I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
PENDIDIKAN AGAMA PADA KELUARGA HINDU YANG MELAKSANAKAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI KECAMATAN CAKRANEGARA I Made Sudarma Dosen Tetap Jurusan Dharma Duta Prodi Penerangan Agama Hindu STAH Negeri Gde Pudja Mataram
Abstract Marriage, which was declared for changing the status law of a person, but the fact that no such thing as though it is sheer nonsense because marriage by different religion is also as a manifestation of changing the status someone with, but this kind of thing is often happened and causing various problems and a dilemma for the couple different religion that holds a marriage. As a man a Hindu wanted to get married with a girl who is Muslim in general, to be his wife but good intention often suffer various stumbling block or obstacles where the female insists that they wanted to take his son from his hand man Julia will devise to be brought back to their home because she did not agree the children will be married to people who do not partner with himself so that the girl feel kite himself like a loose their cords, and the development of trade between the house the girl with the man. Based on explanation above can be formulated problems as follows: (1) The religious education what Hindu invested in marriage different religion; (2) How investment method educational values Hindu marriage different religion according to the teachings Hinduism. The theory that used in this research is: The theory, the theory Kotruktivisme, theory Structural and Functional. Data Collection will be maintained by means observation, an interview, documentation and literature. Data Analysis in this research done consists of the stages following activities: (1) reduction data, (2) Presentation data, (3) verification or draw conclusions. Results of research has shown that: (1). Educational values Hindu that planting in marriage different religion, namely through planting Panca Sradha; 2). Ethical teachings/conduct; 3). The teaching fast; (2) a method planting religious education Hindu marriage different religion according to the Hindu method that is planting Sradha that with the method Shrawana, manana and kirtanam, planting methods to conduct that is at once in invite has participated in the event religious and to attend the meeting or dharmawacana and dharmatula so that it will broaden both in thinking, said and done, the method planting ritual that is practical teaching practices such as tools to make the ceremony or once was one and visited the sanctuary to carry out once was one and impact planting religious education Hinduism in marriage different religion in the sub-district. Key words : values planting, education of Hindu religion, different religion marriage
373
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
A. PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis/ suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya, masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan– perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Agama itu adalah sebuah kepercayaan, maka dengan agama pula seseorang akan merasa mempunyai suatu pegangan iman yang menambatkanya pada satu pegangan yang kokoh. Pegangan itu tiada lain adalah Tuhan, yang merupakan sumber dari semua yang ada dan yang terjadi. Kepada-Nya-lah setiap manusia hendaknya memasrahkan diri, karena tidak ada tempat lain dari pada-Nya tempat
mengembalikan diri. Keimanan kepada Tuhan ini merupakan dasar
kepercayaan Agama Hindu Dalam perkembangan kehidupan beragamanya, setiap umat manusia tentunya akan mengalami perubahan. Perubahan-perubahan tersebut akan beraneka ragam sesuai dengan pengalaman lahir maupun pengalaman bathin yang dilaluinya, ataupun ada faktor-faktor lain di luar pengalaman tersebut. Perubahan yang paling fundamental dalam kehidupan beragama setiap manusia adalah perubahan status agama yang dianutnya. Perubahan status tersebut dapat terjadi karena berbagai sebab khusus, diantaranya karena adanya proses perkawinan maupun di luar perkawinan. Perubahan status agama yang dianut oleh seseorang, karena proses perkawinan menjadi hal yang memang semestinya dilaksanakan karena menjadi syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Tentu syarat tersebut tercantum dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Fenomena yang sering tampak akhir-akhir ini adalah semakin banyaknya terjadi perkawinan antara laki-laki beragama Hindu dengan perempuan yang berbeda agama dan bersedia beralih agama menjadi Hindu, ataupun perempuan
374
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
Hindu dengan laki-laki yang berbeda agama dan juga bersedia beralih agama menjadi Hindu.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cakranegara. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan. Isu sentral yang muncul dan berkembang sesuai dengan urgensi permasalahan penelitian, Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis, artinya meneliti tentang interaksi sosial yang terjadi dalam proses meningkatkan pendidikan agama pada keluarga Hindu yang melaksanakan perkawinan beda agama yang selama ini belum pernah mendapatkan pendidikan agama maupun kegamaan. Seperti di jelaskan oleh Abdulsyani (2002 : 5) bahwa pendekatan sosiologis mempunyai objek studi pada masyarakat. Sedangkan Suprayogo (2001 : 61) dalam bukunya “Metode Penelitian Sosial-Agama” dikatakan bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan dan kelembagaan saling mempengaruhi dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, artinya penelitian ini menekankan pada aspek kualitas dari objek penelitian, meningkatkan pemahaman agama dan keagamaan keluarga Hindu. Menurut Bodgan dan Taylor dalam Moleong (2002 : 3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan prilaku yang dapat diamati. Berdasarkan fokus penelitian, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui proses meningkatkan pendidikan agama pada keluarga Hindu yang melaksanakan perkawinan beda agama yang selama ini belum pernah mendapatkan pendidikan agama maupun kegamaan di Kecamatan cakranegara. Dalam penelitian ini digunakan data yang bersumber dari data: 1) Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari informan dengan menggunakan teknik wawancara berdasarkan pertanyaan yang telah disiapkan, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat Kecamatan Cakranegara, 2) Sekunder, adalah data yang diperoleh dari sumber lain atau lembaga tertentu
375
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
serta data kepustakaan yang dapat membantu perolehan informasi yang berhubungan dengan penelitian. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive . Cara ini dilakukan pertama kali dengan menentukan para informan yang akan dijadikan narasumber. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan selama dan sesudah pengumpulan data dengan menggunakan analisis data kualitatif model alur yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992 : 18) yang terdiri dari tahap-tahap kegiatan sebagai berikut : 1. Reduksi data, yaitu melakukan proses pemilahan, pemusatan perhatian, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang diperoleh, kemudian dipilah sesuai dengan fokus penelitian. 2. Penyajian data, yaitu disajikan dengan bentuk uraian naratif dan sintesis serta tidak
menutup
kemungkinan
ada
bentuk-bentuk
argumentatif
yang
dikemukakan dalam memberikan interpretasi. 3. Verifikasi atau menarik kesimpulan, peneliti berusaha mencari makna dari data-data yang diperoleh dan mencari pola-pola penjelasan, konfigurasikonfigurasi dari data yang telah diferifikasi, peneliti mengambil suatu kesimpulan.
C. PEMBAHASAN 1. Pendidikan Agama Hindu. Mengkaji konsep pendidikan Agama Hindu dalam penelitian ini akan dipilah menjadi dua yaitu pendidikan dan pendidikan Agama Hindu. Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Hasbullah 2003: 3) menyatakan pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi tingginya. Sedangkan menurut Tilaar, (2003 : 6) pandangan tentang pendidikan cukup bervariasi bergantung dari mana melihat
376
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
pendidikan itu. Pendidikan diartikan sebagai proses pembudayaan seseorang untuk menuju pada kehidupan yang beradab dan berbudaya. Di sisi lain pendidikan juga diartikan sebagai proses pengembangan potensi seseorang untuk menuju kepada kedewasaan yang seutuhnya. Pendidikan diartikan sebagai pengembangan potensi manusia secara kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan demikian arah suatu kegiatan pendidikan pada dasarnya adalah memanusiakan manusia. Pada sisi lain menurut Titib (2003) menyatakan bahwa pendidikan mengandung arti mengantarkan seorang anak menuju ke tingkat dewasa atau kedewasaan. Pengertian yang lebih sederhana pendidikan adalah usaha mengantarkan (manava) menjadi madhava (devine human) dan menjauhkannya dari sifat-sifat raksasa (denava) seperti serakah, loba, angkuh, tamak, dan sejenisnya (demonic human). Pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku (behavior) seseorang maupun kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan untuk memperoleh pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) yang diperoleh dari proses sekolah atau belajar (scholling or learning). Pada sisi lain, pendidikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga masyarakat seperti desa, banjar, subak, desa pakraman, krama pura termasuk dalam pendidikan agama di luar sekolah. Dimana tujuan Pendidikan Agama Hindu di luar sekolah dijabarkan oleh Panitia Pelaksana Seminar Kesatuan Tafsir, (2007 : 18) adalah sebagai berikut: (1) Menanamkan ajaran Agama Hindu itu menjadi keyakinan dan landasan segenap kegiatan umat dalam semua prikehidupannya; (2) Ajaran Agama Hindu mengarahkan pertumbuhan tata kemasyarakatan Umat Hindu hingga serasi dengan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan
Republik
Indonesia;
(3)
Menyerasikan
dan
menyeimbangkan
pelaksanaan bagian-bagian ajaran Agama Hindu dalam masyarakat antara Tattwa, Susila dan Yadnya/Upakara; (4) Untuk mengembangkan hidup rukun antara umat berbagai agama.
377
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
Pendidikan agama memegang andil yang tidak kecil dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional,
pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa ada empat komponen tujuan pendidikan yang pencapaiannya menjadi beban pendidikan agama, yaitu : 1) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, 2) pengendalian diri, 3) kepribadian dan 4) akhlak mulia. Keempat komponen di atas menunjukkan betapa besar pengaruh pendidikan agama dan betapa strategisnya posisi guru agama dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diharapkan tersebut di atas. Dengan kata lain guru agama memiliki peranan yang besar dalam membina moralitas bangsa. Terkait dengan konsep diatas dimaknai bahwa pendidikan Agama Hindu menghendaki perubahan tingkah laku secara menyeluruh, utuh, dan integral yang meliputi seluruh aspek (potensi) yang ada pada diri manusia karena manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna diantara makhluk hidup ciptaan Tuhan lainnya. Kesempurnaan tersebut dilihat dari potensi dasar yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, yaitu potensi yang memungkinkan mereka untuk berkembang dan memberdayakan alam semesta beserta segala isinya sebagai wahana mengembangkan diri dan mempertahankan kehidupannya. Ada tiga potensi dasar yang dimiliki oleh manusia, yaitu sabda (kemampuan untuk bersuara), bayu (potensi berupa tenaga) dan idep (potensi akal pikiran) yang dikenal dengan Tri Pramana. Upaya untuk mendalami ajaran Agama Hindu bagi siapapun, wajib dan tidak bisa tidak merujuk pada Veda. Karena itu untuk mendalami ajaran Agama Hindu ada lima sumber yang komprehensif yang dapat dijadikan sebagai acuan yaitu : (1) Sruti yang berarti Veda itu sendiri, bersumber dari sabda Tuhan, (2) Smrti atau Dharmasastra, (3) Sila ialah merupakan tingkah laku orang suci yang mempunyai tingkah laku yang baik, (4) Acara ialah tradisi/adat kebiasaan yang bersifat lokal sesuai dengan masyarakat setempat, (5) Atmanastuti ialah kepuasan kebenaran yang berada dalam diri kita / roh.
378
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
2. Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita ini haruslah mendapat ijin dari kedua orang tuanya, perkawinan tidak boleh dilakukan karena paksaan atau pengaruh orang lain. Menurut Weda Smrti Bab III.35 dinyatakan bahwa perkawinan harus dilakukan atas dasar persetujuan antara calon mempelai Pria dan Wanita (Jaman, 1988). Menurut sloka Dharmajati yang diuraikan sebagai berikut; Om Pradanam purusa sang yoga Windu dewataya, bhoktra jagatnataya Dewa, dewi adi sang yoga ya Artinya: Ya Tuhan, engkaulah menciptakan dan mempersatukan kaum laki-laki dan kaum perempuan serta menghidupkan dan mengembangbiakan dunia ini dalam tugas dan kedudukan di masyarakat (Anonim, 2001;52). Perkawinan menurut Ajaran Hindu adalah “yajna”, sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan akan menuju gerbang grehastha asrama yang merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaan serta kemuliaannya. Lembaga yang suci ini hendaknya dilaksanakan Dharma agama dan Dharma negara, termasuk didalamnya pelaksanaan Panca Maha Yajna. Selanjutnya perkawinan sebagai awal menuju masa grehastha merupakan masa yang paling penting dalam kehidupan manusia. Di dalam grehastha asrama inilah tiga perilaku yang harus dilaksanakan, dan landasan yang harus dilaksanakan yaitu; 1. Dharma, ialah aturan-aturan yang harus dilaksanakan dengan kesadaran yang berpedoman pada dharma agama dan dharma negara. 2. Artha, ialah segala kebutuhan hidup berumah tangga untuk mendapatkan kesejahteraan yang berupa materi dan pengetahuan.
379
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
3. Kama, ialah rasa kenikmatan yang telah diterima dalam berkeluarga sesuai dengan ajaran agama. Di Kecamatan Cakranegara Kota Mataram masyarakatnya mengenal adanya perkawinan yang terjadi antara umat yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda, dimana seorang pria beragama Hindu dengan
wanita
beragama lain atau perempuan beragama Hindu dengan laki-laki beragama lain yang didasari atas suka sama suka tanpa ada paksaan untuk mengikat jalinan kasih dan membina rumah tangga dengan cara melaksanakan suatu perkawinan yang tata cara pelaksanaannya menurut ajaran Agama Hindu. Di dalam konsep ini, maka perkawinan ini selanjutnya disebut sebagai perkawinan beda agama.
3. Pendidikan Agama Hindu Dalam Perkawinan Beda Agama. Berbicara tentang pendidikan Agama Hindu merupakan hal yang tidak asing lagi di kalangan Umat Hindu. Ajarannya yang bersifat sistematis serta berkelanjutan perlu dikembangkan guna meningkatkan kecerdasan, peningkatan ilmu pengetahuan dan nilai keagamaan Umat Hindu. Demikian pula halnya dalam pelaksanaan perkawinan beda agama hendaknya yang terlebih dahulu diajarkan pada setiap insan
yang baru pertama kali memeluk Agama Hindu adalah
menanamkan sebuah keyakinan atau sradha. Penanaman konsep keyakinan terhadap orang yang baru memeluk Agama Hindu membutuhkan waktu yang relatif lama karena baru pertama kali mengenal ajaran Agama Hindu. Selanjutnya berdasarkan hasil observasi lapangan terkait dengan nilai pendidikan Agama Hindu yang ditanamkan dalam perkawinan beda agama yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Agama Hindu yaitu: 1).Tattwa; 2). Ajaran Etika/Susila; 3). Ajaran Acara. Terkait dengan ajaran Tattwa, sesungguhnya setiap agama yang ada dan berkembang di muka bumi ini, bertitik tolak kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Banyak hal yang mendorong kita harus percaya terhadap adanya Tuhan itu dan berlaku secara alami. Adanya gejala atau kejadian dan
380
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
keajaiban di dunia ini, menyebabkan kepercayaan itu semakin mantap. Setiap hari manusia dapat menyaksikan matahari terbit dan tenggelam. Demikian pula adanya bulan dan bintang yang hadir di langit dengan teratur, pergantian siang menjadi malam, adanya kelahiran, usia tua, dan kematian, semuanya ini mengantarkan seseorang harus percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber dari segala yang terjadi di alam semesta ini. Pokok-pokok keimanan dalam Agama Hindu itu sendiri dapat dibagi menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Sraddha, yaitu 1) percaya adanya Tuhan (Brahman/Hyang Widhi), 2) percaya adanya Atman, 3) percaya adanya Hukum Karma Phala, 4) percaya adanya Punarbhawa (Reinkarnasi/Samsara) dan 5) percaya adanya Moksa. Iman atau Sradha adalah merupakan bagian dari agama. Tanpa didasari pada iman mungkin perbuatan mereka tidak setulus itu melakukannya, mereka melakukan puasa atau bratha serta mengendalikan seluruh panca indriyanya atau tapa. Semua dilakukan karena yakin dan percaya bahwa peraturan itu benar sekali sehingga takut untuk menyalah gunakannya. Semua ini adalah karena keyakinan (Pudja,1984:V). Percaya terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakin dan iman terhadap Tuhan itu sendiri. Yakin dan iman ini merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha Kuasa, Maha Esa dan Maha segala-galanya. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang disebut juga Hyang Widhi (Brahman), adalah ia yang kuasa atas segala yang ada ini. Tidak ada apapun yang luput dari Kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai pemelihara dan Pelebur alam semesta dengan segala isinya. Tuhan adalah sumber dan awal serta akhir dan pertengahan dari segala yang ada. Didalam Weda (Bhagavadgita), Tuhan (Hyang Widhi) bersabda mengenai hal ini, sebagai berikut: Aham atma gudakesa sarva bhutasaya sthitah aham adis cha madhyam cha bhutanam anta eva cha. (BG.X.20)
381
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
Terjemahannya: Aku adalah jiwa yang berdiam dalam hati segala insani, wahai Gudakesa. Aku adalah permulaan, pertengahan dan penghabisan dari mahluk semua(Pudja, 1984,237). Percaya adanya Atman. Kata Atman, diambil dari kata “an” yang berarti bernafas. Setelah secara bertahap diperluas, maka artinya kemudian menjadi meliputi kehidupan, roh, sang diri dan inti dari pribadi. Dalam sastrasastra Weda disebutkan bahwa pengertian Atman, tak dapat dipisahkan
dari
pengertian Brahman. Atman adalah prinsip kesadaran pribadi dan Brahman adalah prinsip kesadaran semesta. Begitu kesadaran murni timbul pada manusia, perbedaan antara keduanya akan lenyap dan keduanya akan menjadi identik. Tuhan selain sebagai sesuatu yang mengatasi kategori manusia, juga sekaligus masuk dan hidup di dalam manusia. Selanjutnya hubungan antara Atman dan Brahman kiranya dapat dijelaskan dengan salah satu sloka dalam Rgveda adalah sebagai berikut: Dva suparna sayuja sakhaya Samanam vrksam pari sasvajate Tayor anyah pippalam svadu-atti Anasnan anyo abhi cakasiti (Rgveda I.164.20) Terjemahannya: Ada dua ekor burung (jiwa individual dan jiwa yang agung) yang dipersatukan dengan ikatan persahabatan, yang tinggal dalam pohon yang sama, salah satu dari mereka (jiwa individual) menikmati buah matang yang manis (karma) sedangkan yang lainnya (jiwa yang agung) menyaksikan segalanya tanpa menikmati buahnya. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala. Kata Karma berasal dari kata “kri” yang berarti berbuat atau bekerja. Konsep Karma harus dipahami sebagai manifestasi akumulasi perbuatan. Karma seseorang bukan ditentukan oleh satu atau dua perbuatan besar, tapi oleh setiap gerakan, setiap denyut jantung, setiap kilasan pemikiran dan sebagainya. Tidak ada sesuatupun yang tidak
382
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
berubah dalam dimensi ruang dan waktu karena itu tidak ada sesuatupun yang tidak terikat pada hukum Karma. Percaya adanya Punarbhawa. Kata Punarbhawa berasal dari Bahasa Sanskerta, terdiri dari dua kata yakni kata punar yang artinya lagi, kembali dan kata bhava berarti menjelma. Jadi Punarbhawa berarti kelahiran yang berulangulang yang disebut juga penitisan atau samsara. Di dalam pustaka suci Veda dikatakan bahwa penjelmaan atma (roh) yang berulang-ulang (samsriti) ke dunia ini disebut samsara. Punarbhawa atau samsara ini terjadi diakibatkan oleh adanya Hukum Karma, di mana karma yang jelek menyebabkan atma (roh) menjelma kembali untuk memperbaiki perbuatannya yang tidak baik, atau karena atma itu masih di pengaruhi oleh Karma Wasana (bekas-bekas atau sisa-sisa perbuatan) atau kenikmatan duniawi sehingga tertarik untuk lahir ke dunia. Kelahiran ini adanya samsara (sangsara) sebagai hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma di masa kelahiran terdahulu. Kelahiran atma yang berulang-ulang ke dunia membawa akibat suka duka. Di dalam Bhagawadgita Bab. IV. 5 disebutkan sebagai berikut: Sribhagavan uvaca Bahuni me vyanti janmani tava carjuna Tany aham veda sarvani na twam vetha parantapa
Terjemahannya: Sri Bhagavan berkata Banyak kelahiran-Ku di masa lalu demikian dan pula kelahiranmu Arjuna. Semuanya ini Aku tahu tetapi engkau sendiri tidak, Parantapa(Pudja.1984.99). Percaya adanya Moksa. Moksa berarti kelepasan atau kebebasan. Yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian Moksa ialah terlepasnya atma dari ikatan maya, sehingga dapat menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai Moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat Cit Ananda, yaitu kebahagiaan yang tertinggi. Begitupula halnya moksa dapat dicapai di dunia ini (ketika masih hidup) dan dapat pula dicapai setelah hidup berakhir. Orang yang dapat membebaskan dirinya (pikiran dan indria/kama) dari ikatan keduniawian dan pengaruh suka duka yang muncul dari Tri Guna akan mencapai kelepasan.
383
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
Mendukung pernyataan diatas dalam kitab Bhagavadgita XIV.9,14) disebutkan sebagai berikut : sattvam sukhe sanjayati rajah karmani bhatara jnanam avrtya tut amah paruade sahjyaty uta (Bhagavadgita,XIV.9) Terjemahannya: Triguna yaitu sattwa, rajas dan tamas, lahir dari prakerti terikat di dalam badan O Arjuna, merupakan penghuni abadi di dalam badan(Pudja.1984.319). Apabila pokok-pokok keimanan atau Tattwa telah dipahami, maka perlu kiranya dibarengi dengan penanaman ajaran etika atau susila dalam perkawinan beda agama. Sebuah ungkapan disampaikan oleh seorang perempuan yang menganut Agama Hindu melalui proses perkawinan dengan laki-laki Hindu sebagai berikut: Setelah dicermati dengan penuh keyakinan dalam hidup ini tidak saja menganut agama ada kesamaan yang berkaitan dengan etika itu sendiri namun tata cara pelaksanaan atau individunya yang berbeda namun yang tertangkap oleh saya inti dari ajaran susila atau etika adalah bagaimana dalam kehidupan ini selalu bertingkah laku yang baik dan benar namun perbuatan baik itu belum tentu benar begitu pula sebaliknya. Semua bentuk tingkah laku tersebut tergantung dari karakter manusia itu sendiri dan hal itu tidak bisa dipaksakan atau memaksakan diri agar dikatakan orang yang paling baik. Dalam hal ini etika merupakan penuntun manusia untuk melaksanakan segala perbuatan baik yang muncul melalui pikiran, perkataan dan perbuatan, ketiga hal inilah yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menjalankan ajaran dharma itu sendiri. Zoetmulder, dalam (Oka, 2009: 42) mengartikan Susila sebagai “Berbudi luhur, berkelakuan baik˝. Susila dapat diartikan merupakan jalan yang menunjukkan berkelakuan baik bagi manusia terhadap satu sama lain sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Susila selalu berlandaskan pada ketentuanketentuan dharma yang merupakan kebenaran mutlak. Susila juga menekankan pada pelaksanaan yajña yaitu korban yang tulus ikhlas. Konsep susila yang diterapkan dalam kehidupan sebagai satu tatanan sosial yang dapat memberikan
384
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
kesempatan pada manusia dalam upaya menciptakan hal-hal yang bersifat kondusif. Namun seluruh ajaran Susìla tidak hanya difokuskan pada bertingkah laku atau berbuat saja karena segala perbuatan berpusat pada pikiran baru dapat diungkapkan. Berbicara tentang Susila atau Etika
yang tertuang dalam kitab
Sarasamuccaya sloka 158, 159, 160, dan sloka 161 sebagai berikut : Dharmah satyam tathà vrttaý balam çrìçcaiva pancamah, Niçcayena mahàràja sadà nàstyatra sançayah. (158) Terjemahan: Karena kebijaksanaan, kebenaran, pelaksanaan cara hidup yang layak (sopan santun), kesaktian, kebahagiaan dan ketangguhan itu, sila yang menyebabakan ada, (Kadjeng, 2003: 126) Çilena hi tryo lokāh çakyājetum na sançayah Na hi kincidasādhyam vai loke çìlena niçcitah. (159) Terjemahan: Sebab triloka ini sekalipun, pasti akan kalah dan dikuasai oleh orang yang berketetapan hati melaksanakan kesusilaan karena tidak ada sesuatu yang tidak tercapai oleh orang yang berprilaku susila (susilawan), (Kadjeng 2003:127) Memaknai ungkapan sloka di atas, diketahui bahwa susila merupakan ajaran kebijaksanaan dalam kehidupan manusia karena adanya kebijaksanaan, kebenaran (dharma), serta cara menjalankan hidup dengan sopan santun. Susila merupakan dasar yang paling utama bagi manusia sebagai mahluk yang sempurna dari ciptaan Tuhan lainnya karena hanya manusialah yang mampu bertingkah serta berpikir. Sebab jika tidak memiliki prilaku yang susila, maka hidupnya akan terombang-ambing Ajaran susila yang dapat disampaikan dalam hal ini diantaranya adalah Tri Kaya Parisudha yang merupakan hal yang tak asing lagi di kalangan Umat Hindu sebab ajaran tersebut mengajarkan kepada seluruh lapisan Masyarakat Hindu untuk selalu melaksanakannya. Ajaran ini merupakan dasar mengarungi kehidupan di dalam keluarga, maupun masyarakat. Di lingkungan keluarga yang menjadi tonggak utama menanamkan ajaran Tri Kaya Parisudha adalah orang tua
385
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
untuk mengarahkan pada setiap anggota keluarganya agar
selalu berperilaku
sesuai dengan ajaran susila. Selain ajaran Tri Kaya Parisudha sebagai landasan Etika Hindu juga terdapat pada ajaran Tri Paramãrtha dan Catur Paramitha. Tri Paramartha merupakan bagian dari ajaran Susila Agama Hindu yang mengajarkan kepada Umat Hindu agar selalu bertingkah laku atau berbuat yang baik terhadap sesama untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia, adapun pembagian dari Tri Paramartha tersebut adalah Asih, Punia dan Bhakti. Asih adalah menyayangi dan mengasihi sesama mahluk sebagai mengasihi diri sendiri. Saling asah (harga menghargai), saling asih (cinta mencintai), saling asuh (hormat menghormati) sesama mahluk agar terwujud kerukunan, kedamaian dan
keharmonisan
dalam
kehidupan
serta
tercapainya
jagathita
(Sumartawan,2009: 47), Sedangkan menurut Oka (2009: 45) asih (cinta kasih) diartikan menyayangi dan mengasihi sesama mahluk seperti menyayangi diri sendiri. Perbuatan ini harus dilandasi oleh ketulusan hati. Punia adalah menolong orang lain dengan memberikan sesuatu atau harta benda yang dimiliki dan berguna bagi yang diberikan. (Sumartawan, 2009: 47). Juga dinyatakan oleh Oka (2009: 45) bahwa punia diartikan perwujudan cinta kasih dalam bentuk saling menolong dengan memberikan sesuatu kepada mereka yang membutuhkan. Pemberian biasanya berupa: Makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, pelayanan atau berupa ilmu pengetahuan. Penanaman ajaran punia diterapkan di lingkungan keluarga melalui konsep saling membantu sesama serta tidak mementingkan diri sendiri.
Selalu membagi perasaan,
menyisihkan
sebagian dari harta yang dimiliki untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan pertolongan dan tidak mengharapkan imbalan terhadap apa yang telah diberikan kepada siapa saja. Bhakti adalah sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi, dalam hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk sembahyang setiap saat, dimana kita hendaknya ingat kehadapan Hyang Widhi, karena beliau Maha Pengasih, Penyayang kepada semua mahluk ciptaan-Nya. (Sumartawan,2009: 47). Selanjutnya Oka (2009: 45)
386
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
menyatakan bahwa bhakti merupakan perwujudan cinta kasih dan sujud bhakti kepada Hyang Widhi, orang tua, guru dan pemerintah. Selain itu Tri Parartha mengajarkan perihal yang dapat menyebabkan terwujudnya kesempurnaan, kebahagiaan, keselamatan, kesejahteraan, keagungan dan kesukaan hidup umat manusia. Kesemuanya itu adalah merupakan kebutuhan umat manusia yang sangat vital dan mesti dinikmati dalam hidup dan kehidupan ini. Tanpa keselamatan, umat manusia tentu tidak akan dapat berbuat banyak. Serta ajaran Tri Parartha itu sudah sepatutnya selalu dipahami dan diamalkan oleh umat manusia, dengan demikian kesempurnaan hidup ini akan menjadi kenyataan. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Menawa Dharmasastra,V.109 sloka suci berikut ini abdhir gatrani cudhayanti, manah satyena cudhayanti, widyatapobhyam bhratatma, buddhir jnanena cudhayanti Terjemahannya: Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan (Pudja,1995:311). Ajaran Agama Hindu menuntut manusia ke jalan yang benar sehingga sifat-sifat buruk itu tidak berkembang di dalam diri manusia itu sendiri bahkan yang diharapkan bahwa sifat-sifat buruk itu bisa berubah menuju sifat sifat yang baik dan terpuji, (Sumartawan, 2009: 46). Upaya mewujudkan sifat-sifat yang baik, terpuji, jujur dan beretika atau bertata susila dalam diri manusia itu sendiri, maka hendaknya perlu upaya memahami konsep Catur Paramita yang artinya empat budi atau akhlak yang mulia dan luhur, adapun pembagiannya adalah sebagai berikut ; Maitri (Metri) artinya senang mencari teman, yakni tahu menempatkan diri dalam masyarakat, ramah tamah serta menarik hati segala perilakunya, sehingga menyenangkan diri sendiri atau orang lain (Sumartawan, 2009: 47). Pada sisi lain juga dinyatakan bahwa Maitri yaitu memiliki sifat
387
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
persahabatan dengan semua mahluk dan menjauhkan rasa permusuhan (Oka, 2009: 51). Terkait dengan penerapan Maitri (Metri) yang artinya senang mencari teman, dapat dilaksanakan dengan cara: 1) Selalu menganggap siapa saja yang ada di lingkungan keluarga tersebut adalah saudara yang harus disayangi; 2) Selalu ramah dengan terhadap siapa saja; 3) Selalu memberi maaf terhadap siapa saja tanpa kecuali; 5) Tidak suka mencari musuh baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Karuna (Karunia) artinya belas kasihan, selalu merasa kasih sayang terhadap semua mahluk. Maka segala rasa dan sifat-sifat iri hati, dengki, jahat harus dimusnahkan (Sumartawan, 2009: 47). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa Karuna memiliki sifat belas kasihan pada semua mahluk, suka menolong dan memaafkan kesalahan orang lain (Oka, 2009: 51). Penanaman konsep belas kasih hendaknya ditanamkan kepada siapapun baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat karena dengan berperilaku seperti itu tidak membuat orang lain merasa tersisih yang nantinya bisa berakibat tidak baik lebih-lebih dalam sebuah keluarga yang kedatangan seorang menantu yang berasal dari non-Hindu hendaknya diperlakukan sebaik-baiknya agar merasa dirinya dihargai serta diperhatikan oleh keluarga barunya. Mudita artinya selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira penuh simpatik terhadap sesama, sopan dan santun (Sumartawan, 2009: 47). Pendapat lain menyatakan bahwa Mudita memiliki sifat riang dan rasa simpati pada siapapun dan tidak merasa iri, dengki atau benci (Oka, 2009: 51). Penanaman ajaran Mudita, yaitu hendaknya selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira dapat peneliti uraikan sebagai berikut: 1) Menanamkan pada mereka untuk selalu sopan pada setiap orang; 2) Menanamkan pada mereka untuk selalu simpati pada orang lain; 3) Menanamkan pada mereka untuk selalu memberikan senyum pada teman. Upeksa artinya senantiasa mempergunakan pertimbangan dalam menyelesaian permasalahan, mengalah untuk kebenaran (Sumartawan, 2009: 47). Pernyataan lain yang terkait dengan Upeksa dinyatakan oleh Oka (2009: 51) yaitu
388
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
Upeksa memiliki sifat tidak suka mencampuri urusan orang lain, tidak suka menjelekkan orang lain atau menyinggung perasaan orang lain. Mencermati
makna
Upeksa,
yaitu
senantiasa
mempergunakan
pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan, maka dari uraian beberapa warga Hindu yang kedatangan warga baru yang berasal dari non-Hindu dengan cara: 1). tidak menyebut-nyebut asal muasal yang bersangkutan; 2) selalu hidup rukun dalam lingkungan keluarga dan memberikan pandangan bagaimana cara hidup Umat Hindu; 3) tidak membeda-bedakan yang bersangkutan dengan orang lain. Penanaman nilai upacara Agama Hindu yang sarat akan nilai religi dan symbol-simbol yang tidak terlepas dari ajaran Panca Sradha yang merupakan landasan untuk melaksanakan yajña dan yang tak kalah pentingnya Tri Rna merupakan dasar dari pelaksanaan yajña itu sendiri. Weda mengajarkan bahwa segala yang ada di muka bumi atau alam semesta ini merupakan ciptaan Tuhan yang berdasarkan atas yajña. Sebab menurut ajatan Tri Rna bahwa seisi alam semesta ini mempunyai hutang kepada Tuhan, oleh karena itu Umat Hindu dalam melaksanakan upacara yajña bertujuan untuk melepaskan diri dari keterikatan melalui sarana-sarana upakara atau upacara berupa banten. Pemahaman mengenai makna upakara serta proses pembuatan saranasarana upakara dapat ditularkan dengan membiasakan membuat sendiri saranasarana tersebut serta dengan cara melihat langsung dan mempraktekkan langsung tata cara pembuatan sarana-sarana upakara tersebut. Selanjutnya memberikan kesempatan untuk melakukan praktek persembahyangan secara langsung kepada warga yang baru memeluk Agama Hindu dalam melaksanakan upacara dimulai dari tingkat yang paling sederhana.
4. Metode Penanaman Nilai Pendidikan Agama Hindu Penanaman nilai pendidikan Agama Hindu dalam perkawinan beda agama di Kecamatan Cakranegara Kota Mataram dapat dilakukan melalui beberapa metode. Upaya penanaman ajaran Agama Hindu pada perkawinan yang dilatari oleh perbedaan agama semestinya dilakukan pertama kali melalui pendidikan
389
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
dalam keluarga, yang kemudian didukung oleh masyarakat baik secara adat maupun masyarakat secara luas. Adapun metode penanaman nilai pendidikan Agama
Hindu
dapat
dilakukan
menginplementasikan ajaran
dengan
cara
mengenalkan
dan
tri kerangka dasar Agama Hindu yaitu Tattwa,
Susila dan Upacara dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya ini metode yang dapat digunakan adalah dengan mendengarkan Dharma Wacana baik secara langsung maupun melalui mediamedia lainnya seperti televisi maupun radio. Metode dharma wacana merupakan metode pembelajaran dalam Agama Hindu yang dapat dipakai untuk mendiskripsikan ajaran-ajaran Agama Hindu yang penuh dengan ajaran ajaran yang sifatnya rahasia. Metode penanaman nilai pendidikan dalam perkawinan terkait dengan penanaman nilai etika yaitu dengan jalan sesering mungkin yang bersangkutan diajak turut serta dalam kegiatan keagamaan serta menghadiri pertemuan atau dharmawacana serta dharmatula sehingga akan menambah wawasan baik dalam berpikir, berkata dan berbuat. Membuat sarana persembahyangan tidaklah begitu rumit di kalangan Umat Hindu yang sudah terbiasa melakukannya, namun bagi yang baru pertama kali menginjakan kaki di keluarga Hindu melalui proses perkawinan, melakukan aktifitas seperti ini merupakan hal yang awam dan sulit sekali untuk mengerjakannya Selayaknya agama-agama lain yang ada dimuka bumi ini membutuhkan sarana dalam mengekspresikan keyakinannya terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti halnya Agama Hindu yang dalam keseharian tiada hentinya beraktifitas untuk memuja kebesaran-Nya sehingga membutuhkan berbagai sarana dalam melaksanakan suatu persembahyangan. Sehingga merupakan suatu kewajiban bagi orang tua (ibu) memperkenalkan bentuk dan fungsi dari sarana persembahyangan. Kegiatan yang melibatkan wanita yang baru masuk dalam Agama Hindu untuk
berpraktek
langsung
dalam
pembuatan
sarana
upakara
dan
persembahyangan. Metode penanaman nilai sradha dapat pula di laksanakan
390
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
dengan cara mengunjungi tempat-tempat suci atau tirthayātra. Menurut Titib (1988: 246) Tirthayātra dapat diartikan sebagai perjalanan ke tempat-tempat suci (pemujaan) di luar desa, di pegunungan atau tepi pantai guna memperoleh air suci (simbol amerta). Hal yang penting di tempat-tempat yang diyakini suci adalah akan memperoleh vibrasi (getaran suci) yang membahagiakan kalbu, sulit untuk dilukiskan. Konsep seperti ini diterapkan oleh Keluarga Hindu di Kecamatan Cakranegara Kota Mataram dengan mengajak semua anggota keluarga melaksanakan tirtha yatra ke tempat-tempat suci yang mudah dijangkau,terutama pada hari raya tertentu atau pada hari-hari yang ditentukan. Langkah ini merupakan suatu proses pembelajaran pada seseorang yang berasal dari nonHindu dan menganut Hindu karena melalui sebuah perkawinan.
D. Penutup 1. Simpulan Nilai pendidikan Agama Hindu yang ditanamkan dalam perkawinan beda agama di Kecamatan Cakranegara Kota Mataram yaitu berupa Penanaman konsep keyakinan terhadap orang yang baru masuk Hindu, dimana proses ini membutuhkan waktu yang relatif lama karena baru pertama kali mengenal ajaran Agama Hindu dalam kehidupannya, namun bila kemauannya besar dan diikuti oleh rasa ingin tahu tentang keberadaan ajaran Agama Hindu, maka yang bersangkutan akan lebih cepat memahaminya. Selanjutnya terkait dengan nilai pendidikan Agama Hindu yang ditanamkan dalam perkawinan beda agama yang terjadi di Kecamatan Cakranegara Kota Mataram yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Agama Hindu yaitu: 1) Panca Sradha; 2). Ajaran Etika/Susila; 3). Ajaran Acara/Upacara. Metode penanaman nilai pendidikan Agama Hindu dalam perkawinan beda agama di Kecamatan Cakranegara Kota Mataram dapat dilakukan dengan beberapa metode. Adapun metode penanaman nilai pendidikan Agama Hindu dapat dilakukan dengan cara menginplementasikan tri kerangka dasar agama Hindu yaitu Tattwa, Susila dan Upacara dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman nilai pendidikan Agama Hindu bagi masyarakat Bali (dan umat Hindu pada
391
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
umumnya) lebih ditujukan untuk praktek kehidupan sehari-hari, sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dengan praktek secara langsung seperti membuat sarana persembahyangan dan ikut serta dalam berbagai kegiatan keagamaan agar yang bersangkutan lebih memahami tentang ajaran Agama Hindu. Pelaksanaan ajaran agama meliputi tiga aspek yaitu : 1) Tattwa, ajaran yang menyangkut falsafah agama; (2) Etika/tata susila; dan 3) Acara atau ritual. Pada dasarnya hal tersebut juga mengacu pada falsafah Tri Hita Karana, yang mengatur hubungan keselarasan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya. 2. Saran a. Kepada setiap keluarga Hindu pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
yang kedatangan warga baru (wanita) berasal dari non Hindu
hendaknya memberikan perhatian serta motivasi agar yang bersangakutan lebih memahami ajaran agama Hindu. Peran semua anggota keluarga dalam hal ini sangat dibutuhkan dalam mendukung terciptanya suasana yang harmonis dalam kehidupan di masyarakat maupun lingkungan pada umumnya. b. Parisadha sebagai lembaga tertinggi umat Hindu hendaknya memfasilitasi warganya yang mengalami kesulitan dalam hal penyelesaian proses perkawinannya serta aktif dalam usaha-usaha peningkatan pemahaman agama kepada umat Hindu pada khususnya. c. Masyarakat juga mampu memberikan dukungan terhadap warga yang melaksanakan perkawinan dengan wanita non-Hindu, karena nantinya yang bersangkutan nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat tersebut dan kemungkinan
akan
terlibat
dengan
bermasyarakat.
392
berbagai
hal
dalam
kehidupan
I Made Sudarma ( Pendidikan Agama Pada Keluarga Hindu Yang Melaksanakan ....)
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Astawan, I Gede. 2011. Pindah Agama, Mengapa? Membangun Generasi Muda Hindu Melalui Mutiara-Mutiara Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita. Bohar, Suharto. 1997. Pendekatan dan Teknik Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Tarsito. Cudamani. 1999. Karmaphala Dan Reinkarnasi. Surabaya: Paramita. Ekasana, Suastika, I.M. 2012. Dharma Bandhu Hukum Kekeluargaan Hindu. Surabaya. Paramita. Gorda, I.G.N. 1997. Dasar Moral dan Motivasi Membina Perkawinan Bahagia Menurut Pandangan Hindu. Denpasar. STIE Satya Dharma Singaraja, Widya Kriya Gematama. Jaman, I Gede. 2006. Tri Hita Karana Dalam Konsep Hindu. Denpasar. Pustaka Bali Post. Kadjeng, I Nyoman. 2005. Sarascamuscaya. Surabaya : Paramita. Moleong, Lexy. J, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. Pudja, Gde , 2004. Bhagavadgita, Surabaya : Paramita Pudja, Gde dan Sudharta,Tjok Rai.2002. Manava Dharmasastra (Manu Dharmasastra). Jakarta. CV. Felita Nursatama Lestari Putra, N.P, Makertihartha I.G.B.N. 2000. Agama Hindu Dari, Untuk Dan Oleh Orang Muda. Surabaya. Paramita. Sanjaya, Putu. 2011. Filsafat Pendidikan Agama Hindu. Surabaya. Paramita. Shastri, N.D Pandit, Intisari Hindu Dharma. Denpasar. Bali Suasthi & Suastawa. 2008. Psikologi Agama Seimbangkan Pikiran, Jiwa, Dan Raga. Denpasar : Widya Dharma. Sudharta,Tjok Rai. 1991. Slokantara, Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjemahan dan Ulasan. Denpasar: PT. Upada Sastra. Sudibya, I Gde. 1994. Hindu Menjawab Dinamika Zaman. Denpasar: PT. Bali Post
393
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 373 – 394 )
Suhardana, K.M. 2007. Tri Kaya Parisudha. Denpasar:Paramita. Suprayoga. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Sura, I Gede. 2001. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta : Hanuman Sakti. Tim Penyusun, 2008. Panca Yajna. Denpasar: Widya Dharma Tim Penyusun, 1995. Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu. Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha. Titib, I Made. 1998. ”Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan”. Surabaya; Paramita. __________, 1996. Perkawinan dan Kehidupan Keluarga Menurut Kitab Suci Veda. Surabaya: Paramita. __________, 1991. Pedoman Upacara Suddhi Wadani. Denpasar: PT. Upada Sastra Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Surabaya : Karina. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Wacana Indonesia. Wahana, Paulus.2004. Nilai Etika Aksiologi Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius Wiana,
I Ketut. 2000. Arti Surabaya:Paramita.
dan
Fungsi
Sarana
Persembahyangan.
Zoetmulder.P.J. 2004. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
394