BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Auditing Definisi auditing adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh serta
mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai asersi – asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi – asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil – hasilnya kepada pihak – pihak yang berkepentingan (Boynton, 2003). Auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen (Arens, 2008). Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa auditing merupakan suatu proses untuk mendapatkan dan mengumpulkan bukti – bukti yang berkaitan dengan informasi atau asersi suatu kegiatan dan peristiwa untuk menentukan, menetapkan, dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi atau asersi dengan kriteria yang telah ditetapkan.
14
15
2.1.2
Jenis – Jenis Audit Ada beberapa jenis audit yang dikemukakan oleh Arens, dkk (2008) dalam
Susanti (2010) yaitu operational audits, financial statement audits, dan compliance audits. 1)
Operational audits (Audit operasional) Pemeriksaan operasional adalah suatu tinjauan terhadap setiap bagian prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efisiensi dan efektifitas kegiatan entitas tersebut.
2)
Financial statement audits (Audit laporan keuangan) Pemeriksaan keuangan merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan suatu organisasi atau perusahaan secara keseluruhan merupakan informasi terukur yang akan diverifikasi telah disajikan sesuai dengan kriteria tertentu yang dalam hal ini adalah prinsip akuntansi yang berlaku umum, dengan tujuan memberikan pendapat wajar atas kewajaran penyajian laporan keuangan.
3)
Compliance audits (Audit kepatuhan) Pemeriksaan
ketaatan
merupakan
proses
pemeriksaan
yang
mempertimbangkan apakah klien telah mengikuti atas suatu prosedur atau peraturan tertulis yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi.
16
2.1.3
Jenis – Jenis Auditor Menurut Boynton (2005:8) dalam Justiana (2010) para professional yang
ditugaskan untuk melakukan audit atas kegiatan dan peristiwa ekonomi bagi perorangan dan entitas resmi, pada umumnya diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu Auditor Independen (Independent auditor), Auditor internal (Internal auditor), dan Auditor pemerintah (Government auditor). Berikut adalah penjelasannya : 1) Auditor Independen (Independent auditor) Auditor Independen (Independent auditor) di Amerika Serikat biasanya adalah Certified Public Accountant (CPA) yang bertindak sebagai praktisi perorangan ataupun anggota kantor akuntan publik yang memberikan jasa auditing professional kepada klien. Pada umumnya lisensi diberikan kepada mereka yang telah lulus dalam ujian persamaan CPA serta memiliki pengalaman praktik dalam bidang auditing. Karena pendidikan dan pelatihan yang mereka peroleh serta pengalaman yang mereka miliki, auditor independen memiliki kualifikasi untuk melaksanakan setiap jenis audit. Sedangkan klien para auditor independen tersebut dapat berasal dari perusahaan bisnis yang berorientasi laba, organisasi nirlaba, kantor pemerintah, atau perorangan. 2) Auditor Internal (Internal auditor) Auditor Internal (Internal auditor) adalah pegawai dari organisasi yang diaudit. Auditor jenis ini melibatkan diri dalam suatu kegiatan penilaian independen, yang dinamakan audit internal, dalam lingkungan organisasi sebagai
17
bentuk jasa bagi organisasi. Tujuan audit internal adalah untuk membantu manajemen organisasi dalam memberikan pertanggungjawaban yang efektif. Lingkup fungsi audit internal meliputi semua tahap dalam kegiatan organisasi. Para auditor internal terutama melibatkan diri pada audit kepatuhan dan operasional. Selain itu, pekerjaan audit internal juga dapat melengkapi pekerjaan auditor independen dalam melakukan audit laporan keuangan. 3) Auditor Pemerintah (Government auditor) Auditor Pemerintah (Government auditor) dipekerjakan oleh berbagai kantor pemerintahan di tingkat federal, negara bagian, dan local di Amerika Serikat. Pada tingkat federal, terdapat tiga kantor utama, yaitu the General Accounting Office (GAO), Internal Revenue Service (IRS), dan Defence Contract Audit Agency (DCAA). Menurut Arens (2008:19) dalam Justiana (2010) ada beberapa jenis auditor yang dewasa ini berpraktik. Jenis yang umum adalah kantor akuntan publik, auditor badan akuntabilitas pemerintah, agen – agen penerimaan Negara (internal revenue), dan auditor internal. Berikut adalah penjelasannya : 1.
Auditor badan akuntabilitas pemerintah Auditor badan akuntabilitas pemerintah adalah auditor yang bekerja untuk Government Accountability Office (GAO) Amerika Serikat yaitu sebuah badan nonpartisipan dalam cabang legislatif pemerintah federal. Tanggung jawab utama GAO adalah melaksanakan fungsi audit bagi Kongres, dan badan ini memikul
18
banyak tanggung jawab audit yang sama seperti sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP). 2.
Agen – agen penerimaan Negara (Internal revenue) Agen – agen penerimaan Negara (Internal revenue)/IRS di bawah arahan Commisioner of Internal Revenue, bertanggung jawab untuk memberlakukan peraturan pajak federal. Salah satu tanggung jawab utama IRS adalah mengaudit SPT Pajak wajib pajak untuk menentukan apakah SPT itu sudah mematuhi peraturan pajak yang berlaku. Audit ini murni bersifat audit ketaatan. Auditor yang melakukan pemeriksaan ini disebut internal revenue agent (agen penerimaan Negara).
3.
Auditor Internal Auditor Internal dipekerjakan oleh perusahaan untuk melakukan audit bagi manajemen, sama seperti GAO mengaudit untuk Kongres. Tanggung jawab auditor internal sangat beragam, bergantung pada si pemberi kerja. Banyak juga auditor internal yang terlibat dalam audit operasional atau memiliki keahlian dalam mengevaluasi system komputer.
2.1.4
Audit Judgment Jasa audit mencakup pemerolehan dan penilaian bukti yang mendasari laporan
keuangan historis suatu entitas yang berisi asersi yang dibuat oleh manajemen entitas tersebut. Atas dasar audit yang dilaksanakan terhadap laporan keuangan suatu entitas, auditor menyatakan suatu pendapat mengenai apakah laporan keuangan tersebut
19
menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha entitas sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum (Mulyadi, 2002). Informasi tersebut agar dapat diproses lebih lanjut secara efektif dan efisien. Judgment merupakan suatu proses yang terus menerus dalam perolehan informasi (termasuk umpan balik dari tindakan sebelumnya), pilihan untuk bertindak atau tidak bertindak, penerimaan informasi lebih lanjut. Jamilah, dkk (2007) dalam menyatakan audit judgment adalah kebijakan auditor dalam menentukan pendapat mengenai hasil auditnya yang mengacu pada pembentukan suatu gagasan, pendapat atau perkiraan tentang suatu objek, peristiwa, status, atau jenis peristiwa lainnya. Judgment sering dibutuhkan oleh auditor dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan suatu entitas (Zulaikha, 2006). Audit judgment melekat pada setiap tahap dalam proses audit laporan keuangan, yaitu penerimaan perikatan audit, perencanaan audit, pelaksanaan pengujian audit, dan pelaporan audit. Audit judgment diperlukan karena audit tidak dilakukan terhadap seluruh bukti. Bukti inilah yang digunakan untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan, sehingga dapat dikatakan bahwa audit judgment ikut menentukan hasil dari pelaksanaan audit. Proses audit melalui prosedur yang berjenjang dan setiap tahapan akan melibatkan judgment auditor atas suatu kejadian/ fakta. (Mulyadi, 2002). Maka dari itu auditor diharapkan memiliki judgment yang berkualitas dimana judgment mengacu pada proses pengambilan keputusan dan mencerminkan perubahan dalam
20
evaluasi, opini, atau sikap. Auditor membuat judgment dalam mengevaluasi pengendalian intern, menilai resiko audit, merancang, dan mengimplementasikan penyampelan dan menilai serta melaporkan aspek-aspek ketidakpastian. Auditor secara eksplisit maupun implicit memformulasikan suatu hipotesis terkait dengan judgment mereka (Suratna, 2005 dalam Wijaya, 2012). Jadi, kualitas keputusan auditor ditentukan dari kualitas proses audit yang dilakukan auditor selama pekerjaan audit dari awal sampai keputusan yang diambil.
2.1.5
Akuntabilitas Tetlock (1984) dalam Dini (2010) mendefinisikan akuntabilitas sebagai
bentuk
dorongan
psikologi
yang
membuat
seseorang
berusaha
mempertanggungjawabkan semua tindakan dan keputusan yang diambil terhadap lingkungannya. Ada dua indikator yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas individu (Libby dan Luft (1983) dalam Dini (2010)). Pertama, seberapa besar motivasi mereka untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Motivasi secara umum adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan – kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan. Individu dengan akuntabilitas yang tinggi juga memiliki motivasi yang tinggi dalam mengerjakan sesuatu. Kedua, seberapa besar usaha (daya pikir) yang diberikan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Orang dengan akuntabilitas yang tinggi mencurahkan usaha (daya pikir) yang lebih besar.
21
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa level akuntabilitas (tanggung jawab) atas suatu aktivitas (misalnya : tugas pengauditan, alokasi dana penugasan audit) dapat mempertinggi preferensi pengambilan risiko oleh pembuat keputusan individual (Solomon, 1982; Isenberg, 1986; Rutledge dan Harrel, 1994 dalam Haryanto, 2012). Pembuat keputusan akan menyesuaikan preferensi keputusannya dengan level akuntabilitas (tanggung jawab) yang diembannya (Staw, 1976; Bazerman dkk, 1982; Bazerman, 1984 dalam Haryanto, 2012). Proses penyesuaian ini berasal dari pengaruh psikologis akan akuntabilitas atau tanggung jawab personal dan faktor emosional karena keterlibatan dalam perancangan dan pelaksanaan suatu aktivitas sehingga menyebabkan individu (auditor manajer) berkehendak kuat untuk menyukseskan aktivitas tersebut sesuai dengan tanggung jawab yang diembannya (Staw, 1976 dalam Haryanto, 2012).
2.1.6
Tekanan Ketaatan Tekanan ketaatan adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi audit
judgment. Tekanan ketaatan merupakan kondisi dimana seorang auditor dihadapkan pada dilemma penerapan standar profesi auditor. Tekanan ketaatan pada umumnya dihasilkan oleh individu yang memiliki kekuasaan. Dalam hal ini tekanan ketaatan diartikan sebagai tekanan yang diterima oleh auditor junior dari auditor senior atau atasan dan entitas yang diperiksa untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari standar etika dan profesionalisme. Individu yang memiliki kekuasaan merupakan
22
suatu sumber yang dapat mempengaruhi perilaku orang dengan perintah yang diberikannya (Jamilah dkk., 2007). Klien atau pimpinan dapat saja menekan auditor untuk melanggar standar professional auditor. Hal ini tentunya akan menimbulkan tekanan pada diri auditor untuk menuruti atau tidak menuruti kemauan dari klien maupun pimpinannya. Apabila auditor memenuhi tuntutan klien maka akan melanggar standar. Sebaliknya, apabila auditor tersebut tetap menerapkan standar profesi auditor dan standar pemeriksaan, maka tidak menutup kemungkinan klien akan melakukan penghentian penugasan terhadap auditor tersebut. Karena pertimbangan professional berlandaskan pada nilai dan keyakinan individu, kesadaran moral memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan akhir (Hartanto,1999 dalam Arviyati, 2012). Dalam melakukan pemeriksaan, akuntan sering berhadapan dengan keputusan hasilnya tidak cukup oleh kode etik maupun oleh standar akuntansi yang diterima umum. Pertimbangan akuntan profesional dapat dirusak oleh konflik kepentingan. Terdapat dua macam konflik kepentingan, yaitu real conflict dan latent conflict (Jamilah dkk, 2007). Real conflict adalah konflik yang memiliki pengaruh pada masalah judgment yang ada, sedangkan latent conflict adalah konflik yang mempengaruhi judgment dimasa mendatang. Contoh konfik yang kedua dapat terjadi pada auditor yang penghasilannya didominasi oleh suatu klien yang besar.
23
2.1.7
Pengalaman Auditor Pengalaman merupakan atribut yang penting dimiliki oleh auditor, hal ini
terbukti dengan tingkat kesalahan yang dibuat oleh auditor yang tidak berpengalaman lebih banyak daripada auditor yang berpengalaman (Turpen, 1990 dalam Arviyati, 2012). Pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku. Semakin luas pengalaman kerja seseorang, semakin trampil melakukan pekerjaan dan semakin sempurna pola berpikir dan sikap dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Semakin berpengalaman seorang auditor maka dia akan semakin mampu dalam menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam melakukan pemeriksaan. Auditor yang berpengalaman akan membuat judgment yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesional dibanding dengan auditor yang belum berpengalaman (Herliansyah dan Meifida, 2006). Choo dan Trootman (1991) dalam Justiana (2010) memberikan bukti empiris bahwa auditor berpengalaman lebih banyak menemukan item – item yang tidak umum (atypical) dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman, tetapi antara auditor yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman tidak berbeda dalam menemukan item – item umum (typical). Seorang auditor yang berpengalaman akan semakin peka dalam memahami setiap informasi yang relevan sehubungan dengan judgment yang akan diambilnya, semakin peka dengan kesalahan penyajian laporan keuangan dan semakin memahami hal-hal yang terkait dengan kesalahan yang ditemukan tersebut.
24
2.1.8
Pengetahuan Auditor Pengetahuan auditor diartikan dengan tingkat pemahaman auditor terhadap
sebuah pekerjaan secara konseptual atau teoritis. Menurut Brown dan Stanner (1983) dalam Wijaya (2012), perbedaan pengetahuan di antara auditor akan berpengaruh terhadap cara auditor menyelesaikan sebuah pekerjaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang auditor akan bisa efektif menyelesaikan sebuah pekerjaan jika didukung dengan seberapa banyak perbedaan (deviasi) antara kebijakan-kebijakan perusahaan tentang pencatatan akuntansi dengan kriteria yang telah distandarkan. Libby (1995) dalam Tielman (2012) mengatakan bahwa kinerja seseorang dapat diukur dengan beberapa unsur antara lain kemampuan (ability), pengetahuan (knowledge) dan pengalaman (experience). Auditor yang memiliki pengetahuan yang luas melakukan judgment dengan lebih baik dari yang tidak berpengetahuan luas. Untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan audit, auditor dituntut untuk memiliki keahlian (expertise), yang terdiri dari unsur pengalaman dan pengetahuan. Pengetahuan yang memadai mengenai karakteristik yang dimiliki perusahaan akan mempengaruhi pandangan auditor terhadap bukti atau informasi yang ditemukan. Dalam mendeteksi sebuah kesalahan, seorang auditor harus didukung dengan pengetahuan tentang apa dan bagaimana kesalahan tersebut terjadi. Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman langsung (pertimbangan yang dibuat di masa lalu dan umpan balik terhadap kinerja) dan pengalaman tidak langsung (pendidikan). Pengetahuan akuntan publik bisa juga diperoleh dari berbagai pelatihan formal
25
maupun dari pengalaman khusus, berupa kegiatan seminar, lokakarya, serta pengarahan dari auditor senior kepada auditor juniornya. Pengetahuan akuntan publik digunakan sebagai salah satu kunci keefektifan kerja judgment yang diambil auditor. Dalam audit, pengetahuan tentang bermacam – macam pola yang berhubungan dengan kemungkinan kekeliruan dalam laporan keuangan penting untuk membuat perencanaan audit yang efektif. Seorang akuntan publik yang memiliki banyak pengetahuan tentang kekeliruan akan lebih ahli dalam melaksanakan tugasnya terutama yang berhubungan dengan pengungkapan kekeliruan.
2.1.9
Self-Efficacy Motivasi merupakan faktor yang penting dalam menentukan audit judgment
performance (Libby &Luft,1993; Bonner, 1994). Self-efficacy merupakan salah satu faktor motivasi internal yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri auditor. Selfefficacy adalah persepsi / keyakinan tentang kemampuan diri sendiri. Bandura (1997) dalam Wijaya (2012) menyatakan bahwa self-efficacy adalah kepercayaan seseorang bahwa seseorang dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat tertentu, yang mempengaruhi aktivitas pribadi terhadap pencapaian tujuan. Kepercayaan ini timbul akibat pengalaman individu sendiri atas perilakunya dan perilaku orang lain pada situasi yang sama/hampir sama pada masa lalu. Selanjutnya hubungan ini juga akan menunjukkan hubungan dengan kinerja (Locke dan Latham, 1990 dalam Nadhiroh 2010).
26
Penelitian Ashton (1990); Leung and Trotman (2005) dalam Wijaya (2012) menyatakan bahwa auditor termotivasi untuk meningkatkan judgmentnya secara internal karena dia percaya akan kemampuan yang dimilikinya dan secara eksternal melalui umpan balik pada kinerja mereka. Hasil penelitian mengenai self- efficacy berpengaruh pada audit judgment dan pengambilan keputusan meningkatkan pemahaman mengenai faktor motivasi berpengaruh terhadap audit judgment performance (Libby &Luft, 1993).
2.1.10 Independensi Independensi adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi dan Puradireja, 2002: 26). Dalam SPAP (IAI, 2001: 220.1) auditor diharuskan bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan di dalam hal ia berpraktik sebagai auditor intern). Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik (Prastio, 2012). Selanjutnya menurut SPKN dalam Pernyataan Standar Umum Kedua disebutkan bahwa dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan
27
dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya (BPK RI, 2007: 24). Menurut Mulyadi (2004:49) independensi auditor mempunyai tiga aspek yaitu: 1.
Independensi dalam diri auditor yang berupa kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang ditemuinya dalam auditnya. Aspek independensi ini disebut dengan istilah independensi dalam kenyataan atau independence in fact.
2.
Independensi ditinjau dari sudut pandang pihak lain yang mengetahui informasi yang bersangkutan dengan diri auditor. Aspek independensi ini disebut dengan istilah independensi dalam penampilan atau perceived independence atau independence in appearance. Seorang auditor yang mengaudit laporan keuangan perusahaan yang dipimpin oleh ayahnya, kemungkinan dapat mempertahankan aspek independensi yang petama, karena ia benar-benar jujur dalam mengemukakan hasil auditnya. Namun dipandang dari pihak pemakai laporan audit yang mengetahui fakta, bahwa auditor tersebut memiliki hubungan istimewa dengan pimpinan perusahaan yang diauditnya (ayah dan anak), independensi auditor tersebut pantas diragukan. Dengan demikian auditor tersebut dapat dianggap gagal untuk memenuhi aspek independensi yang kedua, sehingga dengan demikian tidak memenuhi standar umum kedua dalam standar
28
auditing dan pasal 1 ayat 2 Kode Etik Akuntan Indonesia. Menurut pernyataan Etika Profesi No.1 integritas, obyektifitas, dan independensi. 3.
Independensi ditinjau dari sudut pandang keahliannya. Seseorang dapat mempertimbangkan fakta dengan baik, jika ia mempunyai keahlian mengenai audit atas fakta tersebut. Seorang auditor yang tidak menguasai pengetahuan mengenai bisnis asuransi, tidak akan dapat mempertimbangkan dengan obyektif informasi yang tercantum dalam laporan keuangan perusahaan asuransi. Auditor tersebut tidak memiliki independensi bukan karena tidak adanya kejujuran dalam dirinya, melainkan karena tidak adanya keahlian mengenai obyek yang yang diauditnya. Kompetensi auditor menentukan independen atau tidaknya auditor tersebut dalam mempertimbangkan fakta yang diauditnya. Jika auditor tidak memiliki kecakapan profesional yang diperlukan untuk mengerjakan penugasan yang diterimanya, ia melanggar pasar kode etik yang bersangkutan dengan independensi (pasar 1 ayat 2 Kode Etik Akuntan Indonesia) dan bersangkutan dengan kecakapan professional (pasar 2 ayat 3 Kode Etik Akuntan Indonesia).
2.2
Penelitian – Penelitian Terdahulu Penelitian ini lebih ditekankan pada kinerja auditor selama proses pembuatan
audit judgment tersebut. Penelitian – penelitian sebelumnya mengenai audit judgment telah banyak beredar diantaranya :
29
Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu Nama dan
Judul
Sampel/
Variabel dan
Tahun
Penelitian
Objek
Alat Analisis
penelitian
Data
Penelitian
Hasil Penelitian
Irma
Faktor – Faktor
Auditor yang
Haerani
yang
bekerja di
berpengaruh positif
Dini
Mempengaruhi
Kantor
terhadap audit
(2010)
Audit Judgment
Akuntan
judgment.
: Dilihat Dari
Publik
Tekanan ketaatan,
Aspek
Semarang
pengalaman, dan
Kuesioner
Akuntabilitas
Karakteristik
pengetahuan
Diri dan
auditor tidak
Lingkungan
berpengaruh secara signifikan terhadap audit judgment.
Elisabeth
Pengaruh
Auditor yang
Kuesioner
Tekanan ketaatan
M. A.
Tekanan
bekerja pada
berpengaruh
Tielman
Ketaatan,
Kantor
negatif terhadap
(2012)
Tekanan
Akuntan
audit judgment.
Anggaran
Publik (KAP)
Pengalaman dan
Waktu,
di Semarang
pengetahuan
Kompleksitas
auditor
Tugas,
berpengaruh positif
Pengetahuan,
terhadap judgment
dan Pengalaman
yang diambil oleh
Terhadap Audit
auditor.
Judgment Pada
30
Kantor Akuntan Publik di Semarang Jawa Tengah Ivana Lis
Pengaruh
Auditor yang
Kuesioner
Prastio
Pemeriksaan
bekerja di
berpengaruh positif
(2012)
Pendahuluan,
BPK
terhadap
Lingkup
Semarang
pertimbangan opini
Audit,
Independensi
auditor.
Independensi Dan Kompetensi Terhadap Pertimbangan Opini Auditor Anugerah
Analisis Faktor-
Auditor
Kuesioner
Tekanan ketaatan
Suci
Faktor Yang
eksternal
berpengaruh
Praditaningr Berpengaruh
pemerintah
negatif terhadap
um dan
Terhadap Audit
yang bekerja
judgment yang
Indira
Judgment
di Badan
diambil oleh
Januarti
(Studi Pada
Pemeriksa
auditor.
(2011)
BPK RI
Keuangan
Pengalaman
Perwakilan
(BPK) RI
auditor
Provinsi Jawa
Perwakilan
berpengaruh positif
Tengah)
Provinsi Jawa
terhadap judgment
Tengah
yang diambil oleh auditor.
Haryanto
Debiasing Audit
60 orang
Eksperimen
Ada pengaruh
(2012)
Judgment :
mahasiswa
laboratorium
positif
31
Akuntabilitas
S1 Jurusan
akuntabilitas
Dan Tipe
Akuntansi
terhadap audit
Pembuat
Fakultas
judgment yang
Keputusan
Ekonomi
dibuat oleh auditor.
Universitas Diponegoro Semarang Yoan
Pengaruh
Auditor yang
Kuesioner
Pengetahuan tidak
Wijaya
Pengetahuan,
bekerja di
berpengaruh secara
(2012)
Self-efficacy,
Kantor
signifikan terhadap
Orientasi Etika,
Akuntan
audit judgment .
Orientasi Tujuan Publik di
Self-efficacy
dan
berpengaruh positif
Semarang
Kompleksitas
terhadap audit
Tugas Terhadap
judgment.
Audit Judgment (Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik di Semarang) Takiah
Assesing The
600 auditor
The
Self efficacy
Mohd.
Effects of Self
KAP ukuran
instrument
mempunyai
Iskandar
Efficacy and
kecil dan
was placed in
pengaruh positif
and
Task
sedang di
a booklet
signifikan terhadap
Zuraidah
Complexity on
Malaysia
together with
audit judgment.
Mohd.
Internal Control
a cover letter
Sanusi
Audit Judgment
and prepaid
(2011)
envelope
32
2.3
Pengembangan dan Perumusan Hipotesis
2.3.1
Pengaruh Akuntabilitas Terhadap Audit Judgment Akuntabilitas merupakan bentuk dorongan psikologi atau motivasi yang
membuat seseorang berusaha mempertanggungjawabkan semua tindakan dan keputusan yang diambil terhadap lingkungannya. Motivasi secara umum adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan – kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan. Individu dengan akuntabilitas yang tinggi juga memiliki motivasi yang tinggi dan usaha (daya pikir) yang tinggi dalam mengerjakan sesuatu. Akuntabilitas merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertimbangan auditor. Seorang auditor harus mempunyai akuntabilitas (tanggung jawab) dalam melaksanakan tugasnya. Setiap pertimbangan yang dibuat oleh auditor harus sesuai dengan fakta yang ada dalam laporan keuangan yang diauditnya, dan keputusan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkannya kepada klien. Jika auditor membuat judgment yang kurang tepat maka akan dapat merusak citra auditor tersebut, karena berarti ia kurang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan keuangan klien. Sebaliknya jika auditor mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi dalam pekerjaannya maka ia akan dapat membuat judgment yang tepat. Jadi semakin tinggi akuntabilitas yang dimiliki auditor, semakin baik pula judgment yang dibuat oleh auditor.
33
Dalam penelitian Haryanto (2012) tentang pengaruh akuntabilitas terhadap audit judgment membuktikan bahwa akuntabilitas dapat mempengaruhi proses pengambilan judgment, auditor yang memiliki akuntabilitas tinggi akan cenderung mengambil keputusan dengan lebih hati – hati. Akuntabilitas memotivasi auditor untuk menggunakan pengetahuan dan pengalamannya secara penuh untuk mengambil audit judgment. Penelitian
akuntansi
menemukan
bahwa
akuntabilitas
meningkatkan
performance keputusan auditor (Ashton, 1990; Cloyd, 1997 dalam Dini, 2010) dan bahwa akuntabilitas mempengaruhi auditor menjadi lebih konservatif dalam membuat audit judgment (Lord, 1992 dalam Dini, 2010). Penelitian Sari, dkk (2010) menyebutkan akuntabilitas mempunyai pengaruh yang positif signifikan terhadap kualitas audit dalam audit judgment. Haryanto (2012) dalam penelitiannya menguji apakah akuntabilitas berpengaruh terhadap judgment yang dibuat oleh auditor, dan hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa ada pengaruh dari akuntabilitas terhadap judgment auditor. Begitu pula dengan penelitian Dini (2010) yang menyatakan bahwa akuntabilitas berpengaruh positif terhadap audit judgment. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik perumusan hipotesis sebagai berikut : H1 : Akuntabilitas berpengaruh positif terhadap audit judgment
2.3.2 Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap Audit Judgment Tekanan ketaatan merupakan kondisi dimana seorang auditor dihadapkan pada dilemma penerapan standar profesi auditor. Tekanan ketaatan pada umumnya
34
dihasilkan oleh individu yang memiliki kekuasaan (atasan ataupun klien). Tekanan klien dapat muncul pada situasi konflik yang terjadi antara auditor dan klien. Situasi konflik dapat terjadi ketika manajemen atau klien tidak sependapat dengan auditor dalam hasil pengujian audit laporan keuangan. Klien berusaha untuk mempengaruhi fungsi pengujian laporan keuangan auditor yang dilakukan dengan cara memaksa auditor untuk melanggar standar auditing, termasuk judgment yang tidak sesuai dengan klien. Pada situasi ini auditor mengalami dilemma, jika auditor mengikuti keinginan klien maka ia melanggar standar profesi auditor. Tekanan ketaatan merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan judgment auditor. Tekanan ketaatan merupakan sikap yang hanya dapat ditentukan oleh diri auditor sendiri. Seorang auditor dapat memilih untuk membuat judgment yang benar atau salah. Jika auditor sudah bersikukuh untuk membuat judgment yang benar adanya, namun dalam kenyataannya ia mendapat tekanan yang kuat dari klien untuk membuat judgment yang salah, maka prinsip auditor untuk taat terhadap etika profesinya dapat luntur juga sehingga ia membuat judgment yang tidak tepat. Tekanan ketaatan dari diri auditor sangat dipengaruhi oleh tekanan dari kliennya. Jadi semakin tinggi tekanan yang dialami auditor, judgment yang dihasilkan oleh auditor tersebut semakin buruk. Penelitian yang dilakukan Jamilah, dkk (2007) menunjukkan auditor dalam kondisi adanya perintah dari atasan dan tekanan dari klien untuk berperilaku menyimpang dari standar professional, auditor junior cenderung akan mentaati
35
perintah tersebut. Maka tekanan ketaatan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap audit judgment. Hasil ini konsisten dengan penelitian Tielman (2012) yang menyebutkan bahwa tekanan ketaatan berpengaruh negatif terhadap audit judgment. Arviyati (2012) juga menyatakan dalam penelitiannya bahwa tekanan ketaatan berpengaruh negatif terhadap audit judgment. Begitu pula penelitian yang dilakukan Praditaningrum dan Indira (2011) untuk menguji apakah tekanan ketaatan berpengaruh terhadap audit judgment, didapatkan hasil bahwa tekanan ketaatan berpengaruh negatif terhadap judgment yang diambil oleh auditor. Selain itu penelitian De zoort dan Lord (1994) dalam Kristiadi (2009) menemukan bahwa auditor yang memperoleh tekanan ketaatan dalam bentuk perintah yang tidak tepat dari atasan, baik dari manajer maupun partner secara signifikan melakukan tindakan yang menyimpang dari standar professional dibandingkan dengan auditor yang tidak mendapat perlakuan tekanan ketaatan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik perumusan hipotesis sebagai berikut : H2 : Tekanan ketaatan berpengaruh negatif terhadap audit judgment
2.3.3
Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment Kematangan auditor dalam melakukan audit tidak hanya ditentukan oleh
pengetahuan yang diperoleh selama pendidikan namun juga tidak kalah pentingnya adalah pengalaman yang diperoleh selama melakukan audit. Untuk melakukan audit judgment, pengalaman merupakan komponen keahlian audit yang penting dan
36
merupakan faktor yang sangat vital dan mempengaruhi suatu judgment yang kompleks (Wright et al, 1987 dalam Kristiadi, 2009). Pengalaman mempunyai hubungan yang erat dengan keahlian auditor. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki oleh auditor akan semakin meningkatkan keahlian auditor dalam menjalankan tugasnya. Keahlian dan pengalaman dapat mempengaruhi kemampuan prediksi dan deteksi auditor terhadap kecurangan, sehingga dapat mempengaruhi judgment yang diambil oleh auditor. Auditor yang sudah lama bekerja di KAP tentunya memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada auditor yang baru saja bekerja di KAP. Selain itu, auditor tersebut tentunya sudah memahami karakter auditee tertentu sehingga auditor tersebut akan lebih teliti dan kritis dalam membuat judgment. Auditor yang sudah berpengalaman juga dapat lebih mengurangi frekuensi kesalahan yang dilakukan dalam membuat judgment karena ia sudah terbiasa membuat audit judgment. Auditor yang berpengalaman biasanya dapat lebih mengingat kesalahan atau kekeliruan yang tidak wajar dan lebih selektif terhadap informasi yang relevan dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman (Herliansyah dan Meifida 2006). Auditor yang kurang berpengalaman tentunya akan berbeda dengan auditor yang sudah berpengalaman dalam hal membuat atribusi kesalahan. Auditor yang kurang berpengalaman akan melakukan atribusi yang lebih besar daripada auditor yang sudah berpengalaman. Auditor yang berpengalaman akan lebih baik dalam membuat keputusan audit tentang laporan keuangan yang diauditnya. Jadi, auditor
37
yang berpengalaman memiliki potensi yang lebih besar dalam menghasilkan judgment yang lebih baik dibandingkan dengan auditor yang belum berpengalaman. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tielman (2012) menyebutkan bahwa pengalaman auditor berpengaruh positif dan signifikan terhadap audit judgment, yang berarti semakin tingginya audit judgment dipengaruhi oleh semakin tingginya pengalaman. Senada dengan Tielman, Praditaningrum dan Indira (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi pengalaman audit yang dimiliki oleh seorang auditor maka judgment yang diambil auditor juga akan semakin baik dan tepat. Dengan kata lain, pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap judgment yang diambil oleh auditor. Hal tersebut dipertegas lagi oleh Yuliani (2010) yang menyatakan bahwa pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap judgment yang diambil auditor. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik perumusan hipotesis sebagai berikut : H3 : Pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap audit judgment
2.3.4
Pengaruh Pengetahuan Auditor Terhadap Audit Judgment Pengetahuan audit diartikan dengan tingkat pemahaman auditor terhadap
sebuah pekerjaan, secara konseptual maupun teoritis. Menurut Brown dan Stanner (1983) dalam Wijaya (2012), perbedaan pengetahuan di antara auditor akan berpengaruh terhadap cara auditor menyelesaikan sebuah pekerjaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang auditor akan bisa efektif menyelesaikan sebuah pekerjaan jika didukung dengan seberapa banyak perbedaan (deviasi) antara kebijakan-
38
kebijakan perusahaan tentang pencatatan akuntansi dengan kriteria yang telah distandarkan. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi judgment auditor karena dengan pengetahuan yang memadai auditor dapat memahami masalah dengan lebih baik dan lebih mudah dalam menyesuaikan diri dengan permasalahan yang lebih kompleks. Dalam audit, pengetahuan tentang bermacam – macam pola yang berhubungan dengan kemungkinan kekeliruan dalam laporan keuangan penting untuk membuat perencanaan audit yang efektif. Auditor yang mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya akan dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam, sehingga dengan begitu auditor dapat membuat judgment yang lebih baik. Jadi semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki auditor, semakin baik pula judgment yang dibuatnya. Cloyd (1997) dalam Johari dan Zuraidah (2010) menemukan bahwa besarnya usaha yang dicurahkan seseorang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan berbedabeda sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimilliki. Selain itu, tingkat pengetahuan seseorang dapat meningkatkan kualitas hasil kerja auditor salah satunya adalah kualitas auditor dalam pengambilan keputusan. Penelitian yang dilakukan Rakania (2009) dalam Dini (2010) menyebutkan bahwa pengetahuan auditor berpengaruh positif terhadap judgment yang diambil oleh auditor . Tielman (2012) menyatakan bahwa hubungan antara pengetahuan dengan audit judgment searah, semakin tingginya audit judgment dipengaruhi oleh semakin
39
tingginya pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan berpengaruh positif dan signifikan terhadap audit judgment. Dalam penelitian Kristiadi (2009), pengetahuan auditor berpengaruh positif dan signifikan terhadap audit judgment. Hal tersebut dipertegas oleh Juhari dan Zuraidah (2010) yang menyatakan bahwa pengetahuan berpengaruh positif terhadap audit judgment. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik perumusan hipotesis sebagai berikut : H4 : Pengetahuan auditor berpengaruh positif terhadap audit judgment
2.3.5
Pengaruh Self-Efficacy Terhadap Audit Judgment Self-efficacy merupakan salah satu faktor motivasi internal yaitu motivasi
yang berasal dari dalam diri auditor. Self-efficacy adalah persepsi / keyakinan tentang kemampuan diri sendiri. Bandura (1997) dalam Wijaya (2012) menyatakan bahwa self-efficacy adalah kepercayaan seseorang bahwa seseorang dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat tertentu, yang mempengaruhi aktivitas pribadi terhadap pencapaian tujuan. Self-efficacy individu yang tinggi cenderung untuk menimbang, mengevaluasi, dan mengintegrasikan kemampuan mereka dirasakan sebelum memilih pilihan mereka dan memulai usaha mereka (Stajkovic & Luthans, 1998b dalam Arviyati, 2012). Self-efficacy mempengaruhi kemampuan auditor dalam mengevaluasi kekeliruan – kekeliruan yang ada dalam laporan keuangan. Self-efficacy (kepercayaan diri) merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki oleh auditor. Seorang auditor yang memiliki self-efficacy akan mampu melakukan tugas tertentu secara berhasil.
40
Self-efficacy juga mempengaruhi auditor dalam meningkatkan ketekunan dalam menghadapi suatu kesulitan tugas dan pengambilan suatu pertimbangan dalam penilaian tugas. Dengan begitu self-efficacy merupakan faktor yang sangat mendukung auditor dalam meningkatkan kinerjanya. Jadi semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki auditor, semakin baik pula judgment yang dibuat oleh auditor tersebut. Self-efficacy mempunyai hubungan yang signifikan terhadap keputusan auditor dalam memprediksi tugas yang dijalankannya. Self-efficacy individu yang tinggi
cenderung
untuk
menimbang,
mengevaluasi,
dan
menggabungkan
kemampuan-kemampuan yang diketahuinya sebelum dia menentukan pilihan. Karena kemampuannya dalam mempertimbangkan pilihan membuat individu tersebut yakin akan kemampuannya sendiri dalam mengambil sebuah keputusan. Self efficacy yang lebih tinggi dalam performance, lebih suka dengan tujuan-tujuan yang menantang. Hasil penelitian Sanusi dan Iskandar (2011) dalam Arviyati (2012) membuktikan bahwa peningkatan tingkat self-efficacy dapat meningkatkan audit judgment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa auditor yang memiliki self-efficacy tinggi cenderung menunjukkan audit judgment yang lebih baik dari auditor dengan self-efficacy rendah. Penelitian Iskandar, Nelly dan Sanusi (2009) mengenai peningkatan
audit
judgment
performance
melalui
faktor-faktor
motivasi
menunjukkan bahwa self-efficacy berpengaruh secara positif terhadap audit judgment performance. Iskandar (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa self-efficacy berpengaruh positif dan signifikan terhadap judgment yang diambil oleh auditor. Self-
41
efficacy juga berpengaruh positif signifikan terhadap audit judgment dalam penelitian Iskandar dan Zuraidah (2011). Hasil penelitian Iskandar konsisten dengan penelitian Wijaya (2012) yang menyatakan seorang auditor yang memiliki self-efficacy yang tinggi dalam bekerja, membuat mereka yakin akan mempertimbangkan dan menggabungkan kemampuan yang dimilikinya dalam membuat sebuah judgment. Hal tersebut berarti self-efficacy berpengaruh positif terhadap audit judgment. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik perumusan hipotesis sebagai berikut : H5 : Self-efficacy berpengaruh positif terhadap audit judgment
2.3.6
Pengaruh Independensi Terhadap Audit Judgment Independensi adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh
pihak lain, tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi dan Puradireja, 2002: 26). Dalam SPAP (IAI, 2001: 220.1) auditor diharuskan bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan di dalam hal ia berpraktik sebagai auditor intern). Independensi adalah salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seorang auditor. Auditor yang independen adalah auditor yang berpegang teguh pada pendiriannya tanpa mempedulikan anggapan orang lain. Sikap seperti itu yang membuat auditor dapat menghasilkan judgment dengan baik karena dalam membuat judgment ia tidak terpengaruh oleh orang lain, ia yakin dengan apa yang dibuatnya. Judgment yang dihasilkan auditor independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Apabila auditor tersebut tidak independen
42
terhadap kliennya, maka judgmentnya tidak akan memberikan tambahan informasi apapun. Jadi semakin tinggi independensi yang dimiliki oleh auditor, semakin baik pula judgment yang dibuat oleh auditor tersebut. Penelitian Mayangsari (2003) menyimpulkan bahwa pendapat auditor yang ahli dan independen berbeda dengan auditor yang hanya memiliki satu karakter atau sama sekali tidak mempunyai karakter tersebut. Auditor yang ahli ternyata memiliki perbedaan perhatian terhadap jenis informasi yang digunakan sebagai dasar pemberian pendapat audit. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Persadi (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara independensi auditor internal terhadap judgment auditor eksternal. Suhartini dan Ariyanto (2011) juga menyatakan bahwa independensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertimbangan pemberian opini auditor. Hal tersebut dipertegas lagi oleh Prastio (2012) yang menyatakan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap pertimbangan opini auditor. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik perumusan hipotesis sebagai berikut : H6 : Independensi berpengaruh positif terhadap audit judgment