STATUS ANAK HASIL PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI LUAR NEGERI Oleh: Jamiliya Susantin FAI Syari’ah Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan Email:
[email protected] Abstrak Bukan masalah baru lagi tentang perkawinan beda agama, namun tentang status keabsahan anak yang penting untuk di bahas. Yang menarik dari artikel ini adalah Apakah sah anak yang dilahirkan dari latar belakang keluarga yang berbeda agama? kemudian mengapa Negara menfasilitasi perceraian beda agama, tidak perkawinan beda agama? hal ini seakan-akan Negara menyetujui adanya penyelundupan hukum yakni perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri. Padahal pada dasarnya perkawinan beda agama tidak diperbolehkan baik oleh hukum Negara maupun hukum agama. Kata Kunci: Status anak, perkawinan beda agama.
Pendahuluan Lahirnya undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 secara relative telah menjawab problematika Hukum Keluarga di Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan peraturan yang dibuat telah mengatur semua aspek dalam perkawinan. Salah satu contoh pada kasus perkawinan beda agama. Akhir-akhir ini, responsitas tentang perkawinan beda agama di Indonesia seakan-akan memberikan makna perkawinan menjadi sebuah game yang sebentar-sebentar kawin dan sebentar-sebantar cerai. Padahal perkawinan merupakan upacara suci yang tidak mudah melakukannya, butuh persiapan dan kematangan dalam membina rumah tangga. Jika kita melihat problem yang sering muncul kepermukaan yaitu perkawinan yang dilakukan dikalangan selebritis, dengan mudahnya melakukan perkawinan beda agama diluar negeri dan setelah itu melaporkan untuk dicatat di dinas kependudukan dan pencacatan sipil di Indonesia. Akan tetapi pencatatan ini bukan berarti perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri sah menurut Hukum di Indonesia. pencatatan ini dilakukan untuk pemenuhan kewajiban administrative saja. Berangkat sebuah kasus yang di alami oleh Djamal Mirdad dan Lidia Kandau, dimana perkawinan yang hanya dicatat di kantor pencatatan sipil bisa mengajukan kasus perceraian di Pengadilan Negeri di Indonesia, yang pada dasarnya perkawinan ini tidak sah menurut Hukum perkawinan di Negara kita. Hal ini memberikan asumsi bahwa undang-undang perkawian di Indonesia kurang responsible dalam bidang perkawinan. Mengenai kasus tersebut sangat urgen untuk dipertanyakan kembali terkait sistem Hukum di Indonesia, mengapa Negara menfasilitasi perceraian beda agama, dan tidak perkawinan beda agama? dan apa dampak bagi anak dari perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri ?
Keabsahan perkawinan beda agama Sebelum membahas tentang status anak hasil perkawinan beda agama, penting terdahulu mengetahui tentang keabsahan perkawinan beda agama menurut hukum positif dan hukum islam. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Misalnya perkawian yang dilakukan oleh orang muslim dengan wanita protestan atau yang lainnya dan sebaliknya. 1 Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 tidak mengatur secara eksplisit tentang perkawinan beda agama. Namun undang-undang perkawinan tidak melarang adanya perkawinan beda agama, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 UUP yang menyatakan bahwa: 1. perkawinan adalah, apabila dilakukan menurut Hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Jadi sah atau tidaknya perkawinan sangat ditentukan oleh Hukum agama masing-masing. Semua agama di Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Aliiran Kepercayaan) pada prinsipnya tidak membolehkan perkawinan beda agama.2 Maka dari itu, untuk menjawab keabsahan perkawinan beda agama ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaannya. Sedangkan pencatatan tiap-tiap perkawinan itu merupakan persyaratan formil administrative. Kemudian dalam ketentuan Hukum Islam terkait perkawinan beda agama adalah 1. Pria muslim boleh kawin dengan wanita non muslim dengan syarat wanita ahli kitab (mempunyai kitab suci selain kitab suci al-Qur’an yang diakui oleh Allah SWT).3
Soetodjo Prawirohomodjojo, Pluralism Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1988), hlm. 39. 2 Lihat Badan Kementrian Hukum Nasional, Kementrian Hukum Dan Ham, tentang Laporan Kompedium Bidang Hukum Perkawinan, Perkawinan Beda Agama Dan Implikasinya. 3 “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima Hukum-Hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.” (Al-Maidah ayat 5). Sebagian ulama berbeda pendapat, ada sebagian yang membolehkan dan tidak sedikit yang mengharamkan. Golongan ulama yang mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan ahli kitab karena wanita ahli kitab mempunyai kedudukan yang sama dengan wanita musyrik. Padahal baik laki-laki maupun wanita muslim dilarang kawin dengan orang musyrik. Sedangkan sebagian ulama yang membolehkan, disebutkan oleh Al-Jazairi dalam kitabnya al-Fiqh ala mazdahib al-ar-ba’ah (Dar L-fikr, Beirut 1996), hlm. 68-70. menurutnya lafadz musyrikah tidak mencakup ahli kitab, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 105 1
2. Wanita muslim dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria non muslim tanpa ada perkecualian. 4 Adanya larangan ini karena mayoritas wanita pada kodratnya adalah bergantung pada suami, sehingga jika perkawinan dilanjutkan, perkawinan akan menjadi batal atau tidak sah. Dalam ajaran Islam mengenai sah atau tidaknya perkawinan beda agama terdapat dua hal, yaitu pelaksanaan akad nikah dan adanya kedua calon mempelai. Artinya perkawinan itu dipandang sah apabila akad nikah dilaksanakan secara Islam dan calon suami dan istri telah memenuhi syarat dalam ajaran Islam.5 Syarat dari calon mempelai memiliki hubungan dengan kepercayaan dan keber-agama-an mereka, yang pada intinya tidak dibenarkan seorang muslimah kawin dengan orang non muslim, dan tidak dibenarkan pula orang muslim menikah dengan wanita non muslim. Pernyataan selanjutnya, ketika perkawinan beda agama tidak bisa dilakukan di Negara6 kita, dan juga dilarang oleh semua agama, maka salah satu alternatif
yaitu “orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” 4 “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Al-Baqarah ayat 221). Ayat yang senada juga disampaikan “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orangorang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah Hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al-Mumtahanan ayat 10) 5 Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2001), hlm. 49. 6 Hal ini mengandung pengertian bahwa bukan hukum Negara yang tidak memperbolehkan, namun hukum agama. Karena hukum agama (semua agama) yang pada dasarnya tidak memperbolehkan perkawinan beda agama, maka Negara kita sebagai Negara hukum yang tidak lepas dari adat dan prinsip aturan antar umat, tidak bisa melakukan perkawinan beda agama.
yang bisa dilakukan menurut Jarwo Yunu7 adalah dengan melakukan perkawinan di luar negeri atau salah satu pihak pindah keagama pihak lain. Hal ini tidak sedikit masyarakat yang melakukanya.8 Dari pernyataan tersebut terdapat kontradiktif, kenapa setelah melakukan perkawinan beda agama di luar negeri bisa mencatat ke dinas kependudukan dan catatan
sipil?.
Secara
logika,
pada
dasarnya
undang-undang
tidak
memperbolehkan kawin beda agama. Namun, dinas kependudukan dan pencatatan sipil sebagai lembaga produk Negara bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Jika di analisa kembali, sepanjang tidak ada pengesahan agama adalah tidak mungkin dinas kependudukan dan catatan sipil mencatat sebuah perkawinan.
Peran Pengadilan dalam Kasus Perceraian Beda Agama. Pengadilan menerima perceraian beda agama karena berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberlakukan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, Stb.1898 No.158) yang biasa disingkat dengan GHR, Hakim Pengadilan menyatakan bahwa perkawinan beda agama termasuk kedalam perkawinan campuran dan sudah mendaftarkan hasil perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri ke kantor PPN/KUA. Maka, tidak ada alas an bagi hakim untuk menolak kasus tersebut mengingat Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara yang masuk kepadanya, maka Pengadilan Negeri menerima perkara perceraian beda agama tersebut. S.U Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, (Jakarta: CV Insani, 2005), hlm. 11. 8 Seperhalnya kasus pernikahan asmirandah yang menikah dengan pria non muslim, yang pada awalnya masuk islam, namun setelah perkawinan saha, pria non muslim tersebut kembali pada agama dan kepercayaan. Ini membuktikan perkawinan yang dilakukan adalah sebuah penyelundupan hukum. dan juga Kasus yang serupa awal tahun 2005 lalu adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier denganKalina. Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam dengan Penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Pramadina. Lihat Wikipedia, Yayasan Paramadina,Yayasan Paramadina pernah mendapatkan kontroversi karena menikahkan pasangan berbeda agama. Diakses tanggal 22 September 2014. 7
Sebagaimana peran dan alas an yang dilakukan pengadilan negeri sebagai lembaga keadilan yang menerima perkara perceraian beda agama menunjukkan asusmi bahwa secara tidak langsung pengadilan mengesahkan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Dan hal ini sangat penting untuk pembaharuan undang-undang perkawinan di indonesia khususnya tentang pasal tentang perkawinan beda agama, sehingga tidak terjadi simpang siur dengan aturan Pencatatan Sipil yang mencatat perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri.
Status Keabsahan Anak Hasil Perkawinan Beda Agama Berbagai peraturan yang menentukan siapa yang dapat menikah dengan siapa sangat menentukan kelahiran mana yang sah atau tidaknya anak menurut hukum. oleh karena itu untuk menentukan sah atau tidak anak menurut Kingsley Davis yang dikutip oleh William J. Goode9 adalah perkawinan. Yang kemudian Davis menguraikan bentuk-bentuk ketidakabsahan anak yaitu lima peraturan kelahiran anak yang bila dilanggar anak menjadi tidak sah. 1. Anak harus lahir setelah adanya perkawinan. Ikatan itu dapat saja meruapakan satu dari sekian banyak hubungan atau malah ikatan sepasang yang bertunangan. 2. Melarang adanya hubungan perzinahan. Dalam kasus ini misalnya pihak lakilaki sudah menikah, atau pihak perempuan, ataupun kedua-duanya, sehingga menimbulkan adanya tiga sub-tipe ketidak absahan karena perzinahan. 3. Larangan hukum incest, di mana anak yang dilahirkan dari seorang ibu dengan anak laki-lakinya, seorang ayah dengan anak perempuannya, atau kakak beradik. 4. Larangan kawin dengan orang yang berbeda kasta atau berbeda keyakinan. 5. Larangan yang berlaku sangat berbatas, yakni melarang adanya kelahiran oleh mereka yang harus hidup bertarah seperti hal para rahib.10
William J. Goode, The family, yang diterjemah oleh Lailahanoum hasyim, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 44. 10 Rahib adalah penghuni biara atau pertapa biara (orang yang beragama kristen). Lihat Tim Prima Pena, Kamus Ilmiyah Popular, (Surabaya: Gita media Press, 2006), hlm. 398 9
Ketika anak hasil perkawinan beda agama disebut anak haram atau anak zina, maka tidak ada perbedaan dengan anak yang lahir di luar perkawinan. Kecuali dalam perkawinan mereka sudah menganut kepercayaan yang sama, maka dapat dikatakan anak tersebut sah menurut hukum agamanya. Dalam islam tentang larangan zina sudah sangat jelas.11 Perbuatan yang mendekati saja sudah jelas hukumnya, apalagi sampai melakukan perbuatan tersebut.
Rekomendasi Dari artikel ini mempunyai tujuan untuk membenah kembali sistem hukum di indonesia, khususnya pasal tentang perkawinan beda agama dengan tidak menyamakan dengan pasal perkawinan campuran yang perkaranya sangat berbeda, maka perlu sinkronisasi atau selaras dari aturan yang satu dengan yang lainnya, dan juga untuk menghindari pemahaman negatif masyarakat, agar hukum tetap kondusif, sistematik dan dinamis.
Kesimpulan Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa status anak hasil dari perkawinan beda agama yang dilakukan diluar negeri memberikan kesimpulan mempunyai status yang tidak sah sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh Kingsley Davis. Namun,
anak
sebagai
generasi
bangsa
harus
tetap
mendapatkan
perlindungan dan pengakuan meskipun anak dilatarbelakangi keluarga yang berlainan agama. Sehingga Negara mengijinkan dan mencatat perkawinan yang dilakukan di luar negeri semata-mata untuk kepentingan anak. Jika anak hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak baik maka proses pertumbuhan dan perkembangan anak akan tidak tertata dengan baik pula. Maka dari itu, untuk membangun, memajukan bangsa dan Negara lebih baik, mulailah dari keluarga.
11
Di jelaskan dalam sebuah dalil al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 32
“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
DAFTAR PUSTAKA Al-Jazairi, Al-Fiqh Ala Mazdahib Al-Ar-Ba’ah. Dar L-fikr, Beirut 1996. Goode, William J. The family, yang diterjemah oleh Lailahanoum hasyim. Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Malik, Rusdi. Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Universitas Trisakti, 2001. Prawirohomodjojo, Soetodjo. Pluralism Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, 1988. Yunu, S.U Jarwo. Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, (Jakarta: CV Insani, 2005. Lihat Badan Kementrian Hukum Nasional, Kementrian Hukum Dan Ham, tentang Laporan Kompedium Bidang Hukum Perkawinan, Perkawinan Beda Agama Dan Implikasinya. Tim Prima Pena, Kamus Ilmiyah Popular. Surabaya: Gita media Press, 2006. Wikipedia, Yayasan Paramadina,Yayasan Paramadina pernah mendapatkan kontroversi karena menikahkan pasangan berbeda agama. Diakses tanggal 22 September 2014.