2
Anak usia dini sudah mengalami perkembangan dalam sosialisasi yang ditunjukkan dengan mulai menjalin interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Anak usia dini sudah mampu menunjukkan perilaku prososial seperti berbagi dan membantu (Eisenberg, Fabes & Spinrad, 2006). Namun, berdasarkan hasil observasi di Taman Kanak-Kanak ketika peneliti melakukan Praktek Kerja Profesi Psikologi
menunjukkan
bahwa
masih
banyak
anak-anak
yang
belum
menunjukkan perilaku prososial seperti menolong teman yang jatuh, menolong teman yang sedang kesulitan mengerjakan tugas, berbagi bekal makanan kepada teman yang tidak membawa makanan, meminjamkan mainan, menghibur teman yang menangis dan bekerjasama membereskan mainan. Hasil observasi di Taman Kanak-Kanak di Kecamatan Jetis, Bantul, Yogyakarta pada tanggal 19 dan 20 Agustus 2013, menunjukkan hal yang sama yaitu masih banyak siswa TK yang belum menunjukkan perilaku prososial terhadap teman maupun guru di sekolah. Hal tersebut tampak dari adanya siswasiswa yang belum menunjukkan perilaku menolong misalnya membiarkan temannya merapikan mainan sendiri. Ketika ada teman merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas kelas, siswa tampak tidak membantu dan membiarkan temannya menyelesaikan sendiri. bangku,
banyak
teman-temannya
Saat ada teman yang kesulitan menaikkan yang
meninggalkannya.
Ketika
guru
membereskan peralatan kelas, tampak siswa tidak membantu. Siswa membantu setelah guru memintanya. Siswa-siswa juga tidak mau membantu guru ketika guru meminta mengambilkan kain pel untuk mengepel lantai yang kotor karena ada tumpahan susu. Siswa-siswa juga tampak kurang menunjukkan perilaku
3
menghibur misalnya ketika ada teman yang menangis karena diganggu teman lainnya, tampak siswa hanya diam dan membiarkan teman tersebut sampai berhenti menangis. Perilaku berbagi juga belum nampak, yang terlihat saat bermain bersama, tampak beberapa siswa masih enggan meminjamkan mainannya kepada teman. Hasil wawancara dengan tiga guru Taman Kanak-Kanak di Kecamatan Jetis, Bantul pada tanggal 19 dan 20 Agustus 2013, juga memberikan informasi bahwa masih banyak siswa-siswa yang belum menunjukkan perilaku prososial. Siswa kurang menunjukkan perilaku berbagi misalnya saat membawa makanan ke sekolah, tidak mau membagi kepada teman-temannya. Ketika membawa mainan ke sekolah, masih ada siswa-siswa yang sulit untuk meminjamkan mainannya kepada temannya. Siswa juga kurang menunjukkan perilaku menghibur misalnya ketika ada siswa yang menangis, teman menunjukkan sikap diam dan asyik dengan mainannya sendiri. Selain itu, perilaku kerjasama juga belum ditunjukkan semua siswa misalnya saat mengerjakan tugas bersama, ada siswa yang lebih suka mengerjakan sendiri dan tidak mau bersama-sama mengerjakan dengan teman. Ada juga yang tidak ikut mengerjakan ketika teman lain mengerjakan tugas kelompok. Saat membereskan mainan bersama, ada siswa-siswa yang enggan ikut membereskan dan asyik bermain. Menurut guru, banyak siswa-siswa yang belum mengerti tindakan yang harus dilakukan ketika menemui situasi-situasi tersebut sehingga menuntut guru untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak. Ketika berinteraksi sosial, anak-anak diharapkan mampu menunjukkan perilaku prososial. Hal tersebut akan menjadi bekal bagi anak agar bisa
4
mengembangkan perilaku sosial yang positif di kemudian hari. Pengalaman anak di tahun-tahun pertama memiliki implikasi terhadap perilaku selanjutnya. Kemampuan anak usia dini dalam menunjukkan simpati misalnya secara spontan berbagi dengan temannya cenderung menunjukkan pemahaman prososial dan empati hingga tujuh belas tahun kemudian (Papalia, Old & Feldman, 2004). Perkembangan perilaku prososial pada anak sangat penting untuk membentuk hubungan sosial yang positif di kehidupan selanjutnya (Eisenberg & Mussen, 1989). Perilaku prososial dimasa kanak-kanak merupakan prediktor perilaku prososial di masa yang akan datang (Eisenberg, Fabes & Spinrad, 2006). Perilaku prososial yang rendah pada anak dapat berpengaruh pada munculnya perilaku agresi. Anak yang membantu orang lain memiliki interaksi dan hubungan yang lebih positif dengan teman dan orang dimana ketika masa kecil sudah memiliki perilaku prososial dan lebih sedikit menjadi antisosial ketika dewasa (Smith & Hart, 2011). Hasil studi menunjukkan bahwa anak usia dini dengan perilaku prososial yang rendah cenderung melakukan perbuatan agresi ketika di sekolah (Switt & McMaugh, 2010; Persson, 2005; Romano et al., 2005). Perilaku prososial akan berpengaruh terhadap perkembangan sosialisasi anak dengan teman sebaya. Anak yang mampu bersosialisasi secara umum akan mudah menerima reaksi yang positif dari teman sebaya ketika menunjukkan tindakan prososial (Eisenberg & Mussen, 1989). Anak dengan perilaku prososial akan mendapat lebih banyak penguatan positif dari teman sebaya. Anak yang menunjukkan perilaku prososial akan menjadi disukai, sedangkan anak yang antisosial akan dibenci oleh teman-teman (Papalia, Old & Feldman, 2004).
5
Perilaku prososial anak berpengaruh pada kemampuan anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dengan perilaku prososial yang tinggi cenderung mudah beradaptasi, memiliki coping yang baik dan kontrol diri (Eisenberg & Mussen, 1989). Hasil studi yang dilakukan Battistich (2003), menunjukkan bahwa perilaku prososial berpengaruh dengan penyesuaian sosial anak ketika di sekolah. Pengembangan usaha-usaha untuk meningkatkan perilaku prososial sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran anak usia dini. Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga guru di TK Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul pada tanggal 19 dan 20 Agustus 2013, diperoleh informasi bahwa dalam menanamkan nilai-nilai prososial pada anak, metode atau cara yang dilakukan belum bervariasi. Selama ini guru hanya melakukan dengan mentransfer informasi secara langsung yaitu menasehati dan menyuruh anak. Namun, upaya tersebut belum mampu menumbuhkan perilaku prososial pada semua anak di kelas. Anak-anak masih banyak yang belum menunjukkan perilaku prososial walaupun guru sudah sering menasehati ketika di kelas. Selain itu, sarana yang bisa digunakan sebagai panduan dalam pengajaran perilaku prososial yang ada di sekolah belum ada. Metode dan sarana untuk pembelajaran anak usia dini belum dikembangkan sehingga diperlukan inovasi untuk merancang cara dan sarana dalam pembelajaran anak usia dini dalam meningkatkan perilaku prososial. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI beberapa tahun belakangan ini mengembangkan rumusan tentang pendidikan karakter. Menurut Lickona (2012), karakter merupakan karakteristik dalam diri seseorang yang menunjukkan
6
adanya pengetahuan dan keinginan untuk selalu berperilaku moral. Karakter akan memimpin diri untuk mengerjakan sesuatu yang benar atau diterima secara sosial dan tidak mengerjakan sesuatu yang tidak benar atau tidak diterima secara sosial (Berkowitz dalam Damon, 2002). Karakter merupakan hasil terpadu dari kerja otak, hati dan seluruh anggota badan lainnya. Pendidikan karakter adalah bagian penting dalam mengajarkan nilai kepada anak (Trout, 2008). Hasil penelitian menunjukkan peran penting pendidikan karakter. Pendidikan karakter memiliki dampak positif terhadap prestasi, perilaku di kelas, skor tes, menurunkan resiko pelanggaran yang terjadi di jenjang sekolah yang lebih tinggi (Brannon, 2008). Pendidikan karakter juga meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir tentang etika, moral dan mengembangkan perilaku prososial (Shwartz, Beatty & Dachnowijzc, 2006). Karakter tidaklah terbentuk secara instan melainkan terdapat proses yang bertumbuh dan berkembang (Musfiroh, 2011). Dalam pembentukan karakter tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Karakter yang baik harus dikembangkan sepanjang waktu melalui proses belajar, salah satunya melalui pendidikan karakter yakni dengan mengajarkan dan mempraktikkan karakterkarakter positif pada anak (Smith, 2006). Oleh karena itu diperlukan pembentukan seawal mungkin yaitu di usia dini. Usia dini atau awal masa kanak-kanak berlangsung pada periode usia 2 tahun sampai 5 atau 6 tahun (Santrock, 2004). Havinghurst (dalam Hurlock, 1980) menyatakan bahwa perkembangan pada awal akan mempengaruhi perkembangan berikutnya, sehingga apabila anak mengalami kegagalan dalam perkembangan,
7
maka anak akan mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas selanjutnya. Riset cognitive neuroscience menunjukkan bahwa sistem neurologis anak berkembang sangat pesat selama masa awal kanak-kanak dan otak sangat responsif terhadap stimulasi (Halfon, Schulman & Hochstein dalam Copple & Bredecamp, 2009). Berdasarkan
hal
tersebut
diperlukan
stimulasi
atau
rangsangan
untuk
memfasilitasi anak agar perkembangannya optimal sehingga masa kanak-kanak harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Stimulasi yang tepat pada masa usia dini akan menentukan kemampuan mereka pada periode-periode selanjutnya hingga masa dewasa (Santrock, 2007). Pendidikan anak usia dini merupakan wadah yang tepat dalam memfasilitasi perkembangan tersebut. Menurut UU RI No 20 tahun 2003, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan karakter dilakukan pada semua jenjang pendidikan salah satunya pada anak usia dini. Pada pendidikan anak usia dini, nilai-nilai yang dianggap penting untuk dikenalkan dan diinternalisasikan ke dalam perilaku meliputi: kecintaan terhadap Tuhan YME, kejujuran, disiplin, toleransi dan cinta damai, percaya diri, mandiri, tolong menolong, kerjasama, gotong royong, hormat dan sopan santun, tanggungjawab, kerja keras, kepemimpinan dan keadilan, kreatif, rendah hati, peduli lingkungan dan cinta bangsa dan tanah air (Ditjen PAUDNI, 2012). Tolong menolong, kerjasama dan gotong royong merupakan
8
salah satu nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam pendidikan karakter anak usia dini. Tolong menolong, kerjasama dan gotong royong merupakan perilaku sosial yang positif. Perilaku positif yang bermanfaat bagi orang lain dalam psikologi dikenal dengan istilah prososial. Perilaku prososial merupakan perilaku yang memberikan kebaikan kepada orang lain (Kail & Nelson, 1993). Perilaku prososial merupakan bagian umum dalam kehidupan sosial (Baron, Branscombe & Byrne, 2008). Seseorang memberikan bantuan kepada orang yang gagal, membantu mendorong mobil, meminjamkan mobil, membantu siswa, memberikan bantuan pada orang asing dan bantuan-bantuan lainnya. Menurut Eisenberg & Mussen (1989), perilaku prososial adalah perbuatan sukarela yang bertujuan untuk membantu atau memberikan kebaikan kepada individu lain atau kelompok lain. Perilaku prososial meliputi tindakan yang luas dengan tujuan untuk memberikan kebaikan kepada seseorang atau banyak orang daripada dirinya misalnya membantu, berbagi, menghibur dan bekerjasama (Batson & Powell dalam Weiner, 2003). Perilaku prososial didefinisikan sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk memberikan kebaikan bagi orang lain yang dilakukan secara sukarela dan bukan karena paksaan seperti membantu, berbagi, menghibur dan bekerjasama. Menurut Jackson & Tisak (2001), aspek-aspek perilaku prososial meliputi membantu, berbagi, menghibur dan kerjasama. Membantu adalah respon yang diberikan kepada seseorang yang mengalami hal negatif atau yang tidak diinginkan. Berbagi adalah memberikan hak miliknya untuk memberikan keuntungan pada orang lain. Menghibur adalah tindakan untuk meningkatkan
9
mood orang lain misalnya menghibur orang yang sedih. Kerjasama adalah bekerja bersama dalam tindakannya untuk mencapai tujuan yang spesifik. Faktor yang mempengaruhi perilaku prososial secara umum adalah hasil interaksi antara karakteristik individu (kebutuhan, kemampuan mengambil peran, faktor biologis), pengalaman sosialisasi dan pengaruh situasional (harapan sosial, hubungan dengan orang lain, tipe lingkungan) (Eisenberg, Fabes & Spinrad, 2006). Faktor sosialisasi berpengaruh terhadap perilaku prososial pada anak-anak. Hasil studi yang dilakukan oleh Kartner, Keller & Chaudary (2010) menunjukkan adanya pengaruh sosialisasi terhadap perilaku prososial anak usia dini. Perilaku prososial dapat dikembangkan sehingga memungkinkan bagi orangtua, pendidik dan media untuk meningkatkan perilaku prososial anak (Eishenberg & Mussen, 1989). Orang tua, guru dan agen sosialisasi yang lain dapat melakukan stimulasi terhadap perkembangan perilaku prososial anak sejak dini. Perilaku prososial dapat diajarkan kepada anak-anak sejak dini sebelum usia dua tahun misalnya dengan membantu orang lain, berbagi kasih sayang dan makanan serta menawarkan kenyamanan (Zahn-Waxler, Radke-Yellow, Wagner & Chapman dalam Papalia, Old & Feldman, 2004). Hasil studi menunjukkan bahwa anak usia dini sudah mampu menunjukkan perilaku membantu dan bekerjasama (Warneken & Tomasello, 2007) serta mampu melakukan perilaku berbagi (Sommervile, Schmidt & Yun, 2013). Menurut Lickona (2012), pembentukan karakter dalam diri seseorang didukung oleh tiga komponen yang saling berhubungan, yaitu: pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Lickona (2012) menggambarkan salah
10
satu pendekatan yang digunakan dalam membangun karakter yakni dengan memberikan konsep nilai-nilai tersebut sebagai pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki tersebut dapat menumbuhkan perasaan yang kuat dalam diri anak. Pengetahuan dan perasaan kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku. Dalam rangka mencapai ranah pengetahuan, karakter dapat diajarkan kepada anak dengan memberikan informasi mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam karakter misalnya memahami bagaimana menerapkan nilai dalam berbagai situasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini terlebih dahulu dikembangkan pengetahuan tentang perilaku prososial pada anak usia dini. Tiga lingkungan dasar bagi anak dimana anak banyak menghabiskan waktunya adalah keluarga, sekolah dan teman sebaya sepermainan (Santrock, 2004). Anak banyak menghabiskan waktu selama beberapa jam di sekolah sehingga sekolah akan mempengaruhi perkembangan anak. Di sekolah, anak banyak menghabiskan waktu sebagai anggota masyarakat kecil yang sangat mempengaruhi perkembangan sosioemosional mereka (Santrock, 2004). Salah satu pengaruh sekolah ditandai dari bukti pentingnya sekolah sebagai tempat bersosialisasi yang memberikan dampak sekolah pada keinginan dan nilai-nilai anak (Hetherington & Parke, 1979). Sekolah dapat membantu anak untuk mengembangkan perilaku prososial. Salah satu sasaran belajar dari pendidikan anak usia dini adalah menumbuhkan belajar memberi, berbagi dan menerima kasih sayang (Sukaji, 2000). Dari pembelajaran tersebut, anak-anak akan mengembangkan kemampuan memberi, berbagi kasih sayang dengan anak lain sebayanya dan orang dewasa di dalam maupun di luar keluarga.
11
Figur penting di sekolah yang dekat dengan siswa adalah guru. Guru berperan dalam menstimulasi dan membimbing perkembangan kognitif, sikap, nilai dan penyesuaian emosional anak (Johnson & Medinus, 1975). Guru berperan penting dalam proses pengajaran di sekolah. Guru merupakan agen sosialisasi terdekat dengan anak ketika di sekolah karena anak sering berinteraksi dengan Guru. Pengajaran perilaku prososial kepada anak dapat dilakukan oleh guru di sekolah (Eisenberg & Mussen, 1989). Metode
pembelajaran
pada
anak
usia
dini
disesuaikan dengan
perkembangan anak (Slenz & Krogh dalam Santrock, 2010). Pembelajaran ini disesuaikan pada pengetahuan tentang tahapan perkembangan khas dari anak yaitu rentang usia (ketepatan usia) dan keunikan anak (ketepatan individual). Prinsipprinsip dalam pembelajaran anak usia dini menurut Copple & Bredekamp (dalam Santrock, 2010) adalah: 1. Domain perkembangan anak yaitu fisik, kognitif dan sosioemosional adalah domain yang saling berkaitan dan perkembangan dalam satu domain dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh domain lainnya. Pengetahuan tentang hubungan antar domain ini dapat digunakan dalam merencanakan proses belajar anak. 2. Perkembangan terjadi dalam urutan yang relatif teratur yang didasarkan pada kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang sudah terbentuk sebelumnya. Pengetahuan tentang perkembangan yang khas dalam rentang usia ini bisa menjadi kerangka umum untuk menjadi pedoman guru dalam mempersiapkan lingkungan belajar.
12
3. Perkembangan
akan
meningkat
jika
anak
diberi
kesempatan
untuk
mempraktikkan keahlian yang baru dan jika anak merasa ada tantangan diluar kemampuan mereka saat itu. Untuk tugas diluar kemampuan, orang dewasa dan teman seusia diharapkan memberi dorongan kepada anak agar mau belajar. 4. Variasi individual mengkarakterisasi perkembangan anak. Setiap anak adalah individu yang unik dan semua anak punya kekuatan, kebutuhan dan minat masing-masing. Pengenalan variasi individu tersebut merupakan aspek utama untuk menjadi guru yang kompeten. 5. Perkembangan dipengaruhi oleh konteks sosial dan kultural yang beragam. Guru taman kanak-kanak perlu memahami konteks sosiokultural seperti kemiskinan dan etnis yang mempengaruhi perkembangan anak. 6. Anak-anak adalah pembelajar yang aktif dan harus di dorong untuk mengkonstruksi pemahaman dunia di sekitarnya. Anak-anak memberi kontribusi proses belajar mereka sendiri saat mereka berusaha untuk memberi makna atas pengalaman keseharian mereka. 7. Anak-anak akan berkembang dengan sangat baik dalam konteks komunitas dimana mereka merasa dihargai, kebutuhan fisiknya dipenuhi, dan mereka merasa aman secara psikologis. Metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak usia dini mulai dikembangkan dalam pendidikan. Moeslichatoen (1999) menyebutkan ada tujuh metode pembelajaran yang sesuai dengan siswa taman kanak-kanak yaitu: bermain, karyawisata, bercakap-cakap, bercerita, demonstrasi, proyek dan pemberian tugas.
13
Piaget (dalam Santrock, 2004) mengatakan bahwa anak usia dini berada pada masa pra-operasional (2-7 tahun). Pada masa ini, anak belajar menggunakan simbol-simbol, yakni melalui kata-kata, gambar, maket, miniatur, dan gestur yang mewakili objek-objek ataupun kejadian-kejadian di dunia (Hetherington & Parke, 1999). Dalam perkembangan emosi, terjadi perubahan yang sangat penting yaitu anak usia dini meningkat dalam kemampuan mengungkapkan emosi dengan bahasa dan memahami emosi orang lain (Kuebli dalam Santrock, 2010). Anak usia dini sudah mampu mampu memahami dan menginterpretasikan perasaan orang lain (Copple & Bredecamp, 2009). Anak usia dini juga sudah mulai menunjukkan ketertarikan untuk menjalin interaksi sosial dengan teman (Santrock, 2004). Teman sebaya merupakan sarana efektif yang dapat memfasilitasi dalam perubahan dan peningkatan perilaku prososial (Eisenberg & Mussen, 1989). Hasil studi dari Johnson (2008) dan Spivak & Howess (2011), menunjukkan bahwa adanya pengaruh interaksi sosial dengan teman sebaya terhadap perilaku prososial pada anak usia dini. Berkenaan dengan karakteristik anak usia dini dimana menurut Santrock (2004) ciri khas yang sangat menonjol pada anak usia dini adalah bermain, maka guru dapat memberikan pengetahuan terhadap perilaku prososial melalui belajar sambil bermain. Bermain dipilih karena menyenangkan bagi anak (Levine & Munsch, 2011). Selain itu, dengan bermain mampu menstimulasi perkembangan anak (Hetherington & Parke, 1979). Bermain merupakan cara yang sesuai dengan dunia anak. Guru mengetahui bahwa permainan merupakan cara yang tepat bagi
14
anak usia dini dalam melihat dunianya dan menjadi pembelajar (Schroeder, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Okvuran (2009), menunjukkan bahwa anak-anak usia dini memandang positif pengajaran guru di sekolah dengan menggunakan drama seperti bermain, bermain peran, animasi sebagai permainan dan kesenangan. Bermain
memiliki manfaat
dalam perkembangan anak.
Bermain
memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kemampuan emosional, fisik, sosial dan kognitif (Levine & Munsch, 2011). Hasil penelitian Hanney & Bissonete (2011) menunjukkan persepsi guru yang positif dalam menggunakan permainan sebagai sarana peningkatan perkembangan anak baik kognitif, sosial dan emosional. Bermain dapat meningkatkan kekuatan dan koordinasi otot-otot yang berguna bagi perkembangan fisik anak. Anak-anak dapat mengekspresikan emosi, mengelola emosi dan memahami emosi dalam permainan yang bermanfaat bagi perkembangan emosi anak. Anak-anak mampu memecahkan masalah emosinya, mempelajari coping terhadap kecemasan dan konflik dalam situasi yang tidak mengancam melalui permainan (Hetherington & Parke, 1979). Bermain bermanfaat dalam meningkatkan perkembangan kognitif. Bermain sangat penting karena membuat anak mengeksplorasi secara bebas pemikiran dan tindakan berdasarkan tingkat fungsinya (Slavin, 2012). Bermain membuat
anak mengeksplorasi lingkungannya, mempelajari obyek, dan
memecahkan masalah (Hetherington & Parke, 1979). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi yang positif terhadap penggunaan
15
metode bermain sebagai sarana siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuan yang diajarkan (Sevier, 2008). Bermain juga dapat meningkatkan perkembangan kemampuan sosial anak dengan berinteraksi dengan teman. Bermain dengan teman sebaya bisa meningkatkan pemahaman sosial dan pergaulan (Ashiabi, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Leiberg, Klimecki & Singer (2011), diperoleh informasi bahwa permainan mampu meningkatkan perilaku prososial pada anak-anak. Bermain sesuai dengan tahap perkembangan sosial dalam Wolfgang, Mackender & Wolfgang (1981) dimulai dari isolated play (0-1 tahun), pararel play (1-3 tahun), cooperative play (3-4 tahun), sociodramatic play (4-6 tahun) dan games with rules (7 tahun keatas). Guru yang mengajar di TK dapat menggunakan metode pengajaran yang sesuai karakteristik anak usia dini yang berada pada tahap sociodramatic play untuk membuat anak menggunakan pengalaman sebelumnya untuk berperilaku sebagai orang lain (Wolfgang, Mackender & Wolfgang, 1981). Metode yang sesuai dengan karakteristik di atas adalah bermain peran. Bermain peran adalah metode pemecahan masalah dalam kelompok yang memungkinkan anak menggali masalah manusia, direspon secara spontan, dan diikuti diskusi terarah (Shaftel & Shaftel, 1982). Bermain peran terdiri dari kejadian atau situasi permasalahan yang melibatkan dua atau lebih orang dimana didalamnya beberapa keputusan harus dibuat untuk menyelesaikan permasalahan. Dalam bermain peran terdapat “problem story” dimana situasi manusia yang terdapat dalam cerita tersebut berada dalam dilema. Tidak ada solusi yang
16
ditawarkan kepada kelompok dan cerita berhenti pada suatu titik dilema. Anak yang terlibat harus menganalisis apa yang terjadi dan membuat ide untuk tindakan yang memungkinkan untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam cerita. Bermain peran melibatkan interaksi antara anak dengan lingkungan sekitar dalam proses belajar. Interaksi dari faktor interpersonal (sosial), perangkat kultural, dan faktor individu sebagai kunci perkembangan dan pembelajaran individu (Vygotsky dalam Schunk, 2008). Siswa mengkonstruksikan pengetahuan sebagai hasil pemikirannya dan berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Vygotsky (Woolfok, 2009), perkembangan kognitif terjadi melalui percakapan dan interaksi anak dengan anggota-anggota yang lebih mampu di budayanya. Orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu berfungsi sebagai pemandu dan pengajar, memberikan informasi dan memberi dukungan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan inteletual anak. Anak bekerjasama mengkonstruksikan pengetahuan dalam interaksi sosial dengan mendapatkan saran dan bantuan tentang sesuatu yang sulit atau belum dapat dilakukannya dari orang lain. Bermain membentuk
Zone of Proximal
Development (ZPD) nya, dimana anak bergerak di dalamnya dan meningkatkan perkembangannya ke dalam level yang lebih tinggi (Vygotsky dalam Rogers & Evans, 2008). Menurut Vygotsky, ZPD merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya (Schunk, 2008).
17
ZPD membutuhkan peran orang yang lebih mampu sebagai tutor yang diaplikasikan dalam proses belajar agar anak bisa mencapai potensial development. Dalam bermain peran, guru berperan sebagai fasilitator pada proses permainan (Shaftel & Shaftel, 1982). Untuk memudahkan siswa dalam belajar maka guru memberikan bantuan berupa scaffolding. Scaffolding bertujuan untuk mengarahkan proses kognitif anak dan menjaga dalam ZPD untuk meningkatkan perkembangannya (Vygotsky dalam Langford, 2005). Scaffolding merupakan proses dalam mengontrol atau mengarahkan tugas yang diluar kemampuan siswa sehingga mereka dapat fokus, menguasai tugas dan memahami dengan cepat (Schunk, 2008). Dalam bermain peran, siswa dapat mengkonstruksikan pengetahuan dengan scaffolding dari guru sehingga mencapai potensial development. Siswa membawa pemahaman dirinya dalam interaksi sosial dan mengkonstruksikan pengetahuan dengan mengintegrasikan pemahaman yang mereka miliki dengan pengalaman yang didapat ketika berinteraksi sosial (Schunk, 2008). Menurut Vygotsky, situated learning digunakan untuk mendeskripsikan belajar yang dilakukan di kehidupan nyata, tugas yang otentik (Slavin, 2012). Anak harus diberi tugas yang menantang, realistik, komplek dan akan mendapat sedikit bantuan dari orang dewasa. Hal tersebut dapat mendukung kelas melakukan simulasi dan eksplorasi dalam komunitas. Bermain peran adalah praktek nyata yang membuat anak dapat mengeksplorasi situasi kehidupan dalam lingkungan yang aman dimana perasaan bisa diekspresikan, ide-ide nyata dapat
18
dieksplorasi dalam tindakan dan konsekuensinya dapat di gambarkan (Shaftel & Shaftel, 1982). Bermain peran memungkinkan siswa merespon secara spontan (Shaftel & Shaftel, 1982). Proses ini membutuhkan baik aspek kognitif dan afektif individu yaitu
mengembangkan
masalah
dan
merasakannya
untuk
kemudian
memformulasikan keputusan yang diambil. Bermain peran mendorong individu untuk berpikir memecahkan masalah dan mengeksplorasi bagaimana mengatasi permasalahan dan mengambil keputusan. Selain itu, dalam bermain peran juga selalu ada kesempatan mencoba ide baru dan seseorang dapat belajar dari kesalahan. Berbagai studi menunjukkan pengaruh metode bermain peran untuk meningkatkan kemampuan sosial anak. Wood & Cook (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh metode bermain peran dalam mengajarkan sosialisasi kepada anak tentang pengenalan identitas gender. Bermain peran bisa digunakan untuk melatih anak mengekspresikan nurturance atau kepedulian terhadap orang lain. Hasil studi dari Hooke (2004), menunjukkan bahwa anak-anak yang diberikan bermain peran memahami kepedulian terhadap teman. Selain itu, dari hasil penelitian Bowman (2008), menunjukkan bahwa bermain peran mendorong kreativitas, kesadaran diri, empati dan kedekatan kelompok. Bermain peran juga mampu meningkatkan kemampuan anak usia dini dalam menjalin hubungan interpersonal misalnya keterampilan dalam berkomunikasi (Smirnova, 2011). Bermain peran memberikan kesempatan berpengalaman berperan membantu dan menjadi orang yang membutuhkan (Staub, 1979).
19
Bermain peran membuat anak menjadi memiliki pengalaman pribadi yang kaya. Hasil studi Kellin (2007), menunjukkan bahwa anak-anak yang bermain peran lebih memahami dan mengeksplorasi cerita dan pada akhirnya memiliki pengalaman dari cerita yang dibaca. Bermain peran juga mendorong siswa menjadi aktif dalam proses pembelajaran. Poling & Hupp (2009) melakukan penelitian tentang metode bermain peran dalam mengajarkan materi dalam pelatihan. Siswa sangat tertarik terhadap materi dan lebih aktif dalam belajar. Berdasarkan angket yang disebar kepada 30 guru-guru Taman KanakKanak di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, metode bermain peran belum pernah dilakukan oleh guru dalam pendidikan karakter terutama mengajarkan pengetahuan terhadap perilaku prososial kepada anak. Penerapan metode bermain peran dalam pendidikan karakter kepada anak usia dini telah dilakukan Tarnoto (2013) untuk meningkatkan sikap peduli lingkungan pada anak usia dini. Hasil dari penelitian ini adalah bermain peran dapat meningkatkan sikap peduli lingkungan pada anak usia dini. Metode bermain peran diberikan sebanyak enam kali pertemuan, setiap pertemuan membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Febriani (2010), menunjukkan bahwa bermain peran terbukti efektif untuk untuk meningkatkan kecerdasan moral pada anak usia dini. Penelitian yang dilakukan tersebut membuat skenario bermain peran sesuai jumlah indikator dari tujuh aspek kecerdasan moral. Modul dikembangkan sebagai acuan dalam proses pembelajaran. Menurut Russell, modul adalah suatu paket yang memuat suatu unit konsep dari sebuah
20
bahan pelajaran (Edward, 1980). Modul bermain peran “Aku Sayang Kawan“ disusun sebagai panduan bagi guru dalam mengajarkan pengetahuan terhadap perilaku prososial pada anak usia dini. Modul disusun dalam delapan sesi berdasarkan aspek-aspek pengetahuan terhadap perilaku prososial yang meliputi membantu, berbagi, menghibur dan bekerjasama. Modul yang baik adalah dapat diaplikasikan dalam berbagai situasi apakah individu atau kelompok, kegiatan akademik atau non akademik (Russell dalam Ahmad et al., 2009). Modul bisa diimplementasikan apabila modul bisa mencapai tujuan dan bisa memberikan perubahan positif bagi individu maupun kelompok. Menurut Russell (dalam Ahmad et al., 2009), dalam melakukan konstruksi modul agar layak digunakan meliputi berbagai langkah yaitu menetapkan target, menetapkan tujuan modul, menetapkan material, instrumen dan penyusunan aktivitas, mengembangkan aitem pengukuran untuk menganalisa dan menentukan performansi peserta, ujicoba modul dan validasi modul. Ujicoba modul dilakukan untuk mengetahui apakah implementasi dari modul bisa memberikan perubahan positif bagi subyek dan untuk mendapatkan feedback bagi perbaikan modul ke depan. Ujicoba modul merupakan hal penting karena menentukan pencapaian tujuan pembuatan modul (Russell dalam Ahmad et al., 2009). Validitas mempunyai arti sejauhmana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya (Azwar, 2013). Pengertian validitas berkaitan dengan masalah tujuan suatu pengukuran. Validitas berkenaan dengan hasil yang didapatkan. Menurut Cronbach (dalam Azwar, 2013), validasi dilakukan terhadap interpretasi data yang diperoleh oleh prosedur tertentu. Berdasarkan cara estimasi
21
yang disesuaikan dengan sifat dan fungsinya, tipe validitas digolongkan menjadi tiga yaitu validitas isi, validitas konstruk dan validitas kriteria (Azwar, 2013). Validitas isi merupakan validitas yang di estimasi lewat pengujian terhadap kelayakan atau relevansi isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten atau melalui expert judgment. Validitas logis merupakan bagian dari validitas isi yang menunjuk pada sejauhmana aitem tes merupakan representasi dari ciri-ciri atribut yang hendak di ukur. Untuk melakukan validitas logis peneliti dapat memanfaatkan blue print yang memuat cakupan isi dan indikator keperilakuan dari atribut yang diukur dan mengacu pada kaidah penulisan aitem. Menurut Noah dan Ahmad (dalam Ahmad et al., 2011), modul yang baik harus memiliki validitas isi. Validitas konstrak adalah validitas yang menunjukkan sejauhmana hasil tes mampu mengungkap suatu trait atau suatu konstrak teoritik yang hendak di ukur (Alleh & Yen dalam Azwar, 2013). Pengujian validitas konstrak merupakan proses yang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait yang hendak di ukur. Prosedur validasi tes berdasarkan kriteria menghendaki adanya kriteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian skor tes (Azwar, 2013). Suatu kriteria adalah variabel perilaku yang akan diprediksikan oleh skor tes atau berupa suatu ukuran lain yang relevan. Validitas prediktif sangat penting artinya bila suatu tes berfungsi sebagai prediktor bagi performansi di waktu yang akan datang. Korelasi skor tes dengan skor performansi merupakan indikator saling hubungan antara skor tes dengan skor kriteria dan koefisien korelasinya merupakan
22
koefisien validitas prediktif. Proses validasi prediktif biasanya memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit dikarenakan prosedur ini pada dasarnya bukan kerja yang dianggap selesai setelah melakukan sekali prosedur analisis melainkan suatu proses berkesinambungan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan validasi modul bermain peran “Aku Sayang Kawan” dalam meningkatkan pengetahuan tentang perilaku prososial pada anak usia dini. Validasi dilakukan dengan meminta penilaian dari para ahli untuk mengetahui validitas isi dan kemudian melakukan uji coba modul untuk mengetahui apakah modul bisa memberikan perubahan positif ketika diterapkan pada anak usia dini dan mendapatkan feedback untuk perbaikan modul kedepan. Uji coba modul dilakukan di dua sekolah Taman Kanak-kanak, dimana pada satu sekolah akan diberikan metode bermain peran “Aku Sayang Kawan” dan di sekolah lain tidak. Hipotesis uji coba modul dalam penelitian ini adalah ada perubahan peningkatan pengetahuan tentang perilaku prososial pada subyek yang mendapatkan perlakuan bermain peran “Aku Sayang Kawan” (kelompok eksperimen) dibandingkan subyek yang tidak mendapatkan perlakuan (kelompok kontrol). Pengetahuan tentang perilaku prososial pada kelompok eksperimen akan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol setelah mendapatkan perlakuan bermain peran. Implikasi dari penelitian ini adalah modul bermain peran “Aku Sayang Kawan” bisa diterapkan pada pendidikan anak usia dini untuk menstimulasi terbentuknya pengetahuan tentang perilaku prososial.