/02/hukum-waris-2.ppt
http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/03/perkawinan-campuran-2.html http://norickyujustice.blogspot.com/2011/04/status-hukum-anak-dari-hasil perkawinan .html.
D. Jurnal Emilda Kuspraningrum, “Kedudukan dan Perlindungan Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum di Indonesia”Jurnal Ilmiah Dosen Fak.Hukum Universitas Mulawarman, Vol 2, ISSN : 021-969X, Juni 2006.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.