9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1.
Teori Deterrence (Deterrence Theory) Deterrence theory merupakan salah satu teori yang terkait dengan
kepatuhan wajib pajak. Teori ini didasarkan pada paradigma manfaat. Teori ini menggambarkan suatu model yang memperhitungkan biaya dan manfaat potensial yang akan diperoleh dari suatu tindakan yang dipilih. Sanksi legal merupakan kerugian potensial yang timbul akibat dari tindakan illegal yang telah dilakukan. Persepsi seseorang terhadap kepastian hukum akan mempengaruhi komitmennya terhadap tindakan illegal. Seseorang akan berusaha untuk menghindari segala bentuk kerugian potensial akibat tindakan melanggar aturan. Secara rasional, setiap wajib pajak akan memilih dan berusaha melakukan pembayaran pajak seminimal mungkin dengan tingkat rasio (sanksi) yang rendah. Menurut Becker (1968), besarnya optimalitas sanksi dapat ditentukan dengan rasionalitas
masing-masing
individu
yang
terlibat
didalamnya
guna
memaksimalkan fungsi utilitas. Apabila biaya yang diperlukan untuk melakukan pelanggaran lebih kecil dari manfaat yang diperoleh, maka wajib pajak cenderung melanggar. Sebaliknya jika biaya yang diperlukan lebih besar dari manfaat yang diperoleh, maka wajib pajak cenderung menghindari pelanggaran.
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
2. Agency Theory Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan. Agency Theory mengasumsikan bahwa setiap manusia memiliki sifat egois yaitu mementingkan kepentingan diri sendiri. Pemegang saham akan fokus pada pemenuhan kepentingan pribadi yaitu memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya. Adanya benturan kepentingan antara keduanya inilah yang memicu munculnya Agency Theory. Agecny Theory
berkaitan erat dengan Corporate Governance yaitu
masing-masing individu termotivasi oleh kesejahteraan dan kepentingan dirinya sendiri. Pihak principal termotivasi untuk mengadakan kontrak yang memberikan dampak untuk menyejahterakan dirinya melalui pembagian dividen atau kenaikan harga saham perusahaan. Untuk meningkatkan kesejahteraan para Agent maka dilakukan cara dengan memotivasi peningkatan tersebut melalui peningkatan kompensasi. Agency problem timbul karena adanya information asymmetry antara agent dan principal. Information asymmetry muncul ketika tidak adanya keseimbangan informasi antara agent dan principal. Agent sebagai pihak internal perusahaan mengetahui lebih banyak informasi mengenai keadaan perusahaan dibandingkan principal. Ketidakseimbangan informasi dapat menyebabkan moral hazard dan adverse selection (Scott, 2015). Moral hazard terjadi karena principal tidak dapat secara langsung mengamati aktivitas agent dalam mengelola perusahaan dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
mengelolah informasi, sehingga ukuran output atas aktivitas-aktivitas yang telah ditetapkan dalam kontrak menjadi kurang akurat. Sedangkan adverse selection timbul akibat adanya ketidakpastian apakah informasi yang disajikan oleh agent, digunakan oleh principal dalam mengambil suatu keputusan, merupakan informasi yang mencerminkan kinerja agent sebenarnya. Pada kenyataannya agency problem hanya bisa diminimalisir tapi tidak bisa dihilangkan, karena agency problem berhubungan dengan perilaku agent dan principal yang selalu memaksimalkan utilitasnya. Faktor lain penyebab terjadinya agency problem adalah karena sulitnya untuk memonitor tindakan yang dilakukan oleh agent dan adanya ketidakseimbangan informasi antara agent dan principal mengenai informasi kegiatan perusahaan. Dalam penelitian Masdupi (2005) dikemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengurangi masalah keagenan adalah sebagai berikut : 1.
Meningkatkan
insider ownership. Perusahaan meningkatkan bagian
kepemilikan manajemen untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan meningkatkan persentase kepemilikan, manajer menjadi termotivasi
untuk
meningkatkan
kinerja
dan
bertanggung
jawab
meningkatkan kemakmuran pemegang saham. 2.
Pendekatan pengawasan eksternal yang dilakukan melalui penggunaan hutang. Penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham sehingga meminimalisasi biaya keagenan ekuitas. Akan tetapi, perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
membayarkan beban bunga secara periodik. Selain itu penggunaan hutang yang
terlalu
besar
juga
akan
menimbulkan
antara shareholders dengan debtholders sehingga
konflik
keagenan
memunculkan
biaya
keagenan hutang. 3.
Institutional
investor sebagai monitoring
agent. Moh’d et
al,
(1998)
menyatakan bahwa bentuk distribusi saham dari luar (outside shareholders) yaitu institutional investor dan shareholders dispersion dapat mengurangi biaya keagenan ekuitas (agency cost). Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau menantang keberadaan manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran power menjadi suatu hal yang relevan dalam perusahaan.
B. Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory) Teori akuntansi positif (positive accounting theory) sering dikaitkan dalam pembahasan mengenai manajemen laba (earning management). Teori akuntansi positif menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen dalam memilih prosedur akuntansi yang optimal dan mempunyai tujuan tertentu. Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak dan memaksimalkan nilai perusahaan. Dengan adanya kebebasan itulah, maka menurut Scott (2000) manajer mempunyai kecenderungan melakukan suatu tindakan yang menurut teori akuntansi positif
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
dinamakan sebagai tindakan oportunis (opportunistic behavior). Jadi, tindakan oportunis adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dalam memilih kebijakan akuntansi yang menguntungkan dan memaksimumkan kepuasan perusahaan tersebut. Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori akuntansi positif (positive accounting theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba yang dihubungkan oleh tindakan oportunistik yang dilakukan oleh perusahaan (Watts dan Zimmerman, 1986 dalam Santoso, 2004). Tiga hipotesis menurut Watts dan Zimmerman (1986) dalam Santoso (2004) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Hipotesis program bonus (The Bonus Plan Hypotesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang menggunakan bonus plan akan cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode berjalan. Hal ini dilakukan untuk memaksimumkan bonus yang akan mereka peroleh karena seberapa besar tingkat laba yang dihasilkan seringkali dijadikan dasar dalam mengukur keberhasilan kinerja. Jika besarnya bonus tergantung pada besarnya laba, maka perusahaan tersebut dapat meningkatkan bonusnya dengan meningkatkan laba setinggi mungkin. Dengan demikian, diperkirakan bahwa perusahaan yang mempunyai kebijakan pemberian bonus yang berdasarkan pada laba akuntansi, akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan laba tahun berjalan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
2. Hipotesis perjanjian utang (the debt covenant hypotesis) Hipotesis ini berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi perusahan di dalam perjanjian utang (debt covenant). Sebagian perjanjian utang mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi peminjam selama masa perjanjian. Dinyatakan pula jika perusahaan mulai mendekati suatu pelanggaran terhadap (debt covenant), maka perusahaan tersebut akan berusaha menghindari terjadinya (debt covenant) dengan cara memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba. Pelanggaran terhadap (debt covenant) dapat menimbulkan suatu biaya serta dapat menghambat kinerja manajemen. Sehingga dengan meningkatkan laba perusahaan berusaha untuk mencegah atau setidaknya menunda hal tersebut. 3. Hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) Dalam hipotesis ini dinyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis. Dari definisi diatas, peneliti dapat melihat hubungan teori akuntansi positif (positive accounting theory) dengan penelitian ini. Seperti yang sudah dijelaskan, dalam teori akuntansi positif (positive accounting theory) ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Salah satu motivasi yang terkait
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
dengan adanya perubahan tarif pajak penghasilan badan 2008 yaitu motivasi regulasi politik yang merupakan motivasi manajemen dalam mensiasati berbagai regulasi pemerintah guna melakukan manipulasi laba dengan menurunkan laba yang dilaporkan sehingga pajak yang dibayarkannya menjadi kecil.
C. AGRESIVITAS PAJAK Pembayaran pajak perusahaan seharusnya memiliki implikasi bagi masyarakat dan sosial karena membentuk fungsi yang penting dalam membantu mendanai penyediaan barang publik dalam masyarakat, termasuk hal-hal seperti pendidikan, pertahanan nasional, kesehatan masyarakat, transportasi umum dan penegakan hukum (FHlaing (2012) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai kegiatan perencanaan pajak semua perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi tingkat pajak yang efektif. Tidak ada definisi ataupun ukuran agresivitas pajak yang dapat diterima secara universal (Balakrishnan, et. Al., 2011) dan (Hanlon dan Heizman, 2010) dalam Ying (2011). Slemrod (2004) dalam Balakrishnan, et. al. (2011) berpendapat bahwa agresivitas pajak merupakan kegiatan yang lebih spesifik, yaitu mencakup transaksi yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan kewajiban pajak perusahaan. Balakrishnan, et. al. (2011) menyatakan bahwa perusahaan yang agresif terhadap pajak ditandai dengan transparansi yang lebih rendah. Demikian juga dengan Jimenez (2008) yang menyatakan bahwa bukti empiris baru-baru ini menunjukkan bahwa agresivitas pajak lebih merasuk dalam tata kelola perusahaan yang lemah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
Hanlon dan Heitzman (2010) dalam Yuan, McIver, dan Burrow (2012) mendefinisikan agresivitas pajak penghasilan badan (sering disebut sebagai penghindaran pajak) sebagai tingkat yang paling akhir dari spektrum serangkaian perilaku perencanaan pajak. Zuber (2007) menyatakan: “Between tax avoidance and tax evasion, there exist potential gray area of aggressiveness. This gray area exists because there are tax shelters beyond what is specifically allowed by the tax law and the tax law does not specifically address all possible tax transaction. A bright line does not exist between tax avoidance and tax evasion because neither term adequately describes all transactions. Therefore, aggressive transactions and decision-making may potentially become either tax avoidance or tax evasion issues.” Dapat disimpulkan bahwa transaksi dan pengambilan keputusan yang agresif mungkin secara potensial dapat menjadi masalah penghindaran pajak maupun penggelapan pajak. Harari, et.al. (2012) menyatakan bahwa agresivitas pajak dapat didefinisikan sebagai: “The main purpose of the activity or activities that are the object of tax planning is to avoid paying taxes or to lower taxes significantly, and the commercial reason for that activity, if any, is marginal.” Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa tujuan utama dari aktivitas perencanaan pajak adalah menghindari pembayaran pajak atau membuat rendah beban pajak yang dibayarkan secara signifikan. Hidayat dan Jaenudi (2006) menyatakan bahwa beban pajak yang dipikul oleh subjek pajak badan, memerlukan perencanaan yang baik, oleh karena itu strategi perpajakan menjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
mutlak diperlukan untuk mencapai perusahaan yang optimal. Strategi dan perencanaan pajak yang baik dan tentu saja harus legal, akan mampu mendorong perusahaan untuk dapat bersaing dengan perusahaan yang lain. Ada berbagai macam proksi pengukuran agresivitas pajak, antara lain Effective Tax Rates (ETR), Book Tax Differences, Discretionary Permanent BTDs (DTAX), Unrecognize Tax benefit, Tax Shelter Activity, dan Marginal tax rate. Rego dan Wilson (2008) menyatakan bahwa tidak ada proksi agresivitas pajak yang dapat menangkap secara sempurna adanya agresivitas pajak. Beberapa peneliti seperti Timothy (2010), Balakrishnan, dkk (2011), serta Lanis dan Richardson (2012) menggunakan ETR untuk mengukur agresivitas pajak. Lanis dan Richardson (2012) menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan menggunakan ETR sebagai proksi untuk mengukur agresivitas pajak, antara lain penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Slemrod, 2004; Dyreng et al, 2008; Robinson et al, 2010; Armstrong dkk menggunakan ETR untuk mengukur agresivitas pajak, proksi ETR adalah proksi yang paling banyak digunakan dalam literatur, dan nilai yang rendah dari ETR dapat menjadi indikator adanya agresivitas pajak. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang menghindari pajak perusahan dengan mengurangi penghasilan kena pajak mereka dengan tetap menjaga laba akuntansi keuangan memiliki nilai ETR yang lebih rendah. Dengan demikian, ETR dapat digunakan untuk mengukur agresivitas pajak. Perbedaan yang besar antara laba akuntansi dengan penghasilan kena pajak di perusahaan umumnya menunjukkan perilaku agresif terhadap pajak yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
lebih besar. (Desai dan Dharmapala, 2006; Frank et al., 2009, Lanis dan Richardson, 2011).
D. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN AGRESIVITAS PAJAK Setiap tindakan yang dilakukan oleh manajer (pengambil keputusan) pasti akan memperhitungkan dampak baik dan buruknya atas tindakan yang dilakukan. Ada tiga keuntungan dari tindakan pajak agresif yang dijelaskan oleh Hidayanti (2013): 1. Keuntungan berupa penghematan pajak yang akan dibayarkan perusahaan kepada negara, sehingga jumlah kas yang dinikmati pemilik atau pemegang saham dalam perusahaan menjadi lebih besar. 2. Keuntungan bagi manajer (baik langsung maupun tidak langsung) yang mendapatkan kompensasi dari pemilik atau pemegang saham perusahaan atas tindakan pajak agresif yang dilakukannya. 3. Keuntungan bagi manajer adalah mempunyai kesempatan untuk melakukan rent extraction (Chen et al, 2010) Sedangkan kerugian dari tindakan pajak agresif diantaranya adalah: 1. Kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksi atau pinalti dari fiskus pajak dan turunnya harga saham perusahaan (Sari dan Martani, 2010). 2. Rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
3. Penurunan harga saham dikarenakan pemegang saham lainnya mengetahui tindakan pajak agresif yang dijalankan manajer dilakukan dalam rangka rent extraction (Desai dan, Dharmapala, 2006).
E. CORPORATE GOVERNANCE Corporate Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan untuk mengatur kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu. The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) (2012) mengartikan Corporate Governance sebagai struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya berdasarkan norma, etika, budaya dan aturan yang berlaku. Good Corporate Governance adalah seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan (FCGI, 2001).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
Good
Corporate
Governance
merupakan
salah
satu
kunci
dalam
meningkatkan efisiensi ekonomis yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, para pemegang saham dan stakeholders lainnya (OECD, 1999) (Tuti, 2009). Sedangkan menurut Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor. KEP01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) yaitu Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundangundangan dan etika berusaha. Menurut Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor. KEP-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) terdapat 5 prinsip yang dikemukakan yaitu: 1. Transparansi (transparency) yaitu keterbukaan terhadap proses pengambilan keputusan dan penyampaian informasi mengenai segala aspek perusahaan terutama yang berkaitan dengan kepentingan stakeholders dan publik secara benar dan tepat waktu 2. Akuntabilitas
(accountability)
yaitu
kejelasan
sistem
pertanggungjawaban pengelola perusahaan (check and balances system) kejelasan pembagian tugas, wewenang dan tanggungjawab masing-masing organ perusahaan yang diangkat setelah melalui fit and proper test sehingga pengelolaan perusahaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
3. Pertanggungjawaban (responsibility) yaitu perwujudan kewajiban organ
perusahaan
untuk
melaporkan
kesesuaian
pengelolaan
perusahaan dengan pengaturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan dan keberhasilan maupun kegagalannya dalam pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan dengan kata lain bukan hanya kewajiban hukum tetapi juga kewajiban sosial, bukan hanya pada normative tapi juga kode etik 4. Kemandirian (independency) yaitu suatu keadaan, perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun terutama pemegang saham mayoritas yang bertentangan dengan pengaturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat, setiap keputusan diambil berdasarkan objektivitas menghindari konflik kepentingan 5. Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, adanya tindakan pengelola perusahaan dalam menempatkan kedudukan para pihak yang setara. Prinsip-prinsip tersebut sangat diperlukan dalam penerapan GCG dikarenakan sangat berkaitan dengan penyajian laporan keuangan suatu perusahaan (Rina Winarsih, Dkk).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
Prinsip-prinsip GCG tersebut yang nantinya akan memberikan manfaat bagi perusahaan. Menurut The Indonesian Institute For Corporate Governance (IICG) (2012), manfaat dari pelaksanaan GCG adalah menjaga sustainability perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan dan kepercayaan pasar, mengurangi agency cost dan cost of capital, meningkatkan kinerja, efisiensi dan pelayanan kepada stakeholders, melindungi organ dari intervensi politik dan tuntutan hukum, dan membantu terwujudnya good corporate citizen. Manfaat penerapan GCG ini tidak akan didapat oleh perusahaan tanpa terlaksananya prinsip-prinsip dalam GCG tersebut. Namun prinsipprinsip GCG tersebut juga tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya organ perusahaan sebagai pelaksana kegiatan dalam perusahaan. Organ perusahaan tersebut yang nantinya akan melaksanakan tugas dan fungsinya sehingga bisa mencapai tujuan bersama perusahaan. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) (2006), organ perusahaan terdiri dari: 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Penyelenggaraan RUPS merupakan tanggung jawab Direksi. Untuk itu, Direksi harus mempersiapkan dan menyelenggarakan RUPS dengan baik dan dengan berpedoman pada butir 1 dan 2 diatas. Dalam hal Direksi berhalangan, maka penyelenggaraan RUPS dilakukan oleh Dewan Komisaris atau
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
pemegang saham sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan. 2. Dewan
Komisaris
sebagai
organ
perusahaan
bertugas
dan
bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dewan komisaris dapat membentuk suatu komite. Adapun komite penunjang dewan komisaris yaitu Komite Audit, Komite Nominasi dan Remunerasi, Komite Kebijakan Risiko, dan Komite Kebijakan Corporate Governance. 3. Dewan
Direksi
sebagai
organ
perusahaan
bertugas
dan
bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. (Rina Winarsih, Prasetyono, Muhammad Syam Kusufi, 2014) Pengertian lain datang dari Finance Comitte on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan kearah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap memerhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya. Corporate Governance muncul untuk memberikan keyakinan dan kepercayaan terhadap investor bahwa dana yang mereka investasikan dalam perusahaan digunakan secara tepat dan efisien serta tujuan perusahaan dapat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
tercapai yaitu meningkatkan kekayaan pemegang saham dan nilai perusahaan juga meningkat. Perusahaan harus memastikan bahwa prinsip-prinsip dalam Corporate Governance telah diaplikasikan dalam perusahaan dengan baik dan efektif sehingga perusahaan dapat berkembang dan semakin besar. Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2004), Corporate Governance adalah seperangkat pengaturan yang menetepkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Corporate Governance pada intinya adalah suatu sistem dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi agar kinerja perusahaan dijalankan dengan efektif, efisien transparan dan akuntabel demi tercapainya tujuan
oraganisasi
dan
menghindari
kecurangan-kecurangan
dalam
manajemen perusahaan, selain itu juga dapat menghasilkan laporan keuangan yang akuntabel yang berguna bagi para penggunanya untuk mengambil keputusan. Dewan Direksi berfungsi untuk mengurus perusahaan, sementara Dewan Komisaris berfungsi untuk melakukan pengawasan. Selain itu, komisaris independen berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang dalam pengambilan keputusan oleh Dewan Komisaris. Penelitian Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa Dewan Komisaris sebagai principal atau
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
pemilik bertugas untuk mengawasi dan mengontrol tindakan-tindakan direksi, sehubungan dengan perilaku oportunistik mereka. Dewan Komisaris merupakan inti dari Corporate Governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Kehadiran komisaris independen diprediksi juga akan mempengaruhi agresivitas pajak perusahaan. Menurut Fama & Jensen (1983) dalam Wulan (2005), semakin banyak komisaris independen maka pengawasan terhadap kinerja manajer dianggap lebih efektif. Dengan adanya pengawasan yang ketat dari komisaris independen maka akan mengurangi kesempatan manajer untuk berlaku agresif terhadap pajak perusahaan. Manajer melakukan agresivitas pajak perusahaan karena adanya kepentingan untuk meningkatkan laba perusahaan dengan cara mengurangi beban perusahaan termasuk beban pajak.
F. Dasar Hukum Komisaris Independen dan Dewan Direksi Independen a. Komisaris Indepeden Peraturan BEI (d/h BEJ) No. I.A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Persyaratan pencatatan diantaranya adalah Memiliki Komisaris Independen sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari jajaran anggota Dewan Komisaris yang dapat dipilih terlebih dahulu melalui RUPS sebelum Pencatatan dan mulai efektif bertindak sebagai Komisaris Independen setelah saham perusahaan tersebut tercatat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
Peraturan Bapepam No. IX.I.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang: 1. Berasal dari luar emiten atau perusahaan publik 2. Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik, 3. Tidak
mempunyai
hubungan
afiliasi
dengan
emiten
atau
perusahaan publik, Komisaris, Direksi, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik, 4. Tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik, dan Peraturan OJK No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan
Komisaris
Emiten
atau
Perusahaan
Publik, persyaratan
pengangkatan Komisaris Independen adalah sebagai berikut: 1. Bukan karyawan atau memiliki hubungan ketenagakerjaan dengan emiten minimal 6 bulan, 2. Tidak memiliki saham di emiten baik secara langsung maupun tidak langsung 3. Tidak memiliki hubungan afiliasi (lihat pengertian afiliasi dalam Pasal 1 UU Pasar Modal), dengan Emiten, Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham utama Emiten
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
4. Tidak melakukan hubungan bisnis dengan emiten baik secara langsung maupung tidak langsung b. Dewan Direksi Independen Berdasarkan Surat Edaran PT Bursa Efek Indonesia No. SE00001/BEI/02-2014, Istilah Direktur Independen menggantikan istilah Direktur Tidak Terafiliasi. Surat Edaran tersebut berlaku sejak tanggal 4 Februari 2014 Pasal 1 butir 1 UU Pasar Modal: Afiliasi adalah: 1. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, 2. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari Pihak tersebut, 3. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama, 4. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut, 5. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama atau 6. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
Peraturan BEI (d/h BEJ) No. I.A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Persyaratan pencatatan diantaranya adalah Memiliki Direktur tidak terafiliasi sekurang-kurangnya 1 (satu) orang dari jajaran anggota Direksi yang dapat dipilih terlebih dahulu melalui RUPS sebelum Pencatatan dan mulai efektif bertindak sebagai Direktur tidak terafiliasi setelah saham perusahaan tersebut tercatat. Yang dimaksud Direktur tidak terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ketentuan di atas adalah: 1. Tidak mempunyai hubungan afiliasi (penegasan: lihat UU Pasar Modal) dengan Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Tercatat yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan sebelum penunjukan sebagai Direktur tidak terafiliasi; 2. Tidak mempunyai hubungan afiliasi (penegasan: lihat UU Pasar Modal) dengan Komisaris atau Direksi lainnya dari Perusahaan Tercatat; 3. Tidak bekerja rangkap sebagai Direksi pada perusahaan lain; 4. Tidak menjadi Orang Dalam pada lembaga atau profesi penunjang pasar modal yang jasanya digunakan oleh Perusahaan Tercatat selama 6 (enam) bulan sebelum penunjukan sebagai Direktur. Peraturan OJK No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik, persyaratan pengangkatan Direktur Independen adalah sebagai berikut:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
1. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham Utama tidak lebih dari 6 bulan sebelum dilakukan pengangkatan 2. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Direksi dan Dewan Komisaris 3. Tidak menjabat sebagai Direksi atau Dewan Komisaris di perusahaan lain (baik PT Tbk maupun non-Tbk) 4. Tidak merupakan orang dalam dari suatu lembaga atau institusi atau profesi penunjang pasar modal yang pernah di pekerjaan oleh Emiten.
G. Tujuan Pelaksanaan Corporate Governance Menurut Siswanto Sutojo dalam E. John Aldridge (2005:5-6), Good Corporate Governance mempunyai 5 macam tujuan utama, yaitu : a. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham b. Melindungi hak dan kepentingan para anggota the stakeholders nonpemegang saham c. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham d. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaan e. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan. Penerapan Good corporate Governance dilingkungan BUMN dan BUMD mempunyai tujuan sesuai KEPMEN BUMN M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2001 pada pasal 4 yaitu:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
a. Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional. b. Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisiensi, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ. c. Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial BUMN terhadap stakeholders maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN. d. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional. e. Meningkatkan iklim investasi nasional. Mensukseskan program privatisasi
H. Manfaat Corporate Governance Dengan melaksanakan Corporate Governance, menurut Forum of Corporate Governance in Indonesia (FCGI) ada beberapa manfaat yang diperoleh, antara lain: 1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholder
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigid (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value 3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia 4. Pemegang saham akan puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholder Value dan deviden. Menurut (Hery dalam Tadikapury, 2010) ada 5 manfaat yang dapat diperoleh perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance yaitu : 1. GCG secara tidak langsung akan dapat mendorong pemanfaatan sumber daya perusahaan ke arah yang lebih efektif dan efisien yang pada gilirannya
akan
turut
membantu
terciptanya
pertumbuhan
atau
perkembangan ekonomi nasional 2. GCG dapat membantu perusahaan dan perekonomian nasional, dalam hal ini menarik modal investor dengan biaya yang lebih rendah melalui perbaikan
kepercayaan
investor
dan
kreditur
domestik
maupun
internasional 3. Membantu pengelolaan perusahaan dalam memastikan atau menjamin bahwa perusahaan telah taat pada ketentuan, hukum, dan peraturan 4. Membangun manajemen dan Corporate Board dalam pemantauan penggunaan asset perusahaan 5. Mengurangi korupsi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama sekali hubungan antara praktik corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui „pool of investors‟ di seluruh dunia. Suatu perusahaan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal global dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu. Bahkan jika perusahaan tidak bergantung pada sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan. Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat: 1. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing) ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut. 2. Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
3. Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang. 4. Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Dari tujuan dan manfaat di atas maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang menerapkan GCG akan selalu melindungi kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan perusahaan dan selalu melaksanakan kegiatan perusahaan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan
perekonomian
perusahaan
dan
pada
akhirnya
akan
meningkatkan kepercayaan publik kepada perusahaan tersebut.
I. Manajemen Laba (Earning Management) Salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan bisnis adalah laba yang dihasilkan perusahaan. Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement oF Financial Accounting Concept (SFAC) No. 2 merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannnya karena memiliki nilai prediktif. (Scott 2006, 344) membagi pemahaman atas manajemen laba menjadi 2 yaitu:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
a. Melihatnya sebagai perilaku oportunis manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political cost (Oportunistic Earning Management) b. Memandang manajemn laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earning Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu. Earning Management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan atau mengurangi laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggungjawab tanpa mengakibatkan peningkatan atau penurunan profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Earning Management merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi yang diterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan. Menurut Sugiri (1998) Manajemen Laba (Earning Management) dapat dibagi menjadi 2 definisi, yaitu:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
1. Definisi Sempit, Earning Management erat kaitannya dengan pemilihan metode akuntansi dan perilaku manajer dalam menentukan besarnya laba seputar komponen discretionary accruals yaitu komponen akrual yang berada dalam kebijakan manajemen atau manajer untuk melakukan intervensi dalam proses pelaporan keuangan. 2. Definisi Luas, Earning Management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan atau mengurangi laba yang dilaporkan saat ini atas
suatu
unit
dimana
manajer
bertanggungjawab
tanpa
mengakibatkan peningkatan atau penurunan profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Menurut Scott (2009) yang menjadi motivasi dilakukannya manajemen laba adalah motivasi bonus, motivasi kontrak, motivasi politik, motivasi pajak, penggantian direktur dan mengkomunikasikan informasi ke investor. Tiga jenis strategi dalam Earning Management (Subramanyam dan Wild, 2010), yaitu: 1. Increasing Income, meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode kini untuk membuat perusahaan dipandang lebih baik. 2. Big Bath, dilakukan melalui penghapusan sebanyak mungkin pada satu periode, periode yang dipilih biasanya periode dengan kinerja yang buruk (seringkali pada masa resisi dimana perusahaan lain juga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
melaporkan laba yang buruk) atau pada saat terjadi perubahan manajemen, merger ataupun restrukturisasi 3. Income Smoothing, manajer meningkatkan atau menurunkan laba yang dilaporkan untuk mengurangi fluktuasinya dengan cara tidak melaporkan bagian laba pada periode yang baik dan menciptakan cadangan laba kemudian melaporkan laba tersebut pada saat periode buruk. Penelitian yang dilakukan oleh Badertscher dkk. (2009) menunjukkan bukti bahwa manajemen laba dijadikan alat bagi perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak.
J. Bentuk-Bentuk Earning Management Bentuk-bentuk yang dikemukakan oleh Scott (2003:383), yaitu: 1. Taking a Bath Taking a Bath yang bisa disebut juga Big Baths, bisa terjadi selama periode dimana terjadi tekanan dalam organisasi atau terjadi reorganisasi, misalnya pergantian Direksi. 2. Income Minimization Pola meminimumkan laba mungkin dilakukan karena motif politik atau motif meminumumkan pajak. Cara ini dilakukan pada saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
3. Income Maximization Maksimalkan laba bertujuan untuk memperoleh bonus yang besar, selain itu tindakan ini juga bisa dilakukan untuk menghindari pelanggaran atas hutang kontrak jangka panjang (debt covenant). 4. Income Smoothing Perusahaan umumnya lebih memilih untuk melaporkan trend pertumbuhan laba yang stabil daripada menunjukkan perubahan laba yang meningkat atau menurun secara drastis. 5. Timing revenue dan Expenses Recognation Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan dengan timing suatu transaksi, misalnya pengakuan premature atas pendapatan.
K. Motivasi Earnings Management Menurut (Scott 2003: 377) , motivasi manajemen melakukan tindakan pengaturan laba sebagai berikut: 1. Rencana Bonus (Bonus Scheme) Manajer perusahaan yang mendapatkan bonus akan memilih kebijakan akuntansi yang sedikit konservatif dibandingkan dengan manajer perusahaan tanpa rencana bonus.Manajer dengan rencana bonus akan menghindari metode akuntansi yang mungkin melaporkan net income lebih rendah. Manajer menggunakan laba akuntansi untuk menentukan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
besarnya bonus, cenderung memilih kebijakan akuntansi yang dapat memaksimumkan laba. Dalam rencana bonus ada istilah bogey dan capbogey merupakan tingkat laba minimum untuk memperoleh bonus sedangkan cap adalah tingkat laba maksimum untuk memperoleh bonus. Jika laba ada diatas cap, ada tidaknya bonus tergantung pada kontrak yang dilakukan antara pemegang saham dan manajer. Manajemen laba dapat dilakukan dengan menggeser laba ke periode berikutnya. Jika laba berada dibawah bogey maka manajer akan semakin mengurangi laba bersih. Dengan demikian kemungkinan untuk mendapatkan bonus di periode berikutnya akan meningkat. 2. Kontrak Utang Jangka Panjang (Debt Covenant) Kontrak Utang Jangka Panjang (Debt Covenant) merupakan perjanjian untuk melindungi pemberi pinjaman (lender atau kreditur) dari tindakan-tindakan manajer terhadapkepentingan kreditur Kontrak Utang Jangka Panjang (Debt Covenant), seperti deviden yang berlebihan , pinjaman tambahan atau membiarkan modal kerja dan kekayaan pemilik berada dibawah tingkat yang telah ditentukan yang mana semuanya menurunkan keamanan atau menaikkan risiko bagi kreditur yang telah ada. Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif yaitu semakin dekat suatu perusahaan dengan pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak. 3. Motivasi Politis (Political Motivation) Aspek politis tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya perusahaan besar dan strategis karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak. Perusahaan yang berkecimpung didalam bidang penyediaan fasilitas bagi kepentingan orang banyak seperti listirk, air, telekomunikasi dan sarana infrastruktur, secara politis akan mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Perusahaan seperti ini cenderung menurunkan laba
untuk
kemakmuran
menuruni tinggi.
visibilitasnya,
Tindakan
ini
khususnya dilakukan
selama
untuk
periode
memperoleh
kemudahan dan fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi. 4. Motivasi Perpajakan (taxation Motivation) Perpajakan merupakan salah satu
alasan utama mengapa
perusahaan mengurangi laba bersih yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan besarnya pajak yang harus dibayarkan ke pemerintah. Sebagai contoh, cara yang dilakukan misalnya merubah metode pencatatan persediaan menjadi LIFO agar laba bersih yang dihasilkan rendah. 5. pergantian Direksi Beragam motivas timbul disekitar waktu pergantian direksi. Sebagai contoh, direksi yang mendekati masa akhir penugasan atau pensiun akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk menigkatkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
bonusnya. Demikian juga dengan direksi yang kurang berhasil memperbaiki kinerja perusahaan akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya. 6. Penawaran Perdana (Initial Public Offering) Ketika perusahaan telah dinyatakan go public, informasi keuangan yang ada didalam prospektus merupakan sumber informasi penting. Informasi ini dapat digunakan sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor, maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan.Selain itu, motivasi pasar modal juga mempengaruhi dalam tindakan manajemen laba. Penggunaan informasi secara luas oleh investor dan analisi keuangan untuk melindungi nilai sekuritasnya, dapat menciptakan dorongan manajer untuk memanipulasi dalam usahanya untuk mempengaruhi kinerja sekuritas jangka pendek.
L. Teknik Earnings Management Teknik dan pola manajemen laba menurut Asyik (2000: 23) dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu: 1. Perubahan metode akuntansi Manajemen mengubah metode akuntansi yang berbeda dengan metode sebelumnya sehingga dapat menaikkan atau menurunkan angka laba. Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda, misalnya:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
a) Mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode jumlah angka tahun (sum of the year digit) ke metode depresiasi garis lurus (straight line) b) Mengubah metode depresiasi 2. Memainkan kebijakan perkiraan akuntansi Manajemen mempengaruhi
laporan keuangan dengan
cara
memainkan kebijakan (judgment) perkiraan akuntansi. Hal tersebut memberikan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektivitas dalam menyusun estimasi, misalnya: a) Kebijakan mengenai perkiraan jumlah piutang tidak tertagih b) Kebijakan mengenai perkiraan biaya garansi c) Kebijakan mengenai perkiraan terhadap proses pengadilan yang belum terputuskan 3. Menggeser periode biaya atau pendapatan Manajemen menggeser periode biaya atau pendapatan (sering diseut manipulasi keputusan operasional), misalnya: a) Mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya b) Mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya c) Kerjasama dengan vendor untuk mempercepat atau menunda pengiriman tagihan sampai periode akuntansi berikutnya d) Menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
e) Mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai
M. Model-Model Pendeteksi Earnings Management Terdapat beberapa metode pendeteksian Earnings Management. Jones (1991) memberikan sebuah model untuk membantu mengidentifikasi perusahaan yang melakukan manajemen laba. Tujuan model jones adalah untuk memisahkan akrual kelolaan dan non kelolaan. Model modisikasi Jones) mengestimasi tingkat akrual yang diharapkan (akrual non kelolaan) sebagai fungsi perbedaan antara perubahan pendapatan dan perubahan dalam piutang dagang serta aktiva tetap (Thomas dan Zhang, 2000: 347). Perhitungan total akrual dengan pendekatan arus kas dan laporan laba rugi,laba dihitung dengan rumus sebagai berikut (Sloan, 1996):
Tat = Earnt - CFOt Dimana: Tat = Total akrual Earnt = Earnings CFOt = Arus kas operasi Selurus persamaan diatas dibagi dengan menggunakan total aktiva awal tahun pada perusahaan yang di observasi. Menurut Sulstyanto (2008: 211) model-model pemisah akrual menjadi kelolaan dan non kelolaan yang dibandingkan oleh Dechow, dkk adalah sebagai berikut:
1. The Healy Model
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
Pengujian
Healy
untuk
manajemen
laba
dengan
cara
membandingkan rata-rata total akrual (dibagi total aktiva periode sebelumnya). Healy (1985) menganggap non discretionary accrual (NDA) tidak dapat di observasi. Model untuk non discretionary accrual adalah sebagai berikut: NDA = 0
sehingga
TA = NDA
2. The De Agelo Model Model De Angelo (1986) menguji manajemen laba dengan menghitung perbedaan awal dalam total akrual dan dengan asumsi bahwa perbedaan pertama tersebut diharapkan nol yang berarti tidak ada manajemen laba. Model ini menggunakan total akrual periode terakhir (dibagi total akiva periode sebelumnya) untuk mengukur non discretionary accrual.
NDAt = TAt-1 Dimana: NDAt = estimasi non discretionary accrual TAt-1 = total accrual dibagi total aktiva 1 tahun sebelum tahun t
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
3. The Jones Model Model Jones' (Dechow 1995) dengan menggunakan nilai Discretionary Accrual (TAC). Model ini menggunakan Total Accrual (TAC) yang diklasifikasikan menjadi komponen Discretionary (DTAC) dan Non-Discretionary (NDTAC). TAC = laba bersih - arus kas operasi ........(1) Nilai total accrual yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS sebagai berikut: TACt/TAt-1 = a1[1/TAt-1] + a2[DSALt/TAt-1] + a3[PPEt/TAt-1] + jt...…..(2) Dengan menggunakan koefisien regresi di atas (a 1, a2, dan a3) nilai non discretionary accrual (NDTAC) dapat dihitung dengan rumus: NDTAC= â1[1/TA t-1]+â2[(DSALt-DRECt)/ TA t-1]+â3[PPEt/ TA t-1]…(3) Selanjutnya DTAC dapat dihitung sebagai berikut: DTACt = TACt/TAt-1 – NDTAC ...............................(4) Dimana: TAC = Total accrual dalam periode t 1. DTAC = Discretionary accruals TA = Total Aset periode t-1 2. DSALt = Perubahan penjualan bersih dalam periode t DRECt = Perubahan piutang bersih dalam periode t PPEt = Property, plan, and equipment a1, a2, a3 = Koefisien regresi persamaan (2) â1, â2, â3
=
Fitted coeficient yang diperoleh dari hasil regresi persamaan (2)
Jones (1991) mengajukan model yang menolak asumsi bahwa non discretionary accrual adalah konstan. Model ini mencoba mengontrol
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
pengaruh perubahan keadaan ekonomi perusahaan pada non discretionary accrual yaitu sebagai berikut:
NDAt = α1 1/TAt-1 + α2 ∆ REVt / TAt-1 + α3 PPEt / TAt-1 Dimana: ∆ REVt = Revenue pada tahun t dikurangi revenue pada tahun t-1 dibagi total aktiva tahun t-1 PPEt
= Gross Property plan and equipment pada tahun t dibagi total aktiva tahun t-1
At-1
= Total aktiva tahun t-1
α1α2α3 =Firm spesificparametrs
4. The Modified Jones Model Model ini dibuat untuk mengeliminasi tendensi konjungtor yang terdapat dalam the jones model.
Keterangan : ∆ RECt = net receivable (piutang bersih) pada tahun t dikurangi piutang bersih pada tahun t-1 dibagi total aktiva tahun t-1 5. Industry Adjusted Model Industry Adjusted Model (Dechow dan Sloan,1991) mengasumsikan bahwa variasi determinan dari non discretionary accrual adalah sama
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
dalam jenis industry yang sama. Non discretionary accrual dari model ini diperoleh dengan:
NDAt = 1 + 1 median1 (TA) 6. Akrual Khusus (Beaver dan Engel, 1996) NDAit = α0 + α1 COit + α3 NPAit + α4 ∆NPAit+1 + e Keterangan : COit
= loan charge-off (pinjaman yang dihapus bukukan)
LOAN
= loans outstanding (pinjaman yang beredar)
NPAit
= nonperforming assets (aktiva produktif yang bermasalah) terdiri dari aktiva produktif berdasarkan tingkatan kolektibilitasnya yaitu a) Dalam perhatian khusus (DPK) b) Kurang lancer (KL) c) Diragukan (D) d) Macet (M)
∆NPAit+1
= selisih nonperforming assets t+1 dengan nonperforming assets t
Semua variable dideflasi dengan nilai buku ekuitas ditambah cadangan kerugian pinjaman. Jadi perhitungan akrual kelolaan yaitu : DAit = TAit - NDAit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
Keterangan: TAit = Total akrual (untuk yang model akrual khusus, total akrual dihitung berdasarkan total saldo penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) DAit
= Akrual kelolaan
NDAit = Akrual non kelolaan
Model Stubben (2010) dengan menggunakan Discretionary Revenue. Berikut merupakan formula Manajemen Laba dari discretional revenue model : ARit = α + β1 ΔRit + β2 ΔRit×SIZEit + β3 ΔRit×AGE it + β4 ΔRit×AGE_SQ it + β5 ΔRit×GRR_Pit + β6 ΔRit×GRR_Nit + β7 ΔRit×GRMit + β8 ΔRit×GRM_SQit +ε it Keterangan : = annual change; AR = end of fiscal year accounts receivable; R = annual revenues; SIZE = natural log of total assets at end of fiscal year; AGE = age of firm (years); GRR_P = industry-median-adjusted revenue growth (_ 0 if negative); GRR_N = industry-median-adjusted revenue growth (_ 0 if positive); GRM = industry-median-adjusted gross margin at end of fiscal year; _SQ = square of variable; and = error N. Penelitian Terdahulu Penelitian Maretta Yoehana (2013) ini dilakukan pada perusahaanperusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007, 2008, 2010 dan 2011. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Agresivitas Pajak. Variabel independen yang digunakan adalah komisaris independen, komite audit, investor institusional, kualitas auditor, ukuran perusahaan, leverage dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
Profotabilitas. Metode analisis yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan menggunakan regresi panel logistic. Hasil dari penelitian ini adalah komisaris independen, komite audit, investor institusional, kualitas auditor, ukuran perusahaan, leverage dan profitabilitas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tindakan pajak agresif. Hanlon dan Slemrod (2009) meneliti bagaimana pasar bereaksi atas berita tindakan penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasar bereaksi negatif atas berita tersebut. Namun besaran reaksi akan lebih positif bagi perusahaan yang memiliki tata kelola (governance) yang lebih baik. Penelitian Timothy pada tahun 2010 yang berjudul “Effect of Corporate Governance on Tax Aggressiveness” memberikan bukti bahwa tata kelola perusahaan mempengaruhi agresivitas pajak. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang terdaftar di Hongkong Stock Exchange dengan menggunakan analisis regresi. Variabel dependen dalam penelitian adalah agresivitas pajak yang diproksikan dalam ETR. Variabel independen dalam penelitian ini adalah tata kelola perusahaan yang diproksikan dalam jumlah saham yang dimiliki oleh direksi, dewan direksi independen, kekuatan shareholder, kekuatan shareholder minoritas, dan tarif pajak. Penelitian Nazhaira Fatharani (2012) ini dilakukan pada 98 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 20102011. Variabel dependen adalah agresivitas pajak. variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengungkapan tanggung jawab sosial. Metode analisis yang digunakan adalah regresi ordinary least square. Hasil penelitian ini adalah pengungkapan tanggung jawab sosial mempunyai pengaruh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
49
negative terhadap agresivitas pajak. Menurut Nazhaira Fatharani (2012) semakin tinggi pengungkapan tanggung jawab sosial suatu perusahaan maka semakin rendah tingkat agresivitas pajaknya. Penelitian Silvia Ratih Puspita, Puji Harto (2014) ini dilakukan pada perusahaan non-keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tahun 2010-2012. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku penghindaran pajak perusahaan. Variabel independen yang digunakan adalah latar belakang keahlian akuntansi atau keuangan komite audit, proporsi komisaris independen, kompensasi eksekutif, kepemilikan saham oleh publik, kepemilikan saham terbesar perusahaan, ukuran perusahaan dan kinerja perusahaan. Metode analisis yang digunakan adalah regresi ordinary least square (OLS). Hasil dari penelitian ini adalah latar belakang keahlian akuntansi atau keuangan komite audit tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan, proporsi komisaris independen tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan, kompensasi eksekutif tidak memiliki pengaruh
signifikan
terhadap
perilaku
penghindaran
pajak
perusahaan,
kepemilikan saham oleh publik memiliki pengaruh negative yang signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan, kepemilikan saham terbesar perusahaan memiliki pengaruh negative yang signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan, ukuran perusahaan tidak memilik pengaruh signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan dan kinerja perusahaan memiliki pengaruh positive yang signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
50
Penelitian Natasya Elma Octaviana (2014) ini dilakukan pada perusahaan pertambangan dan properti yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tahun 2009-2012. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah corporate social responsibility (CSR). Variabel independen yang digunakan adalah Agresivitas Pajak yang diukur menggunakan proksi effective tax rates. Metode analisis yang digunakan adalah regresi ordinary least square (OLS). Hasil dari penelitian ini adalah Agresivitas Pajak perusahaan berpengaruh negative dan signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsibility (CSR) Menurut Natasya Elma Octaviana (2014) perusahaan yang memiliki tingkat agresivitas yang rendah mengakibatkan perusahaan akan mengungkapkan CSR lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang melakukan agresivitas pajak. Penelitian Krisnata Dwi Suyanto, Supramono ini dilakukan pada seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2006-2010. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah agresivitas pajak. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Likuiditas, Leverage, pengaruh komisaris independen, pengaruh manajemen laba. Metode analisis yang digunakan adalah regresi panel data. Hasil dari penelitian ini adalah likuiditas berpengaruh negative terhadap agresivitas pajak, leverage berpengaruh positive terhadap agresivitas pajak, pengaruh komisaris independen berpengaruh negative dan signifikan terhadap agresivitas pajak, pengaruh manajemen laba berpengaruh positive dan signifikan terhadap agresivitas pajak. Penelitian Rina Winarsih, Prasetyono dan Muhammad Syam Kusufi ini dilakukan pada seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
http://digilib.mercubuana.ac.id/
51
Indonesia (BEI) pada tahun 2009-2012. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tindakan pajak agresif. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Good Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility. Metode analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh antara ukuran Dewan Komisaris terhadap tindakan pajak agresif perusahaan, Ukuran Dewan Direksi tidak berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan, ukuran komite audit tidak berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan dan Corporate Social Responsibility tidak berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu karena dengan menggunakan
sampel
perusahaan
publik
di
Indonesia.
Penelitian
ini
menggabungkan pengujian yang dilakukan oleh Rina Winarsih, Prasetyono dan Muhammad
Syam
Kusufi,
dan
Titus
Bayu
Santoso
(2014).
Dengan
komprehensivitas literatur yang menjadi acuan, maka beberapa hal baru yang terdapat dalam penelitian ini adalah: (1) Pengujian tingkat agresivitas tindakan pajak perusahaan publik di Indonesia (khususnya industri manufaktur); (2) Pengujian interaksi antara Corporate Governance dan Earning Management dengan Agresivitas Pajak dan (3) Penggunaan Dewan Komisaris Independen dan Dewan
Direksi
Independen
untuk
mengukur
tingkat
Governance.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Good
Corporate
52
Berikut beberapa penelitian terdahulu: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No.
1.
Peneliti Desai & Dharmapala (2006)
Hubungan antar variabel Corporate Tax Avoidance & High Powered Incentive
Metode Penelitian Analisi Regresi
Analisis regresi panel logistic
Hasil
kompensasi insentif mepunyai hubungan negatif dengan tindakan penghindaran pajak komisaris independen, komite audit, investor institusional, kualitas auditor, ukuran perusahaan, leverage dan profitabilitas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tindakan pajak agresif.
2.
Maretta Yoehana (2013)
Analisis Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Agresivitas Pajak
3
Timothy (2010)
Effect of Corporate Governance on Tax Aggressiveness”
Analisi Regresi
4.
Nazhaira Fatharani (2012)
Pengaruh Karakteristik Kepemilikan , Reformasi Perpajakan dan Hbungan Politik Terhadap Tindakan Pajak Agrsif
Analisis regresi ordinary least square
pengungkapan tanggung jawab sosial mempunyai pengaruh negative terhadap agresivitas pajak. Menurut Nazhaira Fatharani (2012) semakin tinggi pengungkapan tanggung jawab sosial suatu perusahaan maka semakin rendah tingkat agresivitas pajaknya.
5.
Lanis & Richardson
CSR dan Tax Aggressiveness :
Analisis Regresi
Semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR semakin
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tata kelola perusahaan mempengaruhi agresivitas pajak
53
6.
(2012)
An Empirical Analysis
TOBIT
rendah tingkat agresivitas pajak
Natasya Elma Octaviana (2014)
Pengaruh Agresivitas Pajak terhadap Corporate Social Responsibility
Analisis regresi ordinary least square
Agresivitas Pajak perusahaan berpengaruh negative dan signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsibility
O. Kerangka Pemikiran Hubungan antara Corporate Governance dengan pajak sudah banyak diteliti. Dengan adanya informasi yang transparan terhadap proses pengambilan keputusan dan penyampaian informasi mengenai segala aspek perusahaan terutama yang berkaitan dengan kepentingan stakeholders dan publik secara benar dan tepat waktu maka cenderung mengambil tindakan perpajakan yang tidak berisiko dan kemungkinan kecil untuk melakukan Earnings Management. Dengan menerapkan 5 prinsip Corporate Governance seperti transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian dan kewajaran perusahaan bisa memiliki Good Corporate Management. Jika suatu perusahaan melaksanakan prinsip transparansi dan keterbukaan dalam suatu informasi tersebut dapat mengurangi masalah yang timbul anatara pemilik perusahaan dan manajer. Di Indonesia, contoh peraturan perpajakan yang dapat mempengaruhi governance perusahaan adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 43/PMK.03/2008 (DJP – 2008). Peraturan tersebut menyatakan bahwa Wajib Pajak (WP) dapat menggunakan nilai buku dalam pemekaran usaha jika WP atau badan usaha hasil pemekaran tersebut akan melakukan penawaran umum
http://digilib.mercubuana.ac.id/
54
perdana. Dari peraturan ini terlihat adanya dorongan dari pemerintah bagi perusahaan untuk melakukan transparansi lebih dengan cara menjadi perusahaan publik. Informasi laba merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannnya karena memiliki nilai prediktif. Salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan bisnis adalah laba yang dihasilkan perusahaan. Earning Management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan atau mengurangi
laba
yang
dilaporkan,
manajer
bertanggungjawab
tanpa
mengakibatkan peningkatan atau penurunan profitabilitas ekonomis jangka panjang. Perusahaan yang telah melaksanakan corporate governance dengan baik sudah seharusnya tidak melaksanakan manipulasi laba atau Earnings Management tetapi sekarang ini banyak perushaan yang melakukan tindakan manipulasi untuk mengurangi laba fiskal melalui perencanaan pajak yang tepat dan dapat diklasifikasikan atau tidak diklasifikasikan sebagai tax evasion.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
55
Gambar 2.1 Model Konseptual Variabel Independen X1 Corporate Governance: -Komite Dewan Komisaris Independen X2 Corporate Governance: - Komite Dewan Direksi Independen
H1
H2
Y: Agresivitas Pajak
H3
X3 Earning Management Variabel Kontrol X4 Profitabilitas
H4
H5 (Sumber: Data diolah penulis)
P. Hipotesis Corporate Governance yang buruk dapat mendorong manajer untuk bertindak lebih agresif dalam pengelolaan pajak untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan memaksimalkan pengembalian kepada pemegang saham. Penerapan Corporate Governance mendorong terciptanya persaingan yang sehat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
56
dan iklim usaha yang kondusif (Sulistyanto dan Lidyah, 2002). Perencanaan pajak akan bermanfaat bagi perusahaan apabila perusahaan mempunyai Corporate Governance yang baik (Desai dan Dharmapala, 2009). Semakin baik Corporate Governance maka perusahaan akan mengurangi tindakan pajak agresifnya. Dalam penelitian Meilinda (2013) menyatakan bahwa jumlah Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen pajak. Hal ini sejalan dengan penelitian Bhagat dan Black (1999). Penerapan Corporate Governance yaitu Dewan Komisaris berhasil menekan manajemen pajak. Penelitian Sari dan Martani (2010) juga menunjukan bahwa perusahaan dengan corporate governance yang tinggi akan lebih taat terhadap peraturan yang telah ditentukan dan lebih jarang melakukan tindakan pajak agresif. H1 :
Corporate governance (Komite Dewan Komisaris Independen)
berpengaruh negatif terhadap agresivitas pajak perusahaan. H2 :
Corporate governance (Komite Dewan Direksi Independen)
berpengaruh negatif terhadap agresivitas pajak perusahaan. Perusahaan yang melakukan tindakan agresivitas pajak dianggap sebagai aktivitas yang tidak bertanggungjawab secara sosial, hal ini diungkapkan dalam penelitian Erle dan Schon (2008) dalam Lanis dan Richardson (2012). Salah satu motivasi manajer melakukan manajemen laba adalah untuk memotivasi pajak. Perusahaan akan melakukan Income Decreasing untuk mengurangi penghasilan kena pajak. Semakin agresif melakukan manajemen laba maka dapat dikatakan tingkat agresivitas pajak perusahaan juga tinggi karena beban pajak semakin kecil (Scott, 2000). Menurut hasil penelitian Frank et al. (2009) menemukan hubungan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
57
positif antara aggressive financial reporting dan tax reporting aggressiveness sehingga membenarkan teori Akuntansi Positif dalam konteks agresivitas pajak perusahaan. Perusahaan yang melakukan tindakan income decreasing yang tinggi maka perusahaan tersebut semakin terindikasi berperilaku agresif terhadap pajak perusahaan. H3 :
Earnings Management berpengaruh negatif terhadap agresivitas
pajak perusahaan
http://digilib.mercubuana.ac.id/