BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Perilaku Prososial 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial didefinisikan sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau memberi keuntungan pada individu atau sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Eisenberg dan Mussen (1989) menjelaskan bahwa perilaku prososial mengarah pada perilaku sukarela yang dimaksud untuk membantu kelompok atau orang lain. Sejalan dengan itu Einsenberg & Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan
sharing
(menyumbang),
(membagi),
helping
cooperative
(menolong),
honesty
(kerjasama),
donating
(kejujuran),
generosity
(kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah tindakan menolong dengan sukarela untuk membantu dan memberikan kesejahteraan serta keuntungan bagi orang lain. 2.1.2. Aspek- Aspek untuk Mengukur Perilaku Prososial Bentuk perilaku prososial yang merujuk pada perilaku sosial yang masih bersifat adalah sebagaimana diungkapkan oleh Eisenberg dan Mussen dan
7
dikutip oleh Dayakisni dan Hudaniah (2006) yang menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan: 1. Berbagi (sharing), yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka. 2. Kerjasama (cooperative), yaitu kesediaan untuk kerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan kooperatif dan biasanya saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong, dan menenangkan. 3. Menyumbang (donating), yaitu kesediaan untuk memberikan secara sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan. 4. Menolong (helping), yaitu kesediaan menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan, meliputi membantu orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain. 5. Kejujuran (honesty), yaitu kesediaan untuk berkata jujur dan tidak berbuat curang terhadap orang lain. 6. Kedermawanan (generosity), yaitu kesediaan memberi secara sukarela untuk orang yang membutuhkan. Dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan sharing (membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty (kejujuran), generosity (kedermawanan) dengan
8
mempertimbangan dan menghargai hak orang lain sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan orang yang mendapatkan pertolongan. 2.1.3 Faktor-faktor yang Mendasari Perilaku Prososial Menurut Staub (dalam Dayakisni&Hudaniah, 2006) terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu: 1. Self-gain Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan. 2. Personal values and norms Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik. 3. Empathy Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Jadi prasyarat untuk mampu melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran. Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mendasari seseorang untuk melakukan tindakan prososial adalah jika individu memiliki 9
harapan untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu (self-gain), ada nilai-nilai dan norma sosial yang berkaitan dengan tindakan prososial (personal values and norms), serta memiliki kemampuan untuk merasakan perasaan atau pengalaman orang lain (empathy). 2.2.
Religiusitas
2.2.1 Pengertian Religiusitas Religiusitas menurut Glock dan Stark (dalam Amrullah, 2008) adalah komitmen religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan agama), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut. Religiusitas berarti juga individu memiliki pengalaman-pengalaman bersama Tuhan dan memiliki pengetahuan mengenai dasar keyakinan, tradisi-tradisi, dan kitab suci. Jadi religiusitas adalah sejauh mana manusia menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya dengan melakukan perintah-perintah agama dan memiliki pengetahuan tentang keyakinan yang dianutnya, yang membuat manusia mengalami pengalaman-pengalaman yang datang dari Tuhan. 2.2.2 Dimensi Religiusitas Glock dan Stark (1965) berpendapat bahwa dimensi religiusitas terdiri dari: a. Ideological involvement (keterlibatan ideologi), berkaitan dengan tingkatan sejauh mana individu menerima hal-hal yang bersifat dogmatik di dalam agama masing–masing;
10
b. Ritual involvement (keterlibatan ritual), mencakup kewajiban ritual individu dalam agamanya, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang harus dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya, misalnya: upacara-upacara, sembahyang, puasa, haji dan lain-lain; c. Experiental involvement (keterlibatan pengalaman), berkaitan dengan perasaan-perasaan, persepsi, dan sensasi yang dialami dan dirasakan. Tingkah laku ini menunjukkan apakah seseorang mempunyai sesuatu yang spektakuler yang merupakan keajaiban yang datangnya dari Tuhan, maka hal ini akan nampak dalam tingkah lakunya, misalnya: merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan dan sebagainya. d. Intellectual involvement (keterlibatan intelektual), mengacu pada harapan bahwa orang-orang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar keyakinan, kitab suci dan tradisi– tradisi serta sejauh mana seseorang tersebut tergerak hatinya melakukan aktivitas untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang agamanya; e. Consequental involvement (keterlibatan konsekuensi), mengacu pada identifikasi akibat – akibat keyakinan keagamaan, praktek pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Tingkah laku seseorang konsekuen dengan ajaran agamanya dengan menjauhi apa yang dilarang oleh agamanya. Peneliti menggunakan dimensi religiusitas untuk penelitian ini, yaitu ideological
involvement
(keterlibatan
ideologi),
ritual
involvement 11
(keterlibatan ritual), experiental involvement (keterlibatan pengalaman), intellectual
involvement
(keterlibatan
intelektual),
dan
consequental
involvement (keterlibatan konsekuensi). 2.2
Kaitan Religiusitas dengan Bimbingan Konseling Konseling berakar pada pengalaman religius dan pada ilmu-ilmu tentang
tingkah laku. Menurut Prayitno dan Amti (1999) terdapat 5 landasan dalam bimbingan dan konseling. Landasan tersebut meliputi landasan filosofis, religius, psikologis, sosial budaya, dan pedagogis. Peneliti tertarik untuk mengaitkan perilaku prososial dengan religiusitas. Pemberian layanan bimbingan dan konseling harus berpegang pada nilai-nilai agama, sebab nilai-nilai agama bersifat mendasar, universal, mutlak. Berbeda dengan nilai kemasyarakatan yang bersifat relatif, berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat, agama memberikan dasar-dasar dan pegangan bagi pengendalian hawa nafsu, yang merupakan sumber dari segala permasalahan yang dihadapi manusia, termasuk anak-anak dan pemuda. Agama juga memberikan dasar-dasar dan pegangan dalam membina hubungan antar manusia, bagaimana manusia saling membantu dan meringankan beban, dan saling mengingatkan dalam kebaikan (Syaodih, 2007). Dalam upaya membantu para konselor agar mampu memberikan layanan konseling secara efektif kepada klien yang beragam latar belakangnya, Michael D. Andrea dan Judy Daniels telah melakukan terobosan baru, yaitu dengan memunculkan model konseling respectful. (Yusuf & Nurihsan, 2008)
12
Kerangka kerja konseling ini menekankan tentang perlunya konselor menyadari, bahwa perkembangan psikologis, baik dirinya maupun klien dipengaruhi oleh faktor-faktor multidimensi, yaitu: identitas religious (R), Etnik (E), identitas seksual (S), kematangan psikologis (P), kelas sosial ekonomi (E), tentang kronologis (C), ancaman (T), sejarah keluarga (F), keunikan karakteristik fisik (U), dan lokasi tempat tinggal (L). Faktor-faktor tersebut, terangkum dalam nama model konseling RESPECTFUL. Peneliti membahas faktor yang pertama yaitu identitas religius yang berkaitan tentang penelitian ini. Aspek identitas religius ini menggambarkan, bahwa faktor keyakinan beragama berperan atau berpengaruh sangat penting bagi perkembangan psikologis atau kepribadian individu. Orang yang mempunyai keyakinan beragama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran yang dianutnya, akan memperoleh kenyamanan, atau kebahagiaan dalam kehidupannya, baik dalam lingkup kediriannya, maupun hubungannya dengan orang lain. Nilai-nilai keyakinan beragama yang sudah terinternalisasi dalam diri individu merupakan landasan bagi perkembangan sifat-sifat pribadi dan perilaku yang sehat, seperti: sikap jujur, bertanggung jawab, sikap optimis, berpikir positif, tabah dalam menghadapi musibah, dan sikap altruis yaitu perilaku tanpa pamrih yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan yang ditolong dan menolong. Sikap Altruis merupakan aspek dari tingkah laku prososial (Brigham, 1991). Hasil penelitian ”Pengaruh Bimbingan dan Konseling Islam Terhadap Religiusitas Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Islam Surabaya” oleh Anisa (2011) menyatakan dari hasil koefisien yang bertanda positif menunjukkan 13
adanya hubungan yang searah atau korelasinya bersifat positif yang artinya semakin tinggi bimbingan konseling Islam yang didapat maka semakin tinggi pula religiusitas pasien pada pasien rawat inap Rumah Sakit Islam Surabaya. Hasil penelitian “Pengaruh Konseling Individu terhadap Peningkatan Religiusitas Remaja (Studi Kasus Pelaksanaan Konseling Individu di Panti Pamardhi Putra “Mandiri” Semarang)” oleh Syarifah (2008) menyatakan bahwa konseling individu berpengaruh positif terhadap peningkatan religiusitas remaja di Panti Pamardhi Putra “Mandiri” Semarang. 2.4 Hipotesis Ada hubungan yang positif signifikan antara religuisitas dengan perilaku prososial pada mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana.
14