BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karakteristik Masyarakat Menurut Widyaningrum (1999) dalam Pambudi (2011) karakteristik
adalah ciri-ciri dari individu yang terdiri dari demografi seperti jenis kelamin, umur serta status sosial seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, status ekonomi, dan sebagainya. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu dan bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama (Koentjaraningrat, 1994). Sedangkan menurut Paul B. Horton dan C. Hunt (1999) masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama, serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan Djuang (2010) mengenai hubungan karakteristik masyarakat dengan penggunaan antibiotik yang diperoleh secara bebas, didapat hasil bahwa tidak terdapat hubungan diantara keduanya. Karakteristik yang diteliti dalam penelitian tersebut adalah tingkat pendidikan, status ekonomi, dan jenis kelamin. Menurut penelitian yang dilakukan Kim et al (2011) karakteristik masyarakat
memiliki
hubungan
dengan
perilaku
masayarakat
dalam
menggunakan obat antibiotik.
2.1.1. Tingkat Pengetahuan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yg diketahui; kepandaian, atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal.
Adapun tingkat pengetahuan tersebut:
a. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham tentang objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan. c. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguna hukum-hukum, rumus, metode prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan kriteria-kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2003).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan: a. Umur Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Nursalam & Siti Pariani, 2000). b. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap orang lain menuju ke arah suatu cita–cita tertentu (Suwono, 1992) jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan itu menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula menerima pengetahuan yang dimilikinya (Nursalam & Pariani, 2000). c. Pekerjaan Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan dan kehidupan keluargannya (Nursalam & Pariani, 2000). d. Sosial Ekonomi Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak begitu memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan kebutuhan- kebutuhan lain yang lebih mendesak (Efendi Nasrul, 1998).
Sumber pengetahuan manusia menurut Nursalam (2001): a. Tradisi Dengan adat istiadat kita dan profesi keperawatan beberapa pendepat diterima sebagai sesuatu yang benar. Banyak pertanyaan terjawab dan banyak permasalahan dapat dipecahkan berdasarkan suatu tradisi. Tradisi adalah suatu dasar pengetahuan di mana setiap orang tidak dianjurkan untuk memulai mencoba memecahkan masalah. Akan tetapi tradisi mungkin terdapat kendala untuk
kebutuhan manusia karena beberapa tradisi begitu melekat sehingga validitas, manfaat, dan kebenarannya tidak pernah dicoba/diteliti. b. Autoritas Dalam masyarakat yang semakin majemuk adanya suatu autoritas seseorang dengan keahlian tertentu, pasien memerlukan perawat atau dokter dalam lingkup medik. Akan tetapi seperti halnya tradisi jika keahliannya tergantung dari pengalaman pribadi sering pengetahuannya tidak teruji secara ilmiah. c. Pengalaman Seseorang Kita semua memecahkan suatu permasalahan berdasarkan obsesi dan pengalaman sebelumnya, dan ini merupakan pendekatan yang penting dan bermanfaat. Kemampuan untuk menyimpulkan, mengetahui aturan dan membuat prediksi berdasarkan observasi adalah penting bagi pola penalaran manusia. Akan tetapi pengalaman individu tetap mempunyai keterbatasan pemahaman : a) setiap pengalaman seseorang mungkin terbatas untuk membuat kesimpulan yang valid tentang situasi, dan b) pengalaman seseorang diwarnai dengan penilaian yang bersifat subyektif. d. Trial dan Error Kadang-kadang kita menyelesaikan suatu permasalahan keberhasilan kita dalam menggunakan alternatif pemecahan melalui coba dan salah. Meskipun pendekatan ini untuk beberapa masalah lebih praktis sering tidak efisien. Metode ini cenderung mengandung resiko yang tinggi, penyelesaiannya untuk beberapa hal mungkin “idiosyentric”. e. Alasan yang Logis Kita sering memecahkan suatu masalah berdasarkan proses pemikiran yang logis. Pemikiran ini merupakan komponen yang penting dalam pendekatan ilmiah, akan tetapi alasan yang rasional sangat terbatas karena validitas alasan deduktif tergantung dari informasi dimana seseorang memulai, dan alasan tersebut mungkin tidak efisien untuk mengevaluasi akurasi permasalahan. f. Metode Ilmiah Pendekatan ilmiah adalah pendekatan yang paling tepat untuk mencari suatu kebenaran karena didasari pada pengetahuan yang terstruktur dan sistematis serta
dalam mengumpulkan dan menganalisa datanya didasarkan pada prinsip validitas dan reliabilitas. Penelitian tentang tingkat pengetahuan masyarakat tentang antibiotik yang dilakukan Oh et al tahun 2009 di Penang, Malaysia, menunjukkan hanya sekitar 55% masyarakat yang memiliki pengetahuan cukup. Penelitian oleh Pechere (2001) pada 5379 responden di sembilan negara mendapat hasil bahwa responden percaya sebagian besar infeksi pernapasan, kecuali pilek, memerlukan terapi antibiotik, dan 11% dari mereka harus membesar-besarkan gejala mereka untuk mendapatkan resep antibiotik dari dokter mereka. Penelitian oleh Hamzah (2011) di kalangan mahasiswa Universiti Sains Malaysia menunjukkan bahwa sebagian besar responden (87%) memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang penggunaan antibiotik.
2.1.2. Umur Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, umur adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan); usia. Terdapat dua jenis usia, yaitu: 1. Usia kronologis Usia kronologis (Chronological age) atau disebut juga usia kalender adalah usia seseorang yang dihitung sejak waktu lahir sampai waktu tertentu (Chaplin, 2002). Dalam kehidupan sehari-hari ketika seseorang ditanya berapa usianya, pada umumnya dijawab dengan usia kronologis. 2. Usia Mental Usia mental (mental age) adalah usia yang merujuk pada tingkat kemampuan mental seseorang setelah dibandingkan dengan kelompok seusianya (Chaplin, 2002). Untuk menentukan usia mental seseorang dibutuhkan metode tertentu, biasanya secara formal dengan menggunakan tes kemampuan psikologis.
2.1.3. Jenis Kelamin Menurut Utama (2003) dalam Frida (2009), jenis kelamin merupakan identitas responden yang dapat digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin juga dapat diartikan sebagai kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan di kalangan masyarakat Abu Dhabi oleh Abasaeed et al (2009) tidak ditemukan adanya hubungan antara karakteristik jenis kelamin dengan penggunaan antibiotik secara bebas.
2.1.4. Tingkat Pendidikan Tingkat
pendidikan
adalah
tahapan
pendidikan
yang
ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan (UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab I, Pasal I ayat 8) dalam Budi (2012). Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sebagai persiapan untuk memasuki pendidikan dasar diselenggarakan kelompok belajar yang disebut pendidikan prasekolah. Pendidikan prasekolah belum termasuk jenjang pendidikan formal, tetapi baru merupakan kelompok sepermainan yang menjembatani anak antara kehidupannya dalam keluarga dengan sekolah.
2.1.5. Status Ekonomi Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan keluarga memadai
akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun skunder (Soetjiningsih, 2004) dalam Suparyanto (2010). Status ekonomi adalah kedudukan seseorang atau keluarga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Status ekonomi dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang pokok (Kartono, 2006) dalam Suparyanto (2010). Geimar dan Lasorte (1964) dalam Friedman (2004) membagi keluarga berdasarkan status ekonomi yang terdiri dari 4 tingkat ekonomi, yaitu: 1. Adekuat Adekuat menyatakan uang yang dibelanjakan atas dasar suatu permohonan bahwa pembiayaan adalah tanggung jawab kedua orang tua. Keluarga menganggarkan dan mengatur biaya secara ralisitis. 2. Marginal Pada tingkat marginal sering terjadi ketidaksepakatan dan perselisihan siapa yang seharusnya mengontrol pendapatan dan pengeluaran. 3. Miskin Keluarga tidak bisa hidup dengan caranya sendiri, pengaturan keuangan yang buruk akan menyebabkan didahulukannya kemewahan. Diatas kebutuhan pokok, manajemen keuangan yang sangat buruk dapat atau tidak membahayakan kesejahteraan anak, tetapi pengeluaran dan kebutuhan keuangan melebihi penghasilan. 4. Sangat Miskin Menejemen keuangan yang sangat jelek, termasuk pengeluaran saja dan berhutang terlalu banyak, serta kurang tersedianya kebutuhan dasar.
Menurut Friedman (2004) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status ekonomi seseorang, yaitu: a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah dalam memperoleh pekerjaan, sehingga semakin banyak pula penghasilan yang diperoleh. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal. b. Pekerjaan Pekerjaan adalah simbol status seseorang dimasyarakat. Pekerjaan jembatan untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk mendapatkan tempat pelayanan kesehatan yang diinginkan. c. Keadaan Ekonomi Kondisi ekonomi keluarga yang rendah mendorong ibu hamil untuk tidak teratur dalam melakukan antenatal care. d. Latar Belakang Budaya Cultur universal adalah unsur kebudayaan yang bersifat universal, ada di dalam semua kebudayaan di dunia, seperti pengetahuan bahasa dan khasanah dasar, cara pergaulan sosial, adat-istiadat, penilaian umum. Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepercayaan individu yang telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual e. Pendapatan Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau usaha yang telah dilakukan. Pendapatan akan mempengaruhi gaya hidup seseorang. Orang atau keluarga yang mempunyai status ekonomi atau pendapatan tinggi akan mempraktikkan gaya hidup yang mewah misalnya lebih komsumtif karena mereka mampu untuk membeli semua yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan keluarga yang kelas ekonominya kebawah.
Penelitian yang dilakukan oleh Al-Azzam et al (2007) di Yordania juga mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan
penggunaan antibiotik secara bebas, tetapi dalam penelitian ini ditemukan adanya hubungan antara karakteristik pendidikan dan penghasilan dengan penggunaan antibiotik secara bebas.
2.2.
Antibiotik
2.2.1. Definisi Antibiotik
adalah
zat
kimiawi
dihasilkan
mikroorganisme
yang
mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain (Dorland, 2002).
2.2.2. Klasifikasi dan Mekanisme Kerja Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai aspek yang berbeda. Katzung (2009) dalam buku Basic and Clinical Pharmacology membagi antibiotik sebagai berikut: a. Beta-laktam dan antibiotik lain yang bekerja pada dinding dan membran sel. Dalam golongan ini termasuk penisilin, sefalosporin, sefamisin, antibiotik betalaktam lain, antibiotik glikopeptida, daptomisin, fosfomisin, basitrasin, dan sikloserin. b. Antibiotik yang menghambat sintesis protein bakteri dengan bekerja pada ribosom. Dalam
golongan
ini
termasuk
tetrasiklin,
makrolida,
klindamisin,
kloramfenikol, streptogramin, dan oksazolidinon. c. Aminoglikosida dan spektinomisin Dalam golongan ini termasuk streptomisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, neomisin dan kanamisin, dan spektinomisin. d. Sulfonamida, trimetoprim, dan kuinolon Merupakan antibiotik antifolat dan antibiotik inhibitor DNA-gyrase.
Sedangkan menurut Neal (2002), antibiotik dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
a. Antibiotik yang menghambat proses sintesis asam nukleat; termasuk didalam kelompok ini adalah golongan sulfonamida, trimetoprim, kuinolon, dan nitroimidazol. b. Antibiotik yang menghambat proses sintesis dinding sel; termasuk didalam kelompok ini adalah golongan penisilin, sefalosporin, dan vancomisin. c. Antibiotik yang menghambat proses sintesis protein; termasuk didalam kelompok ini adalah golongan aminoglikosida, tetrasiklin, makrolida, dan kloramfenikol.
2.3.
Resistensi Obat
2.3.1. Definisi Resistensi obat adalah kemampuan suatu mikroorganisme untuk bertahan terhadap efek suatu obat yang mematikan bagi sebagian besar anggota spesiesnya. Resistensi obat primer merujuk infeksi yang dari awal terjadi karena suatu organisme resisten; resistensi obat sekunder merujuk resistensi yang berkembang selama pemberian terapi (Dorland, 2002).
2.3.2. Penyebab Salah satu penyebab terjadinya resistensi obat antibiotik adalah penggunaannya secara tidak benar. Istilah penggunaan yang tidak benar berlaku untuk semua jenis penyalahgunaan dan penggunasalahan. Penggunaan yang tidak benar terjadi saat antibiotik digunakan dalam waktu yang terlalu singkat, dosis yang terlalu kecil, potensi yang tidak adekuat, atau dengan indikasi yang tidak tepat (WHO, 2011). Menurut WHO, resistensi obat antibiotik diawali dengan peresepan antibiotik untuk penyakit yang tidak tepat, padahal beberapa penyakit bahkan tidak memerlukan antibiotik sama sekali untuk pengobatannya. Namun, pasien seringkali tidak mengerti hal ini, dan timbul kepercayaan di masyarakat bahwa mengonsumsi antibiotik 1 – 2 hari saja dapat meringankan gejala dan menyembuhkan penyakit.
Menurut Ballington dan Laughlin (2005) dalam Djuang (2009) resistensi antibiotik dapat terjadi karena penyalahgunaan dan penggunaan antibiotik yang berlebihan, penggunaan antibiotik yang tidak menyelesaikan pengobatan antibiotik, sehingga bermutasi dan menjadi resisten. Penelitian
yang
dilakukan
Pechere
(2001)
di
sembilan
negara
mendapatkan hasil bahwa hanya enam puluh sembilan persen pasien mengaku menyelesaikan durasi konsumsi antibiotik sampai akhir (Inggris, 90%, Thailand, 53%), dan 75% menyatakan bahwa mereka memenuhi semua dosis harian. Penelitian pada masyarakat Korea Selatan oleh Kim et al (2011) menunjukkan bahwa dua pertiga masyarakat tidak menyadari bahaya dari terjadinya resistensi obat antibiotik.
2.3.3. Mekanisme Menurut Jawetz (2007), terdapat lima mekanisme berbeda yang mendasari proses terjadinya resistensi obat, yaitu: 1. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang menghancurkan obat aktif. Contoh: Staphylococcus resisten terhadap penisilin G menghasilkan laktamase yang menghancurkan obat. 2. Mikroorganisme
mengubah
permeabilitasnya
terhadap
obat.
Contoh:
Tetrasiklin menumpuk di bakteri tetapi tidak rentan pada bakteri resisten. Resistensi terhadap polymyxins juga berhubungan dengan perubahan permeabilitas terhadap obat. 3. Mikroorganisme mengembangkan target struktural yang telah diubah untuk obat. Contoh: Organisme resisten terhadap eritromisin memiliki reseptor yang diubah pada subunit 50S dari ribosom, yang dihasilkan dari metilasi dari RNA ribosom 23S. 4. Mikroorganisme mengembangkan jalur metabolisme baru yang memotong jalur yang dihambat oleh obat. Contoh: Beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamida tidak memerlukan PABA ekstraseluler tetapi, seperti sel mamalia, dapat memanfaatkan asam folat.
5. Mikroorganisme mengembangkan enzim yang masih bisa melakukan fungsi metabolisme, tetapi jauh kurang terpengaruh oleh obat. Contoh: Pada bakteri yang resisten terhadap trimetoprim, asam dihydrofolic reduktase dihambat jauh lebih efisien dibanding pada bakteri yang tidak resisten.
2.4.
Peraturan Mengenai Distribusi Obat Antibiotik di Indonesia
2.4.1
Antibiotik Sebagai Obat Keras Distribusi obat antibiotik di Indonesia diatur oleh undang-undang obat
keras, yaitu undang-undang St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949. Pasal 1 ayat 1a undang-undang tersebut memasukkan obat antibiotik kedalam golongan obat keras, sebagaimana tertulis: “Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pada pasal 2”. Berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, obatobatan kimia dapat digolongkan menjadi 5 (lima) kategori, yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi masing-masing. Kelima kategori tersebut apabila diurutkan dari yang paling longgar hingga yang paling ketat mengenai peraturan pengamanan, penggunaan, dan distribusinya adalah sebagai berikut: 1. Obat Bebas 2. Obat Bebas Terbatas (Daftar W atau ”Waarschuwing”, waspada) 3. Obat Keras (Daftar G atau ”Gevaarlijk”, berbahaya) 4. Obat Psikotropika (OKT, Obat Keras Terbatas) 5. Obat Narkotika (Daftar O atau ”Opium”)
Berikut penjabaran untuk masing-masing golongan tersebut (Fitria, 2012): 1. Obat Bebas (OB)
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Merupakan obat yang paling “aman”, boleh digunakan untuk menangani penyakit-penyakit simptomatis ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat dilakukan sendiri oleh penderita atau self medication (penanganan sendiri). Obat ini telah digunakan dalam pengobatan secara ilmiah (modern) dan terbukti tidak memiliki risiko bahaya yang mengkhawatirkan. OB dapat dibeli secara bebas tanpa resep dokter, baik di apotek, counter obat di supermarket/toko swalayan, toko kelontong, bahkan di warung, disebut juga obat OTC (Over the Counter). Penderita dapat membeli dalam jumlah yang sangat sedikit, seperlunya saja saat obat dibutuhkan. Jenis zat aktif pada OB relatif aman sehingga penggunaanya tidak memerlukan pengawasan tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Oleh karena itu sebaiknya OB tetap dibeli bersama kemasannya. OB digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan yang bersifat nonspesifik.
2. Obat Bebas Terbatas (OBT) Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam. Obat ini sebenarnya termasuk dalam kategori obat keras, akan tetapi dalam jumlah tertentu masih dapat diperjualbelikan secara bebas tanpa resep dokter. Sebagai obat keras, penggunaan obat ini diberi batas untuk setiap takarannya. Seharusnya obat ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin yang dipegang oleh seorang asisten apoteker, serta apotek yang hanya boleh beroperasi jika ada apoteker. Hal ini karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli obat yang termasuk golongan ini. Memang, dalam keadaaan dan batas-batas tertentu, sakit yang ringan masih dibenarkan untuk melakukan pengobatan sendiri (self medication) menggunakan obat-obatan dari golongan OB dan OBT yang dengan mudah diperoleh masyarakat. Dianjurkan untuk tidak sekali pun melakukan uji coba obat sendiri terhadap obat-obat yang seharusnya diperoleh dengan menggunakan resep dokter (SK MenKes RI No.2380 tahun 1983).
Setelah upaya self medication, apabila kondisi penyakit semakin serius, tidak kunjung sembuh setelah sekitar 3-5 hari, maka sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter. Oleh karena itulah semua kemasan OB dan OBT wajib mencantumkan tanda peringatan “apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter” (SK MenKes RI No.386 tahun1994).
3. Obat Keras (OK) Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit, memicu munculnya penyakit lain sebagai efek negatifnya, hingga menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh, bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, golongan obat ini hanya boleh diberikan atas resep dokter umum/spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Yang termasuk ke dalam golongan OK adalah: a. “Daftar G”, seperti: antibiotika, obat-obatan yang mengandung hormon, antidiabetes, antihipertensi, antihipotensi, obat jantung, obat ulkus lambung, dll. b. “Daftar O” atau obat bius/anestesi, yaitu golongan obat-obat narkotika c. Obat Keras Tertentu (OKT) atau psikotropika, seperti: obat penenang, obat sakit jiwa, obat tidur, dll. d. Obat Generik dan Obat Wajib Apotek (OWA), yaitu obat yang dapat dibeli dengan resep dokter, namun dapat pula diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter dengan jumlah tertentu, seperti antihistamin, obat asma, pil antihamil, beberapa obat kulit tertentu, antikoagulan, sulfonamida dan derivatnya, obat injeksi, dll. e. Obat yang dibungkus sedemikian rupa, digunakan secara enteral maupun parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara lain yang sigatnya invasif.
f. Obat baru yang belum tercantum di dalam kompedial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia g. Obat-obatan lain yang ditetapkan sebagai obat keras melalui SK MenKes RI
4. Psikotropika Tanda pada kemasannya sama dengan tanda pada Obat Keras. Obat-obatan golongan ini mulai dari pembuatannya, pengemasan, distribusi, sampai penggunaannya diawasi secara ketat oleh pemerintah (BPOM dan DepKes) dan hanya boleh diperjualbelikan di apotek atas resep dokter. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan peenggunaannya kepada pemerintah. Psikotropika atau biasa disebut sebagai ”obat penenang” (transquilizer), adalah zat/ obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh stimulatif selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
2.4.2. Undang-undang St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949 Mengenai Obat Keras Peraturan mengenai distribusi obat-obat keras daftar G tertulis dalam pasal 3 dan 5.
2.4.2.1. Pasal 3 1) Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa sehingga secara normla tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan untuk pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-pedagang besar yang diakui, apoteker-apoteker, yang memimpin apotek dan dokter hewan. 2) Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari resep doker, dokter gigi, dokter hewan dilarang, larangan ini tidak berlaku bagi
penyerahan-penyerahan kepada pedagang-pedagang besar yang diakui, apoteker-apoteker, dokter-dokter gigi, dan dokter-dokter hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan menurut ketentuan pada pasal 7 ayat 5. 3) Larang-larang yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut diatas tidak berlaku untuk penyerahan obat-obat sebagaimana dimaksudkan pasal 49 ayat 3 dan 4 dan pasal 51 dari “Reglement D.V.D.”. 4) Sec.V.St. dapat menetapkan bahwa sesuatu peraturan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2, jika berhubungan dengan penyerahan obatobatan
G
yang
tertentu
yang
ditunjukkan
olehnya
harus
ikut
ditandatangani oleh seorang petugas khusus yang ditunjuk. Jika tanda tangan petugas ini tidak terdapat maka penyerahan obat-obatan G itu dilarang.
2.4.2.2. Pasal 5 1) Pemasukan, pengeluaran, pengangkutan, atau suruh mengangkut bahanbahan G dilarang, kecuali dalam jumlah yang sedemikian rupa sehingga secara normal dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan untuk pemakaian pribadi. 2) Larangan ini tidak berlaku jika tindakan ini dijalankan oleh pemerintah atau
pedagang-pedagang
besar
yang
diakui
atau
pengangkutan-
pengangkutan oleh apoteker-apoteker, dokter-dokter yang memimpin apotek, dan dokter hewan. 3) Dalam soal-soal khusus, inspektur farmasi D.V.G. di Jakarta dapat memberikan kelonggaran penuh atau sebagian terhadap larangan ini.