9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Institusional Teori institusional adalah salah satu cara memandang organisasi yang mengungkapkan dan menjelaskan keberadaan atau eksistensi serta kekuatan yang mendasari pengakuan aturan, norma, dan harapan (Irvine, 1999). Teori institusional digunakan untuk membantu menyediakan kerangka yang lebih komprehensif dalam melakukan evaluasi data yang diperoleh. Berdasarkan teori ini, asumsi yang diambil adalah bahwa kepentingan orang atau kelompok ditentukan juga oleh organisasi, politisasi, dan faktor institusional (Carpenter dan Feroz, 2001). Teori institusional baru yang mengusulkan bahwa struktur organisasi formal tidak hanya mencerminkan tuntutan teknis dan ketergantungan sumber daya yang ada, tetapi juga dibentuk oleh kekuatan institusi termasuk mitos rasional dan juga pengetahuan diperoleh dari sistem pendidikan opini publik, dan hukum (Powell, 2007). Gagasan inti yang tertanam dalam organisasi di lingkungan sosial dan politik menunjukkan bahwa praktek dan struktur organisasi seringkali merupakan cerminan atau tanggapan terhadap aturan, keyakinan, dan kebiasaan yang dibangun ke lingkungan lebih luas. Teori institusional pada bidang akuntansi terdapat dalam beberapa penelitian baik akuntansi manajemen, pengauditan, perpajakan, akuntansi sektor publik, dan juga akuntansi internasional. Seperti penelitian yang dilakukan oleh commit to user
9
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Carpenter dan Feroz (2001) yang menggunakan teori institusional dalam menjelaskan keputusan pemerintah negara bagian Amerika Serikat untuk menerapkan
standar
akuntansi
berdasarkan
GAAP.
Penelitian
tersebut
mengidentifikasi ketergantungan sumber daya sebagai bentuk potensi yang menekan institusi secara paksa dalam penerapan GAAP pada awalnya. Penerapan teori institusional pada penelitian ini berfokus pada New Institutional
Economic
(NIE)
dimana
organisasi
ekonomi
memiliki
kecenderungan untuk semakin homogen. Seperti yang dinyatakan Irvine (1999) bahwa terdapat dorongan dari luar dan dalam organisasi yang bekerja dalam organisasi tersebut, dan cenderung membuat mereka semakin homogen. Dorongan yang membuat kecenderungan akan homogenitas semakin umum dalam lingkungan ekonomi saat ini. DiMaggio dan Powell (1983) memisahkan dorongan tersebut
menjadi koersif,
mimetik, dan normatif isomorfisme. Mereka
berpendapat bahwa dorongan tersebut membuat organisasi semakin homogen seiring waktu karena pengaruh dari lingkungan dimana mereka beraktivitas. Penjelasan homogenitas dari teori institusional ini mungkin berkontribusi pada keputusan implementasi IFRS dan perilaku perusahaan dalam praktek manajemen laba (Lundqvist et al., 2008). Ketika suatu negara memutuskan untuk mengadopsi IFRS dan meninggalkan standar akuntansi yang sebelumnya, alasan utama yang muncul adalah motif ekonomi seperti IFRS akan membawa manfaat ekonomi bagi negara. Manfaat ekonomi yang dimaksud seperti penurunan biaya modal atau peningkatan yang signifikan dari investor asing di pasar modal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
Implementasi IFRS oleh banyak negara didasari atas tujuan homogenitas atau penyamaan standar pelaporan keuangan untuk memudahkan para pengguna laporan keuangan tersebut dalam mengambil keputusan. Hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh globalisasi dalam dunia bisnis, akan tetapi ini menjadi suatu tantangan bagi perusahaan yang harus beradaptasi dengan standar yang mungkin baru bagi mereka. Akan tetapi, beberapa studi menunjukkan bahwa alasan suatu negara mengadopsi IFRS bukan hanya alasan ekonomi tetapi lebih pada pencapaian legitimasi institusional. Hamidah (2013) mengatakan pada kasus adopsi IFRS ke dalam PSAK oleh Indonesia dengan alasan untuk peningkatan investasi di Indonesia bukan faktor utama, melainkan muncul akibat tekanan dunia Internasional. Tekanan tersebut berasal dari G-20, IFAC (International Federation of Accountants), dan IOSCO (International Organization of Securities Commissions) dimana Indonesia tergabung sebagai anggota pada organisasiorganisasi tersebut. Carpenter dan Feroz (2001) mengatakan pembelajaran organisasi mengacu pada proses dimana organisasi cenderung mempertahankan praktek tertentu yang sudah ada sejak organisasi didirikan. Hal tersebut dapat berdampak pada perilaku manajemen atas penilaian akuntansi berdasarkan standar yang mungkin baru mereka terima dan berhubungan dengan praktek manajemen laba yang mungkin sudah menjadi budaya perusahaan. Berdasarkan teori institusional maka perlu diketahui bagaimana hubungan tujuan homogenitas dengan perilaku manajemen berdasarkan perbandingan praktek manajemen laba sebelum dan sesudah adposi IFRS oleh Indonesia. commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Adopsi IFRS Perdebatan terkait harmonisasi dari standar akuntansi antar negara sudah dimulai sejak tahun 1960-an (Ali dalam Ballas et al., 2010). IFRS (International Financial Reporting Standards) merupakan peraturan akuntansi yang dibuat oleh IASB (International Accounting Standards Board) yang berpusat di London. IASB bertujuan untuk menciptakan seperangkat aturan yang ideal untuk diterapkan di banyak negara sehingga mengurangi perbedaan yang ada. Sebelumnya, selama 1973 hingga tahun 2001, IASC (International Accounting Standards Committee) telah membuat IAS (International Accounting Standards). IAS tersebut yang bisa dikatakan sebagai landasan dalam pembuatan IFRS. IFRS
berpotensi
untuk
memperkecil
batasan
komparabilitas,
meningkatkan transparansi pelaporan, mengurangi biaya informasi, meminimalisir asimetri informasi, sehingga meningkatkan likuiditas dan kompetisi di pasar (Choi dan Meek dalam Horton et al., 2010). Manfaat potensial tersebut dikarenakan adopsi IFRS yang bersifat wajib dapat memberikan informasi berkualitas pada pelaku pasar, atau peningkatan komparabilitas dibanding ketentuan standar akuntansi terdahulu (Horton et al., 2010). Belakangan semakin banyak negara yang melakukan adopsi maupun konvergensi standar akuntansinya dengan IFRS. Kebijakan yang dipilih dalam melakukan adopsi atau konvergensi tersebut tentu terbentuk tidak jauh dari kebijakan ekonomi dan politik yang diambil oleh negara tersebut (Ball, 2006). Tujuan penerapan dari IFRS ini untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan yang dapat membantu pengambilan keputusan pengguna laporan keuangan dimana saat ini pengguna laporan keuangan semakin commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
beragam. Ball (2006) menyatakan beberapa poin yang menjadi syarat kualitas laporan keuangan, yaitu: a. Menggambarkan kondisi ekonomi yang sesungguhnya. b. Meminimalisir kemungkinan manipulasi oleh manajemen. c. Berketepatan waktu (seluruh nilai tambah ekonomi dicatat sesegera mungkin). d. Asymmetric Timeliness. Ball (2006) juga membandingkan masalah hukum, politik, dan pengaruh pajak dengan standar. Maka IFRS didesain untuk: a. Mencerminkan substansi ekonomi lebih dari produk hukum. b. Mencerminkan untung dan rugi ekonomi dengan lebih tepat waktu. c. Membuat laba lebih informatif. d. Menyajikan neraca yang lebih bermanfaat. e. Membatasi diskresi yang dilakukan manajemen. Harmonisasi standar akuntansi secara internasional semakin menjadi kenyataan dengan banyaknya negara yang melakukan adopsi IFRS (Ramanna dan Sletten, 2009). Saat ini IFRS telah diterapkan oleh lebih dari 100 negara di dunia yang diperkirakan semakin bertambah tiap tahunnya. Semenjak tahun 2005, seluruh perusahaan terbuka di Eropa khususnya negara–negara anggota Uni Eropa mewajibkan laporan konsolidasinya dibuat sesuai dengan IFRS, yang telah diumumkan sejak tahun 2002 (Ballas et al., 2010). Di sisi lain, juga ditemukan bahwa ada kemungkinan IFRS tersebut tidak sepenuhnya diterapkan sebagai satu standar, namun juga diperbolehkan GAAP sesuai negara tersebut. Ballas et al. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
(2010) juga menjelaskan bahwa survei menunjukkan mayoritas negara Uni Eropa akan terus memerlukan atau mengizinkan GAAP nasionalnya untuk rekening individual, yang berarti menunjukkan munculnya dua sistem standar. Indonesia sendiri melakukan adopsi terhadap IFRS atas Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Adopsi merujuk pada proses penyamaan perbedaan-perbedaan antara IFRS dengan standar akuntansi yang digunakan di negara tersebut (Ball, 2006). Setiap negara dapat mewajibkan atau sekedar menyesuaikan standarnya sesuai dengan IFRS, tergantung pada kondisi politik dan ekonominya. Kondisi yang kompleks antar negara membutuhkan standar yang cukup fleksibel sehingga dapat menyesuaikan kondisi negara tersebut, yaitu principles-based. Standar yang ada dalam IFRS dibuat berdasarkan principles-based. Principle-based dalam IFRS diharapkan dapat meningkatkan relevansi laporan keuangan dimana nilai–nilai yang dilaporkan relevan atau sesuai dengan kondisi sesungguhnya dan kondisi saat ini (IAS Plus, 2008). Pembuat standar membutuhkan prinsip–prinsip atau dasar dengan tujuan untuk menghasilkan aturan dalam penyiapan laporan keuangan (Nobes, 2005). Black et al. (2007) mendefinisikan peraturan principle-based sebagai peraturan yang menjauh dari ketergantungan peraturan mendetail, peraturan preskriptif, dan peraturan yang secara luas menyatakan dasar-dasar untuk menetapkan standar yang diatur perusahaan dalam melakukan bisnis. Perdebatan masih terjadi antara para profesional dan akademisi mengenai penggunaan rules-based atau principlesbased. Mereka berpendapat bahwa standar berbasis prinsip tidak memiliki batasan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
yang jelas atau beberapa pengecualian sehingga memungkinkan manajer melakukan transaksi yang secara teknis memenuhi standar padahal untuk mengindari suatu aturan (Folsom et al, 2011). The Big Four sendiri menyatakan bahwa standar berbasis prinsip akan mendorong manajer untuk memanfaatkan pelaporan keuangan sebagai tindakan komunikasi daripada tindakan kepatuhan (DiPiazza et al., 2006). Manajemen dalam hal ini akan berusaha menyampaikan informasi labanya sebaik mungkin kepada pengguna laporan keuangan dibandingkan dengan mematuhi standar laporan yang telah ditetapkan. Jadi dasarnya adalah perusahaan yang menggunakan standar principles-based akan melaporkan laba dengan lebih informatif dibandingkan dengan perusahaan yang menggunakan standar rulesbased. Herz (2003) mengatakan bahwa standar berbasis prinsip membuka peluang yang lebih besar bagi manajemen untuk melakukan kebijakan memanipulasi laba, sehingga mengurangi kualitas informasi laba. C. Manajemen Laba Manajemen laba merupakan aktivitas pengelolaan laba yang diperoleh dengan penggunaan perlakuan akuntansi sesuai kebijakan manajemen. Cahyati (2011) mendefinisikan manajemen laba sebagai intervensi manajemen untuk mengatur laba akuntansi dengan memanfaatkan atau kelonggaran penggunaan metode dan prosedur akuntansi. Manajer bisa saja mempengaruhi laba akuntansi tersebut untuk tujuan–tujuan tertentu. Healy dan Wahlen (1998: 6) mendefinisikan manajemen laba yaitu: ”Manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan penilaian to userpenyusunan transaksi untuk dalam laporan keuangancommit dan dalam
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
mengubah laporan keuangan menjadi baik untuk menyesatkan beberapa stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang bergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan”.
Beberapa hal dalam definisi tersebut mengandung permasalahan tersendiri. Pertama adalah penggunaan penilaian oleh manajemen, dimana manajemen dapat membuat kebijakan akuntansi dalam usaha mempengaruhi nilai pos–pos yang akan dilaporkan pada pelaporan keuangan dengan tujuan membuat laporan yang mencerminkan kinerja baik dari perusahaan. Kemudian pengertian bahwa manajemen laba dapat menyesatkan beberapa stakeholder dapat terjadi ketika manajemen selaku penanggungjawab laporan keuangan dapat merekayasa jumlah nilai dalam pos–pos laporan keuangan yang secara rinci tidak dapat diketahui oleh para stakeholder, sehingga mengurangi transparansi laporan keuangan. Kedua masalah tersebut juga terdapat pada beberapa literatur yang membahas mengenai manajemen laba di beberapa negara, termasuk negara berkembang. Literatur tersebut dapat dijadikan acuan dalam penelitian manajemen laba. Seperti yang dilakukan Cilpakatti dan Rishi dalam Rudra dan Bhattacharjee (2012) yang melaporkan bahwa bank dengan profitabilitas rendah melakukan manajemen laba dengan menyediakan provisi kerugian pinjaman dan mengecilkan aset bermasalahnya untuk meningkatkan laba dan kecukupan modalnya. Healy dan Wahlen (1998) mengatakan banyak bukti dari penelitian tersebut menyatakan bahwa investor tidak dicurangi oleh manajemen laba tersebut dan laporan keuangan yang dibuat memberikan informasi yang berguna bagi investor. Manajemen laba dapat menimbulkan asimetri informasi yang akan diterima oleh pengguna laporan keuangan. Asimetri commitinformasi to user adalah kondisi dimana manajer
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempunyai informasi superior dibandingkan dengan pihak lain (Lestari, 2013). Hal tersebut juga terjadi karena beberapa dorongan terhadap manajemen. Motivasi dari manajemen laba sendiri biasanya muncul akibat tekanan dan dorongan baik dari dalam maupun luar perusahaan (Lestari, 2013). Praktek manajemen laba kecil kemungkinan dilakukan oleh pihak manajemen jika tidak adanya dorongan, dimana dorongan tersebutlah yang memunculkan keinginan manajemen mencari jalan pintas untuk suatu pencapaian yaitu dengan manajemen laba.
Healy
dan
Wahlen
(1998)
membagi
beberapa
motivasi
yang
melatarbelakangi manajemen laba, yaitu: 1. Motivasi Pasar Modal Penggunaan informasi akuntansi yang luas oleh investor maupun analis keuangan dapat menjadi dorongan tersendiri untuk manajemen dalam melakukan manajemen laba agar bisa mempengaruhi kinerja nilai sahamnya di pasaran. De Angelo (1988) melaporkan bahwa informasi laba sangat penting dalam penilaian pembelian saham dan menemukan bukti manajemen laba oleh perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham dengan menurunkan laba melalui diskresi akrual. Studi lain terkait motivasi pasar modal ini telah menguji bahwa laba dikelola atau direkayasa untuk menemukan kecocokan dari estimasi analis keuangan, investor, maupun manajemen itu sendiri. 2. Motivasi Kontrak atau Perjanjian Banyak pihak menggunakan data keuangan berupa informasi akuntansi sebagai alat pengawasan dan pengaturan terhadap perusahaan, termasuk pada commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perjanjian kontraktual yang dilakukan. Motivasi kontrak umumnya berkaitan dengan utang jangka panjang, dimana manajer mengatur laba dengan menaikkan laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami technical default. Manajemen laba terkait kontrak penting bagi pembuat standar dikarenakan beberapa alasan. Pertama adalah manajemen laba untuk alasan apapun dapat menyesatkan bagi pengguna laporan keuangan tersebut dan berdampak pada alokasi sumber daya. Kedua, laporan keuangan digunakan untuk menyampaikan informasi keuangan oleh manajemen tidak hanya kepada investor, namun juga kepada kreditur dan merupakan representasi dari dewan direksi. Penelitian yang dilakukan oleh Healy dan Wahlen ini mencontohkan pada perjanjian pinjaman dan perjanjian kompensasi. 3. Motivasi Peraturan Ketentuan kewajiban pelaporan keuangan oleh pemerintah maupun pembuat standar juga menimbulkan masalah manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen. Hal ini terjadi karena manajer memanfaatkan celah kelemahan peraturan dan standar akuntansi yang menggunakan estimasi akrual dan pemilihan metode akuntansi. Bukti dari penelitian–penelitian terkait motivasi manajemen laba pada peraturan yang pernah dilakukan cukup sulit untuk ditafsirkan. Ini dikarenakan jumlah sampel yang digunakan rata–rata cukup kecil sehingga dianggap kurang menggambarkan kondisi yang sebenarnya, sehingga dari bukti yang diperoleh commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa tidak ada kaitan langsung bagimana pembuat peraturan menanggapi manajemen laba. Teknik yang umumnya digunakan dalam mengukur praktek manajemen laba yaitu dengan mencoba menghilangkan bagian diskresioner pada komponen akrual dalam laba. Metode perhitungan dalam menentukan nilai besaran manajemen laba yaitu diskresioner akrual (discretionary accrual). Penerapan diskresioner akrual dalam menilai praktek manajemen laba telah dilakukan secara luas (Teoh et al. dalam Kothari et al., 2005). Kesimpulan yang ditarik dari hipotesis pengujian terkait dorongan melakukan manajemen laba bergantung pada kemampuan peneliti secara akurat mengestimasi diskresioner akrual (Kothari et al., 2005). Hal tersebut disebabkan oleh penafsiran berbeda dari hasil diskresioner akrual yang dapat dihitung dengan beberapa rumus sehingga membuat peneliti harus benar–benar memahami perhitungan diskresioner akrual yang digunakan. Dechow et al. (1995) menyatakan bahwa seluruh model dari diskresioner akrual menolak hipotesis nol atas ketiadaan manajemen laba yang melebihi tingkat pengujian saat model tersebut diterapkan pada perusahaan yang mengalami kinerja keuangan buruk. Beberapa pengujian atas model diskresioner akrual dapat mendeteksi beberapa manipulasi data keuangan secara benar, namun kembali lagi kepada ketepatan penggunaan hipotesis dan penafsiran oleh peneliti. Dechow pernah melakukan beberapa penambahan pada model yang sudah ada. Beberapa
teknik
alternatif
pernah
dipersiapkan
untuk
mengidentifikasi
diskresioner akrual, tetapi menyajikan lebih sedikit penambahan dibanding model–model sebelumnya (Dechow et al., 2011). commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dechow et al. (2011) melakukan pendekatan dengan memanfaatkan karakteristik inheren dari manajemen laba yang berbasis akrual yang banyak diabaikan pada penelitian–penelitian terdahulu yaitu dengan mengakui berbagai manajemen laba berbasis akrual dalam satu periode harus dibalik di periode lainnya. Kothari et al. (1995) melakukan pengujian terhadap diskresioner akrual dengan penyesuaian model untuk perusahaan yang dijadikan sampel, dimana diskresioner akrual memiliki kecocokan dengan return on asset (ROA) dan industri yang dijalani. Kothari juga menyatakan bahwa kecocokan dengan kinerja perusahaan yang dijadikan sampel belum memecahkan semua masalah yang timbul dari model yang buruk atau dari kesalahan peneliti untuk menilai dorongan praktek manajemen laba. Model diskresioner akrual Jones yang digunakan untuk estimasi crosssectional tiap tahun yaitu: TAit = β0 + β1 (1/ASSETSit-1) + β2 ΔSALESit + β3PPEit + εit Rudra dan Bhattacharjee (2012) dalam penelitiannya menggunakan model Jones yang dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995): TACCR it / Assetsi,t-1 = a(1/Assetsi,t-1) + b(Δ REVit - ΔRECit ) / Assetsi,t-1 + c(PPEit / Assetsi,t-1) + eit Sedangkan model Beaver dan Engel yang digunakan dalam Nasution dan Setiawan (2007): TACCRit = β0 + β1COit + β2LOANit + β3NPAit + β4ΔNPAit+1 + ε Berdasarkan
model
dalam
literatur
tersebut,
maka
penelitian
ini
commit to user mempertimbangkan diskresioner akrual absolut sebagai proksi untuk tingkat
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
praktek manajemen laba. Nilai absolut yang tinggi pada diskresioner akrual tersebut menunjukkan kualitas laba yang rendah. D. Hubungan Adopsi IFRS dengan Manajemen Laba dan Pengembangan Hipotesis Globalisasi yang terjadi dalam dunia bisnis, mendorong aktivitas bisnis yang tidak hanya berpusat pada satu wilayah (Graham dan Neu, 2003). Dorongan peningkatan pertumbuhan menjadi motivasi tersendiri bagi para pelaku bisnis, termasuk dalam aktivitas investasinya. Semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam investasi di beberapa negara, membuat banyak investor mulai melakukan cakupan investasinya ke negara–negara lainnya untuk meminimalisir pengeluarannya disamping berusaha meningkatkan keuntungan yang diharapkan dapat diperoleh. Sistem keuangan yang berorientasi pada pasar yang mendorong investasi tersebut. Tingginya tingkat investasi beberapa tahun ini, membuat perusahaan berusaha mengambil kesempatan ini. Salah satu media yang digunakan untuk menarik investor yaitu laporan keuangan yang merupakan laporan kinerja keuangan perusahaan dalam satu periode. Banyak negara telah mengadopsi atau mengonvergensi standar pelaporan keuangannya dengan IFRS, sehingga perusahaan tertentu sudah diharuskan melakukan pencatatannya berdasarkan IFRS atau standar yang teradopsi dengan IFRS. Adopsi ini telah dimulai oleh negara anggota Uni Eropa dan juga Australia sejak 2005 (Jeanjean dan Stolowy, 2008). IFRS yang menerapkan principle-based tidak menentukan standar yang commit to user rinci sehingga membutuhkan penilaian (judgement) dari manajemen terkait
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
dengan perlakuan akuntansi yang dipilih. Penilaian yang digunakan manajemen dalam melakukan pelaporan keuangan dapat memunculkan potensi praktek manajemen laba dalam perusahaan. Terdapat beberapa pos dalam laporan keuangan yang pengakuannya dapat dimanipulasi. Pos–pos tersebut antara lain depresiasi, cadangan keugian piutang, kerugian pinjaman pada industri perbankan, dan pajak ditangguhkan. Kasznik (1999) menemukan bukti bahwa perusahaaan cenderung melakukan manajemen laba ketika mereka dalam keadaan bahaya dan gagal memenuhi ekspektasi manajemen. Hal tersebut semakin terbuka peluangnya dengan penerapan standar principles-based. Barth et al. (2008) menggunakan sampel dari 21 negara berbeda yang menerapkan IAS sejak 1994–2003 dan menemukan bahwa praktek manajemen laba berkurang, pengakuan kerugian lebih tepat waktu, dan relevansi laporan lebih baik dibanding dengan sampel perusahaan yang menerapkan standar lokal. Berlawanan dengan itu, Ewert dan Wagenhofer (2005) mengatakan kualitas informasi laba yang lebih baik diperoleh dari standar yang dibuat lebih ketat yang lebih membatasi perlakuan akuntansi dan menentukan aturan secara jelas, atau dengan kata lain penerapan standar rules-based. Dorongan memuaskan para calon investor melalui rekayasa laporan keuangan memang cukup umum dilakukan salah satunya dengan manajemen laba tersebut, termasuk pada entitas yang menggunakan standar rules-based. Tingkat kompetisi yang semakin besar antar perusahaan lintas negara membuat dorongan tersebut semakin besar. Penelitian yang dilakukan oleh Teoh et al. (1998) menguji kebijakan depresiasi dan cadangan kerugian piutang saat penawaran saham commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perdana (Initial Public Offerring / IPO). Mereka menemukan bahwa perusahaan cenderung melakukan peningkatan laba melalui kebijakan depresiasi dan cadangan kerugian piutang pada saat melakukan IPO. Ditemukan juga bahwa rata–rata unexpected accrual pada saat melakukan IPO meningkat menjadi cukup besar, yaitu 4–5% dari total aset. Healy (1985) mengatakan perusahaan dengan intensitas bonus yang lebih besar kemungkinan melaporkan akrual penangguhan laba ketika target tercapai dibanding perusahaan yang komparabilitas kinerjanya baik namun tidak memberikan bonus. Hal tersebut disebabkan manajer sudah merasa targetnya terpenuhi sehingga dapat menunda kelebihan bonusnya untuk periode selanjutnya dengan menangguhkan laba yang diperoleh dengan memanfaatkan judgement atas perlakuan beberapa pos. Seperti dikatakan oleh Capkun et al. (2013) yang menemukan bahwa sebelum 2005 dan setelah 2005 terjadi peningkatan manajemen laba untuk negara–negara yang melakukan adopsi IFRS. Negara–negara awal yang mengadopsi IFRS memiliki dorongan lebih untuk meningkatkan transparansi laporan keuangannya dalam rangka menarik modal dari luar dan ditemukan praktek manajemen laba yang menurun setelah adopsi sukarela. Adanya kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur di pasar modal menjadi bukti bahwa transparansi dan kepatuhan terhadap pengungkapan wajib masih kurang (Utami et al. 2012). Oleh karena itu, diperlukan pengukuran yang dapat menentukan keterjadian manajemen laba setelah diterapkannya adopsi IFRS dengan diskresioner akrual. commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penelitian di beberapa negara menemukan perbedaan hasil dalam hal kaitan adopsi atau konvergensi IFRS terhadap manajemen laba. Capkun et al. (2013) menemukan peningkatan praktek manajemen laba pada beberapa negara yang dijadikan sampel. Rudra dan Bhattacharjee (2012) juga menemukan peningkatan aktivitas manajemen laba setelah adopsi IFRS. Berbeda dengan Barth et al. (2008) yang menemukan hasil sebaliknya, dimana penerapan IFRS mampu mengurangi manajemen laba karena dorongan transparansi yang lebih tinggi. Ditemukan juga hubungan positif antara kualitas informasi laba dengan implementasi IFRS, dengan syarat perlindungan investor di negara tersebut cukup baik (Houqe et al., 2011). Dikatakan juga meski terkait, namun belum tentu dapat disimpulkan bahwa penerapan standar yang dianggap berkualitas akan menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas. Sedangkan Santy et al. (2012) menemukan tidak adanya pengaruh adopsi IFRS pada industri perbankan terhadap praktek manajemen laba. Hal tersebut bergantung pada model dan sampel yang dipilih serta penafsiran dari peneliti. Sehingga dapat dikatakan penerapan IFRS ini memiliki pengaruh terhadap praktek manajemen laba. Sehingga rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah: H1: Adopsi IFRS dalam PSAK berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Skema Konseptual Gambar 2.1 Skema Konseptual
Manajemen Laba (Earning Management)
Adopsi IFRS
Ukuran Perusahaan Leverage Ratio Market-to-book Ratio Kepemilikan Institusional
commit to user