BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Regulasi Emosi 1. Definisi Regulasi Emosi Menurut Kostiuk (2002), kemampuan regulasi emosi merupakan salah satu aspek penting dari perkembangan emosi seseorang. Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk merespon tuntutan yang sedang berlangsung dari pengalaman dengan tingkat emosi dalam sikap yang dapat ditoleransi dan fleksibilitas yang cukup untuk melakukan reaksi spontan selama diperlukan. Ketidakmampuan meregulasi emosi menyebabkan seseorang tidak dapat membuat evaluasi yang masuk akal, tidak kreatif dalam meregulasi emosi dan juga ketidakmampuan membuat keputusan dalam berbagai konteks (Fox dalam Kostiuk, 2002). Thompson (1994) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali pikiran,
15
tingkah laku, respon fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan (Gratz & Roemer, 2004). Gross dan John (2003) mengungkapkan bahwa regulasi emosi adalah suatu proses pengenalan, pemeliharaan dan pengaturan emosi positif maupun negatif, baik secara otomatis atau dikontrol, yang tampak maupun yang tersembunyi, yang disadari maupun tidak disadari. Definisi lain disampaikan Averill (2004), seorang ahli yang melakukan analisis secara komprehensif tentang regulasi emosi, mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses pada diri individu yang berkaitan dengan emosi yang dimiliki, waktu memilikinya dan cara mengalami serta mengekspresikan emosi-emosi tersebut. Richard dan Gross ( 2000) mengemukakan bahwa regulasi emosi sebagai pemikiran atau perilaku yang dipengaruhi oleh emosi. Ketika mengalami emosi yang negatif, orang biasanya tidak dapat berfikir dengan jernih dan melakukan tindakan di luar kesadaran. Regulasi emosi adalah bagaimana seseorang dapat menyadari dan mengatur pemikiran dan perilakunya dalam emosi-emosi yang berbeda (emosi positif dan negatif). Gross dan Thompson (2007) regulasi emosi adalah serangkaian proses dimana emosi diatur sesuai dengan tujuan individu, baik dengan cara otomatis atau dikontrol, disadari atau tidak disadari dan melibatkan banyak komponen yang bekerja terus menerus sepanjang waktu. Regulasi emosi melibatkan perubahan dalam dinamika emosi atau waktu munculnya, besarnya, lamanya dan mengimbangi respon perilaku, pengalaman atau fisiologis. Regulasi emosi dapat 16
mempengaruhi, memperkuat atau memelihara emosi, tergantung pada tujuan individu. Berdasarkan penjelasan para ahli di atas dapat disimpulkan pengertian regulasi emosi adalah proses untuk mengatur emosi yaitu merespon bermacammacam reaksi, baik dengan disadari maupun tidak disadari dengan cara dan kondisi yang tepat sebagai usaha dari pikiran dan perilaku sehingga mempercepat dalam menyelesaikan suatu masalah. 2. Aspek-Aspek Regulasi Emosi Thompson (1994), membagi aspek-aspek regulasi emosi yang terdiri dari tiga macam a. Kemampuan memonitor emosi (emotions monitoring) yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi didalam dirinya, perasaannya, pikirannya dan latarbelakang dari tindakannya. b. Kemampuan mengevaluasi emosi (emotions evaluating) yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan untuk mengelola emosi khususnya emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam yang dapat mengakibatkan individu tidak dapat berfikir secara rasional. c. Kemampuan
memodifikasi
emosi
(emotions
modification)
yaitu
kemampuan individu untuk merubah emosi sedemikian rupa sehingga 17
mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam putus asa, cemas dan marah. Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan menurut Gross (2007) aspek-aspek regulasi emosi adalah sebagai berikut : a. Mampu mengatur emosi dengan baik yaitu emosi positif maupun emosi negatif b. Mampu mengendalikan emosi sadar, mudah dan otomatis c. Mampu menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapi 3. Faktor Yang Mempengaruhi Regulasi Emosi a. Hubungan Antara Orangtua dan Anak Hubungan antara remaja dengan orangtua sangat penting pada masa perkembangan remaja. Remaja menginginkan pengertian yang bersifat simpatis, telinga yang peka, dan orangtua yang dapat merasakan anak anaknya memiliki sesuatu yang berharga untuk dibicarakan (Rice, 1999). Menurut Rice, affect yang berhubungan dengan emosi atau perasaan yang ada di antara anggota keluarga bisa bersifat positif ataupun negatif. Affect yang positif antara anggota keluarga menunjuk pada hubungan yang digolongkan pada emosi seperti kehangatan, kasih sayang, cinta, dan sensitivitas (Felson & Zielinski dalam Rice,1999). Dalam hal ini anggota menunjukkan bahwa masing-masing dari mereka mau mendengarkan perasaan dan mengerti 18
kebutuhan satu sama lain. Sedangkan affect yang negatif digolongkan pada emosi yang “dingin”, penolakan, dan permusuhan. Sikap yang terjadi antara anggota keluarga adalah mereka saling tidak menyukai bahkan tidak mencintai (Rice, 1999). Dengan adanya kebutuhan affect tersebut maka Banerju (1997) mengemukakan bahwa orangtua memiliki pengaruh dalam kehidupan emosi anak-anaknya. Orangtua yang bersosialisasi dengan anaknya (terutama dengan anak perempuannya) dengan cara yang mereka rasa sesuai dengan lingkungan sosialnya, akan membuat anak-anaknya memiliki emosi yang lebih bergejolak terhadap teman-temannya (Banerju, 1997). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang menganjurkan anak-anaknya untuk mengekspresikan emosi dengan cara yang benar akan memiliki anakanak yang bersifat empatik dan perasaan yang lebih emosional (Salovey & Sluyter, 1997). b. Umur dan Jenis Kelamin Selain itu juga ada umur dan jenis kelamin. Seorang gadis yang berumur 717 tahun lebih dapat melupakan tentang emosi yang menyakitkan daripada anak laki-laki yang juga seumur dengannya (Salovey & Sluyter, 1997). Salovey dan Sluyter (1997) menyimpulkan bahwa anak perempuan lebih banyak mencari dukungan dan perlindungan dari orang lain untuk meregulasi emosi negatif mereka sedangkan anak laki-laki menggunakan latihan fisik untuk meregulasi emosi negatif mereka.
19
c. Hubungan Interpersonal Salovey dan Sluyter (1997) juga mengemukakan bahwa hubungan interpersonal dan individual juga mempengaruhi regulasi emosi. Keduanya berhubungan dan saling mempengaruhi, sehingga emosi meningkat bila individu yang ingin mencapai suatu tujuan berinteraksi dengan lingkungan dan individu lainnya. Biasanya emosi positif meningkat bila individu mencapai tujuannya dan emosi negatif meningkat bila individu kesulitan dalam mencapai tujuannya. Faktor-faktor lainnya menurut Salovey dan Sluyter (1997) adalah permainan yang mereka mainkan, program televisi yang mereka
tonton,
dan
teman
bermain
mereka
dapat
mempengaruhi
perkembangan regulasi mereka. 4. Proses Regulasi Emosi Gross (Strongman, 2003) membuat daftar lima rangkaian proses regulasi emosi, yaitu : 1. Pemilihan situasi Kita dapat mendekati atau menghindari orang, tempat atau objek. Tipe regulasi emosi ini melibatkan mengambil tindakan yang memperbesar atau memperkecil kemungkinan bahwa kita akan sampai pada sebuah situasi yang kita perkirakan akan memunculkan emosi yang diharapkan (atau tidak diharapkan).
20
2. Perubahan situasi Perubahan situasi merupakan usaha yang secara langsung dilakukan untuk memodifikasi situasi agar efek emosinya teralihkan. Situasi-situasi tersebut adalah situasi yang berpotensi membangkitkan emosi. Modifikasi situasi ini dapat dilakukan oleh pihak eksternal maupun internal. Dari pihak internal yaitu usaha yang dilakukan oleh diri sendiri dalam rangka memodifikasi situasi. Sedangkan usaha modifikasi situasi dari pihak eksternal merupakan usaha yang dapat dilakukan oleh orang lain untuk menurunkan signifikansi emosi. Upaya untuk memodifikasi situasi secara langsung untuk mengubah dampak emosionalnya merupakan salah satu bentuk regulasi emosi yang kuat. 3. Pengalihan perhatian Pengalihan perhatian merupakan cara bagaimana individu mengarahkan perhatiannya di dalam sebuah situasi untuk mengatur emosinya. Terdapat 2 strategi pengalihan perhatian yaitu distraksi dan konsentrasi. Distraksi merupakan cara pengalihan perhatian dengan memindahkan fokus internal dari satu situasi ke situasi lain. Sedangkan konsentrasi merupakan cara pengalihan perhatian dengan memfokuskan diri pada ancaman-ancaman atau kemungkinan terburuk yang akan terjadi dari sebuah situasi, dengan kata lain seseorang akan lebih fokus pada rencana untuk memecahkan masalah.
21
4. Perubahan kognitif Perubahan kognitif merupakan perubahan cara seseorang dalam menilai situasi ketika berada dalam situasi yang bermasalah untuk mengubah signifikansi emosinya. Perubahan kognitif mengacu pada mengubah cara kita menilai situasi di mana kita terlibat di dalamnya untuk mengubah signifikansi emosionalnya, dengan mengubah bagaimana kita memikirkan tentang situasinya atau tentang kapasitas kita untuk menangani tuntutan-tuntutannya. 5. Perubahan respon Ini terjadi pada bagian akhir, termasuk di sini penggunaan obat, alkohol, latihan, terapi, makan atau penekanan. (Strongman, 2003). Modulasi respon mengacu pada mempengaruhi respon fisiologis, pengalaman,atau perilaku selangsung mungkin. Upaya untuk meregulasi aspek-aspek fisiologis dan pengalaman emosi adalah hal yang lazim dilakukan. Obat mungkin digunakan untuk mentarget respon-respon fisiologis seperti ketegangan otot (anxiolytics) atau hiperaktivitas (sistem-syaraf) simpatik (beta blockers). Olahraga dan relaksasi juga dapat digunakan untuk mengurangi aspek-aspek fisiologis dan pengalaman emosi negatif, dan, alkohol, rokok, obat, dan bahkan makanan, juga dapat dipakai untuk memodifikasi pengalaman emosi. B. Konsep Self Injury 1. Definisi Self Injury Alderman
dan
Connors
(dalam
Fiona,
2005)
mengatakan
bahwa
sesungguhnya self injury merupakan suatu metode yang digunakan untuk 22
mempertahankan hidup dan merupakan suatu metode coping terhadap keadaan emosional yang sulit seperti kecemasan,stres dan perasaan negatif lainnya. Self injury sering dipilih sebagai cara yang efektif untuk menanggulangi masalah yang sedang dihadapi, meskipun harus menyakiti diri sendiri (Walsh, 2008) Self injury dalam istilah lain dikenal sebagai self harm (SH), self-inflicted violence (SIV), dan self-mutilation. Dalam arti yang lebih luas, self injury juga meliputi fenomena lainnya yang berkaitan dengan pengrusakan tubuh sendiri namun pelakunya melakukan tindakan ini dengan harapan dapat mengatasi atau membebaskan diri dari emosi yang tidak tertahankan atau rasa tidak nyaman (Walsh, 2008). The International Society for Study self injury mendefinisikan self injury sebagai perilaku melukai diri sendiri dengan disengaja yang mengakibatkan kerusakan langsung pada tubuh, untuk tujuan bukan sanksi sosial dan tanpa maksud bunuh diri. (dalam Whitlock dkk, 2009) Walsh (2006)
menyatakan bahwa self injury adalah perilaku yang
disengaja untuk menyakiti diri sendiri guna mengurangi penderitaan psikologis. Rasa sakit secara fisik lebih mudah dihadapi daripada rasa sakit secara psikis sebab sakit secara fisik nampaknya lebih nyata. Nyeri fisik dapat membuktikan pada seseorang bahwa rasa sakit yang dirasakan secara emosional memang benar dan nyata. Perilaku ini dapat membawa ketenangan dan membangunkan seseorang. Namun demikian self injury hanya menyebabkan pembebasan yang bersifat sementara dan tidak mengatasi akar permasalahannya. Hingga akhirnya 23
seseorang yang pernah melakukannya akan memiliki kecenderungan untuk mengulanginya dengan peningkatan pada frekuensi dan derajat kerusakan sceara fisik yang ditimbulkannya (Walsh, 2008) Menurut Dirgagunarsa
(dalam Fiona, 2005), seseorang lebih baik
mengekspresikan emosi dengan cara menyalurkannya daripada memendamnya untuk menghindari akibat negatif. Akan tetapi, mereka yang terlibat self injury cenderung mengalami kesulitan untuk mengungkapkan emosi mereka pada orang lain. Berdasarkan berbagai pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa self injury merupakan tindakan melukai tubuh atau bagian tubuh sendiri dengan sengaja, tidak dengan tujuan bunuh diri tetapi sebagai suatu cara untuk melampiaskan emosi-emosi yang menyakitkan. 2. Tipe Self injury Favazza (dalam Fiona, 2008) membedakan perilaku self injury menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Major self-mutilation di definisikan sebagai tindakan yang secara signifikan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki seperti semula pada organ-organ besar tubuh misalnya saja memotong tungkai atau mencungkil mata (Strong, 1998). Jenis self injury ini biasanya dilakukan oleh individu yang menderita psikosis. 2. Stereotypic self injury merupakan bentuk self injury yang lebih ringan namun sifatnya lebih berulang (Strong, 1998). Self injury tipe ini biasanya meliputi perilaku berulang seperti membenturkan kepala pada lantai. Individu yang 24
melakukannya biasanya memiliki kelainan sarafseperti autisme atau sindroma Tourette. 3. Tipe self injury jenis ketiga dikenal sebagai moderate/superficial selfmutilation yang dikatakan oleh Strong (1998) merupakan tipe self injury yang paling banyak dilakukan. Moderate/superficial self-mutilation sendiri masih memiliki tiga buah subtipe yaitu episodik, repetitif, dan kompulsif. Tipe kompulsif secara mendasar memiliki kesamaan dengan gangguan psikologis seperti gangguan obsesif-kompulsif. Tipe ini biasanya lebih kurang disadari oleh pelakunya dan biasanya bukan dilakukan untuk mencapai pelepasan namun lebih sebagai kompulsi. Sedangkan self injury yang bersifat repetitif dan episodik bervariasi pada banyak cara. Keduanya terjadi pada episode di mana self injury bermanifestasi pada waktu-waktu yang spesifik. Sedangkan pada pelaku self injury tipe moderate/superficial self mutilation yang bersifat repetitif, self injury sudah dianggap sebagai bagian yang krusial dari kepribadian mereka dan mereka menunjukkan dirinya dengan melakukan self injury. 3. Karakteristik Pelaku Self Injury Menurut Eliana (dalam Walsh, 2008) para pelaku self injury memiliki karakteristik sebagai berikut :
25
1. Berdasarkan kepribadian pelaku:
Kesulitan mengendalikan impuls di berbagai area, yang terlihat dalam masalah gangguan makan atau adiksi terhadap zat adiktif.
Para pelaku self injury cenderung memiliki self esteem yang rendah dan kebutuhan atau dorongan yang kuat untuk mendapatkan cinta dan penerimaan orang lain.
Pola pemikiran yang kaku, cara berpikir yang harus mencapai suatu tujuan atau tidak sama sekali.
2. Berdasarkan lingkungan keluarga pelaku :
Masa kecil penuh trauma atau kurangnya sosok salah satu atau kedua orang tua, menimbulkan kesulitan-kesulitan menginternalisasikan perhatian positif.
Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk mengurus diri sendiri dengan baik.
3. Berdasarkan lingkungan sosial pelaku :
Kurangnya kemampuan untuk membentuk dan menjaga hubungan yang stabil.
Takut akan perubahan, baik perubahan dalam kegiatan sehari-hari maupun pengalaman baru dalam bentuk apapun (orang-orang, tempat peristiwa), dapat juga perubahan perilaku mereka, atau perubahan yang mungkin diperlukan untuk pulih.
26
4. Bentuk Perilaku Self Injury Self injury dapat berupa mengiris, menggores kulit atau membakarnya, atau mememarkan tubuh lewat kecelakaan yang sudah direncanakan sebelumnya. Dapat juga berupa menggaruk-garuk kulit sampai berdarah, atau mengutakatik luka yang sedang dalam proses penyembuhan. Dalam kasus-kasus yang lebih ekstrim mereka bahkan mematahkan tulang-tulang mereka sendiri, memakan barang-barang berbahaya, mengamputasi tubuh mereka sendiri, atau menyuntikkan racun ke dalam tubuh (Eliana, 2008). Cara yang paling sering digunakan adalah sebagai berikut (Walsh, 2006): 1. Mengiris atau menggores kulit. 2. Mengutak-atik luka yang sudah sembuh 3. Memukul diri sendiri 4. Membakar atau menyundut diri sendiri dengan benda panas. 5. Membenturkan kepala 6. Lain-lain (misalnya, makan benda tajam, menguliti wajah, memasukan benda, piercing & menjambak rambut). 5. Faktor-Faktor Penyebab perilaku Self Injury Linehan ( Maidah, 2013) mengatakan bahwa faktor penyebab self injury adalah faktor keluarga dan lingkungan pergaulan yang tidak sehat dimana pelaku tinggal, diantaranya: a. Tumbuh didalam keluarga yang kacau balau b. Kurang kasih sayang ataupun kurang perhatian 27
c. Pernah mengalami kekerasan dalam keluarga d. Adanya komunikasi yang kurang baik di dalam keluarga e. Mengekspresikan pengalaman pribadi tidak ditanggapi dengan baik dan sering dihukum atau diremehkan f. Mengekspresikan perasaan yang menyakitkan ditanggapi dengan acuh tak acuh. Menurut Martinson (Maidah, 2013) faktor penyebab dilakukannya self injury antara lain: a. Faktor keluarga Kurangnya peran model pada masa kecil dalam mengekspresikan emosi serta kurangnya komunikasi antar anggota keluarga. b. faktor pengaruh biokimia Pelaku self injury memiliki masalah yang spesifik dalam sistem serotogenik otak yang menyebabkan meningkatnya impulsivitas dan agresivitas. c. Faktor psikologis Pelaku self injury merasakan adanya kekuatan emosi yang tidak nyaman dan tidak mampu untuk mengatasinya. d. Faktor kepribadian Tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan self injury lebih besar dibandingkan tipe kepribadian ekstrovert saat sedang menghadapi masalah. Pola perilaku self injury sangat bergantung pada mood seseorang. Selain itu 28
adanya harga diri yang rendah, pola pemikiran yang kaku dan sulitnya mengkomunikasikan perasaan menjadi faktor penunjang bagi seseorang untuk melakukan self injury. Sutton (2005) menambahkan faktor penyebab self injury adalah karena faktor-faktor psikologis yaitu merasa tidak kuat menahan emosi dan merasa terjebak, stress, self esteem yang rendah, tidak sanggup mengekspresikan ataupun mengungkapkan perasaan, merasa hampa atau kosong, adanya perasaan tertekan didalam batin yang tidak dapat ditolerir setelah kehilangan orang yang disayangi, ingin mendapat perhatian lagi dari orang yang disayangi, merasa putus asa, tidak sanggup menghadapi realita, tidak berguna, hidup terasa sulit, frustrasi dan depresi. Berdasarkan penjelasan yang ada diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap munculnya self injury dapat dikelompokan menjadi dua faktor, yaitu: a) Faktor keluarga, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu yaitu yang berasal dari lingkungan keluarga, seperti tumbuh didalam keluarga yang kacau, kurang kasih, pernah mengalami kekerasan, adanya komunikasi yang kurang baik dan tidak dianggap keberadaannya atau diremehkan. b) Faktor individu, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu, seperti pengaruh biokimia, faktor psikologis dan faktor kepribadian.
29
6. Latar Belakang Keluarga Pelaku Self Injury Latar belakang keluarga dari pelaku self injury antara lain sebagai berikut (www.selfinjury.com): a. Adanya
kehilangan
yang
mengakibatkan
traumatis,
sakit
keras,
ketidakstabilan dalam hidup berkeluarga (keluarga Nomaden, orang tua Divorce). b. Adanya pengabaian dan penganiayaan, baik secar fisik, seksual maupun emosional. c. Kehidupan keluarga dipenuhi keyakinan agama yang kaku nilai-nilai yang dogmatis , yang diterapkan dengan cara yang munafik dan tidak konsisten. d. Peran yang terbalik dalam keluarga: misalnya si anak mengambil alih tanggung jawab orang dewasa di usia dini. 7. Self injury dalam DSM-V DSM-V akhirnya self injury diakui sebagai gangguan yang terpisah dari gangguan mental lainnya. Hal ini disebut non-suicidal self injury (NSSI). Kriteria utama dari self injury antara lain adalah: a. Seseorang telah terlibat self injury, selama dua belas bulan terakhir, setidaknya dilakukan pada lima hari yang berbeda. b. Self injury bukan merupakan hal yang sepele (misalnya menggigit kuku), dan tidak merupakan bagian dari sebuah praktek yang diterima secara sosial (misalnya menusuk atau tato).
30
Self injury ditunjukkan oleh pelakunya bahwa mereka dapat sadar bahwa hal tersebut tidak mematikan. Lebih lanjut, melukai diri harus disertai dengan setidaknya dua dari berikut: Perasaan atau pikiran negatif, seperti depresi, kecemasan, ketegangan, kemarahan, kesedihan umum, atau kritik-diri, terjadi pada periode segera sebelum tindakan self injury. C. Konsep Remaja Akhir Masa remaja (adolescence) sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis,
kognitif,
dan
sosio-emosional.
Tugas
pokok
remaja
adalah
mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Sebetulnya, masa depan seluruh budaya tergantung pada seberapa efektifnya pengasuhan itu (Larson dkk, 2002). Masa remaja akhir (late adolescence) kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan yaitu antara 18-22 tahun. Minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol di masa remaja akhir dibandingkan di masa remaja awal (Santrock, 2007). 1. Tugas Perkembangan Remaja Menurut Havighurst (dikutip oleh Sarwono, 1997) tugas perkembangan remaja yaitu : a. Menerima kondisi fisiknya dan memanfaaatkan tubuhnya secara efektif. b. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebayanya dari jenis kelamin manapun. c. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan) 31
d. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya e. Mempersiapkan karir ekonomi f. Mempersiapkan perkawainan dan kehidupan berkeluarga. g. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab h. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya. D. Konsep Dewasa Awal Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan tanggung jawabnya tentu makin bertambah besar. Ia tak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis ataupun psikologis pada orang tuanya. Segala urusan ataupun masalah yang dialami dalam hidupnya sedapat mungkin akan ditangani sendiri tanpa bantuan orang lain, termasuk orang tua. Kehidupan psikososial dewasa muda makin kompleks dibandingkan dengan masa remaja selain bekerja, mereka akan memasuki kehidupan pernikahan, membentuk keluarga baru, memelihara anak-anak, dan tetap harus memperhatikan orang tua yang makin tua (Dariyo, 2004). Masa dewasa awal (early adulthood) biasanya dimulai pada akhir usia belasan atau permulaan usia 20-an dan berlangsung sampai usia 30-an. Masa ini merupakan waktu untuk membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi. Perkembangan karir menjadi lebih penting daripada waktu remaja (Santrock, 2003).
32
1. Tugas Perkembangan Dewasa Awal Menurut Havighurst (Turner dan Helms, 1995) mengemukakan tugas-tugas perkembangan dewasa muda diantaranya : a. Mencari dan menemukan calon pasangan hidup b. Membina kehidupan rumah tangga c. Meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga d. Menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
33