BAB II LANDASAN TEORI
A. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi Bar-On (dalam Goleman, 2000) mengatakan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Menurut Patton (2002), kecerdasan emosi itu mencakup beberapa keterampilan yaitu menunda kepuasan dan mengendalikan impuls dalam diri, tetap optimis jika menghadapi ketidakpastian atau kemalangan, menyalurkan emosi secara efektif, mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam usaha mencapai tujuan , menangani kelemahan pribadi, menunjukkan rasa empati kepada orang lain serta membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi. Goleman
(2000)
menyebutkan
bahwa
kecerdasan
emosi
adalah
kemampuan untuk mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Dari berbagai defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan emosi secara efektif dengan cara mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, mampu mengelola emosi
12
Universitas Sumatera Utara
dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain sehingga seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
2. Komponen-komponen Kecerdasan Emosi Bar-On (dalam Goleman, 2000) menjabarkan kecerdasan emosi menjadi 5 kemampuan pokok yang dibagi kedalam lima gugus umum yaitu : 1. Kemampuan Intrapersonal, meliputi : a. Kesadaran diri emosional Kemampuan untuk mengakui atau mengenal perasaan diri, memahami hal yang sedang dirasakan dan mengetahui penyebabnya. b. Asertivitas Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan, gagasan, keyakinan secara terbuka, dan mempertahankan kebenaran tanpa berperilaku agresif. c. Harga Diri Kemampuan menghargai dan menerima diri sendiri sebagai sesuatu yang baik, atau kemampuan mensyukuri berbagai aspek dan kemampuan positif yang ada dan juga menerima aspek negatif dan keterbatasan yang ada pada diri kita dan tetap menyukai diri sendiri. d. Aktualisasi diri. Kemampuan menyadari kapasitas potensial yang dimiliki. Aktualisasi diri adalah suatu proses dinamis dengan tujuan mengembangkan kemampuan dan bakat secara maksimal. e. Kemandirian
13
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan mengatur atau mengarahkan diri dan mengendalikan diri dalam berfikir dan bertindak serta tidak tergantung pada orang lain secara emosional. 2. Kemampuan Interpersonal, meliputi : a. Empati Kemampuan menyadari, memahami dan menghargai perasaan orang lain dan juga kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan pikiran orang lain. b. Hubungan interpersonal Kemampuan menjalin dan mempertahankan hubungan yang saling memuaskan yang dicirikan dengan keakraban serta memberi dan menerima kasih sayang. c. Tanggung jawab sosial Kemampuan menunjukkan diri sendiri dengan bekerjasama, serta berpartisipasi dalam kelompok sosialnya. Komponen kecerdasan emosi ini meliputi bertindak secara bertanggung jawab, meskipun kita tidak mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi. 3. Penyesuaian diri, meliputi : a. Pemecahan masalah Kemampuan mengenali masalah serta menghasilkan dan melaksanakan solusi yang secara potensial efektif. Kemampuan ini juga berkaitan dengan keinginan untuk melakukan yang terbaik dan tidak menghindari masalah tetapi dapat menghadapi masalah dengan baik.
14
Universitas Sumatera Utara
b. Uji realitas Kemampuan menilai kesesuaian antara apa yang dialami atau dirasakan dan kenyataan yang ada secara objektif dan sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita inginkan atau kita harapkan. c. Fleksibilitas Kemampuan mengatur emosi, pikiran dan tingkah laku untuk merubah situasi dan kondisi. Sikap fleksibel ini juga mencakup seluruh kemampuan kita untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak terduga dan dinamis. 4. Penanganan stress, meliputi : a. Ketahanan menanggung stress Kemampuan menahan peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi stress dan dengan aktif serta sungguh-sungguh mengatasi stress tersebut. Ketahanan menanggung stress ini berkaitan dengan kemampuan untuk tetap tenang dan sabar. b. Pengendalian impuls Kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan untuk bertindak. 5. Suasana hati, meliputi : a. Kebahagiaan Kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupannya, menikmati kebersamaan dengan orang lain dan bersenang-senang.
15
Universitas Sumatera Utara
b. Optimisme Kemampuan untuk melihat sisi terang dalam hidup dan membangun sikap positif
sekalipun
dihadapkan
dengan
kesulitan.
Optimisme
mengasumsikan adanya harapan dalam menghadapi kesulitan.
3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi Goleman (2000) mengkarakteristikkan orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan rendah atas ciri-ciri yang khas, yaitu : a. Ciri-ciri individu dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi. 1. Mampu melabelkan perasaannya daripada melabelkan perasaan orang lain ataupun situasi. 2. Mampu membedakan mana yang pikiran dan mana yang merupakan perasaan 3. Bertanggung jawab terhadap perasaan 4. Menggunakan perasaan untuk membantu dalam membuat suatu keputusan 5. Peduli terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain 6. Bersemangat dan tidak mudah marah 7. Mengakui perasaan orang lain 8. Berupaya untuk memperoleh nilai-nilai positif dari emosi yang negatif 9. Tidak bertindak otoriter, menggurui ataupun memerintah.
16
Universitas Sumatera Utara
b. Ciri-ciri individu dengan tingkat kecerdasan emosi rendah 1. Tidak berani bertanggng jawab terhadap perasaan yang dimiliki tetapi lebih menyalahkan orang lain terhadap hal yang terjadi pada dirinya. 2. Berlebih ataupun menekan perasaan yang dimiliki 3. Cenderung menyerang, menyalahkan atau menilai orang lain 4. Kurang memiliki rasa empati. 5. Cenderung kaku, kurang fleksibel, cenderung membutuhkan suatu aturan yang sistematis agar merasa nyaman 6. Merasa tidak nyaman apabila berada disekitar orang lain 7. Menghindari tanggung jawab dengan membela diri 8. Sistematis dan cenderung menganggap bahwa dunia tidak adil 9. Sering merasa kurang dihargai, kecewa, hambar atau merasa menjadi korban.
B. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah (Sarwono,2005). Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu.
17
Universitas Sumatera Utara
Menurut Lestari (1999), perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut hukum maupun agama dan kepercayaan masing-masing individu. Berdasarkan
definisi-definisi
yang
dikemukakan
di
atas,
dapat
disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Menurut Mu’tadin (2002) bahwa perilaku seksual pranikah pada remaja tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh faktor tertentu pada diri remaja baik secara internal maupun eksternal. 1. Faktor internal Pada seorang remaja, perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks pranikah karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Hal tersebut merupakan ciri-ciri remaja pada umumnya, remaja ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalaman sendiri, "Learning by doing".
18
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor eksternal a. Teman sebaya. Pada masa remaja, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi. b. Media dan televisi. Pengaruh media dan televisi pun sering kali diimitasi oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film remaja yang berkebudayaan barat, melalui observational learning, mereka melihat perilaku seks itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini pun diimitasi oleh mereka, terkadang tanpa memikirkan adanya perbedaan kebudayaan, nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyakarat yang berbeda. c. Hubungan dalam keluarga khusunya orangtua. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi pemicu munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja. Bila orangtua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seksual kepada remaja, maka remaja cenderung mengontrol perilaku seksualnya sesuai dengan pemahaman yang diberikan orangtuanya (Sarwono, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya
19
Universitas Sumatera Utara
(dalam Santrock, 2003) juga menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam tingginya perilaku seksual pranikah pada remaja. Konflik dalam keluarga, atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan perilaku seksual pada remaja. Menurut Sarwono (2005), perilaku seksual pranikah pada remaja juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Remaja laki-laki cenderung mempunyai perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, serta lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Hal tersebut sebagai wujud nilai jender dan adanya norma-norma yang memberikan keleluasaan yang lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini membuat laki-laki merasa lebih bebas untuk bereksplorasi dalam berbagai macam bentuk perilaku seksual. Apalagi orientasi laki-laki berpacaran lebih ke arah aktivitas seksual daripada mengutamakan afeksi, membuat laki-laki cepat beraktivitas seksual tanpa melibatkan perasaan terlebih dahulu.
20
Universitas Sumatera Utara
Hajcak & Garwood (dalam Dacey & Kenny, 1997) menyebutkan beberapa motif yang digunakan oleh remaja untuk melakukan perilaku seksual, yaitu : 1. Menegaskan peran maskulin dan feminin Bagi sebagian remaja, melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan, merupakan bukti bahwa identitas seksualnya utuh.
2. Mendapatkan kasih sayang Beberapa aspek dari perilaku seksual termasuk di dalamnya kontak fisik sebagai bentuk kasih sayang, seperti memeluk, membelai dan mencium. Bagi remaja yang hanya sedikit memperoleh bentuk afeksi ini, maka hubungan seks yang dilakukan setimpal dengan afeksi yang mereka dapatkan. 3. Sebagai bentuk perlawanan terhadap orang tua atau figur otoritas lainnya. Konflik yang dialami dengan orang tua atau figur otoritas lainnya, membuat remaja menggunakan seks sebagai bentuk pemberontakan, bahkan sampai pada terjadinya kehamilan. 4. Meraih harga diri yang lebih tinggi Ada remaja yang menganggap jika ada orang yang bersedia berhubungan seks dengannya, maka ia akan memperoleh rasa hormat dan penghargaan dari orang lain. 5. Sebagai bentuk balas dendam atau untuk menghina seseorang
21
Universitas Sumatera Utara
Seks dapat digunakan untuk menyakiti perasaan orang lain, misalnya mantan pacar. Pada kasus yang ekstrim, hubungan yang dilakukan bertujuan untuk memperkosa pasangan sebagai bentuk penghinaan untuknya. 6. Melampiaskan kemarahan Perilaku seksual merupakan sarana melampiaskan emosi yang ada, termasuk rasa marah yang dirasakan. Remaja umumnya melakukan masturbasi dengan tujuan ini. 7. Menghilangkan rasa bosan Masturbasi umumnya dilakukan untuk menghilangkan kebosanan yang dirasakan remaja. 8. Membuktikan kesetiaan pasangan Beberapa remaja terlibat dalam perilaku seksual bukan atas keinginan mereka sendiri tapi lebih dikarenakan ketakutan akan ditinggalkan oleh pasangan bila mereka tidak bersedia melakukannya. Dengan demikian dapat disimpulkan dari beberapa pengertian di atas bahwa perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, memiliki tujuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual secara fisik tetapi juga berbagai kebutuhan lain seperti afeksi, yang objeknya bisa diri sendiri, orang lain ataupun benda tertentu, dimana ekspresi perilaku yang ditampilkan dapat dipengaruhi oleh peran seks serta nilai tertentu yang diterima ataupun ditolak oleh individu tersebut.
22
Universitas Sumatera Utara
3. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah Bentuk-bentuk perilaku seksual bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama (Sarwono, 2004). Sedangkan DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003), mengemukakan ada beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu :
a. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada. b. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk ciuman bibir antara dua orang. c. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah. d. Meraba payudara. e. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin tidak bersentuhan secara langsung). f. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan organ oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya. g. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina wanita hingga terjadi orgasme/ejakulasi.
23
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian diatas perilaku seksual pada remaja dapat dilihat dalam perilaku, berciuman di kening, dan pipi, lip kissing, deep kissing, necking, petting, meraba payudara, oral sex, dan sexual intercourse.
C. Remaja 1. Pengertian Remaja Menurut Papalia (2004) remaja adalah transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan perubahan sosial. Lahey (2004) menyatakan bahwa remaja adalah periode yang dimulai dari munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa. Hurlock (1999) mengemukakan istilah Adolescence atau remaja yang berasal dari bahasa latin adolescence yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, atau fisik. Menurut Monks (1998) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu: 1. Fase remaja awal
: usia 12 tahun sampai 15 tahun
2. Fase remaja pertengahan
: usia 15 tahun sampai 18 tahun
3. Fase remaja akhir
: usia 18 tahun sampai 21 tahun
24
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah antara 11 sampai 24 tahun dan belum menikah. Dengan pertimbangan bahwa usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak, sedangkan batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis. Individu yang sudah menikah dianggap dan diperlakukan sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai remaja (Sarwono, 2000). Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah periode perkembangan dari anak-anak ke dewasa awal yang mencakup perubahan fisik, sosial, kognitif, emosional dan mental yang berlangsung antara usia 12 atau 13 tahun hingga 18 atau 21 tahun.
2. Tugas Perkembangan Masa Remaja Dalam Hurlock (1999), semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas perkembangan masa remaja adalah : a. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. b. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. c. Mencapai peran sosial pria dan wanita. d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
25
Universitas Sumatera Utara
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya.
3. Ciri-ciri Masa Remaja Madya (15 – 18 tahun) Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narcisistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis dan sebagainya. Pada tahap inilah hubungan persahabatan dengan lawan jenis mulai meningkat ( Genmbeck, Siebenbruner, Collins, 2004). Hubungan persahabatan lawan jenis yang meningkat tersebut disebabkan karena adaptasi remaja madya terhadap interaksi lawan jenis sudah berkembang dengan baik. Interaksi lawan jenis yang dilakukan remaja madya dapat berupa teman biasa, sahabat dan pacar. Umumnya pada usia remaja madya seseorang berinteraksi dengan sebayanya. Demikian halnya untuk dijadikan sahabat, mereka pada umumnya memilih teman sebaya, bisa teman di sekolah, di klub olah raga, organisasi, dan komunitas lain dimana keduanya sering berkomunikasi ( Harvey, 2003)
4. Perkembangan emosi remaja Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “storm and stress” (badai dan tekanan), suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi
26
Universitas Sumatera Utara
sebagai akibat dari perubahan fisik. Meningginya keadaan emosi terutama karena anak laki-laki dan wanita berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan tampaknya irrasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emosional (Hurlock, 1998). Menurut Gessel dkk (Hurlock, 1998), remaja yang berusia empat belas tahun sering kali mudah marah, mudah dirangsang, dan emosinya cenderung meledak, tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya, remaja enam belas tahun mengatakan bahwa mereka tidak punya keprihatinan. Jadi adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja. Masa remaja merupakan masa dimana emosi menjadi meningkat. Intensitas emosi remaja biasanya terlihat tidak seimbang dengan keadaan mereka. Seringnya remaja tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka dengan baik. Terkadang mereka menjadikan orang tua atau saudara sebagai sasaran kemarahan atau perasaan mereka terhadap orang lain (Santrok, 2002).
5. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja Kematangan seksual pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual. Perkembangan minat seksual ini menyebabkan masa remaja disebut juga dengan ”masa keaktifan seksual” yang tinggi, yang merupakan masa ketika masalah seksual dan lawan jenis menjadi
27
Universitas Sumatera Utara
bahan pembicaraan yang menarik dan penuh dengan rasa ingin tahu tentang masalah seksual (Imran, 2000). Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi oleh berfungsinya hormon-hormon seksual (testosteron untuk laki-laki dan progesteron & estrogen untuk wanita). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja (Imran, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat Monks (1999), dimana pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah sampai pada taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase ini biasanya lebih diarahkan pada perilaku seksual dibandingkan pertumbuhan kelenjar seks itu sendiri. Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Remaja dapat memperoleh teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian dimunculkan dalam bentuk berpacaran. Menurut Rahman dan Hirmaningsih (dalam Mayasari, 2000) adanya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik inilah yang akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan seksual pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual. Pada masa-masa seperti inilah remaja mulai menunjukkan perilakuperilaku seksual dalam upaya memenuhi dorongan seksualnya. Perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis dan memperoleh teman baru kemudian dimunculkan dalam bentuk pacaran. Aktivitas
28
Universitas Sumatera Utara
seksual dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan remaja yang berpacaran sebagai ekspresi rasa cinta dan kasih sayang.
D. Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual pada Remaja Fase usia remaja merupakan masa dimana manusia sedang mengalami perkembangan begitu pesat, baik fisik, psikologis dan sosial. Perkembangan secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi. Kematangan secara seksual memiliki hubungan yang sejalan dengan perkembangan fisik termasuk didalamnya aspek-aspek anatomis dan fisiologis (Monks dkk, 1998). Adanya kematangan fisik termasuk matangnya organ-organ seksual tanpa diimbangi percepatan pematangan emosi dan adanya kebebasan yang kian meningkat menyebabkan masalah seksualitas yang dialami remaja menjadi semakin kompleks. Hal tersebut diperparah dengan maraknya pemberitaan di media massa dan televisi yang menceritakan tentang pacaran dan cinta (Prihartini, 2002). Hal ini menyebabkan aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Hurlock (dalam Mayasari, 2000) mengemukakan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk ekspresi atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta. Hal-hal tersebut telah menempatkan remaja pada posisi yang rentan. Menurut Pudjono (dalam Prihartini, 2002), kematangan secara seksual membuat remaja menjadi mudah terangsang akan halhal yang berbau seksualitas karena dorongan seksual yang meningkat.
29
Universitas Sumatera Utara
Sebagian ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam berbagai perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada resiko yang berkaitan dengan aspek sosial, emosional, maupun kesehatan. Turner dan Feldman (1996) menemukan bahwa alasan yang melandasi perilaku remaja adalah berkaitan dengan upaya-upaya
untuk pembuktian perkembangan identitas diri; belajar
menyelami anatomi lawan jenis, menguji kejantanan, menikmati perasaan dominan, pelampiasan kemarahan (terhadap seseorang), peningkatan harga diri, mengatasi depresi, menikmati perasaan berhasil menaklukkan lawan jenis, menyenangkan pasangan, dan mengatasi rasa kesepian. Berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunjukan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat dikerjakan. Menurut Mu’tadin (2002) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja adalah faktor internal, dimana remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Rasa sayang dan rasa cinta merupakan salah satu bentuk emosi yang dirasakan setiap orang. Remaja yang perasaannya lebih didominasi oleh dorongan-dorongan seksual akan lebih memudahkan mereka untuk melakukan perilaku seksual pranikah dengan pasangannya sebagai wujud dari rasa sayang dan cinta tersebut.
30
Universitas Sumatera Utara
Remaja perlu untuk mengontrol semua bentuk perilaku negatif mereka, salah satu hal yang dapat mengontrol perilaku negatif yang banyak dilakukan remaja adalah dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, hal ini didukung juga oleh penjelasan Gottman & DeClaire (1998) bahwa remaja yang cerdas secara emosi akan mampu memecahkan masalah mereka sendiri maupun bersama orang lain, mampu mengambil keputusan secara mandiri, lebih banyak mengalami sukses di sekolah maupun dalam hubungannya dengan rekan-rekan sebaya, dan terlindung dari resiko penggunaan obat terlarang, tindak kriminal dan perilaku seks yang tidak aman. Menurut Salovey dan Mayer (dalam Shapiro, 1997) kecerdasan emosi juga akan mendukung terciptanya kemampuan pengendalian diri atau kontrol diri. Pengendalian diri ini meliputi pengendalian perilaku terutama perilaku-perilaku yang mengarah kepada konsekuensi negatif, pengendalian kognitif dan pengendalian keputusan (Averill dalam Elfisa, 1995). Selain itu, kemampuan mengontrol diri juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui pertimbangan kognitif, sehingga dapat membawa kearah konsekuensi positif (Lazarus, 1976). Hal ini sejalan dengan Ekowarni (1993) bahwa ketegangan emosi yang tinggi, dorongan emosi yang sangat kuat dan tidak terkendali akan membuat remaja sering mudah meledak emosinya dan bertindak tidak rasional Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa remaja yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan dalam bergaul dan tidak dapat mengontrol emosi dan perilakunya. Sebaliknya
31
Universitas Sumatera Utara
remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas dan sebagainya.
E. Hipotesa Penelitian Adapun hipotesa penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dan perilaku seksual pranikah pada remaja. Semakin positif kecerdasan emosi maka akan semakin rendah perilaku seksual pranikah pada remaja.
32
Universitas Sumatera Utara