1
2
3
4
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian dan Administrasi Perpajakan Sistem self assessment yang diterapkan pada saat ini memberikan peran aktif keada Wajib Pajak untuk menghitung, mengisi, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah beban pajak yang terhutang. Pada sistem self assessment Wajib Pajak mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Untuk memenuhi tanggung jawab tersebut, Wajib Pajak seharusnya mengetahui dan mengerti permasalahan yang berhubungan dengan pajak, baik itu mengenai definisi pajak, asas-asasnya, jenis-jenis pajak ataupun tata cara perpajakan yang berlaku. 1. Pengertian Pajak Ada beberapa pengertian mengenai pajak antara lain : Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro (2007,9) yaitu Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat
dipaksakan)
dengan
tidak
mendapat
jasa
timbale
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi pajak menurut R. Santoso Brotodihardjo(2009,53) adalah Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang 5
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan
dengan
tugas
negara
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan. Dari definisi diatas, dapat dilihat ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut : a. Pajak dipungut berdasarkan dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. b. Dalam pembayarannya tidak adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. c. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah (Dati I atau Dati II) d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat kelebihan (surplus), akan dipergunakan oleh pemerintah untuk membiayai investasi umum. 2. Fungsi Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu : a. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh : dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
6
b. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Contoh : dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras, sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah.Berbagai macam definisi tentang pajak banyak dikemukakan oleh banyak ahli dari waktu ke waktu, walaupun definisi yang diberikan berbeda-beda tetapi pada dasarnya dari semua itu memiliki kesamaan. B. Manajemen Pajak Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Secara unum manajemen pajak dapat didefinisikan sebagai sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Perlunya manajemen perpajakan sebenarnya berangkat dari hal yang paling mendasar dari sifat manusia (manusiawi). “kalau bisa tidak membayar, mengapa harus membayar. Kalau bisa membayar lebih kecil, mengapa harus membayar lebih besar”. Namun semuanya harus dilakukan dengan itikad baik dan dengan cara-cara yang tidak melanggar aturan perpajakan. Tujuan utama dari manajemen perpajakan adalah untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan meminimalisasi beban pembayaran pajak untuk memaksimalkan keuntungan. Perencanaan pajak tidak dimaksudkan untuk 7
mengelak dari kewajiban perpajakan (tax evasion) melalui cara-cara yang tidak melanggar aturan perpajakan karena banyaknya peraturan perpajakan yang bisa ditafsirkan berbeda. Menurut Suandy (2006:7) tujuan manajemen pajak dapat dibagi 2 (dua) yaitu : 1. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar. 2. Usaha efesiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya. Menurut Suandy (2006:7) tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri dari : 1. Perencanaan Pajak (Tax Planning). 2. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation). 3. Pengendalian Pajak (Tax Control). C. Perencanaan Pajak Perencanaan pajak dapat diartikan sebagai upaya membayar pajak sebatas hanya diwajibkan. Dapat juga diartikan sebagai upaya memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha Wajib Pajak atau kelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang minimal, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau dilakukan secara legal yang dapat
diterima oleh aparat
perpajakan. Manfaat perencanaan pajak dan untuk menghemat pajak dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 8
1. Penghematan kas keluar; perencanaan pajak dapat menghemat pajak
yang
merupakan biaya bagi perusahaan. 2. Mengatur aliran kas (cash flow); perencanaan pajak dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat. Sedangkan untuk menghemat pajak dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Memanfaatkan secara optimal ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku b. Mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk-bentuk usaha yang tepat. c. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak dan potensi penghasilan. d. Menyebar penghasilan ke beberapa tahun untuk menghindari pengenaan tarif pajak tertinggi. Yang dimaksud dengan tax saving (penghematan pajak) adalah suatu usaha untuk menghemat hutang pajak dengan cara menahan diri untuk tidak mengkonsumsi barang-barang atau dengan cara mengurangi pengeluaranpengeluaran dalam bentuk pemberian kenikmatan (natura), karena biaya-biaya yang bersifat sebagai kenikmatan (natura) tidak dapat diakui sebagai biaya untuk tujuan fiskal, sehingga biaya-biaya tersebut akan dikoreksi sebagai penambahan pendapatan.
9
Sedangkan yang dimaksud dengan tax avoidance (penghindaran pajak) adalah usaha meminimalkan beban pajak dengan cara menggunakan alternatifalternatif yang riil yang dapat diterima oleh fiskus. Tax evasion (penyelundupan pajak) mengantung arti sebagai usaha memanipulasi secara illegal beban pajak dengan tidak melaporkan sebagian dari penghasilan, sehingga dapat memperkecil jumlah pajak terhutang yang sebenarnya. Pengertian penyelundupan pajak tidak hanya terbatas pada penggelapan dan kecurangan dalam segala bentuknya, tetapi juga meliputi kelalaian dalam memenuhi kewajiban perpajakan antara lain : 1. Ketidaktahuan atau ignorance, yaitu Wajib Pajak tidak menyadari atau tidak tahu akan adanya suatu ketentuan perundang-undangan perpajakan yang baru. 2. Kesalahan atau error, yaitu suatu kesalahan dalam menghitung data yang telah tersedia oleh Wajib Pajak, meskipun Wajib Pajak telah mengerti dan memahami mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 3. Kesalahpahaman atau miss understanding, yaitu suatu kesalahan yang dilakukan oleh Wajib Pajak karena salah menafsirkan arti yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 4. Kealpaan atau negligence, yaitu Wajib Pajak alpa untuk menyimpan buku-buku berikut dengan bukti pendukungnya secara lengkap. Berdasarkan dua alternatif yang dilakukan dalam suatu perencanaan pajak, maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari perencanaan pajak pada dasarnya adalah 10
meminimalkan beban pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak tanpa melanggar ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, selain untuk suatu rencana investasi perusahaan dimasa yang akan datang. D. Laba Kena Pajak vs Laba Komersial Laba komersial (accounting income) merupakan pengukuran laba yang lazim digunakan dalam dunia bisnis baik untuk kepentingan pasar modal (bursa efek), perbankan, Rapat Umum Pemegang Saham, dan kepentingan lainnya. Laba komersial ini dihitung berdasarkan standar akuntansi yang berlaku. Sejak tahun 1995 standar akuntansi yang berlaku di Indonesia adalah Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Penghitungan laba komersial bertumpu pada prinsip matching cost against revenue (persandingan antara pendapatan dengan biayabiaya yang terkait). Dalam salah satu prinsip tersebut terdapat konsep bahwa pengeluaran perusahaan yang tidak mempunyai manfaat untuk masa yang akan datang, bukanlah merupakan aset sehingga harus dibebankan sebagai biaya. Dengan demikian dalam akuntansi seluruh pengeluaran/beban perusahaan sepanjang memang harus dikeluarkan oleh perusahaan diakui sebagai biaya/beban. Laba Kena Pajak/Penghasilan Kena Pajak (Taxable Income) merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di Indonesia sampai dengan tahun 2008 adalah UU No. 7/1983 yang diubah dengan UU No. 10/1994 dan diubah terakhir dengan UU No. 17/2000 mengenai Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya.
11
Penghitungan laba kena pajak dalam kaitannya dengan karyawan didasarkan atas prinsip umum taxability deductibility. Dengan prinsip ini, biaya-biaya baru dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila pihak/orang yang menerima pengeluaran uang atas biaya perusahaan tersebut melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut dikenakan pajak (taxable). Dengan demikian akan selalu ada pihak dapat dikenakan pajak sebagaimana dijelaskan di atas. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa laba komersial yang lazim digunakan dalam dunia bisnis berbeda dengan iaba kena pajak. Banyak sekali biaya-biaya yang diakui oleh akuntansi tetapi tidak diakui oleh perpajakan, seperti: sumbangan, pemberian natura kepada karyawan, biaya representasi tertentu, biaya kelancaran dan sebagainya. Agar dapat melakukan penghitungan PhKP dengan benar dan tepat, Wajib Pajak perlu memahami: 1. Penghasilan yang menjadi obyek dan bukan obyek pajak Penghasilan yang menjadi obyek yang pada prinsipnya merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
12
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1). keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2). keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3). keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4). keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihakyang bersangkutan; dan
13
5). keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan. d. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; e. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; f. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polls, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; g. royalti atau imbalan atas penggunaan hak; h. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; i. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; j. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; k. keuntungan selisih kurs mata uang asing; l. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; m. premi asuransi; n. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; o. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; 14
p. penghasilan dari usaha berbasis syariah; q. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan r. surplus Bank Indonesia. Penghasilan yang bukan obyek pajak (diatur dalam Pasal 4 ayat 3): 1).a). bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan b). harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
15
2). warisan; 3). harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 4).penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; 5). pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; 6). dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a). dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b). bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor. 16
7). iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; 8). penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 9). bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 10). dihapus; 11).penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a). merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan daiam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;dan b). sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; 12).beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
17
13).sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 14).bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih fanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 2.
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expenses)
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam pasal 9 UU No.17 /2000 sebagai berikut: a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: 1) biaya pembelian bahan; 2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3) bunga, sewa, dan royalti; 4) biaya perjalanan; 18
5) biaya pengolahan limbah; 6) premi asuransi; 7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 8) biaya administrasi; dan 9) pajak kecuali Pajak Penghasilan; b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperofeh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. kerugian selisih kurs mata uang asing; f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: 1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
19
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20
3.
Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expenses) Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 9 UU No. 36/2008 sebagai berikut: a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: 1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 3) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; 4) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5) cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang
21
ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan peiaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. harta
yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterirria oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang 22
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; h. Pajak Penghasilan; i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan. l. Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak boleh dibebankan sekaligus melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi; m. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak; n. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final; o. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali PPh Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak;
23
p. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. *) Huruf i s.d p, merupakan tambahan biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan sesuai dengan ketentuan pasal 4 PP 138 Tahun 2000. E. Tax Planning dalam Rangka Mengefisiensikan PPh Badan Perencanaan pajak dalam rangka mengefisiensikan PPh Badan dapat diupayakan melalui: 1. Pemilihan Alternatif Dasar Pembukuan Dasar pembukuan yang diakui oleh DIP adalah basis akrual (accrual basis) dan basis kas yang dimodifikasi (modified cash basis). Pada basis akrual, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat timbulnya kewajiban, meskipun uangnya belum diterima atau dibayar. Basis kas (cash basis) yang diakui oleh DIP bukan basis kas murni. Pada basis kas murni, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran uang. Pemilihan dasar pembukuan harus dilakukan secara konsisten. Basis kas yang diakui oleh DIP atas pelaporan pendapatan dan biaya dalam rangka menghitung PPh Badan sebagai berikut:
24
a. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan b. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi c. Biaya-biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang telah dibayar. Apabila dibandingkan basis akrual dan basis kas menurut versi perpajakan, yang berbeda hanyalah biaya administrasi dan umum pada basis akruaf dibebankan pada saat timbulnya kewajiban, sedangkan pada basis kas, biaya tersebut baru dilaporkan pada saat terjadinya pembayaran. Jika dipandang dari segi strategi perpajakan, maka memilih basis akrual lebih menguntungkan daripada basis kas. Sejak tahun 1995, seluruh Wajib Pajak Badan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Hanya WP perorangan yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600 juta yang diperkenankan untuk menghitung penghasilan bruto dengan menggunakan "Norma Penghitungan Penghasilan Neto (hanya menyelenggarakan
pencatatan
atas
penghasilan
bruto
saja,
tidak
menyelenggarakan pembukuan). Batasan jumlah Rp 600 juta, berubah menjadi Rp 1,8 miliar sejak 1 Januari 2007, dan berubah lagi menjadi Rp 4,8 miliar sejak 1 Januari 2009.
25
2. Pengelolaan transaksi yang berhubungan dengan pemberian kesejahteraan karyawan Pada biaya-biaya yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan karyawan terdapat banyak peluang untuk melakukan efisiensi PPh badan. Strategi utama efisiensi PPh badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini, sangat tergantung dari kondisi perusahaan sebagai berikut: a. Pada perusahaan yang memperoleh Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 juta dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura
ng
tidak diperkenankan sebagai biaya. Apabila perusahaan sudah terlanjur memberikan rumah dinas/mess masih ada cara-cara legal yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal ini, yang akan dibahas secara rind dalam hand out ini. b. Pada perusahaan yang dikenakan PPh badan secara final, diupayakan secara minimal memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura karena pemberian natura dari pemberi kerja merupakan obyek PPh Pasal 21. Pada sisi perusahaan, biaya biaya pemberian natura tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh badan karena PPh Badan final dihitung dari prosentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya. c. Pada perusahaan yang rugi, merubah pemberian natura/kenikmatan menjadi tunjangan hanya akan menaikkan PPh Pasal 21, sementara PPh badan tetap nihil. 26
Peluang-peluang efisiensi beban pajak yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan adalah biaya yang berkaitan dengan: a. PPh Pasal 21 karyawan. PPh Pasal 21 karyawan dapat berupa: 1).PPh Pasal 21 merupakan beban pegawai, dalarn hal ini perusahaan hanya perantara pemotong PPh Pasal 21. 2).Karyawan diberikan tunjangan PPh Pasal 21, tunjangan ini tercantum dalarn slip/daftar gaji pegawai, sehingga tunjangan tersebut dikenakan PPh. Dalam perhitungan laba rugi perusahaan, tunjangan PPh Pasal 21 ini menyatu dalarn pos gaji dan tunjangan karyawan. Tunjangan PPh Pasal 21 in! boleh dibebankan sebagai biaya. 3).PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan, PPh Pasal 21 ini tidak tercantum sebagai tunjangan. Dalam laporan laba rugi perusahaan akan terlihat biaya PPh Pasal 21 terpisah dengan gaji dan tunjangan karyawan. PPh Pasal 21 ini merupakan kenikmatan dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya. b. Pengobatan/kesehatan karyawan. Pengobatan/kesehatan karyawan dapat diberikan dalarn bentuk: 1). Perusahaan mendirikan rumah sakit/klinik berikut dokter. 2). Pegawai berobat di RS atau dokter langganan dan pengambilan obat dari apotik langganan.
27
Nomor 1 dan nomor 2 ini merupakan natura/kenikmatan sehingga tidak boleh dibebankan sebagai biaya. 3). Karyawan diberikan tunjangan kesehatan, sakit maupun tidak sakit. 4). Karyawan diperkenankan berobat ke rumah sakit / dokter atas nama karyawan, membayar terlebih dahulu kemudian oleh perusahaan diberikan penggantian. Jika penggantian memenuhi syarat-syarat: tidak ada mark up atau mark down, bukti asli diserahkan ke perusahaan, bukti atas nama perusahaan atau atas nama karyawan qq perusahaan, dan diatur dalarn kontrak kerja, maka esensinya merupakan natura dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. Nomor 3 dan nomor 4 ini boleh dibiayakan tetapi harus ditambahkan ke dalarn penghasilan karyawan. c. Pembayaran premi asuransi untuk pegawai. Perusahaan seringkali memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk asuransi di samping Tabungan Hari Tua. Asuransi yang diberikan dapat berupa asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, asuransi jiwa, asuransi kematian, asuransi kecelakaan kerja, dan asuransi bea siswa. Premi asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan dapat dibebankan sebagai biaya, tetapi premi asuransi tersebut harus terlebih dahulu dimasukkan sebagai unsur penghasilan karyawan. d. Iuran pensiun dan iuran JHT yang dibayar oleh perusahaan. Iuran pensiun dan tabungan hari tua yang dibayarkan oleh perusahaan merupakan biaya perusahaan, dan iuran yang dibayarkan oleh pemberi kerja 28
tersebut bukan penghasilan bagi karyawan sehingga tidak dikenakan PPh Pasal 21, dengan syarat dana pensiunnya telah disahkan oleh Menteri Keuangan (Pasal 6 UU No. 17J2000). e. Perumahan untuk karyawan. Kesejahteraan berupa perumahan untuk karyawan dapat diberikan dalam bentuk: 1). Perusahaan menyediakan rumah dinas yang dibuat atau dibeli oieh perusahaan. 2). Perusahaan menyediakan rumah dinas yang disewa oleh perusahaan. Kelompok
1
dan
2
ini
termasuk
dalarn
kategori
pemberian
natura/kenikmatan sehingga biaya-biaya terkait seperti biaya penyusutan, biaya eksploitasi/pemeliharaan, biaya sewa, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Kelompok 1 dapat diupayakan agar tidak dikategorikan sebagai natura dengan cara: kepada karyawan yang menempati rumah dinas diberikan tunjangan perumahan yang dimasukkan ke dalarn slip/daftar gaji. Besarnya tunjangan ini tidak boleh lebih kecil dari biaya eksploitasi dan penyusutan rumah tersebut. Dengan demikian biaya eksploitasi rumah dan biaya penyusutannya dapat dibebankan sebagai biaya (SE Dirjen Pajak No. SE- 42/PJ.23/1984),
29
3). Perusahaan memberikan penggantian sewa rumah dinas yang dibayar oleh karyawan, penggantian ini dimasukkan ke dalarn tunjangan perumahan bagi pegawai. 4). Perusahaan memberikan tunjangan perumahan kepada karyawan. Kelompok 3 dan 4 ini boleh dibiayakan sebagai biaya, tetapi tunjangan perumahan harus dimasukkan sebagai unsur penghasilan bagi karyawan. f. Transportasi untuk karyawan. Transportasi karyawan dari rumah ke tempat kerja dapat diberikan dalam bentuk: 1). Karyawan diantar jemput khusus dengan mobil perusahaan Biaya eksploitasi dan penyusutan kendaraan boleh dibebankan sebagai blaya, dan bukan merupakan penghasilan karyawan (Surat Dirjen Pajak No. 5-1215/PJ.23/1984 dan UU No. 17/2000, penjelasan pasal 9 ayat 1 huruf e). 2). Karyawan diberikan tunjangan transport, tunjangan transport ini boleh dibebankan sebagai biaya, tetapi tunjangan
tersebut
merupakan
penghasilan karyawan yang dikenakan PPh Pasal 21. 3). Kendaraan yang dikuasai oleh karyawan tertentu/dibawa pulang. Biaya penyusutar; dan biaya eksploitasi kendaraan boleh dibiayakan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (KEP Dirjen Pajak No. KEP220/PJ./2002 Tanggal 18 April 2002).
30
Apabila pada posisi jabatan tertentu diberikan kendaraan, agar biaya kendaraan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya dapat diatasi dengan cara: kepada karyawan yang menguasai kendaraan diberikan pinjaman (car loan) seharga mobil yang diperuntukkannya, setiap bulan karyawan tersebut diberikan tunjangan transport setelah dikurangi PPh Pasal 21, diperlakukan sebagai unsur pengurangan piutang pegawai
yang
bersangkutan. Masalah lain yang dapat timbul adalah berkaitan dengan biaya operasional kendaraan tersebut seperti bensin, penggantian oli, parkir, tol dan sebagainya. Jika melihat ketentuan KEP-220/PJ./2002 tersebut semestinya juga hanya sebesar 50% yang dapat dibebankan sebagai biaya. g. Pakaian seragam untuk karyawan. Pemberian kepada karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan keselamatan atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai walaupun diberikan bukan di daerah terpencil. Pengertian keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan ini berkaitan dengan keamanan atau keselamatan kerja yang biasanya diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan atau Pemda setempat, termasuk pakaian dan peralatan bagi pegawai pemadam kebakaran, proyek, pakaian seragam pabrik, hansip/satpam, dan penginapan untuk awak 31
kapal/pesawat, serta antar jemput pegawai (Lihat PMK-83/PMK.03/2009 jo PER-51/PJ./2009 sebagai pengganti KMK-466/KMK.03/2000 jo. KEP213/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001 dan penjelasan Pasal 9 ayat 1 huruf e UU No. 17/2000). h. Pemberian natura lainnya untuk karyawan. Terhadap pemberian natura lainnya kepada karyawan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan dapat diupayakan agar dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan cara karyawan diberikan tunjangan yang merupakan penghasilan karyawan yang dikenakan PPh pasal 21, sepanjang tarif PPh Pasal 21 untuk pegawai yang menerima tunjangan tersebut lebih rendah dari tarif PPh Badan. i. Perjalanan dinas karyawan. Biaya dalam rangka menjalankan tugas perusahaan misalnya biaya transport, hotel dan sebagainya merupakan biaya perusahaan dan bukan penghasilan karyawan, sepanjang jumlahnya tidak mengandung unsur-unsur untuk keperluan pribadi (Surat Dirjen Pajak No. S-1215/PJ.23/1984 butir 5.4). j. Bonus dan jasa produksi. 1). Bonus dan jasa produksi kepada karyawan merupakan biaya perusahaan, apabila dibebankan dalam biaya tahun berjalan. 2). Apabila bonus, gratifikasi dan jasa produksi yang dibayarkan kepada karyawan dan direksi dibebankan ke laba ditahan (Retained Earning) bukan merupakan biaya perusahaan. 32
3). Tantiem merupakan bagian keuntungan yang diberikan kepada Direksi dan Komisaris dari pemegang saham yang didasarkan pada prosentase tertentu dari laba perusahaan, tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dan bagi penerimanya merupakan penghasilan dan dikenakan PPh Pasal 21. Pembayaran gaji, bonus, jasa produksi yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham yang juga menjadi Komisaris, Direksi, atau Pegawai, tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. Pembayaran tersebut merupakan dividen sehingga dipotong PPh Pasal 23/26. (SE Dirjen Pajak No. 5E-16/P].44/1992 tanggal 12 Mei 1992 mengenai: pembagian bonus, gratifikasi, jasa produksi dan tandem, dan SEli/P7.44/1992 serta penjelasan Pasal 9 ayat 1 huruf f UU No. 17/2000) k. Pemberian natura di daerah terpencil. Pemberian natura dan kenikmatan di daerah terpencil, diatur dalam KMK466/KMK.03/2000 jo. KEP-213/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001 dan penjelasan Pasal 9 ayat 1 huruf e UU No. 17/2000. 1). Pengertian daerah terpencil: i. Daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang layak dikembangkan, namun daerah tersebut sulit dijangkau karena sangat terbatasnya sarana angkutan umum baik melalui darat, laut dan udara, serta sarana prasarana lain tidak tersedia, sehingga untuk menjalankan usahanya para penanam modal harus menyediakan sendiri sarana prasarana 33
sosial ekonomi dimaksud misalnya fasilitas jalan, perumahan, listrik dan air bersih. ii. Daerah perairan laut dengan kedalaman lebih dari 50 m yang didasar lautnya memiliki cadangan mineral. 2).Natura dan kenikmatan yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah: i. Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya sepanjang di lokasi pekerja tersebut tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa. ii. Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi pekerja tersebut tidak ada tempatnya iii. Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi pekerja tersebut tidak ada sarana pendidikan yang setara. iv. Pengangkutan bagi pegawai di lokasi pekerja. Untuk pengangkutan bagi keluarga terbatas pada pengangkutan sehubungan dengan kedatangan pertama ke lokasi kerja dan kepergian pegawai dan keluarganya karena terhentinya hubungan kerja. v. Olahraga bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi pekerja tidak ada sarana yang dimaksud. Sarana olahraga ini tidak termasuk boating, golf dan pacuan kuda. 3). Pengeluaran perusahaan dalam bentuk natura di atas bukan merupakan penghasilan karyawan.
34
4). Penetapan daerah terpencil diberikan untuk jangka waktu 10 tahun dan dapat diperpanjang. 5). Permohonan keputusan tentang penerapan daerah terpencil diajukan kepada Kantor Wilayah DIP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar. 3. Pemilihan metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva tidak berwujud. Penyusutan dan amortisasi aktiva tetap / aktiva tidak bewujud yang diakui oleh fiskus sejak tahun 1995 terdiri dari dua metode yaitu: a. Metode garis lurus b. Metode garis menurun Penyusutan dengan menggunakan metode garis lurus akan menghasilkan beban penyusutan yang sama besarnya setiap tahun. Penyusutan
dengan
menggunakan
metode
saldo
menurun
akan
menghasilkan beban penyusutan lebih besar pada awal perolehan/pembelian aktiva dan makin menurun pada tahun-tahun berikutnya, tetapi pada akhir umur ekonomis aktiva tersebut jumlah akumulasi penyusutan akan sama. Penyusutan metode penyusutan saldo menurun ini menguntungkan bagi Wajib Pajak dari segi likuiditas. Pemilihan metode penyusutan yang cocok sangat tergantung pada jenis usaha, jangka waktu pengembalian modal, pengenaan pajak pada bidang usaha tersebut dan sebagainya. Jika secara akuntansi, perusahaan tidak memiliki 35
tujuan lain, maka menyamakan pengelompokan, penentuan masa manfaat dan metode penyusutan dengan ketentuan fiskal akan relatif memudahkan bagi perusahaan. 4. Transaksi yang berhubungan dengan withholding tax Dalam dunia usaha, tidak jarang perusahaan memiliki transaksi yang mengharuskan adanya pemungutan/pemotongan pajak dari pihak ketiga di mana pihak yang bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila perusahaan tidak memotong withholding tax (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, PPh final, PPh Pasal 26 dsb), maka jika dilakukan pemeriksaan oleh fiskus, perusahaan akan dikenakan kewajiban untuk membayar withholding tax dimaksud ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak. Untuk mengatasi hal tersebut dapat ditempuh: a. Perusahaan membayarkan withholding tax, pajak yang dibayarkan ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. b. Nilai transaksi di-gross-up, sehingga jumlah transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut. Atas jumlah pajak yang dibayarkan boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final dan dividen. Contoh gross-up yang dilakukan: Perusahaan akan menyewa kantor dari Sdr. Ali sebesar Rp 90.000.000,00 untuk 3 tahun. Sdr. Ali tidak bersedia dipotong pajak sebesar 10% final atas sewa bangunan kantor tersebut. 36
a. Apabila pajak sebesar 10% atau sebesar Rp 9.000.000,00 tersebut dibayar oleh perusahaan, maka perusahaan tersebut tidak boleh membebankannya sebagai biaya. Dengan demikian, untuk transaksi ini perusahaan harus mengeluarkan uang sebesar Rp 99 juta. b. Perusahaan dapat melakukan gross-up atas sewa bangunan tersebut menjadi: 100/90 X Rp 90 juta = Rp 100 juta. Di sini perusahaan membayar Rp 100 juta, tetapi ada tax saving sebesar 2,5 juta (25% dari Rp 10 juta pajak atas sewa bangunan 10% dari Rp 100 juta), sehingga pembayaran net atas transaksi ini sebetulnya Rp 97,5 juta, lebih menguntungkan ketimbang tidak di-gross-up. 5. Penyertaan pada Perseroan Terbatas dalam negeri Penyertaan modal saham pada Perseroan Terbatas dalam negeri dapat dilakukan atas nama PT atau perorangan. Apabila modal saham atas nama perorangan, maka dividen yang diperoleh perorangan tersebut merupakan obyek PPh dan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. Apabila modal saham atas nama PT, Koperasi, BUMN, dan BUMD, maka penerimaan dividen tersebut bukan obyek pajak, sehingga tidak dikenakan pajak, sepanjang memenuhi persyaratan: a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan b. Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen:
37
1). Kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor. 2). Mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut di atas (Pasal 4 ayat 3 huruf f UU No. 17/2000). Catatan: Untuk tahun 2009 ketentuan ini mengalami perubahan, yaitu: Apabila modal saham atas nama PT, Koperasi, BUMN, dan BUMD, maka penerimaan dividen tersebut bukan obyek pajak, sehingga tidak dikenakan pajak, sepanjang memenuhi persyaratan: a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan b. Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen: c. Kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor. (Pasal 4 ayat 3 huruf f UU No. 36/2008). (Menghilangkan ketentuan mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut). 6. Optimalisasi pengkreditan Pajak Penghasilan yang telah dibayar Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan dengan PPh badan yang terutang selain PPh Pasal 25 adalah Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri maupun yang dipungut oleh pihak lain yang sifatnya tidak final.
38
PPh yang dapat dikreditkan antara lain PPh atas pengalihan tanah/bangunan bagi perusahaan yang tidak bergerak di bidang real estate, PPh Pasal 22 atas impor, PPh Pasal 22 atas pembelian BBM dari Pertamina untuk selain penyalur, PPh fiskal luar negeri karyawan (setoran atas nama karyawan qq Perusahaan berikut NPWP perusahaan), PPh Pasal 23 atas bunga dari non bank, royalti, PPh Pasai 24 yang dipotong di luar negeri. Agar menenuhi kelengkapan formal, maka setiap kali dilakukan pemotongan pajak oleh pihak lain sebaiknya langsung diminta Bukti Pemotongan PPh-nya dan tidak perlu menunggu sampai akhir tahun pajak. 7. Pengajuan penurunan lump-sum PPh Pasal 25 Kenaikan pembayaran lump-sum PPh pasal 25 disebabkan adanya SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) karena pemeriksaan untuk tahun yang lalu, atau karena adanya kenaikan laba pada tahun berjalan dibandingkan dengan laba pada tahun yang lalu. Akan tetapi, di lain pihak bisa saja terjadi bahwa dalam tahun pajak yang bersangkutan terjadi penurunan laba. Apabiia kita mengangsur PPh Pasat 25 tetap seperti tahun lalu dikhawatirkan pada akhir tahun berjalan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Untuk mengatasi hat ini, mulai bulan April tahun yang bersangkutan perusahaan dapat mengajukan permohonan penurunan lump-sum PPh Pasal 25 dengan disertai proyeksi laba pada akhir tahun dan alasan terjadinya penurunan laba. Untuk bisa mengajukan permohonan
39
penurunan PPh Past 25 tersebut dimungkinkan bila penurunan laba usaha tersebut mencapai minimum 25% bila dibandingkan dengan laba fiskal tahun lalu yang digunakan sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25. Dasar hukum KEP-537/PJ./2000 jo PER-10/PJ./2009. 8. Pengajuan SKB PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23. Untuk beberapa jenis withholding tax seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 (tidak termasuk PPh final) dapat diajukan Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh Wajib Pajak yang memenuhi kriteria. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: a. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjaian dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal, atau b. Wajib Pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal (baik yang dicantumkan dalam SO atau SPT PPh dalam hat belum ada SKP) sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar daripada perkiraan penghasilan netto tahun pajak yang bersangkutan, atau c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang. Yang dimaksud dengan kerugian fiskal dalam angka 1 adalah kerugian fiskal yang terjadi karena: a. Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi, atau b. Wajib Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial, atau
40
c. Untuk perusahaan yang sudah berjalan, yang karena suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan (force majeur) sehingga akan mengakibatkan menderita kerugian dan tidak akan terutang Pajak Penghasilan. Dalam menqajukan permohonan, Wajib Pajak harus melampirkan: a. Perkiraan penghasilan neto dalam tahun berjalan b. Daftar pihak-pihak pemberi penghasilan beserta nilai transaksi yang diperkirakan akan diterima/diperoleh. Dasar hukum: KEP-192/PJ./2002, tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan. F. Tax Planning PPh atas transaksi tertentu Perlakuan khusus PPh badan yang berkaitan dengan transaksi tertentu: 1. Rekonsiliasi SPT PPh badan dengan SPT PPh Pasal 21, PPh Pasal 23/26 dan SPT Masa PPN Oleh Kantor Pelayanan Pajak, SPT PPh badan yang disampaikan oleh perusahaan, akan diperiksa rekonsiliasinya dengan SPT PPh Pasal 21, SPT PPh Pasal 23 dan SPT Masa PPN. Oleh karena itu sebaiknya perusahaan melakukan rekonsiliasi secara periodik antara unsur-unsur yang terdapat di SPT Badan dengan unsur yang terdapat di SPT PPh Pasal 21, SPT PPh Pasal 23 dan SPT Masa PPN. Jika ada perbedaan, maka perbedaan tersebut harus ditelusuri dan dilakukan koreksi apabila diperlukan. Berikut ini akan diuraikan secara secara rinci mengenai
41
Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh 21, SPT PPh Pasal 23 dan SPT Masa PPN : a. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap )umlah Biaya Gaji dan Tunjangan serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, yang tercantum dalam SPT PPh Badan, dengan Jumlah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21. Dasar Pengenaaan Pajak ini terdiri dari gaji dan tunjangan yang dibayarkan kepada karyawan dan penghasilan lain yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya yang menjadi obyek PPh Pasal 21, apakah jumlahnya telah sama.
b. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23 Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23 berkaitan dengan prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah biaya sewa, bunga, dividen, royalti dan jasa lainnya yang harus dipotong PPh Pasal 23 pada SPT PPh Badan dengan jumlah Dasar Pengenaan Pajak SPT PPh Pasal 23, apakah jumlahnya telah sama. Jika terdapat material yang bukan obyek PPh Pasal 23, maka perlu dilakukan pemisahan antara nilai jasa dan materialnya.
42
c. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN berkaitan dengan prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP atas jumlah omzet penjualan dalam SPT PPh Badan dengan jumlah omzet menurut SPT PPN bulan Desember tahun yang bersangkutan, apakah telah sama atau belum. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh badan dengan SPT PPN bisa berbeda : 1). Omzet penjualan di SPT PPh Badan bisa lebih besar dari omzet penjualan di SPT PPN karena penjualan di SPT PPh Badan menganut akrual basis sehingga atas penjualan kredit, jika barangnya telah diserahkan, penjualan sudah dilaporkan, sedangkan pada SPT PPN, penjualan kredit bisa dibuat faktur pajaknya pada akhir bulan setelah bulan penyerahan barang. 2). Omzet penjualan di SPT PPh Badan lebih kecil daripada omzet penjualan di SPT PPN, karena penerimaan uang atas penjualan sudah harus dibuat faktur pajaknya meskipun barangnya belum diserahkan, sementara penjualan tersebut baru dilaporkan setelah penyerahan barang. 2. Hutang/piutang kepada pemegang saham Bunga yang berasal dari hutang/piutang kepada pemegang saham baik kepada pemegang saham perorangan atau perusahaan harus dihitung dengan tingkat bunga yang wajar.
43
Hutang kepada pemegang saham dapat tidak dihitung / dibebani bunga apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Pinjaman tersebut berasal dari dana pemegang saham itu sendiri, dan bukan berasal dari pihak lain. b. Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya. c. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi. d. Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan dana untuk kelangsungan usahanya. Apabila salah satu dari keempat unsur di atas tidak terpenuhi, maka atas pinjaman tersebut, dapat dilakukan koreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga yang wajar oleh fiskus (Surat Dirjen Pajak No. 5165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992 mengenai pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham). 3. Transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa Pihak-pihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa menurut fiskus adalah: a. Wajib Pajak memiliki penyertaan modal pada Wajib Pajak lain sebesar 25% atau lebih, baik secara langsung maupun tidak langsung.
44
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lain dua atau lebih berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung (misal manajemen, teknologi dsb). c. Terdapat hubungan keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat. Terhadap transaksi hubungan istimewa yang nilainya tidak wajar dan dapat mempengaruhi besarnya penghasilan kena pajak, fiskus dapat melakukan koreksi fiskal untuk memperoleh nilai penghasilan yang wajar (Pasal 18 ayat 3 UU No. 17/2000 beserta penjelasannya). 4. Bunga Pinjaman Sepanjang digunakan untuk operasional perusahaan maka bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya. Dalam Pasal 18 ayat 1 UU No. 17/2000 diatur bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang pajak dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah apabila perusahaan mempunyai pinjaman dari pihak ketiga dan di sisi lain perusahaan tersebut memiliki deposito, maka bunga yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah sebesar proporsi rata-rata nilai pinjaman dikurangi dengan rata-rata nilai deposito, karena atas bunga deposito telah dikenakan PPh yang bersifat final (SE Dirjen Pajak No. SE-46/PJ.4/1995 tanggal 5 Oktober 1995).
45
Dalam hal terjadi pemberian pinjaman (kredit) oleh perusahaan kepada karyawannya dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar, maka bagi perusahaan yang memberikan pinjaman, selisih tingkat suku bunga yang dibayar oleh perusahaan kepada pihak lain (Harga Pokok atau tingkat suku bunga pinjaman yang dibayarkan untuk dana tersebut) dengan bunga yang dibebankan kepada karyawan, merupakan koreksi fiskal bagi perusahaan yang memberikan pinjaman karena tidak boleh dibiayakan (SE Dirjen Pajak No. SE-16/PJ.43/1999). 5. Pencadangan/penghapusan piutang tak tertagih Dari segi fiskus, penyisihan piutang macet / cadangan untuk mengantisipasi kerugian piutang tidak tertagih/ kerugian lainnya hanya diperbolehkan untuk jenis perusahaan-perusahaan tertentu yaitu: a. Bank Besarnya cadangan kerugian piutang usaha bagi bank telah ditentukan dengan KMK No. 80/KMK.04/1995 jo KMK 68/KMK.04/1999 jo KMK 204/KMK.04/2000) yaitu: 1). Bagi Bank Umum (lihat KMK No. 68/KMK.04/1999), cadangan kerugian ditetapkan sebesar: a). 1% dari jumlah kredit lancar b). 5% dari jumlah kredit dalam perhatian khusus c). 15% dari jumlah kredit kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan
46
d). 50% dari jumlah kredit diragukan setelah dikurangi nilai agunan e). 100% dari jumlah kredit macet setelah dikurangi nilai agunan 2). Bagi Bank Perkreditan Rakyat atau BPR (KMK No. 204/KMK.04/2000), cadangan kerugian ditetapkan sebesar: a). 0,5% dari jumlah kredit lancar b). 3% dari jumlah kredit kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan c). 50% dari jumlah kredit diragukan setelah dikurangi nilai agunan d). 100% dari jumlah kredit macet setelah dikurangi nilai agunan Nilai agunan yang dikurangkan adalah seluruh nilai agunan yang bersifat lancar. Sedangkan atas agunan lain yang tidak lancar ditetapkan sebesar 75% dari nilai agunan atau berdasarkan penilaian perusahaan penilai. b. Sewa Guna Usaha (leasing) dengan hak opsi: cadangan piutang maksimum 2,5°l° dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang. c. Asuransi kerugian; 1). Cadangan premi: 40% dari premi tanggungan sendiri 2). Cadangan klaim: sama dengan jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum di bayar, ditambah dengan klaim yang sudah diproses. d. Asuransi jiwa: cadangan premi sesuai dengan perhitungan aktuaria yang disahkan oleh Ditjen Lembaga keuangan e. Pertambangan: cadangan reklamasi dihitung dengan menggunakan metode satuan produksi atas dasar taksiran biaya reklamasi (SE Dirjen Pajak No. 5E20/PJ.4/1995, tanggal 26 April 1995). 47
6. Transaksi finance / capital leasing Transaksi dengan finance / capital lease harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. jumlah pembayaran lease selama periode lease ditambah dengan nilai residu barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor; b. Masa /periode leasing sekurang-kurangnya: 1). Dua tahun untuk barang modal golongan I 2). Tiga tahun untuk barang modal golongan II dan III 3). Tujuh tahun untuk golongan bangunan c. Mengatura adanya hak opsi untuk membeli barang modal dengan nilai yang sudah ditentukan pada saat kontrak lease disepakati. Perlakuan perpajakan atas transaksi finance/capital leasing: 1). Untuk lessor (perusahaan leasing): a). Penghasilan leasing yang dikenakan pajak adalah seluruh pembayaran lease yang diterima lessor dikurangi dengan angsuran pokok. b). Lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yang dileasekan. 2). Untuk Lessee (penyewaguna usaha): a). Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal yang dileasenya, sampai saat lessee menggunakan hak opsinya untuk membeli barang modal.
48
b). Penyusutan dilakukan mulai tahun pajak digunakannya hak opsi. Dasar penyusutan yang dipakai adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan. c). Pembayaran lease yang dilakukan/terutang merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Perlakuan perpajakan di atas berbeda dengan standar akuntansi yang berlaku. Perlakuan akuntansi untuk lessee dalam financial lease mengharuskan lessee untuk mengkapitalisasi barang modal yang dilease dan menimbulkan hutang lease senilai nilai wajar barang modal yang dilease. Aktiva yang dilease kemudian diamortisasi sesuai dengan umur ekonomisnya. Pembayaran pokok lease mengurangi hutang lease dan bunga lease dibebankan sebagai biaya tahun berjafan (SE Dirjen Pajak No. SE-29/PJ.42/1992). 7. Bunga pinjaman selama masa konstruksi Bunga pinjaman selama masa konstruksi berupa gedung yang dibangun untuk dipakai sendiri atau untuk disewakan atau untuk dijual kembali (merupakan inventory), harus dikapitalisasi ke dalam nilai aktiva yang bersangkutan. Bunga pinjaman yang dibayar setelah aktiva tersebut dipakai dapat dibebankan sebagai biaya tahun yang bersangkutan (Surat Dirjen Pajak No. 5217/PJ.42/1994 tanggal 1 Desember 1994).
49
8. Biaya pendirian perusahaan/pra-operasi Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sebelum perusahaan beroperasi secara komersial dapat dikelompokkan ke dalam: a. Biaya rutin Biaya rutin merupakan pengeluaran yang bersifat rutin seperti: gaji, rekening telepon, listrik, air, dan biaya rutin kantor lainnya. Biaya ini dibebankan ke dalam rugi/laba tahun berjalan. b. Biaya pendirian Biaya pendirian merupakan biaya yang diekluarkan oleh perusahaan sebelum perusahaan beroperasi pada tahap komersial dan bukan merupakan biaya rutin. Biaya ini dikapitalisasi dan diamortisasi berdasarkan umur ekonomisnya dengan metode garis lurus atau dengan metode saldo menurun (Surat Dirjen Pajak No. S-248/PJ.62/1988) 9. Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer) Bangun Guna Serah atau sering disebut BOT adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberi hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian BOT dan mengalihkan kepemilikan bangunan kepada pemegang hak atas tanah pada akhir periode BOT.
50
Perlakuan Perpajakan: a. Bagi investor 1). Penghasilan berupa penerimaan sewa/penguasaan hotel/penerimaan lain sehubungan dengan pengoperasian gedung. 2). Imbalan yang diterima dari pemegang hak atas tanah apabila masa BOT diperpendek dari periode yang dijanjikan. 3). Biaya yang boleh dikurangkan adalah biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan dengan memperhatikan Pasal 9 ayat 1 UU No. 17/2000. 4). Biaya pendirian bangunan diamortisasi secara garis lurus sesuai periode BOT, dimulai pada saat bangunan digunakan. 5). Apabila periode BOT diperpendek dari periode yang telah ditetapkan, maka sisa nilai buku bangunan diamortisasi sekaligus pada saat berakhirnya BOT tersebut. b. Bagi pemegang hak atas tanah: 1). Pembayaran berkala yang diterima dari investor selama masa BOT. 2).Bagian sewa/bagian keuntungan dan penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian BOT. 3).Dalam hal bangunan yang didirikan oleh investor sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas tanah, penyerahan tersebut terhutang PPh sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai pasar dan NJOP dari bagian bangunan yang diserahkan. Harus dilunasi oleh pemegang hak atas 51
tanah selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan penyerahan. Pembayaran ini bagi orang pribadi bersifat final namun bagi WP Badan tidak final. 4). Bangunan yang diserahkan oleh investor pada akhir BOT, merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas tanah dan terhutang PPh seperti pada butir 3 di atas. 5). Biaya yang boleh dikurangkan oleh pemegang hak atas tanah selama periode BOT adalah biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 dengan memperhatikan Pasal 9 ayat 1 UU No. 17/2000. (SE Dirjen Pajak No. 5E-38/PJ.4/1995 tanggal 14 Juli 1995) 10. Reimbursable items Transaksi reimbursable items merupakan pengeluaran-pengeluaran yang sudah ditalangi oleh pihak lain kemudian dimintakan penggantian ke perusahaan. Transaksi ini biasanya dilakukan untuk transaksi yang melibatkan minimal tiga pihak sekaligus. Misalnya reimbursement biaya pengobatan, reimbursement biaya transportasi dan sebagainya. Semestinya transaksi reimbursement hanyalah merupakan transaksi hutang piutang antara pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu transaksi reimbursement harus didukung dengan klausul perpajakan yang jelas dalam kontrak serta metode pencatatan yang benar. Secara fiskal transaksi reimbursement dituntut senantiasa konsisten antara substansi, ketentuan formal dalam kontrak, pencatatan/pembukuannya dan
52
dokumentasinya. Oleh karena itu reimbursement harus memenuhi beberapa syarat berikut ini: a). Tidak boleh ada mark up atau mark down; b). Bukti asli harus diserahkan kepada penanggung beban pengeluaran; c). Bukti dibuat atas nama penanggung beban atau atas nama pihak yang membayarkan lebih dahulu qq penanggung beban; d). Ketentuan reimbursement diatur di dalam kontrak perjanjian. Persyaratan di atas memang tidak diatur secara tegas dalam ketentuan perpajakan yang ada, namun syarat tersebut merupakan konsekuensi logis dari reimbursement yang notabene hanya merupakan pengeluaran lebih dahulu. Sebagai bahan rujukan dapat dilihat dalam beberapa surat jawaban dari Direktur Jenderal Pajak, antara lain: 1). SE-53/Pl./2009 2). 5-2299/PJ.53/1992, 3). 5-199/PJ.53/1993, 4). S-2793/PJ.53/1993, 5). 5-1227/PJ.53/1994, 6). S-1047/PJ.322/2004, 7). S-812/PJ.53/2005.
53
11.Konfirmasi pembayaran pajak Di dalam proses pemeriksaan pajak biasanya dilakukan prosedur konfirmasi untuk meyakinkan apakah pajak yang dibayarkan WP sudah masuk ke kas negara. Dalam kaitan dengan PPh atau PPN yang dipotong/dipungut pihak lain yang dikreditkan oleh WP, seringkali setelah dikonfirmasi ke KPP yang bersangkutan ternyata tidak disetor dan tidak dilaporkan ke KPP. Bagaimana dengan perlakuan kredit pajak tersebut? Jika melihat hak dan kewajiban masing-masing pihak semestinya, pihak yang dipotong tetap memiliki hak untuk mengkreditkan PPh atau PPN tersebut. Tidak selayaknya pihak lain yang melakukan kesalahan, tetapi risiko atau sanksinya dikenakan kepada Wajib pajak yang dipotong atau dipungut. Hal tersebut akan menjadi tidak adil karena akan menimpakan kesalahan pihak lain kepada WP. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang benar mengenai subyek pajak dan subyek pajak pengganti sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Jadi walaupun konfirmasi yang dijawab negatif (tidak ada), namun pihak yang dipotong/dipungut pajak tetap berhak melakukan pengkreditan. F. Rekonsiliasi Fiskal Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial/pembukuan dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan. Rekonsiliasi fiskal terdiri dari: 54
1. Koreksi karena perbedaan waktu Koreksi beda waktu timbul karena perbedaan metode perhitungan pendapatan dan/atau biaya antara komersial dengan fiskal Dengan demikian total biaya atau pendapatan menurut komersial dan fiskal adalah sama besar, yang berbeda adalah lamanya waktu pengalokasian pendapatan dan atau biaya tersebut. Contoh koreksi beda waktu: a).Biaya penyusutan dan amortisasi, kecuali untuk aktiva yang termasuk kriteria pemberian natura, hibah, sumbangan atau kenikmatan b). Penilaian persediaan 2. Koreksi karena perbedaan tetap Koreksi beda tetap timbul karena adanya perbedaan pengakuan pendapatan antara komersial dan fiskal. Koreksi beda tetap terdiri dari: a). Beda tetap atas penghasilan yang bukan obyek PPh Seperti bantuan, sumbangan, harta hibahan yang diterima sepanjang tidak ada hubungan usaha dengan pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan dan dari pemerintah. b). Beda tetap murni yaitu: 1).Biaya yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan
55
2).Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan/jasa yang diberikan dalam bentuk natura/kenikmatan. 3). Sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan. 4). PPh Pasal 23/26 yang ditanggung oleh perusahaan. c). Beda tetap yang disebabkan tidak dipenuhinya syarat-syarat khusus yaitu: 1). Berhubungan dengan kegiatan langsung perusahaan. 2). Adanya bukti pendukung yang kuat. • Karena lokasi. 3). Penggunaan praktek -praktek akuntansi yang tidak sehat. 3. Koreksi karena pengenaan pajak final Koreksi ini terdiri dari: 1).Pendapatan
yang telah dipotong pajak
membayarkan
penghasilan
seperti
final oleh pihak
pendapatan
bunga
yang
deposito,
pendapatan jasa giro, penghasilan sewa tanah dan atau bangunan, pendapatan karena pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bagi orang pribadi dan yayasan (khusus untuk Wajib Pajak badan (selain yayasan) tidak bersifat final). 2). Biaya untuk mendapatkan, memelihara, menagih penghasiian yang telah dikenakan PPh final seperti biaya yang berhuungan dengan penghasilan dari sewa tanah dan atau bangunan, biaya yang berhubungan dengan penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.
56
Bentuk kertas kerja rekonsiliasi fiskal Sampai saat ini belum ada bentuk baku kertas kerja rekonsiliasi fiskal. Di bawah ini disajikan bentuk kertas kerja yang sering digunakan dalam bentuk sehari-hari: PT FORMASI Rekonsiliasi komersial - fiskal Laba komersial sebelum pajak
xxx
Ditambah koreksi positif: Sumbangan
xxx
Wan dan promosi
xxx
Kenikmatan
xxx
Biaya dalam bentuk natura
xxx
Biaya pemeliharaan gedung yang disewakan
xxx
Biaya penyusutan
xxx
Biaya penyisihan kerugian piutang
xxx
Dikurangi koreksi negatif: Biaya penyusutan
(xxx)
Pendapatan sewa gedung
(xxx)
Pendapatan dIviden
(xxx)
Pendapatan bunga deposito
(xxx)
Pendapatan jasa giro
xxx
Laba/rugi fiskal sebelum pajak
xxx 57