BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Tinjauan Tentang Guru 1. Pengertian Guru Manusia dalam menjalani kehidupannya sangat memerlukan pendidikan karena dengan pendidikan manusia menjadi tahu sesuatu yang semula tidak ia ketahui. Membicarakan pendidikan tidak akan lepas dari seorang guru. Guru sebagai salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial dibidang pembangunan. Oleh karena itu, guru merupakan salah satu unsur dalam bidang pendidikan harus berperan secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswa pada suatu kematangan tertentu. Dalam hal ini guru tidak semata-mata sebagai pengajar tetapi juga sebagai pendidik dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan siswa dalam belajar. Sebagai pengajar, pendidik dan pelatih para siswa, guru merupakan agen perubahan sosial (agent of social change) yang mengubah pola pikir, sikap dan perilaku umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik, lebih bermartabat dan lebih mandiri. Dalam dunia pendidikan istilah guru bukanlah hal yang asing. Ada beberapa pandangan yang mengemukakan mengenai istilah guru. Menurut pandangan lama yang dikutip oleh Sukadi (2006 : 8) istilah guru diartikan sebagai sosok manusia yang patut digugu dan ditiru. Berdasarkan pandangan tersebut, siapapun orangnya
18
19
yang ucapan dan tingkah lakunya dapat dipercaya serta dapat menjadi panutan bagi warga masyarakat maka patut menyandang predikat sebagai guru. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar dan dimaknai sebagai tugas profesi. Untuk menjadi guru, seseorang harus memenuhi persyaratan profesi. Dalam pandangan Moh. Uzer Usman (2002 : 5) menyatakan bahwa “guru merupakan profesi, jabatan dan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus”. Jenis pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan, meskipun kenyataannya masih ada guru yang berasal dari luar bidang kependidikan. Berdasarkan beberapa pandangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa guru diartikan sebagai orang yang tugasnya mengajar, mendidik dan melatih peserta didik serta memenuhi kompetensi sebagai orang yang patut digugu dan ditiru dalam ucapan dan tingkah lakunya. Seorang guru dalam lapangan pendidikan adalah sebagai pendidik bagi anakanak didiknya baik di kelas maupun di luar kelas dan bagi masyarakat yang membutuhkan tenaganya. Hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2 dan 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa : Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen.
Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang guru bukan hanya sekedar pemberi ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya tetapi juga dia seorang tenaga
20
profesional yang dapat menjadikan murid-muridnya mampu merencanakan, menganalisis dan menyimpulkan masalah yang dihadapi serta memiliki cita-cita yang
tinggi,
berpendidikan
luas,
berkepribadian
kuat,
tegar
dan
berprikemanusiaan yang mendalam. 2. Tugas dan Peran Guru Guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Seorang guru dalam melaksanakan tugasnya tidak terbatas pada menyampaikan materi pelajaran saja, tetapi juga mendidik dan melatih peserta didik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Moh. Uzer. U (2002 : 7) bahwa : Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih peserta didik. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup (afektif). Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (kognitif). Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan para siswa (psikomotor). Berdasarkan kutipan di atas maka ketiga tugas guru tersebut harus terintegrasi menjadi satu-kesatuan dan tidak terpisah-pisah. Dalam melaksanakan tugas mengajar, seorang guru tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kehidupan dan keterampilan. Mereka juga mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak mengenyampingkan nilai-nilai penggunaan ilmu dan teknologi tersebut. Demikian pula dalam hal melatih para siswa, seorang guru tidak bisa mengabaikan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Menurut Sukadi (2006 : 19) bahwa untuk melaksanakan ketiga tugas pokok tersebut, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan sebagai berikut : 1. Berwawasan luas, menguasai bidang ilmunya dan mampu mentransfer atau menerangkan kembali kepada siswa
21
2. Mempunyai sikap dan tingkah laku (kepribadian) yang patut diteladani sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut masyarakat dan bangsa 3. Memiliki keterampilan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya. Berdasarkan kemampuan-kemampuan tersebut diharapkan guru mampu melaksanakan tugas utamanya yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Kemampuan yang dimiliki oleh seorang pendidik, sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proses belajar. Dalam hal ini khususnya pada proses belajar Pendidikan Kewarganegaraan dan proses belajar pada umumnya yang merupakan inti kegiatan guru itu sendiri. Tugas seorang guru tidak terbatas di dalam hal melatih, mengajar dan mendidik. Sehubungan dengan ini Moh. Uzer. Usman (2002 : 8) mengemukakan sebagai berikut : 1. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan yaitu harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua bagi siswa. 2. Tugas guru dalam bidang kemasyarakatan yaitu mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral pancasila serta mencerdaskan bangsa Indonesia. Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa. Tugas dan peran guru tidak terbatas di dalam masyarakat, bahkan pada hakikatnya guru merupakan komponen strategis yang memiliki peran yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. Dalam melaksanakan tugasnya guru memiliki beberapa peran. Adams and Decey dalam basic principles of student Teaching sebagaimana dikutip oleh Moh. Uzer Usman (2002 : 9)
22
mengatakan bahwa “Dalam proses belajar mengajar guru memiliki berbagai peran, diantaranya sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator, penanya, evaluator dan konselor.” Untuk mengetahui peran guru dalam pendidikan, berikut ini penulis sajikan pendapat dari Moh. Uzer Usman (2002 : 9) sebagai berikut : a. b. c. d.
Guru berperan sebagai demonstrator Guru berperan sebagai pengelola kelas Guru berperan sebagai mediator dan fasilitator Guru berperan sebagai evaluator
Maka jelaslah bahwa peranan tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dalam hal ini yaitu seorang guru. Pada prinsipnya keberhasilan dari proses belajar mengajar ditentukan oleh mampu atau tidaknya di dalam memainkan perannya sebagai guru. Menurut Sukadi (2006: 22) bahwa “untuk mewujudkan peranan tersebut, seorang guru dituntut memiliki keterampilan” antara lain : a. b. c. d.
Mampu merumuskan alat tes yang valid dan reliabel Mampu menggunakan alat tes dan non tes secara tepat Mampu melaksanakan penilaian secara objektif, jujur dan adil Menindaklanjuti hasil evaluasi secara proposional.
3. Fungsi Guru Untuk mengetahui fungsi guru dalam pendidikan, berikut ini penulis sajikan pendapat dari Sukadi (2006 : 22) sebagai berikut : a. Guru sebagai pendidik Salah satu fungsi guru yang umum adalah sebagai pendidik. Dalam melaksanakan fungsi ini, guru dituntut menjadi inspirator dan menjaga disiplin
23
kelas. Sebagai inspirator, guru memberikan semangat kepada para siswa tanpa memandang tingkat kemampuan intelektual atau tingkat motivasi belajarnya. Sebagai korektor, ia harus berusaha membetulkan sikap dan tindakan siswa yang tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan manusia. Sebagai penjaga disiplin di kelas, guru dituntut menciptakan suasana yang memungkinkan siswa dapat belajar sedemikian rupa sehingga guru dapat mengajar dengan penuh konsentrasi dan siswa dapat belajar dengan tekun. b. Guru sebagai didaktikus Menurut Benyamin Bloom sebagaimana dikutip oleh Sukadi (2006 : 23), “kualitas pengajaran sangat bergantung pada cara menyajikan materi yang harus dipelajari”. Keterampilan didaktik ini membicarakan mengenai bagaimana cara guru membimbing kegiatan belajar murid secara berhasil. De Cecco dan Grawford yang dikutip oleh Slameto (2003 : 175) mengemukakan tentang 4 fungsi pengajar yaitu : a. b. c. d.
Menggairahkan siswa Memberikan harapan realistis Memberikan insentif Mengarahkan tingkah laku siswa Atas dasar uraian tersebut bahwa fungsi guru tidak hanya sebagai pendidik,
tetapi berfungsi pula sebagai inspirator dan motivator bagi siswa dalam hal belajar. Mengingat demikian pentingnya fungsi guru sebagai motivator maka guru diharapkan dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didiknya.
24
B. Tinjauan Tentang Pendidikan Kewarganegaraan 1. Sejarah perkembangan civic di Indonesia Istilah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan dengan nama civic Education di USA menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke waktu. Menurut Numan Sumantri (1975: 31) bahwa secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagai berikut : a. b. c. d. e.
Civics tahun 1790 Community Civics (1970, A. W. Dunn) Civic Education (1901, Harold Wilson) Civic Citizenship Education (1945, John Mahoney) Civic Citizenship Education (1971, NCSS)
Pelajaran Civics mulai diperkenalkan pada tahun 1790 di Amerika Serikat dalam rangka “meng-Amerikakan” bangsa Amerika atau terkenal dengan “theory of Americanization”. Penerbitan majalah “The Citizen” dan “Civics”, pada tahun 1886 Henry Randall Waite merumuskan Civics dengan “the science of citizenship-the relation of man, the individual, to man in organized collections-the individual in his relation to the state, Creshore, Education. Penjelasan mengenai Civics mempunyai kesamaan yang sama yaitu membahas mengenai “goverment”, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Akan tetapi, arti Civics dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi “goverment” saja kemudian dikenal dengan istilah : a. Community Civics b. Economic Civics
25
c. Vocational Civics Gerakan “Community Civics” pada tahun 1970 dipelopori oleh W. A. Dunn adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional. Gerakan “Community Civics” disebabkan pula karena pelajaran civics pada waktu itu hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah saja, akan tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial. Selain gerakan community civics, timbul pula gerakan Civic Education. Numan Sumantri (1975: 33) mengemukakan bahwa ruang lingkup Civic Education antara lain : a. Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah. b. Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis. c. Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat obyektif hidup bernegara. Perkembangan istilah Civics dan Civics Education di Indonesia, antara lain: a. Kewarganegaraan (1957) b. Civics (1961) c. Pendidikan Kewargaan Negara (1968) Pelajaran Kewarganegaraan (1975) membahas cara : memperoleh dan kehilangan kewargaan negara, sedang Civics (1961) lebih banyak tentang : Sejarah Kebangkitan Nasional, UUD, pidato-pidato kenegaraan yang terutama diarahkan untuk “nation and character building” bangsa Indonesia seperti pada waktu pelaksanaan pelajaran Civic di Amerika pada tahun-tahun setelah Declaration of independence Amerika.
26
2. Pengertian PKn Depdiknas (2006 : 49) mengemukakan tentang definisi PKn sebagai berikut: PKn merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh pancasila dan UUD 1945. Hal ini sejalan dengan pendapat Numan Somantri (2001: 154) yang mengemukakan bahwa : Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Menurut Numan Sumantri (2001: 158) ada beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain : a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu. b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan. d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu Kewarganegaraan. e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa. f. Kegiatan dasar manusia g. Pengertian Pendidikan IPS.
Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan serta mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan Pendidikan IPS. Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan Pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga
27
negara yang baik dan patriotik. Seperti yang diungkap oleh Numan Sumantri (2001: 159) bahwa batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut : Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologi dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan Pendidikan IPS. Menurut Numan Sumantri (2001: 161) ada beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan, antara lain : a. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu tujuan Pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD 1945, GBHN dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara. b. PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, pancasila, UUD 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. c. PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat Jurusan PKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi. d. Dalam mengembangkan dan melaksanakan, kita harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara pengetahuan intraseptif (agama dan nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan Pendidikan Nasional, Pancasila, UUD 1945, GBHN, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas tujuan pendidikan, bahan pendidikan, metode pendidikan dan evaluasi. e. PKn menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda dalam menginternalisasikan nilainilai warga negara yang baik (good citizen) dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan. f. Dalam kepustakaan asing PKn sering disebut civic education yang salah satu bahasannya yaitu “seluruh kegiatan sekolah, rumah dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dapat membantu peserta didik dalam memilih sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan
28
aspek afektif yang akan ditampilkan dalam perilakunya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Suwarma Al-Muchtar (2001 : 33) bahwa : Pendidikan nilai bertujuan untuk membantu perilaku peserta didik menumbuhkan dan memperkuat sistem nilai dipilihnya untuk dijadikan dasar bagi penampilan dan perilakunya. Pendidikan nilai bertumpu pada pengembangan sikap (afektif) oleh karena itu berbeda dengan belajar mengajar dengan pendidikan kognitif atau psikomotor. Pendidikan nilai secara formal di Indonesia diberikan pada mata pelajaran PPKN yang merupakan pendidikan nilai yang bersumber pada sistem nilai pancasila agar dapat menjadi kepribadian yang fungsional. 3. Tujuan dan Fungsi Pembelajaran PKn Guru PKn berperan untuk menyampaikan bahan pelajaran PKn terhadap siswanya dan bertujuan untuk mengubah tingkah laku siswa, dalam arti memberikan pengetahuan mengubah sikap dan tingkah laku serta memberikan keterampilan pada siswa. Selanjutnya kemampuan guru PKn dapat disampaikan dengan baik, maka guru PKn harus mempelajari tujuan dan fungsi dari pembelajaran PKn. Menurut Depdiknas (2006 : 49) mengemukakan tentang tujuan pembelajaran PKn yaitu untuk memberikan kompetensi sebagai berikut : a. Berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. b. Berpartisipasi secara cerdas, bertanggung jawab dan bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Numan Sumantri (2001: 279) mengemukakan bahwa : Tujuan umum pembelajaran PKn adalah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis dan pancasila sejati.
29
Fungsi dari pelajaran PKn yaitu sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Menurut Numan Sumantri (1975: 30) agar tujuan PKn tersebut tidak hanya berperan sebagai slogan saja, maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler yang meliputi : a. Ilmu pengetahuan meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori. b. Keterampilan Intelektual : 1. Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan dan menilai. 2. Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih yaitu (a) keterampilan bertanya dan mengetahui masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan menganalisis data, (e) keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan merumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan. c. Sikap seperti nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan. d. Keterampilan sosial yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan hidup sehari-hari, Duffy yang dikutip oleh Numan Somantri (1975 : 30). Mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PKn, (b) tujuan instruksional, (c) konstruksi tes dan penilaiannya. Bunyamin. M dan Sapriya dalam Jurnal Civicus (2005: 320) mengemukakan bahwa secara umum tujuan negara mengembangkan PKn yaitu : Agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik, yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics intelligence) baik intelektual, emosional, sosial maupun spiritual, memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responbility) dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
30
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa PKn merupakan program pengajaran yang tidak hanya menampilkan sosok program dan pola KBM yang kognitif melainkan secara utuh dan menyeluruh mencakup aspek afektif dan psikomotor. Pendidikan Kewarganegaraan mengembangkan pula aspek pendidikan nilai. 4. Misi Pendidikan Kewarganegaraan Program Pendidikan Kewarganegaraan memandang peserta didik dalam kedudukan sebagai warga negara, sehingga diarahkan untuk mempersiapkan mereka mampu hidup secara fungsional sebagai warga masyarakat maupun sebagai warga negara yang baik. Menurut Bunyamin dan Sapriya, Jurnal Civicus (2005 : 321), bahwa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki visi sebagai berikut : a. PKn sebagai pendidikan politik, yang memberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada siswa agar mereka mampu hidup sebagai warga negara yang memiliki tingkat kemelekan politik dan kesadaran politik serta kemampuan berpartisipasi politik yang tinggi. b. PKn sebagai pendidikan hukum, yang membina siswa sebagai warga negara yang memiliki kesadaran hukum yang tinggi, menyadari akan hak dan kewajibannya dan memiliki kepatuhan terhadap hukum yang tinggi. c. PKn sebagai pendidikan nilai, yang menanamkan dan mentransformasikan nilai, moral dan norma sehingga mendukung bagi upaya nation and character building. 5. Metode Dalam Pembelajaran PKn Seorang guru PKn harus kreatif di dalam menentukan dan mengembangkan metode yang dapat mengarahkan siswa agar mereka sadar untuk menghayati dan mengamalkan pancasila. Berdasarkan hal tersebut maka seorang guru harus mampu memilih dan menggunakan metode yang bervariasi sehingga siswa tidak
31
merasa jenuh dalam belajar di kelas dan dengan demikian akan membawa pengaruh terhadap perubahan tingkah laku siswa. Kosasih Djahiri (1985 : 16) mengemukakan mengenai metode untuk pembinaan aspek kognitif, afektif dan psikomotor sebagai berikut : a. Kognitif (pengetahuan) meliputi - Ceramah - Tanya jawab - Diskusi - Studi kepustakaan - Ekspositori - Inquiry - Studi proyek - VCT - Simulasi b. Afektif (sikap) meliputi - Role playing - VCT - Simulasi - Games - Studi proyek - Percontohan - Tanya jawab - Sosiodrama - Inquiry nilai - Ceramah c. Psikomotor (keterampilan) meliputi - Simulasi - Latihan - Percontohan - Studi proyek - Inquiry - Demonstrasi - Sosiodrama - Games - Ceramah. Berdasarkan uraian di atas bahwa penggunaan beberapa metode dalam mengajar akan dapat memberikan motivasi terhadap belajar siswa dan siswa juga
32
tidak akan merasa jemu dalam memperhatikan gaya mengajar yang ditampilkan gurunya. 6. Evaluasi Dalam Pembelajaran PKn Evaluasi adalah suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa yang diperoleh melalui pengukuran. Sehubungan dengan hal tersebut, Depdiknas (2002 : 2) mengemukakan bahwa “penilaian bertujuan untuk menganalisis atau menjelaskan prestasi peserta didik dalam mengerjakan tugas-tugas yang terkait dan mengefektifkan penggunaan informasi tersebut untuk mencapai pendidikan”. Penilaian tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh informasi tentang kemajuan dalam pencapaian hasil belajar. Hal ini menurut A. Kosasih Djahiri (1995/1996 : 7) mengungkapkan bahwa “evaluasi atau penilaian tidak hanya untuk menentukan angka (marking) melainkan sebagai momentum dan media bagi siswa dalam mengukur tingkat keberhasilan atau kegagalan diri, klarifikasi dan penilaian diri (self evaluasi) dan re-edukasi”. Menurut A. Kosasih Djahiri (1995: 53) ada beberapa hal yang perlu diterapkan dalam penilaian Pendidikan Kewarganegaraan yaitu : a. Penilaian tidak hanya berfungsi untuk pengukuran tingkat keberhasilan belajar siswa melainkan juga tingkat keberhasilan atau kegagalan mengajar serta program reduksi dan momentum membaca kualifikasi atau jati dirinya (siswa), keluarga dan lingkungan kehidupannya. b. Penilaian jangan hanya diartikan THB atau TPB atau ulangan yang cenderung administratif formal yakni mencari dan menentukan nilai atau angka melainkan momentum pengukuran diri untuk reduksasi dan atau remidial.
33
E. Tinjauan Tentang Motivasi 1. Pengertian Motivasi dan Motivasi Belajar Setiap individu memiliki kondisi internal, dimana kondisi tersebut turut berperan dalam aktivitas dirinya sehari-hari. Salah satu dari kondisi internal tersebut yaitu motivasi. Hamzah B. Uno (2007: 3) mengemukakan bahwa “istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat”. Daya penggerak dalam diri seseorang atau motif akan dapat menumbuhkan suatu motivasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamzah B. Uno (2007: 1) bahwa “pada dasarnya motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku”. Menurut Eysenck yang dikutip oleh Slameto (2003 : 170) bahwa sebenarnya motivasi dirumuskan sebagai : suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan, intensitas, konsistensi serta arah umum dari tingkah laku manusia, merupakan konsep yang rumit dan berkaitan dengan konsep-konsep lain seperti minat, konsep diri, sikap dan sebagainya.
Sementara itu, Sumadi Suryabrata yang dikutip oleh Djaali (2007 : 101) memberikan definisi bahwa “motivasi adalah keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna pencapaian suatu tujuan”. Adapun menurut Gates yang dikutip oleh Djaali (2007 : 101) menyebutkan bahwa “motivasi yaitu suatu kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mengatur tindakannya dengan cara tertentu”.
34
Atas dasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan. Mc. Donald yang dikutip oleh Wasty Soemanto (2006 : 203) memberikan sebuah definisi tentang “motivasi sebagai suatu perubahan tenaga di dalam diri atau pribadi seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi dalam usaha mencapai tujuan”. Dari pengertian di atas mengandung tiga elemen penting sebagai berikut : 1. Bahwa motivasi itu dimulai dengan suatu perubahan tenaga dalam diri seseorang 2. Motivasi tersebut ditandai oleh dorongan afektif 3. Motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi mencapai tujuan Ketiga elemen di atas dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Dalam motivasi itu tercakup konsep-konsep seperti kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan berafiliasi, kebiasaan dan keingintahuan seseorang terhadap sesuatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Maslow yang dikutip oleh Hamzah B. Uno (2007: 5) bahwa: Motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan. Kekuatan-kekuatan ini pada dasarnya dirangsang oleh adanya berbagai macam kebutuhan, seperti (1) keinginan yang hendak dipenuhinya (2) tingkah laku (3) tujuan (4) umpan balik.
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa motivasi terjadi apabila seseorang mempunyai keinginan dan kemauan untuk melakukan suatu kegiatan atau tindakan dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
35
Sehubungan dengan kebutuhan hidup manusia yang mendasari motivasi, Maslow yang dikutip oleh Hamzah B. Uno (2007: 6) mengungkapkan sebagai berikut : Bahwa kebutuhan manusia secara hierarkis semuanya laten dalam manusia. Kebutuhan tersebut mencakup kebutuhan fisiologis (sandang pangan), kebutuhan rasa aman (bebas bahaya), kebutuhan kasih sayang, kebutuhan dihargai dan dihormati serta kebutuhan aktualisasi diri. Aktualisasi diri, penghargaan atau penghormatan, rasa memiliki dan rasa cinta atau sayang, perasaan aman dan tentram merupakan kebutuhan fisiologis mendasar.
Atas dasar uraian tersebut jelaslah bahwa motivasi merupakan kekuatan yang ada pada diri manusia sehingga akan berkaitan dengan persoalan, gejala kejiwaan perasaan dan emosi untuk bertindak dan kemudian melakukan sesuatu, kesemuanya itu didorong karena adanya tujuan, kebutuhan atau keinginan. Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Seperti yang dikemukakan oleh Sardiman (1994: 75) bahwa : Motivasi belajar siswa adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek pelajar itu dapat tercapai. Siswa yang memiliki motivasi kuat akan mempunyai banyak energi dalam kegiatan belajar.
Hamzah B. Uno (2007: 23) mengemukakan tentang faktor yang muncul dalam motivasi belajar yaitu: Motivasi belajar dapat timbul karena faktor instrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil serta dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif dan kegiatan belajar yang menarik.
36
Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Seperti yang diungkapkan oleh Dimyati & Mudjiono (2002: 85-86) bahwa: Bagi siswa pentingnya motivasi belajar sebagai berikut: (1) menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil akhir, (2) menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, (3) Mengarahkan kegiatan belajar, (4) membesarkan semangat belajar, (5) menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja (di sela-selanya adalah istirahat atau bermain) yang berkesinambungan. Sedangkan bagi guru, manfaatnya adalah sebagai berikut: (1) membangkitkan, meningkatkan dan memelihara semangat siswa untuk belajar sampai berhasil, (2) mengetahui dan memahami motivasi belajar siswa di kelas bermacam ragam, (3) meningkatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu diantara bermacam-macam peran, (4) memberi peluang guru untuk “unjuk kerja” rekayasa pedagogis.
2. Jenis dan Sifat Motivasi Motivasi sebagai kekuatan mental individu memiliki tingkatan. Para ahli ilmu jiwa mempunyai pendapat yang berbeda tentang tingkatan kekuatan tersebut. Dimyati & Mudjiono (2002 : 86) membagi motivasi menjadi 2 jenis sebagai berikut : a. Motivasi primer adalah motivasi yang didasarkan pada motif dasar. Motifmotif dasar tersebut umumnya berasal dari segi biologis atau jasmani manusia. b. Motivasi sekunder adalah motivasi yang dipelajari. Motivasi sekunder memegang peranan penting bagi manusia. Para ahli membagi motivasi sekunder tersebut menurut pandangan yang berbeda-beda. Thomas dan Znaniecki yang dikutip oleh Dimyati & Mudjiono (2002: 88) menggolongkan motivasi sekunder menjadi keinginan-keinginan sebagai berikut : a. b. c. d.
Memperoleh pengalaman baru Untuk mendapat respons Memperoleh pengakuan Memperoleh rasa aman
37
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi primer dan sekunder merupakan dua hal yang sangat penting dalam mempengaruhi perilaku manusia. Hal ini dikarenakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang perilakunya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis saja tetapi juga faktorfaktor sosial. Dimyati dan Mudjiono (2002: 90) mengemukakan bahwa “sifat motivasi dalam diri seseorang dapat bersumber dari dalam diri sendiri yang dikenal sebagai motivasi internal dan dari luar seseorang yang dikenal sebagai motivasi eksternal. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hamzah B. Uno (2007: 7) bahwa : Motivasi terdiri dari: a. Motivasi instrinsik yaitu motivasi yang muncul dari dalam seperti minat atau keingintahuan (curiosity), sehingga seseorang tidak lagi termotivasi oleh bentuk-bentuk insentif atau hukuman. b. Motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang disebabkan oleh keinginan untuk menerima atau menghindari hukuman, motivasi yang terbentuk oleh faktor-faktor eksternal berupa hukuman.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu dorongan yang timbul oleh adanya rangsangan dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) sehingga seseorang berkeinginan untuk mengadakan perubahan tingkah laku tertentu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya. 3. Fungsi dan Tujuan Motivasi Seseorang akan berhasil dalam belajar apabila dalam dirinya tumbuh suatu keinginan untuk belajar. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan
38
menunjukkan hasil yang baik. Bahwa setiap motivasi itu berkaitan erat dengan suatu tujuan atau cita-cita. Semakin berharga tujuan itu bagi yang bersangkutan maka semakin kuat pula motivasinya. Jadi motivasi itu mempunyai fungsi yang sangat penting bagi tindakan seseorang. Seperti yang dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto (2002 : 70) bahwa fungsi dari motivasi yaitu: a. Mendorong manusia untuk berbuat atau bertindak. Motivasi ini berfungsi sebagai penggerak yang memberikan energi atau kekuatan kepada seseorang untuk melakukan suatu tugas. b. Menentukan arah perbuatan yakni ke arah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita. Motivasi mencegah penyelewengan dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan. c. Menyeleksi perbuatan kita. Artinya menentukan perbuatan-perbuatan mana yang harus dilakukan dan yang serasi guna mencapai tujuan itu dengan menyampingkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.
Sementara itu, Eysenck dan kawan-kawan dalam Encyclopedia of Psychology yang dikutip oleh Djaali (2007: 104) mengungkapkan bahwa fungsi motivasi antara lain : Menjelaskan dan mengontrol tingkah laku. Menjelaskan tingkah laku berarti dengan mempelajari motivasi dapat diketahui mengapa siswa melakukan suatu pekerjaan dengan tekun dan rajin sementara siswa lain acuh terhadap pekerjaan itu. Mengontrol tingkah laku maksudnya, dengan mempelajari motivasi dapat diketahui mengapa seseorang sangat menyenangi suatu objek dan kurang menyenangi objek lain. Atas dasar uraian tersebut di atas dapat terlihat jelas bahwa motivasi sangat mempengaruhi dalam kegiatan belajar mengajar. Motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi peserta didik. Semakin tepat motivasi yang diberikan maka akan berhasil pula pelajaran itu. Untuk menghasilkan tujuan belajar yang optimal harus disertai dengan adanya motivasi.
39
M. Ngalim Purwanto (2002: 73) mengemukakan secara umum bahwa tujuan motivasi adalah sebagai berikut : Untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu. Bagi seorang manajer, tujuan motivasi ialah untuk menggerakkan pegawai dalam usaha meningkatkan prestasi kerjanya sehingga tercapai tujuan organisasi yang dipimpinnya. Bagi seorang guru, tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan dan diterapkan dalam kurikulum sekolah.
4. Prinsip-Prinsip Dalam Motivasi Kenneth H. Hover yang dikutip oleh Oemar Hamalik (2003: 163-166) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip motivasi adalah sebagai berikut: a. Pujian lebih efektif daripada hukuman. b. Semua murid mempunyai kebutuhan-kebutuhan psikologis (yang bersifat dasar) tertentu yang harus mendapat kepuasan. c. Motivasi yang berasal dari dalam individu lebih efektif daripada motivasi yang dipaksakan dari luar. d. Terhadap jawaban (perbuatan) yang serasi (sesuai dengan keinginan) perlu dilakukan usaha pemantauan (reinforcement). e. Motivasi mudah menjalar terhadap orang lain. f. Pemahaman yang jelas terhadap tujuan-tujuan akan merangsang motivasi. g. Tugas-tugas yang dibebankan oleh diri sendiri akan menimbulkan minat yang lebih besar untuk mengerjakannya daripada tugas-tugas itu dipaksakan oleh guru. h. Pujian-pujian yang datangnya dari luar (external reward) kadang-kadang diperlukan dan cukup efektif untuk merangsang minat yang sebenarnya. i. Teknik dan proses mengajar yang bermacam-macam adalah efektif untuk memelihara minat murid. 5. Cara Untuk Membangkitkan Motivasi belajar Menurut E. Mulyasa (2005: 85) ada 4 cara yang dapat dilakukan guru untuk membangkitkan motivasi belajar peserta didik yaitu: a. Kehangatan dan semangat b. Membangkitkan rasa ingin tahu
40
c. Mengemukakan ide yang bertentangan d. Memperhatikan minat belajar peserta didik
Sementara itu, menurut M. Uzer Usman (2002: 29-30) ada beberapa cara untuk membangkitkan motivasi ekstrinsik dalam menumbuhkan motivasi instrinsik yaitu: a. Kompetisi (persaingan): guru berusaha menciptakan persaingan diantara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya dan mengatasi prestasi orang lain. b. Pace making (membuat tujuan sementara atau dekat): pada awal kegiatan belajar mengajar guru hendaknya terlebih dahulu menyampaikan kepada siswa TIK yang akan dicapainya sehingga dengan demikian siswa berusaha untuk mencapai TIK tersebut c. Tujuan yang jelas: motif mendorong individu untuk mencapai tujuan. Makin jelas tujuan, makin besar nilai tujuan bagi individu yang bersangkutan dan makin besar pula motivasi dalam melakukan suatu perbuatan. d. Kesempurnaan untuk sukses: kesuksesan dapat menimbulkan rasa puas, kesenangan dan kepercayaan terhadap diri sendiri. e. Minat yang besar: motif akan timbul jika individu mempunyai minat yang besar. f. Mengadakan penilaian atau tes: pada umumnya semua siswa mau belajar dengan tujuan memperoleh nilai yang bagus 6. Upaya Meningkatkan Motivasi Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa motivasi yang dimiliki oleh seseorang dapat bersumber dari dalam diri individu itu sendiri dan dapat pula bersumber dari luar individu. Dalam hal ini perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan dan menumbuhkan motivasi belajar siswa. Sehubungan dengan hal tersebut, Dimyati & Mudjiono (2002: 101) mengemukakan tentang upaya meningkatkan motivasi belajar yaitu: a. Optimalisasi penerapan prinsip belajar b. Optimalisasi unsur dinamis belajar dan pembelajaran c. Optimalisasi pemanfaatan pengalaman dan kemampuan siswa
41
d. Pengembangan cita-cita dan aspirasi belajar Menurut Gage dan Berliner (Slameto, 2003: 176) memberikan beberapa saran dalam upaya meningkatkan motivasi belajar sbagai berikut: a. Pergunakan pujian verbal b. Pergunakan tes dalam nilai secara bijaksana c. Bangkitkan rasa ingin tahu siswa dan keinginannya untuk mengadakan eksplorasi d. Untuk tetap mendapatkan perhatian, sekali-kali pengajar dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. e. Merangsang hasrat siswa dengan jalan memberikan pada siswa contoh hadiah yang akan diterimanya bila ia berusaha untuk belajar. f. Agar siswa lebih mudah memahami bahan pengajaran, pergunakan materimateri yang sudah dikenal sebagai contoh. g. Minta pada siswa untuk mempergunakan hal-hal yang sudah dipelajari sebelumnya. h. Pergunakan simulasi dan permainan i. Perkecil daya tarik sistem motivasi yang bertentangan. j. Perkecil konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan dari keterlibatan siswa k. Pengajar perlu memahami dan mengawasi suasana sosial di lingkungan sekolah, karena hal ini besar pengaruhnya atas diri siswa. l. Pengajar perlu memahami hubungan kekuasaan antara guru dan siswa. Atas dasar uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dari berbagai upaya dalam meningkatkan motivasi itu sangat penting diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar. Upaya tersebut juga dapat dijadikan acuan bagi para pendidik untuk mencapai keberhasilan kegiatan belajar mengajar. 7. Nilai Motivasi Dalam Pengajaran Menurut Oemar Hamalik (2003: 161) bahwa motivasi mengandung nilai-nilai sebagai berikut: a. Motivasi menentukan tingkat berhasil atau gagalnya perbuatan belajar murid. b. Pengajaran yang bermotivasi pada hakikatnya adalah pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, dorongan, motif dan minat yang ada pada murid. Pengajaran yang demikian sesuai dengan tuntutan demokrasi dalam pendidikan.
42
c. Pengajaran yang bermotivasi menuntut kreativitas dan imajinasi guru untuk berusaha secara sungguh-sungguh mencari cara-cara yang relevan dan sesuai guna membangkitkan serta memelihara motivasi belajar siswa. Guru senantiasa berusaha agar murid-murid akhirnya memiliki self motivation yang baik. d. Berhasil atau gagalnya dalam membangkitkan dan menggunakan motivasi dalam pengajaran erat pertaliannya dengan pengaturan disiplin kelas. Kegagalan dalam hal ini mengakibatkan timbulnya masalah disiplin di dalam kelas. e. Asas motivasi menjadi salah satu bagian yang integral daripada asas mengajar. D. Tinjauan Tentang Minat 1.
Pengertian Minat Menurut Djaali (2007: 121) “minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa
keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu diluar diri”. Sementara itu, Crow and Crow yang dikutip oleh Djaali (2007: 121) mengatakan bahwa “minat berhubungan dengan gaya gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi atau berurusan dengan orang, benda, kegiatan dan pengalaman yang dirangsang oleh kegiatan itu sendiri”. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu minat dapat diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya dan dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian. 2. Cara Untuk Meningkatkan Minat Siswa Berbagai pendapat dikemukakan oleh ahli pendidikan mengenai cara yang paling efektif untuk membangkitkan minat siswa. Beberapa cara untuk
43
meningkatkan minat pada siswa seperti diungkapkan Tanner & Tanner yang dikutip oleh Slameto (2003: 181) yaitu: a. Dengan menggunakan minat-minat siswa yang telah ada. Misalnya siswa menaruh minat pada olahraga balap mobil. Sebelum mengajarkan percepatan gerak, pengajar dapat menarik perhatian siswa dengan menceritakan sedikit mengenai balap mobil yang baru saja berlangsung, kemudian sedikit demi sedikit diarahkan ke materi pelajaran yang sesungguhnya. b. Agar pengajar berusaha untuk membentuk minat-minat baru pada diri siswa. Ini dapat dicapai dengan jalan memberikan informasi pada siswa mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan dengan bahan pengajaran yang lalu dan menguraikan kegunaannya bagi siswa di masa yang akan datang.
E. Tinjauan Tentang Belajar 1. Pengertian Belajar Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Berbagai pengertian dikemukakan oleh para ahli. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti yang diungkapkan oleh Slameto (2003: 2) mengemukakan bahwa “belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. James O. Wittaker yang dikutip oleh Wasty Soemanto (2006: 104) mengemukakan bahwa “belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah
44
laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman”. Tokoh pendidikan lain yang mengemukakan mengenai konsep belajar antara lain, menurut Howard L. Kingsley yang dikutip oleh Wasty Soemanto (2006: 104) bahwa “belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam artian luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan”. Banyak tokoh yang mengemukakan mengenai belajar. Sementara itu, Thorndike yang dikutip oleh Hamzah B. Uno (2007: 11) berpendapat bahwa “belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan atau gerakan) dan respon (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan atau gerakan)”. Menurut W. H. Burton yang dikutip oleh M. Uzer Usman (2002: 5) “belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkungannya”. Berdasarkan beberapa definisi belajar di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia dan suatu pengalaman yang diperoleh berkat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil dari belajar. Belajar menunjukkan suatu proses perubahan prilaku seseorang berdasarkan pengalaman tertentu. Menurut M. Uzer Usman (2002: 5) “dalam definisi belajar terdapat kata perubahan yang berarti bahwa seseorang setelah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya maupun aspek sikapnya”.
45
Slameto (2003: 3) mengemukakan mengenai ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Perubahan terjadi secara sadar Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Berlandaskan definisi mengenai makna belajar, perlu kiranya dikemukakan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belajar. Dalam hal ini Slameto (2003: 27) mengemukakan bahwa ada beberapa prinsip yang penting untuk diketahui, antara lain: a. Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar 1) Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisipasi aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional 2) Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan instruksional 3) Belajar perlu lingkungan yang menantang di mana anak dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif 4) Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya. b. Sesuai dengan hakekat belajar 1) Belajar itu proses kontinu, maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya 2) Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery 3) Belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan. Stimulus yang diberikan menimbulkan respon yang diharapkan. c. Sesuai materi yang dipelajari 1) Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur dan penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya 2) Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya. d. Syarat keberhasilan belajar 1) Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang
46
2) Repetisi, dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian atau keterampilan itu mendalam pada siswa. 2. Jenis-Jenis Belajar Sebagaimana telah kita ketahui bahwa belajar adalah proses perilaku seseorang berdasarkan interaksi antara individu dan lingkungannya yang dilakukan secara formal, informal dan non formal. Untuk itu penulis kemukakan jenis-jenis belajar menurut Slameto (2003: 4) sebagai berikut: a. Belajar bagian (part learning, fractioned learning) Umumnya belajar bagian dilakukan oleh seseorang bila ia dihadapkan pada materi belajar yang bersifat luas atau ekstensif. Dalam hal ini individu memecah seluruh materi pelajaran menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri. b. Belajar dengan wawasan (learning by insight) Konsep ini diperkenalkan oleh W. Kohler dalam menerangkan wawasan berorientasi pada data yang bersifat tingkah laku (perkembangan yang lembut dalam menyelesaikan suatu persoalan dan kemudian secara tiba-tiba terjadi reorganisasi tingkah laku). c. Belajar diskriminatif (discriminatif learning) Belajar diskriminatif diartikan sebagai suatu usaha memilih beberapa sifat situasi atau stimulus dan kemudian menjadikannya sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Dengan pengertian ini maka dalam eksperimen, subyek diminta untuk berespon berbeda-beda terhadap stimulus yang berlainan. d. Belajar keseluruhan (global whole learning) Disini bahan pelajaran dipelajari secara keseluruhan berulang sampai pelajar menguasainya.
47
e. Belajar insidental (incidental learning) Dalam belajar insidental pada individu tidak ada sama sekali kehendak untuk belajar. Atas dasar ini maka untuk kepentingan penelitian, disusun perumusan operasional sebagai berikut: belajar disebut insidental bila tidak ada petunjuk yang diberikan pada individu mengenai materi belajar yang akan diujikan kelak. f. Belajar instrumental (instrumental learning) Pada belajar instrumental, reaksi-reaksi seseorang siswa yang diperhatikan diikuti oleh tanda-tanda yang mengarah pada apakah siswa tersebut akan mendapat hadiah, hukuman, berhasil atau gagal. g. Belajar intensional (intentional learning) Belajar dalam arah tujuan merupakan lawan dari belajar insidental. h. Belajar laten (latent learning) Dalam belajar laten, perubahan-perubahan tingkah laku yang terlihat tidak terjadi secara segera dan oleh karena itu disebut laten. i. Belajar mental (mental learning) Belajar mental sebagai belajar dengan cara melakukan observasi dari tingkah laku orang lain, membayangkan gerakan-gerakan orang lain dan lain-lain. j. Belajar produktif (productive learning) R. Berguis (1964) memberikan arti belajar produktif sebagai belajar dengan transfer yang maksimum. Belajar adalah mengatur kemungkinan untuk melakukan transfer tingkah laku dari satu situasi ke situasi lain. Belajar disebut produktif bila individu mampu mentransfer prinsip menyelesaikan satu persoalan dalam satu situasi ke situasi lain.
48
k. Belajar verbal (verbal learning) Belajar verbal adalah belajar mengenai materi verbal dengan melalui latihan dan ingatan. 3. Teori Belajar Kegiatan belajar itu begitu kompleks, maka timbul beberapa teori tentang belajar. Untuk lebih jelas di bawah ini terdapat teori-teori mengenai belajar. a. Teori belajar menurut Gestalt Teori ini dikemukakan oleh Koffa dan Kohler dari Jerman. Hukum yang berlaku pada pengamatan adalah sama dengan hukum dalam belajar yaitu : 1) Gestalt mempunyai sesuatu yang melebihi jumlah unsur-unsurnya 2) Gestalt timbul lebih dahulu daripada bagian-bagiannya. Jadi dalam belajar yang penting adalah adanya penyesuaian pertama yaitu memperoleh respons yang tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi. Belajar yang penting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Slameto (2003: 9) mengemukakan bahwa Sifat-sifat belajar dengan insight ialah : 1) Insight tergantung dari kemampuan dasar 2) Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan 3) Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati 4) Insight adalah hal yang harus dicari, tidak dapat jatuh dari langit 5) Belajar dengan insight dapat diulangi 6) Insight sekali didapat dapat digunakan untuk menghadapi situasi-situasi yang baru. b. Teori belajar menurut J. Bruner Menurut J. Bruner yang dikutip oleh Slameto (2003: 11) bahwa “belajar tidak untuk mengubah tingkah laku seseorang tetapi untuk mengubah kurikulum
49
sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar lebih banyak dan mudah”. Sebab itu Bruner mempunyai pendapat, alangkah baiknya bila sekolah dapat menyediakan kesempatan bagi siswa untuk maju dengan cepat sesuai dengan kemampuan siswa dalam mata pelajaran tertentu. Di dalam proses belajar Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk meningkatkan proses belajar perlu lingkungan yang dinamakan “discovery learning environment”, ialah lingkungan di mana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. c. Teori belajar menurut Piaget Pendapat Piaget
yang dikutip oleh Slameto (2003: 12) mengenai
perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut: 1) Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas untuk menyatakan kenyataan dan untuk menghayati dunia sekitarnya, maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar. 2) Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan yang sama bagi semua anak. 3) Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak. 4) Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu kemasakan, pengalaman, interaksi sosial dan equilibration (proses dari ketiga faktor di atas bersama-sama untuk membangun dan memperbaiki struktur mental). 5) Ada 3 tahap perkembangan, yaitu: a). Berpikir secara intuitif + 4 tahun. b). Beroperasi secara konkret + 7 tahun c). Beroperasi secara formal + 11 tahun.
50
d. Teori belajar dari R. Gagne Menurut Gagne yang dikutip oleh Slameto (2003: 13-14) memberikan dua definisi belajar yaitu sebagai berikut: 1) Belajar ialah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku 2) Belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi. Menurut Gagne bahwa segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat menjadi 5 kategori yang disebut dengan “The domains of learning” yaitu: 1) Keterampilan motoris 2) Informasi verbal 3) Kemampuan intelektual 4) Strategi kognitif 5) Sikap. e. Purpose learning Menurut Slameto (2003: 15) yang dimaksud dengan “purposeful learning adalah belajar yang dilakukan dengan sadar untuk mencapai tujuan dan yang: 1) Dilakukan siswa sendiri tanpa perintah atau bimbingan orang lain 2) Dilakukan siswa dengan bimbingan orang lain di dalam situasi belajar mengajar di sekolah. f. Belajar dengan jalan mengamati dan meniru (observational learning and imitation)
51
Bandura dan Walters yang dikutip oleh Slameto (2003: 21) mengemukakan bahwa “tingkah laku baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu model atau contoh”. Model yang diamati dan ditiru siswa dapat digolongkan menjadi: 1) Kehidupan yang nyata, misalnya orang tua di rumah, guru di sekolah dan orang lain dalam masyarakat 2) Simbolik, termasuk dalam golongan ini adalah model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar 3) Representasional, termasuk dalam golongan ini adalah model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, terutama televisi dan video. g. Belajar yang bermakna (meaningful learning) Ada 2 dimensi dalam tipe-tipe belajar, yaitu: 1) Dimensi menerima (reception learning) dan menemukan (discovery learning) 2) Dimensi menghafal (rote learning) dan belajar bermakna (meaningful learning).
4. Ciri-Ciri Belajar Untuk lebih memahami konsep tentang belajar, berikut ini ciri-ciri belajar antara lain: Tabel 1. 1 Ciri-Ciri Umum Pendidikan, Belajar dan Perkembangan Unsur-Unsur Pendidikan Belajar Perkembangan 1. Pelaku Guru sebagai pelaku Siswa yang Siswa yang mendidik dan siswa bertindak belajar mengalami yang terdidik atau pelajar perubahan 2. Tujuan
Membantu siswa Memperoleh hasil untuk menjadi pribadi belajar dan yang utuh pengalaman hidup
Memperoleh perubahan mental
52
3. Proses
Proses interaksi sebagai faktor eksternal belajar
Internal pada diri pembelajar
Internal pada diri pembelajar
4. Tempat
Lembaga pendidikan sekolah dan luar sekolah Sepanjang hayat dan sesuai dengan jenjang
Sembarang tempat
Sembarang tempat
Sepanjang hayat
Sepanjang hayat
6. Syarat terjadi
Guru memiliki kewibawaan pendidikan
Motivasi belajar kuat
Kemauan mengubah diri
7. Ukuran keberhasilan
Terbentuk pribadi terpelajar
Dapat memecahkan masalah
Terjadinya perubahan positif
8. Faedah
Bagi masyarakat mencerdaskan kehidupan bangsa
Bagi pembelajar mempertinggi martabat pribadi
Bagi pembelajar memperbaiki kemajuan mental
9. Hasil
Pribadi sebagai pembangun yang produktif dan kreatif
Hasil belajar sebagai dampak pengajar dan pengiring
Kemajuan ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
5. Lama waktu
Adaptasi dari Monks, Knoers, Siti Rahayu (1989), Biggs dan Telfer (1987), dan Winkel (1991) dalam Dimyati dan Mudjiono (2002: 8).