20
BAB II PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM di SMP N 10 KOTA PEKALONGAN
A. Sistem Pendidikan Inklusi 1. Pengertian Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi adalah pendidikan sekolah reguler yang mengkoordiansi
dan
mengintegrasikan
siswa
reguler
dan
siswa
penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan tanggung jawab.25 Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak. Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan
lainnya.
Pendidikan
inklusi
merupakan
sebuah
pendekatan yang berusaha mentransformasi system pendidikan dengan 25
Nunung Apriyanto, Seluk ,(Yogyakarta: Javalitera), hlm. 82.
Beluk
Tunagrahita
20
&
Strategi
Pembelajarannya
21
meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Inklusi berarti bahwa guru bertanggung jawab untuk mengucapkan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak dari otoritas sekolah, masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat, dan lain-lain.26 Sebagai konsep pendidikan terpadu, pendidikan inklusi memang mencerminkan pendidikan untuk semua tanpa terkecuali, apakah dia mengalami keterbatasan fisik atau tidak memiliki kemampuan secara finansial. Tidak heran bila konsep pendidikan inklusi dikatakan sebagai konsep ideal dalam mereformasi sistem pendidikan yang cenderung diskriminatif terhadap anak yang berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi , perjuangan, persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya mengubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus.
26
Mohammad Takdir Ilahi, Op. Cit., hlm. 82-84.
22
Luasnya cakupan pendidikan inklusi memungkinkan kita untuk membantu keterbatasan mereka dalam memperoleh kemudahan di bidang pendidikan sehingga tidak merasa terpinggirkan dari anak-anak normal lainnya. Keberadaan pendidikan inklusi bukan saja penting untuk menampung anak yang berkebutuhan khusus dalam sebuah sekolah yang terpadu, melainkan pula dimaksudkan untuk mengembangkan potensi dan menyelamatkan masa depan mereka dari diskriminasi pendidikan yang cenderung mengabaikan anak-anak berkelainan. Menyelamatkan masa depan anak mereka dari diskriminsi pendidikan yang cenderung mengabaikan anak-anak yang berkelainan. Menyelamatkan masa depan anak Indonesia adalah kewajiban kita bersama untuk membuktikan diri demi membantu cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita seringkali beranggapan bahwa yang harus dicerdaskan adalah mereka yang terlahir normal dan memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Padahal, anak berkelainan atau penyandang cacat juga memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dengan fasillitas yang memadai pula.27 Dalam konteks pendidikan luar biasa di Indonesia, pendidikan inklusif bukanlah satu-satunya cara mendidik disaled children dengan maksud untuk menggantikan pendidikan segregasi yang sebelumya dipakai sebagai konsep pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi, suatu alternatif, pilihan, inovasi, atau terobosan/pendekatan baru di
27
Ibid., hlm 25-26.
23
samping pendidikan segregasi yang sudah berjalan lebih dari satu abad. Hal ini disebabkan setting pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa di Indonesia menganut pendekatan Multi-track Approach. Eksistensi Sekolah Luar Biasa hanya saja yang seharusnya mampu berperan sebagai pusat sumber dalam mendukung inklusi, belum diberdayakan secara maksimal. Akibatnya, anak-anak penyandang cacat kurang mendapatkan perhatian penuh dan seringkali terabaikan dalam lingkungan dan sekolah mereka. Secara formal, pendidikan inklusif di Indonesia baru dilaksanakan dalam satu dasawarsa terakhir. Namun, diyakini bahwa secara alamiah pendidikan inklusif sudah berlangsung sejak lama. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor filosofi, sosial, maupun budaya Indonesia yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi kebhinekaan atau keberagama. Faktorfaktor itu tentu dapat menjadi modal dasar bagi pengembangan penyelenggaraan pendidikan inklusi yang sekarang sedang digalakkan. Secara konseptual memang terdapat perbadaan dan kaitan yang erat dengan antara pengertian sekolah inklusif, pendidikan inklusif dan masyarakat inklusif.28 Negara Indonesia sendiri juga mendefinisikan pendidikan inklusi secara resmi sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikaan inklusi menurut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik
28
Ibid., hlm. 26-27.
24
dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaiakan dengan kebutuhan individu peserta didik. Definisi ini menunjukkan bahwa sekalipun secara konseptual pendidikan inklusi mengikutsertakan semua anak berkebutuhan khusus, tetapi di negara kita lebih banyak dipahami atau ditekankan sebagai upaya mengikutsertakan anak yang berkelainan dalam setting sekolah reguler. Paradigma ini tentu saja sudah keliru, karena yang dimaksudkan dengan pendidikan inklusif adalah keseluruhan aspek yang berkaitan dengan anakanakk berkebutuhan khusus tanpa terkecuali.29 Pendidikan inklusi tampaknya dapat mengatasi kekurangankekurangan yang telah diterapkan oleh sistem segregasi, tetapi tidak bermaksud mengesampingkan kontribusi sistem segregasi yang terlebih dahulu berkembang. Penulis mengartikan pendidikan inklusi sebagai pendidikan yang memberikan layanan terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk mengembangkan potensinya secara optimal bertentangan dengan hak asasi manusia dan melanggar hakikat pendidikan yang sebenarnya, yaitu menciptakan kesetaraan dengan sesama anak didik tanpa membedakan derajat atau latar belakang kehidupan mereka. Pendidikan inklusi tidak boleh terfokus pada kekurangan dan keterbatasan mereka, tetapi harus mengacu pada kelebihan dan potensinya agar lebih berkembang. Sebagaimana dikemukakan Dirjen PLB mengenai pendidikan inklusif bahwa konsep pendidikan ini adalah memberikan
29
Ibid., hlm. 28.
25
sistem layanan yang mensyaratkan agar anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat maupun di sekolah reguler bersama teman-teman sebaya mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan restrukturasi sekolah yang dapat mendukung pemenuhan dan kesetaraan dalam beragai aspek kehidupan sehingga mereka tidak merasa terpinggirkan.30 2. Latar Belakang Pendidikan Inklusi Harus diakui bahwa kemunculan pendidikan inklusi sesungguhnya diawali oleh ketidakpuasan sistem segregasi dan pendidikan khusus yang terlebih dahulu mengiringi perjalanan anak berkelainan dan ketunaan dalam memperoleh layanan pendidikan sesuai tingkat kemampuan dan kebutuhan mereka. Kenyataan menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan inklusif tidak lepas dari sebuah ironi yang mengiris hati para penyandang cacat yang semakin termarginalkan dalam dunia pendidikan formal. Bahkan, kesempatan untuk memperoleh pendidikan saja semakin sulit diraih akibat kebijakan pemerintah yang kurang mendukung fasilitas kalangan yang disebut different ability.31 Bila merujuk pada perkembangan awal muncul pendidikan inklusif, kita bisa melakukan analisis mendalam mengenai perlunya mngubah paradigma pendidikan yang terkesan mengesampingkan anakanak berkebutuhan khusus pada satu sekolah tersendiri dan terpisah dengan anak-anak normal lainnya. Kemunculan paradigma pendidikan inklusif sejatinya tidak lepas dari gagalnya sistem pendidikan segregasi 30
Ibid., hlm. 23-29. Ibid., hlm. 30.
31
26
dan integrasi yang dianggap kurang mampu mengembangkan potensi dan ketrampilan anak didik. Bahkan, terkadang semakin membuat anak didik terkungkung oleh suatu keadaan yang mengharuskan mereka tidak bisa berbaur dengan teman-teman lainnya. Akibatnya, mereka kurang mendapatkan interaksi dengan komunitas lain yang berbeda sehingga hanya biasa berkumpul dengan komunitasnya sendiri. Kemunculan pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia terjadi ketika sistem pendidikan segregasi kurang mampu memberikan perubahan bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat. Pada hakikatnya pendidikan inklusif sudah berlangsung sejak lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah. Lambat laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra. Selanjutnya, pada akhir 1970-an, pemerintah mulai memberi perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi demi membantu anak-anak berkebutuhan khusus agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru mereka.32 Perhatian
pemerintah
akan
pentingnya
pendidikan
inklusi
ditunjukkan dengan menerbitkan surat persetujuan tentang perlunya merancang sistem pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus. Keberhasilan proyek ini telah mendorong penerbitan Surat Keputusan
32
Ibid., hlm. 31.
27
Menteri Pendidikan Nomor:002/U/1986 tentang pendidikan terpadu bagi anak cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integarsi semakin kurang dipraktikkan, terutama dijenjang SD. Pada akhir 1990-an, upaya baru dilakukan untuk mengembangkan pendidikan inklusi melalui proyek kerja sama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo anorway dan Direktorat PLB. Sementara dokumen resmi terkait dengan pentingnya pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus adalah pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO, yang merupakan dokumen resmi yang mengemukakan prinsip dasar inklusi yang fundamental dan belum pernah dibahas dalam dokumen-dokumen sebelumnya. Tidak heran bila saat ini dokumen Salamanca merupakan dokumen Internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktik pendidikan. Pernyataan dalam dokumen internasional tersebut semakin mempertegas pentingnya pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus, karena pengalaman menunjukkan bahwa sistem pendidikan segregasi dan integrasi kurang mampu memberikan kontribusi signifikan demi tercapainya kebutuhan dan masa depan anak bangsa dalam memperoleh pendidikan yang mencerahkan.33 Penegasan pernyataan Salamanca yang terangkum dalam Kerangka Aksi UNESCO semakin membuat masa depan anak Indonesia mulai melambung tinggi, terutama mereka-mereka yang memiliki keterbatasan
33
Ibid., hlm. 32-33.
28
fisik maupun mental. Satu paragaraf dalam pasal 2 memberikan argumen yang sangat inspiring
untuk sekolah inklusi. Dalam pasal tersebut
dikatakan bahwa “Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara
yang paling efektif
untuk
memerangi
sikap
diskriminatif,
menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakt inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua”. Lebih dari itu, sekolah inklusif memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan. Sekolah inklusi memberikan manfaat untuk semua anak karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif dan efisiensi serta efektivitas biaya pendidikan. Dengan demikian, inklusi penting bagi harga diri manusia sebab merupakan pelaksanaan hak asasi manusia secara penuh.34 Konsep penting yang terdapat dalam pendidikan inklusif memungkinkan memperjuangkan
kita anak
untuk
melakukan
berkebutuhan
khusus
pembaharuan atau
demi
berkelainan.
Kemunculan konsep pendidikan inklusif tidak lepas dari carut-marut sistem pendidikan bagi kalangan penyandang cacat atau difabel (different ability) yang kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintahan. Perlu diketahui sistem pendidikan bagi anak penyandang cacat terus mengalami evolusi seiring dengan perkembangan teknologi digital
34
Ibid., hlm.34-35.
29
yang ikut serta mempengaruhi perubahan dalam sistem pembelajaran. Cara pandang terhadap layanan pendidikan juga mengalami perubahan yang semakin mempermudah anak didik berkreasi dan terampil dalam mengembangkan potensi pribadinya yang terpendam. Ada tahapan penting terkait dengan kemunculan pendidikan inklusif sebagai paradigma baru dalam sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau berkelainan. Sebagai paradigma baru, pendidikan inklusif tidak hanya serta merta diterima tanpa ada kontroversi yang melahirkan perdebatan sengit diantara para pemerhati pendidikan.35 Penulis turut mengapresiasi kehadiran pendidikan inklusif sebagai inovatif dan progresif yang memungkinkan semua anak Indonesia dapat mengenyam pendidikan tanpa melihat latar belakang kehidupan. Sebagaimana dikatakan Foreman bahwa terjadi gradasi pemikiran yang berhubungan langsung dengan kebutuhan pendidikan khusus bagi mereka yang mengalami kelainan atau tidak normal, yaitu mulai dari sistem pendidikan segregatif, pendidikan integratif, dan pendidikan inklusif. Dari tiga tahapan pemikiran yang memengaruhi sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khsusus, pendidikan inklusif menjadi konsep yang paling ideal untuk menopang segenap potensi yang mereka miliki. Kecenderungan pendidikan inklusif bermula dari ketidakpuasan terhadap
penyelenggaraan
sistem
pendidikan
segregatif,
yang
menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri
35
Ibid., hlm. 36.
30
dengan lingkungan baru dan sistem pengajaran yang baru pula. Kecenderungan yang lain juga dipicu oleh terjadinya perubahan pandangan masyarakat tentang anak berkebutuhan khusus yang tumbuh menjadi pribadi prestatif dan mandiri walaupun dianugerahi kekurangan maupun keterbatasan. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan inklusif dapat berkembang dengan baik sehingga bisa mengurangi asumsi negatif terhadap anak berkebutuhan khusus. Kendati demikian, ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan segregatif bukan satu-satunya faktor penting yang mempengaruhi kemunculan pendidikan inklusif. Ada faktor penting yang mempengaruhi kemunculan pendidikan inklusif. Ada faktor lain yang ikut serta dalam meratifikasi kemunculan pendidikan khusus di sekolah umum dengan landasan filosofis dan yuridis. Perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia saat ini semakin diterima
dan
berkembang
cukup
pesat.
Namun
dalam
tataran
implementasinya masih dihadapkan kepada berbagai problema, isu, dan permasalahan yang harus disikapi secara bijak sehingga implementasinya tidak menghambat upaya sendiri
serta
selaras
dan proses menuju pendidikan inklusif itu
dengan
filosofi
dan
konsep-konsep
yang
mendasarinya. Untuk itu, diperlukan komitmen tinggi dan kerja keras melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah maupaun masyarakat untuk mengatasinya. Dengan demikian, tujuan akhir dari semua upaya di
31
atas, yaitu kesejahteraan para penyandang cacat dalam memperoleh segala haknya sebagai warga negara dapat direalisasikan secara cepat dan maksimal.36 3. Tujuan Pendidikan Inklusif Pada dasarnya, setiap kemunculan paradigma baru dalam dunia pendidikan, pasti memiliki tujuan ideal yang hendak membangun optimisme tinggi mengenai landasan pendidikan yang berbasis keadilan dan anti-diskriminasi. Sama halnya dengan pendidikan inklusif yang merupakan paradigma baru setelah kegagalan sistem pendidikan segregasi dan integrasi. Beberapa hal yang perlu dicermati lebih lanjut tentang tujuan pendidikan inklusif, yaitu (1) memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Bila
dicermati
secara
seksama,
sekolah
selaku
institusi
penyelenggara pendidikan individu berkebutuhan khusus tersebut tanpa terkecuali. Hal ini tentunya tidak perlu kegamangan lagi sehingga sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan inklusif secara penuh, sebagian, atau moderet. Kondisi ini sangat bergantung dari kesiapan sekolah untuk
36
Ibid., hlm. 37.
32
melakukan itu semua sebagai sekolah inklusif. Namun yang penting, tidak ada alasan sekolah belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif jika dalam kenyataannya tidak pernah berupaya untuk mempersiapkan diri. Kehadiran konsep pendidikan inklusif seolah menjadi jawaban atas segala persoalan yang membelit anak berkebutuhan khusus karena kurang mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Bagi penulis, anak berkebutuhan khusus mempunyai hak yang sama dalam mengenyam pendidikan tanpa harus ada pelabelan dan diskriminasi dalam dunia persekolahan. Hal ini karena tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminatif terhadap lembaga sekolah yang menolak menampung anak berkebutuhan khusus. Sesuai dengan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan Indonesia harus membela anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat yang kurang mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan
formal,
akibatnya
mereka
merasa
terpinggirkan
dari
lingkungan sekolah dan masyarakat. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah harus mampu mengenal lebih mendalam tentang paradigma pendidikan inklusif. Penulis khawatir, sekolah terkadang belum memahami makna pendidikan inklusi sebagai konsep ideal yang dianggap paling mapan dalam memperjuangkan hak pendidikan anak berkebutuhan khusus. Apabila sekolah telah benarbenar memahami konsep pendidikan inklusif dan secara sungguh-sungguh
33
melaksanakan pendidikan inklusif, pembaharuan pendidikan tersebut akan dapat terlaksana. Adanya sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Sssungguhnya menjadi salah satu pilar pembaharuan pendidikan dimulai. Untuk itu, pembaharuan pendidikan tidak akan dapat terlaksana bila masing-masing unit atau sub sistem pendidikan tidak bergerak menuju perubahan yang dinamis tersebut. Paling tidak, pembaruan pendidikan dapat dirasakan minimal oleh warga sekolah penyelenggara pendidikan inklusif itu sendiri. Begitu selanjutnya bila masing-masing sekolah telah menyelenggarakan pendidikan inklusif secara penuh dan didukung oleh semua komponen dan sistem yang ada maka pembaruan itu telah dimulai dari adanya perubahan. 4. Karakteristik Pendidikan Inklusif Hakikat pendidikan inklusif sesungguhnya berupaya memberikan peluang sebesar-besarnya kepada setiap anak Indonesia untuk memperoleh layanan pendidikan yang terbaik dan memadai demi membangun masa depan bangsa. Hal ini sesuai dengan kebijakan pendidikan inklusif, yang tertuang dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa “sistem penyelenggara pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
34
Karakter utama dalam penerapan pendidikan inklusif tidak bisa lepas dari keterbukaan tanpa batas dan lintas latar belakang yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap anak Indonesia yang membutuhkan layanan pendidikan anti diskriminasi. Pelayanan pendidikan tanpa batas dan lintas latar belakang adalah landasan fundamental dari pendidikan
inklusif
yang
berkonsentrasi
dalam
memproyeksikan
pendidikan untuk semua. Pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik makna, antara lain : (1) proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespons paradigma keragaman individu; (2) mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar; (3) anak kecil yang hadir di sekolah, berpartisipasi dan mendapatkan hasil bagi anakanak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar. 37 5. Kurikulum Pendidikan Inklusif Kelas inklusif menampung anak yang heterogen dan ditangani oleh berbagai profesi sebagai satu tim agar kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi. Berbagai model adaptasi kurikulum dan pembelajaran yang diperlukan pada kelas heterogen berlaku juga pada kelas-kelas inklusi. Pemilihan model kurikulum ini disesuaikan dengan kondisi sekolah yang ada.
37
Ibid., hlm. 42-45.
35
B. Anak Berkebutuhan Khusus a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh sempurna, sehat tanpa kekurangan apapun. Akan tetapi, terkadang ada hal yang mengakibatkan anak tidak berkembang dan tumbuh sesuai dengan harapan orang tua. Anak-anak yang “spesial” ini disebut juga sebagai “anak berkebutuhan khusus”. Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Anak yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah “anak luar biasa” dan “anak cacat”. b. Macam-macam Anak Berkebutuhan Khusus 1) Tunanetra Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu buta total (blind) dan low vision. Definisi tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan.
36
2) Tunarungu Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingakat gangguan pendengaran adalah sebagai berikut : Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40dB) Gangguan pendengaran ringan (41-55dB) Gangguan pendengaran sedang (57-70dB) Gangguan pendengaran berat (71-90dB) Gangguan pendengaran ekstrim/tuli (diatas 91dB) Gangguan pendengaran 3) Tunagrahita Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan
berada
di
bawah
rata-rata
dan
disertai
dengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. 4) Tunadaksa Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neoro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan. 5) Tunalaras Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial.
37
6) Kesulitan belajar Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara, dan menulis yang dapat mempengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, dan berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, barin
injury,
disfungsi
minimal
otak,
dislesia,
dan
afasia
pembangunan. c. Konsep Dasar Tunagrahita a. Pengertian Tunagrahita Dalam dunia pendidikan ditemukan anak-anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata pada umumnya dan cepat dalam belajar. Disamping itu ada juga anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata pada umumnya. Anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata pada umunya disebut anak terbelakang mental (mentally retarded), istilah resmi yang digunakan di Indonesia adalah Anak Tunagrahita (PP No. 72 Tahun 1991). Anak tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki kecerdasan di bawah rata-rata anak pada umumnya dengan disertai hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya. Mereka mengalami keterlambatan dalam segala bidang, dan itu sifatnya permanen. Rentang memori mereka pendek terutama yang berhubungan dengan akademik, kurang
38
dapat berpikir abstrak dan pelik. Untuk anak-anak tunagrahita tertentu dapat belajar akademik yang sifatnya aplikatif.38 Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada
dibawah
rata-rata.
Disamping
itu
mereka
mengalami
keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstraks, yang sulitsulit, dan yang berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan atau dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terlambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.39 b. Klasifikasi Tunagrahita Pengklasifikasian anak tunagrahita penting dilakukan karena anak tunagrahita memiliki perbedaan individual yang sangat bervariasi klasifikasi untuk anak anak tunagrahita bermacam-macam sesuai dengan disiplin ilmu maupun perubahan pandangan terhadap keberadaan anak tunagrahita. Klasifikasi yang digunakan di Indonesia saat ini sesuai dengan PP 72 Tahun 1991 adalah tunagrahita ringan IQ nya 50-70, tunagrahita 38
Ibid., hlm. 21-22. Ibid., hlm. 27.
39
39
sedang IQ nya 30-50, tunagrahita berat dan sangat berat IQ nya kurang dari 30. c. Karakteristik Tunagrahita Karakteristik Umum Depdiknas mengemukakan bahwa karakteristik anak tunagrahita yaitu penampilan fisik tidak seimbang, tidak dapat mengurus diri sendiri
sesuai dengan usianya, perkembangan
bicara/bahasanya terhambat, kurang perhatian pada ligkungan, koordinasi gerakannya kurang dan sering mengelurkan ludah tanpa sadar. Adapun karakteristik tunagrahita yaitu : a) Kecerdasan Kapasitas belajar anak terbelakang sangat terbatas. Terlebih lagi kapasitas mengenai hal-hal yang abstrak. b) Sosial Dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara dan memimpin dirinya sendiri. Waktu masih muda harus
senantiasa
dibantu,
setelah
dewasa
kepentingan
ekonominya bergantung pada orang lain. Mereka mudah terperosok ke dalam tingkah laku yang tidak baik. c) Fungsi-fungsi Mental Lain Mereka mengalami kesukaran memusatkan perhatian. Minatnya sedikit dan cepat beralih perhatian, pelupa, sukar
40
membuat asosiasi-sosiasi, sukar membuat kreasi baru. Mereka cenderung menghindar dari berpikir. d) Dorongan dan emosi Anak yang sangat terbelakang hampir-hampir tidak memperlihatkan dorongan untuk mempertahankan dirinya. Kehidupan dan penghayatannya terbatas. e) Kepribadian Anak tunagrahita jarang yang mempunyai kepribadian yang dinamis, menawan, berwibawa, dan berpandangan luas. Kepribadian mereka pada umumnya mudah goyah. f) Organisme Baik struktur tubuh maupun fungsi organismenya, anak tunagrahita pada umumnya kurang dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang sigap. Mereka juga kurang mampu melihat persamaan dan perbedaan.40 Karakteristik Khusus Karakteristik
anak
tunagrahita
menurut
tingkat
ketunagrahitaannya sebagai berikut: a) Karakteristik Tunagrahita Ringan Meskipun tidak dapat menyamai anak normal yang seusia dengannya, mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
40
Nunung Apriyanto, Op. Cit., hlm. 33-35.
41
b) Karakteristik Tunagrahita Sedang Anak tunagrahita sedang hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran akademik. Namun mereka masih memilih potensi untuk mengurus diri sendiri dan dilatih untuk mengerjakan sesuatu secara rutin, dapatdilatih berkawan, mengikuti kegiatan dan menghargai hak milik orang lain. Sampai
batas
tertentu
mereka
selalu
membutuhkan
pengawasan, pemeliharaan dan bantuan orang lain. Setelah dewasa kecerdasan mereka tidak lebih dari anak normal usia 6 tahun. c) Karakteristik Tunagrahita Berat dan Sangat Berat Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjanjang hidupnya akan selalu tergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat memelihara diri sendiri dan tidak
dapat
mengucapkan
bicara,
kalaupun
kata-kata
atau
bicara tanda
hanya sederhana
mampu saja.
Kecerdasannya walaupun mencapai usia dewasa berkisar seperti anak normal usia paling 4 tahun.41
41
Ibid., hlm. 36.
42
C. Pendidikan Inklusi Pada Mata Pelajaran Pendidikan AgamaIslam Pengertian dasar ilmu pendidikan Islam, dasar (Arab: Asas; Inggris: Foundation; Perancis: fondement; Latin: fundamentum) secara bahasa, berarti alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran, aturan). Dasar ilmu pendidikan Islam adalah Islam dengan segala ajarannnya. Ajaran itu bersumber pada Al-Qur`an, Sunnah Rosulullah saw, dan rakyu (hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Alqur`an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran atau penjelasannya tidak ditemukan di dalam al-qur`an, maka harus dicari didalam sunnah; apabila tidak juga ditemukan di dalam sunnah, barulah digunakan rakyu. Sunnah tidak akan bertentangan dengan al-qur`an, dan rakyu tidak boleh bertentangan dengan al-qur`an dan sunnah. Tiga sumber ajaran ini dan hirarki penggunaannya didalam hadis sebagai berikut: Rosulullah SAW mengutus Mu`adz ke Yaman. Kemudian beliau bertanya, “Bagaimana kamu memutuskan (suatu masalah)?” Ia menjawab, “Saya akan memutuskannya dengan apa yang terdapat di dalam Kitab Allah.” Beliau bertanya, apabila putusan itu tidak terdapat didalam Kitab Allah ?” Ia menjawab, “Saya akan memutuskannya dengan Sunnah Rasulullah.’ Beliau bertanya lagi, “Apabila putusan ini tidak juga terdapat di dalam sunnah Rosulullah?” Ia menjawab, “Saya berijtihad dengan rakyu.” Kemudian beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasul-Nya.”(H.R. Al-Turmudzi).
43
Dasar inilah yang membuat ilmu pendidikan disebut ilmu pendidikan islam. Tanpa dasar ini, tidak akan ada ilmu pendidikan Islam. Ada anggapan bahwa al-qur`an dan sunnah berisi teori-teori dalam pendidikan Islam tidak jauh berbeda dari pembuatan dan penulisaan teori dalam fikih.42 Ada banyak ayat al-quran yang menjelaskan tentang landasan religius dalam penyelenggaran pendidikan inklusif. Faktor religi yang digunakan untuk penjelasan ini adalah al-quran surah Al-Hujarat (49) ayat 13, yang berbunyi:
َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوأُنْثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُش ُعوبًا َوقَبَائِ َل ُ يَا أَيُّ َها الن ِلِت عارفُوا إِ َّن أَ ْكرم ُكم ِعْن َد اللَّ ِه أَتْ َقا ُكم إِ َّن اللَّه عل يم َخبِ ٌي ٌ ََ ْ ْ ََ َ ََ Artinya:“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”43 Ayat tersebut memberikan perintah kepada kita agar saling ta`aruf, yaitu saling mengenal dengan siapa pun, tidak memandang latar belakang sosial, ekonomi, ras, suku, bangsa, dan bahkan agama. Inilah konsep Islam yang begitu universal, yang memandang kepada semua manusia di hadapan Allah adalah sama, justru hanya tingkat ketakwaannyalah ini bersumber dari QS Al-Maidah (5) ayat 2 yang berbunyi:
42
Noer Hery Ali, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu , 1999) , hlm. 29-
32. 43
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran(Semarang: Asy-Syifa`, 2000), hlm. 411.
44
ِ َّيا أَيُّها الَّذين آمنُوا ال ُُِتلُّوا َشعائِر الل الَر َا الش ال و ه ْ َّهَر َ ْ َ َ َ َ َ ِ ْ ت ًضال ْ َالَرا َ يَْبتَ غُو َن ف َ ي َو الَ الْ َقالئ َد َو الَ ِّآم َ ني الْبَ ْي َ َو الَ ا ْْلَْد طادوا َو ال ََْي ِرَمنَّ ُك ْم َشنَآ ُن ْ ِم ْن َرِِّّبِ ْم َو ِر ُ اص ْ َضواناً َو إِذا َحلَْلتُ ْم ف ِ قَوٍ أَ ْن صدُّوُكم ع ِن الْمس ِج ِالرا َ عاونُوا َعلَى ت و ا و د ت ع ت ن أ د ْ ْ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ َْ َ ْ َ ِ ِْ عاونُوا َعلَى اْل ِْْث َو الْ ُع ْدو ِان َو اتَّ ُقوا اللَّهَ إِ َّن َ َالْ ِِّب َو التَّ ْقوى َو ال ت ديد الْعِقاب ُ اللَّهَ َش
Artinya:“Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan- bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatangbinatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali- kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang- halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”44 Ayat tersebut juga memberikan perintah kepada kita agar kita memberikan pertolongan kepada siapa saja, terutama kepada mereka yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakang keluarga dan darimana ia berasal, lebih-lebih mereka yang mengalami keterbatasan atau kecacatan fisik, sebagai contoh tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunagrahita, dan tunalaras.45
44
Ibid., hlm. 84. Bandhi Delphie, Op.Cit., hlm.76.
45
45