BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Psychological Well-being
2.1.1
Pengertian Psychological Well-Being Penelitian tentang psychological well-being menurut Diener & Jahoda (dalam
Ryff, 1989) mulai berkembang pesat sejak para ahli menyadari bahwa ilmu psikologi lebih sering menekankan pada ketidakbahagiaan dan penderitaan daripada bagaimana individu dapat berfungsi secara positif (positive psychological function). Ryff (1989) juga menuliskan bahwa selama hampir 20 tahun terakhir, studi tentang psychological well-being
berkisar diantara dua konsep utama dari positive psychological
functioning. Formulasi pertama dari Bradburn (1969) yaitu perbedaan antara afek positif dan afek negatif yang mendefinisikan kebahagiaan sebagai keseimbangan diantara keduanya. Formulasi yang kedua, menekankan kepuasan hidup (life satisfaction) sebagai kunci utama dari well-being. Formulasi yang kedua ini juga berkaitan dengan seberapa baik seseorang mampu untuk berfungsi secara positif dalam hidupnya (Andrews & McKennell; Andrews & Withey; Bryant & Veroff, Campbell, Converse & Rodgers, dalam Ryff & Keyes 1995). Formulasi pertama dari Bradburn (1969) disebut dengan subjective well-being atau hedonic well-being. Sedangkan formulasi kedua dari Ryff (1989) disebut dengan psychological well-being atau eudaimonic well-being (Ryan & Deci 2001). 9
Pengertian psychological well-being sendiri menurut Ryff (1989) merupakan realisasi dari pencapaian penuh dari potensi individu yang individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti mampu memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan hidup, serta terus mengembangkan pribadinya. Keyes, Shotkin & Ryff (2002) kemudian juga menambahkan bahwa psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara efek positif dan negatif, namun psychological well-being melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup. Psychological well-being Ryff pada awalnya merupakan integrasi beberapa teori psikologi klinis dan psikologi perkembangan yang merujuk pada pendefinisian positive psychological function, diantaranya adalah self actualization menurut Maslow (1968), formulation of
maturity menurut Alport (1961), account of
individuations menurut C.G. Jung (1933), fully functioning person menurut C. Roger (1961). Selain itu juga merujuk pada teori perkembangan psikososial menurut Erikson (1959) dan menurut Buhler (1935) serta teori perubahan kepribadian menurut Neugarten (1973) dalam (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995). Menurut Ryff (1989) konsep-konsep mengenai positive psychological function dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological well-being
yang multidimensional dan
memiliki enam dimensi atau aspek psikologis. Masing-masing aspek menjelaskan tantangan berbeda-beda yang akan dihadapi oleh individu dalam usahanya berfungsi secara penuh dan positif (Ryff 1989, Ryf & Keyes 1995, Keyes, Shmotkin & Ryff). 10
Dalam perkembangan teori psychological well-being Ryff & Singer (2008) juga menyebutkan bahwa dalam pengoperasionalan setiap aspek psychological well-being memerlukan kajian-kajian empirik lain. Salah satu contohnya adalah Ryff & Singer (2008) memasukkan kajian dari Frankl tentang will to meaning
guna lebih
mengoperasionalkan aspek tujuan hidup dalam teori psychological well-being. Pengertian psychological well-being yang digunakan adalah pengertian dari Ryff (1989) yang menyimpulkan psychological well-being merupakan keadaan individu yang dapat menyadari dirinya serta memfungsikan seluruh fungsi dirinya yang ditandai dengan 6 aspek yaitu individu memiliki penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose of life), serta perkembangan pribadi (personal growth).
2.1.2
Aspek-aspek Psychological Well-Being Menurut Ryff psychological well-being terdiri dari enam aspek yaitu
penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose of life), serta perkembangan pribadi (personal growth). (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995, Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002, Ryff & Singer 2008). Dalam pengoperasionalan setiap aspek psychological wellbeing memerlukan kajian-kajian empirik lain Ryff & Singer (2008), keadaan ini membuat pengkajian setiap dimensi psychological well-being 11
dapat terus
berkembang. Ryff & Singer (2008) mendeskripsikan aspek-aspek psychological wellbeing seperti gambar di bawah ini : Gambar 2.1 Aspek Psychological Well-Being
Penjelasan setiap aspek psychological well-being sebagai berikut : 2.1.2.1 Penerimaan Diri (Self Acceptance) Aspek ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental dan juga merupakan karakteristik utama dari individu yang mencapai aktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan dewasa (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995). Ryff & Singer (2008) menjelaskan dimensi ini dengan beberapa perspektif para pakar psikologi. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memiliki harga diri yang positif, hal tersebut didefinisikan sebagai fitur utama dari kesehatan mental (Jahoda) serta karakteristik aktualisasi diri (Maslow), fungsi yang optimal (Rogers), dan kematangan (Alport). Teori tentang
12
rentang kehidupan juga menekankan pentingnya penerimaan diri, termasuk yang menjadi masa lalu kehidupan (Erikson, Neugarten). Tujuan konsep individuasi (Jung) semakin menggarisbawahi perlunya berdamai dengan sisi gelap dari diri sendiri (the shadow). Selanjutnya, kedua formulasi dari Erikson tentang integritas ego dan individuasi Jung menekankan semacam penerimaan diri yang lebih kaya dari standar harga diri yang diperlihatkan. Ini semacam evaluasi diri jangka panjang dan melibatkan kesadaran dan penerimaan, baik kekuatan dan kelemahan pribadi.
Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik akan dapat memiliki sifat positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk sifat baik dan buruk, serta memiliki pandangan positif terhadap kehidupan masa lalu. Sedangkan orang yang memiliki penerimaan diri rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri, kecewa dengan apa yang telah terjadi pada masa lalu, merasa terganggu dengan kualitas pribadi, serta mempunyai keinginan yang berbeda dari keadaan dirinya. (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).
2.1.2.2 Hubungan Positif dengan Orang lain (Positif Relations with Others) Dimensi hubungan positif dengan orang lain diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai dilihat juga sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental. Hubungan dengan orang lain yang hangat merupakan salah satu kriteria dari kedewasaan (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995). Selanjutnya Ryff & Singer (2008) juga menjelaskan aspek hubungan positif dengan orang lain sebagai berikut; Dimensi hubungan positif dengan orang lain menggambarkan ranah antar pribadi sebagai fitur utama dari kehidupan yang positif dan kehidupan yang baik. Etika Aristotales mencontohkan tentang bagian panjang persahabatan dan cinta. Otobiografi Mill menawarkan banyak detail tentang cinta yang besar dalam hidup. Russel melihat kasih sayang
13
sebagai salah satu dari sumber kebahagiaan. Jahoda pada gilirannya menyebutkan kemampuan untuk mencintai menjadi komponen utama dari kesehatan mental, sedangkan Maslow menggambarkan aktualisasi diri dengan memiliki perasaan yang kuat atau empati dan kasih sayang untuk semua kehidupan baik manusia, kapasitas cinta yang besar, persahabatan yang mendalam dan menutup identifikasi kepada orang lain. Hubungan yang hangat juga diajukan sebagai kriteria kematangan (Allport). Teori perkembangan kedewasaan (Erikson) menekankan pencapaian serikat dengan orang lain (keintiman) serta bimbingan dan arah orang lain. Di luar semua perspektif tersebut terdapat filosofi tentang “kriteria bagus” dalam kehidupan yang baik (Becker 1992) yang menggarisbawahi keutamaan cinta, empati dan kasih sayang. Dalam perspekstif budaya, ini merupakan pengakuan universal sebagai fitur utama tentang bagaimana untuk hidup.
Individu yang mempunyai tingkatan yang baik pada dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman, serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sedangkan orang yang memiliki tingkatan yang rendah pada dimensi ini mereka memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain, susah untuk bersikap hangat, tebuka dan perhatian terhadap orang lain. (Ryff & Keyes 1995, Ryf & Singer 2008).
2.1.2.3 Otonomi (Autonomy) Individu yang sudah mencapai aktualisasi diri dideskripsikan sebagai orang yang menampilkan sikap otonomi
(autonomy). Individu yang
berfungsi secara
lengkap ini juga dideskripsikan memiliki internal locus of control dalam mengevaluasi dirinya, maksudnya individu tersebut tidak meminta persetujuan dari
14
orang lain namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar-standar pribadinya (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995). Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai aspek kemandirian sebagai berikut; Banyak dari kerangka kerja konseptual mendasari model multidimensional kesejahteraan yang menekankan kualitas penentuan nasib sendiri, kemerdekaan dan pengaturan perilaku dari dalam diri. Misalnya aktualisasi diri digambarkan sebagai fungsi yang otonom dan "resistensi terhadap enkulturasi" (Maslow). Orang yang berfungsi sepenuhnya (fully function person) dijelaskan oleh Rogers memiliki internal locus evaluasi, di mana seseorang tidak melihat ke orang lain untuk disetujui, namun mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi. Individuasi juga digambarkan sebagai keterlibatan "pembebasan dari konvensi" (Jung), yang tidak lagi menyerah dari keyakinan kolektif, ketakutan, dan hukum dari massa. Ide eksistensial hidup dalam "iktikad buruk" (Sartre 1956) menyampaikan pentingnya untuk mengubah hidup dalam tiap tahun kemudian kehidupan, dan saling berhubungan dengan mendapatkan rasa kebebasan dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari. Aspek kesejahteraan ini tidak diragukan lagi paling berbudaya barat dari semua dimensi lainya.
Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik maka individu tersebut akan mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan berperilaku dengan cara tertentu, mampu mengatur perilaku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi. Individu yang memiliki otonomi yang rendah akan terlalu memikirkan tuntutan dan evaluasi orang lain, bergantung kepada orang lain untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap tekanan sosial (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).
15
2.1.2.4 Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Merupakan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan suatu lingkungan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, dapat didefinisikan sebagai salah satu karakteristik kesehatan mental. Penguasaan lingkungan yang baik dapat dilihat dari sejauh mana individu dapat mengambil keuntungan dari peluangpeluang yang ada di lingkungan. Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai aspek penguasaan lingkungan sebagai berikut : Jahoda mendefinisikan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok sesuai kondisi fisik sebagai karakteristik kunci dari kesehatan mental. Teori perkembangan hidup juga menekankan pentingnya kemampuan memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks. Terutama di usia pertengahan, serta kapasitas untuk bertindak dan mengubah dunia sekitarnya melalui kegiatan mental dan fisik. Kriteria Allport tentang kematangan termasuk kapasitas untuk "memperpanjang diri" oleh Wich maksudnya mampu berpartisipasi dalam bidang signifikan atau berusaha yang melampaui diri. Bersama-sama, perspektif ini menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam penguasaan lingkungan adalah patisari penting dari suatu kerangka terpadu pada fungsi psikologis yang positif. Meskipun daerah kesejahteraan ini tampaknya memiliki kesejajaran dengan konstruksi psikologis lain, seperti kontrol diri dan efikasi diri, penekanan pada menemukan atau menciptakan konteks sekitarnya yang sesuai dengan kebutuhan pribadi seseorang dan kapasitas unik untuk penguasaan lingkungan.
Individu yang memiliki penguasaan yang baik tehadap lingkungannya ditandai dengan kemampuannya dalam memilih atau menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, nilai-nilai pribadinya dan memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber
peluang
yang
ada
di
lingkungan.
Individu
juga
dapat
mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sedangkan individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan
16
mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang di luar dirinya serta tidak menyadari peluang yang ada di lingkungan (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).
2.1.2.5 Tujuan Hidup (Purpose of Life) Individu memiliki keyakinan bahwa hidup ini bermakna dan hidup ini menuju ke sebuah target tertentu yang selalu berubah merupakan suatu karakteristik kesehatan mental. Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai aspek tujuan hidup sebagai berikut : Dimensi well-being ini berkembang dari perspektif eksistensial, khususnya konsep pencarian makna (search for meaning) Frankl yang berfokus dalam mengarahkan dan membantu manusia menemukan makna dan tujuan hidup melalui penderitaan (suffering). Pembentukan makna dan pengarahan hidup juga merupakan tantangan mendasar hidup otentik menurut Sartre. Sementara pandangan ini cenderung menekankan keinginan untuk bermakna dalam menghadapi apa yang mengerikan, atau tidak masuk akal dalam hidup, tema tujuan juga terlihat dalam literatur lain kurang terfokus pada kegelapan, penekanan Russell pada semangat, misalnya, pada dasarnya adalah tentang aktif mengikutsertakan dan memiliki sikap reflektif terhadap kehidupan. Definisi Jahoda tentang kesehatan mental memberikan penekanan eksplisit untuk pentingnya kepercayaan yang memberikan satu rasa tujuan dan makna hidup. Definisi Allport yang akhir termasuk rasa pengarahan diri dan intensionalitas. Akhirnya, teori perkembangan rentang hidup mengacu pada tujuan mengubah atau tujuan yang mencirikan tahap kehidupan yang berbeda, seperti menjadi kreatif atau produktif di usia setengah baya, dan menuju ke arah integrasi emosional di kemudian hari.
Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik akan memiliki target dan citacita dalam hidupnya serta merasa bahwa kehidupan di saat ini dan masa lalu adalah bermakna, individu tersebut juga memegang teguh pada suatu kepercayaan tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sedangkan individu yang kurang 17
memiliki tujuan hidup akan kurang memaknai hidupnya, tidak memiliki tujuan dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki target dan cita-cita (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).
2.1.2.6 Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Individu dalam berfungsi secara optimal secara psikologis harus berkembang, mengembangkan potensi-potensinya, untuk tumbuh dan maju. Pemanfaatkan secara optimal seluruh bakat dan kapasitas yang dimiliki oleh individu merupakan hal yang penting dalam psychological well-being.
Individu yang terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru berarti individu tersebut akan terus berkembang bukan hanya mencari suatu titik yang diam di mana semua masalah terselesaikan. Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai aspek pertumbuhan pribadi sebagai berikut; Dari semua aspek kesejahteraan, pertumbuhan pribadi adalah yang paling mendekati arti tentang eudaimonia Aristotales. Seperti yang secara eksplisit berkaitan dengan realisasi diri individu. Bagian dari fungsi positif sehingga dinamis, yang melibatkan suatu proses terus-menerus untuk mengembangkan potensi seseorang. Aktualisasi diri, seperti yang dirumuskan oleh Maslow, dan diuraikan oleh Norton, terpusat pada realisasi potensi pribadi, seperti konsepsi positif Jahoda tentang kesehatan mental. Rogers juga menggambarkan orang yang berfungsi penuh memiliki keterbukaan terhadap pengalaman dan dia terus mengembangkannya, daripada mencapai keadaan tetap di mana semua masalah diselesaikan. Teori rentang kehidupan (Buhler, Erikson, Neugarten, Jung) juga memberikan penekanan eksplisit pada pertumbuhan lanjutan dan menghadapi tantangan baru pada periode yang berbeda dari kehidupan.
Individu yang mempunyai pertumbuhan diri yang baik akan memiliki perasaan yang terus berkembang, melihat diri sendiri sebagi sesuatu yang terus berkembang,
18
menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan perilakunya dalam waktu-kewaktu. Sedangkan individu yang kurang baik dalam perkembangan dirinya akan mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang stagnan, kurang meningkat dalam perilaku dari waktu-kewaktu, merasa bosan dengan hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku tertentu (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).
2.1.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
2.1.3.1 Faktor Demografis Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan budaya. Melalui berbagai penelitian, Ryff dan Singer (1996) menemukan beberapa faktor-faktor demografis yang mempengaruhi perkembangan psychological wellbeing seseorang a)
Usia Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1996) menunjukkan
beberapa aspek dari psychological well-being seperti penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan pola yang meningkat sejalan dengan usia. Khususnya dari dewasa awal (usia 18 tahun – 29 tahun) ke dewasa madya (usia 30 tahun – 64 tahun). Aspek lain seperti pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukkan pola menurun khususnya dari dewasa ke lanjut usia. Hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan bila ditinjau
19
berdasarkan usia. Karasawa dkk (2011) juga mendapatkan hasil penelitian bahwa usia mempengaruhi perkembangan psychological well-being. b)
Jenis Kelamin Penelititan Karasawa, Ryff dkk (2011) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan tingkat psychological well-being jika ditinjau dari jenis kelamin yang dimiliki. Pada dimensi otonomi terlihat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mempunyai otonomi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan pada masa usia 35 tahun - 54 tahun, kemudian wanita yang berbalik mempunyai psychological well-being lebih tinggi pada usia 55 tahun - 74 tahun. c)
Status Sosial Ekonomi Hasil penelitian longitudinal Wiscousin (dalam Ryff & Singer 1996)
menunjukkan bahwa psychological well-being lebih tinggi pada individu yang memiliki pendidikan lebih tinggi, terutama untuk dimensi tujuan hidup dan perkembangan pribadi, baik pada wanita maupun pria. Selanjutnya individu yang mempunyai penghasilan dan jabatan lebih tinggi menunjukan psychological wellbeing yang lebih baik pula d)
Budaya Penelitian yang dilaksanakan oleh Karasawa, Ryff dkk (2011) melihat
psychological well-being dalam dua prespektif kebudayaan yang berbeda yaitu kebudayaan Jepang dan Amerika. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa tingkat psychological well-being yang dimiliki masyarakat Jepang sangat berbeda dengan yang dimiliki masyarakat Amerika dalam setiap aspek/dimensinya. 20
2.1.3.2 Pemberian Arti Terhadap Hidup Menurut Ryff (1989) pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi kontribusi yang sangat besar terhadap pencapaian psychological well-being. Pengalaman tersebut mencakup berbagai hal dan berbagai periode kehidupan yang dialami oleh individu. Pengalaman individu tersebut dapat berupa pengalaman religius, pengalaman pernah mengalami pelecehan.
2.1.3.3 Kepribadian Kepribadian sering dihubungkan dengan dimensi psychological well-being, Schumutte & Ryff (1997) menemukan sifat neurotik, ektrovet dan conscientiousness adalah prediktor yang konsisten dari dimensi-dimensi psychological well-being khususnya dimensi penerimaan diri,penguasaan lingkungan dan tujuan hidup.
2.2
Ethnic Identity
2.2.1
Pengertian Ethnic Identity Ethnic identity atau ethnic identity didefinisikan dengan berbagai macam
cara dan banyak ahli. Jean Phinney (1996, 2003) yang sekarang menjadi ahli dan mengembangkannya, mengakui ketidaksamaan definisi-definisi tentang ethnic identity membuat generalisasi dan perbandingan lintas kajian menjadi sulit dan mendua. Oleh sebab itu menurutnya definisi itu merupakan konsep psikologis, bahwa ethnic identity adalah suatu konstruk dinamis, multidimensional yang merujuk kepada identitas diri, atau ia merasa diri sebagai anggota dari satu kelompok etnik tertentu 21
(Phinney 1996, Phinney 2003). Menurut pandangannya seseorang mengklaim suatu identitas dalam konteks satu sub-kelompok mempunyai kesamaan keturunan dan memiliki bersama satu kebudayaan yang sama, ras, agama, bahasa, kekerabatan, atau tempat asal-usul. Phinney juga menambahkan bahwa ethnic identity bukanlah satu yang sudah pasti (fixed) melainkan cair (fluid) dan pemahaman dinamis tentang diri dan latar belakang etnik. Identitas diri itu dikonstruksi dan dimodifikasi ketika individu-individu meyadari etnisitas mereka, dengan setting sosiokultural yang luas (Phinney, 2003). Selanjutnya Phinney & Ong (2007) menjelaskan bahwa sebagian besar penelitian tentang ethnic identity telah didasarkan pada studi identitas kelompok oleh para psikolog sosial (misalnya, Tajfel & Turner, 1986). Dari perspektif ini, identitas etnik merupakan aspek sosial identitas, yang didefinisikan oleh Tajfel (1981) sebagai bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan yang didapatkannya sebagai anggota kelompok sosial sekaligus dengan nilai dan makna emosional yang melekat sebagai anggota.
Definisi
tersebut menunjukkan
konstruksi yang
multidimensional (Phinney & Ong 2007). Identitas etnik berasal dari rasa keberadaan umat dalam suatu kelompok, budaya, dan pengaturan tertentu. Namun identitas etnik tidak hanya pengetahuan dan pemahaman tentang afiliasi in group seseorang, bahkan wawasan dan pemahaman tersebut adalah sebagai bagian dari itu. Pencapaian identitas etnik berasal dari pengalaman, tapi pengalaman juga tidak cukup untuk memproduksinya. Karena identitas etnik seseorang dibangun dari waktu ke waktu, tindakan dan pilihan individu 22
penting dalam proses pembentukannya (Phinney & Ong 2007). Kesimpulan tentang identitas etnik yang selalu berkembang seiring berjalannya waktu ini juga memberikan kontibusi dalam perkembangan ilmunya. Ada beberapa penelitian oleh Phinney dan koleganya yang muncul hingga mempengaruhi konstruksi bangunan teori ethnic identity dari waktu ke waktu. Menurut Phinney (1990), Phinney dan Alipora (1990), Phinney (1996) ethnic identity adalah sebuah konstruksi kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, ethnic identity akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Phinney & Ong (2007) mendefinisikan identitas etnik adalah rasa diri sebagai anggota kelompok yang berkembang dari waktu ke waktu melalui proses aktif penyidikan, belajar, dan komitmen. Sedangkan dalam penelitian ini pengertian, konstruksi bangunan teori dan alat ukur yang digunakan akan disesuaikan dengan bangunan teori ethnic identity Phinney & Ong (2007) dengan aspek eksplorasi (penyidikan, belajar) dan komitmen menjadi aspek utama dan menjadi komponen utama dalam konstruk multigroup ethnic identity measure – revised (MEIM – R).
23
2.2.2
Komponen Ethnic Identity / Ethnic identity Komponen ethnic identity Phinney (1989) telah mengalami banyak
perkembangan sejak dimunculkan pada tahun 1989. Beberapa penelitian mengenai ethnic identity juga digunakan Phinney untuk memperbaharui konseptualisasi ethnic identitynya. Dalam review terbaru dari ethnic identity, Ashmore dkk dalam Phinney & Ong 2007) berusaha untuk mengidentifikasi komponen-komponen utama dari identitas kelompok dan memberikan kerangka yang berguna untuk pemahaman identitas etnik dalam arti luas. Review sebagian besar adalah pada gambaran teori serta bukti empiris yang ada. Namun, sangat membantu sebagai dasar untuk memeriksa aspek identitas etnik. Dalam hal ini bagian yang dipertimbangkan sebagai komponen identitas etnik yang telah diidentifikasi oleh Ashmore dkk serta peneliti lainnya. Secara khusus, akan dibahas kategorisasi diri, komitmen dan keterikatan, eksplorasi, keterlibatan perilaku, sikap ingroup, nilai-nilai etnik dan keyakinan, pentingnya atau arti-penting dari keanggotaan kelompok, dan identitas etnik dalam kaitannya dengan identitas nasional Phinney & Ong (2007).
2.2.2.1 Kategorisasi Diri dan Pelabelan Kategorisasi diri, yaitu mengidentifikasi diri sendiri sebagai anggota dari kelompok sosial tertentu Phinney & Ong (2007). Pengukuran identitas etnik harus dimulai dengan memverifikasi bahwa individu-individu yang dipelajari pada kenyataannya mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok tertentu. Ini bisa dilakukan baik dengan pertanyaan terbuka atau dengan daftar yang tepat inklusif 24
(Phinney, 1992). Untuk tujuan ini, tidak dipedulikan apakah label adalah kelompok etnik atau kelompok ras (terlepas dari bagaimana istilah ini didefinisikan dan apakah mereka dalam lingkup luas atau sempit). Individu dapat menggunakan berbagai pelabelan atau kategori, tergantung pada situasi, misalnya, orang yang sama mungkin menggunakan istilah Cina, Amerika Cina, Asia, atau Asia / Kepulauan Pasifik, atau alternatif lain seperti, Meksiko Amerika, Latin, Hispanik, atau bahkan Maya. Penggunaan label dipengaruhi untuk batas tertentu tergantung konteksnya dan dengan bagaimana seseorang terlihat oleh orang lain, sehingga orang tidak dapat dengan mudah menggunakan label yang berbeda dengan penampilan kelompoknya (Phinney & Ong 2007). Kategorisasi diri peserta penelitian dapat diperoleh melalui kedua pertanyaan terbuka dan daftar cek. Karena mungkin ada perbedaan, maka juga berguna untuk meminta individu untuk melaporkan latar belakang (etnik, ras, atau bangsa) dari kedua orang tua. Prosedur ini memungkinkan untuk identifikasi etnik campuran individu yang mungkin mengidentifikasikan diri hanya dengan satu kelompok, dan juga dapat membantu memperjelas latar belakang spesifik responden, misalnya, dalam kasus responden yang menganggap dirinya orang Latin, sedangkan kedua orang tua menyebut dirinya Meksiko. Peneliti kemudian dapat membuat keputusan tentang kriteria yang digunakan dalam mengkategorikan peserta untuk tujuan tertentu. Namun demikian, kategori atau label itu sendiri adalah kurang penting secara psikologis daripada makna dari kategori bagi individu sendiri (Phinney & Ong 2007). 25
2.2.2.2 Komitmen dan Keterikatan Phinney & Ong (2007)
menjelaskan bahwa sebuah komitmen, atau rasa
memiliki (sense of belonging), menjadi hal yang paling penting sebagai komponen identitas etnik. Keterikatan atau rasa komitmen dimasukkan oleh Ashmore dkk 2004 (dalam Phinney & Ong 2007) sebagai kunci komponen identitas kelompok. Istilah komitmen telah digunakan baik dalam psikologi sosial (misalnya, Ellemers, Spears, & Doosje, dalam Phinney & Ong 2007) dan psikologi perkembangan (Roberts dkk. dalam Phinney & Ong 2007) untuk merujuk pada keterikatan pribadi yang kuat dalam kelompok. Selanjutnya, sesuai dengan model perkembangan (Marcia, 1980; Phinney, 1989, 1993), komitmen saja tidak dapat mendefinisikan kepercayaan diri dan kematangan dalam pencapaian identitas. Ini karena komitmen diidentifikasi dari orang tua atau panutan lainnya yang belum sepenuhnya diinternalisasi oleh individu. Demikian juga komitmen disebut tertutup, ketika individu tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang makna dan implikasi komitmen kelompoknya. Sebaliknya, rasa aman dan kestabilan diri didefinisikan sebagai pencapaian identitas yang mencerminkan pengetahuan dan pemahaman tentang etnik yang didasarkan pada proses eksplorasi (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.3 Eksplorasi Eksplorasi, didefinisikan sebagai pencarian informasi dan pengalaman yang relevan dengan etnik seseorang, Eksplorasi dapat melibatkan berbagai kegiatan, 26
seperti membaca dan berbicara kepada orang-orang, belajar praktek budaya, dan menghadiri acara budaya. Meskipun eksplorasi paling sering terjadi pada remaja, itu adalah proses yang berkelanjutan yang dapat terus dari waktu ke waktu, mungkin sepanjang hidup (Phinney, 2006), tergantung pada pengalaman individu. Eksplorasi menjadi hal yang penting dalam prosesnya, karena tanpa proses itu, komitmen seseorang mungkin kurang baik dan lebih tunduk pada perubahan dengan pengalaman baru (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.4 Perilaku Keetnisan Perilaku etnik telah dimasukkan dalam banyak ukuran identitas etnik, praktek etnik dan interaksi sosial termasuk dalam versi asli dari MEIM (Phinney, 1992). Pengukuran ethnic identity dikembangkan oleh kelompok tertentu (misalnya, FelixOrtiz, Newcomb, & Myers, 1994) umumnya termasuk perilaku seperti berbicara bahasa, makan-makanan, dan bergaul dengan anggota kelompok seseorang. Pengetahuan dan penggunaan bahasa etnik, secara khusus telah dianggap oleh beberapa peneliti
menjadi aspek kunci dalam identitas etnik. Perilaku adalah
tindakan yang dapat mengekspresikan identitas, etnik dan perilaku umumnya berkorelasi dengan aspek-aspek lain dari identitas etnik. Namun, identitas etnik adalah struktur internal yang dapat eksis tanpa perilaku. Perilaku terkait dengan budaya seseorang atau kelompok etnik telah dipelajari sebagai aspek akulturasi, berbeda dengan identitas etnik (Berry, Phinney, Sam, & Vedder, 2006 dalam Phinney & Ong 2007). Untuk kejelasan konseptual, perilaku harus dipertimbangkan secara 27
terpisah dari identitas. Hasil penelitian yang cenderung lebih pelit jika perilaku etnik dimasukkan sebagai langkah-langkah diskrit dalam studi identitas etnik, sehingga hasilnya dapat dianalisis secara terpisah, untuk membedakan implikasi dari identitas seseorang dan keterkaitan dengan perilaku (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.5 Evaluasi dan Sikap Ingroup Secara teoritis, rasa yang kuat memiliki kelompok (sense of belonging) diasumsikan untuk memasukkan perasaan nyaman dengan etnik seseorang dan memiliki perasaan positif tentang keanggotaan kelompok seseorang (Tajfel & Turner, 1986 dalam Phinney & Ong 2007). Sikap positif tentang kelompok dan diri sendiri sebagai anggota kelompok adalah penting karena anggota minoritas dan status kelompok yang lebih rendah menjadi subyek diskriminasi yang dapat menyebabkan sikap negatif ingroup (Tajfel dalam Phinney & Ong 2007). Hampir semua kelompok etnik minoritas telah mengalami diskriminasi, dan sikap negatif ingroup, seperti keinginan untuk termasuk dalam kelompok yang dominan, telah dilakukan oleh kebanyakan anggota
kelompok minoritas (Phinney, 1989). Sebuah perspektif
perkembangan menunjukkan bahwa pembentukan identitas etnik dicapai berdasarkan belajar tentang kelompok etnik seseorang dan membuat komitmen ke dalam kelompok yang mengarah pada penolakan pandangan negatif sesuai stereotip (Phinney, 1989). Sebuah identitas etnik dicapai menyiratkan bahwa sikap tentang kelompok seseorang telah diperiksa dan dievaluasi secara independen dan tidak hanya 28
internalisasi dari apa yang orang lain pikirkan. Secara empiris, sejumlah studi (Phinney, Cantu, & Kurtz, 1997, Roberts et al, 1999) telah menemukan sikap positif seperti kebanggaan dan perasaan yang baik tentang kelompok seseorang untuk menjadi bagian dari pencapaian identitas etnik. Perasaan positif untuk kelompok seseorang telah ditunjukkan sebagai prediksi kebahagiaan setiap harinya (Kiang, Yip, Gonzales, Witkow, & Fuligni, 2006 dalam Phinney & Ong 2007).
2.2.2.6 Nilai dan Keyakinan Banyak pengukuran identitas etnik telah dikembangkan untuk kelompok tertentu dan telah memasukkan nilai-nilai dan keyakinan tertentu ke kelompok (misalnya, Felix Ortiz dkk, dalam Phinney & Ong 2007). Pengkajian nilai-nilai dan keyakinan memerlukan penggunaan konten yang berbeda antar kelompok, misalnya kekeluargaan untuk orang Latin, berbakti bagi orang Asia, dan nilai Afrocentric untuk Afrika Amerika. Penelitian dengan komponen tersebut menunjukkan berkorelasi sangat kuat dengan komitmen atau rasa memiliki (sense of belonging) (Phinney & Ong 2007). Nilai adalah indikator penting dari kedekatan seseorang kepada kelompok. Namun terbatas dalam kelompok itu, tidak selalu ada dalam konsensus kelompok tentang nilai-nilai dan keyakinan harus termasuk dalam skala. Bahkan ada kesepakatan, seperti pengukuran dapat digunakan hanya dengan kelompok-kelompok tertentu dan tidak dapat digunakan untuk perbandingan seluruh kelompok. Selain itu, nilai-nilai dan keyakinan mungkin memiliki korelasi yang berbeda dari identitas etnik 29
per skala, yaitu dari rasa berkomitmen kepemilikan kelompoknya. Oleh karena itu, kejelasan yang lebih besar dapat diperoleh dengan menilai secara terpisah nilai-nilai dan rasa memiliki seseorang (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.7 Nilai Penting Ethnic Identity Ada variasi luas tentang pentingnya atribut untuk identitas etnik seseorang dibandingkan individu dan kelompok (Phinney & Alipuria, 1990). Atribut etnisitas anggota kelompok etnik minoritas lebih besar dan penting daripada anggota dominan mayoritas. Ada juga variasi dalam arti penting dari identitas etnik dari waktu ke waktu. Para penulis juga menunjukkan bahwa arti penting dikaitkan dengan positive well-being setiap hari bagi individu dengan identitas etnik yang tinggi tetapi tidak individu yang rendah dalam identitas etniknya (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.8 Rangkuman Phinney & Ong (2007) menyebutkan berbagai komponen identitas etnik yang telah diidentifikasi menimbulkan pertanyaan pengukuran: Apakah ada satu konstruk menyeluruh identitas etnik, atau ada berbagai komponen yang harus dinilai dan dipelajari secara terpisah? Dalam penelitian masa lalu, jawabannya selalu agak sewenang-wenang, dengan peneliti memilih aspek konsep untuk menilai untuk tujuan tertentu atau menambahkan elemen baru untuk menjawab pertanyaan penelitian mereka (misalnya,Altschul, Oyserman, & Bybee, 2006, Yip & Fuligni, 2002). Sekarang diusulkan bahwa pendekatan pembangunan, yang berfokus pada proses 30
pembentukan identitas etnik dapat memberikan petunjuk secara teoritis dan psikometris untuk mengukur aspek-aspek inti identitas etnik. Pada kesimpulan artikelnya Phinney & Ong (2007) menyimpulkan untuk menggunakan dua aspek utama ethnic identity yaitu eksplorasi dan komitmen untuk membangun konstruk pengukuran berupa Multigroup Ethnic Identity Measure Revised (MEIM – R).
2.2.3
Tahap Pembentukan Ethnic Identity Dalam tulisannya yang berjudul Understanding Ethnic Identity Diversity : The
Role of Ethnic Identity, Phinney (1996) menyebutkan tiga tahap pembentukan ethnic identity. Ketiga tahap tersebut adalah : 1.
Unexamined Ethnic Identity Phinney (1996) menggambarkan pada tahap ini hubungan individu dengan
kelompoknya sendiri dapat berlangsung positif, negatif ataupun netral, semua tergantung dengan adanya sosialisasi (keluarga dan komunitas). Sedangkan hubungan dengan kelompok lainnya juga dapat positif, negatif ataupun netral tergantung dengan adanya sosialisasi. Kemungkinan juga dapat terjadi identifikasi kepada kelompok lainya. 2.
Moratorium / Exploration Phinney (1996) menggambarkan pada tahap ini hubungan individu dengan
kelompoknya sendiri terdapat banyak keterlibatan dalam kelompok, mempunyai tipikal sikap yang positif tetapi memungkinkan adanya perpindahan sesuai dengan keadaan jiwa (mood) yang ada. Sedangkan hubungan dengan kelompok lainnya 31
adalah adanya kesadaran akan rasisme, kemungkinan kemarahan kepada kelompok kulit putih / lainnya dan adanya empati kepada kelompok minoritas lainnya. 3.
Achieved Ethnic Identity Phinney (1996) menggambarkan pada tahap ini hubungan individu dengan
kelompoknya sendiri adalah terjaminnya perasaan sebagai anggota kelompok, penilaian yang realistik terhadap kelompoknya sedangkan hubunan dengan kelompok lainnya adalah dapat menerima dan memiliki keterlibatan positif (integrasi) dalam memilih separatisme atau pendekatan positif akn diskriminasi.
2.3
Etnik Jawa Kata etnik sendiri diartikan oleh Jones (dalam Liliweri, 2011) sebagai sebuah
himpunan manusia (sekelompok manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu. Selaras dengan pendapat Jones, Phinney (1996) juga menyebutkan bahwa keetnisan seringkali dianggap sebagai budaya. Asumsi yang paling umum dipakai adalah norma-norma, nilai-nilai, sikap-sikap, dan perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh individu anggota kelompok etnik tertentu merupakan tipikal etnik yang bersangkutan di mana individu itu berasal. Perilaku tipikal individu berakar pada budaya yang sudah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itu sebabnya mengapa perilaku individu tersebut bersifat khas. Dalam penelitian ini secara spesifik etnik yang menjadi subjek
32
penelitian adalah etnik Jawa. Phinney (1996) menyebutkan 3 aspek psikologis yang penting mengenai keetnisan, yaitu : 1.
Nilai budaya, sikap dan perilaku yang sesuai dengan kelompok etnik.
2.
Perasaan subjektif sebagai anggota kelompok etnik.
3.
Pengalaman hubungan dengan status minoritas, kepemilikan kekuatan, diskriminasi dan prasangka. Etnik Jawa sendiri tidak berarti seluruh masyarakat pulau Jawa seluruhnya,
yang dimaksudkan adalah masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jawa Barat tidak dimasukkan karena adanya perbedaan sosial budaya yang cukup besar bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur (Sastrosupono dalam Pusat Bimbingan UKSW, 1982). Penduduk Jawa Tengah pada umumnya lebih halus perilakunya dibandingkan dengan penduduk Jawa Timur. Orang Surakarta dan Yogyakarta dikenal sebagai orang yang lebih halus dibandingkan penduduk daerah Kedu-Begelen maupun Banyumas, Tegal, dan sekitarnya. Begitu pula masyarakat pesisir mempunyai corak yang berbeda dengan daerah pegunungan maupun daerah bekas kerajaan Surakarta-Yogyakarta. Faktor rasa lebih diperhatikan dan dijunjung tinggi didaerah Yogyakarta-Surakarta, sedangkan keterusterangan dan spontanitas lebih menonjol di daerah Kedu – Begelen, Banyumas dan Jawa Timur (Sastrosupono dalam Pusat Bimbingan UKSW, 1982). Geertz, (2013) menjelaskan sangat besarnya suku Jawa juga memunculkan beberapa varian di dalamnya. Penggolongan penduduk menurut pandangan morang Jawa, menurut kepercayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik orang Jawa 33
menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa. Tiga tipe kebudayaan ini adalah abangan, santri dan priyayi. Abangan menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani Desa; santri menekankan aspek-aspek Islam sinkretisme serta umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang dan unsur tertentu dalam kaum tani; dan priyayi yang menekankan aspek-aspek Hindu yang diasosiasikan dengan unsur birokrasi. Penjelasan mengenai ketiga varian yang ada dalam etnik atau penduduk Jawa sebagai berikut :
2.3.1
Varian Abangan Geertz (2013) menjelaskan tentang varian abangan dalam tulisannya sebagai
berikut : Dewasa ini sistem keagamaan Desa lazimnya terdiri atas sebuah integrasi yang berimbang antara unsur-unsur animisme, hindu, dan Islam; sebuah sinkretisme dasar orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat yang sebenarnya di pulau itu (Jawa). Dasar utama peradabannya; namun situasinya lebih kompleks dibandingkan dari ini, karena seperti yang akan kita lihat nanti, tidak hanya banyak petani yang tidak mengikuti sinkritisme ini, tetapi juga banyak orang kota-kebanyakan para petani kelas rendah yang tersingkir atau anak-anak petani yang tersingkirmengikutinya. Tradisi keagamaan abangan, yang terutama sekali terdiri atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang luas dan kompleks terhadap mahluk halus serta serangkaian teori dan praktik pengobatan, sihir serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem keagamaan umum orang Jawa.
Secara singkat pengertian orang Jawa varian abangan dilukiskan oleh Geertz (2013) sebagai varian yang menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani.
34
2.3.2
Varian Santri Geertz (2013) menjelaskan tentang varian santri dalam tulisannya sebagai
berikut : Islam yang lebih murni itu merupakan subtradisi yang saya sebut santri. Walaupun dengan cara umum dan luas, subvarian santri ini dipertautkan dengan elemen dagang orang Jawa, ini tidak hanya berlaku bagi kalangan dagang saja. Demikian juga, tidak semua pedagang betul-betul pemeluk merupakan pemeluk subvarian itu. Ada elemen santri yang kuat di desadesa. Mereka seringkali berada di bawah pimpinan para petani yang lebih kaya yang sudah mampu naik haji ke Mekkah dan setelah kembali mendirikan sekolah-sekolah agama. Pada pihak lain, pasar, khususnya sejak perang dan lenyapnya pemerintahan Belanda akan pelayan dan buruh kasar, penuh sesak oleh kerumunan pedagang kecil abangan yang mencoba mencari nafkah seadanya. Walaupun begitu, jumlah terbanyak dari pedagang lebih besar serta giat masih berasal dari kalangan santri. Tradisi keagamaan kalangan santri tidak hanya terdiri atas pelaksanaan ritual dasar Islam secara cermat dan teratur-sembahyang, puasa, haji, tetapi juga mencakup seluruh organisasi sosial, kedermawanan serta politik Islam. Tradisi ini adalah subvarian kedua dari sistem keagamaan masyarakat Jawa.
Secara singkat pengertian orang Jawa varian santri dilukiskan oleh Geertz (2013) sebagai varian yang menekankan aspek-aspek Islam sinkretisme dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang.
2.3.3
Varian Priyayi Geertz (2013) menjelaskan tentang varian priyayi dalam tulisannya sebagai
berikut : Pada mulanya priyayi hanya merujuk pada kalangan aristokrasi turuntemurun yang oleh Belanda dicomot dengan mudah dari Raja-raja pribumi yang ditaklukan, untuk kemudian diangkat sebagai pegawai sipil yang digaji. Elite pegawai kerah-putih ini yang ujung akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, seni tari, sandiwara, musik dan puisi, yang sangat kompleks dan mistisme Hindu-Budha. Mereka tidak menekankan elemen animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula menekankan
35
elemen Islam sebagaimana kaum santri melainkan menitikberatkan pada elemen Hinduisme.
Secara singkat pengertian orang Jawa varian priyayi dilukiskan oleh Geertz (2013) sebagai varian yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi. Dalam penelitian ini varian etnik Jawa yang akan dipilih adalah varian santri yaitu varian etnik Jawa yang menekankan pada aspek Islam sinkretisme dalam kehidupannya. Pemilihan subjek penelitian akan ditentukan melalui angket tertutup dengan skala Gutman agar subjek yang mengisi angket mampu memberikan yawaban yang tegas dalam pengisiannya. Angket yang disusun berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Geertz (2013) yang membagi penduduk Jawa menjadi 3 varian berbeda dan ciri yang berbeda.
2.4
Well-Being dalam Bimbingan dan Konseling Konsep psychological well-being Ryff (1989) mempunyai tempat tersendiri
dalam dunia Bimbingan dan Konseling. Christopher (1999) menyebutkan dalam tulisannya bahwa pencapaian yang bagus dari keenam aspek psychological well-being dapat dijadikan tujuan pelaksanaan konseling. Selain itu
adanya keenam aspek
tersebut juga dapat memotivasi konseli dalam mencapai setiap aspeknya melalui proses konseling. Selain kesimpulan yang disampaiakan Christoper (1999) orang yang mengarah pada pencapaian well-being juga memiliki kecenderungan untuk mencari
36
bantuan jika membutuhkan serta mau membantu orang lain pula disekitarnya (Brodsky 1988). Hal ini selaras dengan tujuan pelaksanaan bimbingan yang dipaparkan Winkel & Hastuti (2006), ialah supaya sesama manusia mengatur kehidupan sendiri, menjamin kehidupan pribadinya sendiri secara optimal mungkin, memikul tanggung jawab sendiri sebagai manusia secara dewasa dengan berpedoman pada cita-cita yang mewujudkan semua potensi baik padanya, dan menyelesaikan semua tugas yang dihadapi dalam kehidupan secara memuaskan. Winkel & Hastuti (2006) membuat kesimpulan bahwa semua bimbingan yang diberikan kepada individu dalam berbagai aspek kehidupan bertujuan supaya manusia mencapai kebahagiaan (happiness) dan kesejahteraan (well-being) di aneka bidang kehidupan.
2.5
Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai ethnic identity dengan psychological well-being
dilakukan oleh Rayya (2006)
yang meneliti siswa remaja yang memiliki latar
belakang ibu Eropa dan ayah Arab dengan judul Ethnic identity, ego identity, and psychological well-being among
mixed ethnic Arab European adolescents in Israel
menunjukkan bahwa ethnic identity berhubungan positif
signifikan dengan
psychological well-being dengan r = 0, 63 dan p < 0, 001. Penelitian Quraishi & Evangeli (2007) kepada mahasiswa perempuan asal India, Pakistan, Banglades dan Sri Lanka yang kuliah di Universitas London Inggris dengan judul An Investigation of Psychological Well-being and Cultural Identity in British Asia Female University Students, menemukan hasil bahwa tidak ada 37
hubungan yang signifikan dengan arah yang negatif antara culture identity dengan psychological well-being dengan r = -0,01 dan p > 0,05. Penelitian tersebut menyimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara culture identity dengan psychological well-being. Phinney (2004) menyebutkan bahwa adanya komitmen ethnic identity akan ditemukan hubungan yang positif dengan psychological well-being (contohnya adanya harga diri yang tinggi), rendahnya subtansi abuse, dan ketiadaan depresi (Phinney,Cantu, & Kurtz, 1997; Roberts et al., 1999 dalam Phinney 2004). Terdapat juga fakta bahwa terdapat hubungan yang positif dengan prestasi akademik (Phinney & Devich-Navarro, 1997 dalam Phinney 2004).
2.6
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori yang relevan, peneliti merumuskan hipotesis sebagai
berikut : Ada hubungan yang signifikan antara ethnic identity dengan psychological well-being mahasiswa etnik Jawa varian Santri Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana.
38