BAB II LANDASAN TEORI
II.A. Konflik Interpersonal II.A.1. Pengertian Orientasi Perilaku Mengatasi Konflik Interpersonal Sebelum membahas mengenai konflik interpersonal, maka terlebih dahulu kita harus memahami apa yang dimaksud dengan konflik. Secara umum, konflik adalah konsekuensi dari respon seseorang pada apa yang ia persepsikan mengenai situasi atau perilaku dari orang lain (dalam Luthans, 2005). Sebagai contoh, X lupa memberitahukan kepada rekan kerjanya Y bahwa besok dirinya harus menyerahkan laporan kepada manajer produksi yang mengakibatkan Y ditegur oleh atasan. Y kemudian merespon kelupaan X tadi dengan tidak bertegur sapa dan bersikap bermusuhan kepada Y pada keesokan harinya. Di sini Y mungkin mempersepsikan kelupaan X tadi sebagai perbuatan yang disengaja. Dan sebagai responnya, X kemudian marah dan juga bersikap bermusuhan terhadap Y. Contoh di atas juga sesuai dengan pengertian konflik yang disampaikan oleh Aamodt (2007). Ia mengatakan konflik adalah sebagai reaksi psikologis dan perilaku (behavioral) atas suatu persepsi bahwa individu lain menghalangi Anda mencapai suatu tujuan, menjauhkan hak Anda untuk bertindak dalam suatu cara tertentu, atau mengacaukan pengharapan dari suatu hubungan. Tokoh lainnya, French, dkk. (1985) mengatakan bahwa konflik terdiri dari interaksi perilaku dua atau lebih individu, kelompok, atau sistem sosial yang lebih
18 Universitas Sumatera Utara
besar yang memiliki tujuan yang bertentangan. Pendapat lainnya disampaikan oleh Ross Stagner yang dikutip oleh Mitchell (1987) mengenai konflik sebagai berikut: ”... Konflik merupakan sebuah situasi, dimana dua orang (atau lebih) menginginkan tujuan-tujuan yang menurut persepsi mereka dapat dicapai oleh salah seorang di antara mereka, tetapi hal itu tidak mungkin dicapai oleh kedua belah pihak” (dalam Winardi, 2004). Dengan demikian, agar suatu situasi disebut sebagai konflik maka sedikitnya harus terdapat dua pihak; masing-masing pihak memobilisasi energi untuk mencapai suatu tujuan tertentu, sebuah objek atau situasi tertentu yang dikehendaki, dan masing-masing pihak beranggapan bahwa pihak lain merupakan sebuah kendala atau ancaman baginya dalam hal mencapai tujuan tersebut (dalam Winardi, 2004). Namun konflik harus dibedakan dengan persaingan atau kompetisi, karena persaingan meliputi tindakan-tindakan yang dilakukan orang tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkannya dengan menyebabkan orang lain tidak berhasil mencapai tujuannya. Di dalam persaingan juga hampir tidak terdapat interaksi atau saling ketergantungan antara kedua individu tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa persaingan bisa saja menimbulkan konflik, tetapi tidak semua konflik mencakup persaingan (dalam Winardi, 2004). Sedangkan yang dimaksud dengan konflik interpersonal adalah konflik yang muncul ketika dua orang / lebih mengalami ketidaksetujuan. Perselisihan ini dapat disebabkan oleh kesalahpahaman kecil atau sebagai hasil dari tujuan-tujuan, nilai-nilai, sikap atau keyakinan yang tidak sama (dalam Weiten dkk., 2006).
19 Universitas Sumatera Utara
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Luthans (2005), yaitu konflik interpersonal merupakan konflik yang muncul di antara dua individu. Ia bisa muncul antara rekan kerja, teman, anggota keluarga, atau antara supervisor dan karyawan. Tidak jauh berbeda, Aamodt (2007) juga berpendapat bahwa konflik interpersonal muncul di antara dua individu. Di tempat kerja, konflik interpersonal ini bisa muncul di antara dua rekan kerja (coworkers), antara supervisor dan bawahan, antara karyawan dan kustomer, atau antara karyawan dengan pemasok (vendor). Sementara itu, Wilmot & Hocker (2001) berpendapat bahwa kebanyakan orang memiliki suatu cara tertentu yang mereka gunakan ketika berhadapan dengan konflik (dalam Aamodt, 2007). Sedangkan French dkk., (1985) mengatakan bahwa untuk memanajemen / mengatasi konflik adalah sebagai usaha untuk meminimalkan hasil-hasil negatif dan untuk memaksimalkan hasil-hasil yang fungsional. Pendekatan atau cara yang digunakan pada intinya mencoba untuk memodifikasi variabel-variabel atau faktor-faktor yang menjadi sumber dari berbagai konflik atau situasi potensial yang menimbulkan konflik. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka orientasi perilaku mengatasi konflik interpersonal dapat diartikan sebagai perilaku yang bertujuan untuk mengurangi hasil-hasil negatif dan meningkatkan hasil-hasil fungsional antara dua individu / lebih yang memiliki persepsi atas situasi atau perilaku bahwa pihak lainnya akan menghalangi atau mengancam individu tersebut mencapai tujuannya yang dilakukan dengan memodifikasi variabel atau faktor dari penyebab konflik.
20 Universitas Sumatera Utara
II.A.2. Jenis-Jenis Konflik Menurut Luthans (2005), konflik terdiri dari tiga jenis yang akan dijelaskan sebagai berikut: a. Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict) Konflik interpersonal muncul di antara dua individu. Konflik ini bisa terbentuk di antara rekan kerja, teman, anggota keluarga, atau antara supervisor dan karyawan-karyawan. Sebagai contoh, konflik bisa muncul ketika seseorang tidak setuju dengan gaya hidup individu lainnya. Dalam contoh ini, tujuan dalam memecahkan masalah konflik bukanlah pada mengubah pendapat atau filosofi antara yang satu dengan yang lainnya mengenai gaya hidup siapa yang benar. Tujuan sebenarnya adalah untuk memfokuskan pada perilaku bagaimana yang dipakai seseorang yang akan mempengaruhi tujuan-tujuan atau hidup individu lainnya secara langsung.
b. Konflik Individu - Kelompok (Individual - Group Conflict) Konflik antar kelompok muncul ketika kebutuhan-kebutuhan, tujuantujuan, dan harapan-harapan seorang individu berbeda dengan kelompoknya. Sebagai contoh, seorang karyawan lebih tertarik dalam melakukan hubungan pelayanan kustomer, namun bagian pemasaran lebih menginginkannya untuk bekerja dalam penjualan produk. Akibatnya akan terjadi konflik antara individu dengan pihak bagian pemasaran
21 Universitas Sumatera Utara
c. Konflik Antar Kelompok (Group - Group Conflict) Konflik intraorganisasi atau konflik antar kelompok muncul di antara dua atau lebih kelompok. Sering kali konflik yang sering ditemui dalam perusahaan adalah konflik antara tim dengan pihak manajemen. Tim secara rutin menghadapai konflik dengan pihak manajemen yang oleh pihak manajemen diyakini sebagai sesuatu yang memang seharusnya demikian. Contoh lainnya yaitu konflik yang muncul saat satu departemen dengan departemen lainnya bersaing untuk sumber daya yang berkurang seperti berkurangnya personil ataupun untuk mendapatkan kenaikan gaji.
II.A.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Interpersonal Menurut Luthans (2005), terdapat empat faktor yang mempengaruhi konflik, termasuk juga konflik interpersonal, yaitu: a. Sikap (Attitudes) Banyak orang memandang konflik sebagai sesuatu yang buruk dan destruktif, jadi mereka menghindari segala upaya yang berhubungan dengan menghadapi situasi konflik. Namun konflik tidak dapat diselesaikan kecuali konflik tersebut diketahui oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Konsekuensinya adalah: jika Anda terlibat dalam konflik, maka tantangan Anda yaitu membuat orang lain tersebut untuk mengetahui konflik tersebut dan memiliki keinginan untuk membicarakannya sehingga dapat diselesaikan secara tuntas, atau paling tidak tekanannya dapat dikurangi.
22 Universitas Sumatera Utara
b. Persepsi (Perceptions) Menurut Lulofs (1994), persepsi yaitu proses pengenalan arti dari apa yang kita lihat atau dengar, merupakan inti dalam menentukan dan mempengaruhi konflik. Salah satu definisi konflik lainnya dikemukakan oleh Sessa (1994), yaitu konflik merupakan ”verbalisasi dari persepsi kita” (dalam Luthans, 2005). Persepsi merupakan hal yang penting karena orang memberi respon satu dengan yang lainnya dalam hal bagaimana mereka mengevaluasi suatu situasi. Kesalahan persepsi dapat meningkatkan situasi yang tidak membahayakan konflik atau mengganggu resolusi dari konflik. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang akan meningkatkan munculnya konflik bagi pihak-pihak yang memiliki persepsi: 1. Saling Ketergantungan (Interdependence), yaitu jika persepsi umum adalah bahwa pihak-pihak tersebut sangat tergantung satu dengan yang lain untuk suatu hasil tertentu, maka konflik panas (hot conflict) lebih dipastikan akan muncul. Menurut Lawson & Shen (1998), konflik dapat berupa konflik panas (hot conflict) ataupun konflik dingin (cold conflict). Konflik dingin adalah konflik fungsional dan memberikan suatu kesempatan untuk berbagi ide-ide yang
kontras,
mencari
informasi,
mengevaluasi
pilihan-pilihan,
dan
menegosiasikan tujuan-tujuan serta alternatif-alternatif – konflik dingin melibatkan sedikit emosi. Di sisi lain, konflik panas adalah konflik disfungsional dan melibatkan sejumlah emosi, termasuk rasa marah dan frustrasi.
23 Universitas Sumatera Utara
2. Tujuan-Tujuan yang Berbeda (Different Goals), yaitu jika pihak-pihak memandang tujuan-tujuan mereka tidak sama, maka akan dipastikan terjadi konflik. Sebagai contoh, jika tujuan Anda menyelesaikan suatu pekerjaan sekurang-kurangnya dalam waktu seminggu sebelum tenggat waktu, dan Anda memandang bahwa tujuan dari rekan kerja Anda dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut adalah tepat pada tenggat waktunya, maka kemungkinan akan terjadi konflik. Dalam banyak situasi konflik, kebanyakan orang memiliki tujuan-tujuan yang sama, yang membedakannya adalah bagaimana mereka seharusnya berpikir untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
3. Suatu Pihak Menghalangi Pihak Lainnya dalam Mencapai Tujuan-Tujuan (One Party is Keeping the Other from Reaching Goals), yaitu jika Anda memandang pihak lain menghalangi atau mencegah diri Anda dalam mencapai tujuan Anda, maka konflik akan berpeluang untuk terjadi.
4. Pelanggaran dari Pengharapan Hubungan (Violation of Relationship Expectations), di sini dapat dicontohkan dengan seseorang yang memiliki persepsi bahwa sahabatnya membocorkan rahasianya kepada orang lain, maka besar kemungkinan akan terjadi konflik. Dalam contoh ini telah terjadi pelanggaran dalam hal pengharapan dari suatu hubungan, yaitu hubungannya sebagai sahabat.
24 Universitas Sumatera Utara
c. Ketidakseimbangan
Kendali
atau
Kekuatan
(Control
or
Power
Imbalance) Faktor lain yang mempengaruhi konflik adalah tingkat dimana individu merasa diri mereka kehilangan kendali atas suatu situasi, dan dengan demikian menyebabkan suatu ketidakseimbangan kekuatan. Sebagai contoh, jika Anda pada suatu hari tiba-tiba dipindahkan ke kantor lain, Anda dengan pasti akan mengalami suatu kehilangan kendali: Anda tidak memiliki masukan apapun dalam membuat keputusan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan kerja Anda. Namun jika keputusan itu dibuat oleh rekan sebaya, atau mungkin hanya oleh rekan sekerja dalam satu tim yang membuat keputusan demikian, maka Anda kemungkinan akan merasakan ketidakseimbangan kekuatan: Orang yang membuat keputusan tersebut memiliki hak dan kekuasaan yang lebih besar dibandingkan diri Anda dalam membuat keputusan yang mempengaruhi Anda.
d. Kepentingan Hasil (Outcome Importance) Kepentingan hasil yaitu tingkat dimana kita merasa bahwa kita kehilangan kontrol atas masalah-masalah yang penting bagi kita dalam menentukan apakah konflik akan muncul. Sebagai contoh, jika Anda menganggap pemindahan Anda ke kantor lain tanpa alasan yang jelas merupakan hal yang tidak penting bagi Anda, maka konflik bisa tidak muncul. Namun jika keputusan tersebut menyebabkan Anda bermasalah, maka situasi tersebut secara pasti akan menimbulkan konflik karena Anda tidak lagi memiliki kontrol atas situasi yang sebelumnya adalah penting.
25 Universitas Sumatera Utara
II.A.4. Komponen-Komponen & Aspek-Aspek Konflik Interpersonal II.A.4.a. Model Proses Konflik Dyadic Menurut Pondy (1967) dan Walton (1969), konflik muncul dalam bentuk suatu siklus / episode. Dalam suatu hubungan, setiap episode terbentuk secara terpisah oleh hasil-hasil dari episode sebelumnya dan pada gilirannya menjadi landasan kerja bagi episode-episode selanjutnya. Pondy (1967) dan Walton (1969) mengemukakannya dalam lima tahap yang menjadi komponen terbentuknya konflik berdasarkan Model Proses Konflik Dyadic (Process Model of Dyadic Conflict) sebagai berikut (dalam Dunnette, 1978):
I. Frustrasi (Frustration)
II. Konseptualisasi (Conceptualization) III. Reaksi Pihak Lain (Interaction) IV. Perilaku (Behavior)
V. Hasil (Outcome)
Episode I
I. Frustrasi (Frustration)
II. Konseptualisasi (Conceptualization) III. Reaksi Pihak Lain (Interaction) IV. Perilaku (Behavior)
V. Hasil (Outcome)
Episode II
Gambar 1: Model Proses Konflik Dyadic (Process Model of Dyadic Conflict)
26 Universitas Sumatera Utara
1. Frustrasi (Frustration) Yaitu konflik muncul sebagai hasil dari persepsi suatu pihak bahwa pihak lainnya menyebabkan frustrasi dalam pemenuhan kepentingannya. Kata ”kepentingan” di sini dimaksudkan sebagai konsep yang lebih spesifik, seperti kebutuhan-kebutuhanan, keinginan-keinginan, objek formal, standar perilaku, promosi, keterbatasan sumber daya ekonomi, norma-norma perilaku dan pengharapan, kepatuhan terhadap peraturan dan perjanjian, nilai-nilai, serta kebutuhan-kebutuhan interpersonal.
2. Konseptualisasi (Conceptualization) Yaitu mendefinisikan masalah dari konflik dalam kaitannya dengan kepentingan kedua pihak serta beberapa pemahaman mengenai kemungkinan tindakan alternatif serta akibat-akibatnya. Konseptualisasi ini mempengaruhi perilaku penanganan konflik dan bagaimana peningkatan serta perubahanperubahan
lainnya
dalam
perilaku
bersumber
dari
perubahan
dalam
konseptualisasi suatu pihak. Adapun aspek dari konseptualisasi ini adalah: a. Penentuan Masalah (Defining the Issue), yaitu melibatkan penilaian kepentingan utama kedua belah pihak, yaitu kepentingan pihak yang mengalami frustrasi beserta persepsinya terhadap kepentingan pihak lainnya yang menampilkan tindakan yang menyebabkan frustrasi. Sebagai contoh, ”Saya menginginkan kenaikan gaji sebesar Rp 500.000,-, namun pihak manajemen hanya ingin memberikan saya gaji sebesar Rp 200.000,-.”
27 Universitas Sumatera Utara
b. Alternatif-Alternatif Terbaik (Salient Alternatives), yaitu kesadaran akan tindakan-tindakan alternatif serta akibat-akibat yang akan ditimbulkannya, yaitu kemungkinan tindakan alternatif terakhir yang menggambarkan penempatan permasalah dari konflik. Alternatif terbaik ini bersama dengan kemungkinan hasil yang akan dicapai bagi kedua pihak akan menentukan pandangan suatu pihak atas konflik kepentingan antara dirinya dengan pihak lainnya.
3. Perilaku (Behavior) Di dalam tahap ketiga ini terdapat tiga komponen utama dari perilaku. Komponen-komponen tersebut yaitu: a. Orientasi (Orientation), yaitu tingkat dimana suatu pihak akan memenuhi kepentingannya sendiri dan kepentingan pihak lainnya. Terdapat lima perilaku yang bisa ditempuh menurut Blake dkk. (1964), yaitu: 1. Kompetitif / Dominasi (Competitive / Domination): Yaitu keinginan suatu pihak untuk memenangkan kepentingannya sendiri atas kerugian pihak lainnya, atau dengan kata lainnya mendominasi. Blake dkk. (1964) menyebut hubungan demikian sebagai ”win-lose power struggles.” 2. Akomodatif / Berdamai (Accomodative / Appeasement): Yaitu suatu pihak memuaskan
kepentingan
pihak
yang
lain
tanpa
memuaskan
kepentingannya sendiri. Blake dkk. (1964) menyebut hubungan demikian sebagai ”peaceful coexistence.”
28 Universitas Sumatera Utara
3. Berbagi / Berkompromi (Sharing / Compromise): Perilaku ini merupakan intermediasi antara mendominasi dan mendamaikan. Perilaku ini adalah pilihan yang moderat tetapi tidak memberikan kepuasan yang sepenuhnya bagi kedua belah pihak. Di sini suatu pihak memberikan sesuatu secara sebagian kepada pihak lainnya dan menyimpan sebagian lainnya. Blake dkk, (1964) menyebut hubungan demikian sebagai ”splitting the difference”, karena suatu pihak mencari suatu hasil yang menjadi hasil tengah yang diinginkan kedua belah pihak. 4. Kolaborasi / Integrasi (Collaborative / Integration): Perilaku ini berusaha memuaskan kepentingan kedua belah pihak secara penuh, yaitu untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan mereka. Blake dkk. (1964) serta Walton dan McKersie (1965) menyebut hubungan demikian sebagai perilaku ”problem solving.” 5. Menghindar
/
Membiarkan
(Avoidant
/
Neglect):
Perilaku
ini
merefleksikan ketidakpedulian terhadap kepentingan pihak manapun. Blake dkk. (1964) menggambarkan perilaku ini sebagai contoh penarikan diri, isolasi, ketidakpedulian, tidak mau tahu, atau keyakinan terhadap takdir / nasib.
b. Sasaran Strategis (Strategic Objectives), yaitu penilaian akan kekuatan dan komitmen dari pihak yang lainnya akan mempengaruhi apa yang bisa
29 Universitas Sumatera Utara
diharapkan suatu pihak melalui dimensi distributif (Donelly, 1971). Dimensi distributif yaitu proporsi kepuasan yang akan diterima kedua pihak. Sebagai contoh, jika suatu pihak menginginkan dominasi tetapi menemui pihak lawan yang kuat, maka ia kemungkinan akan memutuskan untuk
berkompromi
mengkonseptualisasikan
dalam masalah
beberapa sebagai
hal.
Jika
sesuatu
yang
suatu tidak
pihak dapat
dipecahkan, maka ia hampir dipastikan akan tetap tidak memiliki keputusan. Jika suatu pihak menginginkan integrasi dan memiliki konseptualisasi masalah yang tidak jelas, maka ia akan mencari solusi integratif, dan demikian seterusnya.
c. Perilaku Taktik (Tactical Behavior), yaitu terdiri dari Taktik Kompetitif (Competitive Tactics) dan Taktik Kolaboratif (Colaborative Tactics). Taktik Kompetitif ini terbagi ke dalam enam taktik berdasarkan kekuatan yang digunakan menurut French dan Raven (1959): 1. Kekuatan Informasi (Information Power): Kekuatan ini digunakan secara kompetitif oleh suatu pihak dengan melengkapi informasi untuk meyakinkan pihak lainnya bahwa alternatif yang dinginkan oleh pihak tersebut adalah yang harus dipilih. 2. Kekuatan Acuan (Referent Power): Suatu pihak menggunakan kekuatan ini dengan memanfaatkan ketertarikan pihak lain terhadap pihak tersebut.
30 Universitas Sumatera Utara
3. Kekuatan Legitimasi (Legitimate Power): Kekuatan ini tergantung pada aturan-aturan yang disepakati atau prinsip-prinsip perilaku yang seharusnya, biasanya terjadi dalam organisasi formal. 4. Kekuatan Ahli (Expert Power): Kekuatan ini digunakan ketika suatu pihak menggunakan pengetahuan superior yang bisa membuat pihak lainnya mengikuti pihak tersebut. 5. Kekuatan Paksaan (Coercive Power): Kekuatan ini berdasarkan kepada ancaman hukuman, seperti serangan, mogok, sabotase, penarikan diri dari kerjasama, dan lain-lain dari suatu pihak kepada pihak yang lain. 6. Kekuatan Imbalan (Reward Power): Kekuatan ini digunakan oleh suatu pihak dengan menjanjikan imbalan-imbalan jika pihak yang lain menyetujui pihaknya. Sedangkan Taktik Kolaboratif atau yang disebut juga taktik ”Pemecahan Masalah” (Problem Solving) oleh Walton dan McKersie (1965) dirancang untuk meningkatkan hasil bersama dengan mencari alternatifalternatif yang bisa memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Walten dan McKersie (1965) mengidentifikasikan tiga langkah dalam proses pemecahan masalah ini: (1) Mengidentifikasi kepentingan esensial atau mendasar dari kedua belah pihak; (2) Mencari alternatif-alternatif dan mengidentifikasi konsekuensinya bagi kedua belah pihak; dan (3) Mengidentifikasi alternatif yang paling memuaskan kedua belah pihak.
31 Universitas Sumatera Utara
4. Interaksi (Interaction) Tahap ke empat dari model proses melibatkan adanya interaksi. Perilaku suatu pihak dipandang sebagai pemicu sederet perilaku dari kedua belah pihak. Dengan menimbang kejadian-kejadian dari sudut pandang suatu pihak, perilaku dari pihak yang lain dipandang mempengaruhi perilaku dari pihak pertama dalam sejumlah cara. Terdapat dua reaksi yang bisa muncul dalam tahap ini terhadap konflik, yaitu: a. Peningkatan (Escalation), yaitu peningkatan dalam level konflik. Peningkatan ini dapat meningkatkan jumlah atau ukuran masalah-masalah yang dipertentangkan,
meningkatkan
permusuhan
di
antara
pihak-pihak,
meningkatkan persaingan, meningkatkan usaha pencapaian permintaan atau sasaran secara ekstrim, meningkatkan penggunaan taktik paksaan (coercive tactics), dan adanya penurunan kepercayaan (trust). b. Penurunan (De-Escalation), yaitu penurunan dalam tingkat konflik yang terjadi.
5. Hasil (Outcome) Tahap terakhir dari model proses adalah hasil dari episode konflik. Ketika interaksi di antara pihak-pihak berakhir, beberapa hasil telah muncul, baik apakah itu berupa kesepakatan eksplisit atau kesepakatan diam (tacit agreement) untuk membiarkan masalah tersebut hilang. Sebagai tambahan, Luthans (2005) mengatakan bahwa dalam tahap ini kita memutuskan bagaimana kita akan memberi respon terhadap cara konflik yang
32 Universitas Sumatera Utara
telah diatasi hingga pada tahap ini. Sebagai contoh, jika Anda merasa tidak puas dengan respon atasan Anda terhadap rating penilaian Anda, maka Anda mungkin memilih upaya yang lebih jauh lagi, yaitu membiarkannya, atau dengan meningkatkan konflik.
II.A.4.b. Dimensi dan Aspek-Aspek Orientasi Perilaku Mengatasi Konflik Interpersonal Dari Model Proses konflik Dyadic di atas, diketahui bahwa orientasi perilaku mengatasi konflik interpersonal didasari dari dimensi antara keinginan individu untuk memenuhi kepentingannya sendiri dengan keinginan individu untuk memenuhi kepentingan individu lainnya. Menurut Blake dkk., (1964) terdapat lima orientasi yang bisa ditempuh individu berikut aspeknya di bawah ini: a. Akomodatif / Berdamai (Accomodative / Appeasement), yaitu memenuhi kepentingan pihak lain tanpa memenuhi kepentingan pihaknya sendiri. b. Berbagi / Berkompromi (Sharing / Compromise), yaitu memenuhi kepentingan kedua pihak secara moderat. c. Kolaborasi / Intergrasi (Collaborative / Integration), yaitu memenuhi kepentingan kedua belah pihak secara penuh. d. Menghindar / Membiarkan (Avoidant / Neglect), yaitu tidak memenuhi kepentingan pihak manapun. e. Kompetitif / Mendominasi (Competitive / Domination), yaitu memenuhi kepentingan pihaknya sendiri tanpa memenuhi kepentingan pihak lain.
33 Universitas Sumatera Utara
II.A.5. Sumber-Sumber Penyebab Konflik Interpersonal Ada banyak hal yang menjadi penyebab konflik dan dapat berupa konflik tersembunyi (hidden conflicts) maupun konflik permukaan (surface conflicts). Konflik tersembunyi adalah penyebab konflik yang sulit diidentifikasi dan biasanya bersifat emosional, seperti perasaan sakit, rasa marah, rasa malu, ketidakpercayaan, atau kecemburuan. Sedangkan konflik permukaan adalah penyebab konflik yang lebih mudah untuk dikenali dan ditangani. Berikut ini adalah konflik permukaan yang menjadi sumber penyebab konflik, termasuk konflik interpersonal (dalam Luthans, 2005): a. Kompetisi Terhadap Sumber Daya (Competition for Resources) Pada tingkat personal, sumber daya dapat dapat dikenali sebagai sesuatu yang tidak dapat dilihat, seperti perhatian, cinta, pengenalan, penghargaan, bahkan penerimaan. Sebagai contoh, saat kita berkompetisi untuk mendapatkan cinta atau perhatian dari seseorang, konflik dapat muncul dalam bentuk hubungan personal, contohnya yaitu persaingan antar saudara (sibling rivalry). Dalam organisasi, sumber daya dikenali sebagai sesuatu yang dapat dilihat, seperti gaji, promosi, dana kantor, ruang kantor, perlengkapan, bahkan anggota. Menurut E.R. Smith & Mackie (1995), konflik ini akan muncul pada saat sumber daya tidak mencukupi untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan setiap orang atau setiap kelompok.
34 Universitas Sumatera Utara
b. Saling Ketergantungan Tugas (Task Interdependence) Saling ketergantungan tugas adalah ketergantungan dari orang-orang atau kelompok-kelompok yang satu dengan yang lainnya untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan. Saat satu atau lebih individu memandang bahwa seseorang tidak melakukan bagian dari tugasnya, maka konflik dapat muncul. Sebagai contoh, manajer produksi yang memiliki anak buah yang terlalu lama dalam menghasilkan suatu produk membuat akivitas penjualan oleh bagian pemasaran menjadi terkendala, hal ini kemudian dapat menyebabkan konflik di antara manajer produksi dan manajer pemasaran tersebut.
c. Ketidakjelasan Peraturan (Jurisdictional Ambiguity) Ketidakjelasan peraturan muncul ketika batas-batas geografis atau garisgaris otoritas tidak jelas. Istilah tersebut mencakup ketidakjelasan peran (role ambiguity) yang muncul ketika individu tidak mengetahui atau bingung mengenai apa yang diharapkan dari diri mereka. Ketidakjelasan peraturan sering muncul dalam situasi dan hubungan baru yang dihasilkan dari perubahan organisasional. Sebagai contoh, suatu perusahaan memutuskan mengganti seluruh mesin ketiknya dengan komputer. Sebelumnya, bagian pengolahan data memiliki wewenang dalam melakukan pemilihan dan pembelian perlengkapan dalam pengolahan data, dan bagian administrasi juga diberikan wewenang yang sama dalam pemilihan dan pembelian perlengkapan administrasi. Konflik muncul ketika komputer yang dianggap sebagai alat pengolah data oleh bagian pengolahan data juga digunakan oleh bagian adminstrasi yang
35 Universitas Sumatera Utara
menganggapnya sebagai perlengkapan administrasi. Kedua pihak ini kemudian mengalami konflik dalam menentukan siapa yang memiliki wewenang atas komputer-komputer tersebut.
d. Penghalang-Penghalang Komunikasi (Communication Barriers) Penghalang-penghalang pada komunikasi interpersonal dapat berbentuk: (1) Secara fisik, contohnya seperti lokasi kantor dari pekerjaan yang sama yang terpisah jaraknya, atau hubungan cinta jarak jauh; (2) Secara kebudayaan, yaitu seperti perbedaan bahasa, logat yang sulit untuk dimengerti, atau adat-istiadat yang berbeda; serta (3) Secara psikologis, yaitu seperti perbedaan kepribadian.
e. Kepribadian (Personality) Konflik akan muncul di antara dua orang dengan perbedaan kepribadian yang signifikan, dan orang-orang dengan kepribadian sulit (difficult people) juga meningkatkan kemungkinan munculnya konflik. Kepribadian sulit adalah orangorang yang dengan sangat parah menggunakan perilaku-perilaku interpersonal yang bermasalah dengan cara berteriak, mengeluh, bertindak kasar untuk mengekspresikan diri mereka, untuk memanipulasi perilaku orang lain, dan / atau untuk membuat orang lain merasa inferior. Orang-orang dengan kepribadian sulit ini biasanya menggunakan dua tipe perilaku: secara verbal agresif atau pasif dan / atau nonverbal (Raynes, 1997). Kedua tipe ini mencoba mengontrol situasi yang menurut Brinkman dan Kirschner (1994) sebagai kebutuhan abnormal individu yang tinggi akan kontrol,
36 Universitas Sumatera Utara
kesempurnaan, penerimaan dan afeksi yang menjadi dasar pembentuk kepribadian sulit ini.
II.A.6. Situasi-Situasi dalam Penggunaan Orientasi Perilaku Mengatasi Konflik Interpersonal Thomas
(1977)
mengemukakan
situasi-situasi
yang
tepat
dalam
menggunakan lima strategi gaya interpersonal (dalam Osland, Rubin, & Kolb, 2001): a. Kompetisi: 1. Digunakan saat tindakan pengambilan keputusan yang cepat menjadi hal yang penting (contoh: dalam keadaan darurat). 2. Digunakan dalam masalah-masalah penting, dimana tindakan-tindakan yang tidak seperti biasanya harus dilakukan (contoh: adanya pemotongan biaya produksi). 3. Digunakan dalam masalah-masalah penting demi keuntungan perusahaan saat Anda mengetahui bahwa apa yang Anda lakukan adalah benar. 4. Digunakan saat melawan orang-orang yang mengambil keuntungan dari perilaku yang sebenarnya tidak membutuhkan persaingan.
b. Menghindar: 1. Digunakan saat suatu permasalahan merupakan hal yang biasa-biasa saja, atau saat ada masalah-masalah lain yang lebih mendesak.
37 Universitas Sumatera Utara
2. Digunakan saat Anda memandang bahwa tidak terdapat kesempatan dalam memuaskan kepentingan Anda. 3. Digunakan saat adanya potensi yang membawa masalah lebih banyak daripada keuntungan yang didapat dari resolusi. 4. Digunakan untuk membuat orang-orang menenangkan diri sambil menghimpun kembali pandangan / perpsektif. 5. Digunakan
saat
pengumpulan
informasi
menjadi
penentu
untuk
mengambil keputusan dengan secepatnya. 6. Digunakan saat pihak lain ada yang bisa menyelesaikan konflik secara lebih efektif. 7. Digunakan saat permasalahan kelihatannya memiliki efek atau memiliki gejala-gejala dari permasalahan baru lainnya.
c. Akomodatif: 1. Digunakan saat Anda menemukan bahwa diri Anda salah - untuk membiarkan individu lain dengan posisi yang lebih baik untuk didengar, untuk belajar, dan untuk menunjukkan kebaikan / kepedulian Anda. 2. Digunakan saat permasalahan merupakan hal yang lebih penting bagi individu lain daripada untuk diri sendiri - untuk memuaskan individu lain dan mendapatkan kerja sama. 3. Untuk menunjukkan sumbangsih secara sosial bagi permasalahan berikutnya.
38 Universitas Sumatera Utara
4. Untuk meminimalkan kerugian saat Anda mengalami ketidakcocokan dan mengalami kekalahan. 5. Saat keselarasan dan stabiltas merupakan hal yang sangat diperlukan. 6. Untuk membiarkan pihak yang lebih lemah berkembang dengan cara belajar dari kesalahan.-kesalahan.
d. Kompromi: 1. Digunakan saat tujuan-tujuan merupakan hal yang penting, tetapi tidak sebanding atau berpotensi akan membawa masalah dengan memakai caracara yang lebih mendominasi. 2. Saat pihak lawan dengan kekuatan yang setara memiliki keseriusan untuk mendapatkan tujuan eksklusif secara bersama-sama. 3. Untuk
mencapai
keadaan
yang
sementara
sebelum
sampai
ke
permasalahan yang lebih kompleks. 4. Untuk mendapatkan solusi yang lebih tepat di bawah tekanan waktu. 5. Sebagai bentuk kesiapan saat cara kolaborasi atau kompetisi tidak berhasil.
e. Kolaborasi: 1. Untuk menemukan sebuah solusi bersama saat kepentingan kedua pihak merupakan hal yang terlalu penting apabila dikompromikan. 2. Digunakan saat tujuan Anda adalah untuk belajar. 3. Untuk
menggabungkan
ide-ide
dari
orang-orang
yang
memiliki
pandangan-pandangan yang berbeda.
39 Universitas Sumatera Utara
4. Untuk
mendapatkan
komitmen
dengan
menyatukan
kepentingan-
kepentingan menjadi suatu perjanjian / kesepakatan.
II.A.7. Efek dari Konflik Interpersonal Scholtes, Joiner, & Streiber (1996) berpendapat bahwa konflik bisa bersifat destruktif maupun produktif, bahkan terdapat hubungan kurvalinear antara konflik dan perilaku yang optimal. Hubungan kurvalinear ini menurut Rahim, Garret, & Buntzman (1992) yaitu jika konflik terlalu sedikit maka individu dan organisasi menjadi kaku, tidak peduli, dan berkeinginan untuk menerima status quo. Bila terlalu banyak konflik maka bisa menyebabkan terputusnya hubungan, ketidakpercayaan dan unjuk kerja yang buruk (dalam Luthans, 2005). French, dkk. (1985) memberikan efek-efek positif dan negatif dari konflik interpersonal sebagai berikut: a. Efek Positif (Fungsional): 1. Menjadi dasar bagi permasalahan yang dapat mengarahkan pada pemecahan masalah. 2. Dapat memperbaharui dan memodifikasi norma-norma yang membantu menciptakan batasan-batasan atau aturan-aturan. 3. Dapat merangsang minat dan ketertarikan.
b. Efek Negatif (Disfungsional): 1. Menimbulkan distorsi dalam persepsi. 2. Menimbulkan distorsi dalam komunikasi.
40 Universitas Sumatera Utara
3. Terjadi penurunan dalam hubungan. 4. Adanya informasi positif / favorabel mengenai orang lain yang ditekan. 5. Menyebabkan adanya usaha-usaha dalam memperdayai orang lain. 6. Munculnya ketidakpercayaan yang terbawa pada setting lainnya. 7. Menyebabkan emosi kemarahan. 8. Menyebabkan stres yang berlebihan. 9. Menyebabkan penyakit fisik.
II.B. Sales Asuransi II.B.1. Jenis-Jenis Sales Menurut Sutojo (2003), consumer salesmanship dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: a. Industrial Salesmanship, yaitu sales yang menjual produk mereka kepada perusahaan industri dan komersil, dimana produk yang mereka jual dikategorikan sebagai produk industri, contoh: tembakau, bahan baku plastik, suku cadang mesin, dll. b. Merchant
Salesmanship,
yaitu
sales
yang
menjual
produk
perusahaannya kepada distributor, selanjutnya distributor menjual kembali kepada distributor lain atau kepada pembeli akhir, contoh: sales obat-obatan, sales percetakan / penerbitan, sales periklanan, dll. c. Consumer Salesmanship, yaitu sales yang memperdagangkan barang atau jasa kepada pembeli perorangan, yang mempergunakan barang
41 Universitas Sumatera Utara
atau jasa itu untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka. Consumer salesmanship terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) Retail (counter) Sales Executives, dimana sales jenis ini bekerja di tingkat pedagang eceran, seperti toko pakaian, toserba, toko buku, dll. Perbedaan khusus retail salesmanship dengan salesmanship yang lain adalah dalam retail salesmanship
pembeli
mendatangi
produsen
atau
pedagang,
sedangkan
salesmanship lainnya produsen atau pedagang (yang diwakili oleh sales) yang mendatangi pembeli. (2) Door-to-door sales executives, yaitu tipe consumer salesmanship yang mengunjungi calon pembeli dari rumah ke rumah tanpa perjanjian sebelumnya. Jenis produk yang ditawarkan relatif tidak mahal, seperti mesin penghisap debu, voucher berlangganan makan di rumah makan, dll. (3) Route sales executives, dimana tugas utamanya adalah mengirimkan barang-barang pesanan (misalnya susu segar) kepada para pelanggan tetap, sekaligus menjual produk lain (misalnya keju, es krim, mentega) yang diproduksi produsen yang sama. Tujuan route sales executives adalah memberi kesempatan kepada para pelanggan untuk berbelanja produk lain, dengan demikian mereka juga mendapat kesempatan menjual produk lebih banyak, disamping itu mereka juga mencari pelanggan baru pada jalur perjalanan yang mereka lewati sehari-hari. (4) Speciality sales executives, yaitu jenis consumer salesmanship yang tugasnya diharuskan bepergian terus menerus dari satu tempat ke tempat lain menemui beraneka ragam calon pembeli, dimana mereka diharuskan menguasai
42 Universitas Sumatera Utara
produk yang mereka perdagangkan secara rinci. Speciality sales executives dapat bekerja untuk produsen barang yang mereka perdagangkan, perusahaan jasa seperti asuransi jiwa atau bank umum ,atau perusahaan pemegang franchise produk, misalnya majalah eksklusif luar negeri. Sales asuransi sendiri termasuk ke dalam jenis salesmanship ini.
II.C. Gambaran Orientasi Perilaku Mengatasi Konflik Interpersonal pada Sales Asuransi di Kota Medan Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa orientasi mengatasi konflik interpersonal adalah perilaku yang bertujuan untuk mengurangi hasil-hasil negatif dan meningkatkan hasil-hasil fungsional antara dua individu / lebih yang memiliki persepsi atas situasi atau perilaku bahwa pihak lainnya akan menghalangi atau mengancam individu tersebut mencapai tujuannya yang dilakukan dengan memodifikasi variabel atau faktor dari penyebab konflik. Di dalam mengatasi konflik interpersonal ini kebanyakan orang akan memiliki gaya tertentu yang mereka gunakan saat menghadapinya (Wilmot & Hocker, dalam Aamodt, 2007). Blake, dkk. (1964) menyebutkan ada lima orientasi yang bisa ditempuh individu untuk mengatasi konflik interpersonal ini, yaitu: (1) Bersaing (Competitive); (2) Bekerja sama (Collaborative); (3) Menghindar (Avoidant); (4) Memberikan (Accomodative); dan (5) Berbagi (Sharing) (dalam Dunnette, 1988).
43 Universitas Sumatera Utara
Adapun dimensi yang menjadi dasar dalam cara penanganan konflik interpersonal ini adalah: (1) Usaha dalam memenuhi kepentingan diri sendiri; dan (2) Usaha dalam memenuhi kepentingan orang lain (Rahim & Magner, dalam Weiten dkk., 2006). Winardi (2004) mengatakan bahwa salah satu sifat dari konflik interpersonal ini yaitu perlu diperhatikannya hasil-hasil bersama / kepentingan kedua belah pihak, maupun hasil-hasil individual / kepentingan masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik yang bersangkutan. Sementara itu, Henri Barki dan Jon Hartwick (2001) menemukan bahwa konflik interpersonal memiliki korelasi negatif dengan orientasi perilaku kolaboratif (problem-solving), serta memiliki korelasi positif dengan orientasi perilaku kompetitif (asserting) dan menghindar (avoiding). Selain itu, orientasi perilaku kolaboratif dikatakan memiliki efek positif, sedangkan orientasi perilaku kompetitif dan menghindar akan menghasilkan efek negatif pada kepuasan resolusi konflik (www.bebas.vlsm.org). Berdasarkan uraian-uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gambaran orientasi perilaku mengatasi konflik interpersonal merupakan cara individu dalam memenuhi kepentingannya sendiri dan kepentingan individu lainnya yang akan mempengaruhi tingkat kepuasan penyelesaian masalah konflik. Dengan demikian, untuk mengetahui bagaimana cara sales asuransi mengatasi konflik interpersonal tersebut harus dilihat dari orientasi perilakunya di dalam memenuhi kepentingannya sendiri dan orientasinya perilakunya di dalam memenuhi kepentingan individu lain.
44 Universitas Sumatera Utara