BAB II MONEY POLITIC MENURUT HUKUM
A. Pengertian dan Hukum Money Politic Money politic dalam Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok.1 Suap dalam bahasa arab adalah rishwah atau rushwah, yang yang berasal dari kata al-risywah yang artinya sebuah tali yang menyambungkan sesuatu ke air. Al-rosyi adalah orang memberi sesuatu yang batil, sedangkan murtasyinya adalah yang menerima. Al-raisy adalah perantara keduanya sehingga Rasulullah melaknat kesemuanya pihak. Menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Indra Ismawan2 kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Tapi kalau penyambung adalah figur anonim (merahasiakan diri) sehingga kasusnya sulit dilacak, tindak lanjut secara hukum pun jadi kabur. Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi kedua, 1994, hlm. 965 2 Indra Ismawan, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta, Penerbit Media Presindo, 1999. hlm. 4.
17
18 Pemahaman tentang money politic sebagai tindakan membagi-bagi uang (entah berupa uang milik partai atau pribadi). Publik memahami money politic sebagi praktik pemberian uang atau barang atau iming-iming sesuatu kepada masa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political again). Artinya tindakan money politic itu dilakukan secara sadar oleh pelakunya. Praktik money politic dapat disamakan dengan uang sogok alias suap, tapi tidak semua kalangan berani secara tegas menyatakan haram. Menurut Pendapat Rusdjdi Hamka, praktik money politic tidak berbeda dengan suap, karena itu haram hukumnya.3 Money politic seseorang juga biasa menyebutnya dengan politik uang, karena keduanya merupakan pemberian uang demi kepentingan pribadi atau kelompok yang berimplikasikan pada kekuasaan. Adapun pengertian politik uang adalah pertukaran uang dengan posisi/ kebijakan/keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/kelompok/partai.4 Politik uang dalam pemilu legislatif bisa dibedakan berdasarkan faktor dan wilayah operasinya yaitu: Pertama, Lapisan atas yaitu transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan elit politik (pimpinan partai / calon presiden) yang akan menjadi pengambil kebijakan /keputusan politik pasca pemilu nanti. Bentuknya berupa pelanggaran dana perseorangan! Penggalangan dana perusahaan swasta, pengerahan dana terhadap BUMN / BUMD. Ketentuan yang terkait dengan masalah ini berupa pembatasan sumbangan dana 3 4
Jum’at
Ibid., hlm. 7-8. Didik Supriyanto, Koordinator Pengawasan Panwas Pemilu, htp :// www Panwaslu,
19 kampanye.Kedua, Lapisan tengah yaitu transaksi elit politik (fungsi onaris partai) dalam manentukan calon legislatif/eksekutif dan urutan /pasangan calon. Bentuknya berupa uang tanda jadi caleg, uang harga nomor, uang pindah daerah pemilihan dan lain-lain. Sayangnya tidak satu pun ketentuan peraturan perundangan pemilu yang memungkinkan untuk menjerat kegiatan tersebut (politik uang). Semua aktivitas disini dianggap sebagai masalah internal partai.Ketiga, Lapisan bawah yaitu transaksi antara elit politik (caleg dan fungsionaris partai tingkat bawah) dengan massa pemilih. Bentuknya berupa pembagian sembako, “Serangan fajar”, ongkos transportasi kampanye, kredit ringan, peminjaman dan lain-lain. Dalam hal ini ada ketentuan administratif yang menyatakan bahwa calon anggaota DPRD /DPD (pasangan calon presiden dan /atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dana dan /atau memberi materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dapat dibatalkan pencalonannya oleh KPU.5 B. Dasar Pertanggungjawaban Pidana Pengertian pertanggungjawaban pidana, Menurut Simon: “kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya”. Seseorang mampu bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila: Ia mampu unttuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatan nya bertentangan dengan hukum. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
5
Ibid.,
20 Menurut Van Hamel: kemampuan bertanggung-jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan: Pertama; mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri. Kedua; mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan. Ketiga; mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu. Van Bemmelen: Seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.6 Masalah ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana yang diputuskan oleh hakim. Menurut Pomple ini merupakan pengertian yuridis bukan medis. Memang medikus yang memberi keterangan kepada hakim yang memutuskan. Menurutnya dapat dipertanggungjawabkan (toerekenbaarheid) itu berkaitan dengan kesalahan (schuld). Orang yang dapat menyatakan dapat dipertanggungjawabkan itu sendiri merupakan kesalahan (schuld).7 Menurut Pomple selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan bukanlah merupakan
bagian
inti
(bestanddeel)
tetapi
tidak
dapat
bahwa
dapat
dipertanggungjawabkan itu merupakan dasar peniadaan pidana. Moeljatno,
meskipun
juga
mengatakan
dipertanggungjawabkakn merupakan unsur diam-diam selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan tidak normal, Ia berpendapat sesuai dengan ajaran dua tahap hukum pidana (maksudnya: actus reus dan mens rea) kemampuan bertanggungjawab harus sebagai unsur kesalahan.
6 Sudarto, Hukum Pidana I, cet Ke II, Semarang: Yayasan Sudarto d/a fakultas undip Semarang, 1990, hlm. 93-94.. 7 Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 199, hlm.123.
21 Ia mengikuti pendapat Van Hattum, bahwa jika terjadi keraguan apakah terdakwa berpenyakit jiwa atau bukan maka terdakwa tidak dipidana 8 Sebagai dasar dapat dikatakan bahwa orang normal mampu bertanggung jawab, ia mampu menilai bahwa perbuatan itu dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu. Dalam KUHP Buku satu Bab III pasal 44 ayat (1) menyebutkan “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Ketentuan Undang-undang diatas yang dimaksud dengan jiwanya cacat karena pertumbuhan atau terganggu karena penyakit adalah dalam keadaan itu pembuat tidak punya kebebasan kehendak dan tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya. Jadi alasan tersebut si-pembuat tidak dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Disamping pasal 44 KUHP, yang menyebut dasar tidak dapat dipertanggungjawabkan yang lain, misalnya umur yang belum cukup (belum dewasa) yang berada dibawah hypnose, tidur sambil berjalan.9 Kesimpulannya, bahwa adanya kemampuan bertanggung jawab adalah kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum (faktor akal), kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan itu (faktor perasaan atau kehendak).
8 9
Ibid, hlm. 124 J.E Jongker, yang ditulis kembali oleh Andi Hamzah, Ibid., hlm 126
22 Kemampuan bertanggungjawab ini dapat disamakan keadaan dengan unsur sifat melawan hukum. Sebab dua-duanya merupakan syarat mutlak, yang satu bagi dilarangnya perbuatan (adanya sifat melawan hukum) dan yang lain bagi adanya kesalahan.Berhubungan dengan adanya itu, dalam KUHP ada alasan penghapusan pidana yaitu dalam pasal 49, 50 dan 51 (alasan pembenar) dan dalam dalam pasal 44 (tak mampu bertanggungjawab).10 C. Sanksi Hukum Money Politic Dalam pemaparan berikut sanksi hukum money politic adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang adanya sanksi terhadap tindak pidana money politic. Tindak pidana money politic itu sendiri juga merupakan tindak pidana jenis pelanggaran terhadap Undang-undang yang telah disusun oleh KPU. Dan tindak pidananya merupakan delik aduan. Karena money politic adalah delik aduan maka pelanggaran tersebut hanya bisa ditindak lanjuti apabila ada pihak yang dirugikan. Maka berdasarkan asas hukum Lex Specialis De raget Lex Generalis, artinya bahwa peraturan khusus dapat mengenyampingkan peraturan umum dan juga atas pertimbangan tujuan lahirnya Undang-Undang yang baru (Undang-Undang Pemilu), maka terhadap Tindak Pidana Pemilu yang setelah Undang-Undang Pemilu lahir (sejak tanggal 17 Desember 1969, untuk pertama sejak Orde Baru), yang akan diterpkan adalah Undang-Undang Pemilu, bukan KUHP.11 Hubungan antara ketentuan pidana dalam Pemilu dan tindak pidana yang diatur dalam KUHP; Jikalau Undang-Undang diubah setelah perbuatan 10 11
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; PT Rinekaq Cipta, 2000, hlm. 168. Sintang Silaban, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta, Pustaka Sinar Harapa, 1992. hlm.57.
23 itu
dilakukan,
maka
kepada
tersangka
dikenakan
ketentuan
yang
menguntungkan baginya “berarti jika perbuatan dilakukan setelah UndangUndang yang baru lahir, tidaklah perlu dipertimbangkan ketentuan yang mana yang lebih menguntungkan si tersangka. Sejalan dengan asas hukum Lex Posteriori Derogat Lex Priori, yang artinya Undang-Undang yang datangnya kemudian boleh menyimpang dari Undang-Undang yang dahulu. Dari keterangan diatas kita dapat mengetahui bahwa perlu adanya hukuman yang lebih berat bagi pelanggar tindak pidana. Hal ini sesuai dengan peristiwa yang terjadi di Desa Jungsemi, Kec. Kankung, Kab. Kendal. Pelanggaran terhadap tindak pidana pemilu legislatif 2004 ini yang dilanggar adalah Undang-Undang pemilu pasal 139 ayat (2) UU RI No. 12 tahun 2003 tentang pemilu di dalam ketentuan pidana. Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua bulan) atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Dalam ketentuan administratif pasal 77 UU No.12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa calon anggota DPRD/DPD (pasangan calon presiden dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dana dan /atau memberi materi lainnya untuk untuk mempengaruhi pemilih dapat dibatalkan pencalonannya oleh KPU, sedangkan
24 ketentuan pidananya pasal 139 ayat 2 UU No.12 tahun 2003 menyatakan, bahwa "setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam pidana 2-12 bulan penjara dan/atau denda Rp 1 – Rp 10 juta" .12 Dalam Materi Sosialisasi Persiapan Pelaksanaan Pemilu 2004 Kabupaten Kendal juga menyebutkan “Selama masa kampanye sampai dilaksanakan pemungutan suara, calon anggota DPD, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Calon yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut dinyatakan batal sebagai calon oleh KPU/KPU Provinsi/KP Kabupaten/Kota. (UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 77 ayat 1-2) tentang kampanye pemilihan umum.13 UU RI No 23 tahun 2003 Pemilihan Umum Presidan dan Wakil Presiden 2004 tentang kampanye dan dana kampanye dalam pasal 42 ayat 1 yang intinya menyebutkan bahwa "Pasangan calon dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih". Dan diperjelas ayat 2 yang dimaksudkan apabila terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon.14
12
http://www.panwaslu.org/index.php?fuseaction=news.detail&id=1930&jenis=4 Seminar,Bulan maret 2004 di Kendal. 14 UU RI No.23 Tahun 2003 Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, 2004, Lembaga Informasi Nasional, hlm.35. 13
25 Dalam pasal berikutnya yaitu pasal 90 ayat 2 Bab XII Ketentuan Pidana UU RI No.23 pemilihan umum presiden dan wakil presiden berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit RP 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)”.15 Pasal 149 KUHP pada Bab IV tentang kejahatan terhadap melakukan kewajiban hak dan kenegaraan, menyebutkan “Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Dan pada ayat 2 nya pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.16. Cara tersebut ini biasanya berupa memilih seorang yang dicalonkan oleh yang menyuap itu. Pasal diatas
diperjelas lagi oleh KUHP pasal 103 yang
menyebutkan”pasal-pasal dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. 15 16
Ibid., hlm. 76. KUHAP dan KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm 52.
26 Kesimpulan diatas, selain undang-undang khusus (lex specialis) yang telah disusun oleh KPU, dalam KUHP juga diperjelas oleh pasal diatas. Dari segi hukum kasus money politic belum tentu dapat dipersalahkan karena harus dibuktikan dari pengadilan, tetapi ada kaidah normatif yang mengagnggap money politic sesuatu yang negatif karena dapat merusak sistemdemokrasi yang sedang dibangun. Menurut Romo Mudji money politic bukan saja secara moral salah dan menurut agama dilarang. Tetapi juga memiliki dampak kedepan yang sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang dihasilkan adalah kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat sendiri D. Money Politic Dalam Perspektif Hukum Islam Seperti yang telah penulis paparkan diatas bahwa money politic dalam bahasa Indonesia adalah suap, dan suap dalam bahasa arab adalah rishwah atau rushwah, yang yang berasal dari kata al-risywa yang artinya sebuah tali yang menyambungkan sesuatu sesuatu ke air. Ar-rosyi adalah orang memberi sesuatu yang batil, sedangkan murtasyinya adalah yang menerima. Ar-raisy adalah perantara keduanya sehingga Rasulullah melaknat kesemuanya pihak. Money politic dapat dikategorikan sebagai uang sogok atau suap, perbuatan seperti itu (money politic) sangat dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Firman Allah dalam surat al-Baqarah (QS.2, 188) :
27
ﻦ ﻳ ﹰﻘﺎ ِﻣﻮﺍ ﹶﻓ ِﺮ ﺘﺎ ْﺀ ﹸﻛﹸﻠﳊ ﹶﻜﺎ ِﻡ ِﻟ ﻬﺂ ِﺇﹶﻟﻰ ﹾﺍ ﹸ ﻮﺍ ِﺑ ﺪ ﹸﻟ ﺗﻭ ﺒﺎ ِﻃ ِﻞﻢ ِﺑﺎﹾﻟ ﻨ ﹸﻜﻴﺑ ﻢ ﻮﺍ ﹶﻟ ﹸﻜ ﻣ ﻮﺍ ﹶﺃ ﺗﺎ ْﺀ ﹸﻛﹸﻠ ﻭ ﹶﻻ ِ ﻨﺎﻮﺍ ِﻝ ﺍﻟ ﻣ ﹶﺃ (١٨٨ , ﻮ ﹶﻥ ) ﺃﻟﺒﻘﺮﺓ ﻤ ﻌﹶﻠ ﺗ ﻢ ﺘﻧﻭﹶﺍ ﺱ ِﺑﺎ ْ ِﻹ ﹾﺛ ِﻢ “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagiaan yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagiaan daripada harta benda yang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (ِAl-Baqaroh, 188).17 Maksud jalan batil ayat diatas adalah sesuatu yang tidak hak, tidak dibenarkan oleh hukum, serta tidak sejalan dengan tuntunan Ilahi walaupun dilakukan atas dasar kerelaan yang berinteraksi. Salah satu yang terlarang dan sering dilakukan masyarakat adalah menyogok atau menyuap. Akan tetapi para pemikir politik dan agama (Islam) sependapat bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menjelaskan tentang money politic berikut hukum syara-nya. Kalaupun hukumnya mau dicari, palingpaling metode analogi (qiyas) yang sering digunakan Imam Syafi’i saja yang bisa digunakan. Misalnya money politic dianalogikan sebagai sogok18. Dari argumen tersebut penulis menyimpulkan bahwa ayat al-Qur'an tersebut dapat dijadikan hujjah karena yang dimaksud jalan yang batil adalah jalan yang tidak dibenarkan oleh hukum dan Allah pun telah melaknat hal yang tidak sejalan dengan jalan Ilahi. Dalam kitab bulughul maram, pengertian dan hukum money politic :
ﺮﺍ ِﺷﻰ ﻢ )ﹶﺍﻟ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ِ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻮ ﹸﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﻦ ﻌ ﹶﻟ: ﻪ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﻨﻋ ﷲ ُ ﻰ ﺍ ﺿ ِ ﺭ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﻫ ﻦ ﹶﺃِﺑﻰ ﻋ ِ ( ﺸﻰ ِ ﺗﺮ ﻤ ﻭﺍﹾﻟ ﺸﻰ ِ ﺗﺮ ﻤ ِﻭﺍﹾﻟ, ﺒﺎ ِﻃ ِﻞﻋﹶﻠﻰ ﺍﹾﻟ ﻪ ﻨﻴﻳ ِﻌ ﻌ ِﻄﻰ ﹶﺍﱠﻟ ِﺬﻯ ﻳ ﻦ ﻣ ﻰ ﺮﺍ ِﺷ ﹶﺍﻟ: ﻳ ﹾﺔﻬﺎ ﻨﰱ ﺍﻟ ( ﺷﻰ ﺮِﺍ ﻭﺍﻟ ) ﺪ ﻤ ﺣ ﺩ ﹶﺃ ﺯﺍ ﻭ ﺮ ِﻣ ِﺬﻯ ﺘﺴِﻨ ِﻪ ﹶﺍﻟ ﺣ ﻭ , ﻌ ﹾﺔ ﺑﺭ ﻭﺍﹾﻟﹶﺄ ﺪ ﻤ ﺣ ﻩ ﹶﺍ ﻭﺍ ﺭ ﺤ ﹾﻜ ِﻢ ﹶﺍﹾﻟ َﺂ ِﺧ ِﺬ )ِﻓﻰ ﺍﹾﻟ 17 18
Alqur’an dan terjemahan, 1424 H. hlm.46. Indra Ismawan, Op. Cit, hlm. 8.
28
ﻋﹶﻠﻰ ﺧ ﹾﺬ ﻳﺎ ْﺀ ﻢ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﹶﻟ ﻦ ﻳﻭﺍﹾﻟﹶﺎ ِﺧ ِﺬ ﺪﺍِﻓ ِﻊ ﻦ ﺍﻟ ﻴﺑ ﺮ ﻴﺴ ِﻔ ﻮ ﺍﻟ ﻫ ﻭ ﻤﺎ ﻬ ﻨﻴﺑ ﺸﻰ ِ ﻤ ﻳ ﻯ ﻮ ﺍﱠﻟ ِﺬ ﻫ 19 . ﺑﹶﻠ ﹸﻎﻮ ﹶﺃ ﻬ ﺧ ﹶﺬ ﹶﻓ ﺮﺍ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺍ ﺟ ﺭِﺗ ِﻪ ﹶﺃ ﺳ ﹶﻔﺎ “Dari Abi Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw melaknat orang yang memberi suap dan penerima suap. Kitab Nihayah “rosyi” adalah orang yang memberi sesuatu dengan maksud dan tujuan kebatilan. “Murtasyinya” adalah penerimanya. (Dalam kitab al-Hikam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat periwayat lain, dan hadits yang dihasankan oleh Turmudzi, dan dihasankan oleh Ibnu Hibban dan Ahmad menambahkan ((Al-Rosyi)) adalah orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerima, meskipun orang itu tidak mengambil atau menerima upah dan besar dosanya jika menerima upah. Hadist Larangan menyuap :
ﺮﺍ ِﺷﻰ ﻢ ﹶﺍﻟ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍﷲ ﷲ ِ ﻮ ﹸﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﻦ ﻌ ﹶﻟ: ﻪ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﻨﻋ ﷲ ُ ﻲ ﺍ ﺿ ِ ﺭ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﻫ ﻰ ﻦ ﹶﺃِﺑ ﻋ ( ﺤ ﹾﻜ ِﻢ )ﺭﻭﺍﻩ ﺃﲪﺪ ﻭﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﻭﺣﺴﻨﺔ ﺍﻟﺘﺮﻣﺪﻯ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﺸﻰ ِﻓﻰ ﺍﹾﻟ ِ ﺗﺮ ﻤ ﻭﺍﹾﻟ Artinya
“Abu Hurairah berkata Rasulullah saw melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum” (HR Ahmad dan Imam yang empat dan dihasankan oleh Turmudzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).20 Dalam hadits yang lain Rasulullah Bersabda :
ُ ﻦ ﺍﷲ ﻌ ﹶﻟ,ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﻞﱠ ﺍ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﹶﻗ ﹶﻞ: ﹶﻗ ﹶﻞﻨﻪﻋ ُ ﻲ ﺍﷲ ﺿ ِ ﺭ ﺎ ِﻥﻦ ﺛﹶﻮ ﺑ ﻋ ( ﻤﺎ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﲪﺪ ﻋﻦ ﺛﻮ ﺑﺎﻥ ﻬ ﻨﻴﺑ ﺸﻰ ِ ﻤ ﻳ ﺭ ﹾﺋﺴِﻰ ﺍﱠﻟ ِﺬﻯ ﻭ ﺍ ﻰ ﺸ ِ ﺗﺮ ﻤ ﻭﺍﹾﻟ ﻰ ﺮﺍ ِﺷ ﹶﺍﻟ Artinya : Allah melaknat orang yang memberi, yang menerima suap dan orang yang berposisi sebagai perantara keduanya. (HR. Ahmad ).21 Dalam hadits lain juga menerangkan bahwa Rasulullah melaknat para pelaku suap, baik yang menyuap atau yang disuap, seperti dalam hadits
19
Imam Muhammad bin Ismail al-Khailani, Subbulussalam Sarah Bulughul Maram, Jilid 2, Bairut: Darul Fikri,. hlm 124. 20 Syafi’I rahmad, Al-Hadis Aqidah, ahlaq, Sosial dan Hukum, Bandung: Penerbit Setia Pustaka bandunmg, 2000. hlm.151. 21 Muhammmad Abdurro’uf al-manawi, Faidhul Al-qodir syarah jami’usshoghir, jilid 5,makkatulmukarromah: Tanpa tahun, hlm. 268.
29 Rasulullah yang diriwatakan oleh Abdullah bin Amr yang artinya “ Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap”.
ﺗﺸِﻰ ﺮ ﻤ ﺍﹾﻟﺵ ﻭ ِ ﺍﻢ ﺍﹶﻟﺮ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﷲ ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺭﺳ ﻦ ﻌ ﹶﻟ: ﺮﻋﻤ ﺑ ِﻦ ﷲ ِ ﺒ ِﺪ ﺍﻋ ﻦ ﻋ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮ ﻣﺬﻯ Artinya:
“Dari Abdillah bin Amr, Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap” (HR. Tirmidzi)
Menurut pendapat Asy-Syaikani sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat ditaskhih. Karena pada dasarnya agama tidak membolehkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari orang lain kecuali dengan hati yang tulus. Apakah mereka memberi itu tulus? Seseorang telah membantu si penerima untuk memperoleh sesuatu. Korupsi dalam Islam terdapat empat kategori, yakni Risywah, Ghulul, Maksud dan Khiyama lebih spesifik ke suap (risywah).22 Hadiah dan suap ibarat dua sisi yang sulit dipisahkan. Keduanya masuk dalam kategori “pemberian” yang hanya dibedakan dalam niatan saja. Dalam fiqh hadiah memang diperbolehkan bahkan dianjurkan. Namun sering kali keikhlasan hadiah direduksi oleh beragam kepentingan dan tujuan pemberiannya, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum hibbah tersebut karena sewaktu-waktu hibbah dapat berubah menjadi risywah, tidak ada batasan yang jelas diantara keduanya, melainkan “niat” yang letak tersembunyi dalam kalbu yang bersifat abstrak. Tidak semua hadiah harus diterima. Sebab realitas historis yang berjalan masa rasul berbeda dengan historis sekarang. Umar bin Abdul Aziz
22
Ibid., hlm. 154-155
30 berkeyakinan bahwa “hadiah pada masa Rasulullah benar-benar murni tanpa tendensi. Namun masa sekarang hadiah berbeda tipis dengan dahulu.23 Dalam setiap pemilu uang sebagai instrumen penting untuk mendapatkan dukungan dari pelbagai segmen politik. Karena itu dana tersebut juga di distribusikan kepada berbagai segmen penting dalam masyarakat, seperti tokoh agama, ulama atau tokoh kepemimpinan dan lain-lain. Perbutan kekuasaan dalam pemilu dengan jalan batil sepeti itu sangat dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterma dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Jadi sekian banyak argumentasi yang terdiskripsi diatas, maka dapat dikonklusikan dikotomi antara suap dan hadiah dalam konsep idealitas fiqh politik (fiqh al-siyasah). Bahwa semua hadiah melebihi tendensi adalah suap. Ketika beberapa agamawan mengatakan bahwa money politic itu haram, penilaian beberapa agamawan yang lain tidak seekstrim itu. Menteri agama tidak mau secara tegas mengatakan hukum praktek money politic haram. Dia mengaku sulit mengatakan hukum dengan dalil-dalil yang jelas berkaitan langsung dengan soal ini, “Saya kira, kita tidak bisa mengatakan kategori sogok, karena (money politic) itu dalam konteks politik, seperti pemilihan lurah desa. Dalam pemilihan itu ada hal-hal seperti itu” katanya.24 Prof
Dr Azyumardi Azra, tidak secara tegas mengatakan praktek
money politic adalah haram, sebagaimana dikutip dalam tabloit, dia hanya berkata “Tentunya tidak setelah itu (haram!). Bisa kita bilang hukumnya al23 24
Lihat Shohih bukhori kitab “Al-Hibbah” Indra Ismawan, op. cit, hlm 8
31 Rasyi Walmurtasyi Finnar. Artinya, yang disogok dan yang nenyogok masuk neraka”. Menurut Azyumardi, praktik money politic telah terjadi sejak zaman Rasulullah. Tapi waktu itu bentuknya tidak eksplisit politik, tetapi berupa hubungan-hubungan sosial. Pasca Nabi, pada zaman dinasti praktek suap untuk kekuasaan pernah merajalela, terutama pada zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah.25 Pendapat Azyumardi diatas dapat penulis menyimpulkan, dia tidak berani secara tegas mengatakan bahwa praktek money politic haram akan tetapi masuk neraka. Kalau masuk neraka berarti melakukan hal yang dilarang oleh agama atau bisa disebut melakukan hal yang haram. Jadi Azyumardi jelas mengatakan money politic adalah tidak diperbolehkan bisa jadi haram, akan tetapi tidak secara tegas mengatakan haram. Islam memberikan perspektif bahwa money politic adalah Rosyi wal murtasyi. Rosyi artinya orang yang memberi suap dengan tujuan kebatilan, sedangkan adalah penerimanya dan hukumnya adalah haram. Dari Abi Hurairah ra barkata, Rasulullah saw melaknat orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap. Dalam kitab Nihayah “Rosyi” adalah orang yang memberi sesuatu yang dimaksud dengan tujuan kebatilan. “Murtasyinya"
adalah
penerimanya.
(Dalam
kitab
al-Hikam
yang
diriwayatkan oleh Turmudzi, dan hasankan oleh Ibnu Hibban dan Ahmad menambahkan (al-Rasyi) adalah orang yang menjadi perantara diantara keduanya, orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerima,
25
Indra Ismawan, op. cit, hlm 9
32 meskipun orang itu tidak mengambil atau menerima dan lebih besar dosanya jika ia menerima upah.26 Dari hadits Abdillah bin Umar dan Imam empat kecuali al Nasa’i itu hanya disebutkan dalam kitab al-Hikam, juga diriwatkan Abi Daud tidak disebutkan dan al-Turmudzi meriwayatkan juga, bahwa suap adalah haram haram menurut kesepakatan ulama, baik itu untuk qodhi (hakim)atau orang yang menerima atau orang yang memberi suap baik itu wujudnya pemberian ataupun yang lainnya.27 Lenyapnya sifat kepemimpinan (leadership) ternyata bukan hanya memiliki sejumlah umum partai, namun juga telah menular atau sudah menjadi kecenderungan disebagian besar politisi yang telah dinobatkan partainya sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif. Hal ini, paling tidak tercermin dari praktik penyalah-gunaan kekuasaan dengan menggunakan jabatan untuk memperkaya diri atau kelompoknya dengan cara-cara yang tidak halal (KKN). Seperti yang dapat kita lihat atau dengan dari pemberitaan media masa.28 Perilaku menyimpang pemimpin atau para elit membuat wajah lembaga terhormat menjadi menyebalkan dimata masyarakat. Tingakah laku yang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan menjadi kecenderungan disebagian besar anggota legislatif di Jakarta, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten /Kota.
26
Imam Muhammad, Op. Cit. hlm 124. (15) Ibid. hlm 124. (16) 28 Zaenal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta, LP3ES, 2003. hlm 27
306.
33 Para pelaku dan komonitas Politik sebaiknya kembali pada prinsip atau panduan dasar Islam yang seharusnya dijadikan pegangan, seperti yang diungkapkan khususnya oleh Nurcholis Madjid sejak 1970 an, bahwa loyalitas masyarakat itu hendaknya diberikan kepada nilai-nilai luhur dan
bukan
institusi, kepada pandangan-pandangan dengan baik bukan individu. Dalam konteks demikian, sebenarnya kita tidak boleh memberikan kepada hal-hal yang tidak baik; hal-hal yang dirumuskan sebagai KKN itu. Artinya, keburukan harus diberantas, meskipun kejengkelan kita dalam hal itu tidak membolehkan kita berlaku tidak adil. Kalau kita sendiri justru menjadi bagian dari konsepsi dan struktur sosial-ekonomi dan politik yang tidak baik itu, maka sebenarnya secara etika, pengakuan atas tidak kesalahan, itulah yang pertama-tama harus dilakukan, bahkan justru manjahui, melepas seluruh ikatan, atau bahkan melakukan hujatan.29 Dari perspektif hukum Islam money politic atau yang disebut dengan rosyi wal murtasyi beserta hukumnya, penulis menyimpulkan bahwa seseorang dapat dikenai pembebanan pertanggungjawaban hukuman apabila sudah mukallaf. Pengertian Pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebasan seseorang dengan akibat perbuatan (ada atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri dimana ia mengetahui maksudmaksud dan akibat dari perbuatannya itu. Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Adanya perbuatan yang dilarang
29
Bahtiar Effendi, RE Politisasi Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 2000, hlm. 188.
34 2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri 3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.30 Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa yang bisa dibebani pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang berakal dewasa, dan berkemauan sendiri. Demikian juga orang yang belum dewasa tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Tidak ada pertanggungjawaban bagi anak-anak, orang yang sudah hilang kemauannya (akalnya). Sesuai dengan hadits Nabi
:
ﻮ ِﻥ ﻨﺠ ﻤ ﻦ ﹶﺍﹾﻟ ﻋ ﻭ ﻆ ﻨ ﹶﻘ ﹶﺘﺴ ﻳ ﺘﻰﺣ ﻨﺎِﺋ ِﻢﻋ ِﻦ ﺍﻟ ﻭ ﺒﹸﻠ ﹶﻎﻳ ﱴ ﺣ ﻲّ ﺼِﺒ ﻋ ِﻦ ﺍﻟ ﻼﹶﺛ ِﺔ ﻦ ﹶﺛ ﹶ ﻋ ﻢ ﻊ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﹶﻠ ﺭﹶﻓ 31 . (ﺮﺍ َﺀ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﻭﻭﺩﺍ ﺒﻳ ﺘﻰﺣ Artinya “Tidak dicatat dari tiga hal, yaitu dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang gila hingga ia waras.”(HR Abu Daud). Uraian diatas menyatakan bahwa seseorang dapat dikenai pertanggung jawaban adalah apabila memenuhi syarat diatas, yaitu orang tidur hingga bangun, anak-anak yang belum baliq dan orang gila.
30
155.
31
A. Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, hlm. 154Abu Daud, Sunan Abi Daud, Juz IV, Beirut: Daar Al Fikr, tth., hlm. 140