BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
A. Landasan Teori 1.
Transportasi Kereta Api Transportasi merupakan dasar untuk pembangunan ekonomi dan perkembangan masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi suatu negara atau bangsa. Di dalam transportasi ada dua unsur terpenting yaitu pemindahan atau pergerakan hasil-hasil produksi dengan menggunakan alat angkut, dan secara fisik mengubah tempat dari barang atau komoditi serta penumpang dari satu tempat ke tempat lain. Transportasi memiliki peranan penting bagi industri, karena produsen mempunyai kepentingan agar barangnya diangkut sampai kepada konsumen tepat waktu, tepat pada tempat yang ditentukan, dan barang dalam kondisi baik (Abbas Salim, 2000: 1-24). Kereta api adalah salah satu alat transportasi yang diciptakan dan digunakan oleh manusia sebagai media perpindahan orang maupun barang dari satu tempat ke tempat lain. Kereta api sebagai sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya yang akan ataupun sedang bergerak di rel. Kereta api mempunyai kaitan erat dengan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup manusia (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 155). 12
Perusahaan perkeretaapian mengartikan sarana sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan bentuk kendaraan beroda yang berjalan di atas rel, seperti lokomotif, gerbong barang, dan kereta penumpang. Lokomotif merupakan bagian dari rangkaian kereta api, dimana terdapat mesin untuk menggerakkan kereta api dan lokomotif terletak paling depan dari rangkaian kereta api. Pada masa kolonial Hindia Belanda, lokomotiflokomotif yang banyak digunakan di Indonesia adalah lokomotif uap dengan memanfaatkan tenaga uap yang dihasilkan dari pembakaran air di ketel-ketel sebagai penggeraknya. Gerbong Barang merupakan angkutan barang kereta api yang memerlukan banyak gerbong kereta, karena barangbarang yang diangkutnya beraneka ragam seperti hasil perkebunan, ternak, dan pasir. Kereta penumpang adalah kereta atau gerbong yang merupakan bagian dari sebuah rangkaian kereta api dan digunakan untuk mengangkut penumpang. Kereta penumpang khusus bagi rakyat kecil atau penduduk bumi putera dipasang tiga baris bangku yang membujur sejajar kereta (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 107-111). 2.
Undang-Undang Agraria Undang-Undang Agraria tahun 1870 disahkan mulai berlaku dan diadakan peraturan lebih lanjut, yaitu semua tanah milik pribumi dinyatakan sebagai tanah domein (domein van de staat) disebut juga tanah bebas yaitu tanah yang dikuasai rakyat pribumi. Pengambilalihan tanah penduduk pribumi dilarang, dan orang-orang asing diperbolehkan menyewa tanah 13
pertanian dalam jangka waktu lima tahun. Undang-Undang Agraria tersebut berisi pemilik modal asing swasta Belanda dan non Belanda di Indonesia boleh menyewa atau membeli tanah rakyat, rakyat Indonesia boleh menyewakan atau menjual tanahnya ke pemilik modal asing swasta Belanda dan non Belanda, pemilik modal asing swasta Belanda dan non Belanda boleh memproduktifkan tanah-tanah tersebut bersama-sama dengan rakyat atau mantan pemilik tanah. Undang-Undang Agraria membuka Jawa bagi perusahaan swasta, dan melindungi modal Eropa yang ditanam di berbagai perkebunan yang membuat tenaga kerja murah, hak-hak terjamin dan setelah tahun 1870 modal asing mengalir ke Jawa secara intensif (Sartono Kartodirdjo, 1990: 25-26). Perlindungan dasar Undang-Undang Agraria dari tahun 1870 menegaskan hak milik dari penduduk pribumi atas tanahnya, dan melarang perpindahan hak milik kepada orang-orang bukan Indonesia. Dibawah Undang-Undang Agraria tahun 1870, para pengusaha Belanda dan Eropa lainnya menyewa tanah dari penduduk Jawa untuk mendirikan perkebunanperkebunan besar mengalami perkembangan pesat dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah besar, maka dapat mengimpor mesin dan perlengkapan lainnya untuk meningkatkan produktivitas perkebunanperkebunan. Tahun 1870 merupakan masa pertama kali usaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk menanamkan modal para pengusaha 14
Belanda dan Eropa di dalam berbagai usaha di Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di daerah-daerah luar Jawa. Selama masa ini modal swasta dari Belanda dan negara-negara Eropa lainnya telah mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula, dan kina yang besar di Deli, Sumatera Timur. Undang-Undang Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa (Marwati Djoened, 1975: 89-94). 3.
Politik Pintu Terbuka Akhir abad ke-19 produksi perkebunan menanjak dan sejajar dengan ekspor produksi, maka dari itu modal dunia semakin tertarik untuk investasi di Indonesia. Tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme modern. Hasil Revolusi Industri selama masa dua puluh tahun sebelumnya terwujud dalam perkembangan industri, perkapalan, perbankan, dan komunikasi yang modern. Sistem perdagangan berkembang dengan pesatnya, sedang perkembangan modal terjadi secara besar-besaran. Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan-hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga. Politik ”Pintu Terbuka” di Hindia Belanda dan perkembangan perusahaan-perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil tanah jajahan lebih banyak mencari pasaran di negeri-negeri asing daripada di Negeri Belanda sendiri.
15
Pihak Belanda mengizinkan masuknya modal dan barang produksi industri asing dengan syarat-syarat yang sama seperti modal dan produksi Belanda sendiri. Sebagian besar perkebunan yang didirikan setelah tahun 1870 merupakan objek-objek penanaman modal. Liberalisme memberi dorongan baru kepada kemajuan ekonomi. Di dalam sistem baru ini pengusaha-pengusaha
swasta
mengambilalih
perusahaan-perusahaan
perkebunan yang dahulunya diurus oleh pemerintah kolonial. Ekspor modal ke Hindia Belanda sangat menanjak, dan modal Belanda diekspor juga ke negeri-negeri di luar tanah jajahannya. Banyak bank kolonial didirikan pada bagian kedua abad ke-19, yang berfungsi sebagai lembaga kredit dan finansial untuk menuju ke arah sentralisasi modal, diantaranya sebagian dengan modal asing (Sartono Kartodirdjo, 1990: 22-23). Modal swasta Barat muncul sebagai kekuatan dinamis dalam pertanian Jawa, dan segera meraih kesempatan yang ditawarkan oleh tuntutan yang meningkat di pasar luar negeri (J. Thomas Linblad, 2000: 14). Pembentukan modal membawa perubahan yang terjadi dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Pada waktu penanaman modal partikelir mulai menggantikan sistim tanam paksa dan monopoli dari cultuurstelsel, sehingga peranan modal dalam sistim perekonomian menarik keuntungan dari kesempatan akumulasi modal di Indonesia (J.A.C Mackie, 1963: 148). Terbukalah peluang bagi modal swasta Belanda untuk memasuki Indonesia,
16
akibat berbagai faktor tersebut ialah adanya kenaikan ekspor sejak tahun 1870 (Marwati Djoened, 1975: 86-89). Perkembangan ekonomi dan lalu lintas uang disebabkan oleh meluasnya pekerja upah dan penyewaan tanah para petani kepada pengusaha-pengusaha
Belanda
yang
dibayar
dalam
bentuk
uang.
Pendapatan-pendapatan ini membuat perekonomian dalam Negeri Belanda tetap stabil, hutang-hutang dilunasi pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan-pertahanan, terusan-terusan, dan jalan kereta api negara dibangun untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia dan kepentingan pemerintah kolonial (Marwati Djoened. 1975 : 89). Partai Liberal berkuasa dan dirintislah modernisasi yang terdapat di Negeri Belanda seperti bank-bank, jalan-jalan raya, jaringan kereta api, jembatan-jembatan, dinas-dinas pos, dan perkebunan-perkebunan swasta timbul. Sesudah tahun 1870, perkembangan ini maju terus dengan pesatnya. Perdebatan-perdebatan di parlemen sampai tahun 1870 dipusatkan pada pro dan kontra sistem kebebasan berusaha, kebebasan bekerja serta kebebasan berkebun semuanya sebagai pengganti cultuurstelsel (Sartono Kartodirdjo, 1990: 21). Zaman Liberal menunjukkan penetrasi ekonomi uang yang lebih dalam kepada masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa yang disebabkan oleh penyewaan tanah penduduk di Jawa kepada perusahaan-perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan-perkebunan besar. Akibat dari 17
penetrasi Barat penduduk Jawa lebih banyak di dorong ke dalam ekonomi uang, karena hilangnya mata pencaharian mereka yang tradisionil memaksa mereka untuk mencari pekerjaan pada perkebunan-perkebunan besar yang dimiliki oleh Belanda dan Eropa serta pertumbuhan penduduk yang semakin pesat (Marwati Djoened, 1975: 90-92). Jalan-jalan kereta api pertama tahun 1860 dibangun antara Semarang dan daerah Kasultanan (Vorstenlanden), serta antara Batavia dan Bogor. Pembangunan kedua jalan kereta api yang pertama diselesaikan dalam tahun 1873 dan terutama dimaksudkan untuk membuka daerahdaerah pedalaman Jawa dan menghubungi daerah-daerah perkebunan besar yang kebanyakan terletak di daerah pedalaman dengan kota-kota pelabuhan yang terdekat, yaitu Batavia di Jawa Barat dan Semarang di Jawa Tengah. Tahun 1873 pemerintah Hindia Belanda memulai pembangunan jalan kereta api antara Surabaya dan kota Malang, yang merupakan pusat penting dari perkebunan-perkebunan besar di daerah Jawa Timur. Pembangunan jaringan jalan-jalan kereta api di Pulau Jawa terutama terdorong oleh pertimbanganpertimbangan ekonomi, khususnya kepentingan perkebunan-perkebunan besar (Djoko Suryo, 1989: 111-113). Perkembangan
jaringan
kereta
api
berjalan
dengan
pesat.
Pemerintah kolonial juga sibuk membangun jaringan jalan kereta api di beberapa daerah di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaannya, atau yang ingin dikuasainya. Pemerintah kolonial terdorong membangun 18
jaringan jalan kereta api ini disebabkan karena pertimbangan ekonomi, dan pertimbangan-pertimbangan politik pasifikasi atau pengamanan daerah militer (Marwati Djoened, 1975: 105-107). B. Penelitian yang Relevan Berikut ini dikemukakan beberapa penelitian yang relevan dengan bahasan dalam penelitian: 1.
Handinoto dalam penelitian yang berjudul Peletakan Stasiun Kereta Api dalam Tata Ruang Kota-Kota di Jawa pada Masa Kolonial, 1999. Penelitian tersebut membahas pada akhir abad 20 karena padatnya arus lalu lintas jalan darat di Pulau Jawa, angkutan kereta api menjadi salah satu sarana yang sangat penting dan peletakan stasiun kereta api di masa lampau sebagai masukan dalam pemikiran perkembangan kota-kota di Jawa untuk masa mendatang.
2.
G. Ambar Wulan dalam penelitian yang berjudul Peranan dan Pekembangan Kereta Api di Jalur Semarang-Solo pada tahun 1864-1870, membahas perkeretaapian di Jawa Tengah secara umum dan kemudian memfokuskan pada pembangunan jalur kereta api Semarang-Solo.
3.
Soetandar Soemodipoero dkk, dalam penelitian yang berjudul Sejarah Perjuangan Pegawai Kereta Api Jawa Tengah pada tahun 1963, membahas sejarah Djawatan Kereta Api dalam masa penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang, salah satunya pembuatan jalan rel kereta api di Jawa Tengah. 19