BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Falsifikasi Teori Falsifikasi dikembangkan oleh Karl Raimund Popper, dengan bukunya yang berjudul The Logic of Scientific discovery pada tahun 1934.Dalam bukunya tersebut, Karl Popper mengajukan gagasan mengenai falsifikasi yang merupakan kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran lewat fakta-fakta. Karl Popper menjelaskan bahwa proses verifikasi sangat lemah. Verifikasi hanya bekerja melalui logika induksi.Logika induksi adalah penyimpulan suatu teori umum dari pembuktian fakta-fakta partikular.Karl Popper lebih cenderung menggunakan falsifikasi karena fokus penelitian sains bukanlah pembuktian positif, namun pembuktian negatif. Artinya, fokus penelitiannya yaitu membuktikan suatu teori umum adalah salah dengan menyodorkan sebuah bukti yang membuktikan bahwa ia salah. Hal ini dapat membuat penelitian ilmiah lebih efisien karena teori langsung dapat dipastikan gugur hanya dengan sebuah fakta. Berbeda halnya dengan verifikasi yang membutukan banyak sampel untuk bisa mengambil kesimpulan tetapi tidak bisa menjamin teori tersebut benar.Karena bagaimanapun, sampel hanya bagian kecil dari keseluruhan objek penelitian.
8
9
Kesimpulan dari filsafat ilmu Karl Popper yaitu selama suatu teori belum bisa difalsifikasi, maka ia akan dianggap benar. Maksudnya, keyakinan kebenaran terhadap teori adalah tidak mutlak, hanya merupakan keyakinan yang memadai.Atau bisa juga dikatakan bahwa dalam filsafat ilmu Karl Popper memiliki mild skepticism terhadap sebuah teori. Namun pada saat teori tersebut difalsifikasi, maka hal tersebut menimbulkan keyakinan mutlak bahwa teori tersebut salah. Artinya, yang akan memberikan keyakinan mutlak adalah falsifikasi, bukan verifikasi.
B. Teori Moral Kognitif Teori ini dikembangkan oleh Jean Piaget (1932) yang merupakan peneliti pertama yang mengungkapkan konsep perkembangan moral (moral development) dalam monografinya yang berjudul “The Moral Judgement of a Child”. Piaget membagi perkembangan kognitif anak dan remaja ke dalam empat tahap, yaitu: sensorimotor (usia 0-2 tahun), pra operasional (usia 2-7 tahun), operasi kongkrit (usia 7-11 tahun), dan operasi formal (usia 11 tahun sampai dewasa). Kecepatan dalam perkembangan tiap individu melalui urutan tiap tahap ini berbeda dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Kohlberg et al. (1984) menyebutkan bahwa teori perkembangan moral berkembang menjadi teori perkembangan moral kognitif (cognitive moral development-CMD) modern yang diciptakan oleh Lawrence Kohlberg pada tahun 1950an. Ini merupakan
10
pengembangan dari teori yang dimilki Piaget sehingga mencakup penalaran remaja dan orang dewasa. Kohlberg (2009) menambahkan perkembangan moral kognitif terdiri dari enam tahap hirarkis yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu: 1. Tingkatan Prakonvensional (tahap 1 dan 2) Dimana individu mempersepsikan aturan dan ekspektasi sosial sebagai halhal di luar dirinya; rasa takut akan hukuman adalah motivasi utama untuk mengikuti aturan-aturan sosial pada tahap ini. 2. Tingkatan Konvensional (tahap 3 dan 4) Individu mengidentifikasi dirinya denga suatu kelompok sosial dan menginternalisasi aturan-aturan kelompok serta ekspektasi-ekspektasi dari orang lain di dalam kelompok, terutama orang yang memiliki autoritas. 3. Tingkatan Pascakonvensional (tahap 5 dan 6) Seseorang mendiferensiasi self-esteem-nya dari aturan-aturan dan ekspektasi orang lain serta menentukan nilai-nilai pribadi terkait dengan prinsip-prinsip yang dipilihnya sendiri. Mintchik dan Farmer (2009) menyebutkan teori perkembangan kognitif (cognitive moral development-CMD) menekankan kepada proses berpikir moral (moral thought process), apa yang dipikirkan seorang individu
dalam
menghadapi sebuah dilema etika. Teori perkembangan moral kognitif (cognitive moral development-CMD) ini berbeda dengan kerangka filsafat moral yang mengevaluasi sikap sadar terhadap perilaku
etis
karena
bergerak
lebih
dalam
ke
lapisan
sadar
jiwa
manusia.Berdasarkan teori ini, praktik-praktik yang ada dalam bidang auditing menjadi suatu pembelajaran dan pengalaman bagi auditor karena dapat diaplikasikan dalam tugas yang dikerjakannya.Sehingga keahlian yang dimiliki
11
semakin berkembang dan mempermudah seorang auditor dalam melakukan investigasi. C. Teori Fraud Triangle Teori Fraud Triangle merupakan gagasan dari Donald R. Cressey (1953) yang meneliti atas faktor-faktor penyebab orang-orang melakukan fraud dengan mengetahui alasan orang melakukan penggelapan yang disebutnya sebagai pengkhianat kepercayaan.Cressey menarik hipotesis dari 200 orang yang dihukum karena melakukan fraud berupa penggelapan. Orang yang semula dapat dipercaya menjadi seorang pengkhianat ketika mereka menghadapi masalah keuangan yang serius, dimana masalah tersebut tidak dapat dibagikan kepada orang lain. Mereka menyadari bahwa masalah keuangan yang mereka alami mereka pecahkan dengan melakukan pelanggaran. Mereka menciptakan persepsi untuk diri mereka sendiri bahwa mereka meminjam dana tersebut, bukan mencurinya. Dari hipotesa Cressey inilah yang kemudian berkembang menjadi dasar pemikiran mengapa orang melakukan kecurangan (fraud).Hipotesis tersebut dikenal sebagai Fraud Triangle.Dimana bagian-bagian setiap kaki segitiga menggambarkan adanya kebutuhan keuangan yang tidak dapat dibagi dengan orang lain sebagai faktor penekan (pressure). Faktor kedua menggambarkan adanya
kesempatan
(opportunity)
rasionalisasi (rationalization).
dan
faktor
terakhir
menggambarkan
12
Menurut Cressey, ada tiga faktor yang menyebabkan orang melakukan fraud, yaitu: 1. Adanya masalah keuangan serius yang tidak terpecahkan. 2. Adanya kesempatan. 3. Rasionalisasi. Cressey (1953) menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi dasar timbulnya masalah keuangan serius yang tidak terpecahkan, yaitu: a. Kegagalan memenuhi harapan yang diwajibkan. Orang-orang yang mempunyai posisi terhormat biasanya dituntut untuk tidak terlibat dengan minuman keras ataupun judi yang dianggap memalukan dan tidak bermartabat. Jadi ketika orang tersebut kehilangan uang karena salah satu kegiatan diatas, mereka malu untuk mengungkapkannya kepada orang lain dan memilih menyelesaikan masalahnya dengan melakukan kecurangan (fraud). b. Kebiasaan pribadi yang tidak baik. Seseorang yang mempunyai harga diri yang sangat tinggi biasanya tidak akan mau mengakui kegagalannya dan berusaha menutupi kegagalannya dengan berbagai cara, termasuk di dalamnya mencuri uang (fraud) untuk menutupi kegagalannya di mata masayarakat. c. Kegagalan bisnis. Kegagalan bisnis ini berbeda dengan kebiasaan pribadi yang tidak baik.Dalam hal ini, kegagalan terjadi karenafaktor diluar control, misalnya inflasi yang tiba-tiba tinggi, pemotongan nilai uang, dan sebagainya.Untuk menutupi hal tersebut, pengusaha dapat meminjam ke bank tetapi dengan menggunakan jaminan palsu. d. Diisolasi (terpisah) secara fisik. Ketiadaan orang yang dapat diajak untuk berunding dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi dan nekat melakukan kecurangan (fraud). e. Gaya hidup di luar kebiasaan. Orang yang tidak bisa menerima kenyataan, misalnya ia berada pada status keuangan menengah ke bawah , akan tetapi berusaha untuk enutupi kenyataan itu dengan tetap membeli barang-barang yang sebenarnya berada di luar kemampuannya. Untuk membayar dia terpaksa berhutang dan ketika hutangnya menumpuk, ia akan melakukan pencurian baik secara terangterangan (merampok) atau dengan melakukan penggelapan (fraud). f. Hubungan pegawai-bos yang tidak baik.
13
Pegawai yang dibayar terlalu rendah di bawah batas kewajaran , atau merasa dimanfaatkan oleh bosnya, biasanya lebih mudah gelap mata ketika mengalami himpitan keungan. Penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi kecurangan laporan keuangan juga dilakukan oleh Persons (1995) dan Kaminski et al.(2004). Mereka mengembangkan model prediksi kecurangan menggunakan rasio keuangan. Namun, model tersebut mengalami tingkat kesalahan klasifikasi yang tinggi (Skousen et al., 2009). Dari ketiga teori tersebut yang menjadi landasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa satu sama lain berkaitan dalam pembuktian kecurangan yang dilakukan oleh auditor investigatif. Dimana Teori Falsifikasi dalam membuktikan kecurangan berdasarkan fakta-fakta yang ditemui dalam penyelidikan, sedangkan Teori Moral Kognitif di aplikasikan untuk kemampuan auditor, dimana menurut teori ini praktik-praktik dalam auditing menjadi pembelajaran serta menambah pengalaman auditor invstigatif tersebut sehingga kemampuan yang dimiliki semakin berkembang dan mempermudah dalam pekerjaannya. Untuk Teori Fraud Triangleini merupakan pendeteksian awal dalam mengungkapkan kecurangan, dilihat dari faktor-faktor penyebab orang-orang melakukan kecurangan, dengan disertai alasan yang melatarbelakangi tindakan tersebut.
14
D. Tinjauan Umum Atas Audit Informasi yang dapat diandalkan sangat dibutuhkan bagi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan ekonomi. Informasi akan lebih dipercaya jika informasi tersebut dibuat oleh pihak yang independen dan kompeten. 1. Pengertian Audit Menurut Arens, et al (2011:4) definisi audit adalah: Pengumpulan dan evaluasi bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi tersebut dengan kriteria yang lebih ditetapkan. Audit harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.
Kohler (2010:4) menyebutkan bahwa auditing adalah: Auditing is an explorotary, critical review by a profesional account of the underlying internal control and accounting records of a business enterprises or other economic unit, precedent to the expression by the auditor of an opinion of the propriety (fairness) of its financial statement.
Messier (2006) mengungkapkan bahwa auditing adalah: Suatu proses sistematis mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif sehubungan dengan asersi atas tindakan dan peristiwa ekonomi untuk memastikan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dan menetapkan kriteria serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Menurut Agoes (2004:3) definisi auditing sebagai berikut: Auditing merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti
15
pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat nsmemberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
2. Jenis Audit Arens, et al (2011:16), mengungkapkan bahwa audit dapatdigolongkan menjadi tiga jenis, yaitu: a. Audit Laporan Keuangan (financial statement audit) Merupakan
audit
laporan
keuangan
yang
dilakukan
untuk
menentukan apakah laporan keuangan (informasi yang diverifikasi) telah dinyatakan sesuian dengan kriteria tertentu. Biasanya, kriteria yang berlaku adalah prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP), walaupun auditor mungkin saja melakukan audit atas laporan keuangan yang disusun dengan menggunakan akuntansi dasar kas atau beberapa dasar lainnya yang cocok untuk organisasi tersebut. b. Audit Ketaatan (compliance audit) Audit ketaatan dilaksanakan untuk menetukan apakah pihak yang diaudit telah mengikuti prosedur, aturan, atau ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi. Hasil dari audit ketaatan biasanya dilaporkan kepada manajemen, bukan kepada pengguna luar, karena manajemen adalah kelompok utama yang berkepentingan dengan tingkat ketaatan terhadap prosedur dan peraturan yang digariskan.
16
c. Audit Operasional Audit operasional mengevaluasi efisiensi dan efektivitas setiap bagian dari prosedur dan metode operasi organisasi. Pada akhir audit operasional, manajemen biasanya mengharapkan saran-saran untuk memperbaiki operasi. Dalam audit operasional, review atau penelaahan yang dilakukan tidak terbatas pada akuntansi, tetapi dapat mencakup evaluasi atas struktur organisasi, operasi komputer, metode produksi, pemasaran, dan semua bidang lain di mana auditor menguasainya. 3. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Menurut Arens et al. (2011:42) standar auditing terdiri dari sepuluh standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Standar Umum 1) Audit harus dilakukan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan dan memiliki kecakapan teknis yang memadai sebagai seorang auditor. 2) Auditor harus mempertahankan sikap mental yang independendalam semua hal yang berhubungan dengan audit. 3) Auditor harus menerapkan kemahiran profesional dalam melaksanakan audit dan menyusun laporan. b. Standar Pekerjaan Lapangan 1) Auditor harus merencanakan pekerjaan secara memadai dan mengawasi semua asisten sebgaimana mestinya. 2) Auditor harus memperoleh pemahaman yang cukup mengenai entitas serta lingkungannya, termasuk pengendalian internaluntuk sifat, waktu, serta luas prosedur audit selanjutnya. 3) Auditor harus memperoleh cukup bukti audit yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar memiliki dasar yang layak untuk memeberikan pendapat yang menyangkut laporan keuangan yang diaudit. c. Standar Pelaporan
17
1) Auditor harus menyatakan dalam laporan auditor apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan standar akuntansi di Indonesia. 2) Auditor harus mengidentifikasikan dalam laporan auditor mengenai keadaan dimana standar tersebut tidak secara konsisten diikuti selama periode berjalan jika dikaitkan dengan periode sebelumnya. 3) Jika auditor menetapkan bahwa pengungkapan yang informatif belum memadai, maka auditor harus menyatakannya dalam laporan auditor. 4) Auditor harus menyatakan pendapat mengenai laporan keuangan, secara keseluruhan atau menyatakan bahwa suatu pendapat tidak bisa diberikan, dalam laporan auditor.
4. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Standar Pemeriksaan Keuangan Negara merupakan patokan bagi para pemeriksa dalam melakukan tugas pemeriksaannya. Seiring dengan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah. SPKN ditetapkan dengan peraturan BPK Nomor 01 Tahun 2007 sebagaimana amanat Undang-Undang yang ada. Untuk itu, sejak ditetapkan Peraturan BPK dan dimuatnya dalam Lembaga Negara, SPKN akan mengikat BPK maupun pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan keuangan negara untuk dan atas nama BPK. Di dalam SPKN tersebut memuat 12 pasal yang berisikan pendahuluan standar pemeriksaan yang memuat persyaratan profesional pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan, dan persyaratan laporan pemeriksaan yang profesional. SPKN juga memuat tujuh pernyataan standar pemeriksaan (PSP)
18
yakni standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan keuangan dan standar pelaporan pemeriksaan keuangan.Empat standar lainnya yakni standar pelaksana pemeriksaan kinerja, standar pelaporan pemeriksaan kinerja, standar pelaksana pemeriksaan dengan tujuan tertentu, serta standar pelaporan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Tujuan dari SPKN ini adalah untuk menjadi ukuran mutu bagi para pemeriksa dan organisasi pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Anwar (2007) menyatakan bahwa seiring dengan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah dan berkualitas, menuntut BPK untuk menyempurnakan standar audit pemerintahan (SAP) 1995. Namun, kini SAP 1995 menurut Anwar (2007) sudah tidak dapat memenuhi dinamika saat ini. Terlebih lagi sejak adanya reformasi konstitusi di bidang pemeriksaan, maka untuk memenuhi amanat Pasal 5 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa keuangan, BPK harus menyusun standar pemerriksaan yang dapa menampung hal tersebut. Pemeriksaan berdasarkan SPKN berlaku untuk semua pemeriksaan yang dilaksanakan untuk entitas program kegiatan. Selain itu, juga untuk fungsi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan, dan tanggung jawab keuangan negara, yang termasuk APBN, APBD, BUMN, BUMD, lembaga
19
dan swasta yang menerima subsidi, atau aliran dana dari negara. SPKN dapat pula digunakan oleh aparat pengawasan. Baik itu dari anggota DPR, DPD dan DPRD serta masyarakat luas dpat menggunakan SPKN untuk memahami laporan audit BPK. 5. Prosedur Audit Prosedur audit adalah urutan langkah yang harus ditempuh auditor saat melakukan audit dalam rangka memperoleh bukti. Jadi, prosedur audit akan memberikan petunjuk atau perintah kepada tim audit mengenai apa yang harus dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan audit (Sudarmo, dkk, 2009:70). Sedangkan prosedur audit menurut Agoes (2004) dalam Ariani dan Lautania (2008: 163-170) merupakan langkah-langkah yang harus dijalankan auditor dalam melaksanakan pemeriksaannya dan sangat diperlukan oleh asisten agar tidak melakukan penyimpangandan dapat bekerja secara efisien dan efektif. Adapun prosedur audit yang biasa dilakukan oleh auditor menurut Arens et.al (2011:158), meliputi: 1) Pemeriksaan Fisik
Prosedur ini merupakan pemeriksaan atau penghitungan yang dilakukan oleh auditor atas asset berwujud. 2) Konfirmasi Prosedur ini merupakan jawaban lisan atau tertulis yang diterima dari pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi atas keakuratan informasi yang diminta oleh auditor. 3) Dokumentasi
20
Prosedur ini merupakan pemeriksaan auditor atas dokumendokumen dan catatan-catatan klien untuk membuktikan informasi yang harus, atau sebaiknya dimasukkan dalam laporan keuangan. 4) Prosedur Analitis Prosedur ini menggunakan perbandingan dan keterkaitan untuk menilai apakah saldo-saldo akun atau data lain yang muncul telah disajikan secara wajar dibandingkan dengan perkiraan auditor. 5) Tanya Jawab dengan Klien Prosedur ini merupakan diperolehnya jawaban tertulis atau informasi dari klien sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan auditor. 6) Penghitungan Ulang Prosedur ini mencakup pengecekan ulang atas contoh-contoh perhitungan yang dilakukan oleh klien. 7) Pengerjaan Ulang Prosedur ini merupakan pengujian yang dilakukan oleh seorang auditor independen terhadap prosedur pembukuan atau pengendalian yang awalnya dilakukan sebagai bagian dari pembukuan entitas dan sistem pengendalian internal. 8) Pengamatan Pengamatan adalah penggunaan panca indera untuk menilai aktivitas-aktivitas klien.Sepanjang melakukan penugasan terhadap klien, auditor mendapatkan kesempatan untuk menggunakan panca indera mereka-penglihatan, pendengaranm sentuhan dan penciuman-untuk mengevaluasi banyak hal.
E. Efektivitas Pelaksanaan Prosedur Audit Dalam Pembuktian Kecurangan 1. Pengertian Efektivitas Agung Kurniawan (2005:109) mengemukakan bahwa efektivitas merupakan: Kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya.
21
Efektivitas menurut Adurahmat (2003:92) adalah: Pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Efektivitas merupakan kemampuan
dalam
melaksanakan
tugas
secara
tepat
waktu
yang
memanfaatkan sumber daya dengan menggunakan sarana dan prasarana sehingga tujuan atau target yang akan dicapai menjadi jelas. Konsep efektivitas dapat mengupayakan evaluasi jalannya suatu organisasi. Konsep tersebut merupakan salah satu faktor untuk menentukan apakah perlu dilakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk dan manajemen organisasi atau tidak. Oleh sebab itu tingkat pencapaian tujuan dalam organisasi dikatakan efektif apabila pencapaian itu sesuai dengan tujuan organisasi dan memberikan hasil yang bermanfaat. Efektivitas pelaksanaan prosedur audit dalam pembuktian kecurangan dapat diartikan sejauh mana tersebut dapat menggambarkan proses suatu kegiatan yang dapat menghasilkan hipotesis audit investigasi. 2. Prosedur Pelaksanaan Audit Menurut Khairansah dalam Majalah Surya 15 April 2005 dalam Rika Fitriani (2012) mengungkapkan bahwa prosedur audit investigasi dilakukan melalui lima tahap, yaitu: penerimaan data awal, telaah dan analisis data, indikasi adanya korupsi atau tidak, perencanaan auidt dan pelaksanaan audit.
22
Adapun tahap pelaksanaan audit sendiri terdiri dari tahap observasi , pemeriksaan dokumen dan wawancara. Audit investigatif dapat dilaksanakan berdasarkan pada pendekatan dan penilaian secara logis (Sudarmo, dkk, 2008:77) terhadap: 1) Individu dan segala sesuatu/benda yang terkait dengan perbuatan fraud. Individu mencakup; korban, pelapor, saksi, pelaku yang secara keseluruhan akan menjadi subyrk wawancara dalam pelaksanaan investigasi. 2) Benda mencakup; sarana dan segala jenis peralatan yang terkait untuk melakukan perbuatan fraud,yang akan menjadi subyek pembuktian fisik.
Sudarmo, dkk dengan modul yang berjudul Fraud auditing (2008) juga menyebutkan dalam proses audit investigatif mencakup sejumlah tahapan yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Penelaahan Informasi Awal Pada proses ini pemeriksa melakukan: pengumpulan sumber informasi, mengembangkan hipotesis awal, menyusun hasil telaahan informasi awal, kemudian dilakukan keputusan pelaksanaan audit investigatif. 2. Perencanaan Pemeriksaan Investigatif Pada tahapan perencanaan dilakukan: penetapan sasaran, ruang lingkup dan susunan tim, kemudian dilakukan penyusunan program kerja, jangka waktu dan anggaran biaya. Perencanaan audit investigatif dapat dilakukan dengan metode SMEAC (Situation, Mission, Execution, Administration & Logistics, Communcation). 3. Pelaksanaan Audit Pelaksanaan audit investigatif didahului dengan menghubungi pimpinan auditan untuk mengadakan pembicaraan pendahuluan seperti menjelaskan tujuan audit dan mendapatkan informasi tambahan dari auditan dalam angka melengkapi informasi yang telah diperoleh. Selanjutnya melaksanakan program kerja kemudian auditor menggunakan berbagai teknik audit serta mengumpulkan berbagai jenis bukti secara legal.Setelah itu, melakukan observasi dan pengujian fisik, lalu melakukan wawancara, dari hasil
23
wawancara, auditor meminta pihak yang diwawancarai menandatangani Berita Acara Permintaan Keterangan guna menegaskan ketepaan kesaksiannya. Kemudian yang tahap terakhir dalam pelaksanaan audit yaitu pendokumentaian dan evaluasi kecukupan bukti. 4. Pelaporan Hasil Audit Penyusunan Laporan merupakan fase tahap akhir dari kegiatan audit investigatif. Dalam laporan hasil audit investigatif disajikan temuan dan informasi penting lainnya. Laporan ini harus disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk keperluan: a. Dalam rangka kerjasama antara unit pengawasan internal dengan lembaga penegakan hokum untuk menindaklanjuti adanya indikasi tindak pidana korupsi. Maka laporan hasil audit investigatif tersebut harus mudah dipahami oleh penggunanya, dalam hal ini para staf lembaga penegakan hukum yang terkait. b. Memudahkan pejabat yang berwenang dan atau pejabat obyek yang diperiksa dalam mengambil tindakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5. Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Audit Investigatif Pada tahapan tindak lanjut ini, proses yang dilakukan yaitu penanganan temuan berindikasi tindak lanjut pidana korupsi. Apabila dari hasil audit tersebut terdapat indikasi tindak penyimpangan yang mengandung unsur-unsur tindak pidana korupsi (TPK), maka tim mengeksposekan materi yang tertuang dalam laporan Hasil Audit Investigatif. Ekspose dilakukan secara intern di lingkungan unit pengawasan di hadapan para pejabat yang terkait, dengan menyertakan pejabat dari Biro Hukum. Selanjutnya instansi yang berwenang menangani tindak pidanan KKN, sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian langkah berikutnya mengekspose hasil audit investigatif yang tujuannya untuk mengkomunikasikan materi temuan secara efektif dan efisien. Lalu selanjutnya persiapan sebagai saksi/pemberi keterangan ahli.Pada dasarnya tugas auditor telah selesai sampai dengan diterbitkannya Laporan Hasil Audit. Tuntutan hukum yang merupakan tindak lanjut atas laporan hasil audit fraud merupakan tugas Penyidik dan Penuntut Umum, ataupun Pengacara. Seorang auditor hanya dapat menyajikan buktibukti yang sifatnya sebagai “bukti pendukung” aja dan buka sebagai “bukti yang utama”, karena disebabkan keterbatasan kewenangan yang dimilkinya.
24
F. Kemampuan Auditor Investigatif 1. Pengertian Kemampuan Auditor Menurut Chaplin (2002) dalam Widiastuti (2009) menyatakan, bahwa kemampuan adalah kecakapan, ketangkasan, bakat dan kesanggupan yang merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Pengertian lain dari auditor yang dikemukakan oleh Sulistyowati
(2003) dalam Rika fitriyani (2012) bahwa: Auditor adalah seorang akuntan yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan sebuah entitas untuk menilai kewajaran laporan keuangan tersebut. Untuk dapat melakukan audit investigasi tentu saja diperlukan keahlian khusus. Seorang auditor yang sudah terlatih dalam bidang audit mempunyai potensi untuk menjadi Fraud auditor. Untuk itu seorang auditor disyaratkan harus memiliki kemampuan teknis dan kemampuan non teknis. Keahlian teknis adalah kemampuan mendasar seorang berupa pengetahuan prosedural dan kemampuan klerikal lainnya dalam lingkup akuntansi secara umum dan auditing. 2. Pola Pikir Auditor Padahakikatnya, seorang auditor dituntut agar selalu berpikir kritis, skeptis, tidak mudah percaya dan selalu melihat kemungkinan-kemungkinan terburuk. Cara berpikir auditor untuk bisa menjadi tajam dalam mengidentifikasi kelemahan dan kebocoran terkait dengan pengendalian internalharus tetap diasah, dengan kata lain harus tetap mempelajari dan terus berlatih dalam pengidentifikasian. Namun pendekatan pada saat pelaksanaan audit tidak boleh menuduh dan menghakimi, bahkan sebisa mungkin Auditee diajak untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi fakta, penyebab dan
25
dampak dari kelemahan pengendalian internalyang terjadi di lingkungan bisnis yang menjadi tanggung jawabnya. Menurut Singleton et al(2006:43) selain skeptisisme, auditor investigatif harus mengakui bahwa:
1. Penipuan dapat dideteksi serta ditemukan secara tidak sengaja atau memberi tip. 2. Metodologi audit keuangan dan teknik tidak benar-benar dirancang untuk mendeteksi kecurangan melainkan dirancang untuk mendeteksi salah saji material. 3. Deteksi kecurangan lebih kepada seni daripada ilmu. Dengan membutuhkan pemikiran yang inovatif dan kreatif serta ketelitian. 4. Tekad, ketekunan, dan kepercayaan diri adalah atribut yang lebih penting bagi auditor kecurangan daripada kecerdasan. logika dan pemecahan masalah dan keterampilan detektif merupakan faktor penentu keberhasilan bagi auditor kecurangan dan akuntan forensik. Ada sepuluh pola pikir utama seorang auditor sebagai pengambil resiko yang dikemukakan oleh Eddy Endrawan dalam artikel Internal Audit Indonesia’s (2010), yaitu: 1) Pikirkan apa yang tak terpikirkan. Lihat sebagai pengamat operasional, jangan terlibat emosional dan berinovasilah apa yang sesungguhnya merka butuhkan untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan sebelum, selama dan setelah operasional. 2) Sensitiflah terhadap trend penyimpangan, penyalahgunaan wewenang serta issue internal dan issue eksternal. Analisislah secara mendalam. 3) Perhatikan dampak finansialnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. 4) Berorientasilah kepada perbaikan proses untuk mewujudkan keamanan dan keselamatan opersional. 5) Ketatlah mengendalikan budget. Sadarlah bagian Crisis Management bukanlah profit centre! 6) Berbagilah dengan praktisi sukses. Jangan persulit dan tingkatkan keterampilan berkomunikasi
26
7) Berikan apresiasi sosial yang tinggi dan tulus bagi yan terbaik. Bila perlu berikan insentif untuk menjalankan program safety & security dengan ketaatan yang tinggi. 8) Jadikan setiap masalah, krisis, resiko menjalankan tugas dengan berpikir konstruktif, optimis dan proaktif. 9) Jangan lupakan sejarah. Trend bisa jadi menjadi peringatan dini yang paling efektif. 10) Berikan sentuhan spiritual, bahwa diatas segalanya kita masih sangat membutuhkan proteksi yang lebih baik dari Yang Maha Melindungi.
3. Audit Investigatif Definisi Audit Investigatif menurut BPK-RI adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk mengungkapkan ada tidaknya indikasi kerugian negara atau daerah dan atau unsur pidana. Theodorus M.Tuanakotta (2007:207) menyebutkan audit investigatif sebagai berikut: Pengertian investigasi dan pemeriksaan fraud digunakan silih berganti sebagai sinonim. Idealnya ada kesamaan makna konsep-konsep auditing dan hukum; namun, dari segi filsafat auditing dan filsafat hukum, hal itu tidaklah mungkin. Investigasi secara sederhana dapat juga didefinisikan sebagai upaya pembuktian. Umunya pembuktian ini berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum (acara) yang berlaku, diambil dari hukum pembuktian berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Definisi audit investigatif yang dinyatakan oleh Sudarmo, dkk (2009) adalah sebagai berikut: Audit investigatif adalah audit yang dilakukan untuk membuktikan apakah suatu indikasi penyimpangan/kecurangan apakah memang benar terjadi. Jadi fokus audit investigatif adalah membuktikan apakah benar kecurangan telah terjadi. Dalam hal dugaan kecurangan terbukti, audit investigatif harus dapat mengidetifikasi pihak yang bertanggung jawab atas penyimpangan/kecurangan tersebut.
27
Menurut ICW (2005) terminologi pemeriksaan investigasi muncul dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan dalam penjelasan UU tersebut. Audit investigasi ini termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan kinerja dalam kata lain mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Tentunya hal ini berbeda dengan jenis audit lain yang dilakukan oleh BPK, yaitu pemeriksaan keuangan (audit keuangan) dan pemeriksaan kinerja (audit kinerja). Audit investigasi dilaksanakan apabila ada tanda-tanda terjadinya kriminalitas dalam pelaksanaan laporan keuangan sehingga
harus di
investigasi lebih dalam apakah benar terjadi kasus kecurangan atau kriminal yang bisa berdampak pidana atau perdata (Gunadi dalam Gemilang, 2009). Investigasi
Pemerintah
dalam
Permenpan
Nomor
Per/05/M.PAN/03/2008, dinyatakan bahwa, auditor investigasi disamping memiliki kemampuan auditing, akuntansi, administrasi pemerintahan, dan komunikasi, juga harus memiliki kompetensi: 1. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip, praktik-praktik, dan teknik audit investigatif, termasuk cara-cara untuk memperoleh bukti dari whistleblower. 2. Pengetahuan tentang penerapan hukum, peraturan, dan ketentuan lainnya yang terkait dengan audit investigatif.
28
3. Kemampuan memahami konsep kerahasiaan dan perlindungan terhadap sumber informasi. 4. Kemampuan menggunakan peralatan komputer, perangkat lunak, dan sistem terkait secara efektif dalam rangka mendukung proses audit investigatif terkait dengan cybercrime.
Dari syarat kompetensi tersebut, dapat dilihat kompetensi yang disyaratkanbelum termasuk sikapnya. Oleh sebab itu untuk melengkapi persyaratan kompetensi, seorang auditor investigasi harus memilki sikap yang berlandaskan pada prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai sesuai dengan kode etik auditor. 4. Aksioma Dalam Audit Investigasi Theodorus M. Tuanakotta (2007:208-209) mengungkapkan aksioma merupakan asumsi dasar yang begitu gamblangnya sehingga tidak memerlukan pembuktian mengenai kebenarannya. Ia membagi tiga aksioma dalam pemeriksaan fraud yaitu: 1. Fraud selalu tersembunyi. Berbeda dengan kejahatan lain, sifat perbuatan fraud adalah tersembunyi atau mengandung tipuan (yang terlihat di permukaan bukanlah yang sebenarnya terjadi atau berlangsung). Metode dalam menyembunyikannya begitu rapi sehingga pemeriksa fraudatau investigator yang berpengalaman sekalipun sering kali terkecoh. Karena itu investigator harus menolah memberikan pernyataan bahwa hasil pemeriksaannya membuktikan tidak ada fraud. 2. Pembuktian fraud secara timbal-balik. Pembuktian ada atau telah terjadinya fraud meliputi upaya untuk membuktikan fraud itu tidak terjadi. Dan sebaliknya, untuk membuktikan fraud tidak terjadi, kita harus berupaya membuktikan fraud itu terjadi dengan upaya pembuktian timbal balik atau revers proof. Jadi kedua sisi fraud baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi tetap harus diperiksa. 3. Hanya pengadilan yang menetapkan bahwa fraud memang terjadi.
29
Untuk membuktikan fraud terjadi hanya pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan hal itu. Pemeriksa fraudharus menolak memberikan pernyataan bahwa pemeriksaanya membuktikan fraud. Dalam upaya menyelidiki adanya fraud, pemeriksa membuat dugaan mengenai apakah seseorang bersalah (guilty) atau tidak (innocent). Karena bersalah atau tidaknya seseorang merupakan dugaan atau bagian dari “teori”, sampai pengadilan memberikan keputusannya.
5. Jenis-jenis Audit Investigatif Hartoyo (2011:16) dalam bukunya yang berjudul “Panduan Audit Investigatif Korupsi di Bidang Kehutanan” menyebutkan ada dua jenis yang termasuk kedalam audit investigatif, yaitu: 1. Audit Investigatif Proaktif Audit investigatif dapat dikatakan bersifat proaktif apabila secara aktif mengumpulkan informasi dan menganalisis informasi tersebut untuk menemukan kemungkinan adanya tindak kecurangan (fraud) dan kejahatan sebelum melaksanakan audit investigatif.
2. Audit Investigatif Reaktif Audit investigatif dikatakan bersifat reaktif apabila auditor melaksanakan audit setelah menerima atau mendapatkan informasi dari pihak lain mengenai kemungkinan adanya tindak kecurangan (fraud) dan kejahatan. Jadi pada dasarnya hasil dari suatu audit investigatif, baik itu yang bersifat proaktif maupun yang bersifat reaktif keduanyaa dapat digunakan sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan kejahatan oleh aparat penegak hukum. Dari hasil tersebut, aparat penegak hukum akan mengumpulkan bukti-bukti yang relevan sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku untuk kepentingan penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.
30
6. Tujuan Audit Investigatif Menurut Theodorus M. Tuanakotta (2010:315)ada bermacam-macam alternatif mengenai tujuan investigasi, ini diambil dari K.H Spencer Pickett and Jennifer Pickett, Financial Crime Investigation and Control (2002) yaitu: 1. Memberhentikan manajemen. Tujuan utamanya adalah sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggungjawabkan kewajiban fidusianya. 2. Memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukupnya dan relevannya bukti. Tujuan ini menekankan bisa diterimanya bukti-bukti sebagai alat bukti untuk meyakinkan hakim di pengadilan. 3. Melindungi reputasi dari karyawan yang tidak bersalah. 4. Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk investigasi. 5. Menemukan aset yang digelapkan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang terjadi. 6. Memastikan bahwa semua orang, terutama mereka yang diduga menjadi pelaku kejahatan, mengerti kerangka acuan dari investigasi tersebut; harapannya adalah bahwa mereka bersedia bersikap kooperatif dalam investigasi itu. 7. Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bias lolos dari perbuatannya. 8. Menyapu bersih semua karyawan pelaku kejahatan. 9. Memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sasaran penjarahan. 10. Menentukan bagaimana investigasi akan dilanjutkan. 11. Melaksanakan investigasi sesuai standar, sesuai dengan peraturan perusahaan, sesuai dengan buku pedoman. 12. Menyediakan laporan kemajuan secara teratur untuk membantu pengambilan keputusan investigasi ditahap berikutnya. 13. Memastikan pelakunya tidak melarikan diri atau meghilang sebelum tindak lanjut yang tepat dapat diambil. 14. Mengumpulkan cukup bukti yng dapat diterima pengadilan, dengan sumber daya dan terhentinya kegiatan perusahaan seminimal mungkin. 15. Memperoleh gambaran yang wajar tentang kecurangan yang terjadi dan membuat keputusan yang tepat mengenai tindakan yang harus diambil.
31
16. Mendalami tuduhan (baik oleh orang dalam atau luar perusahaan, baik dengan nama terang atau dalam bentuk surat kaleng) untuk menanggapinya secara tepat. 17. Memastikan bahwa hubungan dan suasana kerja tetap baik. 18. Melindungi nama baik perusahaan atau lembaga. 19. Mengikuti seluruh kewajiban hukum dana mematuhi semua ketentuan mengenai due diligence dan klaim kepada pihak ketiga (misalnya klaim asuransi). 20. Melaksanakan investigasi dalam koridor kode etik. 21. Menentukan siapa pelaku dan mengumpulkan bukti mengenai niatnya. 22. Mengumpulkan bukti yang cukup untuk menindak pelaku dalam perbuatan yang tidak terpuji. 23. Mengidentifikasi praktik manajemen yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. 24. Mempertahankan kerahasiaan dan memastikan bahwa perusahaan atau lembaga ini tidak terperangkap dalam ancaman tuntutan pencemaran nama baik. 25. Mengidentifikasi saksi yang melihat atau mengetahui terjadinya kecurangan dan memastikan bahwa mereka memberikan bukti yang mendukung tuduhan atau dakwaan terhadap si pelaku. 26. Memberikan rekomendasi mengenai bagaimana mengelola risiko terjadinya kecurangan ini dengan tepat.
7. Metodologi Audit Investigasi Menurut metodologi internal audit, seorang fraud auditor dapat melakukan pengujian atau pemeriksaan beberapa hal yang berkaitan dengan subyek auditnya atau prosedur kerja dan organisasi dimana kecurangan diduga terjadi serta orang yang bersangkutan.
Karena ini menyangkut beberapa hal, maka teori penunjang, aturan main, wawancara, pengujian materi atau bahan bukti, dan peraturan normatif, seorang auditor haruslah mahir dibidangnya dan mempunyai bekal
32
pengetahuan yang cukup mengenai bidang apa yang akan dilakukan pengujian yang menyangkut material atau uji forensik tersebut. Kemahiran auditor dalam menguasai konsep keuangan dalam kasus yang dihadapinya dan kemampuannya menarik kesimpulan dari penerapan konsep tersebut (secara benar atau menyimpang) akan membantunya dalam mengungkapkan apakah perbuatan itu merupakan fraud menurut hukum. Kemudian yang terpenting adalah kemahiran auditor dalam menyampaikan konsep-konsep tersebut secara sederhana, sehingga mudah dicerna oleh hakim yang harus memutuskan dan jaksa atau pengacara pembela yang harus diyakinkan. Fraud Examiners Manual(2006) dalam Theodorus M.Tuanakotta (2007:210) menjelaskan predication sebagai berikut: Predication is the totally of circumtance that would lead a reasonable, profesionally trained, and prudent individual to believe a fraud has occured, is occuring, and/or will occur. Predication is the basis upon which an examination is commenced. Fraud examination should not be conducted without proper predication. Terjemahan: Predikasiadalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang membawa seseorang yang cukup terlatih dan berpengalaman dengan kehatihatian yang memadai, kepada kesimpulan bahwa fraud telah, sedang atau akan berlangsung. Predikasi adalah dasar untuk memulai investigasi. Investigasi atau pemeriksaan fraud jangan dilaksanakan tanpa adanya predikasi yang tepat.
33
Investigasi dengan pendekatan teori fraud meliputi langkah-langkah sebagi berikut: a. Analisis data yang tersedia. b. Ciptakan (atau kembangkan) hipotesis berdasarkan analisis diatas. c. Uji atau tes hipotesis tersebut. d. Perhalus atau ubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian sebelumnya. Meskipun audit investigasi merupakan audit yang bersifat khusus, namun teknologi atau metodologi auditnya dapat menggunakan teknik audit secara umum sesuai dengan standar audit yang berlaku dengan menggunakan teknik audit yang sifatnya eksploratif melalui: a) Pengujian
terhadap
fisik/physical
examination
yang
meliputi
penghitungan uang tunai, kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya, b) Meminta konfirmasi/confirmation dalam investigasi baha tindakan konfirmasi harus dikolaborasi-padukan dengan sumber lain/substained, dan c) Mengaudit dokumen atau buril/documentation termasuk dokumen digital, electrical dan lainnya. 8. Wewenang Audit Investigatif Berdasarkan siapa pihak yang melakukan audit investigatif, Soejono Karni (2000:7) dalam Siti Zulaiha (2008:17) dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
34
1. Dilakukan atas inisiatif lembaga audit 2. Dilakukan atas dasar perrmintaan penyidik
Dari keterangan tersebut dapat dijelaskan bahwa: 1. Audit investigatif yang dilakukan atas inisiatif lembaga audit Dasar pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan atas inisiatif lemabaga audit pada umumnya adalah: a. Pengembangan temuan audit sebelumnya b. Informasi atau pengaduan dari masyarakat Apabila audit bersumber dari pengaduan masyarakat yang sebelumnya melakukan audit, maka biasanya dilakukan penelitian awal terlebih dahulu untuk mengidentifikasikan kasus kecurangan (fraud) yang akan diaudit. Jika dari penelitian awal sudah disimpulkan untuk dapat dilakukan audit investigatif, baru dibuat surat tugas khusus. Pada saat melakukan audit investigatif terbukti terjadi pelanggaran hukum formal ataupun material, maka setelah itu akan dilimpahkan kepada kejaksaan untuk diselesaikan secara hukum. 2. Audit investigatif atas dasar permintaan penyidik Sesuai dengan pasal 120 ayat (1) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), bila penyidik menganggap perlu dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
35
Dalam hal ini orang ahli yang dimaksud adalah seorang auditor investigatif yang bertugas untuk membantu memberikan keterangan di pengadilan ataupun menghitung sejumlah kerugian yang ditimbulkan oleh tersangka yang melakukan tindak kecurangan.
G. Kecurangan (Fraud) 1. Pengertian Kecurangan (Fraud) Dalam kehidupan sehari-hari, kecurangan (fraud) dimaknai sebagai ketidakjujuran.Dalam terminologi awam fraudlebih ditekankan pada aktivitas penyimpangan perilaku yang berkaitan dengan konsekuensi hukum, seperti penggelapan, pencurian dengan tipu muslihat, fraud pelaporan keuangan, korupsi, kolusi, nepotisme, penyuapan, penyalahgunaan wewenang, dan lain sebagainya. Kecurangan (fraud) merupakan suatu tindakan yang disengaja, yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat member efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan (Koroy,2008). Menurut terjemahan bebas tentang pengertian kecurangan (fraud) dari Webster’s New World dictionarydalam Sudarmo, dkk (2008): Fraud adalah terminologi umum, yang mencakup beragam makna tentang kecerdikan, akal bulus, tipu daya manusia yang digunakan oleh seseorang, untuk mendapatkan suatu keuntungan (di) atas orang lain melalui cara penyajian yang salah. Tidak (ada) aturan baku dan pasti yang dapat digunakan sebagai kata yang lebih untuk memberikan makna lain tentang fraud, kecuali cara melakukan tipu daya, secara tak wajar dan cerdik sehingga orang lain menjadi terperdaya. Satu-satunya
36
yang dapat menjadi batasan tentang fraud adalah biasanya dilkukan mereka yang tidak jujur atau penuh tipu muslihat. Secara umum kecurangan (fraud) menurut Sudarmo, dkk (2008) ada tiga unsur penting yaitu: a. Perbuatan tidak jujur b. Niat/kesengajaan c. Keuntungan yang merugikan orang lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Theodorus M. Tuanakotta (2007:95) menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian kecurangan (fraud) seperti: Pasal 362, Pencurian: Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengn maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Pasal 368, Pemerasan dan Pengancaman: dengan maksud untuk menguntungkn diri sendiri atau orang alin secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikn barang sesuatu yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang alin, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang. Pasal 372, Penggelapan: Dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya buka karena kejahatan. Pasal 378, Perbuatan curang: Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang alin untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya member utang maupun menghapuskan piutang. Pasal 396: Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit. Pasal 406, Menghancurkan atau merusak barang: Dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau meghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 yang khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang nomor 31 tahun 1999).
37
2. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Kecurangan (Fraud) Dorongan adanya perbuatan kecurangan, pada umumnya merupakan gabungan dari motivasi dan kesempatan. Timbulnya motivasi berawal dari kebutuhan ekonomi yang berlanjut menjadi keserakahan sedangkan lemahnya pengendalian internal dari suatu lingkungan yang tidak lagi menghargai kejujuran akan menimbulkan kesempatan dalam melakukan kecurangan (fraud). Motivasi dan kesempatan saling berhubungan.Pada dasarnya semakin besar kebutuhan ekonomi seseorang yang bekerja di dalam suatu organisasi yang pengendalian internalnya lemah, maka motivasinya untuk melakukan tindak kecurangan semakin kuat (Sudarmo, dkk, 2008:14). Sudarmo, dkk (2008:14) menyebutkan ada empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan (fraud), yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu: G = Greed (Keserakahan) O = Opportunity (Kesempatan) N = Need (Kebutuhan) E = Exposure (Pengungkapan)
Arens, et al(2011:375) mengungkapkan bahwa ada tiga kondisi yang menyebabkan
terjadinya
kecurangan
dalam
laporan
keuangan
dan
penyalahgunaan asset sebagaimana dijelaskan dalam PSA 70 (SA 316). Tiga kondisi ini sering disebut segitiga kecurangan (fraud triangle), yaitu:
38
Pressure
Fraud Triangle
Opportunity
Rationalization
Gambar 2.1Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)
1) Pressure (dorongan) Dimana seseorang memilki dorongan atau tekanan untuk melakukan tindak kecurangan. Seperti hutang yang menumpuk, gaya hidup yang bermewah-mewah ataupun ketegantungan narkoba. 2) Oppurtunity (kesempatan) Ini terjadi karena situasi yang memberikan kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.Biasanya disebabkan pengendalian internal suatu organisasi yang lemah, dan/atau penyalahgunaan wewenang sehingga kecurangan begitu mudah dilakukan. 3) Rationalization (rasionalisasi/sikap) Adanya suatu sikap, karakter, atau seperangkat nilai-nilai etika yang memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan yang tidak jujur, atau seseorang tersebut berada dalam suatu lingkungan yang
39
memberikan mereka tekanan yang cukup besar sehingga menyebabkan seseorang membenarkan melakukan perilaku yang tidak jujur tersebut. 3. Evolusi Tipe Kecurangan (Fraud) Berikut adalah ringkasan model/topologi/taksonomi dari berbagai sumber: Tabel 2.1 Ringkasan Model/Topolgi/Taxonomi Sumber G. Jack Bologna-Lindquist
Taksonomi/kelompok Kecurangan
Kecurangan secara tertutup atau terselubung terhadap perusahaan.
KPMG
Steve Albrecht
ACFE
Kecurangan secara terbuka terhadap perusahaan
Kecurangan bagi perusahaan
Kecurangan karyawan
Kecurangan pelanggan
Kecurangan terkait vendor
Pelanggan karyawan
Kecurangan manajemen
Penipuan investasi
Kecurangan vendor
Kecurangan pelanggan
Penipuan lain-lain
Kecurangan perrnyataan palsu
Penyalahgunaan aset
40
Korupsi
Sumber: Singleton et al(2006:29), Fraud auditing and Forensic Accounting.
Singleton et al (2006:29-31) menyebutkan secara umum evolusi tipe kecurangan sebagai berikut:
Tabel 2.2 Evolusi Tipe Audit Kecurangan 1. Motivasi/ dorongan
2. Kesempatan
Kebutuhan
Keserakahan/tamak
dendam
Akses terhadap asset, catatan , dan/atau dokumen
(kelemahan pengendalian)
3. Rasionalisasi/sikap
yang mengontrol asset
Tidak ada audit atau pemisahan tugas
Tidak ada pertukaran tugas
Tidak ada fungsi audit iternal
Tidak ada kebijakan pengendalian
Tidak ada kode etik
Rasionalisasi kejahatan sebagai pinjaman, dll,
(perumusan internal) 4. Melakukan penipuan tersebut
tidak mencuri -
Mengeksekusi
skema
tertentu
kecurangan-
kecurangan; penipuan, pencurian, penggelapan, dll. 5. Mengkonveksi ke kas
-
Jika bukan pencurian kas, pelaku kecurangan harus mengubah pencurian kas (misalnya, pencurian
41
persediaan, penipuan keuangan untuk persediaan kas, atau mencairkan cek yang ditujukan kepada suatu penerima pembayaran palsu atau nyata). 6. Menyembunyikan
kecurangan -
(fraud)
7.
Mengubah dokumen dan/atau catatan
-
Pemalsuan
-
Pemusnahan arsip
Red flags
-
Penyimpangan terdeteksi
-
Tuduhan yang dibuat-buat
-
Adanya
perubahan
pola
perilaku
pelaku
kecurangan -
8. Audit dimulai
Pendeteksian kecuranga atau deteksi perbedaan dengan beberapa metode (metode paling umum yaitu pengendalian internal,audit internal)
9. Invetigasi dimulai
-
Bukti yang dikumpulkan
-
Hilangnya
aset
dikonfirmasi
dan
didokumentasikan
10. a. Disposisi:
-
Interogasi dari pihak ketiga, karyawan
-
Karyawan
dihentikan
karena
suatu
(seringkali manajemen tidak ingin mengejar
Pelaku kecurangan dihentikan
disposisi hukum karena berbagai alasan) -
b. Disposisi: Penuntutan direkomendasikan
alasan
Klaim asuransi yang diajukan
-
Penuntutan pidana dicari
-
Pemulihan sipil dicari
-
Klaim asuransi yang diajukan
42
11. Percobaan
-
Penyajian fakta dan kesaksian
Sumber: Singleton et al(2006:29-31), Fraud auditing and Forensic Accounting.
Association of Certified Fraud Examination (ACFE, 2000) dalam Amrizal (2004) mengkategorikan kecurangan (fraud) menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Statements) Yaitu kecurangan ini dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material laporan keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial b. Penyalahgunaan asset (Asset Misappropriation). Penyalahgunaan asset dapat digolongkan ke dalam ‘kecurangan kas’ dan ‘kecurangan atas persediaan dan asset lainnya’, serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement). c. Korupsi (Corruption) Menurut ACFE konteks yang dibahas dalam hal ini membagi korupsi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).
4. Pendeteksian dan Pencegahan Kecurangan (Fraud) Sebenarnya pihak yang betanggung jawab dalam melakukan tindakan pendeteksian dan pencegahan adalah manajemen, pimpinan institusi, dan otoritas-otoritas lain yang memiliki kepentingan untuk pencapaian tujuan organisasi. Namun pada hakikatnya dalam menangani audit kecurangan perlu adanya kontribusi dari seorang auditor sebagai pihak yang mengingatkan kepada manajemen adanya peringatan awal terhadap potensi terjadinya
43
kecurangan, misalnya saja merekomendasikan adanya perbaikan kebijakan dan prosedur untuk mencegah dan mendeteksi terjadinya perbuatan kecurangan (fraud) sehingga risiko yang ditimbulkan oleh kecurangan dapat diminimalisir. Pada umumnya, bukti-bukti kecurangan merupakan sifatnya yang tidak langsung. Petunjuk adanya kecurangan biasanya ditujukkan oleh munculnya gejala-gejala (symptoms) seperti adanya perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang, dokumentasi yang mencurigakan, keluhan dari pelanggan ataupun kecurigaan dari rekan sesama pekerja. Awalnya, kecurangan akan timbul melalui karakteristik tertentu, baik dari kondisi lingkungan maupun perilaku seseorang. Karakteristik ini lah yang dinamakan red flags (fraud indicators). 1. Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Sudarmo, dkk (2008:46) mengungkapkan bahwa pendeteksian suatu kecurangan (fraud) merupakan aktivitas untuk mengetahui: a. Bahwa tindakan kecurangan telah terjadi (ada). b. Apakah organisasi/perusahaan menjadi korban atau sebagai pelaku tindak kecurangan. c. Adanya kelemahan dala pengendalain intern serta moral perilaku yang menjadi penyebab terjadinya kecurangan. d. Adanya kondisi lingkungan di organisasi/perusahaan yang menyebutkan terjadinya kecurangan. e. Adanya suatu kesalahan dan ketidakberesan.
44
Sudarmo, dkk (2008:46) juga menyebutkan pendeteksian kecurangan (fraud) dapat dilakukan baik secara proaktif maupun reaktif, sebagai berikut: a. Dengan penerapan pengendalian intern yang memadai, yaitu adanya pemisahan tugas dalam fungsi penyimpanan, otorisasi dan pencatatan. b. Pelaksanaan audit finasial, operasional, dan ketaatan. c. Pengumpulan data intelejen terhadap gaya hidup dan kebiasaan pribadi pegawai. d. Penerapan prinsip pengecualian (exception) di dalam pengendalian dan prosedur. e. Pelaksanaan reviu terhadap penyimpangan (variances) dalam kinerja operasi (standar, tujuan, sasaran, anggaran, rencana). f. Adanya pengaduan dan keluhan dari karyawan. g. Intuisi atasan pegawai. h. Adanya kecurigaan (suspicion). Ada
lima
langkah
pendekatan
auditor
untuk
mendeteksi
kecurangan (Thompson, 1992:22), yaitu: a) Mengetahui cara kerja kecurangan dalam hal yang spesifik atau detail. b) Mengetahui cara kerja secara spesifik gejala dari tindak kecurangan. c) Waspada terhadap gejala kecurangan. d) Memasukkan ke dalam agenda rutin program audit yang memungkinkan dalam pengungkapan gejala kecurangan. e) Menindaklanjuti semua gejala yang diamati.
Dalam pendeteksian suatu kecurangan, ada hal yang harus diperhitungkan salah saatunya teknik yang dipakai agar auditor mudah dalam mengungkap suatu tindak kecurangan. Kecurangan (fraud) dapat dideteksi dengan cara (Sudarmo,2008:57-62) :
45
1) Critical Point Auditing Merupakan suatu teknik pendeteksian kecurangan melalui audit atas catatan pembukuan yang mengarah pada gejala atau kemungkinan terjadinya kecurangan. Keberhasilan dalam mendeteksi kecurangan tergantung dari tiga faktor, yaitu: a) Besarnya organisasi dan jumlah transaksi/ catatan yang tersedia untuk audit. b) Jumlah item yang diaudit. c) Jumlah kecurangan (fraud) yang terjadi. Pendekatan yang sering digunakan dalam teknik ini adalah: 1. Analisis Trend Pengujian ini terutama ditujukan untuk menilai kewajaran pembukuan dalam rekening buku besar, dan menyangkut pola perbandingan dengan data sejenis utk periode sebelumnya (historical data). Hal ini berguna untuk: a. Mendapatkan gejala manipulasi yang dilakukan oleh pihak internal perusahaan. b. Mendeteksi kemungkinan adanya kecurangan baru yang terjadi. 2. Pengujian Khusus Pengujian khusus biasanya dilakukan terhadap kegiatankegiatan yang berisiko tinggi terhadap kecurangan (fraud), diantaranya: a. Kecurangan (fraud) pembelian pada umunya dilakukan dengan cara meninggalkan nilai yang terdapat dalam faktur atau pembelian fiktif. b. Verifikasi buku besar, terutama rekening hutang yang muncul setelah penunjukan pejabat baru, khususnya yang menangani pembelian. c. Tidak jarang pejabat baru memilih atau“membawa” supplier yang telah dikenalnya dan mengganti supplier yang selama ini banyak berhubungan dengan instansinya. d. Kecurangan (fraud) dalam penjualan dapat berupa penjualan fiktif, lapping dan lain-lain. 2) Teknik Analisis Kepekaan (Job Sensivity Analysis) Teknik analisis kepekaan (job sensivity analysis) pada prinsipnya didasarkan pada analisis, jika seseorang pegawai bekerja pada posisi tertentu, peluang/tindakan negatif (fraud)
46
apa saja yang dapat dilakukannya. Dalam arti lain, teknik ini merupakan analisis dengan memandang “pelaku potensial”. Ada beberapa langkah dalam pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan: a. Metode Pendekatan Langkah awal yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi semua posisi pekerjaan di dalam suatu instansi/organisasi yang rawan terhadap kecurangan. Untuk itu auditor harus mempelajari: a) Struktur organisasi. b) Uaraian tugas masing-masing pejabat. c) Manual akuntansi dan formulir-formulir. d) Pendelegasian wewenang. Langkah berikutnya adalah memperoleh spesifikasi pekerjaan setiap pejabat/pegawai dan mencatat perbedaan antara akses yang diperbolehkan atas suatu rekening dan akses yang direncanakan. b. Pengawasan Rutin Pada dasarnya, mudah bagi pecuri untuk melakukan aksinya, apabila manajer/pimpinan sibuk dengan tanggung jawab lain. Untuk itu, maka peningkatan pengendalian yang dilakukan juga harus dipertimbangkan jikalau bawahan lebih pandai dari atasannya, atau apabila atasan memiliki bawahan yang mempunyai latar pendidikan yang berbeda. c. Karakter Pribadi Karakter pribai pegawai harus dipertimbangkan, dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut: a) Kekayaan yang tidak dapat dijelaskan b) Pola hidup mewah c) Pegawai tidak puas (tidak naik pangkat) d) Egois (mementingkan diri sendiri) e) Sering mengabaikan instruksi/prosedur f) Ingin dianggap paling penting Meskipun ada pengecualian, namun jangan diabaikan gejala-gejala tersebut. d. Tindak Lanjut Hasil analisis akan menunjukkan jenis pekerjaan yang berisiko tinggi, dan metoded kecurangan yang mungkin dilakukan. Pengujian secara rinci harus dilakukan guna menentukan apakah kesempatan yang ada telah digunakan.
47
Thompson (1992:21-22) menjelaskan bahwa bagian audit internal untuk dapat meningkatkan efektivitas deteksi kecurangan (fraud) harus mengatasi hambatan dasar, seperti: a. Banyak auditor internal masih tidak yakin bahwa mereka memiliki tanggung jawab dalam mendeteksi kecurangan b. Beberapa bagian audit terlalu menekankan anggaran waktu, sehingga ini kurang baik dan dapat menyebabkan munculnya kecurangan. c. Beberapa auditor karena alasan dan komitmen dari mereka sendiri yang tidak menginginkan adanya kecurangan. 2. Pencegahan Kecurangan (fraud) Jika kita ingin mencegah kecurangan, hilangkan atau tekan sedapat mungkin penyebabnya (berdasarkan cost-benefit analysis atau Pareto optimum). Menghilangkan atau menekankan need
dangreed yang
mengawali terjadinya kecurangan dilakukan sejak menerima seseorang (recuitmen process), meskipun sebenarnya proses itu bukan jaminan penuh. Ini terus ditanamkan melalui fraud awareness dan contoh-contoh yang diberikan pimpinan perusahaan atau lembaga (Theodorus M. Tuanakotta, 2007:159).
48
Sudarmo, dkk (2008:37-38) mengungkapkan kecurangan merupakan upaya terintegrasi yang dapat menekan terjadinya faktor penyebab kecuangan (fraud triangle) yaitu: a. Memperkecil peluang terjadinya kesempatan untuk berbuat kecurangan. b. Menurunkan tekanan kepada pegawai agar ia mampu memenuhi kebutuhannya. c. Mengeliminasi alasan untuk membuat pembenaran/ rasionalisasi atas tindak kecurangan yang dilakukan.
Pencegahan kecurangan (fraud) yang efektif memiliki lima tujuan (Sudarmo, dkk, 2008:38), yaitu: a. Prevention, mencegah terjadinya kecurangan (fraud) secara nyata pada semua lini organisasi; b. Deterence, menangkal pelaku potensial bahkan tindakan untuk yang bersifat coba-coba; c. Discruption, mempersulit gerak langkah pelaku kecurangan (fraud) sejauh mungkin; d. Identification, mengidentifikasi kegiatan berisiko tinggi dan kelemahan pengendalian; e. Civil action prosecution, melakukan tuntutan dan penjatuhan sanksi yang setimpal atas perbuatan kecurangan kepada pelakunya.
Ada beberapa metode pencegahan yang lazim ditetapkan oleh manajemen mencakup, namun tidak terbatas pada beberapa langkah (Sudarmo, dkk, 2008:38) seperti berikut ini: a. Penetapan Kebijakan Anti Kecurangan (Fraud) Kebijakan unit organisasi harus memuat a high ethical tonedan harus dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mencegah tindakan-tindakan kecurangan (fraud) dan kejahatan ekonomi lainnya. Dengan adanya komitmen dari seluruh jajaran manajemen dan karyawan maka kebijaksanaan yang akan dilaksanakan dengan baik.
49
b. Prosedur Pencegahan Baku Pada dasarnya komitmen manajemen dan kebijakan suatu instansi/organisasi merupakan kunci utama dala mencegah dan mendeteksi kecurangan (fraud). Namun, harus dilengkapi juga dengan proseudr penanganan pencegahan secara tertulis dan ditetapkan secara baku sebagai medi pendukung. Secara umum prosedur pencegahan harus memuat: 1) Pengendalian internal, di antaranya, adalah pemisahan fungsi sehingga tercipta kondisi saling antar fungsi. 2) Sistem reviu yang memadai bagi system computer, sehingga memungkinkan computer tersebut untuk mendeteksi kecuranga secara otomatis. 3) Adanya prosedur mendeteksi kecurangan secara otomatis (built in) dalam system, mencakup: a) Proseudr yang memadai untuk melaporkan kecurangan yang ditemukan. b) Prosedur yang memadai untuk mendeposisikan setiap individu yang terlibat kecurangan (fraud). c. Organisasi a. Adanya audit committee yang independen menjadi nilai plus. b. Unit audit internal mempunyai tanggung jawab untuk melakukan evaluasi secara beerkala atas aktivitas organisasi secara berkesinambungan. Serta berfungsi untuk menganalisis pengendalian internal dan tetap waspada terhadap kecurangan (fraud) pada saat melaksanakan audit. c. Unit audit internal harus mempunyai akses ke audit committee maupun manajemen puncak. Walaupun pimpinan auditor internal tidak melapor ke senior manajemen puncak, akan tetapi untuk hal-hal yang sifatnya khusus, ia harus dapat langsung akses ke pimpinan yang lebih tinggi. d. Auditor internal harus mempunyai tanggung jawab yang setara dengan jajaran eksekutif, paling idak memiliki akses yang independen terhadap uni rawan kecurangan (fraud). d. Teknik Pengendalian Sistem yang dirancang dan dilaksanakan secara kurang baik akan menjadi sumber atau peluang terjadinya kecurangan, yg pada akhirnya menimbulka kerugian financial bagi organisasi. Berikut adalah teknik-teknik pengendalian dan audit yang efektif untuk mengurangi kemungkinan tindak kecurangan: a) Pembagian tugas yang jelas, sehingga tidak ada satu orangpun yang menguasai seluruh aspek dari suatu transaksi. b) Pengawasan memadai.
50
c) Kontrol yang memadai terhadap akses ke terminal, computer, terhadap data yang ditolak dalam pemrosesan, maupun terhadap program-program serta media pendukung lainnya. d) Adanya manual pengendalian terhadap file-file yang dipergunakan dalam pemrosesan computer ataupun pembuangan file (disposal) yang sudah tidak terpakai. e. Kepekaan Terhadap Kecurangan (fraud) Kerugian dan kecurangan dapat dicegah apabila organisasi atau instansi mempunyai staf yang berpengalaman dan mempuyai “SILA” (Suspicious, Inquisitive, Logical, dan Analitycal Mind), sehingga mereka peka terhadap sinyal-sinyal kecurangan.
Di dalam pencegahan kecurangan (fraud) peran auditor sangat dituntut untuk selalu waspada tehadap setiap hal-hal yang menunjukkan adanya kemungkinan
terjadi
kecurangan.Jika
terjadi kecurangan
auditor
bertanggung jawab membantu dengan melakukan pengujian dan evaluasi keandalan dan efektivitas dari pengendalian, seiring dengan potensi risiko terjadinya kecurangan dalam berbagai segmen.Seorang auditor juga harus mendapatkan sumber daya yang memadai dalam rangka untuk memenuhi misinya dalam mencegah kecurangan. Untuk memperoleh hasil yang optimal, maka ada empat langkah auditor dalam mencegah terjadinya kecurangan (Thompson, 1992:22) yaitu: 1) Meningkatkan penyaringan dalam perekrutan kepada pelamar kerja, vendor dan kontraktor. 2) Meminimalisir kesempatan untuk melakukan kecurangan. 3) Menciptakan sebuah lingkungan dimana orang-orang percaya bahwa tindakan yang tidak jujur akan terdeteksi dengan teknik manajemen, pemantauan, karyawan lain atau auditor. 4) Menciptakan sebuah lingkungan dimana tindakan yang tidak jujur tidak dapat ditoleransi dan pada akhirnya akan dihukum.
51
5. Pengungkapan Kecurangan (Fraud) dan Standar Auditor Standar pelaksanaan audit mensyaratkan agar auditor melaksankan penugasan dengan penuh kehati-hatian (due professional care) dala setiap perencanaan audit, pelaksanaan audit, dan penyusunan laporan auditnya. Untuk bisa mewujudkan pelaksanaan due professional care(Sudarmo, dkk, 2008:44-45), maka standar menegaskan hal-hal sebagai berikut: a. Auditor harus mampu menjawab keraguan profesional. Keraguan profesional merupakan suatu upaya atau tantangan yang mencakup keingintahuan dan pengujian kritis atas bukti-bukti audit. b. Auditor harus mengumpulkan dan mengevaluasi bukti secara obyektif untuk menetapkan kecukupan dan keandalan bukti. Mengingat bukti dikumpulkan dan dievaluasi selam pelaksanaan audit. c. Auditor tidak boleh memiliki asumsi bahwa manajemen tidak jujur ataupun tidk diragukan kejujurannya. Dalam menguji, auditor tidak boleh puas jika bukti yang diperoleh tidak mencukupi, hanya karena mempunyai keyakinan bahwa manajemen jujur.
H. Pengaruh
Kemampuan
Auditor
Investigatif
terhadap
Efektivitas
Pelaksanaan Prosedur Audit dalam Pembuktian Kecurangan (Fraud) Tindak pidana kecurangan (fraud) pada saat ini semakin berkembang seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi dimana pelaku tindak kecurangan semakin berkembang dalam hal intelegensi terhadap kecurangan dan sangat rapi saat melaksanakan aksinya dimana para pelaku tersebut ahli dalam merekayasa data, menyamarkan dan menutupi baik itu berbentuk uang tunai atapun dalam bentuk aset lainnya agar tidak diketahui oleh penegak hukum. Tidak hanya itu
52
untuk melancarkan tindak kecurangan ini mereka berani menyuap para penegak hukum. Upaya kamuflase hasil tindak pidana kecurangan ini bisa melalui money laundering maupun penggelapan asset. Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang diubah menjadi Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bahwa pencucian uang (money laundering) adalah: Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyampaikan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya tas harta kekayaannya yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Dalam Modul Pengukuhan Guru Besar Ilmu Akuntansi, fraud meliputi aspek menyangkut cara-cara yang dihasilkan akal fikir manusia dalam mendapatkan keuntungan dari pihak lain dengan penyajian yang salah/palsu. Hal ini mencakup kejutan, tipu daya, cara-cara licik dan ketidakjujuran yang digunakan untuk menipu orang lain. Pendapat ini sejalan dengan Singleton et.al (2006), yag menjelaskan bahwa fraud, theft, defalcation, irregularities, white collar crime, dan embezzlement adalah terminologi yang sering dipetukarkan. Sofjan (2005), dalam Afhita (2011) menyebutkan pencegahan kecurangan dapat dilakukan dari aspek kebijakan, prosedur, organisasi teknik pengendalian
53
dan peran serta pegawai. Dimana kelima aspek ini memiliki keterkaitan karena berada dalam satu system yang sama. Tidak hanya pencegahan, untuk memberantas kecurangan (fraud) perlu adanya perlawanan yang dilakukan oleh seorang ahli akuntansi dan auditing yaitu audit investigatif ini menjadi salah satu cara yang efektif dalam mengungkapkan adanya kecurangan dalam bentuk apapun. Sudarmo, dkk (2009) menyebutkan definisi audit investigatif sebagai berikut: Audit investigatif adalah audit yang dilakukan untuk membuktikan apakah suatu indikasi penyimpangan/kecurangan apakah memang benar terjadi. Jadi fokus audit investigatif adalah membuktikan apakah benar kecurangan telah terjadi. Dalam hal dugaan kecurangan terbukti, audit investigatif harus dapat mengidetifikasi pihak yang bertanggung jawab atas penyimpangan/kecurangan tersebut.
Untuk memperoleh bukti-bukti yang cukup sehingga bisa digunakan sebagai bukti bahwa ada tindakan kecurangan maka seorang auditor dituntut untuk dapat memiliki berbagai kemampuan pengungkapan kecurangan (fraud) tersebut. Menurut Rasuli (2000) dalam Rika (2012) mengungkapkan: “Keahlian non teknis merupakan kemampuan auditor yang ditentukan oleh faktor personal dan pengalaman. Keahlian non teknis yang dibutuhkan seorang auditor adalah: secara personal, auditor harus memiliki rasa percaya diri, tanggung jawab, ketekunan, ulet, enerjik, cerdik, kreatif, mampu beradaptasi, jujur, dan cekatan”.
54
Keefektivitasan pelaksanaan prosedur audit dalam membuktikan suatu kecurangan dapat diartikan sejauh mana hal tersebut dapat menggambarkan proses suatu kegiatan yang dapat menghasilkan hipotesis audit investigatif. Penelitian yang dilakukan oleh Hylas dan Ashton (1982) dalam Afhita (2011) tentang efektivitas dari berbagai prosedur audit dalam mendeteksi tindakan kecurangan melakukan studi empiris dengan 281 kesalahan yang memerlukan penyesuaian laporan keuangan terhadap 152 audit dan menyatakan bahwa prosedur review analitis dan diskusi dengan klien akan memberikan perkiraa persentase besarnya kesalahan yang terjadi. Wright dan Ashton (1989) dalam Afhita (2011) meneliti efektivitas dari metode pendeteksian kecurangan dari penyelidikan terhadap klien, hasilnya ditemukan bahwa sekitar setengah dari kesalahan tersebut terjadi dan disinyalir dari adanya tiga prosedur tercatat. Maka dari itu, kemampuan auditor investigatif dan pelaksanaan prosedur audit yang efektif cukup berpengaruh terhadap pembuktian kecurangan (fraud). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rika (2012) dan Sukron (2010) bahwa kemampuan auditor investigatif memiliki pengaruh yang kuat terhadap efektivitas pelaksanaan prosedur audit dalam pembuktian kecurangan. Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:
55
Ho : Kemampuan auditor investigatif tidak berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan prosedur audit dalam pembuktian kecurangan (fraud). Ha : Kemampuan auditor investigatif berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan prosedur audit dalam pembuktian kecurangan (fraud).
Dari penjelasan tersebut, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PROSEDUR AUDIT DALAM PEMBUKTIAN KECURANGAN (Y)
KEMAMPUAN AUDITOR INVESTIGATIF (X)
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual
56
I. Penelitian Terdahulu Tabel 2.3 Ringkasan Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Peneliti
Judul Penelitian Pengaruh
Kemampuan
Hasil Penelitian Auditor 1.
BPKP perwakilan provinsi Jawa
Rika Fitriani (2012) Investigatif
Terhadap
Efektivitas
Barat telah memiliki kemampuan-
Pelaksanaan Prosedur Audit Dalam
kemampuan dengan kemampuan
Pembuktian Kecurangan (Fraud).
dasar, kemampuan teknis, dan
(Studi
sikap mental untuk melaksanakan
kasus
Pada
Auditor
investigatif di BPKP Provinsi Jawa
audit
Barat Bandung)
pembuktian kecurangan. 2.
investigasi
dalam
Efektivitas pelaksanaan prosedur audit
dalam
pembuktian
kecurangan pada kategori yang sangat baik atau sangat efektif. 3.
Kemampuan auditor investigatif dapat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan prosedur audit dalam pembuktian kecurangan.
Pengaruh Kompetensi, Independensi, 1.
Kompetensi berpengaruh positif
dan
terhadap
Marcelina Widiyastuti
Profesionalisme
Kemampuan Sugeng
terhadap
kemampuan
auditor
dan Auditor
dalam
dalam
memdeteksi
kecurangan
Pamudji Mendeteksi Kecurangan (fraud)
(fraud)
(2009) 2.
Independensi berpengaruh positif terhadap
kemampuan
auditor
57
dalam
memdeteksi
kecurangan
(fraud) 3.
Profesionalisme
berpengaruh
positif
terhadap
kemampuan
auditor
dalam
memdeteksi
kecurangan (fraud) Pengaruh
Kemampuan
Auditor
terrhadap
Pelaksanaan
Prosedur
Siti Zulaiha (2008)
Kemampuan
auditor
positif
signifikan
dan
berpengaruh terhadap
Audit dalam Pembuktian Kecurangan pelaksanaan prosedur audit (studi
kasus
BPK
perwakilan
Bandung) Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Tri
Ramaraya
Terdapat Laporan Keuangan
Koroy (2008)
oleh
empat
faktor
penyebab
Auditor hambatan:
Eksternal 1. Karakterisitik
terjadinya
kecurangan sehingga menyulitkan proses pendeteksian. 2. Standar pengauditan belum cukup memadai
untuk
menunjang
pendeteksian yang sepantasnya. 3. Lingkungan
kerja
audit
dapat
mengurangi kualitas audit. 4. Metode dan prosedur audit yang ada tidak cukup efektif untuk melakukan
pendeteksian
58
kecurangan.
Berdasarkan
permasalahan ini, perbaikan yang perlu disarankan untuk diterapkan. Pemahaman Strukturisasi atas Praktik Gemalia
Dwi
Sesungguhnya
dalam
menjalankan
Audit Investigatif pada Perwakilan Agustina (2008)
peranannnya
ketua
tim
beserta
BPK-RI di Surabaya (Studi Kasus anggotanya (agen) mengaplikasikan Tindak Pidana Korupsi). kesadarannya dalam praktik audit investigatif, dan agen memiliki daya ubah yang kuat dalam mengubah struktur. Pengaruh Sukron
Kemampuan
Auditor Sebagian besar kemampuan auditor
Mahmud Investigatif
Terhadap
Efektifitas
(2010)
investigatif Pelaksanaan
Prosedur
berpengaruh
terhadap
Audit efektifitas pelaksanaan prosedur audit
Investigatif (Studi
Kasus Kantor dalam
pembuktian
kecurangan,
Pusat Badan Pemeriksa Keuangan sedangkan sebagian lainnya ditentukan Republik Indonesia) oleh pengaruh faktor-faktor seperti integritas,
independensi,
profesionalisme, objektivitas,transparansi, akuntabilitas, dan lainnya. Auditor Perception of Time Budget 1. Penelitian ini memberikan bukti Mohd. Nazli, Mohd Nor,
Pressure and Reduced Audit Quality
bahwa RAPQ sangat bermasalah
Practice: A Preliminary Study From
dalam audit profesi, khususnya di
Malaysian Context
Malaysia. Hasil awal menunjukkan
Macolm
Smith, Zubaidah Ismail
dan
59
bahwa
auditor
dalam
empat
perusahaan tidak besar cenderung untuk terlibat dalamm RAPQ, tidak jarang dengan lebih dari 70% melakukan praktik-praktik ini. 2. Sebagian besar auditor dirasakan pencapaian
anggaran
sangatlah
penting dalam pengembangan karir mereka dan diinginkan perusahaan untuk menempatkan tekanan yang tinggi pada pencapaian anggaran untuk evaluasi kinerja.