BAB II LANDASAN TEORI
II.A. KESEPIAN Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian dapat terjadi pada banyak situasi seperti ketika seseorang mencoba mendapatkan teman di sekolah yang baru atau di tempat kerja yang baru (Brehm, 2002). Individu yang tidak menginginkan teman bukan orang yang kesepian, tetapi seseorang yang menginginkan teman dan tidak memilikinya disebut orang yang kesepian (Burger, dalam Baron & Byrne, 2000).
II.A.1. Definisi Kesepian Menurut Felman (1995) kesepian adalah ketidakmampuan dalam menciptakan tingkat kepuasan afiliasi. Selanjutnya Peplau dan Perlman (dalam Brehm, 2002) mengatakan kesepian adalah: “a feeling of deprivation and dissatisfaction produced by a discrepancy between the kind of social relation we want and the kind social relation we have.” Menurut Brehm & Kassin (dalam Dayakisni, 2003) kesepian adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada. Kesepian juga berarti suatu keadaan mental dan perasaan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, dalam Dayakisni. 2003).
32
Universitas Sumatera Utara
Wrigtsman & Deaux (1993) mengatakan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada interpretasi individu terhadap suatu kejadian. Berdasarkan definisi tersebut, Wrigtsman & Deaux menyimpulkan ada tiga elemen penting dari kesepian, yaitu: 1. Kesepian merupakan pengalaman subjektif yang tidak dapat diukur dengan obsevasi sederhana 2. Kesepian merupakan perasaan yang tidak menyenangkan 3. Secara umum kesepian merupakan hasil dari kurangnya atau terhambatnya hubungan sosial. Peplau & Perlman (dalam Taylor. Peplau, & Sears, 2000) mengatakan bahwa kesepian terjadi sebagai akibat berkurangnya hubungan yang berarti dengan orang lain dan hal ini dapat menyebabkan keadaan yang tidak menyenangkan. Baron & Byrne (2000) mengatakan bahwa kesepian muncul ketika terjadi kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan dalam kehidupan interpersonal individu. Kesepian mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan seseorang ketika beberapa kriteria penting dari hubungan sosial individu tersebut terhambat atau tidak terpenuhi. Kekurangan tersebut dapat bersifat kuantitatif seperti tidak memiliki teman seperti yang diinginkan dan bersifat kualitatif seperti merasa bahwa hubungan sosial yang dibina hanya bersifat seadanya atau kurang memuaskan (Perlman dan Peplau dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000). Dengan
demikian,
kesepian
merupakan
perasaan
yang
tidak
menyenangkan yang disebabkan tidak adanya hubungan sosial seperti yang
33
Universitas Sumatera Utara
diharapkan dan tidak adanya hubungan intim karena terputusnya kontak sosial dengan orang-orang tertentu seperti anak, pasangan, orang tua atau relasi.
II.A.2. Karakteristik Orang yang Kesepian Karakteristik orang yang kesepian antara lain cenderung menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk (Anderson & Snogdgrass, dalam Myers, 1999), menerima orang lain secara negatif (Jones, Wittenberg,& Reiss, dalam Myers, 1999), kesulitan dalam berteman dan berpartisipasi dalam kelompok (Rock, Spitzberg & Hurt, dalam Myers, 1999), serta cenderung menjadi pemalu, tidak asertif, (Jones & Cutrona, dalam Saks & Krupart, 1998), memiliki harga diri yang rendah dan cenderung menyalahkan diri sendiri dari pada yang seharusnya atas kekurangan mereka (Frankel & Prentice-Dhun, dalam Santrock, 1999), memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial (Riggio, Trockmorton & DePaola; Jones, Hobbs, & Hockenbury, dalam Santrock, 1999). Orang yang kesepian selalu merasa kesulitan dalam memperkenalkan diri, membuat panggilan telepon (Rock, Spitzberg & Hurt, dalam Myers, 1999). Ketika berbicara dengan orang asing, oang yang kesepian lebih banyak membicarakan diri mereka sendiri dan memberikan sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya Jones (dalam Myers, 1999). Setelah pembicaraan selesai biasanya kenalan baru tersebut memberikan kesan yang negatif terhadap orang yang kesepian tersebut. Orang yang kesepian cenderung menjadi pemalu, self conscious, introvert, memiliki self esteem yang rendah, tidak asertif (Jones & Cutrona, dalam Saks & Krupart, 1998). Orang yang kesepian kesulitan dalam menikmati sebuah pesta,
34
Universitas Sumatera Utara
memperkenalkan diri, berpartisipasi dalam kelompok, dan berteman (Horowitz & French, dalam Saks & Krupart, 1998). Menurut Anderson, Horowitz, dan French (dalam Saks & Krupart, 1998) orang yang kesepian cenderung menganggap kegagalan hubungan interpersonal merupakan cacat yang tidak dapat diubah dalam kepribadian daripada faktor mood (perasaan). II.A.3. Perasaan Kesepian Berdasarkan survey kesepian pada populasi umum, Rubenstein, Shaver, & Peplau (dalam Brehm, 2002) menjelaskan ada empat set perasaan yang dirasakan oleh seseorang ketika mengalami kesepian, yaitu: 1. Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga seseorang mampu melakukan tindakan nekat. 2. Impatient boredom merupakan perasaan bosan yang tidak tertahankan, jenuh, serta tidak sabar. 3. Self-deprecation merupakan perasaan dimana seseorang tidak mampu menyelasaikan masalahnya, mulai menyalahkan diri sendiri serta mengutuk diri sendiri. 4. Depression merupakan perasaan emosional yang tertekan secara terusmenerus yang ditandai dengan perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain.
35
Universitas Sumatera Utara
Setiap kategori perasaan tersebut, masing-masing memiliki perasaan yang spesifik. Berikut perasaan spesifik ketika seseorang mengalami kesepian, antara lain: Tabel 2. Perasaan Yang Dirasakan Ketika Mengalami Kesepian Desperation
Impation boredom
Self-deprecation
Depression
Putus asa
Tidak sabar
Tidak atraktif
Sedih
Tidak berdaya
Bosan
Terpuruk
Depresi
Takut
Berada di tempat Bodoh lain
Tidak harapan
punya Kesulitan
Merasa ditinggalkan
Malu
Marah
Merasa aman
Mudah mendapat Tidak dapat kecaman, kritik berkonsentrasi
Hampa Terisolasi tidak Menyesali diri Melankolis Mengasingkan diri Berharap memiliki seseorang spesial
yang
Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (Hal. 399) oleh Rubenstein, Shaver, & Peplau (dalam Brehm, 2002).
36
Universitas Sumatera Utara
II.A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian Menurut Brehm (2002) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesepian, yaitu: 1. Usia Strereotip yang berkembang dalam masyarakat yang beranggapan bahwa semakin tua seseorang, maka akan semakin merasa kesepian, tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa stereotip tersebut keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov & Offer (dalam Brehm, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling kesepian justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti oleh Perlman (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000) dan menemukan hasil yang sama, dimana kesepian lebih tinggi pada remaja dan dewasa awal dan lebih rendah pada orang yang lebih tua. Menurut Brehm (2002) hal tersebut disebabkan orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, misalnya merantau, memasuki dunia kuliah, memasuki dunia kerja secara full time untuk pertama kalinya yang dapat menimbulkan kesepian. Sejalan dengan bertambahnya
usia,
kehidupan
sosial
mereka
menjadi
semakin
stabil.bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan mereka menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang mereka harapkan.
37
Universitas Sumatera Utara
2. Sosioekonomi Weiss (dalam Brehm, 2002) mengatakan bahwa kelompok dengan penghasilan yang lebih rendah cenderung mengalami kesepian. Hal yang sama juga ditemukan oleh Page & Cole (dalam Brehm, 2002) berdasarkan survey yang dilakukan ditemukan bahwa aggota keluarga dengan penghasilan rendah lebih mengalami kesepian daripada anggota keluarga dengan penghasilan yang lebih tinggi. Berdasarkan studi, tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan kesepian (Brehm, 2002). 3. Status Perkawinan Secara umum, orang yang menikah kurang merasa kesepian daripada orang yang tidak menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack, dalam Brehm, 2002). Tidak menikah dikategorikan dalam subgroup (tidak pernah menikah, bercerai atau janda) diperoleh hasil yang berbeda, dimana orang yang tidak pernah menikah lebih tidak kesepian. Kesepian dilihat sebagai
reaksi
hilangnya
hubungan
pernikahan
daripada
respon
ketidakhadiran (Brehm, 2002). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Demir & Fisiloghu (dalam Brehm, 2002) kesepian berhubungan dengan kepuasan pernikahan sehingga orang dengan pernikahan yang tidak bahagia berisiko mengalami kesepian.
38
Universitas Sumatera Utara
4. Gender Walaupun banyak studi tentang kesepian yang tidak mengindikasikan adanya perbedaan menyeluruh antara laki-laki dan perempuan, beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki memiliki skor kesepian yang lebih tinggi daripada perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh stereotip peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan stereotip peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (Borys & Perlman dalam Wrightsman & Deaux, 1993). Brehm (2002) menambahkan bahwa gender berinteraksi dengan status pernikahan. Berdasarkan studi cross-national (Stack, dalam Brehm, 2002) pernikahan mengurangi kemungkinan laki-laki mengalami kesepian. Di antara pasangan yang menikah dilaporkan bahwa perempuan lebih sering mengalami kesepian dibandingkan dengan laki-laki (Fredman; Peplau & Perlman; Rubenstein & Shaver, dalam Brehm, 2002). Sebaliknya, pada kelompok yang belum menikah dan kelompok orang yang bercerai ditemukan bahwa laki-laki lebih sering mengalami kesepian dibandingkan dengan perempuan (Peplau & Perlman; Rubenstein & Shaver, dalam Brehm, 2002).
39
Universitas Sumatera Utara
Brehm (2002) mengatakan penemuan ini menunjukkan bahwa laki-laki cenderung mengalami kesepian ketika tidak memiliki pasangan yang intim. Sementara perempuan cenderung mengalami kesepian ketika ikatan perkawinan mengurangi akses untuk terlibat pada jaringan yang lebih luas. Dengan demikian, laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami isolasi emosional sedangkan perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami isolasi sosial (Brehm, 2002). 5. Karakteristik latar belakang yang lain Karakteristik ini dilihat dari perkembangan rentang kehidupan seseorang. Brehm (2002) mengatakan hubungan antara anak-orang tua serta struktur keluarga berhubungan dengan kesepian. Berdasarkan struktur keluarga, Rubenstein & Shaver (dalam Brehm 2002) menemukan bahwa orang dengan orang tua bercerai lebih merasa kesepian daripada orang dengan orang tua tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai, maka semakin tinggi tingkat kesepian yang akan dialami individu tersebut ketika dewasa. Selain itu, dikatakan juga bahwa hubungan antara orang tua anak penting dalam mengidentifikasi kesepian. II.A.5. Penyebab Kesepian Faktor perkembangan rentang kehidupan penting dalam menjelaskan penyebab kesepian, namun ada banyak penyebab kesepian yang lain (de JongGierveld, dalam Brehm, 2002). Brehm (2002) mengatakan bahwa secara umum
40
Universitas Sumatera Utara
kesepian disebabkan oleh kurangnya hubungan sosial. Berikut merupakan penyebab kesepian, yaitu: 1. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki Brehm (2002) mengatakan ada sejumlah alasan mengapa seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang dimiliki. Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan alasan yang dikemukan oleh orangorang yang kesepian, yaitu: a. Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki patner seksual, berpisah dengan pasangan atau kekasih. b. Alienation;
merasa
berbeda,
merasa
tidak
dimengerti,
tidak
dibutuhkan, dan tidak memiliki teman dekat. c. Being alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyabut. d. Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-mana. e. Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, dan sering melakukan perjalanan jauh.
41
Universitas Sumatera Utara
2. Perubahan dalam hubungan yang diinginkan seseorang Berdasarkan model Perlam & Peplau (dalam Brehm, 2002) kesepian dapat juga berkembang karena perubahan dalam ide seseorang tentang apa yang diinginkan seseorang dalam suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi pada saat yang lain, dimana hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Perlman & Peplau, dkk. ( dalam Brehm, 2002) perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu perubahan mood dan jenis hubungan yang diinginkan seseorang. Ketika dalam keadaan senang jenis hubungan yang diinginkan seseorang mungkin berbeda dengan jenis hubungan saat sedih; usia, seiring dengan bertambahnya usia akan membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan seseorang terhadap suatu hubungan. Selain itu, perubahan situasi juga dapat berperan. Banyak orang yang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang membina karir. 3. Self esteem Kesepian berhubungan dengan self esteem yang rendah (Brehm, 2002). Orang yang memiliki self esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang berisiko secara sosial, misalnya berbicara di
42
Universitas Sumatera Utara
depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus, akibatnya individu tersebut akan mengalami kesepian. 4. Perilaku interpersonal Menurut Brehm (2002) Seseorang yang mengalami kesepian akan menyebabkan individu tersebut mengalami kesulitan dalam membangun hubungan dengan orang lain. Orang yang kesepian cenderung menilai orang lain secara negatif, kurang menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain,menginterpretasikan tindakan orang lain secara negatif, dan cenderung memiliki sikap yang bermusuhan. Selanjutnya, orang yang kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif, dan ragu-ragu dalam mengungkapkan pendapat di depan umum, cenderung kurang responsif dan kurang sensitif secara sosial. Selain itu, orang yang kesepian juga cenderung lambat dalam membangun hubungan intim dengan orang lain. Perilaku tersebut menyebabkan individu memiliki kesempatan yang terbatas bersama-sama dengan orang lain sehingga menyebabkan pola interaksi yang tidak memuaskan. 5. Social anxiety and Shyness Kesepian merupakan salah satu masalah dari sejumlah permasalahan yang termasuk dalam distress individu dan ketidakpuasan sosial (Brehm, 2002). Masalah lainnya seperti social anxiety (kecemasan sosial) merupakan
43
Universitas Sumatera Utara
perasaan tidak nyaman akan kehadiran orang lain. Ada beberapa tipe kecemasan sosial seperti ketakutan berbicara di depan umum, dan shyness (malu) yang digabungkan dengan social inhibition dan menghindari perasaan tidak nyaman dalam hubungan interpersonal. Kesepian, rasa malu, dan kecemasan sosial saling berhubungan (Brehm, 2002). 6. Depresi Depresi merupakan karakteristik dari perasaan negatif (seperti perasaan sedih), harga diri yang rendah, pesimis, kurangnya inisiatif, dan proses berpikir yang lambat (Holmes, dalam Brehm, 2002). Brehm (2002) mengatakan kesepian dan depresi sering terjadi secara bersamaan, namun tidak pada kondisi yang identik. 7. Causal atribusi Menurut Perlamn & Peplau (dalam Brehm, 2002) atribusi individu seperti harga diri, dan keterampilan sosial dapat diklasifikasikan sebagai predisposisi penyebab kesepian. Bagaimana seseorang mengatribusikan penyebab kesepiannya dapat membuat kesepian individu tersebut semakin kuat dan menetap.
44
Universitas Sumatera Utara
II.A.6. Reaksi Terhadap Kesepian Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap kesepian.
Sad passivity Menangis Tidur
Tabel 3. Reaksi Terhadap Kesepian Active solitude Social contact Belajar atau Menelepon teman bekerja Menulis Mengunjungi seseorang Mendengarkan musik Memainkan alat musik Olah raga
Distraction Menghabiskan uang Berbelanja
Duduk dan berpikir Tidak melakukan apa-apa Makan secara berlebihan Memakan Melakukan hobi tranquilizers Menonton televisi Pergi ke bioskop mabuk Membaca Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (hal. 414) oleh S. Brehm (2002), New York: McGrew-Hill, Inc. Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) mengelompokkan reaksi seseorang terhadap kesepian ke dalam empat kelompok. Dua di antaranya bersifat positif karena merupakan coping yang konstruktif yaitu active solitude dan social contact. Kemudian sad passivity dikelompokkan sebagai respon-respon yang bersifat negatif karena berpotensi untuk merusak diri. Sedangkan respon-respon yang sulit untuk diklasifikasikan ke dalam respon yang positif maupun respon yang negatif dikelompokkan sebagai distraction.
45
Universitas Sumatera Utara
II.B. PERAN GENDER II.B.1. Definisi Peran Gender Menurut kamus Oxford (dalam Nauly, 1993) gender merupakan sexual clasification; sex: the male and female gender. Sherif (dalam Nauly, 1993) menyatakan jenis kelamin perempuan dan laki-laki sebagai bentuk-bentuk biologis yang menjadi dasar dari sistem klasifikasi yang disebut gender. Matlin (2004) mengatakan gender merupakan karakteristik psikologis dan kategori sosial yang diciptakan oleh budaya manusia. Secara tradisional, kebanyakan dari traits dan perilaku-perilaku yang disebut gender diasosiasikan dengan jenis kelamin secara biologis. Nauly (1993) mengatakan bahwa pola perilaku yang dianggap cocok untuk masing-masing jenis kelamin berdasarkan harapan masyarakat diistilahkan sebagai peran gender (gender role). Hurlock (dalam Nauly, 1993) mengartikan peran gender sebagai pola keanggotaan dari jenis kelamin dan diterima kelompok sosial sebagai indentifikasi individu. Selanjutnya menurut Myers (dalam Nauly, 1993) peran gender merupakan suatu set perilaku yang diharapkan (norma) untuk laki-laki dan perempuan. Menurut Corsini (dalam Nauly, 1993) peran gender merupakan sekumpulan atribut, sikap, trait kepribadian, dan perilaku yang dianggap sesuai untuk masing-masing jenis kelamin. Gillbert (dalam Nauly, 1993) menyatakan bahwa saat ini gender lebih dipandang sebagai “constructed by social reality” sebagai perempuan dan laki-laki.
46
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, pengertian gender dalam penelitian ini menggunakan definisi dari Sherif (dalam Nauly, 1993) yaitu gender merupakan dasar sistem klasifikasi dari bentuk-bentuk biologis yaitu laki-laki dan perempuan.
II.B.2. Stereotip Peran Gender Nauly (1993) mengatakan bahwa secara biologis terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik secara hormonal, kromosom, bentuk fisik, dan susunan kimiawi. Perbedaan biologis ini disebut sebagai jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan perbedaan secara psikologis disebut dengan peran gender. Perbedaan secara biologis di antara laki-laki dan perempuan selalu dianggap menimbulkan dampak adanya perbedaan terhadap perilaku apa yang cocok dan apa yang tidak cocok (peran gender) terhadap laki-laki dan perempuan. Namun, penelitian-penelitian secara biologis terhadap laki-laki dan perempuan menunjukkan kurangnya data untuk menyatakan perbedaan biologis sebagai dasar timbulnya perbedaan peran gender (Frieze, dalam Nauly, 1993). Myers (dalam Nauly, 1993) mengatakan bahwa budaya membentuk adanya perbedaan peran gender. Hal ini sejalan dengan pendapat Mead (dalam Nauly, 1993) yang mengatakan bahwa kebudayaan memegang peranan penting dalam pembentukan peran gender seseorang. Kebudayaan mempengaruhi proses belajar peran gender dan identitas gender dengan membentuk stereotip peran gender. Menurut Wrigtsman (dalam Nauly, 1993) stereotip merupakan konsep yang relatif kaku dan luas, dimana setiap individu di dalam suatu kelompok dicap dengan karakter dari kelompok tersebut. Stereotip peran gender menurut Jenkins
47
Universitas Sumatera Utara
dan McDonald (dalam Nauly, 1993) merupakan generalisasi pengharapan mengenai aktivitas, kemampuan, atribut, dan pilihan apa yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang. Menurut Hoyenga dan Hoyenga (dalam Nauly, 1993) stereotip peran gender dihasilkan dari pengkategorisasian laki-laki dan perempuan yang merupakan representasi sosial yang ada dalam struktur kognisi. Menurut Baron dan Byrne (dalam Nauly, 1993) mengatakan stereotip peran gender merupakan sifat-sifat yang dianggap benar-benar dimiliki laki-laki dan perempuan yang memisahkan kedua gender. Dari berbagai hasil penelitian Baron dan Byrne menyimpulkan sebagai berikut: memang ada beberapa perbedaan perilaku sosial antara laki-laki dan perempuan seperti kemampuan memberi dan menerima pesan-pesan non verbal serta agresivitas, tetapi besar dan keluasan perbedaan ini jauh lebih kecil dari apa yang diungkapkan oleh stereotip. Menurut Naffziger & Naffziger (Hurlock, dalam Nauly, 1993) stereotip peran gender memiliki tiga aspek, yaitu: 1. Aspek kognitif Aspek ini terdiri dari persepsi, keyakinan, dan harapan yang dimiliki individu mengenai jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Keyakinan harapan dan persepsi ini sederhana terkadang dengan dasar yang tidak adekuat dan akurat. Meskipun demikian, hal ini dipegang teguh oleh banyak orang. 2. Aspek afektif Aspek ini merupakan perasaan suka dan tidak suka terhadap peran jenis kelamin. Perasaan ini dapat berarti memuji dan simpati atau menghina, iri
48
Universitas Sumatera Utara
dan cemas terhadap peran gender yang ada pada dirinya sendiri atau peran gender pada orang lain. 3. Aspek konatif Aspek ini merupakan keyakinan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Keyakinan ini akan mendorong munculnya perilaku. Selain itu, Naffziger & Naffziger (dalam Nauly, 1993) menyatakan bahwa semua aspek stereotip ini akan menghasilkan penilaian yang kaku dan sikap tidak suka terhadap individu yang tidak menyesuaikan diri dengan pola stereotip yang ada.
II.C. NARAPIDANA II.C.1. Definisi Narapidana Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Selanjutnya Harsono
(1995) mengatakan narapidana adalah
seseorang yang telah dijatuhkan vonis bersalah oleh hukum dan harus menjalani hukuman dan Wilson (2005) mengatakan narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik. Dengan demikian, narapidana adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah menjalani persidangan, telah diponis hukuman pidana serta ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut penjara.
49
Universitas Sumatera Utara
II.C.2. Lembaga Pemasyarakatan Menurut Harsono (1995) lembaga permasyarakatan merupakan salah satu tempat
pembinaan
narapidana.
Dalam
proses
pemidanaan,
lembaga
pemasyarakatan mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan setelah melalui proses persidangan di pengadilan. Narapidana yang menjalani pidana di Lembaga Permasyarakatan selama menjalani pidana telah kehilangan kebebasan untuk bergerak. Dimana narapidana bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam lembaga permasyarakatan saja. Pada awalnya tujuan pidana adalah untuk membuat pelaku tindak pidana jera untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat maupun kepada pelaku tindak pidana. Narapidana dalam menjalani hukumannya mendapat perlakuan yang manusiawi dan mendapat jaminan hukum yang memadai. Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha lembaga permasyarakatan untuk membina narapidana agar mengenal diri sendiri sehingga dapat merubah diri sendiri menjadi lebih baik, tidak lagi melakukan tindak pidana dan mampu mengembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama, dan keluarganya Harsono (1995).
50
Universitas Sumatera Utara
II.C.3. Dampak Psikologis Hukuman Penjara Meskipun berbagai usaha telah dilakukan dalam pembinaan narapidana selama menjalani pidana, namun dampak psikologis akibat hukuman penjara merupakan dampak yang paling berat yang dirasakan oleh setiap narapidana. Berikut berbagai dampak psikologis akibat hukuman penjara (Harsono, 1995) antara lain : 1. Lost of personality. Seorang narapidana selama di pidana akan kehilangan kepribadian, identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di lembaga pemasyarakatan. Selama menjalani pidana, narapidana diperlakukan sama atau hampir sama antara narapidana yang satu dengan narapidana yang lain. Hal ini akan membentuk kepribadian yang khas yaitu kepribadian narapidana seperti temperamental, agresif, dan lain-lain. 2. Lost of security. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas. Seseorang yang secara terus-menerus diawasi akan merasakan kurang aman, merasa selalu dicurigai, dan merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu atau bertindak karena takut kalau tindakannya merupakan suatu kesalahan yang dapat membuat narapidana tersebut dihukum. Kerena narapidana diawasi terus-menerus menyebabkan narapidana tersebut ragu dalam bertindak, kurang percaya diri, salah tingkah, tidak mampu mengambil keputusan dengan baik. Situasi yang demikian, dapat mengakibatkan narapidana melakukan tindakan kompensasi demi sabilitas jiwanya. Dimana narapidana akan bertindak sesuai dengan kondisi di lembaga
51
Universitas Sumatera Utara
pemasyarakatan tersebut meskipun bertentangan dengan kehendak narapidana untuk menghindari hukuman. 3. Lost of liberty. Pidana hilang kemerdekaan telah merampas berbagai kemerdekaan individual. Secara psikologis, keadaan yang demikian menyebabkan narapidana menjadi tertekan jiwanya, pemurung, malas, mudah marah, dan tidak bergairah terhadap program-program pembinaan. 4. Lost of personal comunication. Selama menjalani hukuman, kebebasan untuk berkomunikasi dibatasi. Narapidana tidak bisa bebas untuk berkomunikasi dengan relasi, keluarganya. Sebagai makhluk sosial, narapidana memerlukan komunikasi dengan teman, keluarga atau orang lain keterbatasan kesempatan untuk berkomunikasi ini merupakan beban psikologis tersendiri. 5. Lost of good and service. Narapidana juga merasakan kehilangan pelayanan. Dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana harus mampu mengurus dirinya sendiri, misalnya mencuci pakaian, menyapu ruangan. Narapidana tidak boleh memilih warna atau model pakaian sendri semua telah diatur agar sesuai dengan narapidana yang lain, termasuk dalam hal menu makanan setiap hari. Hilangnya pelayanan menyebabkan narapidana kehilangan rasa afeksi, kasih sayang yang biasa didapat diluar lapas. 6. Lost of heterosexual. Selama menjalani pidana, narapidana ditempatkan dalam blok-blok sesuai dengan jenis kelaminnya. Penempatan ini menyebabkan narapidana juga merasakan betapa naluri seks, kasih sayang, rasa aman bersama keluarga ikut terampas. Hal ini akan menyebabkan penyimpangan
52
Universitas Sumatera Utara
seksual, seperti homoseks, lesbian, dan lain-lain. Semua merupakan penyaluran nafsu seks yang terpendam. 7. Lost of prestige. Narapidana juga kehilangan harga dirinya. Bentuk-bentuk perlakuan dari petugas terhadap narapidana membuat narapidana menjadi terhampas harga dirinya. Misalnya WC dan tempat mandi yang terbuka. 8. Lost of belief. Akibat dari perampasan berbagai kebebasan narapidana menjadi kehilangan rasa percaya diri. Hal ini disebabkan tidak adanya rasa aman, tidak dapat membuat keputusan sendiri, kurang mantap dalam bertindak dan kurang memiliki stabilitas jiwa yang mantap. 9. Lost of creativity. Selama menjalani pidana, kreativitas, ide-ide, gagasan, imajinasi, bahkan juga impian dan cita-cita narapidana ikut terampas.
II.D. HUBUNGAN ANTARA GENDER DENGAN KESEPIAN Menurut Brehm & Kassin (dalam Dayakisni, 2003) kesepian adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada. Ada dua motif yang mendorong seseorang untuk melakukan kontak sosial (McAdams, dalam Brehm, 2002), yaitu: 1. Kebutuhan berafiliasi, yaitu keinginan untuk menciptakan hubungan interpersonal yang menyenangkan. 2. Kebutuhan keintiman, yaitu kebutuhan yang lebih menginginkan hubungan yang hangat, tertutup, dan kemunikatif. McClelland (dalam Basow, 1992) mengatakan bahwa individu yang memiliki kebutuhan berafiliasi yang tinggi lebih sering berhubungan dengan
53
Universitas Sumatera Utara
orang lain, lebih dapat menikmati aktivitas-aktivitas sosial, dan bereaksi lebih positif terhadap orang lain bila dibandingkan dengan individu yang memiliki kebutuhan berafiliasi yang rendah. McAdams (dalam Basow, 1992) mengatakan bahwa individu yang memiliki kebutuhan keintiman yang tinggi lebih dapat saling berbagi rahasia dan penuh kepercayaan dalam berhubungan dengan orang lain, serta lebih memperoleh kesejahteraan dari hubungan yang dimiliki dengan orang lain bila dibandingkan dengan individu yang memiliki kebutuhan keintiman yang rendah. Menurut Basow (1992) laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan keintiman yang sama, tetapi perempuan lebih dapat memenuhi kebutuhan tersebut bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan stereotip peran gender. Berdasarkan seterotip peran gender, perempuan mengembangkan identitas diri yang berorientasi pada hubungan dengan orang lain. Hal ini disebabkan karena perempuan diharapkan untuk berfungsi dengan baik dalam hubungan dengan orang lain dan diarahkan untuk mengembangkan keterampilanketerampilan yang berkaitan dengan hubungan dengan orang lain seperti sensitivitas interpersonal, empati, pengekspresian emosi dan pengasuhan. Dengan demikian, perempuan cenderung membentuk hubungan yang intim dengan orang lain sehingga perempuan lebih banyak menerima dukungan sosial dari orang lain dan memiliki kepuasan yang lebih tinggi dari hubungan yang dimiliki orang lain bila dibandingkan dengan orang lain. Selanjutnya, perempuan lebih jarang mengalami kesepian bila dibandingkan dengan laki-laki (Basow, 1992),
54
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan stereotip peran gender, laki-laki mengembangkan identitas diri yang otonom. Hal ini disebabkan karena laki-laki diharapkan untuk mandiri, asertif, agresif, dan berorientasi pada prestasi. Laki-laki tidak dianjurkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berhubungan dengan orang lain, dan ditekankan untuk menyembunyikan perasaan mereka. Menyembunyikan perasaan dan memfasilitasi usaha laki-laki untuk lebih kompetitif, tetapi akan menghalangi usaha laki-laki untuk membentuk hubungan dengan orang lain sehingga laki-laki cenderung mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain yang dimanifestasikan dalam perasaan kekosongan, isolasi, dan frustasi. Selanjutnya laki-laki lebih rentan terhadap kesepian bila dibandingkan dengan perempuan.
II.E. KERANGKA BERPIKIR Kejahatan merupakan salah satu hasil dari perilaku manusia. Perilaku tersebut dinilai negatif oleh masyarakat sehingga diperlukan adanya suatu lembaga yang dapat mengendalikan perilaku masyarakat. Salah satu karakteristik pelaku tindak kejahatan adalah jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Di dalam masyarakat terdapat norma yang mengatur kehidupan masyarakat. Apabila individu melanggar norma tersebut, maka akan mendapat sanksi. Salah satu sanksi yang dikenakan pada pelaku tindak kejahatan adalah pidana penjara. Sanksi ini dikenakan apabila pelaku tindak kejahatan tersebut telah menjalani persidangan dan telah dijatuhi vonis pidana penjara. Dengan demikian, pelaku tindak kejahatan
55
Universitas Sumatera Utara
resmi menyandang status sebagai narapidana. Seperti halnya karakteristik pelaku tindak kejahatan, narapidana juga terdiri dari narapidana laki-laki dan perempuan. Narapidana ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut penjara atau lembaga pemasyarakatan atau rutan. Kehidupan narapidana di lembaga pemasyarakatan berbeda dengan kehidupan sebelum masuk di lembaga pemasyarakatan. Dimana, di lembaga pemasyarakatan segala aktivitas dibatasi seperti kontak sosial dengan pasangan, anak, orang tua serta relasi. Selain itu, selama masa hukuman narapidana tersebut melakukan aktivitas yang sama sepanjang hari sehingga menyebabkan perasaan jenuh. Belum lagi narapidana harus menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari sesama narapidana. Sedangkan di luar lembaga pemasyarakatan, narapidana bebas melakukan apapun yang
mereka sukai serta bebas kemanapun yang mereka inginkan. Ketika
individu jenuh dengan suatu aktivitas, individu tersebut dapat mencari kegiatan lain yang lebih menyenangkan. Setelah berada di lembaga pemasyarakatan/ rutan, hubungan yang telah dibentuk di luar lembaga pemasyarakatan terputus. Ada beberapa dampak psikologis dari pidana penjara, yaitu lost of personality, lost of security, lost of liberty, lost of personal communication, lost of good and service, lost of heterosexual, lost of prestige, lost of belief, dan lost of creativity. Narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk bertemu dengan orang-orang yang mereka sayangi sehingga mereka sering melamun, murung, dan tidak mau bergabung dengan temantemannya di lembaga pemasyarakatan. Hal ini akan berpengaruh secara psikologis pada individu dan menyebabkan kesepian.
56
Universitas Sumatera Utara
PARADIGMA Karakteristik Kejahatan Usia
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Melakukan Tindak Kejahatan Vonis Tidak Bersalah Bebas
Bersalah Pidana Penjara Narapidana (Laki-laki & Perempuan) Kehidupan Narapidana Dampak Psikologis Kesepian
Desperation
Impation SelfDepression boredom deprecation
Keterangan: : Terdiri dari : Menjadi : Tidak termasuk dalam penelitian : Keduanya
57
Universitas Sumatera Utara
II.F. HIPOTESA PENELITIAN Berdasarkan uaraian di atas, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kesepian antara narapidana laki-laki dan perempuan. Dimana, narapidana laki-laki lebih kesepian daripada narapidana perempuan.
58
Universitas Sumatera Utara