10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Burnout 1. Defenisi Burnout Burnout merupakan sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental yang termasuk di dalamnya berkembang konsep diri yang negatif, kurangnya konsentrasi serta perilaku kerja yang negatif (Pines & Maslach, 1993). Keadaan ini membuat suasana di dalam pekerjaan menjadi dingin, tidak menyenangkan, dedikasi dan komitmen menjadi berkurang, performansi, prestasi pekerja menjadi tidak maksimal. Hal ini juga membuat pekerja menjaga jarak, tidak mau terlibat dengan lingkungannya. Burnout juga dipengaruhi oleh ketidak sesuaian antara usaha dengan apa yang di dapat dari pekerjaan. Menurut Pines dan Aronson (1989), burnout merupakan kelelahan secara fisik, emosional, dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh dengan tuntutan emosional. Schaufelli (1993) mendefenisikan burnout sebagai sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Selanjutnya, Beberapa penelitian melihat burnout sebagai bagian dari stress (Luthans, 2005). Menurut Izzo (1987) burnout menyebabkan seseorang tidak memiliki tujuan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam bekerja. Sementara itu, Freudenberger
10
11
(1991) menyatakan burnout merupakan kelelahan yang terjadi karena seseorang bekerja terlalu intens tanpa memperhatikan kebutuhan pribadinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah sindrom psikologis yang disebabkan adanya rasa kelelahan yang luar biasa baik secara fisik, mental, maupun emosional, yang menyebabkan seseorang terganggu dan terjadi penurunan pencapaian prestasi pribadi.
2. Dimensi Burnout Leiter & Maslach (1997) menyebutkan ada tiga dimensi dari burnout, yaitu; a. Exhaustion Exhaustion merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan kelelahan yang berkepanjangan baik secara fisik, mental, maupun emosional. Ketika pekerja merasakan kelelahan (exhaustion), mereka cenderung berperilaku overextended baik secara emosional maupun fisikal. Mereka tidak mampu menyelesaikan masalah mereka. Tetap merasa lelah meski sudah istirahat yang cukup, kurang energi dalam melakukan aktivitas.
b. Cynicism Cynicism merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan sikap sinis, cenderung menarik diri dari dalam lingkungan kerja. Ketika pekerja merasakan cynicism (sinis), mereka cenderung dingin, menjaga jarak, cenderung tidak ingin terlibat dengan lingkungan kerjanya. Cynism juga merupakan cara untuk terhindar
12
dari rasa kecewa. Perilaku negatif seperti ini dapat memberikan dampak yang serius pada efektivitas kerja.
c. Ineffectiveness Ineffectiveness merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya, merasa semua tugas yang diberikan berat. Ketika pekerja merasa tidak efektif, mereka cenderung mengembangkan rasa tidak mampu. Setiap pekerjaan terasa sulit dan tidak bisa dikerjakan, rasa percaya diri berkurang. Pekerja menjadi tidak percaya dengan dirinya sendiri dan orang lain tidak percaya dengannya. Berdasarkan penjelasan di atas, dimensi burnout terdiri dari burnout yaitu exhaustion (gabungan dari physical exhaustion, emotional exhaustion, mental exhaustion), cynicism, dan ineffectiveness.
3. Dampak Burnout pada Pekerja Adapun dampak dari burnout menurut Leiter & Maslach (2005) adalah: a. Burnout is Lost Energy Pekerja yang mengalami burnout akan merasa stress, overwhelmed, dan exhausted. Pekerja juga akan sulit untuk tidur, menjaga jarak dengan lingkungan. Hal ini akan mempengaruhi keinerja performa dari pekerja. Produktivitas dalam bekerja juga semakin menurun.
13
b. Burnout is Lost Enthusiasm Keinginan dalam bekerja semakin menurun, semua hal yang berhubungan dengan pekerjaan menjadi tidak menyenangkan. Kreatifitas, ketertarikan terhadap pekerjaan semakin berkurang sehingga hasil yang diberikan sangat minim.
c. Burnout is Lost Confidence Tanpa adanya energi dan keterlibatan aktif pada pekerjaan akan membuat pekerja tidak maksimal dalam bekerja. Pekerja semakin tidak efektif dalam bekerja yang semakin lama membuat pekerja itu sendiri merasa ragu dengan kemampuannya. Hal ini akan memberikan dampak bagi pekerjaan itu sendiri.
4. Faktor-Faktor Penyebab Burnout Menurut Leiter & Maslach (1997) burnout biasanya terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan pekerja. Ketika adanya perbedaan yang sangat besar antara individu yang bekerja dengan pekerjaannya akan mempengaruhi performasi kerja. Leiter & Maslach (1997) membagi beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu: a. Work Overloaded Work overload kemungkinan terjadi akibat ketidaksesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya. Pekerja terlalu banyak melakukan pekerjaan dengan waktu yang sedikit. Overload terjadi karena pekerjaan yang dikerjaan melebihi kapasitas kemampuan manusia yang memiliki keterbatasan. Hal ini dapat menyebabkan
14
menurunnya kualitas pekerja, hubungan yang tidak sehat di lingkungan pekerjaan, menurunkan kreativitas pekerja, dan menyebabkan burnout.
b. Lack of Work Control Semua orang memiliki keinginan untuk memiliki kesempatan dalam membuat pilihan, keputusan, menggunakan kemampuannya untuk berfikir dan menyelesaikan masalah, dan meraih prestasi. Adanya aturan terkadang membuat pekerja memiliki batasan dalam berinovasi, merasa kurang memiliki tanggung jawab dengan hasil yang mereka dapat karena adanya kontrol yang terlalu ketat dari atasan.
c. Rewarded for Work Kurangnya apresiasi dari lingkungan kerja membuat pekerja merasa tidak bernilai. Apresiasi bukan hanya dilihat dari pemberian bonus (uang), tetapi hubungan yang terjalin baik antar pekerja, pekerja dengan atasan turut memberikan dampak pada pekerja. Adanya apresiasi yang diberikan akan meningkatkan afeksi positif dari pekerja yang juga merupakan nilai penting dalam menunjukkan bahwa seseorang sudah bekerja dengan baik.
d. Breakdown in Community Pekerja yang kurang memiliki rasa belongingness terhadap lingkungan kerjanya (komunitas) akan menyebabkan kurangnya rasa keterikatan positif di tempat kerja. Seseorang akan bekerja dengan maksimal ketika memiliki kenyamanan,
15
kebahagiaan yang terjalin dengan rasa saling menghargai, tetapi terkadang lingkungan kerja melakukan sebaliknya. Ada kesenjangan baik antar pekerja maupun dengan atasan, sibuk dengan diri sendiri, tidak memiliki quality time dengan rekan kerja. Terkadang teknologi seperti handphone, computer membuat seseorang cenderung menghilangkan social contact dengan orang disekitar. Hubungan yang baik seperti sharing, bercanda bersama perlu untuk dilakukan dalam menjalin ikatan yang kuat dengan rekan kerja. Hubungan yang tidak baik membuat suasana di lingkungan kerja tidak nyaman, full of anger, frustasi, cemas, merasa tidak dihargai. Hal ini membuat dukungan sosial menjadi tidak baik, kurang rasa saling membantu antar rekan kerja.
e. Treated Fairly Perasaan tidak diperlakukan tidak adil juga merupakan faktor terjadinya burnout. Adil berarti saling menghargai dan menerima perbedaan. Adanya rasa saling menghargai akan menimbulkan rasa keterikatan dengan komunitas (lingkungan kerja). Pekerja merasa tidak percaya dengan lingkungan kerjanya ketika tidak ada keadilan. Rasa ketidakadilan biasa dirasakan pada saat masa promosi kerja, atau ketika pekerja disalahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan.
f. Dealing with Conflict Values Pekerjaan dapat membuat pekerja melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai mereka. Misalnya seorang sales terkadang harus berbohong agar produk
16
yang ditawarkan bisa terjual. Namun hal ini dapat menyebabkan seseorang menurunkan performa, kualitas kerjanya karena tidak sesuai dengan nilai yang dimiliki. Seseorang akan melakukan yang terbaik ketika melakukan apa yang sesuai dengan nilai, belief, menjaga integritas dan self respect. Selanjutnya, Sullivan (1989) menjelaskan beberapa faktor yang dapat menyebabkan burnout sebagai berikut : a. Environmental Factor Faktor lingkungan merupakan faktor yang berkaitan dengan konflik peran, beban kerja yang berlebihan, kurangnya dukungan sosial, keterlibatan terhadap pekerjaan, tingkat fleksibilitas waktu kerja. Dalam keluarga, faktor lingkungan termasuk dalam jumlah anak, keterlibatan dalam keluarga serta, kualitas hubungan dengan anggota keluarga.
b. Individual Factor Faktor individu meliputi faktor demografik seperti jenis kelamin, etnis, usia, status perkawinan, latar belakang pendidikan; faktor kepribadian seperti tipe keperibadian introvert atau extrovert, konsep diri, kebutuhan, motivasi, kemampuan dalam mengendalikan emosi, locus of control.
c. Social Cultural Factor Faktor social cultural berkaitan dengan nilai, norma, kepercayaan yang dianut dalam masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan sosial.
17
Berdasarkan uraian di atas maka faktor-faktor yang menjadi penyebab burnout adalah work overload, lack of work, rewarded for work, breakdown in community, treated fairly, dealing with conflict values, environmental factor, individual factor, dan social factor. Work family conflict merupakan bagian dari environmental factor. Seperti yang dikemukakan Kinnunen, Vermulst, Gerris & Makikangas (2003) bahwa work family conflict terjadi akibat tekanan lingkungan kerja (tipe dari pekerjaan, keterlibatan kerja, fleksibilitas waktu kerja) dan lingkungan keluarga (jumlah anak, keterlibatan dalam keluarga, kualitas hubungan dengan anggota keluarga).
B. Work Family Conflict 1. Defenisi Work Family Conflict Howard (2008) mengemukakan work family conflict terjadi ketika ada ketidak sesuaian antara peran yang satu dengan peran lainnya (inter-role conflict) dimana terdapat tekanan yang berbeda antara peran di keluarga dan di pekerjaan. Sejalan dengan hal tersebut, Greenhaus & Beautell (1985) mendefensikan work family conflict sebagai suatu inter-role conflict yang terjadi dimana tekanan peran dari keluarga dan pekerjaan berbeda. Work family conflict terjadi ketika adanya harapan yang bertentangan yang dirasakan oleh individu terhadap peran-peran yang dimilikinya sehingga pemenuhan kebutuhan sulit untuk dipenuhi (Newcomb, 1981). Netmeyer, Mc Murrian & Boles (1996) mengemukakan terdapat pertentangan tanggung jawab peran dari pekerjaan dan keluarga yang menyebabkan konflik. Work
18
family conflict memiliki hubungan dengan dampak yang negatif terhadap pekerjaan dalam hal kepuasan kerja, burnout kerja, dan turnover (Greenhaus, Parasuraman & Collins, 2001; Howard, Donfrio, & Boles, 2004) yang juga berhubungan dengan distress kerja, kehidupan, dan kepuasan pernikahan (Kinnunen & Mauno 1998). Work family conflict dapat terlihat dari gejala psikologis seperti gelisah, cemas, merasa bersalah, dan frustasi (Burke & Greenglass, 1986). Kahn (1964) mendefensikan inter-role conflict sebagai tekanan yang terjadi akibat dua peran atau lebih menyebabkan seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Biddle & Thomas (1996), semakin banyak peran yang dimiliki seseorang maka semakin siap pula ia dalam menghadapi masalah kehidupan sosialnya. Meyer & Rowan (1977) menyatakan work family conflict terjadi ketika seseorang harus memenuhi dua tuntutan peran yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Menurut Sudibyo (1993), work family conflict terjadi ketika dua atau lebih peran memiliki harapan yang berbeda dan tidak harmonis satu dan yang lainnya. Konflik ini juga dapat timbul karena adanya harapan yang tidak pasti. Defenisi work family conflict yang dijelaskan diatas sudah digunakan oleh banyak peneliti mengenai work family conflict (Gutek, Searle & Klepa, 1991; Frone 1992; Huang, Neal & Perrin, 2004). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa work family conflict adalah konflik yang terjadi pada individu yang memiliki dua peran atau lebih yang menyebabkan ketidakseimbangan pada kedua peran sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan, tuntutan dari masing-masing peran.
19
2. Dimensi Work Family Conflict Menurut Greenhaus & Beutell (1985), peran ganda bersifat bi-directional, artinya keluarga dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pekerjaan (family work conflct), dan pekerjaan dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan keluarga (work family conflict). Selanjutnya, Greenhaus & Beutell (1985) juga menjelaskan mengenai multidimensi dari peran ganda, dimana baik family work conflict maupun work family conflict masing-masing memiliki 3 dimensi yang sifatnya 1 arah pada time based conflict, strain based conflict, dan behavior based conflict. Berikut penjelasan mengenai 3 dimensi tersebut : a. Time-based conflict Time-based conflict terjadi ketika waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (keluarga atau pekerjaan). Misalnya ketika ada pertemuan orangtua murid di sekolah yang waktunya bersamaan dengan meeting di kantor sehingga menimbulkan konflik, pekerja yang karena kesibukannya dalam bekerja telat menjemput anaknya. Menurut Buck, Lee, MacDermid dan Smith (2000), time-based conflict terjadi karena energi manusia yang terbatas. Nordenmark (2002) menyatakan konflik ini dapat menyebabkan kemungkinan timbulnya tekanan pada pekerja. Menurut Greenhaus dan Beutell (1985), time-based conflict terjadi akibat 1) pekerja baik secara fisik maupun waktu tidak dapat memenuhi tuntutan peran lainnya,
20
2) pekerja hanya fokus disalah satu peran, namun tetap hadir secara fisik diperan lainnya untuk memenuhi tuntutan.
b. Strain-based conflict Strain-based conflict terjadi ketika tuntutan dari satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya. Hal ini dapat menyebabkan pekerja mengalami ketidakpuasan, ketegangan, kecemasan, fatigue (Greenhaus & Beutell, 1985; Edwards & Rothbard, 2000). Selanjutnya, Edwars dan Rothbard (2000) berpendapat, pekerja menghabiskan banyak energi karena adanya tekanan fisik dan psikologis sehingga mempengaruhi kinerja. Adanya tekanan psikologis yang negatif mengakibatkan seseorang cenderung menghabiskan lebih banyak waktu dan kemampuan pada satu peran sehingga tidak dapat memuaskan peran lainnya.
c. Behavior-based conflict Behavior-based conflict terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (keluarga atau pekerjaan). Misalnya perilaku agresif, konfrontasi, asertif yang dibutuhkan dalam pekerjaan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan dalam keluarga dimana lebih menekankan pada kehangatan, pengertian, rasa saling menyayangi dan mengasihi (Greenhaus & Beutell, 1985; Edwards & Rothbard, 2000). Edwards & Rothbard (2000) juga menyatakan bahwa
21
adanya perilaku yang ditampilkan disalah satu peran akan mempengaruhi perilaku di peran lainnya.
3. Konsep Work Family Conflict Konsep konflik peran ganda dapat dibagi ke dalam dua bentuk (Frone, 1992; Adekola, 2010), yaitu: a. Konflik Pekerjaan (Work Interference with Family) Konflik yang terjadi ketika aktivitas pekerjaan mengganggu tanggung jawab individu dalam lingkungan keluarga. Misalnya, individu membawa pulang pekerjaan dan berusaha untuk menyelesaikannya dengan mengorbankan waktu keluarga (Noor, 2003). Efek mood dan stress yang dialami di lingkungan pekerjaan juga membuat individu tidak fokus dalam menyelesaikan tuntutan perannya di lingkungan keluarga (Williams & Alliger, 1994; Adekola, 2010). Selain itu, pertumbuhan karir individu dalam pekerjaannya akan menyebabkan individu meningkatkan komitmennya dalam memenuhi tuntutan pekerjaan sehingga tuntutan keluarga tidak terpenuhi secara maksimal (Hall, 1972; Adekola, 2010).
22
b. Konflik Keluarga (Family Interference with Work) Konflik yang terjadi ketika peran dan tanggung jawab dalam keluarga mengganggu aktivitas pekerjaan. Misalnya, individu yang membatalkan rapat penting karena anaknya sedang sakit (Noor, 2004). Selain itu, disebutkan bahwa perbedaan gender juga merupakan hal yang berpengaruh terhadap kemunculan konflik keluarga. Mengingat bahwa mengasuh anak biasanya dilakukan oleh wanita, maka keberadaan istri yang bekerja dapat lebih memicu terjadinya konflik keluarga (Voydanoff, 1988; Adekola, 2010).
C. Dosen Wanita 1. Pengertian Dosen Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen dijelaskan bahwa dosen adalah pendidik professional dan ilmuan yang memiliki tugas untuk mentranformasi, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
2. Tugas-tugas Dosen Dosen dalam menjalankan tugas profesionalnya diharapkan memiliki pengetahuan, keterampilan yang dikuasai dengan baik (Pedoman Beban Kerja Dosen (BKD) dan Evaluasi Pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi bagi Dosen di
23
Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), 2010). Tugas utama dosen adalah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan/ pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. a. Pendidikan/ Pengajaran Tugas pendidikan dan pengajaran adalah kegiatan yang wajib dilakukan oleh setiap dosen pada jenjang strata 1. Dosen yang sudah meraih jabatan akademik tertinggi sebagai guru besar atau profesor tetap harus melakukan tugas pendidikan dan pengajaran pada jenjang Strata1.
b. Penelitian Merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh dosen, baik secara perorangan maupun berkelompok, dibiayai secara mandiri maupun oleh lembaga. Tugas penelitian dan pengembangan ilmu yang wajib dilakukan dosen dengan bentuk kegiatan seperti menghasilkan karya penelitian, menerjemahkan buku ilmiah, menyunting karya ilmiah, membuat rancangan, karya teknologi dan karya seni, menyampaikan orasi ilmiah, dan sebagai pembicara seminar.
c. Pengabdian Masyarakat Kegiatan yang dilakukan dosen dalam bentuk pengabdian masyarakat seperti melaksanakan pengembangan hasil pendidikan dan penelitian yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, memberi penyuluhan atau ceramah kepada
24
masyarakat, memberi pelayanan secara langsung kepada masyarakat, menulis karya pengabdian kepada masyarakat.
3. Dosen Wanita Dosen wanita merupakan wanita yang merupakan pendidik profesional dan ilmuwan
dengan
tugas
utama
mentransformasikan,
mengembangkan,
dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Sholichin, 2011).
4. Peran Wanita dalam Keluarga dan Pekerjaan Saat ini, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan wanita dan kebutuhan ekonomi keluarga maka semakin banyak pula wanita yang memilih untuk berperan ganda sebagai pekerja dan istri/ ibu dalam keluarga. Terjadi pergeseran nilai dari single career family dimana dalam sebuah rumah tangga hanya pria (suami) yang bekerja menjadi dual career family, dimana pria (suami) maupun wanita (istri) samasama bekerja (Alteza & Hidayati, 2011). Salah satu pilihan pekerjaan yang menarik bagi wanita adalah bekerja sebagai dosen.
Profesi dosen dianggap sebagai profesi yang ideal, memiliki fleksibiltas
waktu, tuntutan yang tidak terlalu tinggi dan kesejahteraan yang memadai sehingga akan lebih mudah bagi wanita untuk menjalankan peran ganda (Saptari & Holzner, 1997). Peran ganda wanita dapat menimbulkan implikasi positif dan negatif dimana
25
wanita dapat mengaktualisasikan dirinya secara penuh di lingkungan pekerjaan, namun disisi lain tetap harus menjalankan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga.
D. Dinamika Work Family Conflict dan Burnout dikalangan Dosen Wanita Banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi wanita dengan peran ganda menimbulkan konflik yang menyebabkan tekanan (Greenhaus & Beutell). Tekanan yang muncul akibat dari konflik berkelanjutan dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Wood (1981) menyatakan bahwa, pengajar (dosen) mengalami konflik keluargapekerjaan dengan permasalahan yang berbeda saat di rumah dengan peran sebagai suami/ istri atau ayah/ ibu, dan dilingkungan pekerjaan/sekolah. Leiter & Maslach (1997) menyatakan konflik terjadi akibat tuntutan dari keluarga dan pekerjaan harus dipenuhi dalam waktu yang bersamaan. Tidaklah mudah bagi wanita untuk berperan ganda disebabkan tanggung jawab sebagai istri, ibu dan pekerja cukup besar dan kadangkala menimbulkan konflik. Tuntutan yang harus dipenuhi baik di dalam keluarga maupun pekerjaan membuat seseorang dapat mengalami kelelahan baik secara fisik, emosional, maupun mental yang jika dialami dalam waktu yang lama dapat menyebabkan burnout (Pines & Maslach, 1993). Menurut Jackson, Schuler dan Schwab (1986) mengemukakan burnout terjadi akibat adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Berdasarkan perspektif teori belajar, burnout muncul akibat pengharapan yang salah terhadap reinforcement, outcome, dan efficacy (Schaufelli & Buunk, 1996). Dengan kata lain, burnout dapat
26
dikatakan sebagai respon dari tekanan (Leatz & Stolar, 1996; Stanley, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2008) menyatakan bahwa wanita yang memiliki peran ganda lebih sering mengalami tekanan dibandingkan dengan wanita yang hanya memiliki satu peran. Menurut Greenhause dan Butell (1985) konflik yang terjadi pada wanita yang bekerja adalah konflik antar peran (inter-role conflict). Konflik ini terjadi ketika pekerjaan dan keluarga sama-sama membutuhkan perhatian, tuntutan pada keluarga dan pekerjaan sama-sama harus dipenuhi. Work family conflict yang terjadi juga dikarenakan tanggung jawab peran dari keluarga dan pekerjaan bertentangan, sehingga akan sulit bagi untuk memenuhi tuntutan (Netmeyer, Mc Murrian & Boles, 1996). Selain itu work family conflict terjadi karena waktu yang dihabiskan pada satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhan peran lainnya (Greenhaus & Beutell, 1985). Waktu yang dihabiskan untuk peran tertentu dapat memberikan efek negatif bagi keluarga atau pekerjaan. Carlson dan Kacmar (2000) pekerja yang lebih terlibat di dalam keluarga akan mengalami tekanan yang lebih tinggi. Greenhaus, Parasuraman, dan Collins (2001) menunjukkan adanya hubungan positif antara keterlibatan dalam keluarga dan work family conflict. Bagi wanita yang sudah menikah, fokus pada pertumbuhan anak cenderung mengalami masa sulit dalam bekerja (Greenberger & O’Neal, 1990).
27
Menurut Widyarini (1998) burnout yang terjadi pada ibu yang bekerja dapat menurunkan kesehatan fisik dan mental. Hal ini dapat mempengaruhi kinerjanya baik di keluarga maupun di pekerjaan. Pekerja professional memiliki tekanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja non professional (Duxbury & Higgins, 2003). Valdez dan Gutek (1987) menyatakan ibu yang bekerja dengan status professional dan manajerial mempunyai tekanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan status pekerjaan yang lebih rendah. Tenaga kerja professional termasuk tenaga pengajar perguruan tinggi atau dosen.
E. Hipotesa Penelitian 1. Ada pengaruh positif work family conflict terhadap burnout, dimana work family conflict berpengaruh terhadap peningkatan burnout dikalangan dosen wanita. 2. Ada peranan time based conflict, strain based conflict, dan behavior based conflict terhadap burnout dikalangan dosen wanita.