5
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Air Air adalah satu-satunya zat yang ada secara alami di bumi dalam tiga keadaan materi fisik: gas, cair, dan padat. Molekul air memiliki struktur sederhana: dua atom hidrogen (H2) terikat pada satu atom oksigen (O) (Shakhashiri, 2011). Air merupakan kebutuhan pokok manusia, tanpa air manusia tak akan mampu hidup dan bertahan hidup.
H2 O
Gambar 2.1 Air murni (Sumber gambar : Shakhashiri, 2011)
Air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum menurut SNI 6773 (BSN, 2008). Air dapat dikategorikan sesuai peruntukanya, yang tertuang dalam PP No 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran. Dalam payung hukum ini secara kongkrit mengatur kriteria mutu air berdasarkan kelas (kelas I, II, III dan IV). a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi, pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
6
2.2 Pencemaran Air Menurut Yuliastri (2010) pencemaran air mengacu pada PP tentang
Pengendalian
No. 20/1990
Pencemaran Air, adapun definisinya : “Pencemaran Air
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya”. Berdasarkan bunyi peraturan diatas, adapun penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain yang masuk ke dalam air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar, atau sering disebut dengan istilah unsur pencemar. Pencemar tersebut dapat berupa buangan yang bersifat rutin, misalnya buangan limbah cair rumah tangga, pabrik dan lainnya sehinga dapat merusak kualitas air. Dalam PP no 82 (2001) tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran mengatur kriteria mutu air, sedangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 (2010) secara detail mengatur tentang Persyaratan Air Minum seperti: a. Parameter Fisik Parameter fisik yang harus dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna, sementara temperatur sebaiknya sejuk dan tidak panas. Penyimpangan terhadap parameter ini menunjukkan bahwa air tersebut
telah terkontaminasi
bahan lain
yang mungkin berbahaya
bagi
kesehatan manusia. b. Parameter Kimia Air haruslah bebas dari logam berat yang berbahaya seperti besi (Fe), seng (Zn), air raksa (Hg), dan mangan (Mn). Air dengan kualitas yang baik memiliki pH 6-8 dan tidak mengandung zat-zat kimia pencemar yang kadarnya melebihi ambang batas yang diizinkan, umumnya air yang terkontaminasi bisa diketahui dari warna dan baunya. c. Parameter Mikrobiologi Dalam parameter mikrobiologi hanya hanya dicantumkan eschericia coli dan total koliform, bila tercemar eschericia coli berarti air tersebut tercemar tinja tentu saja tinja dari penderita sangat potensial menularkan penyakit seperti tifus, sementara
7
jika tercemar total koliform, air itu dapat mengakibatkan penyakit-penyakit saluran pernapasan. Sebagai indikator pencemaran koliform pada setiap 100 ml sampel air yang dinyatakan dengan 0 Colony forming units (cfu)/100 ml sampel. Penelitian yang dilakukan oleh Gwimbi tahun 2011 di desa Manonyane Maseru, Lesotho diketahui 97% sumber air bersih telah terkontaminasi bakteri koliform dan 71% diantaranya terkontaminasi oleh bakteri Escherichia coli (Sarah RE, 2013). Eschericia coli adalah salah satu bakteri patogen yang tergolong coliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan sehingga Eschericia coli digunakan sebagai bakteri indikator pencemaran air yang berasal dari kotoran hewan berdarah panas, hal ini dikerenakan jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain sangat dekat, jarak antara pembuangan limbah rumah tangga dan septic tank dengan sumur berdekatan sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran oleh Eschericia coli (I.A.M.Trisnawulan, 2007). Berdasarkan klasifikasi dari WHO, kadar koliform pada air yang baik atau Conformity adalah 0 cfu/100 ml sampel. Sedangkan kadar koliform 1-10 cfu/100ml sampel dinyatakan sebagai air yang low risk. Sedangkan air dengan intermediate risk merupakan air yang mengandung koliform 10-100 cfu/100 ml sampel (Sarah RE, 2013). Dapat dikatakan air yang aman adalah air yang sesuai dengan kriteria bagi peruntukan air tersebut. Misalnya kriteria air yang dapat diminum secara langsung (air kualitas A) mempunyai kriteria yang berbeda dengan air yang dapat digunakan untuk air baku air minum (kualitas B) atau air kualitas C untuk keperluan perikanan dan peternakan dan air kualitas D untuk keperluan pertanian serta usaha perkotaan, industri dan pembangkit tenaga air (Yuliastri, 2010). 2.3 Teknik Penjernihan Air Dalam pengolahan air baku tidak lepas dari teknik-teknik penjernihan, menurut Sri Aprilia (2011) teknik pengolahan air dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu teknologi konvensional dan non konvensional (teknolgi membran), adapun beberapa teknik penjernihan secara konvensional yang sudah diterapkan di indonesia menurut Aliya (2010) adalah: 1. Penjernihan air menggunakan arang sekam padi.
8
2. Penjernihan air menggunakan biji Moringa oleifera. 3. Penjernihan air menggunakan penyaringan arang tempurung kelapa. 4. Penjernihan air menggunakan bahan kimia. 5. Penjernihan air menggunakan jempeng. 6. Pengolahan air gambut untuk daerah rawa pasang surut. Teknologi konvensional yang umunya digunakan dalam pengolahan air yang mengandung senyawa organik alam yang tinggi meliputi koagulasi, flokulasi dan sedimentasi. Metode ini dapat menghasilkan air bersih mendekati kualitas air yang ditetapkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Namun, kadar zat organik air bersih yang dihasilkan dengan metode ini masih lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Teknologi non konvensional (membran) merupakan teknologi yang relatif baru dalam pengolahan air. Namun demikian teknologi membran terus mengalami kemajuan dalam penggunaannya. Salah satu keunggulan teknologi ini adalah kemurnian produk yang dihasilkan jauh diatas metode konvensional. Teknologi ini dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam proses pengolahan air secara konvensional, karena membran merupakan salah satu teknologi yang sangat handal dalam pengolahan air (Sri Aprilia, 2011). 2.3.1 Penjernihan Air Menggunakan Biji Moringa oleifera Penjernihan air dengan biji Moringa oleifera dapat dikatakan sebagai penjernihan air dengan bahan alami. Menurut penelitian, biji Moringa oleifera dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah cair yang berasal dari pabrik tekstil. Hasil Pengolahannya, yaitu degradasi warna mencapai 98%, Penurunan Biochemical oxygen demand (BOD) 62% dan kandungan lumpur 70 ml per liter serbuk Moringa oleifera juga mampu membersihkan 90% dari total bakteri Eschericia coli (E.coli)/liter air sungai dalam 20 menit (Aliya, 2010). Menurut (Yuliastri, 2010) kulit dari biji Moringa oleifera mengandung molekul protein larut air dengan berat molekul yang rendah. Pada pengujian elektroforesis
terhadap
protein
yang
terkandung
dalam
Moringa
oleifera
menunjukkan kandungan protein ini 79.3% bersifat kationik dan 20.7% bersifat anionik, protein ini akan bermuatan positif jika dilarutkan dalam air. Fungsi
9
protein akan bekerja seperti bahan sintetik yang bermuatan positif dan dapat digunakan sebagai koagulan polimer sintetik. Ketika Moringa oleifera yang sudah diolah (serbuk) dimasukkan kedalam air kotor, protein yang terdapat dalam Moringa oleifera akan mengikat partikulat-partikulat yang bermuatan negatif penyebab kekeruhan, pada kondisi kecepatan pengadukan yang tepat, partikulatpartikulat bermuatan negatif yang sudah terikat, ukurannya akan membesar dan membentuk flok. Flok ini bisa diendapkan dengan gravitasi atau dihilangkan dengan filtrasi, seperti koagulan lainnya, kemampuan biji kelor (Moringa oleifera) untuk menjernihkan air dapat bervariasi, tergantung dari keadaan air yang akan diproses.
a.
b.
Gambar 2.2 Moringa oleifera (a) Pohon, (b) Biji
Sebagai bahan penjernih air, tanaman kelor ini bermanfaat dan berkhasiat sebagai obat tradisional, karena mengandung beberapa zat kimia
untuk
menyembuhkan penyakit. Daun kelor mengandung alkaloid moringin, moringinan, dan pterigospermin. Kemudian gomnya mengandung arabinosa, galaktan, asam glukonat, dan ramnosa, sedangkan bijinya mengandung asam palmitat, strearat, linoleat, oleat, lignoserat.
10
a. C18H34O
b. (CH3(CH2)14COOH)
c. C6H12O7
d. C18H32O2 Gambar 2.3 Molekul asam pada gom dan biji moringa oleifera (a) Asam Oleat, (b) Asam Palmitat, (c) Asam Glukonat, (d) Asam Linoleat (Sumber gambar: Yuliastri, 2010)
Pada biji Moringa oleifera juga mengandung salah satu zat aktif
4α L-
ramnonosiloksi-benzil-isotiosianat (4-(α-L-rhamnopyranosyloxy)benzyl isothiocyanate) yang memiiki aktivitas anti mikroba (Bhoomika R Goyal, 2007) dan (Yuliastri, 2010). Sehingga pengaruh penggunaan biji Moringa oleifera dapat digunakan untuk membunuh bakteri Escherichia coli dan Coliform dalam proses pengolahan air.
C14H16NO5S Gambar 2.4 4α L-ramnonosiloksi-benzil-isotiosianat (Sumber gambar: Bhoomika R Goyal, 2007 dan Yuliastri, 2010)
11
Penggunaan Moringa oleifera memiliki beberapa kekurangan, seperti perlunya proses pemurnian lebih lanjut pada air yang tercemar berat, hanya untuk skala produksi kecil, persediaan biji kelor terbatas dan sebagai koagulan sifat penggunaannya hanya sekali pakai (Aliya, 2010). 2.3.2 Penjernihan Air Menggunakan Karbon Aktif Arang Tempurung Kelapa. Karbon aktif merupakan padatan berpori yang mengandung 85% - 95% karbon, bahan-bahan yang mengandung unsur karbon dapat menghasilkan karbon aktif, salah satunya karbon aktif dari tempurung kelapa (Rosita Idrus, 2013). Karbon aktif tempurung kelapa merupakan salah satu solusi dalam menjernihkan air, penggunaan karbon aktif dari tempurung kelapa sudah banyak dikembangkan di dunia karena kemampuan dan kapasitasnya dalam mengikat zat pencemar. Karbon aktif dari tempurung kelapa dianggap unggul dibandingan dengan bahan karbon lain karena struktur makropori yang kecil membuat jenis karbon ini lebih efektif untuk adsorpsi gas / uap dan untuk menghilangkan warna dan bau senyawa (Vachhani, 2011). Berikut merupakan perbandingan unsur karbon aktif dari tempurung kelapa dengan karbon sekam padi menurut hasil penelitian (Das, 2014) : Tabel 2.1 Hasil penelitian dengan proximate analysis (Sumber : Das, 2014)
Prosentase (%)
Tempurung Kelapa
Sekam Padi
Kadar air
2,22
1,07
Kadar zat Menguap
7,358
14,62
1,5
6,25
88,922
78,06
Kadar abu Kadar karbon aktif
Kadar air
Kadar zat menguap Kadar abu Kadar karbon aktif a.
b. .
Gambar 2.5 Diagram pie (a) karbon aktif tempurung kelapa (b) karbon aktif sekam padi (Sumber gambar: Das, 2014)
12
Nilai terbaik dari karbon aktif diperoleh dari tempurung kelapa dan buah aprikot (Ansari, 2009). Karbon aktif biasanya dihasilkan oleh dua proses dasar: (i) Metode aktivasi fisik atau gas, dan (ii) Aktivasi kimia. Dalam metode aktivasi dengan gas, kelembaban dari bahan baku kurang dari 25%, proses karbonisasi pertama pada suhu 400-500 oC untuk menghilangkan sebagian besar zat uap dan kemudian karbon mengalami oksidasi gas, biasanya suhu uap berkisar pada 8001000 oC. Karbon dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi CO2, sehingga udara harus dikeluarkan atau diatur selama proses karbonisasi dan pengaktifkan. Adapun uap dan karbon dioksida bertindak sebagai agen pengoksidasi ringan pada suhu 8001000 oC. Cx (H2O)y→C (s) + y H2O Carbonization C(s)+ 2H2O →CO2 + 2 H2 Steam activation C(s)+CO2 → 2 CO Activation by CO2 a.
b .
Gambar 2.6 Gambaran fisik (a) Hasil karbonisasi (b) Hasil aktivasi arang tempurung kelapa (Sumber gambar: Rosita Idrus, 2013)
Karakteristik serap karbon aktif tempurung kelapa terhadap pencemar merupakan indikator obyektif dalam pengolahan air limbah. Penetapan distribusi dari ukuran pori karbon aktif merupakan cara yang sangat tepat dalam memahami karakteristik kinerja karbon. The International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) menentukan distribusi ukuran pori sebagai berikut: a. Micropori
r < 1 nanometer
b. Mesopori
r = 1-25 nanometer
c. Makropori
r > 25 nanometer
Makropori merupakan pori awal masuknya molekul organik (pencemar) ke mesopori, kemudian mesopori meneruskan molekul organik (pencemar) menuju mikropori lalu mikropori mengadsorpsi pencemar (Vachhani, 2011).
13
Gambar 2.7 Ilustrasi cara kerja karbon aktif terhadap pencemar (Sumber gambar http://www.capitalcarbon.in/process.html)
Sebagai adsorben zat organik, karbon aktif dihasilkan dari tempurung kelapa merupakan adsorben yang baik untuk menghilangkan timah, besi, tembaga dan seng ion. Namun hasil absorpsi sangat tergantung waktu, tergantung jumlah adsorben, tergantung pH, dan tergantung kecepatan pengadukan (Bernard E., 2013). Serta penggunaan senyawa karbon yang terdapat dalam karbon aktif termpurung kelapa sangat berguna untuk proses penjernihan material cair, baik material organik maupun anorganik. Hasil yang diperoleh terjadi penurunan pH, angka kesadahan, kandungan NaCl, BOD, dan COD pada air sumur (Suhartana, 2006) 2.3.3 Penjernihan Air Menggunakan Teknologi Membran Peneliti saat ini telah mengembangan teknologi membran dalam pengolahan air limbah, membran dapat digunakan sebagai penghalang semi-permeabel untuk pemisah partikel dari cairan. Seperti pengembangan membran ultrafiltrasi serat berongga (hollow fibre) yang dibuat dari polimer / larutan cairan ionik dalam pengolahan air (Dingyu, 2012).
a.
b. Gambar 2.8 Membran (a) lembaran dan (b) hollow fibre (Sumber gambar: Dingyu, 2012)
14
2.4. Membran Membran sudah diproduksi secara komersial di Jerman oleh Sartorius diawal 1920-an, namun penerapan membran pada saat itu masih bersifat terbatas yaitu hanya pada laboratorium. Sebagian besar membran yang tersedia saat ini berpori atau terdiri dari lapisan atas yang padat (film) pada struktur berpori (porous). Produksi struktur membran dengan pori ukuran tertentu menggunakan beberapa teknik dengan prinsip yang relatif sederhana, namun cukup rumit (Peinemann, 2006).
Gambar 2.9 Membran menurut morfologi. (Sumber gambar : Peinemaan, 2006)
Membran padat (dense) jarang digunakan dalam proses pemisahan karena fluksnya rendah yang disebabkan karena ukuran membran relatif tebal , tetapi sifat khusus dari polimer akan menentukan kinerja membran dan karakteristik pemisahan. Membran padat banyak digunakan di laboratorium untuk pemisahan gas, nanofiltrasi, dan reverse osmosis (Bakhtiar, 2011). Menurut Peinemaan (2006) membran polimer padat homogen biasanya tersusun dari ekstrusi lelehan polimer, akan tetapi, membran padat hanya memiliki keunggulan yang lebih praktis ketika dibuat dari polimer yang sangat permeabel seperti silikon. Membran komposit tersusun dari dua lapisan dengan fungsi pemisahan yang berbeda dan bahan membran yang berbeda. Membran komposit bersifat anistropik karena memiliki sifat kimia atau struktur heterogen secara fisik. Membran komposit biasanya memiliki lapisan permukaan sangat tipis didukung pada substrat berpori tebal, lapisan tipis (film) pada kulit adalah lapisan selektif untuk melakukan
15
pemisahan, sedangkan substrat mikro merupakan bagian yang memiliki sifat mekanis yang baik (Bakhtiar, 2011). 2.4.1 Klasifikasi Membran Membran dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu, mikrofiltrasi (MF), ultrafiltrasi (UF), nanofiltrasi (NF) dan reverse osmosis (RO) (Dingyu, 2012). Menurut dimensi pori membran dan distribusi ukuran pori, membran dapat diklasifikasikan seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Proses pemisahan dan karakteristik membran
No
Proses Membran
Proses Pemisahan
Ukuran Pori /Ukuran Molekul (Å)
1
Mikro filtrasi
Size exclusion
500-50000
2
Ultra filtrasi
Size exclusion
10-1000
3
Nano filtrasi
Size exclusion
5 – 20
Electrical exclusion
4
Reverse Osmosis
Size exclusion
>5
Solution/diffusion
Peneliti dari Tionkok dalam thesisnya yang berjudul “Fabrication and Characterization
of
Ultrafiltration
and
Nanofiltration
Membranes”
juga
menerangkan bahwa membran dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran zat terlarut, seperti digambarkan pada gambar 2.10 (Kaiyu, 2005).
16
Gambar 2.10 Klasifikasi proses pemisahan berdasarkan ukuran zat terlarut (Sumber gambar: Kaiyu, 2005)
17
2.4.2 Material Membran Membran dapat terbentuk dari beberapa material dengan karakteristik tertentu sesuai dengan sifat dan kegunaan yang diinginkan. Mengingat aplikasi membran mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam berbagai bidang, berikut beberapa material penyusun dan morfologi membran : Bahan membran. Polimer organik, polimer anorganik, bahan keramik, logam, campuran matriks atau material komposit. Morfologi membran. Isotropik (simetris), integral anisotropik (asimetris), multilayer, lapisan tipis (film) atau campuran matriks komposit. Aplikasi membran dalam berbagai bidang seperti pada dunia kedokteran, sains teknologi dan bidang keilmuan lainnya membuka peluang untuk pengembangan membran dari material baru. Pada pengembangan saat ini membran cenderung lebih banyak disusun dari material polimer (Ulbricht, 2006), seperti tabel berikut : Tabel 2.3 Karakteristik membran polimer (Sumber : Ulbricht, 2006)
Morphology Polymers
Barrier type
Cross-section
Membrane process
Cellulose acetates
Nonporous
Anisotropic
GS, RO
Cellulose nitrate
Macroporous
Isotropic
MF
Polyethersulfones
Mesoporous
Anisotropic
UF
Polyphenylene oxide
Nonporous
Anisotropic
GS
Polyethylene
Macroporous
Isotropic
MF
Polypropylene
Macroporous
Isotropic
MF
Polysulfones
Nonporous
Anisotropic
GS
Polyvinyl alcohol,
Nonporous
Anisotropic/
PV (hydrophilic)
Crosslinked Polyvinylidenefluoride
Composite Mesoporous
Anisotropic
UF
18
2.5 Komposit Komposit adalah kombinasi dari dua macam bahan yang mempunyai sifat berbeda sehingga dapat membentuk material baru, salah satunya disebut dengan fase peguat baik dalam bentuk serat, lembaran, atau partikel. kemudian terkombinasi dengan bahan lain yang disebut fase matriks. Bahan penguat dan bahan matriks dapat berupa logam, keramik, atau polimer. Komposit biasanya tersusun dari fase serat atau partikel yang lebih kaku dan lebih kuat dari fase matriks sedangkan matriks merupakan media transfer/distribusi beban terhadap penguat. Matriks lebih ulet dibandingkan serat, selain itu matriks berfungsi untuk melindungi serat dari kerusakan lingkungan selama dan setelah proses komposit. Ketika dirancang dengan baik, material baru akan memiliki sifat material yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Aplikasi penggunaan komposit tidak hanya untuk struktural, tetapi juga untuk kelistrikan, termal, dan aplikasi lingkungan (Avtar Singh Saroya, 2011). Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa komposit yang dipilih untuk aplikasi tertentu: Low density Ketahanan mulur tinggi Kakuatan tarik tinggi meskipun pada temperatur tinggi Hight thougness Ketersediaan material penyusun komposit melimpah Menurut (Avtar Singh Saroya, 2011) klasifikasi komposit dapat dibedakan dibedakan dari: 1. Jenis material penguat komposit 2. Jenis bahan matrik komposit 2.5.1 Jenis Material Penguat Komposit a. Komposit Partikel Dalam pembuatan komposit partikel adapun jenis penguat yang biasa digunakan dapat berupa partikel sintetis, partikel alam dll. Partikel untuk komposit dapat berbentuk bulat, kubik, tetragonal, trombosit atau tidak teratur. Secara umum, partikel sangat tidak efektif dalam meningkatkan resistensi fracture tetapi dapat
19
meningkatkan ketahanan gesek/kekakuan komposit sampai batas tertentu. Penguat partikel banyak digunakan untuk memperbaiki sifat dari bahan matriks seperti memodifikasi konduktivitas termal dan listrik, mengurangi gesekan, meningkatkan ketahanan keausan/abrasi, meningkatkan kekerasan permukaan dan mengurangi penyusutan. b. Komposit Serat Serat ditandai dengan dimensi panjang yang jauh lebih besar dibandingkan dengan dimensi luas penampangnya. Dimensi dari serat penguat menentukan sifat dari komposit. Serat sangat efektif dalam meningkatkan ketahanan matriks, hal ini dikarenakan penguat serat memiliki dimensi panjang yang dapat menghambat timbulnya retakan awal penyebab kegagalan. Sehingga jenis dari serat penguat merupakan faktor utama penyebab kegagalan komposit, terutama jika serat penguat dikombinasikan dengan matriks yang sifatnya rapuh. Berikut 2 jenis serat yang digunakan sebagai penguat (Begum K, 2013): Tabel 2.4 Karakteristik serat (Sumber : Avtar Singh Saroya, 2011 : Begum K, 2013)
Jenis Serat
Karakteristik Keunggulan
Kekurangan
a. Serat Alami -
Nanas
-
Biodegradable
-
Pisang
-
Murah
-
Rami
-
Tersedia
-
Kapas
-
Kokon
-
Dll
-
Sifat
pembuatan
komposit terbatas dalam -
kuantitas banyak -
Teknik
mekanik
yang
baik
Kurang
efisien
untuk
proses
manufaktur
dalam
skala besar
b. Serat Sintetis -
Serat karbon
-
Polimer sintetis
-
aramid,
-
kevlar
-
Low density
sulit
-
dan lainnya
-
Efisien untuk proses -
Non biodegradable
manufaktur
properti
-
Kekuatan
dan -
kekakuan yang baik
skala besar
dalam
-
High cost Daur
ulang
yang
20
2.5.2 Jenis Bahan Matriks Komposit Komposit matriks logam /metal matrix composites (MMC) Komposit matriks keramik/ceramic matrix composites (CMC) Komposit matriks polimer/polymer matrix composites (PMC) 1. Komposit matriks logam Komposit ini menggunakan logam sebagai matriks, memiliki sifat kekuatan, ketahanan dan kekakuan yang baik. Matriks logam dapat menahan suhu tinggi dalam lingkungan korosif dibandingkan komposit polimer. titanium, aluminium dan magnesium adalah logam matriks populer saat ini, yang sangat berguna untuk aplikasi pesawat. Oleh karena sifatnya maka komposit matrik logam dapat memberikan alternatif pilihan untuk berbagai aplikasi seperti: ruang bakar nozzle (dalam roket, pesawat luar angkasa), perumahan, tabung, kabel, penukar panas, bagian struktural dan lainnya 2. Komposit matriks keramik: Salah satu tujuan utama dalam memproduksi komposit bermatriks keramik adalah untuk meningkatkan ketangguhan. Dengan penggunaan matriks keramik diharapkan dapat
meningkatkan ketangguhan (thougness) seiring kekuatan dan
kekakuan yang dimiliki komposit matriks keramik. 3. Komposit matriks polimer: Polimer merupakan bahan matriks yang sering digunakan. Secara umum sifat mekanik polimer sustainable untuk tujuan struktural. Khususnya terhadap kekuatan dan kekakuan yang rendah dibandingkan dengan logam dan keramik. Kekurangan ini dapat diatasi dengan penggunaan jenis penguat seperti serat dengan polimer. Pengolahan komposit bermatriks polimer tidak perlu dengan tekanan dan suhu yang tinggi, peralatan yang diperlukan untuk pembuatan komposit bermatriks polimer juga sederhana. Maka dari itu komposit bermatriks polimer dapat berkembang pesat dan cepat populer untuk aplikasi struktural. Dua jenis komposit polimer adalah: Polimer dengan penguat serat (FRP) Polimer dengan penguat partikel (PRP) a. Fiber reinforced polymer: Secara umum komposit ini terdiri dari serat dan matriks. Serat adalah penguat (filler) dan sumber utama kekuatan sementara matriks merupakan rekatan (housing)
21
dari semua serat dalam pembentukan komposit dan distribusi tekanan antara serat penguat. terkadang penguat ditambahkan untuk memperlancar proses manufaktur, khusus untuk properti tertentu dan atau mengurangi biaya produksi. b. Particulate reinforced polymer: Partikel yang digunakan untuk memperkuat komposit dapat berupa partikel keramik dan gelas seperti partikel mineral kecil, partikel logam seperti aluminium dan bahan amorf, termasuk polimer dan karbon aktif. Penguat partikel digunakan untuk meningkatkan ketahanan terhadap keausan, kekakuan komposit dan untuk mengurangi kelenturan (ductile) dari matriks 2.6 Komposit Hibrid Komposit hibrid adalah penggabungan dua atau lebih fase serat penguat pada matrik tunggal untuk mendapatkan karakteristik baru,atau sebaliknya adalah terbentuk dari dua atau lebih matrik pengikat pada serat penguat tunggal (Subagia, 2014). Metode hibridisasi merupakan metode baru dalam proses pembuatan dan pengembangan karakteristik komposit FRP konvensional. Komposit hibrid memiliki fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan dengan komposit berpenguat serat. Hibrid komposit biasanya memiliki serat dengan modulus elastisitas tinggi atau serat dengan modulus elastisitas rendah. Sifat mekanis dari komposit hibrida adalah tergantung pada variasi fraksi berat dan susun urutan lapisan. 2.7 Polimer Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang sederhana. Polimer dibangun oleh satuan struktur yang tersusun secara berulang dan diikat oleh gaya tarik-menarik yang disebut ikatan kovalen, dimana ikatan setiap atom dari pasangan menyumbangkan satu elektron untuk membentuk pasangan elektron. Sebagian besar polimer, molekul-molekulnya dalam bentuk rantai yang panjang dan fleksibel. Tiap-tiap elektron valensinya yang tersisa bila berikatan dengan atom-atom radikal posisinya berdekatan dengan rantai. Molekul panjang ini disebur mer, mer tunggal disebut dengan monomer dan mer banyak disebut dengan
22
polimer, seperti contoh jika ethilene diberi katalis, maka akan bertransformasi menjadi polyethilene (Maulana, 2014). Menurut Maulana (2014) dan Simanjuntak (2008) terdapat beberapa jenis polimer berdasarkan bentuk susunan rantainya, yaitu: a.
b.
c.
d.
Gambar 2.11 Polimer berdasarkan susunan rantai (a) polimer linier ,(b) Polimer bercabang (c) Polimer berikatan silang dan (d) Polimer jaringan (Sumber gambar: Maulana, 2014)
a. Polimer linier Polimer linier tersusun atas unit yang berikatan satu sama lainnya membentuk rantai polimer yang panjang. Bentuk polimer ini ujungnya bergabung bersama pada ujung-ujungnya dalam rantai tunggal. b. Polimer bercabang (branch) Polimer Bercabang merupakan polimer yang terbentuk jika beberapa unit ulang membentuk cabang pada rantai utama. c. Polimer berikatan silang (cross-linked) Polimer yang terbentuk karena beberapa rantai polimer saling berikatan satu sama lain pada rantai utamanya. Rantai linier bargabung satu sama lain pada beberapa tempat dengan ikatan kovalen. d. Polimer jaringan (network) Polomer ini tersusun atas unit mer tri-functional yang mempunyai tiga ikatan kovalen aktif membentuk jaringan 3 dimensi, sehingga terjadi sambungan silang ke berbagai arah sehingga terbentuk sambung silang tiga dimensi.
23
Dibandingkan dengan ikatan pada keramik dan logam, ikatan antar molekul polimer lebih lemah, sehingga untuk menguatkan ikatan antar molekul polimer dapat dilakukan dengan cara menambahkan sifat hidrofobik, yaitu dengan cara mencangkokkan (grafting) monomer hidrofilik, selain itu dapat juga digunakan beberapa teknik, diantaranya adalah pemberian filler yang merupakan ikatan silang pada rantai (Simanjuntak, 2008) 2.7.1 Silk Cocoon Silk cocoon (kokon sutra) merupakan bahan yang unik, secara historis serat kokon sutra sangat sangat berharga karena kekuatan dan kemewahannya sebagai bahan penyusun kain, bahkan didunia medis (kedokteran) pemanfaatan sutra sudah digunakan selama berabad-abad sebagai bahan jahitan dan potensi yang baik sebagai tissue biomedis (Cassandra Sobajo, 2008), hingga saat ini kokon sutera mendapat perhatian khusus dari peneliti sebagai biomaterial. Serat sutra juga merupakan bahan yang amat menarik karena memiliki sifat mekanik yang baik, memiliki sifat biokompatibilitas, disertai dengan degradabilitas yang amat lambat (Nindhia TGT, 2008), selain itu serat sutra dapat dikembangkan menjadi beberapa jenis material, baik larutan ataupun solvent organik, karena budidaya ulat sutera dalam industri tekstil dalam skala yang besar, maka terdapat sumber bahan baku kokon sutera yang melimpah sehingga sangat mendukung untuk dikomersialisasi sebagai polimer alam. Menurut Mukhlissul (2005) komposisi serat kokon sutera secara umum terdiri atas protein sutera yang meliputi fibroin dan serisin. Fibroin yang terkandung dalam serat sutera sebesar 70 – 80%, sedangkan serisin sebesar 20-30%. Unsur yang lainnya adalah materi lilin, karbohidrat, pigmen dan materi anorganik yang dapat dilihat pada tabel 2.6. Tabel 2.5 Komposisi serat kokon sutera Bombyx mori (Sumber : Mukhlissul, 2005)
Komposisi
Kandungan (%)
Fibroin Serisin Materi lilin Karbohidrat Pigmen Bahan anorganik
70-80 20-30 0,4-0,8 1,2-1,5 0,2 (approx) 0,7 (approx)
24
Serisin terdiri atas lebih dari 70% asam amino hidrofilik, asam amino hidrofobik kurang dari 20%. Sebaliknya fibroin terdiri atas asam amino hidrofilik sekitar 18% dan asam amino hidrofobik lebih dari 78%. Hal tersebut mempengaruhi sifat kimia serat kokon, terutama kelarutannya.
Gambar 2.12 Komponen struktural serat sutera (Sumber gambar: Cassandra Sobajo, 2008)
Protein sutera adalah polimer alami dan bersifat biodegradable yang memungkinkan
untuk crosslinked (berikatan silang) dengan polimer lainnya.
Material ramah lingkungan (biodegradable)/biodegradable polimer dapat diproduksi dengan memadukan sericin dengan resin lainnya. Sericin dapat dikembangkan sebagai bahan pemisah berbasis membran (misalnya, reverse osmosis, dialisis, ultra filtrasi dan mikro filtrasi) yang digunakan dalam beberapa proses seperti desalinasi air, produksi air yang sangat murni, bioprocessing industri dan beberapa proses kimia. Sericin murni tidak mudah dibuat menjadi membran, tetapi dengan sericin yang berikatan silang, dicampur, atau kopolimer zat lain dapat dengan mudah dibuat sebagai membran, karena sericin mengandung besar jumlah asam amino dengan polar netral (M. Mondal, 2007). Sehingga sericin dari silk cocoon dapat dikembangkan dan digunakan sebagai membran untuk proses pemisahan. 2.7.2 Polyvinyl alcohol Polyvinyl alcohol (PVA) pertamakali dibuat oleh Herman dan Haehnel pada tahun 1924. PVA merupakan salah satu polimer hidrofilik berbentuk bubuk halus, berwarna putih kekuningan, tidak berbau (Jatindranath Maiti, 2012) dan memiliki densitas 1,3 gram/cm3 pada 20o C dengan kisaran pH 3,5 – 7,0 jika dilarutkan dengan
25
konsentrasi 40 gram/liter pada 20o C (Simanjuntak, 2008). Menurut Jatindranath Maiti (2012) PVA merupakan polimer yang larut dalam air dan mudah bereaksi dengan agen berikatan silang (cross lingked) yang lain untuk membentuk gel. PVA juga bersifat biokompatibel dan biodegradable, sehingga banyak digunakan untuk aplikasi medis, kosmetik, dan kemasan. PVA mempunyai ketercampuran hayati yang baik dan memiliki sifat fisik yang elastis, serta memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengembang dalam air, tidak korosif, lembut dan bersifat adesif serta kekuatan tarik yang baik.Selain untuk aplikasi medis PVA juga telah digunakan secara luas pada berbagai aplikasi antara lain pelapis kertas (paper coating), pemodifikasi permukaan mengkilap (warpsizing), bahan adesif dan material sensitif terhadap kelembaban. Menurut Simanjuntak, (2008) PVA diproduksi dari monomer vinil asetat. Gambar 2.13 memperlihatkan struktur PVA. a.
b.
Gambar 2.13 Struktur (a) Vinil asetat dan (b) PVA (Sumber gambar: Simanjuntak, 2008)
Sedikit modifikasi ikatan silang PVA dengan monomer/polimer lain maupun dengan pemberian penguat pada solvent, maka PVA akan dapat digunakan sebagai matrik membran. Oleh karena itu, jika PVA dikembangkan dengan tepat dapat menjadi polimer alternatif penyusun membran komposit dari keunggulan karakteristik yang dimiliki.
26
Gambar 2.14 Multi facets of PVA membrane. (Sumber gambar: Jatindranath Maiti, 2012)
2.7.3 Silk Sericin / Polyvinil Alcohol Silk Sericin (SS) merupakan polimer alami, sericin yang terdapat pada kokon dapat dikembangkan menjadi film, namun sericin murni bersifat rapuh dengan demikian perlu menambahkan polimer lain untuk memperbaiki sifat kerapuhannya, seperti penambahan polimer sintetik PVA dan gliserin pada sericin didapatkan film komposit yang stabil (Voranuch Thongpool, 2014). Penelitian lain dibidang medis juga menggunakan Silk sericin/PVA untuk mengevaluasi sericin sutra Thailand/poli (vinil alkohol) film hibrida sebagai biomaterial untuk memuat beberapa obat medis untuk diterapkan dalam sistem pengiriman. Teknik produksinya adalah larutan dari sericin/poli (vinil alkohol) dicampur dengan amoksisilin trihidrat kemudian ditempatkan pada 3,5 x 5 cm2 cetakan polietilen sebelum pengeringan dalam oven untuk mendapatkan film hibrida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sericin/poli (vinil alkohol) tanpa amoksisilin trihidrat lebih fleksibel dan transparan, sedangkan film sericin/poly (vinil alkohol) dengan amoksisilin trihidrat Siritientong, 2012).
lebih buram dan film itu tidak homogen. (T.
27
Variasi konsentrasi komposisi Silk sericin/Polyvinyl alcohol (PVA) telah dilakukan untuk membentuk sebuah film, secara fisik dihasilkan film yang bersih dan quite smooth. Konsentrasi dari silk sericin menghasilkan solution yang gelap dan kecoklatan, kemudian dari hasil pengujian dengan tensile modulus measurement komposisi film dari 3% silk sericin dengan 2% PVA merupakan kombinasi terbaik dari variasi yang dilakukan, sehingga dapat ditarik kesimpulan semakin tinggi komposisi Silk sericin solution akan meningkatkan tensile modulus pada film (N. Namviriyachote, 2009). 2.8 Teknik Pembuatan Komposit Terdapat beberapa macam teknik yang dapat digunakan untuk membuat komposit seperti Injection Moulding, Hand Lay Up (Romels C.A. Lumintang, 2011), Spray Lay-Up (P.C.Pandey, 2004). Namun peneliti lebih tertarik menggunakan teknik casing, karena dengan bahan polimer cair teknik casting sangat mendukung untuk mendapatkan
keakurasian dimensi film hybrid komposit yang sudah
direncanakan, low cost dan lebih praktis sehingga cocok untuk pembuatan membran. a. Injection Moulding Proses injeksi dilakukan dengan cara memberikan tekanan injeksi pada bahan plastik yang telah meleleh oleh sejumlah energi panas untuk dimasukkan kedalam cetakan sehingga dapat dibentuk yang diinginkan. Kelebihannya adalah tingkat produksi tinggi, dihasilkan produk tanpa proses pengerjaan akhir, dapat mencetak produk yang sama, produk ukuran kecil dapat dibuat dan ongkos produksi murah. b. Hand Lay Up Proses pembuatan komposit dengan metode Hand Lay Up merupakan pembuatan komposit dengan metode lapisan demi lapisan sampai diperoleh ketebalan yang diinginkan. Dimana setiap lapisan berisi matrik dan filler. Setelah memperoleh ketebalan yang diinginkan digunakan roller untuk meratakan dan menghilangkan udara yang terjebak diatasnya. c. Spray Lay-Up Dalam metode Spray lay-up, serat acak dalam spray gun dan dimasukkan ke dalam semprotan katalis resin cair kemudian diarahkan pada cetakan. semprotan cairan resin dan katalis akan membasahi serat penguat, yang secara bersamaan
28
membasahi serat acak dalam spray gun. Terkadang material di roller untuk menghilangkan udara yang terperangkap pada material lalu disimpan dan dibiarkan untuk mengeras dalam kondisi atmosfer standar (P.C.Pandey, 2004) d. Casting Dalam pembuatan komposit dengan metode casting selalu berkaitan dengan alat bantu dan alat cetak. Bentuk komposit dapat disesuakan dengan kebutuhan yang diinginkan mengikuti bentuk cetakan. Metode ini sangat baik untuk mendapatkan kepresisian dimensi, porositas rendah, dan sangat cocok untuk mencetak film/membran. Operator casting membran biasanya mengggunakan alat bantu seperti casting knife atau stainless stick (A. Figoli, 2014) (Sonjui, 2009). Kecepatan konstan casting knife/stainless stick sepanjang proses sangat mempengaruhi kualitas membran, namun secara akurat sulit menentukan kecepatan dan menjaga kecepatan konstan tangan operator (UNESCO)
Gambar 2.15 Proses Casting (Sumber gambar: Sonjui, 2009)
Penentuan variasi matriks dengan penguat menggunakan perbandingan fraksi berat (%wt) pada hybrid komposit saat proses casting, pada kondisi tanpa void dapat dirumuskan sebagai berikut : Wf
wf ..…...............................................................................................................(1) Wc
Wf wm 1 ……...…….........................................................................................(2) Keterangan : Wf
= fraksi berat penguat (wfa = bubuk biji kelor + wfb = karbon aktif)
wf
= berat penguat
wm
= fraksi berat matriks (wma = silk sericin+ wmb = PVA)
Wc
= berat komposit
29
2.9 Analisis Karakterisasi membran tidak lepas dari proses analisis berupa uji tarik, scanning electronic microscope, mikroskop optik, uji swelling serta pengujian sampel air baku seperti uji kekeruhan (turbidity) dan mirobiologi sesaat sebelum dan sesudah perlakuan membran pada alat dead end filtration. 2.9.1 Uji Tarik Pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui tegangan, regangan, modulus elastisitas bahan, adapun engujian tarik dilakukan menurut standar ASTM D638 mengacu pada ASTM D882 untuk material plastik tipis ataupun membran. Standar pengujian ASTM D638 mencakup penentuan tarik yang tidak diperkuat maupun diperkuat plastik, metode pengujian ini dapat digunakan untuk pengujian bahan dengan ketebalan 1-14 mm (ASTM). Untuk pengujian Spesimen uji tarik menurut standar ASTM D638 dapat ditunjukkan pada gambar 2.16 berikut.
Gambar 2.16 Spesimen uji tarik (Sumber gambar : ASTM)
Hubungan linier antara tegangan regangan untuk suatu membran yang mengalami tarik atau tekan sehingga diperoleh modulus elastisitas material dinyatakan sebagai: σ=E.ε
...................................................................................................(3)
dimana hubungan antara beban tarik dan tegangan adalah P=σ.A
...................................................................................................(4)
Keterangan: P = Beban tarik (N) A = Luas penampang (mm2) σ = Tegangan (MPa)
30
Besarnya regangan adalah jumlah pertambahan panjang karena pembebanan berbanding dengan panjang daerah ukur dan besarnya nilai modulus elastisitas komposit yang juga merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan pada daerah proporsional dapat dihitung (Romels C.A. Lumintang, 2011). 2.9.2 Scanning Electronic Microscope (SEM) Mikroskop elektron merupakan jenis mikroskop yang sering digunakan untuk visualisasi struktur material berpori. SEM menggunakan sinar elektron untuk memindai sampel dan menciptakan citra. Tujuan Uji SEM untuk mengetahui fenomena yang terjadi pada material (objek) secara visualisasi kemudian sebagai dasar kajian dalam melakukan analisa baik terhadap struktur permukaan/patahan maupun fenomena lainya.
Gambar 2.17 Analitical scanning electron microscope JSM-6510 LA
2.9.3 Mikroskop Optik Micoskop optik atau yang sering disebut juga sebagai "mikroskop cahaya", adalah salah satu jenis mikroskop yang menggunakan cahaya tampak dan sebuah sistem lensa untuk memperbesar gambar spesimen yang kecil.
Cara kerja dari
mikroskop optic adalah dari cahaya lampu yang dibiaskan oleh lensa condenser, setelah melewati lensa kondenser sinar mengenai spesimen dan diteruskan oleh lensa objektif. Lensa objektif ini merupakan bagian yang paling penting dari mikroskop karena dari lensa ini dapat diketahui perbesaran yang dilakukan mikroskop. Sinar yang diteruskan oleh lensa objektif ditangkap oleh lensa okuler dan diteruskan pada
31
mata atau kamera (Respati, 2008). Mikroskop ini mempunyai kelebihan yaitu dapat mengamati dan mengambil gambar berwarna pada permukaan material seperti aslinya.
Gambar 2.18 Mikroskop optik
2.9.4 Uji Swelling (pengembangan) Swelling adalah peningkatan volume atau berat suatu material pada saat kontak dengan cairan, gas, atau uap. Pengujian ini dilakukan untuk memprediksi ukuran zat yang bisa terdifusi melalui material-material tertentu (Fitriah F, 2012). Pengujian swelling sangat berpengaruh pada sifat fisika suatu material yaitu tahanan putus (resistance at break) dan pengaruh kuantitas tetesan air saat membran digunakan. Untuk menghasilkan membran yang berkualitas dalam penggunaannya, membran harus diuji dahulu dengan parameter swelling pada saat proses dead end filtration untuk mengetahui besaran pengembangan material dan pengaruhnya.
𝑆𝑤𝑒𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 =
𝑊𝑐 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑊𝑐 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑊𝑐 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Keterangan : Wc basah
= berat membran basah
Wc kering
= berat membran kering
𝑥 100%.................................... (3)
32
2.9.5 Parameter Pengujian Sampel Air baku Pengambilan sampel air baku dilakukan di Waduk muara Nusa Dua dengan mempertimbangkan jumlah kebutuhan dan ketersediaan air. Waduk Muara merupakan salah satu sumber daya air dalam pemenuhan air baku yang telah mensuplai air bersih perkotaan sekitar 300 liter per detik dengan luas genangan 35 hektar, serta berfungsi untuk penanggulangan banjir. Sampel Air baku waduk muara selanjutnya dimasukan ke dalam jerigen untuk analisis fisika dan botol bersih untuk analisis mikroba. 2.9.5.1 Uji Kekeruhan Uji kekeruhan termasuk pengujian dalam parameter fisika, pengujian ini merupakan langkah analisa awal untuk mengetahui tingkat kejernihan/kekeruhan secara keseluruhan dari suatu material cair. Air dikatakan keruh, apabila air tersebut mengandung begitu banyak partikel bahan yang tersuspensi sehingga memberikan warna / rupa yang berlumpur dan kotor meskipun penentuannya bukanlah merupakan ukuran mengenai jumlah partikel suspensi. Adapun bahan yang menyebabkan air menjadi keruh meliputi (Budi Santoso, 2014) : a. Tanah liat
d. Campuran warna organik yang bisa dilarutkan
b. Endapan (lumpur)
e. Plankton
c. Zat organik
f. Jasad renik (mahluk hidup yang sangat kecil)
Alat yang digunakan untuk mengukur kekeruhan pada penelitian ini adalah Turbidity meter TU-2016 dengan range skala 0 to 50 NTU, 50-1000 NTU (Nephelometric Turbidity Unit) yang sudah dikalibrasi.
Gambar 2.19 Turbidity meter TU-2016
33
2.9.5.2 Analisis Mikrobiologi (Coliform dan E.coli) Menurut Kawuri Retno (2012) pengujian microbiologi pada air umumnya bertujuan untuk mengetahui prosentase bakteri coliform dan E.coli yang tersuspensi dalam air. Metode yang digunakan adalah metode MPN (most porpable number) ,metode MPN (Most Probable Number) umumnya digunakan untuk menghitung jumlah bakteri khususnya untuk mendeteksi adanya bakteri Coliform yang merupakan kontaminan. Ciri-ciri utamanya yaitu memfermentasi laktosa menjadi asam dan gas yang dideteksi dalam waktu 24 jam inkubasi pada 37º C. Penentuan Fecal coliform menjadi indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya pasti berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen contohnya bakteri Esherichia coli. Uji mikrobiologi secara lengkap meliputi uji praduga, uji penguat, dan uji pelengkap. Dalam uji praduga peneliti menggunakan media LB (Laktosa Broth), pengujian penguat menggunakan media BGBB (Brilian Green Bile Broth) dan pengujian pelengkap mengunakan media EMBA (Etilen Metilen Blue Agar) (Kawuri Retno, 2012).
Start Uji Praduga
Apakah sampel terindikasi coliform?
Tidak
Ya Uji Penguat (jumlah coliform) Uji Pelengkap (jumlah E.coli) Stop Gambar 2.20 Skematik pengujian Coliform dan E.coli
Stop